Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

R (60 TAHUN) AKIBAT


GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER NON ST ELEVATION
MYOCARDIAL INFARCT (NSTEMI) T - INVERTED

(Ditujukan untuk memenuhi tugas pada pendidikan profesi ners stase KMB I)

Dosen Pengampu :

Popy Siti Aisyah, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh :

Annisa Siti M 402020005

Diyan Nurjanah 402020036

Hanifa Nur Afifah 402020030

Rita Rahmawati 402020029

Setya Nur R 402020017

Shilvi Rahesty 402020007

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG

2020 / 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat
menyeselaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. R (60
Tahun) Akibat Gangguan kardiovaskuler: N-Stemi T-Inverted”.
Sehingga pada kesempatan ini, penyusun ingin menyampaikan rasa
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Karena
dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari bahwa kemampuan yang
dimiliki sangat terbatas, akan tetapi penyusun berusaha seoptimal mungkin untuk
menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, dari isi maupun sistematika penulisannya. Maka dengan
kerendahan hati, penyusun sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang
dapat membangun dan bersifat positif untuk kesempurnaan makalah asuhan
keperawatan ini.

Bandung, Januari 2021

Kelompok 3
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Acute coronary syndrome (ACS) saat ini merupakan salah satu
masalah kesehatan utama di dunia. Sejak tahun 1990 prevalensi ACS terus
meningkat, pada tahun 2004 American Heart Association (AHA)
memperkirakan prevalensi ACS di Amerika Serikat mencapai 13.200.000
jiwa. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013,
ACS menjadi penyebab kematian terbanyak dengan mencapai jumlah 7 juta
jiwa kematian setiap tahunnya di seluruh dunia. Hal ini terutama terjadi di
negara berkembang (WHO, 2013).

Di Indonesia, pada tahun 2017 didapatkan data bahwa penyakit


jantung (29,0%) menduduki posisi kedua setelah stroke (29,2%) sebagai
penyebab kematian dini (Health Data, 2017). Menurut American Heart
Association (AHA) tahun 2014, penyakit jantung koroner diantaranya
unstable angina pectoris (UAP), ST elevation myocardial infarction
(STEMI) dan non-ST elevation myocardial infarction (N-STEMI). Di dunia
lebih dari 3 juta penduduk pertahun diperkirakan mengalami STEMI dan
lebih dari 4 juta penduduk mengalami NSTEMI (Kumar, et al., 2009).
Angka mortalitas dirumah sakit lebih tinggi pada STEMI namun mortalitas
jangka panjang didapati dua kali lebih tinggi pada pasien-pasien dengan
NSTEMI dalam rentang waktu 4 tahun (Paxinos, G., et al., 2012). Oleh
karena itu manajemen yang optimal terhadap kondisi pasien yang
mengalami NSTEMI sangat penting untuk diperhatikan dan diberikan
tindakan dengan cepat.

Sindrom koroner adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard


yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri
dada, perubahan segmen ST pada elektrokardiogram (EKG), dan perubahan
biomarker jantung (Kumar & Cannon, 2009). Keadaan iskemia yang akut
dapat menyebabkan nekrosis miokardial yang dapat berlanjut menjadi
Infark Miokard Akut. Nekrosis atau kematian sel otot jantung disebabkan
karena adanya gangguan aliran darah ke jantung. Daerah otot yang tidak
mendapat aliran darah dan tidak dapat mempertahankan fungsinya,
dikatakan mengalami infark (Guyton, 2007).

Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasarkan hasil EKG menjadi


Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) dan Infark Miokard non ST-
elevasi (NSTEMI). Pada Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) terjadi
oklusi total arteri koroner sehingga menyebabkan daerah infark yang lebih
luas meliputi seluruh miokardium, yang pada pemeriksaan EKG ditemukan
adanya elevasi segmen ST, sedangkan pada Infark Miokard non ST-elevasi
(NSTEMI) terjadi oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak melibatkan
seluruh miokardium, sehingga pada pemeriksaan EKG tidak ditemukan
adanya elevasi segmen ST (Alwi, 2009).

Non ST elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) yang dikenal dengan


penyakit yang disebabkan oleh penyempitan arteri koroner, sumbatan arteri
sementara atau mikroemboli dari trombus yang ditandai dengan adanya
peningkatan biomarkers jantung tanpa adanya gambaran elevasi ST segmen
pada hasil perekaman elektrokardiogram (Daga, LC, et al., 2011). Tanda
dan gejala Non ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) yang sering
muncul adalah nyeri dada yang timbul pada saat istirahat atau dengan
aktivitas minimal yang berlangsung 10-20 menit atau lebih dan juga diikuti
dengan diaphoresis (keringat dingin), dyspnea, mual, muntah, nyeri perut
bahkan sinkop serta kelelahan karena iskemik (American Heart Association,
2018).

Berdasarkan rekomendasi dari European Society of Cardiologi (ESC)


pada penatalaksanaan Unstable Angina dan NSTEMI meliputi anti iskemik,
anti platelet, antikoagulan, coronary revaskularisasi : non invasif
trombolitik, invasif PCI dan CABG. Tatalaksana pada Unstable Angina dan
NSTEMI lebih direkomendasikan dalam pemberian obat anti iskemik
adalah agen obat yang dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard
sehingga mempunyai efek positif menurunkan heart rate dan preload serta
kontraktilitas, obat ini juga meningkatkan suplai oksigen melalui induksi
vasodilatasi koroner. Contoh obat antiiskemik adalah beta bloker, nitrat dan
kalsium channel bloker.

Acute coronary syndrome (ACS) membutuhkan penatalaksaan yang


cepat dan tepat, akan tetapi yang sering terjadi adalah keterlambatan atau
penundaan waktu (time delay) antara timbulnya gejala dan kontak medis
pertama (First Medical Contact) dan waktu tunda antara FMC dan awal
reperfusi. Keterlambatan waktu antara timbulnya gejala dan FMC
tergantung pada pasien serta pertolongan prehospital (Sillber, S, 2010). Pada
intrahospital perawat berperan untuk melaksanakan pemeriksaan EKG
kurang dari 10 menit dan memonitor efek samping dari pengobatan ACS,
serta melaksanakan discharge planning (edukasi) pada pasien ACS
(Sargowo, 2008).

Pada pelayanan prehospital ACS early identification, dapat dilakukan


oleh Emergency Medical Service sebelum pasien tiba di rumah sakit,
biasanya di ambulans, tindakan-tindakan tersebut adalah : monitoring dan
amankan ABC. Persiapkan diri untuk RJP dan defibrilasi, berikan aspirin
160-325 mg (kunyah), dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin, dan morfin
jika diperlukan, pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi. Jika ada ST
elevasi, infomasikan RS, catat waktu onset dan kontak pertama dengan tim
medis. Harus dilakukan dengan segera. Penatalaksanaan ACS intrahospital
dapat dilakukan dengan beberapa treatment antara lain pemberian anti
iskemik.

Pentingnya manajemen atau penatalaksanaan pada pasien ACS untuk


meminimalkan terjadinya mortalitas, maka perlu adanya penanganan yang
cepat dan tepat dari tenaga kesehatan, juga kesadaran dari pasien untuk
sesegera mungkin mencari pertolongan ke pelayanan kesehatan.

B. Tujuan
1) Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep penyakit dan asuhan keperawatan
pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler : Non ST Elevation
Myocardial Infarct (NSTEMI) T-Inverted
2) Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi penyakit
b. Mengetahui etiologi penyakit
c. Mengetahui manifestasi klinis atau tanda dan gejala penyakit
d. Mengetahui patomekanisme NSTEMI T- Inverted
e. Mengetahui pemeriksaan penunjang penyakit
f. Mengetahui penatalaksanaan medis penyakit
g. Mengetahui konsep asuhan keperawatan

C. Metode Penyusunan
BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini, membahas tentang latar belakang, tujuan dan metode
penyusunan.

BAB II LANDASAN TEORI

Pada bab ini membahas konsep penyakit dan konsep asuhan keperawatan
yang sesuai dengan kasus yang di kelola yaitu mengenai konsep dan asuhan
keparawatan pada penyakit Non ST Elevation Myocardial Infarct
(NSTEMI) T-Inverted / N-Stemi T-Inverted

BAB III TINJAUAN KASUS

Pada bab ini membahas tinjauan berisi pembahasan asuhan keperawatan


dengan diagnosa pada kasus N-Stemi T-Inverted yang terdiri atas point
pengkajian, analisa data, rencana asuhan keperawatan dan implementasi
serta evaluasi tindakan keperawatan

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas tinjauan kasus yang dikaitkan dengan hasil tinjauan
teori yang sudah di bahas pada BAB 2

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Pada bab ini membahas kesimpulan dari seluruh isi makalah dengan
diarahkan sesuai dengan tujuan dan saran yang berkaitan dengan kelanjutan
dari asuhan keperawtan yang diberikan pada pasien

DAFTAR PUSTAKA

Pada bagian ini menuliskan sumber-sumber data dan pembahasan yang


diperoleh di dalam makalah ini.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu fase akut dari
angina pectoris tidak stabil/APTS yang disertai infark miocard
akut/IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI)
atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang
terjadi karena adanyatrombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis
yang tidak stabil (Wasid, 2007).
SKA merupakan suatu sindrom yang terdiri dari beberapa
penyakit coroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark
miocard non-elevasi ST (NSTEMI), infark miokard denan elevasi ST
(STEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan
intervensi koroner perkutan. Sindrom koroner akut merupakan
keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di
dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium (Fauzan, R,
2017).
NSTEMI adalah adanya ketidakseimbangan antara permintaan
dan suplai oksigen ke miokardium terutama akibat penyempitan arteri
koroner akan menyebabkan iskemia miokardium lokal. Iskemia yang
bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada
tingkat sel dan jaringan (Sylvia, 2008). NSTEMI adalah infark
miokard akut tanpa elevasi ST yang terjadi dengan mengembangkan
oklusi lengkap arteri koroner kecil atau oklusi parsial arteri koroner
utama yang sebelumna terkena aterosklerosis. Hal ini menyebabkan
kerusakan ketebalan parsial otot jantung.
2. Etiologi
Menurut Muttaqin (2009) NSTEMI disebabkan oleh penurunan
suplai oksigen dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis
akut atau oroses vasokontriksi koroner, sehingga terjadi iskimia
miokard dan dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan
derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium.
Peneyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang yang
dihasilkan dari penyempitan arteri koroner disebabkan oleh trombus
nonocclusive yang telah dikembangkan pada plak aterosklerotik
terganggu. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST,
namun menyebabkan pelepasan penanda nekrois.
a. Faktor risiko
1) Usia
Angka morbiditas dan mortalitas penyakit SKA
meningkat seiring pertambahan usia. Sekitar 55% korban
serangan jantung berusia 65 tahun atau lebih dan yang
meninggal empat dari lima orang berusia di atas 65 tahun.
Mayoritas berada dalam resiko pada masa kini merupakan
refleksi dari pemeliharaan kesehatan yang buruk di masa
lalu.
2) Jenis kelamin
Pria memiliki resiko yang lebih untuk terserang
SKA, sedangkan pada wanita resiko lebih besar setelah
masa menopause. Peningkatan pada wanita setelah
menopause terjadi akibat penurunan kadar estrogen dan
peningkatan lipid dalam darah.
3) Riwayat keluarga
Tingkat faktor genetika dan lingkungan membantu
terbentuknya atherosklerosis belum diketahui secara pasti.
Tendensi atherosklerosis pada orang tua atau anak
dibawah usia 50 tahun ada hubungan terjadinya sama
dengan anggota keluarga lain.
4) Suku bangsa
Orang Amerika kulit hitam memiliki resiko lebih
tinggi dibandinkan dengan kulit putih, hal ini dikaitkan
dengan penemuan bahwa 33% orang Amerika kulit hitam
menderita hipertensi dibandingkan dengan kulit putih.
5) Merokok
Perokok memiliki resiko 2 sampai 3 kali untuk
meninggal karena SKA daripada yang bukan perokok.
Resiko juga bergantung dari berapa banyak rokok per hari,
lebih banyak rokok lebih tinggi pula resikonya. Hal ini
dikaitkan dengan pengaruh nikotin dan kandungan tinggi
dari monoksida karbon yang terkandung dalam rokok.
Nikotin meningkatkan beban kerja miokardium dan
dampak peningkatan kebutuhan oksigen. Karbon
monoksida menganggu pengangkutan oksigen karena
hemoglobin mudah berikatan dengan karbon monoksida
daripada oksigen.
6) Hiperlipidemia
Kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah terlibat
dalam transportasi, digesti, dan absorbs lemak. Seseorang
yang memiliki kadar kolesterol melebihi 300 ml/dl
memiliki resiko 4 kali lipat untuk terkena SKA
dibandingkan yang memiliki kadar 200 mg/dl. Diet yang
mengandung lemak jenuh merupakan faktor utama yang
menimbulkan hiperlipidemia.
7) Diabetes mellitus
Aterosklerosis diketahui berisiko 2 sampai 3 kali
lipat pada diabetes tanpa memandang kadar lipid dalam
darah. Predisposisi degenerasi vaskuler terjadi pada
diabetes dan metabolisme lipid yang tidak normal
memegang peranan dalam pertumbuhan atheroma.
8) Hipertensi
Peningkatan resisten vaskuler perifer meningkatkan
afterload dan kebutuhan ventrikel, hal ini mengakibatkan
kebutuhan oksigen untuk miokard untuk menghadapi
suplai yang berkurang.
9) Obesitas
Berat badan yang berlebihan berhubungan dengan
beban kerja yang meningkat dan juga kebutuhan oksigen
untuk jantung. Obesitas berhubungan dengan peningkatan
intake kalori dan kadar low density lipoprotein.
10) Inaktifitas fisik
Kegiatan gerak dapat memperbaiki efisiensi jantung
dengan cara menurunkan kadar kecepatan jantung dan
tekanan darah. Dampak terhadap fisiologis dari kegiatan
mampu menurunkan kadar kepekatan rendah dari lipid
protein, menurunkan kadar glukosa darah, dan
memperbaiki cardiac output.
11) Stres psikologis berlebihan
Stres merangsang sistem kardiovaskuler melepaskan
katekolamin yang meningkatkan kecepatan jantung dan
menimbulkan vasokontriksi.
b. Faktor penyebab
1) Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
2) Obstruksi dinamik (spasme coroner atau vasokontriksi)
3) Obstruksi mekanik yang progesif
4) Inflamasi
5) Faktor atau keadaan pencetus

3. Manifestasi klinis
a. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa
terbakar, tertindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir,
tertekan yang berlangsung ≥20 menit, tidak berkurang dengan
pemberian nitrat, gejala yang menyertai seperti berkeringat, pucat dan
mual, sulit bernapas, cemas dan lemas.
b. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat
c. Kalainan lain seperti aritmia, henti jantung atau gagal jantung akut.
d. Atipik:
1) Pada manula: bisa kolaps atau bingung
2) Pada pasien diabetes : perburukan status metabolik atau gagal
jantung bisa tanpa disertai nyeri dada.
4. Patomekanisme
Faktor pencetus (DM,
Kelainan metabolisme (lemak,
hiperkolesterolemia,
koagulasi darah, dan keadaan
merokok, hipertensi, usia
bifisika/biokimia dinding arteri
anjut dan obesitas
Proses inflamasi
Aterosklerosis
Aktivasi makrofag,
proteinase, sel T limfosit, Akumulasi/peimbunan
Sitokinin ateroma/plak di inti arteri

Destabilitas flaque Ruptur plaque

Kebutuhan O2 ↑ Aktivasi faktor dan


pembekuan platelet
Metabolisme anaerob
Pengeluaran tissue faktor
Mengganggu absorbsi
Produksi asam laktat nutrien dan oksigen
Faktor VIIa menjadi VIIa kompleks,
faktor X menjadi faktor Xa
Merangsang nosiseptor
Pembuluh darah
Terjadi adhesi dan agregasi nekrotik
Angina pektoris pembentukan trombus

Nyeri Akut Tumbuh jaringan parut


Penurunan aliran darah koroner
Lumen sempit & kaku
Suplai O2 keparu-paru ↓ Iskemia
Aliran darah tersumbat
Kompensasi pernapasan NSTEMI
Cardiac output↓
Kontraksi miokard
Takipnea/dispnea
TD ↑ Penurunan Curah Jantung
Pola Napas Tidak
Efektif

↓kemampuan tubuh untuk


menyediakan energi

Kelemahan/fatigue

Intoleransi Aktivitas
5. Pemeriksaan penunjang
a. Biomarker jantung
1) Tromponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu
komponen inhibitorik yang berfungsi mengikat aktin
2) Tromponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang
berfungsi mengikat trompomiosin.
b. EKG (T Inverted dan ST Depresi
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T inverted dan
ST depresi yang menunjukan adanya iskemia pada arteri koroner.
Jika terjadi iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi),
simetris dan biasanya bersifat sementara (saat pasien simptomatik).
Bila tidak didapatkan kerusakan miokardium, sesuai dengan
pemeriksaan CK-MB (creatine kinase-myoglobin) maupun
troponin yang tetap normal, diagnosisnya adalah angina tidak
stabil. Namun, jika inversi gelombang T menetap, biasanya
didapatkan kenaikan kadar troponin dan diagnosanya menjadi
NSTEMI.
c. Echo Cadiografi pada pasien Non-ST Elevasi Miokardial Infark
1) Area gangguan
2) Fraksi ejeksi
Fraksi ejeksi adalah daya sembur jantung dari ventrikel ke
aorta. Fraksi pada prinsipnya adalah presentasi dari selisih
volume akhir diagnostik dengan volume akhir sistolik dibagi
dengan volume akhir diastolik.nilai normal >50%. Dan apabila
< 50% fraksi ejeksi tidak normal.
d. Angiografi koroner
Untuk menentukan derajat stenosis pada arteri koroner. Apabila
pasien mengalami derajat stenosis 50% pada pasien dapat
diberikan obat-obatan. Namaun, apabila pasien mengalami stenosis
>60% maka pasien harus di intervensi dengan pemasangan stent.

6. Penatalaksanaan Medis
Terdapat 3 hal yang harus dilakukan pada penderita dengan infark
miokard, yaitu :
a. Memantapkan terbukanya arteri koroner dapat dengan cara
fibrinolitik angioplastiatau CABG.
b. Menjaga agar arteri koroner tetap terbuka dengan antikoagulan
atau dengan anti platelet.
c. Mencegah meluasnya kerusakan miokard lebih lanjut dengan
mengurangi oksigen demand atau mencukupi kebutuhan oksigen.
Protokol tatalaksana awal SKA tanpa elevasi segmen ST :
a. Oksigen nasal 2-3 L/menit.
b. Aspilet kunyah 160-320 mg.
c. Clopidogrel loding dose 300 mg atau Ticagrelor 180 mg.
d. Nitrat tablet 5 mg SL dapat diulang 3 kali, jika masih nyeri dada
diberi morphin 2,5–5 mg IVatau Pethidin 25 mg IV atau Nitrat IV
dosis dimulai dari 5 mikrogram/menit atau dititrasi.
e. Cek laboratorium: Hb, Ht, Leukosit, Ureum, Kreatinin, GDS,
Elektrolit, CKMB, hs-Troponin.
f. ACE Inhibitor (gagal jantung, DM, hipertensi).
g. Anti iskemik beta bloker (jika tidak ada kontraindikasi) atau
kalsium antagonis.
h. Statin.

i. Anti koagulan:
1) CCT > 30 ml/menit berikan pondafarinux atau enoxafarine
subkutan, jika CCT < 30 ml/menit berikan UFH atau
enoxafarine (1 mg/KgBB subkutan sehari sekali).
2) Loding dose heparin bolus 60-70 unit maksimal 4000 unit
dengan dosis pemeliharaan 12-15 unit/KgBB/jam maksimal
1000 unit/jam dengan target APTT 1,5-2 kali nilai kontrol.
Dosis enoxafarine 1 mg/KgBB subkutan setiap 12 jam. Dosis
pondafarinux 2,5 mg subkutan sekali sehari.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien IMA biasanya
baik atau compos mentis (CM) dan akan berubah sesuai tingkat
gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat.
b. B1 (breathing)
Klien terlihat sesak, frekuensi napas melebihi normal dan
mengeluh sesak seperti tercekik. Dispnea kardiak biasanya
ditemukan. Sesak napas terjadi akibat pengerahan tenaga dan
disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal ini terjadi karena
terdapat kegagalan peningkatan curah darah oleh ventrikel kiri
pada saat melakukan kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada infark
miokardium yang kronis dapat timbul pada saat istirahat.
c. B2 (blood)
1) Inpeksi : adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan nyeri
biasanya didaerah substernal atau nyeri atas pericardium.
Penyebaran nyeri dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri dari
ketidakmampuan menggerakan bahu dan tangan
2) Palpasi : denyut nadi perifer melemah. Thrill pada IMA tanpa
komplikasi biasanya tidak ditemukan.
3) Auskultasi : tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan
volume sekuncup yang disebabkab IMA. Bunyi jantung
tambahan akibat kelainan katup biasanya tidak ditemukan pada
IMA tanpa komplikasi.
4) Perkusi : batas jantung tidak mengalami pergeseran
d. B3 (Brain)
Kesadaran umum klien biasanya CM. Pengkajian objektif klien
yaitu meringis, menangis, merintis, merenggang dan menggeliat
yang merupakan respons dari adanya nyeri dada akibat infark pada
miokardium. Tanda klinis lain yang ditemukan adalah takikardia,
dispnea pada saat aktivitas maupun saat beraktivitas.
e. B4 (bladder)
Pengukuran volume output urine dengan intake cairan klien. Oleh
karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria pada klien
dengan IMA karena merupakan tanda awal syok kardiogenik.
f. B5 (bowel)
g. Klien biasanya mengalami mual dan muntah. Pada palpasi
abdomen ditemukan nyeri tekan pada keempat kuadran, penurunan
peristaltik usus yang merupakan tanda utama IMA.
h. B6 (bone)
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering
merasa kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup
menetap, perubahan postur tubuh.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen
b. Pola nafas tidak efektif b.d kelelahan otot pernapasan
c. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi, irama, konduksi
elektrikal.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
ketidakseimbangan suplai darah keperawatan selama 2x24 jam Observasi Observasi
dan oksigen diharapan tingkat nyeri 1. Kaji tingkat nyeri secara Nyeri merupakan pengalaman
menurun dengan kriteria hasil: komprehensif (lokasi, subjektif dan harus dijelaskan
1. Keluhan nyeri menurun karakteristik, durasi, oleh pasien. Identifikasi
(skala nyeri 0) frekuensi, kualitas, dan karakteristik nyeri dan faktor
2. Tidak ada meringis intensitas nyeri, skala nyeri, yang berhubungan merupakan
3. Tidak ada gelisah nyeri non verbal, faktor yang suatu hal yang amat penting
4. Tidak ada kesulitan tidur memperberat dan untuk memilih intervensi yang
memperingan nyeri dan cocok dan mengevaluasi
pengetahuan dan keyakinan keefektifan dari terapi yang
tentang nyeri telah diberikan
Terapeutik Terapeutik
1. Berikan teknik Agen agen ini secara sistematik
nonfarmakologis untuk menghasilkan relaksasi dan
mengurangi nyeri (kompres menurunkan inflamasi
hangat dengan jahe dan
ROM)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri

Edukasi Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode Pasien dapat mengetahui
dan pemicu nyeri terhadap nyeri dan dapat
2. Jelaskan strategi meredakan melakukan strategi untuk
nyeri mengontrol nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5. Anjurkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(kompres hangat dengan jahe
dan ROM)
Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian menurunkan nyeri melalui
analgetik mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik sentral
maupun perifer
Pola nafas tidak efektif b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas Manajemen Jalan Napas
kelelahan otot pernapasan keperawatan selama 2x24 jam Observasi Observasi
diharapkan pola napas membaik 1. Monitor pola napas 1. Melakukan evaluasi awal
dengan kriteria hasil: (frekuensi, kedalaman, usaha untuk melihat kemajuan dari
1. Tidak ada dispnea napas) hasil intervensi yang telah
2. Tidak ada penggunaan otot dilakukan.
bantu napas 2. Monitor bunyi napas 2. Bunyi napas ronkhi
3. Tidak ada pemanjangan (wheezing, ronkhi) menandakan adanya sputum
fase ekspirasi dijalan napas, wheezing
4. Frekuensi napas dalam terjadi akibat adanya
batas normal (16-20x/menit penyempitan saluran napas.

Terapeutik Terapeutik
1. Posisikan semi fowler atau 1. Posisi semi fowler/ fowler
fowler dapat memudahkan
pemeliharan jalan napas dan
mempermudah udara
2. Berikan oksigen masuk.
2. Pemberian oksigen
mempertahankan oksigen
Edukasi yang adekuat
1. Ajarkan teknik batu efektif Edukasi
1. Batuk efektif dapat
memudahkan sputum
Kolaborasi mudah keluar
1. Kolaborasi penentuan dosis Kolaborasi
oksigen 1. Dosis yang tepat
memaksimalkan paru terisi
2. Kolaborasi penggunaan udara dan sesak berkurang
oksigen saat aktivitas 2. Pemberian oksigen saat
dan/atau tidur tidur dapat mencegah
gangguan sesak saat tidur
Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan tindakan Perawatan Jantung Perawatan Jantung
perubahan frekuensi, irama, keperawatan selama 3x24 jam Observasi Observasi
konduksi elektrikal. diharapkan curah jantung 1. Identifikasi tanda dan gejala 1. Mengetahui adanya tanda
meningkat dengan kriteria hasil: primer penurunan curah gejala sesak, edema,
3. Tidak ada lelah jantung (meliputi dyspnea, kelelahan yang menjadi
4. Tidak ada distensi vena kelelahan, edema, ortopnea, tanda gejala primer
jugularis peningkatan CVP) penurunan curah jantung
5. Tidak ada dyspnea 2. Identifikasi tanda/gejala 2. Adanya peningkatan vena
6. Tidak ada batuk sekunder penurunan curah jugularis, batuk, suara napas
jantung (meliputi ronkhi, batuk dapat menjadi
peningkatan berat badan, tanda dan gejala penurunan
hepatomegaly, distensi vena curah jantung
jugularis, ronkhi basah,
palpitasi, batuk, kulit pucat)

3. Monitor tekanan darah 3. Sebagai data dasar yang


digunakan untuk intervensi
lanjutan dan evaluasi
4. Menghitung intake output
untuk menentukan balance
4. Monitor intake dan output cairan
5. Untuk memantau sirkulasi
oksigen ke perifer
5. Monitor saturasi oksigen Terapeutik
1. Posisi semi fowler/ fowler
Terapeutik dapat memudahkan
1. Posisikan pasien semi pemeliharan jalan napas dan
fowler/fowler mempermudah udara masuk
2. Dengan relaksasi dapat
menurunkan stress pasien
2. Berikan terapi relaksasi terhadap penyakitnya
untuk mengurangi stress 3. Mengurangi perburukan
penyakit akibat konsumsi
3. Berikan diet jantung yang makanan yang memicu
sesuai gangguan pada jantung
4. Oksigen yang adekuat dapat
mempertahankan status
4. Berikan oksigen untuk saturasi oksigen pada pasien
mempertahankan saturasi Edukasi
oksigen > 94% 1. Aktivitas yang berlebihan
Edukasi dapat memperburuk proses
1. Anjurkan beraktivitas fisik penyakit
sesuai toleransi 2. Merokok dapat memicu
gangguan pada fungsi
2. Anjurkan berhenti merokok pernapasan dan jantung
Kolaborasi
1. Perawatan lebih lanjut
Kolaborasi mengenai penyakit jantung
1. Rujuk ke program rehabilitasi yang diderita
jantung
DAFTAR PUSTAKA
Ainiyah Nur. (2015). Peran Perawat Dalam Identifikasi Dini dan
Penatalaksanaan Pada Acute Coronary Syndrome. Jurnal Ilmiah Kesehatan,
Vol 8, No 2
Aishah, Salimar Putri. (2017). Pengaruh Skor TIMI, Kadar Troponin T, dan
Hitung Jumlah Leukosit Terhadap Mortalitas Pasien Inferk Miokard Akut
Non Elevasi Segemen ST di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Diploma thesis,
Universitas Andalas.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, Irfan Setyanto. (2018). Perbedaan Kadar SGOT Pada pasien ST-
Elevasi Miokard Infark (STEMI) dan Non-ST Elevasi Miokard Infark
(NSTEMI) Di RSUD Dr. Moerwadi. Fakultas Kedokteran, Universitas
Muhammadyah Surakarta.
Prasetya, Fajar Rifki. (2017). Hubungan Antara Kadar Asam Urat Serum
Terhadap Kejadian Acute Coronary Syndrome (ACS). FKIK UMY.

Anda mungkin juga menyukai