Anda di halaman 1dari 3

“Selain Palestina, negara yang mana lagi ingin kamu kunjungi?

“Hmm...” Lelaki dengan rambut jatuh, kulit sawo matang, dan gigi gingsul itu tampak sibuk
berfikir, ia memegangi bibir bawah dengan dahi yang mengerut.

“Kalau itu terserah istriku, memangnya kamu mau kemana?” Ia kembali bersuara setelah jeda
yang cukup lama.

“Kalau aku... Mau ke New York.” Eca, gadis tembem dengan tinggi sebahu Ian menjawab
dengan semangat.

“Oke, kalau gitu aku udah tau jawabannya. Setelah dari Palestina, aku akan ke New York
karena istriku mau kesana.” Jawabannya selalu berhasil membuatku tersenyum dengan wajah
yang memerah. Kenapa aku begitu menyukai lelaki yang ada disampingku ini? Sangat suka,
hingga meskipun aku harus mati sejuta kali kemudian hidup lagi, dikehidupan selanjutnya
aku tetap ingin menjadi orang yang paling berharga bagi Alfian Afnan Wijaya. Tapi tidak ada
hal yang seperti itu bukan? Kehidupan selanjutnya? Mana mungkin ada manusia yang bisa
hidup kembali setelah mati meskipun dalam wujud yang lain. Ohh tolonglah, ini bukan cerita
dongeng. Fiksi seperti itu tidak mungkin terjadi.

Baru sedetik yang lalu aku berkata demikian, rasanya ingin kucabut kembali ucapanku itu.
Kalimat aku tidak percaya reinkarnasi, tidak ada kehidupan selanjutnya, semuanya hanya
fiksi dalam cerita dongeng. Kalimat terakhir yang dapat kudengar hanyalah...

“ECAAAAA!!!!”

Yah, suaranya yang memanggil namaku. Namun kini penuh rasa cemas dan khawatir, tidak
lagi lembut seperti biasanya. Apakah hidupku akan berakhir seperti ini? Kami bahkan belum
mewujudkan mimpi untuk pergi ke New York bersama. Maaf Ian, karena sepertinya aku
harus lebih dahulu meninggalkanmu. Sampai jumpa di New York, itupun... Jika kehidupan
kedua itu memang nyata.

***
Dadaku sesak, mimpi tadi terasa begitu nyata. Aku terbangun dengan nafas terengah-engah.
Rasanya nyawaku baru saja dicabut. Tapi buktinya tidak, aku masih hidup. Menit berikutnya
aku tersadar, bahwa tempatku terbangun saat ini bukanlah kamarku. Aku dimana? Tempat
asing yang tak pernah kusinggahi sebelumnya.

Tok... Tok... Tok...

“Eca, buruan siap-siap terus sarapan! Nanti kamu telat ke sekolah.” Wanita paruh baya yang
baru saja mengetuk pintu itu tersenyum hangat. Dia siapa? Tunggu dulu, sekolah?
Maksudnya kuliah? Aku adalah mahasiswa kedokteran Unhas semester 2, tidak mungkin
kembali SMA bukan?

Aku beranjak dari kasur menuju kamar mandi yang ada dalam kamar. Sedari tadi pertanyaan
terus saja bergantian memenuhi kepalaku. Kebingungan menyeruak ingin dituntaskan. Tapi
tak ada yang bisa ditanyai bahkan diriku sendiri. Hingga kusadari satu hal.

“AAAAAAA....” Teriakku dengan kerasnya. Wajah siapa yang kulihat dalam cermin itu? Dia
bukan aku. Sebenarnya apa yang terjadi?

***

“Pertama aku bermimpi aneh yang rasanya seperti nyata, kemudian aku terbangun di
kediaman asing, wajahku sendiri juga tak kukenali, ibu, ayah, bahkan aku kembali masuk
SMA? Dipikir beribu kali pun ini sangat tidak masuk akal.” Kupijati keningku yang sakit
setelah semua kejadian aneh yang terjadi hari ini. Buku yang kupegang penuh dengan coretan
urutan peristiwa tak masuk akal yang kualami. Namun tetap saja, tak ada jawaban yang
kutemukan.

“Apa ini yang dinamakan reinkarnasi?” Aku menggeleng cepat, menghilangkan pikiran
ngawur yang baru saja terlintas di kepalaku. Kuyakinkan diriku bahwa hal-hal semacam itu
tidak nyata dan hanya ada dalam drama kolosal Korea.
Suara bising menyadarkanku dari lamunan, kudapati segerombolan siswa memadati koridor.
“Hei... Emang ada apaan disana?” Tanyaku pada seorang siswa yang kebetulan berlalu di
hadapanku.

“Itu, ada alumni cogant yang datang.” Aku hanya ber-oh ria mendengar jawabannya.
Kupandangi kerumunan itu dari kejauhan, di taman sekolah, dibawah pohon mangga yang
sudah lama tidak berbuah. Seharusnya aku juga sudah menjadi alumni, tapi sebuah keajaiban
yang tidak masuk akal mengantarku kembali ke sekolah ini. Aku kembali ke usiaku 2 tahun
lalu namun dalam tubuh yang berbeda. Tiba-tiba aku teringat pada Ian. Bagaimana ya
keadaannya sekarang? Terakhir aku melihatnya sebelum aku terbangun dalam wujud tubuh
ini.

Cuaca mulai berubah menjadi panas, peluh tak hentinya mengucur deras mengalir di dahi dan
pelipisku. Aku beranjak ke kantin untuk membeli minuman dingin.

“Bu, es kopinya dua!” Suara berat yang rasanya tak asing di telingaku. Aku berbalik untuk
melihat siapa pemilik suara itu.

BRUKKK...

Saking terkejutnya, buku dan air mineral yang baru saja kubeli tanpa sadar lepas dari
genggamanku. Bagaimana tidak, orang itu adalah Ian. Yah, dia masih sama seperti kemarin.
Ia tidak pernah pergi, aku yang meninggalkannya. Setelah mengambil buku dan minumanku
yang terjatuh aku segera berlari secepat kilat pergi dari sana. Ian tampak memandangiku yang
sudah pergi jauh. Rasanya saat itu juga ingin kupeluk orang itu kuat-kuat, aku ingin
melihatnya lebih lama lagi. Namun aku sudah bukan Ecanya lagi, aku bukan aku. Tubuhku
bukanlah Eca. Tak mungkin dikenali olehnya.

Anda mungkin juga menyukai