Anda di halaman 1dari 7

ALGORITMA

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Salah satu terapi alergi adalah pencegahan terhadap paparan allergen.


Namun, pencegahan alergi tidak mudah, apalagi jika allergen penyebabnya belum
bisa dipastikan. Rumah harus kerap dibersihkan, tidak boleh memelihara binatang,
sebaiknya tidak menggunakan bantal atau kasur kapuk (diganti dengan busa atau
springbed) dan sebaiknya tidak menggunakan karpet. Jika memungkinkan, perlu
digunakan penyaring udara berupa Air Conditioner (AC) atau High Efficiency
Particulate Air (HEPA) filter. Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada musim
penyerbukan, dan gunakan masker pada saat berkebun (Ikawati, 2011).

TERAPI FARMAKOLOGI
Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah dan
mengurangi atau meminimalkan gejala. Obat-obat yang digunakan antara lain adalah:
antihistamin, dekongestan nasal, kortikosteroid nasal, antikolinergik dan golongan
kromolin (Ikawati, 2011).
a. Oral antihistamin (H1-blocker)
H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir histamin
pada reseptor H1. H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejala- gejala rinitis
yang diperantarai oleh histamin, seperti rinore, bersin, hidung gatal dan
gejala-gejala pada mata, tapi kurang efektif untuk mengatasi hidung
tersumbat. Obat golongan ini terbukti aman untuk anak-anak. Oral
antihistamin generasi pertama menimbulkan efek samping yang signifikan
akibat sifat sedatif dan antikolinergiknya (ARIA, 2010). Contoh obat
golongan ini antara lain adalah cetirizin, loratadin, dan fexofenadin.
b. Lokal H1 antihistamin (intranasal, intraokular)
Intranasal H1-antihistamin beraksi efektif di tempatnya diadministrasikan
dalam mengatasi gejala hidung gatal, kemerahan, tersumbat dan bersin-bersin.
Intraokular H1-antihistamin efektif dalam mengurangi gejala alergi di mata.
Onset aksi obat golongan ini adalah sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua
kali sehari (ARIA, 2010). Contoh obat golongan ini adalah azelastin,
levocabastin dan olopatadin.
c. Lokal glukokortikosteroid
Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam
penanganan rinitis alergi maupun non-alergi. Contoh obat golongan ini adalah
metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain sebagainya. Keuntungan
menggunakan intranasal glukokortikosteroid untuk penanganan rinitis alergi
adalah konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat tercapai tanpa
adanya efek sistemik yang tidak diinginkan. Obat golongan ini efektif
memperbaiki semua gejala rinitis alergi maupun gejala-gejala pada mata. Bila
gejala hidung tersumbat dan gejala-gejala lain sering diderita pasien, maka
obat golongan ini adalah first line therapy yang direkomendasikan di atas obat
golongan lain. Melihat dari mekanisme aksinya, efek obat ini baru muncul 7-8
jam setelah pemakaian, namun efikasi maksimum kemungkinan baru tercapai
dalam 2 minggu (Bousquet et al., 2008).
d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid
Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak merespon
terhadap obat-obatan lain atau intoleran terhadap sediaan intranasal, perlu
ditangani dengan glukokortikosteroid sistemik (misal: prednisolon) jangka
pendek. Glukokortikosteroid dapat diberikan dalam sediaan oral ataupun
depot-injection (misal: metilprednisolon). Pemberian jangka panjang yaitu
selama beberapa minggu, dapat menimbulkan efek samping sistemik yang
bermakna. Penggunaan intramuskular glukokortikosteroid tidak disarankan
(Bousquet et al., 2008).
e. Lokal kromon (intranasal, intraokular)
Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast, karena bekerja dengan
mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, termasuk histamin.
Contoh obat golongan ini adalah kromoglikat dan nedokromil. Efek
sampingnya yang paling sering adalah iritasi lokal yaitu bersin dan rasa perih
pada membran mukosa hidung (Ikawati, 2011).
f. Dekongestan
Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi pada
reseptor α-adrenergik pada hidung yang menyebabkan vasokonstriksi,
menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.
Contoh obat golongan ini antara lain adalah pseudoefedrin dan oxymetazolin
(intranasal). Penggunaan agen topikal yang lama dapat menyebabkan rinitis
medicamentosa, oleh karena itu durasi terapi dengan dekongestan topikal
sebaiknya dibatasi 3-5 hari. Sedangkan dekongestan oral secara umum tidak
direkomendasikan, karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak
memiliki efek samping (Ikawati, 2011).
g. Intranasal antikolinergik
Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik, efektif untuk
pasien rinitis alergi maupun non-alergi, yang menderita gejala rinore. Efek
samping topikal jarang ditemui, dan intensitasnya bersifat dose-dependent
(Bousquet et al., 2008). Contoh obat golongan ini adalah ipratropium.
h. Antileukotrien
Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien. Contoh obat golongan
ini adalah montelukast, pranlukast dan zafirlukast. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa obat ini lebih efektif ketimbang placebo dan setara
dengan oral H1-antihistamin, tetapi kurang unggul dibanding intranasal
glukokortikosteroid dalam menangani rinitis alergi seasonal (Bousquet et al.,
2008)
i. Imunoterapi
Imunoterapi atau terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi rinitis
alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya diketahui. Obat
injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap dapat memicu
timbulnya gejala alergi. Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak
mempan terhadap farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan
penghindaran allergen, dan telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai.
Imunoterapi dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma yang tidak
stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat, penyakit autoimunitas
dan kanker serta ibu hamil, karena beresiko menyebabkan reaksi anafilaksis
sistemik pada janinnya (Ikawati, 2011).

Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Bursa Ilmu:


Yogyakarta.

ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma), 2010, ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) report 2010. Canada: World Health
Organization.

Bousquet, J. (2008). Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma. Allergy , 8-


160.

Anda mungkin juga menyukai