Anda di halaman 1dari 39

KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK, BERMAIN, MENCEGAH KECELAKAAN

DAN ANTICIPATORY GUIDANCE

MAKALAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan


Mata Kuliah Keperawatan Anak pada Program Studi Sarjana Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sukabumi
Dosen Pengampu : Hj. Iyam M, S.Sos., Ners., M.Si., M.Kep

Wanti Novianti C1AB19022


Emmi Sri Ramdany C1AB19004
Solehudin danuwinata C1AB19019
Ervin Septian Fauzi C1AB19007
Yuyun Yunengsih C1AB1923

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
KOTA SUKABUMI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul  Konsep Tumbuh Kembang Anak,
Bermain, Mencegah Kecelakaan Dan Anticipatory Guidance ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Keperawatan Anak. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Konsep Tumbuh Kembang Anak, Bermain, Mencegah Kecelakaan Dan
Anticipatory Guidance bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Hj. Iyam M, S.Sos., Ners., M.Si., M.Kep
selaku dosen Keperawatan Anak yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Sukabumi, Maret 2021

Penulis

1
2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran anak bagi orang tua merupakan suatu tantangan sehubungan
dengan masalah dependensi/ketergantungan, disiplin, meningkatkan mobilitas dan
keamanan bagi anak. Orang tua sering keliru dalam memperlakukan anak karena
ketidaktahuan mereka akan cara membimbing dan mengasuh yang benar. Apabila hal
ini terus berlanjut, maka pertumbuhan anak dapat terhambat.
Saat ini terjadi pergeseran peran orang tua, misalnya kedua orang tua lebih
banyak beraktifitas di luar rumah dan tingginya mobilitas di masyarakat. Untuk itu
diperlukan keseimbangan bagi model peran tradisional dalam pendidikan anak. Orang
tua pada masa sekarang memerlukan tenaga professional untuk memberikan
bimbingan guna merawat dan memelihara anak.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan
pertumbuhan dan perkembangan anak di periode salanjutnya (Dosman, Faap,
Andrews, & Frcpc, 2012). Pada usia 0-2 tahun merupakan masa tumbuh kembang
yang optimal (golden period) bila terjadi gangguan pada masa ini akan berpengaruh
negatif pada kualitas generasi penerus (Kesehatan & Indonesia, 2017). Pertumbuhan
anak yang sehat dipengaruhi oleh pengasuhan orang tua (Nur & Adriani, 2009).
Diperkirakan 1-3% anak mengalami keterlambatan perkembangan usia < 5 tahun
dengan 5-10% dalam 2 aspek perkembangan. Presentase gizi buruk di Jawa Timur
tahun 2016 sebesar 2,6% sedangkan gizi kurang sebesar 11% (RI, 2016). Cakupan
pemberian ASI Eksklusif tahun 2017 di Banyuwangi sebesar 74% belum memenuhi
target yang telah ditetapkan (77%) ( Jawa Timur, 2017). Pada tahun 2017 angka balita
yang mengalami gizi buruk di Banyuwangi sebesar 0.55 %. Berdasarkan laporan
Dinas Kesehatan Banyuwangi menunjukkan angka kematian bayi tahun 2017
sebanyak 111 setiap 1000 Kelahiran Hidup. Berdasarkan pemeriksaan KPSP
didapatkan data tahun 2015 terdapat 10 anak mengalami keterlambatan
perkembangan (Banyuwangi, 2018). Berdasarkan survei data awal didapatkan data
jumlah persalinan di Ruang Bersalin RSU Blambangan Banyuwangi Bulan Januari-
Juli 2018 terdapat 502 persalinan dengan rata-rata 83 persalinan setiap bulan dan
3

semua ibu yang melahirkan belum pernah diberikan anticipatory guidance. Kehidupan
awal anak dimulai dari orang tua, sehingga orang tua bertanggung jawab terhadap
masa depan anak (Hasinuddin, 2010). Setiap orang tua memanfaatkan pendidikan
kesehatan untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana mengasuh anak
(Thygesen et al., 2017). Konseling oleh petugas kesehatan dapat mengurangi perilaku
ibu pengenalan dini makanan padat pada bayi (< 6 bulan) (Kuo, Inkelas, Slusser,
Maidenberg, & Halfon, 2011). Anticipatory guidance adalah metode pendidikan yang
disediakan untuk memberikan bimbingan kepada orang tua baru sehingga anak
tumbuh dan berkembang optimal. Seorang anak sangat membutuhkan aktivitas
bermain yang akan mempermudah perkembangan kognisi anak (Atik Pramesti
Wilujeng, Leny Andiyati, 2017). Sebagai bagian dari tenaga kesehatan profesional,
perawat mempunyai peran yang penting dalam membantu memberikan bimbingan
dan pengarahan pada orang tua (Dosman et al., 2012). Keluarga membutuhkan
panduan tentang pentingnya memberikan stimulasi perkembangan pada anak
(Pediatrics, 2016).
Sebagai bagian dari tenaga professional perawatan kesehatan, perawat
mempunyai peran yang cukup penting dalam membantu memberikan bimbingan dan
pengarahan pada orang tua, sehingga setiap fase dari kehidupan anak yang
kemungkinan mengalami trauma. Bimbingan ini dapat berupa suatu bentuk  antisipasi
orang tua dalam mencegah terjadinya kecelakaan pada anak, makanan dan minuman
yang berguna dalam memenuhi kebutuhan nutrisi anak serta  pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur anak. Bentuk antisipasi ini secara keseluruhan berguna dan sangat
penting dalam menyeimbangkan kebutuhan anak  dan untuk menunjang proses
pertumbuhan dan perkembangan anak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Tumbuh Kembang?
2. Apa Tahapan Bermain anak?
3. Apa Pengertian Bimbingan Antisipasi?
4. Apa Pengertian Pencegahan Kecelakaan Pada Anak?
C. Tujuan
1. Mengetahui Tahapan Tumbuh Kembang Anak
2. Mengetahui Tahapan Bermain
4

3. Mengetahui Bimbingan Antisipasi pada Anak


4. Mengetahui Pencegahan Kecelakaan pada Anak

BAB II
Pembahasan
A. Hakikat Perkembangan
1. Pengertian Perkembangan
Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan perubahan ini tidak
bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan tidak ditekankan pada segi
material, melainkan pada segi fungsional. Menurut Yusuf Syamsu (2001: 15)5,
perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami oleh individu atau
organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang
berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan, baik menyangkut
fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah).
Adapun menurut Oemar Hamalik (2004: 84)6, perkembangan merujuk
kepada perubahan yang progresif dalam organisme bukan saja perubahan dalam
segi fisik (jasmaniah) melainkan juga dalam segi fungsi, misalnya kekuatan dan
koordinasi.
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Istilah pertumbuhan dan perkembangan seringkali digunakan seolah-olah
keduanya mempunyai pengertian yang sama, karena menunjukan adanya suatu
proses perubahan tertentu yang mengarah kepada kemajuan. Padahal sesungguhnya
istilah pertumbuhan dan perkembangan ini mempunyai pengertian yang berbeda.
Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan yang bersifat kuantitatif, sebagai
akibat dari adanya pengaruh luar atau lingkungan. Pertumbuhan mengandung arti
adanya perubahan dalam ukuran dan struktur tubuh sehingga lebih banyak
menyangkut perubahan fisik. Selain dari pengertian di atas, pertumbuhan dapat
didefinisikan pula sebagai perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses
pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada diri individu
yang sehat dalam fasefase tertentu. Hasil dari pertumbuhan ini berupa bertambah
panjang tulang-tulang terutama lengan dan tungkai, bertambah tinggi dan berat
badan serta makin bertambah sempurnanya susunan tulang dan jaringan syaraf.
Pertumbuhan ini akan terhenti setelah adanya maturasi atau kematangan pada diri
5

individu. Rendahnya derajat kesehatan dan gizi anak akan menghambat


pertumbuhan fisik dan motorik anak yang juga berlangsung sangat cepat pada
tahun-tahun pertama kehidupan anak.
Gangguan yang terjadi pada pertumbuhan fisik dan motorik anak, sulit
diperbaiki pada periode berikutnya, jika kondisi terus berlanjut, dapat
mengakibatkan cacat permanen. Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan
adalah suatu perubahan fungsional yang bersifat kualitatif, baik dari fungsi-fungsi
fisik maupun mental sebagai hasil keterkaitannya dengan pengaruh lingkungan.
Perkembangan dapat juga dikatakan sebagai suatu urutan-urutan perubahan yang
bersifat sistematis, dalam arti saling ketergantungan atau saling mempengaruhi
antara aspek-aspek fisik dan psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis.
Contoh, anak diperkenalkan bagaimana cara memegang pensil, membuat huruf-
huruf dan diberi latihan oleh orang tuanya.
3. Pembagian Fase-Fase Perkembangan
Aristoteles (384-322 S.M.) membagi masa perkembangan selama 21 tahun
dalam 3 septenia (3 periode kali 7 tahun), yang dibatasi oleh 2 gejala alamiah yang
penting; yaitu Pergantian gigi dan 2) munculnya gejala-gejala pubertas. Hal ini
didasarkan para paralelitas perkembangan jasmaniah dengan perkembangan jiwani
anak. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut:
0-7 tahun disebut sebagai masa anak kecil, masa bermain
7-14 tahun masa anak-anak, masa belajar, atau masa sekolah rendah
14-21 tahun masa remaja atau pubertas, masa peralihan dari anak menjadi orang
dewasa
Charlotte Buhler membagi masa perkembangan sebagai berikut:
a. Fase pertama, 0-1 tahun: masa menghayati obyek-obyek diluar diri sendiri,
dan saat melatih fungsi-fungsi. Terutama melatih fungsi motorik; yaitu fungsi
yang berkaitan dengan gerakan-gerakan dari badan dan anggota badan.
b. Fase kedua, 2-4 tahun: masa pengenalan dunia obyektif di luar diri sendiri,
disertai penghayatan subyektif. Mulai ada pengenalan pada AKU sendiri,
dengan bantuan bahasa dan kemauan sendiri. Anak tidak mengenal dunia luar
berdasarkan pengamatan obyektif, melainkan memindahkan keadaan batinnya
pada bendabenda diluar dirinya. Karena itu ia bercakap-cakap dengan
bonekanya, bergurau dan berbincang-bincang dengan kelincinya; seperti kedua
6

binatanag dan benda permainan itu betul-betul memiliki sifat-sifat yang


dimilikinya sendiri. Fase ini disebut sebagai fase bermain dengan subyektivitas
yang sangat menonjol
c. Fase ketiga, 5-8 tahun: masa sosialisasi anak. Pada saat ini anak mulai
memasuki masyarakat luas (misalnya taman kanak-kanak, pergaulan dengan
teman sepermainan dan sekolah rendah). Anak mulai belajar mengenal dunia
belajar secara obyektif. Dan ia mulai belajar mengenal arti prestasi dan tugas-
tugas kewajiban.
d. Fase keempat, 9-11 tahun: masa sekolah rendah. Pada periode ini anak
mencapai obyektivitas tertinggi. Kegiatan mencoba dan bereksperimen yang
didorong dengan rasa ingin tahu yang besar. Pada akhir fase ini anak mulai
“menemukan diri sendiri”, yaitu secara tidak sadar mulai berfikir tentang diri
pribadi. Pada waktu itu anak sering kali mengasingkan diri
e. Fase kelima, 14-19 tahun: masa tercapainya sikap ke dalam batin sendiri
dengan sikap keluar kepada dunia obyektif. Untuk kedua kali dalam
kehidupannya anak bersikap subyektif (subyektivitas pertama terdapat pada
fase kedua, yaitu usia 3 tahun) akan tetapi subyektivitas kedua kali dilakukan
secara tidak sadar.
Setelah berumur 16 tahun, pemuda dan pemudi mulai belajar melepaskan
diri dari persoalan tentang diri sendiri. Ia lebih mengarahkan kedalam
kehidupan yang lebih konkrit. Lambat laun akan terbentuk penyesuaian.
Diantara subyek dan obyek mulai terbentuk menjadi satu. Maka berakhir masa
perkembangan anak dan perkembangan dewasa lalu memasuki masa
kedewasaan.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan
1) Motivasi belajar anak
Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini, dengan memberikan
lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya adanya sekolah yang tidak
terlalu jauh, buku-buku, suasana yang tenang serta sarana lainnya.
2) Gizi anak
Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak. Untuk
tumbuh kembang diperlukan zat makanan yang adekuat seperti protein,
karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan air yang harus dikonsumsi secara
7

seimbang dengan jumlah yang sesuai kebutuhan pada tahapan usianya.


Kekurangan makanan yang bergizi akan menyebabkan retardasi pertumbuhan
anak, sedangkan kelebihan makanan juga tidak baik, karena dapat
menyebabkan obesitas. Kedua keadaan ini dapat meningkatkanmorbiditas dan
mortalitas anak.

3) Lingkungan Pengasuhan
Pada lingkungan pengasuhan interaksi ibu dan anak sangat mempengaruhi
perkembangan anak. Lingkungan atau orang tua mempunyai pengaruh lebih
besar dalam kecerdasan motorik kasar anak. Lingkungan dapat meningkatkan
atau menurunkan saraf kecerdasan anak terutama pada masa-masa pertama
kehidupannya. Dalam mengasuh anak orang tua cenderung menggunakan pola
asuh tertentu. Menurut Gerungan (2002) terdapat 3 macam pola asuh orang tua
yaitu demokratis, otoriter dan permisif.
4) Stimulasi Bermain
Stimulasi adalah perangsangan yang datang dari lingkungan-luar anak,
yang merupakan bagian dari kebutuhan anak yaitu asah atau kegiatan
merangsang kemampuan dasar anak umur 0-6 tahun agar anak tumbuh dan
berkembang optimal. Setiap anak perlu mendapatkan stimulasi rutin sedini
mungkin dan terus menerus pada setiap kesempatan (Nursalam, 2005).12
Beberapa tahun yang lalu, telah dikembangkan progam BKB (Bina Keluarga
dan Balita) dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) untuk anak-anak
prasekolah yang bertujuan untuk menstimulasi perkembangan anak sedini
mungkin. Alat pemainan edukatif (APE) adalah alat permainan yang berfungsi
untuk mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak, antara lain
motorik, bahasa, kecerdasan dan sosialisasi.progam BKB merupakan progam
yang menunjang progam-progam yang sudah ada di posyandu, dalam upaya
peningkatan kualitas tumbuh kembang anak. Bentuk dari stimulasi yaitu
bermain, permainan, Alat Permainan Edukatif (APE) dan teman bermain.

5. Perkembangan Intelektual
Perlu kita ketahui bahwa perkembangan intelektual anak pada usia dini
sangat berpotensi untuk menyerap berbagai macam hal baru. Untuk itu, kita harus
8

membimbing anak kita untuk bisa terus mengembangkan intelektualitasnya


dengan berbagai cara. Perkembangan intelektual anak bisa kita kembangkan
dengan musik. Memperdengarkan musik kalsik pada anak sejak usia dini bahkan
dari masa kandungan akan membantu anak mengembangkan kognitifitasnya.
Telah banyak ilmuan yang mengadakan penelitian mengenai hal ini dan dari
penelitian, musik klasik memang bisa merangsang intelektual anak dari usia dini.

6. Perkembangan Bahasa
Bicara merupakan salah satu alat komunikasi yang paling efektif.
Semenjak anak masih bayi sering kali dengan menggunakan bahasa tubuh dapat
memenuhi kebutuhannya. Namun hal tersebut kurang di mengerti oleh orang
dewasa apa yang dimaksud oleh anak. Oleh karena itu baik bayi maupun anak
kecil selalu berusaha agar orang lain mengerti maksudnya. Hal ini yang
mendorong orang untuk belajar berbicara dan membuktikan bahwa berbicara
merupakan alat komunikasi yang paling efektif dibandingkan dengan bentuk-
bentuk komunikasi yang lain yang dipakai anak sebelum pandai berbicara. Secara
garis besar ada dua ketrampilan berbahasa, yaitu ketrampilan bahasa lisan dan
ketrampilan bahasa tulis. Dan secara umum ketrampilan bahasa dibagi menjadi
empat, yaitu menyimak, bicara, membaca, menulis. Secara real, anak-anak perlu
untuk mempelajari ketrampilan bahasa terutama bahasa lisan.
Secara umum tahap-tahap dalam berbahasa anak yaitu:
1) Aquisition (akuisisi), merupakan bahasa pertama yang dipelajari oleh anak,
biasa disebut dengan bahasa ibu (menirukan dan mendengarkan) dan
merupakan bahasa lisan. Dimulai dari usia 0-6 tahun, bahasa yang dipelajari
ataupun yang digunakan merupakan kata benda, kata kerja, kata sifat, dan
kata-kata yang lain.
9

2) Learning (belajar), anak mulai belajar bahasa tulis dan dimulai setelah anak
lulus dari TK. Di TK anak belajar menulis ataupun membaca itu hanya
sebagai pembiasaan untuk melatih motorik anak.
7. Perkembangan Sosial dan Emosi
Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam hubungan dengan orang lain,
baik dengan teman sebaya, guru, orang tua maupun saudara-saudaranya. Saat
berhubungan dengan orang lain, terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat bermakna
dalam kehidupan anak yang dapat membentuk kepribadiannya, dan membentuk
perkembangannya menjadi manusia yang sempurna.
Perkembangan sosial adalah proses kemampuan belajar dan tingkah laku
yang berhubungan dengan individu untuk hidup sebagai bagian dari
kelompoknya. Di dalam perkembangan sosial, anak dituntut untuk memiliki
kemampuan yang sesuai dengan tuntutan sosial di mana mereka berada.
8. Perkembangan Psikoseksual
Menurut Arif (2005) membicarakan masalah psikoseksual sebenarnya
adalah membahasmasalah bertumbuh-kembangnya kepribadian sejalan
dengan pertumbuhan dan perkembangantubuh, di mana faktor seksualitas
memainkan peranan kunci. Maka teori Freud pun tak jauh dariistilah tersebut
Freud percaya energi psikoseksual, atau libido, digambarkan
sebagai kekuatanpenddorong di belakang perilaku. Menurut Freud kepribadian
sebagian besar dibentuk pada limatahun pertama dan akan berpengaruh
besar terhadap perkembangan selanjutnya di kemudianhari. Jika tahap-
tahap psikoseksual selesai dengan sukses, hasilnya adalah kepribadian
yangsehat. Freud membagi perkembangan psikoseksual menjadi 5 tahapan
1. Fase Oral Yaitu antara usia 0-1,5 tahun, dikatakan fase oral karena pada
masa ini bagi bayi, mulutmerupakan hal yang dapat memicu
kesenangannya dengan mencicipi atau menghisapsesuatu, contohnya
seperti menghisap tangannya sendiri atau payudara ibu.
2. Fase Anal Yaitu antara usia 1,5-3 tahun, pada tahap ini fungsi
utama libido adalah padapengendalian kandung kemih dan buang air
besar. Contohnya seperti melatih anak untukbuang air kecil atau besar ke
toilet dengan baik.
10

3. Fase PhallicYaitu antara usia 3-5 tahun, pada fase ini fokus utama libido
adalah pada alat kelamin.Yang terpenting pada fase ini yaitu munculnya oedipus
complex, yang diikuti oleh fenomenacastration anxiety (Kecemasan
terpotongnya penis) pada laki-laki dan penis envy(kecemburuan penis)
pada perempuan. oedipus complex yaitu ketika anak laki-laki
akanmenganggap ayahnya sebagai kompetitornya dalam berebut kasih sayang
ibunya, pun padaperempuan sebaliknya
4. Fase LatenYaitu antara usia 5-12 tahun/pubertas, pada fase ini libido
seakan “tidur” dan akanbangkit lagi dengan kekuatan penuh kelak di
masa pubertas tiba. Di fase ini, anak akanmemilingi rasa ingin tahu yang
besar tentang berbagai hal
5. Fase GenitalYaitu usia 12 tahun (pubertas) sampai seterusnya
merupakan tahap akhir daripsikoseksual. Pada fase ini seseorang akan
mengalami perubahan yang besar dalam dirimaupun dunianya, dan masa
ini pula seseorang akan mengembangkan minat seksual yangkuat pada lawan
jenis.
9. Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk
memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku (Slamet Suyanto, 2005: 67).
Mengingat moralitas merupakan factor penting dalam kehidupan manusia maka
manusia sejak dini harus mendapatkan pengaruh yang positif untuk menstimulasi
perkembangan moralnya.
1) Bayi
Seorang bayi belum memiliki kapasitas untuk mengembangkan
kecerdasan moralnya. Yang ia miliki hanyalah rasa benar dan salah terhadap
sesuatu yang berlaku untuk dirinya sendiri. Contohnya: Bagi bayi, rasa lapar
itu adalah salah, sehingga ia menangis saat lapar.
2) Batita
Menginjak satu tahun, anak belum memiliki kemampuan untuk menilai
sesuatu sebagai benar atau salah. Patokan baginya hanyalah apa yang mama
dan papa katakan padanya.
3) Prasekolah (3 - 7 tahun)
11

Inilah saat di mana anak mulai memasukkan nilai-nilai keluarga ke


dalam dirinya. Apa yang penting bagi mama dan papa juga akan menjadi
penting baginya. Di sinilah Anda mulai dapat mengarahkan perilakunya,
sehingga sesuai dengan aturan dalam keluarga. Dalam tahap inilah seorang
anak mulai memahami bahwa apa yang mereka lakukan akan memengaruhi
orang lain.
4) (7 - 10 tahun)
Otoritas orang dewasa (mama, papa, guru, dsb) tidak lagi terlalu
‘menakutkan’ buat anak usia sekolah. Mereka tetap tahu bahwa orang tua
adalah sosok yang harus ditaati, tetapi mereka juga tahu bahwa jika
melanggar aturan, maka mereka harus memperbaikinya.
Perasaan bahwa ‘ini benar’ dan ‘itu salah’ sudah mulai tertanam kuat
dalam diri mereka. Dan, satu lagi seperti yang telah dikatakan Nessi di atas,
anak usia sekolah ini juga mulai memilah mana saja perilaku yang akan
mendatangkan ‘keuntungan’ buat mereka.
5) Praremaja dan remaja
Di usia ini, anak akan berusaha untuk menjadi populer. Tekanan teman
sebaya dan nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya akan membuat mereka
terus memilah mana nilai-nilai akan menjadi bagian dari diri mereka.
Praremaja dan remaja mungkin akan terombang-ambing dan mencoba
nilai yang berbeda dengan nilai keluarga untuk melihat mana yang cocok.
Bisa jadi, nilai keluarga yang telah dianutnya sejak lama justru dibuang
karena ‘kalah’ dengan nilai baru yang dikenalnya di luar.

10. Pengkajian Pertumbuhan


Pemeriksaan dan pengukuran pertumbuhan dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu secara klinis yang dilakukan dalam pelayanan medis
maupun secara antropometris. Pemeriksaan secara klinis bertujuan untuk
membuat diagnosis tentang pertumbuhan dan status gizi anak dalam keadaan
sehat maupun sakit. Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan
laboratorium, radiologi serta antropometri.
12

DDST (Denver Developmental Screening Test) merupakan suatu


metode pengkajian yang digunakan untuk menilai perkembangan anak usia 0-6
tahun. Manfaat dari DDST adalah untuk menilai tingkat perkembangan anak
seuai umurnya dan memantau anak yang diperkirakan memiliki kelainan dalam
berkembang (Adriana, 2011).
1. Manfaat DDST Denver II dapat digunakan dengan tujuan untuk menilai
perkembangan anak yang tampak sehat dan anak yang tidak menunjukan adanya
masalah pekembangan sesuai dengan rentang usia (Adriana, 2011).
2. Isi DDST Denver II terdiri atas 125 item tugas perkembangan yang sesuai
dengan umur anak antara 0 samapi dengan 6 tahun dan dibagi kedalam beberapa
aspek yaitu kepribadian/tingkah laku sosial (personal sosial), gerakan motorik
halus (fine motor adaptive), perkembangan motorik kasar (gross motor), dan
perkembangan bahasa (language). Dalam perkembangan bahasa, anak diukur
kemampuan untuk berbicara spontan, memberikan respon terhadap suara, dan
mengikuti perintah. Bahasa meliputi segala bentuk komunikasi, baik secara
lisan, isyarat, ekspresi, bahasa tubuh, tulisan atau seni. Bahasa merupakan aspek
paling penting dan sering digunakan (Adriana, 2011)
3. Penentuan umur Menentukan umur sebagai patokan sebagai berikut; a. 1
bulan = 30-31 hari. b. 1 tahun = 12 bulan. c. Umur kurang dari 15 hari
dibulatkan kebawah. d. Umur lebih dari atau sama dengan 15 dibulatkan keatas.
e. Apabila anak lahir premature maka dilakukan pengurangan umur, missal
premature 6 minggu maka dikurangi 1 bulan 2 minggu. f. Apabila anak lahir
maju atau mundur 2 minggu tidak dilakukan penyesuaian umur g. Cara
menghitung umur adalah sebagai berikut: h. Tulis tanggal, bulan, dan tahun
dilaksanakan tes. i. Kurangi dengan cara bersususn dengan tanggal, bulan, tahun
kelahiran anak. j. Jika jumlah hari yang dikurangi lebih besar maka ambil
jumlah hari yang sesuai dengan bulan yang didepannnya (missal Oktober 31
hari, November 30 hari). k. Hasilnya adalah umur anak dalam tahun, bulan dan
hari.
4. Scoring penilaian tes
a. L = Lulus/ lewat = Passed/P Anak dapat melakukan item dengan baik atau
ibu/pengasuh memberi laporan tepat dan dapat di percaya bahwa anak dapat
melakukannya.
13

b. G = Gagal = Fail/F Anak tidak dapat melakukan item dengan baik atau
ibu/pengasuh memberi laporan bahwa anak tidak dapat melakukannya.
c. TaK = Tak ada Kesempatan = No Opportunity/NO Anak tidak memiliki
kesempatan untuk melakukan item karena ada hambatan.Skor ini digunakan
untuk kode L/Laporan orang tua/pengasuh anak. Misal pada anak retardasi
mental/ down syndrome.
d. M = Menolak = Refuse/R Anak menolak melakukan test karena faktor sesaat,
seperti lelah, menangis atau mengantuk.

4. Interpretasi nilai
a. Penilaian per item
1) Penilaian lebih/advance(perkembangan anak lebih) Termasuk kategori ini
ketika anak lulus pada uji coba item yang berada di kanan garis umur dan ketika
anak menguasai kemampuan anak yang lebih tua dari umurnya.
2) Penilaian OK atau normal Termasuk kategori normal ketika anak
gagal/menolak pada item di kanan garis umur, lulus atau gagal atau menolak
pada item di garis umur terletak diantara 25-75%.
3) Penilaian caution/peringatan Termasuk kategori ini ketika anak
gagal/menolak pada item dalam garis umur yang berada diantara 75-90%.Tulis
C disebelah kanan kotak.
4) Penilaian Delayed/keterlambatan Termasuk kategori ini bila gagal/menolak
pada item yang berada di sebelah kiri garis umur.
5) Penilaian Tidak ada Kesempatan Termasuk kategori ketika orang tua
laporkan bahwa anak tidak ada kesempatan untuk melakukan mencoba, dan
item ini tidak perlu diinterpretasikan.
b. Interpretasi tes Denver II
1) Normal Dikatakan normal saat tidak ada penilaian delayed (keterlambatan),
paling banyak 1 caution (peringatan), dan lakukan ulang pemeriksaan pada
control berikutnya.
2) Suspect Dikatakan suspect saat terdapat 2 atau lebih caution (peringatan),
terdapat 1 atau lebih delayed (terlambat) yang terjadi karena fail/kegagalan
14

bukan karena menolak/refuse. Dilakukan uji ulang 1-2 minggu kemudian untuk
menghilangkan rasa takut, sakit, dan lelah.
3) Untestable (tidak dapat di uji) Dikatakan untestable saat terdapat 1 atau lebih
skor delayed (terlambat), dan/atau terdapat 2 atau lebih caution(peringatan).
Dalam hal ini delayed atau caution kaeena penolakan/refuse bukan karena
kegagalan/fail. Dilakukan uji ulang 1-2 minggu kemudian.

B. Hakekat Bermain
Secara singkat dapat dikatakan bahwa perkembangan sosial anak adalah suatu
proses dalam kehidupan anak untuk berperilaku sesuai dengan norma atau aturan
dalam lingkungan kehidupan anak. Perilaku yang ditunjukkan oleh seorang anak
dalam lingkungan sosialnya sangat dipengaruhi oleh kondisi emosinya.
Perkembangan emosi seorang anak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Setiap anak di dunia ini memiliki hak untuk bermain. Bermain juga adalah
kegiatan pokok anak. Dengan bermain anak mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman yang membantu perkembangannya untuk menyiapkan diri dalam
kehidupan selanjutnya. Para ahli pendidikan menganggap bahwa bermain sebagai
kegiatan yang memiliki nilai praktis, artinya bermain digunakan sebagai media untuk
meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Bermain merupakan
jembatan bagi anak dari belajar informal menjadi formal. Dengan bermain, anak dapat
melakukan kegiatan sehingga semua aspek perkembangan dapat berkembang secara
maksimal. Bermain bukan hanya menjadi kesenangan saja, tetapi juga suatu
kebutuhan yang mau tidak mau harus terpenuhi. Menurut Cony Semiawan (dalam
Ismatul Khasanah dkk,2011:94) dalam kegiatan bermain, seluruh tahapan
perkembangan anak dapat berfungsi dan berkembang dengan baik dan hasil dari
perkembangan yang baik itu akan muncul dan terlihat pada saat si anak menginjak
masa remaja. Bermain, atau permainan sebagai aktivitas terkait dengan keseluruhan
diri anak, bukan hanya sebagian, namun melalui permainan (pada saat anak bermain)
anak akan terdorong mempraktekkan keterampilannya yang mengarahkan
15

perkembangan kognitif anak, perkembangan bahasa anak, perkembangan


psikomotorik, dan perkembangan fisik. Pengalaman bermain akan mendorong anak
untuk lebih kreatif. Mulai dari perkembangan emosi, kemudian mengarah ke
kreativitas bersosialisasi.
1. Fungsi dan Manfaat Bermain
Menurut Ismatul Khasanah, Agung Prasetyo & Ellya Rakhmawati (2011:94-
95), bermain memiliki fungsi yang sangat luas bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak, baik secara fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, maupun psikomotorik.
Perkembangan secara fisik, seperti keterampilan motorik kasar, menjadi lebih
fleksibel dalam berlari, melompat, memanjat, berguling, berputar, dan lain
sebagainya. Keterampilan motorik halusnya meningkat, pada saat anak menyentuh,
meraba, memegang suatu benda (alat permainan), secara spontan hal ini akan
mengantarkan anak dalam kesiapan menggambar, mewarnai, memegang pensil atau
krayon, menyuap makanan sendiri, mengikat tali sepatu dan lain-lain. Perkembangan
kognitif, yaitu keterampilan anak dalam berfikir. Pada saat bermain dengan teman
sebaya, anak akan belajar membangun pengetahuannya sendiri dari interaksi.
Mereka dapat menyelesaikan masalah yang ditemukan pada saat bermain, sehingga
anak dapat terlatih untuk berfikir logik. Bermain penting untuk Perkembangan
bahasa anak. Pada saat anak bermain, ketika kemampuan kognitifnya tumbuh dan
berkembang, anak mulai berfikir secara simbolik melalui pemerolehan dan
penggunaan bahasa. Perkembangan psikologis yaitu pemahaman diri, ketika anak
tumbuh secara kognitif dan fisik, ia akan mulai menyadari keberadaan dirinya.
Dalam sosial emosional, yaitu kemampuan anak berbagi rasa, secara psikologis anak
telah melewati masa-masa sulit (bereaksi dengan menangis) dan dapat
menyampaikan pesan dan perasaannya, keinginannya, kemauannya dengan tepat.
Dengan bermain anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, baik teman
sebaya, ataupun orang dewasa. Keterampilan sosial ini akan terus bertambah ketika
ia mulai berhubungan dengan lebih banyak orang lagi di lingkungan yang lebih luas.
Ada 5 (lima) manfaat nyata dari bermain, yaitu manfaat motorik, afektif,
kognitif, spiritual, dan keseimbangan. Manfaat motorik adalah manfaat yang
berhubungan dengan nilainilai positif mainan yang terjadi pada fisik/jasmaniah anak.
Biasanya hal ini berhubungan dengan unsur-unsur kesehatan, keterampilan,
ketangkasan, maupun kemmpuan fisik tertentu. Manfaat afeksi yaitu manfaat
16

mainan yang berhubungan dengan perkembangan psikologis anak. Unsur-unsur


yang mencakup dalam kelompok ini, antara lain naluri/insting, perasaan, emosi,
sifat/karakter/ watak, maupun kepribadian seseorang. Manfaat kognitif adalah
mannfaat mainan untuk perkembangan kecerdasan anak. Biasanya, ini berhubungan
dengan kemampuan imajinasi, pembentukan nalar, logika, maupun pengetahuan-
pengetahuan sistematis (zulvia Trinova, 2012:211).
2. Ciri-Ciri Bermain dan Karakteristik Bermain
Bermain memiliki ciri-ciri yang khas yang membedakannya dari kegiatan lain.
Kegiatan bermain pada anak-anak memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
a) Bermain selalu menyenangkan (pleasurable), menikmatkan atau menggem-
birakan (enjoyable).
b) Bermain tidak bertujuan ekstrinsik, motivasi bermain adalah intrinsik dari diri
anak.
c) Bermain bersifat spontan dan sukarela, bukan karena terpaksa.
d) Bermain melibatkan peran aktif semua peserta sesuai peran dan gilirannya
masingmasing.
e) Bermain bersifat fleksibel, anak dapat dengan bebas memilih dan beralih ke
kegiatan bermain apa saja yang mereka inginkan. Adakalanya anak berpindah-
pindah dari satu kegiatan bermain ke kegiatan bermain lainnya yang tidak terlalu
lama (Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 6 – 8).
Bermain pada masa anak- anak mempunyai karakteristik tertentu yang
membedakannya dari permainan orang dewasa. Menurut Hurlock (1995: 322- 326)
karakteristik permainan pada masa anak- anak adalah sebagai berikut:
a) Bermain dipenguhi tradisi. Anak kecil menirukan permainan anak yang lebih
besar, yang menirukan dari generasi anak sebelumnya. Jadi dalam setiap
kebudayaan, satu generasi menurunkan bentuk permainan yang paling
memuaskan kegenerasi selanjutnya.
b) Bermain mengikuti pola yang dapat diramalkan. Sejak masa bayi hingga masa
pematangan, beberapa permainan tertentu populer pada suatu tingkat usia dan
tidak pada usia lain, tanpa mempersoalkan lingkungan, bangsa, status sosial
ekonomi dan jenis kelamin. Kegiatan bermain ini sangat populer secara universal
dan dapat dirmalkan sehingga merupakan hal yang lazim untuk membagi masa
tahun kanak-kanak kedalam tahapan yang lebih spesifik. Berbagai macam
17

permainan juga mengikuti pola yang dapat diramalkan. Misal, permainan balok
kayu dilaporkan melalui empat tahapan. Pertama, anak lebih banyak memegang,
menjelajah, membawa balok dan menumpuknya dalam bentuk tidak teratur;
kedua, membangun deretan dan menara; ketiga, mengambangakan teknik untuk
membangun rancanganyang lebih rumit; keempat, mendramatisir dan
menghasilkan bentuk yang sebenarnya.
c) Ragam kegiatan permainan menurun dengan bertambahnya usia. Ragam kegiatan
permainan yang dilakukan anak-anak secara bertahap berkurang dengan
bertambahnya usia. Penurunan ini disebabkan oleh sejumlah alasan. Anak yang
lebih besar kurang memiliki waktu untuk bermain dan mereka ingin
menghabiskan waktunya dengan cara menimbulkan kesenangan terbesar. Dengan
meningkatnya lingkungan perhatian, mereka dapat memusatkan perhatiannya
pada kegiatan bermain yang lebih panjang ketimbang melompat dari satu
permainan kepermainan lain seperti yang dilakukan seperti usia yang lebih muda.
Anak-anak meninggalkannya dengan alasan karena telah bosan atau
menganggapnya kekanak-kanakan.
d) Bermain menjadi semakin sosial dengan meningkatnya usia. Dengan
bertambahnya jumlah hubungan sosial, kualitas permaianan anak-anak menjadi
lebih sosial. Pada saat anak-anak mencapai usia sekolah, kebanyakan mainan
mereka adalah sosial, seperti yang ada dalam kegiatan bermain kerja sama, tetapi
hal ini dilakukan apabila mereka telah memiliki kelompok dan bersamaan dengan
itu, timbul kesempatan untuk belajar berteman dengan cara sosial.
e) Jumlah teman bermain menurun dengan bertambahnya usia. Pada fase
prasekolah, anak menganggap semua anggota kelompok sebagai teman bermain,
setelah menjadi anggota gang, semua beruabah. Mereka ingin bermain dengan
kelompok kecilnya itu dimana anggotanya memiliki perhatian yang sama dan
permianannya menimbulkan kepuasan tertentu bagi mereka.
f) Bermain semakin lebih sesuai dengan jenis kelamin. Anak laki-laki tidak saja
menghindari teman bermain perempuan pada saat mereka masuk sekolah, tetapi
juga menjauhkan diri dari semua kegiatan bermain yang tidak sesuai dengan jenis
kelaminnya.
g) Permainan masa kanak-kanak berubah dari tidak formal menjadi formal.
Permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Mereka bermain kapan saja
18

dan dengan mainan apa saja yang mereka sukai, tanpa memperhattikan tempat
dan waktu. Mereka tidak membutuhkan peralatan atau pakaian khusus untuk
bermain. Secara bertahap menjadi semakin formal.
h) Bermain secara fisik kurang aktif dengan bertambahnya usia. Perhatian anak
dalam permainan aktif mencapai titik rendahnya selama masa puber awal. Anak-
anak tidak saja menarik diri untuk bermain aktif, tetapi juga menghabiskan sedikit
waktunya untuk membaca, bermain dirumah atau menonton televisi. Kebanyakan
waktunya dihabiskan dengan melamun - suatu bentuk bermain yang tidak
membutuhkan tenaga banyak.
i) Bermain dapat diramalkan dari penyesuaian anak. Jenis permainan, variasi
kegiatan bermain, dan jumlah waktu yang dihabiskan untuk bermain secara
keseluruhan merupakan petunjuk penyesuaian pribadi dan sosial anak.
j) Terdapat variasi yang jelas dalam permainan anak. Walau semua anak melalui
tahapan bermain yang serupa dan dapat diramalkan, tidak semua anak bermaian
dengan cara yang sama pada usia yang sama. Variasi permainan anak dapat
ditelusuri pada sejumlah faktor.
3. Klasifikasi Bermain
Bermain dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu berdasarkan isi
permainan dan berdasarkan klasifikasi sosialnya.
Menurut isi permainan, bermain dibagi menjadi enam jenis yaitu :
a. Social of Affective Play
Sosial affective play : hub interpersonal yg menyenangkan antara anak dgn
orla (EX : ciluk Baa. Dalam permainan ini, anak belajar memberi respon terhadap
stimulus yang diberikan olehlingkungan.
Contoh : Orang tua mengajak bermain ciluk baa, maka anak memberi respon
tertawa, tersenyum.
b. Sense of Pleasure Play
Sense of pleasure play : permaianan yg sifatnya memberikan kesenangan pada
anak (EX : main air dan pasir. Anak memberi perhatian, menstimulasi indera
mereka dan memperoleh kesenangan dari objek yang ada di sekitarnya. Objek
tersebut seperti : cahaya, warna, rasa, aroma, tekstur, dan konsistensi dari suatu
benda. Kesenangan tersebut dapat diperoleh dengan memegang objek
tersebut.Contoh : anak bermain boneka yang mengeluarkan suara apabila di
goyang.
c.  Skill Play
19

Skiil play : permainan yg sifatnya memberikan keterampilan pada anak (EX:


naik sepeda).
Permainan ini memberi kesempatan pada anak untuk belajar keterampilan
tertentu dan anak akan belajar secara berulang-ulang. Contoh : anak belajar
memegang sendok berukuran kecil.
d. Unoccupied behaviour
Unoccupied behaviour: anak tidak memainkan alat permainan tertentu, tapi
situasi atau objek yang ada disekelilingnya , yg digunakan sebagai alat
permainan (EX : jinjit jinjit, bungkuk- bungkuk, memainkan kursi, meja
dsb).Anak tidak bermain scara penuh, namun hanya berfokus sebentar pada hal-
hal yang menarik perhatiannya. Contoh : anak memukul-mukul meja atau kursi
yang dilewatinya.

e. Dramatic Play
Dramatik Role play : anak bermain imajinasi/fantasi (EX : dokter dan
perawat)
Anak berfantasi dengan menjalankan peran tertentu yang mereka lihat dalam
kesehariannya. Contoh : anak bermain sebagi dokter, atau bermain dagang-
dagangan.
f. Games
Games : permaianan yg menggunakan alat tertentu yg menggunakan
perhitungan / skor (EX : ular tangga). Anak memilih jenis permainan apakah
permainan yang melibatkan orang lain atau anak bermain sndiri. Contoh : anak
bermain puzzel gambar atau menyusun lego.
4. Klasifikasi Bermain  Menurut Sosial:
a. Onlooker Play
Onlooker play : anak hanya mengamati temannya yg sedang bermain, tanpa
ada inisiatif utk ikut berpartisifasi dlm permainan(EX : Congklak).
Anak hanya mengamati hal yang menarik perhatiannya tanpa mau terlibat atau
anak hanya menjadi penonton yang aktif. Contoh : anak mengamati anak-anak
lain bermain sepeda.
b. Solitary Play
Solitary play : anak tampak berada dlm klp permaianan, tetapi anak bermain
sendiri dgn alat permainan yg dimilikinya. Anak asyik bermain sendirian, namun
terdapat anak lain dengan mainan yang berbeda tetapi dalam area yang sama.
c. Parallel Play
Parallel play : anak menggunakan alat permaianan yg sama, tetapi antara satu
anak dgn anak lain tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga antara anak satu
dgn lainya tida ada sosialisasi. Jenis permainan ini biasanya dilakuan oleh toddler
20

atau balita, dimana masing-masing anak memiliki mainan yang sama, berada
dalam satu area, namun tidak ada interaksi dan tidak saling bergantung pada anak.
Contoh : anak mengamati anak-anak lain bermain sepeda.
d. Assosiative Play
Associative play : permeianna ini sudah terjadi komunikasi antara satu anak
dgn anak lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada pemimpin.
Merupakan tipe bermain dimana anak bermain dalam kelompok, dengan
aktivitas yang sama, dapat saling meminjamkan mainan, tetapi belum teorganisir
dengan baik. Anak bermain sesuai keinginan masing-masing. Contoh : anak
bermain robot-robotan, mobil-mobilan, anak bermain masak-masakan.
e. Cooperatif Play
Cooperative play : aturan permainan dlm klp tampak lebih jelas pada
permaiann jenis ini, dan punya tujuan serta pemimpin (EX : main sepak
bola). Merupakan tipe bermain dimana anak bermain dalam kelompok dengan
permainan yang terorganisir, terencana dan ada aturan tertentu. Contoh : anak
bermain petak umpet.

5. Alat Permainan Edukatif


Secara umum, Alat Permainan Edukatif (APE) merupakan alat-alat
permainan yang dirancang dan dibuat untuk menjadi sumber belajar anak-anak usia
dini agar mendapatkan pengalaman belajar. Pengalaman ini akan berguna untuk
meningkatkan aspek-aspek perkembangan anak yang meliputi aspek fisik/motorik,
emosi, sosial, bahasa, kognitif dan moral. Alat Permainan Edukatif dapat
mengoptimalkan perkembangan anak disesuaikan dengan usia dan tingkat
perkembangannya.
Menurut Suryadi (2007), bahwa manfaat mainan edukatif sebagai berikut:
a. Melatih kemampuan motoric
Stimulasi untuk motorik halus diperoleh saat menjumput mainan, meraba,
memegang dengan kelima jarinya, dan sebagainya, sedangkan rangsangan
motorik kasar didapat anak saat menggerakkan mainannya, melempar,
mengangkat dan sebagainya.
b. Melatih Konsentrasi
Mainan edukatif dirangsang untuk menggali kemampuan anak, termasuk
kemampuannya dalam berkonsentrasi. Saat menyusun puzzel katakanlah anak
dituntut untuk fokus pada gambar atau bentuk yang ada di depannya, ia tidak
berlari-larian atau melakukan aktifitas fisik lain sehingga konsentrasinya bisa
lebih tergali. Tanpa konsentrasi, bisa saja hasilnya tidak memuaskan.
21

c. Mengembangkan Konsep Sebab Akibat


Contohnya dengan memasukkan benda kecil ke dalam benda yang besar,
anak akan memahami bahwa benda yang lebih kecil bisa dimuat ke dalam benda
yang lebih besar. Sedangkan benda yang lebih besar tidak bisa masuk ke dalam
benda yang lebih kecil. Ini adalah pemahaman konsep sebab akibat yang sangat
dasar.
d. Melatih Bahasa dan Wawasan
Permainan edukatif sangat baik bila diikuti dengan penuturan cerita. Hal ini
akan memberikan manfaat tambahan buat anak, yakni meningkatkan
kemampuan bahasa juga keluasan wawasan.
e. Mengenalkan Warna Bentuk
Dari mainan edukatif, anak dapat mengenal ragam/variasi bentuk dan warna.
Ada benda berbentuk kotak, segi empat, bulat, dengan berbagai warna, biru,
merah, hijau dan lainnya.

Pada dasarnya bentuk dan jenis permainan edukatif tidak terbatas, namun
perlu diperhatikan bahwa dalam memilih permainan edukatif orangtua perlu
mempertimbangkan hal-hal berikut :
a. Usia dan minat anak. Agar bermain benar-benar berfungsi sebagai bagian yang
sangat penting bagi tumbuh kembang anak, jadi tidak justru menghambat tumbuh
kembang mereka.
b. Keamanan dari permainan tersebut (tidak tajam, tidak ada bagian-bagian yang
dapat melukai anak dan tidak mengandung zat yang berbahaya).
c. Pentingnya keterlibatan orang tua atau anggota keluarga dalam proses bermain,
agar dapat melindungi mereka dari hal-hal yang dapat merugikan tumbuh
kembang mereka atau dari hal-hal yang mematikan kreativitas atau minat anak
terhadap lingkungan.
d. Tidak selalu permainan yang mahal lebih edukatif dari permainan yang
sederhana.
e. Mudah dibongkar pasang. Alat permainan yang mudah dibongkar pasang, dapat
diperbaiki sendiri, lebih ideal daripada mobil-mobilan yang dapat bergerak
sendiri. Alat-alat permainan yang dijual di toko-toko (built-in) lebih banyak
menjadi bahan tontonan daripada berfungsi sebagai alat permainan. Anak-anak
22

tidak tertarik oleh bagus dan sempurnanya alat-alat permainan yang diproduksi di
pabrik tersebut.
f. Dapat mengembangkan daya fantasi. Alat permainan yang sifatnya mudah
dibentuk dan diubah-ubah sangat sesuai untuk mengembangkan daya fantasi,
yang memberikan kepada anak kesempatan untuk mencoba dan melatih daya-
daya fantasinya. Sesuai dengan ajaran pendidikan modern, alat-alat yang dapat
menunjang perkembangan fantasi itu misalnya bak pasir, tanah liat, kertas dan
gunting. Jumlah alat-alat itu masih dapat ditambah lagi dengan kapur berwarna,
papan tulis dan sebagainya (Abdul Khobir, 2009: 203)

6. Terapi Bermain di Rumah Sakit


Kebutuhan bermain tidak berhenti pada saat anak-anak sakit atau di rumah
sakit. Sebaliknya, bermain di rumah sakit memberikan manfaat utama yaitu
meminimalkan munculnya masalah perkembangan anak, selain itu tujuan terapi
bermain adalah untuk menciptakan suasana aman bagi anak-anak untuk
mengekspresikan diri mereka, memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi,
mempelajari aturan sosial dan mengatasi masalah mereka serta memberikan
kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan mencoba sesuatu yang baru.
Adapun tujuan terapi bermain di rumah sakit adalah agar anak dapat melanjutkan
fase tumbuh kembang secara optimal, mengembangkan kreativitas anak sehingga
anak dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stress. Terapi bermain dapat membantu
anak menguasai kecemasan dan konflik karena ketegangan akan berkurang dengan
permainan, anak dapat menghadapi masalah kehidupan, memungkinkan anak
menyalurkan kelebihan energi fisik dan melepaskan emosi yang tertahan. Selain itu,
terapi bermain mampu meningkatkan kerjasama anak dengan petugas kesehatan
23

selama perawatan. Terapi bermain di rumah sakit bermanfaat untuk memberikan


pengalihan dan menimbulkan relaksasi.
Tempat bermain untuk pasien di rumah sakit bisa di dalam kamar pasien
ruangan khusus atau di halaman, tergantung dari situasi dan kondisi anak. Namun,
sebaiknya dilakukan di ruang bermain untuk memberikan kesan santai pada anak
dan anak merasa lebih aman dan nyaman bermain. Untuk bayi usia 0-1 tahun
bermain bisa dilakukan diatas tempat tidur pasien.
a. Prinsip Terapi Bermain di Rumah Sakit
1) Tidak boleh bertentangan dengan terapi dan perawatan yang sedang berjalan.
2) Tidak membutuhkan energi yang banyak.
3) Harus mempertimbangkan keamanan anak.
4) Dilakukan pada kelompok umur yang sama.
5) Melibatkan orang tua atau keluarga.
b. Bermain dalam prosedur Rumah Sakit
1) Bermain bahasa
a) Sebutkan kata kerja yang ditemukan di rumah sakit dan apa yang mereka
lakukan kenali gambar dan kata mengenai peralatan di rumah sakit.
b) Sebutkan peralatan yang ditemukan di rumah sakit.
c) Minta anak menggambar ”bagian tubuh saya yang sakit”, “perawat saya”,
“dokter saya”, “teman sekamar saya”, dan “kamar saya”.
d) Minta anak menulis: “sesuatu yang saya suka dan tidak suka di rumah sakit”,
“nasihat untuk dokter atau perawat”.
2) Ilmiah
a) Pelajari tentang sistem tubuh. Sebutkan, urutkan berdasarkan abjad, buat
sebuah gambar, dan buat organ dari lilin mainan.
b) Pelajari nutrisi secara umum dan alasan untuk diet khusus.
c) Definisikan bagaimana cara kerja obat, traksi dan gips, serta bagaimana
kesembuhan itu memerlukan waktu.

C. Pengertian Bimbingan Antisipasi


Telah dikemukakan bahwa perawat mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk membantu orang tua memahami tumbuh kembang anak dan melakukan berbagai
upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan anak. Bimbingan
24

antisipasi atau anticipatory guidance adalah bantuan perawat terhadap orang tua dalam
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan melalui upaya pertahanan nutrisi yang
adekuat, pencegahan kecelakaan, dan supervisi kesehatan. Anak mempunyai
karakteristik yang khas yang memerlukan kecermatan orang tua untuk mengenalinya
sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang potensial dialami anak (Yupi,
2004).

Anticipatory guidance adalah upaya bimbingan kepada orang tua tentang


tahapan perkembangan sehingga orang tua sadar akan apa yang terjadi dan dapat
memenuhi kebutuhan sesuai dengan usia anak. Kecelakaan merupakan kejadian yang
dapat menyebabkan kematian pada anak. Kepribadian adalah faktor pendukung
terjadinya kecelakaan. Orang tua bertanggungjawab terhadap kebutuhan anak,
menyadari karakteristik perilaku yang menimbulkan kecelakaan waspada terhadap
faktor-faktor lingkungan yang mengancam keamanan anak (Yupi, 2004).

1. Fungsi serta Tujuan Bimbingan Konseling

Menurut sifatnya layanan bimbingan dan konseling dapat berfungsi sebagai


berikut :

a. Fungsi pencegahan (preventif)


Layanan bimbingan dan konseling berfungsi sebagai pencegahan
artinya bimbingan dan konseling merupakan suatu usaha pencegahan terhadap
timbulnya masalah. Layanan yang diberikan dalam fungsi pencegahan ini berupa
pelayanan bantuan dari berbagai permasalahan yang mungkin timbul agar masalah
tersebut tidak menghambat program atau kegiatan dan perkembangannya.
Kegiatan yang berfungsi pencegahan tersebut dapat berupa program informasi,
orientasi, interventarisasi data atau pengkajian data, analisis data dan sebagainya.
b. Fungsi pemahaman
Bimbingan dan konseling yang mempunyai fungsi pemahaman ini
dimaksudkan untuk menghasilkan pemahaman tentang sesuatu oleh individu atau
25

klien sesuai dengan kepentingan individu dan atau kelompok yang mendapat
pelayanan tersebut. Pemahaman ini mencakup hal-hal berikut :

1. Pemahaman tentang diri klien

2. Pemahaman tentang lingkungan klien

3. Pemahaman tentang lingkungan yang lebih luas c. Fungsi perbaikan dan


pengantasan

c. Fungsi pencegahan dan pemahaman telah dilaksanakan dengan baik, tetapi


mungkin saja masih ada atau masih terjadi masalah-masalah lain. Fungsi
perbaikan dalam bimbingan dan konseling adalah bagaimana klien atau kelompok
dapat memecahkan dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
d. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan
Fungsi konseling menyiratkan bahwa layanan bimbingan dan konseling
yang diberikan bermanfaat bagi klien dalam memelihara dan mengembangkan
keseluharan pribadinya dengan percaya diri, terarah dan berkelanjutan sehingga
klien dapat mempertahankan hal-hal yang dipandang positif.

e. Fungsi adovokasi
Fungsi konseling yang menghasilkan kondisi pembelaan terhadap
pengingkaran atas hak-hak dan atau kepentingan pendidikan atau informasi
perkembangan atau perawatan biologis-psikologis-sosial-spiritual yang dialami
klien atau pengguna pelayanan konseling.

Menurut Surya dalam buku Boy S dan Sutijono (2005) dinyatakan bahwa
terdapat beberapa tujuan konseling yaitu sebagai berikut :

a. Perubahan perilaku
Para ahli behaviorisme mengatakan orang yang bermasalah adalah mereka
yang mempunyai perilaku yang tidak diinginkan oleh lingkungan, sehingga orang
tersebut akan mengubah perilaku yang bermasalah itu menjadi perilaku yang
bermasalah itu menjadi perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan.
b. Kesehatan mental yang positif
26

Umumnya orang datang keruang konseling dengan membawa “penyakit


mental” melalui terapi konseling diharapkan klien akan dapat meningkatkan
kesehatan mentalnya menuju yang lebih positif.
c. Pemecahan masalah
Sebagian klien datang keruang konseling dengan tujuan meminta bantuan
kepada konselor agar dapat konselor agar dapat memecahkan masalahnya. Mereka
beranggapan bahwa setelah menceritakan masalahnya maka tugas tugas
konselorlah yang menyelesaikannya.
d. Keefektifan personal
Blocher (dalam Soedarmadji, Boy dan Sutijono, 2005) menyatakan bahwa
pribadi yang efektif adalah pribadi yang sanggup memperhitungkan diri, waktu dan
tenaganya serta bersedia memikul resiko-resiko ekonomis, psikologis, dan fisik.
Semakin efektif seseorang dalam menghadapi permasalahannya, maka semakin
mudah bagi mereka untuk menjalankan kehidupannya.
e. Pengambilan keputusan
Banyak ahli berpendapat bahwa tujuan konseling yang utama adalah
pengambilan keputusan (decision making ). Reaves dan Reaves (dalam
Soedarmadji, Boy dan Sutijono, 2005) menyatakan bahwa tujuan utama dalam
konseling adalah menstimulasi individu untuk mengevaluasi, membuat, menerima
dan berbuat atas pilihannya. Oleh karena itu, konseling membantu individu
mempelajari apa yang perlu dipilih dan selanjutnya membuat pilihan.

2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kecelakaan


Fakor pertama yang menyebabkan kecelakaan pada anak adalah jenis
kelamin, biasanya lebih banyak pada laki-laki karena lebih aktif di rumah. Faktor
kedua yaitu usia, pada kemampuan fisik dan kognitif, semakin besar akan
semakin tahu mana yang berbahaya. Faktor ketiga adalah lingkungan, adanya
penjaga atau pengasuh cenderung dapat mengurangi angka kejadian kecelakaan pada
anak (Yupi, 2004).
3. Panduan Antisipasi
1) Bayi (Nursalam dkk, 2008)
Jenis kecelakaan: Aspirasi benda, jatuh, luka bakar, keracunan, kurang oksigen.
27

Pencegahan :
a. Aspirasi: posisikan kepala bayi lebih tinggi saat menyusui
b. Kurang oksigen: ibu jangan menyusui bayi dengan posisi tidur, sebaiknya saat
menyusui posisi ibu duduk
c. Jatuh: tempat tidur ditutup, pengaman (restrain), jangan meletakkan bayi di
kursi atau tempat yang terlalu tinggi
d. Luka bakar: cek air mandi sebelum dipakai
e. Keracunan: simpan bahan beracun dilemari atau jauh dari jangkauan.
2) Antisipasi 6 Bulan Pertama
a. Menganjurkan orang tua untuk membuat jadwal dalam memenuhi kebutuhan
bayi
b. Membantu orang tua untuk memahami kebutuhan bayi terhadap stimulasi dari
lingkungan
c. Support kesenangan orang tua dalam melihat
pertumbuhan dan perkembangan bayinya misalnya respon tertawa
d. Menyiapkan orang tua untuk kebutuhan keamanan bayi
e. Menyiapkan orang tua untuk imunisasi bayi
f. Menyiapkan orang tua untuk mulai memberi makanan padat pada bayi.

3) Antisipasi 6 Bulan Kedua


a. Menyiapkan orang tua akan adanya “Stranger Anxiety”
b. Menganjurkan orang tua agar anak dekat kepadanya hindari perpisahan yang
lama
c. Membimbing orang tua agar menerapkan disiplin sehubungan dengan
meningkatnya mobilitas bayi
d. Menganjurkan orang tua menggunakan “kontak mata” dari pada hukuman
badan sebagai suatu disiplin
e. Menganjurkan orang tua untuk lebih banyak memberikan perhatian ketika bayi
berkelakuan baik daripada ketika ia menangis.
4) Balita (1-3 Tahun)
Pada usia balita atau masa prasekolah awal, ada dua masalah penting yang
terjadi yaitu “latihan pipis dan buang air besar (toilet training )” dan “persaingan
28

dengan saudara kandung ( sibling rivalry)”. Oleh karena itu, sebeblum membahas
mengenai petunjuk bimbingan yang diperlukan, akan dijelaskan terlebih dahulu
mengenai toilet training dan sibling rivalry agar dapat membantu orang tua
memahami permasalahan anaknya mengenai fungsi eliminasi (Nursalam dkk,
2008).
a. Toilet Training
Toilet Training adalah latihan atau upaya yang harus dicapai oleh anak
dalam mengenali dorongan untuk melepaskan atau menahan BAB dan BAK,
serta mampu mengkomunikasikan kepada ibunya. Pada waktu ini, anak sudah
menguasai kemampuan motorik utama yaitu berkomunikasi dengan jelas,
memiliki lebih sedikit konflik antara tuntutan diri sendiri dengan negativisik,
dan menyadari kemampuannya untuk mengendalikan diri (Nursalam dkk,
2008).
b. Sibling Rivalry
Sibling Rivalry atau persaingan dengan saudara kandung adalah
perasaan cemburu yang biasanya dialami oleh seorang anak terhadap
kehadiran saudara kandungnya. Perasaan tersebut timbul bukan karena
benci terhadap saudara barunya, akan tetapi lebih pada perubahan situasi
dan kondisi. Anak harus berpisah dengan ibu semenjak masa kehamilan ibu,
oleh karena itu orang tua harus menjelaskan kepada anak tentang hadirnya
saudara baru serta mengikutsertakan anak dalam memenuhi keperluan
saudaranya yang akan segera lahir (Nursalam dkk, 2008).
4. Kelompok Usia Bimbingan
Bimbingan kepada orang tua selama balita dikelompokkan berdasarkan
kelompok usia sebagai berikut (Nursalam dkk, 2008):
a. Umur 12-18 Bulan (1-1,5 Tahun)
1) Mengkaji kebiasaan makan serta meningkatkan pemasukan makanan padat
2) Menyediakan makanan kecil antara 2 waktu makan dengan rasa yang disukai,
serta adanya jadwal makan yang rutin
3) Mengkaji pola tidur malam, terutama kebiasaan minum malam memakai botol
yang merupakan penyebab utama gigi berlubang
4) Menyiapkan orang tua untuk mencegah bahaya potensial yang terjadi dirumah
seperti jatuh
29

5) Mendiskusikan mainan baru yang dapat mengembangkan motorik halus,


motorik kasar, bahasa, pengetahuan, dan keterampilan sosial.
b. Umur 18-24 Bulan (1,5 - 2 Tahun)
1) Menggali kebutuhan untuk menyiapkan saudara kandung dan menekankan
pentingnya persiapan anak terhadap kehadiran bayi baru
2) Menekankan kebutuhan akan pengawasan terhadap gigi, serta kebiasaan
makan yang menyebabkan gigi berlubang
3) Mendiskusikan tanda-tanda kesiapan toilet training
4) Mendiskusikan berkembangnya rasa takut, seperti saat gelap dan saat timbul
suara keras
5) Mengkaji kemampuan anak untuk berpisah sesaat dengan mudah dari orang
tuanya di bawah asuhan keluarga
c. Umur 24-36 Bulan (2-3 Tahun)
1) Mendiskusikan pentingnya kebutuhan anak dalam meniru dan dilibatkan
dalam kegiatan
2) Mendiskusikan kegiatan yang dilakukan dalam toilet training , dan sikap
orang tua dalam menghadapi keadaan-keadaan seperti mengompol atau buang
air besar di celana
3) Menekankan keunikan proses berpikir balita, terutama bahasa yang
digunakan, serta pemahaman terhadap waktu
4) Menekankan disiplin dengn tetap terstruktur secara benar dan nyata, ajukan
alasan yang rasional, serta hindari kebingungan dan salah pengertian
5) Mendiskusikan adanya taman kanak-kanak atau pusat penitipan anak pada
siang hari ( play group)
d. Prasekolah (3-6 Tahun)
Kecelakaan pada anak usia prasekolah sering kali mengakibatkan
kondisi yang fatal pada anak, yaitu kematian. Kondisi yang dimaksud,
diantaranya tertabrak motor atau mobil, luka bakar, keracunan, jatuh, dan
tenggelam. Kondisi tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila orang tua
memahami tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak, khususnya usia
prasekolah. Pemahaman tentang tingkat perkembangan anak tentunya perlu
diikuti dengan pemahaman tentang pentingya antisipasi terhadap bahaya yang
30

dapat muncul karena aktivitas gerak yang khas dari anak usia prasekolah, yaitu
tidak bisa diam dan bergerak terus (Yupi, 2004).
Oleh karena itu, orang tua harus diberi pengertian tentang bahaya yang
dapat terjadi pada anak. Tidak hanya orang tua, anakpun perlu diberikan
pemahaman tentang cara melindungi diri dari kecelakaan, dan hubungan sebab
akibat dari perbuatan berisiko untuk terjadi kecelakaan. Tentu saja cara
penyampaian informasi harus menggunakan bahasa yang sederhana dan dapat
dimengerti anak. Kecenderungan terjadi kecelakaan pada anak usia
prasekolah dilatarbelakangi oleh kondisi tersebut (Yupi, 2004):
1) Anak usia prasekolah sedang mengembangkan keterampilan motorik
kasarnya yang membuat mereka bergerak terus, berlari, berjinjit, naik
turun tangga, pagar, atau mainan, serta sepedanya.
2) Anak usia prasekolah mengalami peningkatan kemampuan motorik halus
ketika mereka semakin terampil menggenggam sesuatu, membuka dan
menutup botol, membuka dan menutup lemari yang tidak dikunci, jendela,
dan pintu, serta genggaman dan melempar benda-benda kecil. Dengan
demikian, mereka mencoba terus kemampuan benda-benda kecil. Dengan
demikian, mereka mencoba terus kemampuan motorik halusnya dengan
benda-benda yang ada di sekelilingnya, sementara mereka belum
mengetahui bahaya yang mengancam akibat mengeksplorasi benda
disekelilingnya.
3) Anak prasekolah mempunyai rasa ingin tahu yang besar dibanding
dengan anak pada usia lainnya dan senang mencoba melakukan sesuatu
yang belum dikenalnya, padahal ia belum dapat membaca sehingga belum
tahu hal-hal yang membahayakannya. Ia tertarik untuk selalu mencoba
4) Anak laki-laki cenderung lebih berpotensi mengalami kecelakaan daripada
anak perempuan karena lebih ektif bergerak
5) Anak yang tidak dijaga sewaktu bermain saat orang tuanya sedang
bekerja, sibuk dengan kegiatan lain, terlalu letih, atau merasa ada orang
lain yang telah menjaganya, menyebabkan anak berisiko untuk mengalami
kecelakaan.
31

6) Risiko kecelakaan akan lebih besar terjadi saat anak lapar dan lelah karena
pada saat itu keampuan tenaga menurun dan mungkin anak merasa lemah
atau lesu.
7) Anak merasa asing dengan lingkungan atau orang yang menjaganya
karena tidak mengenalnya dengan baik.
8) Anak belum tahu dan belum berpengalaman dalam upaya melindungi diri
dari bahaya kecelakaan.

Penyebab dan tipe cidera sangat bergantung pada tahapan tumbuh


kembang anak. Seperti disebutkan di atas, anak yang lebih kecil belum tahu
dan kurang berpengalaman dalam melindungi dirinya darinya dari kecelakaan.
Misalnya, bayi yang tidur ditinggal sendirian di tempat tidur orang dewasa,
anak yang belum dapat membaca dan tidak mengetahui bahaya obat atau zat
berbahaya yang ditemuinya dalam kemasan botol atau bentuk lainnya (Yupi,
2004).

Untuk itu, upaya yang dapat dialakukan oleh orang tua di rumah adalah
sebagai berikut:

a. Anak Usia 3 Tahun (Yupi, 2004)


1) Benda tajam untuk memasak atau berkebun dapat disimpan di dalam
laci yang dapat dikunci sehingga tidak dapat dibuka anak.
2) Benda-benda kecil, seperti manik-manik, perhiasan, jarum, mainan
kecil, alat tulis seperti penghapus, harus disimpan dalam laci yang
tertutup rapat dan terkunci
3) Zat yang berbahaya, seperti obat-obatan, cairan pembersih lantai,
pestisida, lem, dan lainnya agar disimpan dalam lemari terkunci.
Khusus untuk obat- obatan, dapat dibuat lemari khusus yang ditempel
di dinding yang tidak dapat dijangkau anak.
4) Amankan kompor dan berikan penutup yang aman. Bila ada, gunakan
jenis kompor yang cukup tinggu dengan penutup. Akan tetapi, apabila
menggunakan kompor minyak tanah dan desain dapur cukup tinggi,
berikan pengaman pada sekeliling kompor dengan bahan yang terbuat
dari kayu atau ditembok sekelilingnya dengan ketinggian yang cukup
bagi orang dewasa.
32

5) Jaga lantai rumah selalu bersih dan kering. Jaga anak apabila lantai
baru atau sedang dipel dan segera dilap jika ada air atau cairan lain
tumpah
6) Apabila ada tangga, pasang pintu di bagian bawah atau atas tangga dan
jaga anak apabila akan naik atau turun tangga. Larangan anak untuk
naik tangga tidak dianjurkan karena anak harus belajar menaikinya,
yang terpenting ada yang menjaga dibelakang anak.
7) Sekring listrik harus tertutup dan atur kabel supaya tidak terlalu
panjang sehingga tidak terjutai ke bawah dan dapat dijangkau anak.
8) Apabila ada parit di samping atau depan rumah, tutup dengan papan
atau disemen.
9) Bagi yang letak rumahnya dipinggir jalan raya, sebaiknya memiliki
pintu pagar yang harus selalu dikunci rapat.
10) Apabila rumah menggunakan sumber air dengan sumur gali, buat
selongsongnya, kemudia tutup dengan papan/kayu atau besi yang tidak
dapat dibuka anak.
11) Bayi yang ditidurkan di tempat tidurnya jangan ditinggal tanpa
dipasang pengaman pada pinggir tempat tidur. Apabila ditidurkan di
tempat tidur orang dewasa, bayi harus dalam pengawasan.
12) Menganjurkan orang tua untuk meningkatkan minat anak dalam
hubungan yang luas
13) Menekankan pentingnya batas-batas/peraturan-peraturan.
14) Mengantisipasi perubahan perilaku yang agresif (menurunkan
ketegangan/ tension).
15) Menganjurkan orang tua untuk menawarkan kepada anaknya
alternative- alternatif pilihan pada saat anak bimbang.
16) Perlunya perhatian ekstra.
b. Usia 4 tahun (Nursalam dkk, 2008)
1) Perilaku lebih agresif termasuk aktivitas motorik dan bahasa
2) Menyiapkan meningkatnya rasa ingin tahu tentang seksual.
3) Menekankan pentingnya batas-batas yang realistis dari tingkah
lakunya.
4) Mendiskusikan tentang kedisiplinan
33

5) Menyiapkan orang tua untuk meningkatkan imajinasi di usia 4 tahun, di


mana anak mengikuti kata hatinya, dan kemahiran anak dalam
permainan yang membutuhkan imajinasi.
c. Usia 5 tahun (Nursalam dkk, 2008)
1) Menyiapkan anak memasuki lingkungan sekolah.
2) Meyakinkan bahwa usia tersebut merupakan periode tenang pada anak
3) Mengingatkan imunisasi yang lengkap sebelum masuk sekolah.
4) Usia Sekolah (Nursalam dkk, 2008) Bimbingan pada orang tua pada
usia sekolah:
d. Usia 6 tahun
1) Bantu orang tua untuk memahami kebutuhan mendorong anak
berinteraksi dengan temannya.
2) Ajarkan pencegahan kecelakaan dan keamanan terutama naik sepeda.
3) Siapkan orang tua akan peningkatan ketertarikan keluar rumah.
Dorong orang tua untuk peduli terhadap kebutuhan anak akan privasi
dan menyiapkan kamar tidur yang berbeda.
e. Usia 7 - 10 tahun
1) Menekankan untuk mendorong kebutuhan akan kemandirian.
2) Interes beraktivitas di luar rumah.
3) Siapkan orang tua untuk perubahan pada wanita memasuki pra
pubertas.

f. Usia 11 – 12 tahun
1) Bantu orang tua untuk menyiapkan anak tentang perubahan tubuh saat
pubertas.
2) Anak wanita mengalami pertumbuhan cepat.
3) Sex education yang adekuat dan informasi yang akurat.
g. Remaja (Yupi, 2004)
1) Penggunaan kendaraan bermotor bila jatuh dapat: fraktur, luka pada
kepala. Kecelakaan karena olah raga.
2) Perlu petunjuk dalam penggunaan kendaraan bermotor sebelumnya ada
negosiasi antara orang tua dengan remaja.
34

3) Menggunakan alat pengaman yang sesuai.


4) Melakukan latihan fisik yang sesuai sebelum melakukan olah raga.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Petunjuk bimbingan merupakan upaya untuk membantu orang tua dalam
membimbing anak melewati setiap tahapan perkembangannya dengan mengatasi
masalah yang mungkin timbul. Petunjuk antisipasi ini penting untuk dipahami oleh
petugas kesehatan dan orang tua. Dengan petunjuk yang lebih dulu dipahami, orang
tua dapat memberikan bimbingan dan arahan yang bijaksana terhadap anak,
35

sehingga anak dapat melewati setiap tahapan tumbuh kembangnya secara wajar
tanpa ada hambatan yang dapat menggangu tumbuh kembang selanjutnya.
Pada masa bayi, orang tua berperan untuk merawat kesehatan bayi. Orang tua
dapat sesekali meninggalkannya dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama
dan perlu memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup. Pada masa balita,
perlu diperhatikan masalah yang umunya muncul, seperti cemburu, pada saudara
kandungnya dan latihan kebersihan. Orang tua perlu memahami jika anak mulai
menolak untuk dibantu dalam setiap kebutuhannya. Penerapan disiplin sesuai
dengan pemahaman anak perlu mulai ditanamkan.
Anak memerlukan aktivitas bermain dengan alat-alat permainannya. Pada
masa prasekolah tersebut, orang tua juga perlu memahami bahwa anak belum
mampu membedakan antara dunia nyata dan dunia imajinasi, sehingga sering timbul
anggapan bahwa anak berdusta. Penerapan disiplin perlu ditegakkan secara
konsisten dan anak mulai dipersiapkan untuk memasuki dunia sekolah. Pada masa
remaja, para orang tua harus lebih memperhatikan anak karena pada masa ini anak
sedang berada dalam masa peralihan menuju dewasa, memerlukan bimbingan untuk
memilih apa yang baik dan apa yang tidak baik

B. Saran

1. Para orang tua agar menambah pengetahuan dengan membaca berbagai referensi,
sehingga menambah pengetahuan mengenai anticipatory guidance.
2. Seluruh perawat agar meningkatkan pemahamannya mengenai anticipatory
guidance sehingga dapat dikembangkan di tatanan pelayanan kesehatan.
36

DAFTAR PUSTAKA

Nursalam dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan).

Jakarta:Salemba Medika

Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak . Jakarta: EGC Suriadi
dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Jakarta: Sagung Seto

Atik Pramesti Wilujeng, Leny Andiyati, A. E. (2017). Jurnal Keperawatan Muhammadiyah, 2


(2), 2(2). Retrieved from http://journal.um-surabaya.ac.id/
index.php/JKM/article/view/961/pdf Banyuwangi, D. K. (2018). Data seputar kesehatan.
Retrieved from https://www.banyuwangikab.go.id/ Blake-lamb, T. L., Locks, L. M., Perkins,
37

M. E., Baidal, J. A. W., Cheng, E. R., & Taveras, E. M. (2016). Interventions for Childhood
Obesity in the First 1,000 Days A Systematic Review. American Journal of Preventive
Medicine, 1–10. https://doi. org/10.1016/j.amepre.2015.11.010 Combs-orme, T., Nixon, B.
H., & Herrod, H. G. (2015). Anticipatory Guidance and Early Child Development :
Pediatrician Advice , Parent Behaviors , and Unmet Needs as Reported by Parents From
Different Backgrounds. https://doi. org/10.1177/0009922811403302 Dosman, C., Faap, F.,
Andrews, D., & Frcpc, F. (2012). Anticipatory guidance for cognitive and socialemotional
development : Birth to five years, 17(2), 75–80. Fitri, D. I., Chundrayetti, E., & Semiarty, R.
(2014). Artikel Penelitian Hubungan Pemberian ASI dengan Tumbuh Kembang Bayi Umur 6
Bulan di Puskesmas Nanggalo, 3(2), 136–140. French, G. M., Nicholson, L., Skybo, T.,
Klein, E. G., Schwirian, P. M., Murray-Johnson, L., … Groner, J. A. (2012). An Evaluation
of Mother-Centered Anticipatory Guidance to Reduce Obesogenic Infant Feeding Behaviors.
Pediatrics, 130(3), e507– e517. https://doi.org/10.1542/peds.2011-3027 Halle, T. G., &
Darling-churchill, K. E. (2016). Journal of Applied Developmental Psychology Review of
measures of social and emotional development. Journal of Applied Developmental
Psychology, 45, 8–18. https://doi.org/10.1016/j. appdev.2016.02.003

Anda mungkin juga menyukai