Diajukan oleh:
Indah Ayu Wardani
NIM : 13249 FB
A. KRIM
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, definisi krim adalah
bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan
obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Sediaan ini
merupakan sediaan setengah padat (semisolid) dari emulsi yang terdiri dari
campuran antara fase minyak dan fase air (Anonim, 1995)
Krim merupakan suatu sistem emulsi yang tidak stabil secara
termodinamika dimana mengandung paling sedikit dua fase yang tidak
saling bercampur. Salah satu fase bersifat polar (air) dan fase yang lainnya
bersifat nonpolar (minyak). Krim dapat dibuat dengan beberapa jenis,
yaitu emulsi air dalam minyak (w/o atau a/m), dan emulsi minyak dalam
air (o/w atau m/a) (Ansel, 1999)
Secara garis besar krim terdiri dari 3 komponen, yaitu bahan aktif,
bahan dasar, dan bahan pembantu. Emulgator dalam surfaktan dalam
sediaan krim berfungsi unruk menurunkan teganagan permukaan antara
kedua fase yang tidak saling bercampuran tersebut yang bekerja dengan
mengurangi daya tarik menarik antar molekul dari kedua fase tersebut
sehingga fungsi emulgator tersebut berkenaan dengan peningkatan
stabilitas. Selain itu untuk meningkatkan stabilitas suatu sediaan krim
biasanya mengandung bahan – bahan tambahan lain seperti pengawet,
pengkhelat, pengental, pelembab (humektan), pewarna, dan pewangi serta
bahan – bahan lain yang dapat ditambahkan untuk memperoleh suatu
sediaan krim yang baik. (Imam jaya. R, 2007)
1. Formulasi krim
Sebagai bahan emulgator, yang digunakan dalam penelitian ini
adalah emulgator nonionik (dalam medium air tidak membentuk ion).
Pemilihan emulgator nonionik ini karena emulgator ini bereaksi netral,
dapat sedikit dipengaruhi oleh elektrolit dan selnjutnya netral terhadap
pengaruh kimia. Aktivitasnya relatif tidak dipengaruhi oleh suhu (Voight,
1995) selain itu digunakan juga bahan tambahan yang meliputi emolien,
humektan, antioksidan, dan pengawet. Profil dari bahan – bahan yang
digunakan dalam formula krim pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Span 80
Pada formulasi farmasetik, span 80 biasa digunakan sebagai bahan
pengemulsi untuk krim, emulsi, dan salep untuk pengguanaan topikal.
Span 80 berbetuk padatan malam berwarna kuning pucat dengan
minyak yang lemah. Bahan ini larut dalam minyak, dan juga sebagian
besar pelarut organik. Meskipun tidak larut dalam air, namun akan
cepat terdispersi. Umumnya bahan ini tidak toksik dan tidak
mengiritasi. Konsentrasi biasa digunakan untuk emulsi air dalam
minyak 1 – 15 % jika dikombinasi 1 – 10%. (Wade & Weller, 1994)
b. Tween 80
Sebagai pengemulsi untuk mendapatkan sediaan emulsi yang
stabil, biasa digunkanan tween 80 yang merupakan surfaktan hidrofilik
nonionik. Tween 80 berbentuk cairran berminyak berwarna kuning.
Bahan ini larut dalam etanol dan air. Umunya bahan ini tidak toksik
dan tidak mengiritasi. Konsentrasi yang biasa digunakan adalah 1 –
10%. (Wade & Weller, 1994)
c. Vasellin album
Vaselin mempunyai masa yang lunak, lengket, bening, putih, sifat
vaselin ini tetap setelah zat dileburkan dan didiamkan hingga dingin
tanpa diaduk. Kelarutan vaselin yakni praktis tidak larut dalam air dan
etanol (95%), larut dalam kloroform, eter, dan eter minyak tanah.
Vasellin sering digunakan sebagai emolien (Wade & Weller, 1994)
d. Lanolin anhidrat
Lanolin digunkan sebagai bahan pengemulsi yang biasanya
digunkana dalam formulasi farmasi topikal dan kosmetik. Lanolin juga
dapat digunakan sebagai hydrophobic vehicle dalam pembuatan krim
air dalam minyak dan salep. Lanolin berwarna kuning pucat,
mempunyai rasa yang manis, dan berbentuk lilin dengan bau khas
yang lemah, lanolin yang dicairkan berupa ciran jernih atau hampir
jernih, cairan kuning. Bahan ini sangat mudah larut dalam benzen,
kloroform, eter dan minyak bumi (petrolatum), sedikit larut dalam
etanol dingin (95%), lebih mudah larut dalam etanol mendidih (95%),
praktis tidak larut dalam air (Wade & Weller, 1994)
e. Gliserin
Dalam formulasi sediaan topikal dan kosmetik, gliserin biasa
digunakan sebagai humektan dan emolien. Gliserin merupakan larutan
jernih, tidak berwarna, tidak berbau, kental, dan higroskopik. Bahan ini
sedikit larut larut dalam aseton, praktis tidak larut dalam benzene,
kloroform, dan minyak, dapat bercampur dengan etanol, metanol dan
air. Konsentrasi gliserin yang biasa digunakan sebagai humektan bisa
digunakan kurang dari 30% (Wade & Weller, 1994)
f. Asam stearat
Asam stearat biasa digunakan dalam formulasi sediaan oral dan
topikal. Dalam sediaan topikal asam stearat biasa dugunakan sebagai
emulsifying agent dan solubilizing agent. Asam stearat merupakan
bubuk putih keras, berwarna putih atau agak kuning, sedikit
mengkilap, kristal padat putih atau kekuningan. Bahan ini sangat
mudah larut dalam benzene, klorofom, eter dan larut dalam etanol
(95%), heksana, dan propilenglikol, praktis tidak larut dalam air.
Konsentrasi asam stearat yang biasa digunakan sebagi solubilizing
agent adalah 1 – 20 % (Wade & Weller, 1994)
g. Metil paraben
Dalam formulasi farmasetika, produk makanan, dan terutama
kosmetika biasanya dugunakan metil paraben sebagai pengawet,
dengan aktivitas paling efektif untuk jamur dan kapang. Metillparaben
larut dalam air, etanol (95%), eter (1:10), dan metanol. Bahan ini dapat
digunakan tunggal maupun kombinasi dengan jenis paraben lain.
Efektivitas pengawet ini memiliki rentang pH 4-8. Dalam sediaan
topikal, konsentrasi yang umum digunakan adalah 0,02 – 0,3 % (Wade
& Weller, 1994)
h. Aquadest
Air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan disebut
aquadest. Air murni ini dapat diperoleh dengan cara penyulingan,
pertukaran ion, osmosis tebaik, atau dengan cara yang sesuai. Air
murni lebih bebas dari kotoran maupun mikroba. Air murni digunakan
dalam sediaan – sediaan yang membutuhkan air, terkecuali untuk
parenteral, aquadest tidak padat digunakan (Ansel, 1989)
2. Stabilitas krim
Umunya suatu emulsi dianggap tidak stabil secara fisika jika fase
dalam atau fase terdispersi pada pendiaman cenderung untuk membentuk
agregat dari bulatan – bulatan, jikan bulatan – bulatan atau agregat darai
agregat naik ke permukaan atau turun kedasar emulsi tersebut akan
membentuk suatu lapisan berat dari fase dalam, dan jika semua atau
sebgian dari cairan fase dalam tidak teremulsikan dan membentuk suatu
lapisan yang berbeda pada permukaan ataupada dasar emulsi, yang
merupakan hasil dari bergabungnya bulatan – bulatan fase dalam.
Diasmping itu suatu emulsi sangat dipengaruhi oleh kontaminasi dan
pertumbuhan mikroba (Ansel, 2005)
Ketidakstabilan fiska dari sediaan ditandai dengan adanya
pemucata warna atau munculnya warna, timbulnya bau, perubahan atau
pemisahan fase, pecahnya emulsi, pengendapan suspensi atau caking,
perubahan konsistensi, pertumbuhan kristal, terbentuknya gas, dan
perubahan fisik lainnya. Ketidakstabilan dari emulsi ditandai dengan tidak
adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya creaming, dan
memberikan penampilan, bau, warna dan fisik lainnya yang baik. (Martin,
et al., 1983).
Ketidakstabilan fisika dari sediaan ditandai dengan adanya
pemucatan warna atau munculnya warna, timul bau, perubahan atau
emisahan fase, pecahnya emulsi, pengendapan suspensi atau caking,
perubahan konsistensi, pertumbuhan kristal, terbentuknya gas, dan
perubahan fisik lainnya. Kestabilan dari emulsi ditandai dengan tidak
adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya creaming, dan
memberikan penampilan, bau, warna dan fisik lainnyayang baik (Martin,
et al., 1983) Ketidakstabilan dalam emulsi farmasi dapat digolongkan
sebagai berikut :
a. Flokulasi dan creaming
‘Creaming’ merupakan pemisahan dari emulsi menjadi beberapa
lapis cairan, dimana masing-masing lapis mengandung fase dispersi
yang berbeda (Anief., 1987). Creaming ke arah atas terjadi dalam
suatu emulsi a/m atau m/a yang tidak stabil dimana fase terdispersi
mempunyai kerapatan lebih kecil daripada kerapatan fase luar.
Creaming ke arah bawah dalam emulsi yang tidak stabil dimana
kerapatan fase dalam lebih besar daripada kerapatan fase luar
(Ansel,.2005).
b. Koalesen dan pecahnya emulsi (crecking atau breaking)
Creaming adalah suatu proses yang bersifat dapat kembali, berbeda
dengan proses creaking (pecahnya emulsi) yang bersifat tidak dapat
kembali (Anief.,1987). Hal ini dikarenakan lapisan pelindung disekitar
bulatan-bulatan fase terdispersi tidak ada lagi (Ansel.,2005).
B. LEMON
D. ANTIOKSIDAN
1. Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dapat menetralisir dan
menghancurkan radikal bebas sehingga atom dengan elektron yang tidak
berpasangan mendapat pasangan elektron. Senyawa antioksidan
merupakan suatu inhibitor yang digunakan untuk menghambat
antioksidasi. Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu
menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukkan ataupun
memasdukan efek spesies oksigen reaktif. Antioksidan merupakan
senyawa pemberi donor (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini
memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi
berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya
radikal. Penggunaan senyawa antioksidan juga anti radikal saat ini
semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat
tentang peranannya dalam menghambat penyakit generatif seperti penyakit
jantung, arteriosclerosis, kanker, serta gejala penuaan. Masalah-masalah
ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai
inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang
menjadi salah satu pencetus penyakit-penyakit diatas. (Kuncahyo &
Sunardi., 2007; Winarsi 2007).
Antioksidan terbagi menjadi dua yakni antioksidan
enzim(superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase
(GSH.Prx)) dan antioksidan vitamin (alfa tokoferol/ vitamin E, beta
karoten dan asam askorbat/vitamin C) yang banyak didapatkan dari
tanaman dan hewan . Tubuh mengasilkan senyawa antioksidan, tetapi
jmlahnya sering kali tidak cukup untuk menetralkan radikal bebas yang
masuk kedalam tubuh.Sebagai contoh tubuh dapat menghasilkan
glutathione, salah satu antioksidan yang sangat kuat, hanya tubuh
memerlukan asupan vitamin C sebesar 100 mg untuk memicu tubuh
mengasilkan glutathione ini. Kekurangan antioksidan dalam tubuh yakni
memerlukan asupan dari luar (Kuncahyo & Sunardi., 2007; Winarsi 2007).
2. Radikal Bebas
Oksigen adalah atom yang sangat reaktif yang mampu menjadi
bagian dari molekul yang berpotensi merusak yang biasa disebut "radikal
bebas." Radikal bebas mampu menyerang sel-sel sehat tubuh,
menyebabkan mereka kehilangan
struktur dan fungsi mereka (Percival, 1998). Radikal bebas adalah suatu
atom atau molekul yang sangat reaktif dengan elektron yang tidak
memiliki pasangan (Corwin, 2007). Radikal bebas mencari reaksi-reaksi
agar dapat memperoleh kembali elektron pasangannya. Radikal bebas
sangat reaktif, secara kimiawi tidak stabil, umumnya terdapat hanya dalam
kadar yang kecil, dan cenderung ikut serta atau mengawali reaksi rantai
(Underwood, 1994). Serangkaian reaksi dapat terjadi, yang menghasilkan
serangkaian radikal bebas. Setelah itu, radikal bebas dapat mengalami
tubrukan kaya energi dengan molekul lain, yang merusak ikatan dalam
molekul (Corwin, 2007). Ketika hal tersebut terjadi di dalam tubuh, maka
dapat terjadi kerusakan pada sel, asam nukleat, protein dan lemak
dikarenakan serangan terhadap molekul biologi akan menyebabkan
kerusakan jaringan sistem imun. Radikal bebas menyebabkan lipid
peroksidase yang dapat mempermudah proses penuaan (Vimala, et al,
2003).
Radikal bebas merupakan jenis oksigen yang memiliki tingkat
reaktif yang tinggi dan secara alami ada didalam tubuh sebagai hasil dari
reaksi biokimia didalam tubuh. Radikal bebas juga terdapat di lingkungan
sekitar yang berasal dari populasi udara, asap tembakau, penguapan
alkohol yang berlebihan, bahan pengawet dan pupuk, sinar ultraviolet,
sinar X, dan ozon. Radikal bebas dapat merusak sel tubuh apabila tubuh
kekurangan zat antioksidan atau saat tubuh kelebihan radikal bebas. Hal
ini dapat menyebakan berkembangnya sel kanker, penyakit hati, arthritis,
katarak, dan penyakit degeneratif lainnya, bahkan juga mempercepat
proses penuaan. Peranan antioksidan sangat penting dalam mentralkan dan
menghancurkan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan
juga merusak biomolekul, seperti DNA, protein, dan lipoprotein didalam
tubuh yang akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif seperti
kanker, jantung, arthritis, katarak, diabetes dan hati.Radikal bebas dapat
timbul melalui dua mekanisme utama yaitu, penimbunan energi (ionisasi
air oleh radiasi, elektron terepas, dan terjadi radikal bebas) , dan interaksi
antara oksigen (substansi lain, dan elektron bebas dengan reaksi oksidasi-
reduksi) Dalam hal ini akan terbentuk radikal superoksid (Underwood.,
1994). Para ahli biokimia menyebutkan bahwa radikal bebas merupakan
salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif. Senyawa ini terbentuk di dalam
tubuh, dipicu oleh bermacam-macam faktor. Radikal bebas bisa terbentuk
misalnya ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui
proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini, seringkali terjadi
kebocoran elektron dan mudah terbentuknya radikal bebas. Misalnya
hidrogen peroksida (Winarsi, 2007).
Radikal bebas merupakan Reaktive Oxygen species (ROS) yang
akan menyerang molekul lain disekitarnya sehingga menyebabkan reaksi
berantai terjadi dan menghasilkan radikal bebas yang beragam, seperti
anion peroksida (O2-), dan hidrogen peroksida (H2O2) yang sudah
dijelaskan sebelumnya, hidrogen bebas (OH), asam hipoklorous (HOCl),
dan peroksinitrat (ONOO-) (Vimala, et al., 2003).
E. KULIT
Kulit adalah lapisan atau jaringan yang menutupi seluruh tubuh
dan melindungi tubuh dari bahaya yang datang dari luar. Kult merupakan
bagian tubuh yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk
memperindah kecantikkan, selain itu kulit dapat membantu menemukan
penyakit yang diderita pasien. Kulit mencakup kulit pembungkus
permukaan tubuh berikut turunannya termasuk kuku, rambut, dan kelenjar.
Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar untuk
menutupi dan melindungi permukaan tubuh. Kulit berhubungan dengan
selaput lendir yang melapisi rongga lubang masuk. Pada permukaan kulit
bermuara kelenjar keringat dan kelenjar mukosa. Kulit disebut juga
integumen atau kutis yang tumbuh dari dua macam jaringan yaitu jaringan
epitel yang menumbuhkan lapisan epidermis dan jaringan pengikat
(penunjang) yang menumbuhkan lapisan dermis (kulit dalam). Kulit
mempunyai susunan serabut saraf yang teranyam secara halus berguna
untuk merasakan sentuhan atau sebagai alat raba dan merupakan indikator
untuk memperoleh kesan umum dengan melihat perubahan pada kulit
(Syaifuddin, 2009).
1. Lapisan Kulit
a. Epidermis
Lapisan paling luar yang terdiri atas lapisan epitel gepeng. Unsur
utamanya adalah sel-sel tanduk (keratinosit) dan sel melanosit.
Lapisan epidermis tumbuh terus karena lapisan sel induk yang berada
dilapisan bawah bermitosis terus-menerus, sedangkan lapisan paling
luar epidermis akan mengelupas dan gugur. Epidermis dibina oleh sel-
sel epidermis terutama serat-serat kolagen dan sedikit serat elastis.
Dari sudut kosmetik, epidermis merupakan bagian kulit yang menarik
karena kosmetik dipakai pada epidermis itu. Meskipun ada beberapa
jenis kosmetik yang digunakan sampai ke dermis, namun tetap
penampilan epidermis menjadi tujuan utama. Ketebalan epidermis
berbeda-beda pada berbagai tubuh, yang paling tebal berukuran 1
milimeter, misalnya ada telapak kaki dan telapak tangan, dan lapisan
yang tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi,
dahi, dan perut (Tranggono, & Latifah, 2007). Epidermis terdiri atas
beberapa lapisan sel. Sel-sel ini berbeda dalam beberapa tingkat
pembelahn sel secara mitosis. Lapisan permukaan dianggap sebagai
akhir keaktifan sel, lapisan tersebut terdiri dari 5 lapis (Syaifuddin,
2009).
1. Stratum korneum (Stratum corneum)
Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel tanduk
(keratinasi), gepeng, kering, dan tidak berinti. Sitoplasmanya diisi
dengan serat keratin, makin ke luar letak sel makin gepeng seperti
sisik lalu terkelupas dari tubuh. Sel yang terkelupas akan
digantikan oleh sel yang lain. Zat tanduk merupakan keratin lunak
yang susunan kimianya berada dalam sel-sel keratin keras. Lapisan
tanduk hampir tidak mengandung air karena adanya penguap air,
elastisnya kecil, dan sangat efektif untuk pencegahan penguapan
air dari lapisan yang lebih dalam (Syaifuddin, 2009).
2. Stratum lusidum (Stratum lucidum)
Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang sangat
gepeng dan bening. Membran yang membatasi sel-sel tersebut sulit
terlihat sehingga lapisannya secara keseluruhan seperti kesatuan
yang bening. Lapisan ini ditemukan pada daerah tubuh yang
berkulit tebal (Syaifuddin, 2009). Lapisan ini terletak dibawah
stratum corneum. Antara stratum lucidum dan stratum
granulosum terdapat lapisan keratin tipis yang disebut rein’s barrier
(Szakall) yang tidak bisa ditembus (impermeable) (Tranggono, &
Latifah, 2007).
3. Stratum granulosum
Lapisan ini terdiri atas 2-3 lapis sel poligonal yang agak
gepeng dengan inti ditengah dan sitoplasma berisi butiran (granula)
keratohialin atau gabungan keratin dengan hialin. Lapisan ini
menghalangi masuknya beda asing, kuman, dan bahan kimia
masuk ke dalam tubuh (Syaifuddin, 2009).
4. Stratum spinosum
Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel berbentuk kubus
dan poligonal, inti terdapat di tengah dan sitoplasmanya berisi
berkas-berkas serat yang terpaut pada desmosom (jembatan sel).
Seluruh sel terikat rapat lewat serat- serat tersebut sehingga secara
keseluruhan lapisan sel-selnya berduri. Lapisan ini untuk menahan
gesekkan dan tekanan dari luar, tebal dan terdapat di daerah tubuh
yang banyak bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti
tumit dan pangkal telapak kaki (Syaifuddin, 2009).
5. Stratum malpigi
Unsur-unsur lapis taju yang mempunyai susunan kimia
yang khas. Inti bagian basal lapis taju mengandung kolesterol dan
asam-asam amino. Stratum malpigi merupakan lapisan terdalam
dari epidermis yang berbatasan dengan dermis dibawahnya dan
terdiri atas selapis sel berbentuk kubus (batang) (Syaifuddin,
2009).
6. Stratum basal (Stratum germinativum atau membran basalis).
Lapisan terbawah epidermis. Di dalam stratum
germinativum juga terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel-sel yang
tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk
pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel keratinosit
melalui dendrit-dendritnya. Satu sel melanosit melayani sekitar 36
sel keratinosit. Kesatuan ini diberi nama unit melanin epidermal
(Tranggono, & Latifah, 2007).
b. Dermis
Berbeda dengan epidermis yang tersusun oleh sel-sel dalam
berbagai bentuk dan keadaan, Dermis terutama terdiri dari bahan dasar
serabut kolagen dan elastin, yang berada di dalam substansi dasar yang
bersifat koloid dan terbuat dari gelatin mukopolisakarida. Batas dermis
sulit ditentukan karena menyatu dengan lapisan subkutis (hipodermis),
ketebalannya antara 0,5-3 mm, beberapa kali lebih tebal dari
epidermis. Dermis bersifat ulet dan elastis yang berguna untuk
melindungi bagian yang lebih dalam. Serabut kolagen dapat mencapai
72 persen dari keseluruhan berat kulit manusia bebas lemak. Di dalam
dermis terdapat adneksa-adneksa kulit seperti folikel rambut, papila
rambut, kelenjat keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot
penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian
serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (subkutis /
hipodermis) (Tranggono, & Latifah, 2007; Syaipfuddin, 2009).
c. Lapisan Subkutan
Hipodermis adalah lapisan bawah kulit (fasia superfisialis)
yang terdiri atas jaringan pengikat longgar, komponennya serat
longgar, elastis, dan sel lemak. Sel-sel lemak membentuk jaringan
lemak pada lapisan adiposa yang terdapat susunan lapisan subkutan
untuk menentukan mobilitas kulit diatasnya, bila terdapat lobulus
lemak yang merata, hipodermis membentuk bantal lemak yang disebut
pannikulus adiposa. Pada daerah perut, lapisan ini dapat mencapai
ketebalan 3 cm. Sedangkan pada kelopak mata, penis, dan skortum,
lapisan subkutan tidak mengandung lemak. Dalam lapisan hipodermis
terdapat anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena, dan anyaman saraf
yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit bawah dermis. Lapisan
ini mempunyai ketebalan bervariasi dan mengikat kulit secara longgar
terhadap jaringan di bawahnya (Syaifuddin, 2009).
F. KOSMETIK
Kosmetik berasal dari kata yunani “kosmetikos” yang berarti
keterampilan menghias, mengatur. Definisi kosmetik dalam Peraturan
Mentri Kesehatan RI 445/MenKes/Permenkes/1998 adalah sediaan
atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan
(epidermis, rambur, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi,
dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik,
mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik,
memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati
atau menyembuhkan suatu penyakit. Tujuan utama penggunaan
kosmetik pada masyarakat modern adalah untuk kebersihan pribadi,
meningkatkan daya tarik melalui make-up, meningkatkan rasa percaya
diri dan perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan
sinar UV, polusi dan faktor lingkungan yang lain, mencegah penuaan,
dan secara umum, membantu seseorang lebih menikmati hidup.
Menurut Peraturan Mentri Kesehatan RI, penggolongan
kosmetik menurut menurut kegunaannya bagi kulit dibagi menjadi
kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetics) dan kosmetik riasan
(dekoratif atau make-up). kosmetik perawatan kulit (skin-care
cosmetics) terdiri dari kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser)
(sabun, cleansing cream, cleansing milk, penyegar kulit (freshener)),
kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer) (moisturizing cream,
night cream, anti wrinkle cream), kosmetik pelindung kulit (sunscreen
cream, dan sunscreen foundation, sun block cream/lotion), kosmetik
untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling) (scrub cream yang
berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai pengampelas
(abrasiver)). Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up) diperlukan
untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga menghasilkan
penampilan yang menarik serta menimbulkan efek psikologis yang
baik, seperti percaya diri (self confidence). Dalam kosmetik riasan,
peran zat pewarna dan zat pewangi sangat besar (Tranggono, &
Latifah, 2007).
G. EKSTRAKSI SIMPLISIA
1. Simplisia
Simplisa adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat, yang
belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain
berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia nabati juga adalah
simplisa berupa tanaman utuh atau bagian tanaman dan eksudat
tanaman. (Anonim, 1979)
2. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan
menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok diluar
pengaruh cahaya matahari langsung (Anonim, 1979)
3. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang
mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak
mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari,
tidak mengandung benzoin, sitrak, dan lain – lain (Anonim, 1986).
H. HIPOTESIS
Krim buah lemon (Citrus Lemon L.) dan buah apel (Malus
sylvestris) dengan konsentrasi span80 dan tween 80 % menghasilkan
sediaan krim antioksidan kulit yang memenuhi syarat fisik dan
kualitas yang baik serta menghasilkan sediaan krim yang stabil.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Jenis desain penelitian yang dilakukan adalah eksperimental,
karena krim ekstrak buah lemon (Citrus Lemon L.) dan buah apel
(Malus sylvestris) yang diteliti dikenai perlakuan yang berbeda yaitu
dengan mengekstraksi kedua buah dengan metode maserasi
menggunakan etanol (95%) dan dilakukan variasi konsentrasi
emulgator serta dilakukan uji kualitas fisik, dan uji aseptabilitas pada
kondisi dan periode waktu tertentu. Hasil uji kualitas fisik dari krim
antioksidan ekstrak buah lemon (Citrus Lemon L.) dan buah apel
(Malus sylvestris) dari masing – masing formulasi sebagai hasil dari
penelitian.
D. BESAR SAMPEL
Sampel diambil dengan teknik acak sederhana (simple random
sampling) dengan menggunakan bilangan random.
uksepahlnim
rjtbdvog
E. KERANGKA PIKIR
F. CARA KERJA
G. ANALISIS DATA
Pada penelitian ini dibuat 3 formulasi krim dengan variasi
konsentrasi emulgator yang berdeda- beda. Kemudian data dianalisi
menggunakan data hasil anova. Analisa annova adalah hasil akhir
perhitungan anova yang akan digunakan sebagai penentuan analisis
terhadap hipotesis yaitu dasar pengambilan keputusan jika nilai
signifikan >0,05 dari ketiga formulasi krim yang sama table annova
tidak memberikan perbedaan yang nyata sebaliknya jika nilai
signifikan <0,05 dari ketiga formulasi krim yang sam tabel amnova
yang artinya yang berbeda nyata berarti absorbs obat berbeda nyata.
Dari hasil penelitian setelah melalui beberapa uji stabilititas sediaan
didapatkan hasil Krim buah lemon (Citrus Lemon L.) dan buah apel
(Malus sylvestris) dengan konsentrasi span80 dan tween 80 %
menghasilkan sediaan krim antioksidan kulit yang memenuhi syarat
fisik dan kualitas yang baik serta menghasilkan sediaan krim yang
stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.