Anda di halaman 1dari 40

CRITICAL REVIEW EVIDANCE BASED INTERVENSI PENGONTROLAN

INFEKSI PADA PASIEN DIABETES MELITUS

Diajukan untuk memenuhi nilai mata kuliah Stase Keperawatan Dasar Profesi

Program Profesi Ners XLI

Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Disusun Oleh :

Indah Permata Artamia 220110156089


Moudy M Putri 220110164001
Siti Juarsih 220110160047

Dosen Pembimbing : Kurniawan Yudianto, S.Kp., M.Kep.,

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................i
BAB I PENDAULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................3
2.1 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia.................................................................3
2.1.1 Definisi dan Konsep Kebutuhan Dasar Manusia.....................................3
2.1.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia.........................................................4
2.2 Perspektif Teori Tentang Pemenuhan Kebutuhan Sesuai Tema Kelompok...7
2.2.1 Definisi dari tema critical review............................................................7
2.2.2 Jenis tema critical review........................................................................8
2.2.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi.......................................................8
2.2.4 Dampak perubahan kebutuhan dasar manusia terhadap homeostatis
tubuh ………………………………………………………………………….9
2.2.5 Masalah Keperawatan yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan.............................................................................................................10
BAB III INTERVENSI PENGONTROLAN INFEKSI..............................................21
BAB IV
PEMBAHASAN……………………………………………………………………..29
BAB V SIMPULAN DAN
SARAN………………………………………………………………………………34
5.1 Simpulan………………………………………………………………34
5.2 Saran……………………………………………………………..……34
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang


terjadi akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak
dapat menggunakan insulin yang diproduksinya secara efektif sehingga
mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah yang
dikenal dengan istilah hiperglikemi (World Health Organization, 2016).
Insulin merupakan hormon untuk mengatur kadar gula darah, akibatnya kadar
gula darah tidak dapat terkontrol dan terjadi peningkatan (Kemenkes RI,
2014). Faktor yang mempengaruhi kadar gula darah salah satunya stres, salah
satu stress yang ditimbulkan adalah stres fisik seperti infeksi dan pembedahan,
hal tersebut mempermudah terjadinya hiperglikemi (Herlambang, 2019;
Smeltzer & Bare, 2008).
Risiko infeksi pada pasien Diabetes Mellitus juga disebabkan karena
adanya kadar glukosa yang tidak stabil sehingga menyebabkan kadar imun
dalam tubuh menurun sehingga rentan akan terjadinya resiko infeksi. Ketika
sistem imun mengalami penuruna menyebabkan seseorang mudah terkena
penyakit, terutama penyakit yang bisa menular sepertu infeksi bakteri atau
virus lainnya (Dewi, 2020).
Diabetes Melitus (DM) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
serius. Dimana penyakit ini menjadi salah satu penyakit tertinggi di
Indonesia dari empat penyakit tidak menular (Runtuwarow, et al, 2020).
WHO (2010) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang
DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Situmorang, 2020). Sedangkan

1
laporan statistik dari International Diabetes Federation (IDF) melaporkan
bahwa pada tahun 2017 Indonesia peringkat ke 6 di dunia dengan angka
kejadian 10,3 juta orang (Depkes, RI, 2018).
Prevalensi diabetes melitus sangat tinggi secara Nasional dan Lokal.
Secara nasional berdsarkan International Diabetes Federation (IDF) (2015)
prevalensi penderita DM di Indonesia berada pada peringkat ke 7 dunia
(Tandra, 2017). Di Indonesia prevalensi orang dengan diabetes melitus
mencapai angka 10,9%. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat jumlah orang
dengan diabetes melitus sebanyak 2.0% (RISKESDAS, 2018). Secara lokal
pada tahun 2017 prevalensi penderita diabetes melitus di Kabupaten Garut
terbanyak ke 2 setelah penderita hipertensi untuk kategori kasus Penyakit
Tidak Menular (PTM) dengan prevalensi sebanyak 3.258 penderita (Dinas
Kesehatan Kabupaten Garut, 2017).
Berdasarkan survey kepada 2 orang yang dilakukan pada tanggal 25
Februari yang dilakukan di Garut, didapatkan bahwa penyebab utama
terjadinya Diabetes Melitus karena pola hidup, seperti yang dikatakan klien
pertama karena rutin konsumi gula berlebih setiap hari dan riwayat merokok,
kemudian pada klien ke dua mengatakan tidak ada kebiasaan merokok namun
ada penyakit genetic dari orang tuanya dan kebiasan konsumsi makanan yang
manis sejak kecil.
Pengelolaan diabetes melitus yang komprehensif tidak lepas dari peran
keperawatan dengan pelayanan keperawatan profesional. Dalam
memberikan asuhan keperawatan profesional, beberapa hal yang dapat
dilakukan adalah dengan penerapaan intervensi keperawatan sebagai petunjuk
asuhan keperawatan berdasarkan evidence based, dan membuat terobosan
melalui inovasi keperawatan (Runtuwarow, et al, 2020).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia


2.1.1 Definisi dan Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Orang pertama yang menguraikan kebutuhan manusia adalah
Aristoteles. Sekitar tahun 1950, Abraham maslow seorang psikolog dari
Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih
dikenal dengan istilah Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Maslow (Merizkha,
2019). Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan
oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun
psikologis, yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan.
Manusia memiliki kebutuhan dasar yang bersifat heterogen. Setiap orang
pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, akan tetapi karena terdapat
perbedaan budaya, maka kebutuhan tersebut pun ikut berbeda.
Maslow telah mengembangkan suatu tingkatan atau hierarki kebutuhan
manusia yang terdiri atas lima kategori (Rini, 2017; Malita, 2014).
Virginia Henderson melihat pasien sebagai individu yang
membutuhkan bantuan untuk mencapai kemandirian dan keutuhan pikiran
serta tubuh. Henderson juga mengungkapkan bahwa praktek keperawatan
sebagai praktek yang independen. Virginia Henderson mengharapkan pasien
menjadi fokus perhatian bagi perawat. Fungsi dasar seorang perawat adalah
membantu individu yang sakit maupun sehat, kegiatanya keperawatan
terintegrasi dengan pelayanan kesehatan sehingga individu mendapatkan
pemulihan atau perfoma yang baik. (Warastiko & Widiyarti, 2016).
Imogene King mendefinisikan manusia menjadi 3 subjek, yaitu
manusia sebagai makhluk individu, makhluk yang berorientasi pada waktu
dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu diartikan sebagai
reaktifan yakni mereka bisa bereaksi terhadap rangsangan yang ada baik dari

3
situasi, orang lain maupun objek tertentu. Sedangkan untuk makhluk yang
berorientasi pada waktu yakni manusia bergantung pada kejadian masa
lampau dan masa mendatang. Dan untuk makhluk sosial diartikan
bahwasannya manusia tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bantuan dari
orang lain (Pujiastutik & Sumaningrum, 2019).
2.1.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Menurut Abraham Maslow, Hierarki kebutuhan dasar manusia adalah
model yang dapat digunakan untuk mengetahui dan menentukan tingkatan
kebutuhan manusia Hierarki kebutuhan dasar manusia yang biasa dikenal
dengan bentuk pyramid, terdiri atas 5 dasar yaitu (Patrisia, et al, 2020; Potter
& Perry, 2013):
1. Kebutuhan Fisiologis (Physiologic Needs)
Kebutuhan fisiologis merupakan tingkatan kebutuhan yang paling
dasar, paling kuat dan paling jelas antara kebutuhan manusia
adalah kebutuhannya untuk mempertahankan hidup secara fisik,
yaitu kebutuhan akan makan, minum, tempat berteduh, seks, tidur,
oksigen dan pemuasan terhadap kebutuhan yang sangat penting
untuk kelangsungan hidup (Sejati, 2019).
2. Kebutuhan Keselamatan dan Rasa Aman (Safety and Security
Needs)
Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan
keamanan, stabilitas, perlindungan, struktur, keteraturan, situasi
yang bisa diperkirakan, bebas dari rasa takut dan cemas, dan
sebagainya. Oleh karena adanya kebutuhan inilah maka manusia
membuat peraturan, undang-undang, mengembangkan
kepercayaan, membuat system, asuransi, pension, dan sebagainya.
Kebutuhan keselamatan dan rasa aman yang dimaksud adalah
aman dari berbagai aspek, baik fisiologis maupun psikologis
(Merizkha, 2019).

4
3. Kebutuhan Rasa Cinta, Memiliki, dan Dimiliki (Love and
Belonging Needs)
Kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa cinta termasuk kebutuhan
persahabatan, hubungan sosial, dan cinta. Manusia mempunyai
kebutuhan bawaan untuk menjadi bagian untuk menjadi bagian
suati kelompok dan merasa diterima oleh orang lain ((Patrisia, et
al, 2020; DeLaunde & Ladner, 2011). Setiap orang yang tidak
mempunyai keluarga akan merasa sebatang kara, sedangkan orang
yang tidak sekolah dan tidak bekerja merasa dirinya oengangguran
yang tidak berharga. Kondisi seperti ini akan menurunkan harga
diri orang yang bersangkutan (Merizkha, 2019).
4. Kebutuhan Harga Diri (Self-Esteem Needs)
Ada dua macam kebutuhan akan harga diri. Pertama, adalah
kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi,
percaya diri, dan kemandirian. Sementara yang kedua adalah
kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran,
dominasi, kebanggan, dianggap penting, dan apresiasi dari orang
lain (Merizkha, 2019). Harga diri yang positif merupakan sebuah
apresiasi atas nilai pribadi seseorang. Orang yang merasa
kontribusinya dihargai oleh keluarga, teman, lingkungan sekitar
akan lebih merasa percaya diri (Patrisia, 2020; Rosdahl &
Kowalski, 2012)
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Need for Self Actualization)
Aktualisasi diri adalah level tertinggi dari hierarki Maslow.
Seseorang yang mengaktualisasikan diri cukup nyaman untuk
membuat rencana kedepan dan menjadi lebih kreatif. Maslow
menyatakan banyak orang yang sibuk memenuhi kebutuhan
fisiologis, keselamatan dan keamanan. Orang cenderung
memberikan sedikit waktu untuk memenuhuni aktualisasi diri,

5
sehingga banyak orang yang kurang puas di tingkat hierarki yang
lebih tinggi (Patrisia, 2020; Potter & Perry, 2013).

Sedangkan faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar


manusia, antara lain :
1. Penyakit
2. Hubungan yang berarti
3. Konsep diri
4. Tahap pengembangan
5. Struktur Keluarga

Sedangkan menurut Virginia Henderson menekankan asuhan keperawatan


didasari pada 14 kebutuhan dasar manusia, antara lain :
1. Breath normally (bernafas dengan normal)
2. Eat and drink adequately (kebutuhan makan dan minum yang
adekuat)
3. Eliminate body wastes (kebutuhan eliminasi)
4. Move and maintain desirable postures (kebutuhan bergerabergerak
dan dapat mempertahankan postur tubuh dengan baik
5. Sleep and rest (kebutuhan tidur dan beristirahat)
6. Select suitable clothes; dress and undress (kebutuhan berpakaian)
7. Maintain body temperature within a normal range by adjusting
clothing and modifying the environment (mempertahankan suhu
tubuh dalam kisaran normal, dengan menyesuaikan pakaian dan
memodifikasi lingkungan)
8. Keep the body clean and well groomed and protect the integument
(menjaga tubuh tetap bersih dan melindungi kulit)
9. Avoid dangers in the environment and avoid injuring others
(menghindari bahaya lingkungan dan menghindari cedera orang
lain)

6
10. Communicate with others in expressing emotions, needs, fears, or
opinions (Berkomunikasi dengan orang lain untuk mengungkapkan
perasaan emosi, kebutuhan, ketakutan atau pendapat)
11. Worship according to ones’s faith (mempercayai
keimanan/ketuhanan)
12. Work in such a way that there is a sense of accomplishment
(Kebutuhan akan pekerjaan dan penghargaan).
13. Play or participate in various forms of recreation (kebutuhan akan
hiburan atau rekreasi)
14. Learn, discover, or satisfy the curiosity that leads to normal
development and health and use the available health facilities
(Belajar, menemukan atau memuaskan rasa ingin tahu dan dapat
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada
2.2 Perspektif Teori Tentang Pemenuhan Kebutuhan Sesuai Tema Kelompok
2.2.1 Definisi Infeksi Pada Pasien Diabetes Melitus
Infeksi merupakan invasi dan multiplikasi mikroorganisme dalam
jaringan inang yang menginduksi respons inflamasi inang, biasanya diikuti
dengan kerusakan jaringan. Infeksi terjadi apabila terdapat luka pada
penderita diabetes melitus (Lipsky, et al., 2020). Luka adalah hilang atau
rusaknya sebagian jaringan tubuh. Proses penyembuhan luka secara umum
merupakan suatu mekanisme seluler yang kompleks dan berfokus pada
pengembalian kontinuitas jaringan yang rusak. Terdapat empat tahapan
penting yang terjadi secara terus-menerus seperti hemostasis, inflamasi,
proliferasi, dan diferensiasi atau remodelling [ CITATION Fau20 \l 1057 ].
Luka diabetik merupakan luka kronik yang disebabkan oleh kondisi
lokal seperti infeksi juga kondisi sistemik seperti peningkatan kadar glukosa
darah yang dapat menyebabkan penurunan sensitifitas sel terhadap insulin.
Hal utama yang dapat menghambat proses perkembangan luka adalah
menurunnya faktor pertumbuhan (growth faktor) dan tidak seimbangnya
antara enzim proteolitik dan inhibitornya Hardings KG (2008, dalam Damsir,

7
Mattalata, Muzakir, & Irnayati, 2018). Perawatan luka yang diberikan pada
pasien harus dapat meningkatkan proses perkembangan luka. Perawatan yang
diberikan bersifat memberikan kehangatan dan lingkungan yang lembab.
Kondisi lembab pada permukaan luka dapat meningkatkan proses
perkembangan perbaikan luka, mencegah dehidrasi jaringan dan kematian sel.
Kondisi ini juga dapat meningkatkan interaksi antara sel dan faktor
pertumbuhan. Oleh karena itu, balutan harus bersifat menjaga kelembaban dan
mempertahankan kehangatan pada luka. Merawat luka merupakan tindakan
keperawatan dengan tujuan mencegah infeksi silang (masuk melalui luka) dan
mempercepat proses penyembuhan luka [ CITATION Yus15 \l 1057 ].
Risiko infeksi pada pasien Diabetes Mellitus juga disebabkan karena
adanya kadar glukosa yang tidak stabil sehingga menyebabkan kadar imun
dalam tubuh menurun. Menurunnya kadar imun dalam tubuh menyebabkan
respon sistem imun melambat saat terpapar kuman penyakit.
2.2.2 Jenis Infeksi Pada Pasien Diabetes Melitus
Penentuan derajat infeksi menjadi sangat penting. Menurut The
Infectious Diseases Society of America membagi infeksi menjadi 3 kategori,
yaitu :
a. Infeksi ringan: apabila didapatkan eritema <2cm
b. Infeksi sedang: apabila didapatkan eritema >2 cm
c. Infeksi berat: apabila didapatkan gejala infeksi sistemik

2.2.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi


Menurut Betteng, Pangemanan, & Mayulu (2014) beberapa faktor yang
mempengaruhi infeksi pada pasien diabetes melitus, yaitu :
1. Usia
Diabetes sering muncul setelah seseorang memasuki usia rawan,
terutama setelah usia 45 tahun pada mereka yang berat badannya
berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin.
2. Obesitas

8
Obesitas merupakan faktor utama dari insiden diabetes mellitus tipe 2.
Faktor utama adalah ketidakseimbangan asupan energi dan keluarnya
energi.
3. Makanan
Teori menyebutkan bahwa seringnya mengonsumsi
makanan/minuman manis akan meningkatkan resiko kejadian diabetes
mellitus tipe 2 karena meningkatkan konsentrasi glukosa dalam darah.
4. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah
menjadi energi pada saat berkatifitas fisik. Aktifitas fisik
mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam
darah akan berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat
makanan yang masuk kedalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun
dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi
untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul diabetes
mellitus.
5. Gaya hidup
Selain kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan, konsumsi makanan
beresiko, konsumsi alkohol dan rokok menjadi resiko diabetes melitus.

2.2.4 Dampak perubahan kebutuhan dasar manusia terhadap homeostatis


tubuh
Diabetes melitus menyebabkan komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular terutama dikarenakan adanya
resistensi insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskular lebih disebabkan oleh
hiperglikemia kronik. Kerusakan vascular, dimulai dengan terjadinya
disfungsi endotel akibat proses glikosilasi dan stres oksidatif pada sel endotel.
Disfungsi endotel mempunyai peranan penting dalam mempertahankan
homeostasis pembuluh darah. Disfungsi endotel memfasilitasi hambatan fisik

9
antara dinding pembuluh darah dengan lumen, endotel menyekresikan
sejumlah mediator yang mengatur agregasi trombosit, koagulasi, fibrinolisis,
dan tonus vaskular. Disfungsi endotel didefinisikan sebagai kondisi dimana
endotel kehilangan fungsi fisiologisnya seperti kecenderungan untuk
meningkatkan vasodilatasi, fibrinolisis, dan antiagregasi. Sel endotel
mensekresikan beberapa mediator yang dapat menyebabkan vasokontriksi
seperti endotelin-a dan tromboksan A2, atau vasodilatasi seperti nitrik oksida,
prostasiklin, dan endotheliumderived hyperpolarizing factor. Nitrik oksida
memiliki peranan utama pada vasodilatasi arteri.
Pada pasien DM tipe 2 disfungsi endotel hampir selalu ditemukan,
karena hiperglikemia kronis memicu terjadinya gangguan produksi dan
aktivitas nitric oksida, sedangkan endotel memiliki keterbatasan intrinsik
untuk memperbaiki diri. Paparan sel endotel dengan kondisi hiperglikemia
menyebabkan terjadinya proses apoptosis yang mengawali kerusakan tunika
intima. Proses apoptosis ini terjadi melewati serangkaian proses yang
kompleks yaitu teraktivasi jalur sinyal β-1 integrin, setelah aktivasi integrin,
akan terinduksi peningkatan p38 mitogen- activated protein kinase (MAPK)
dan c-Jun N-terminal (JNK) yang berujung pada apoptosis sel. Pada sel
endotel yang telah mengalami apoptosis, akan terjadi pula aktivasi vascular
endothelial-cadherin yang akan menyebabkan apoptosis sel-sel sekitar pada
daerah yang rentan mengalami aterosklerosis.
2.2.5 Masalah Keperawatan yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan
1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin
ditandai dengan kadar glukosa dalam darah tinggi
2. Kesiapan peningkatan manajemen kesehatan dibuktikan dengan pilihan
hidup sehari-hari tepat untuk memenuhi tujuan program kesehatan.

10
2.3 Metode Review

Proses yang digunakan untuk melakukan Evidence Based Practice dalam


makalah ini adalah dengan mencari beberapa jurnal penelitian yang dipublikasikan
melalui database elektronik yaitu PubMed dan Ebscohost. Kata kunci yang dipakai
untuk mencari jurnal dalam bahasa Inggris sebagai berikut:

P Patient diabetes
I Control infection
C -
O Prevention of infection

Hasil pencarian melalui Ebscohost dengan kata kunci patient diabetes, control
infection, dan prevention of infection ditemukan 106 artikel, ditambahkan dengan
kriteria inklusi, 10 tahun terakhir, free full text, dan english ditemukan 15 artikel.
Hasil pencarian melalui Pubmed dengan kata kunci patient diabetes, control
infection, dan prevention of infection ditemukan 2468 artikel, ditambahkan dengan
kriteria inklusi, 10 tahun terakhir, free full text, Randomize Control Trial, meta-
analysis dan english ditemukan 79 artikel. Dari banyaknya artikel yang ditemukan,
kami memilih 6 jurnal yang akan kami jadikan critical review dalam laporan ini.

Kata kunci yang dimasukan dalam


literature melalui database elektronik
PubMed dan Ebscohost
Total Artikel yang didapat: 2574

Artikel dispesifikan dengan


inklusi yang sudah ditentukan.

Artikel yang didapat (n = 94)

Scamming berdasarkan intervensi


sesuai pasien kelolaan diabetes
melitus
11
Artikel yang terpilih (n = 5)
TABEL PICO

P= patient diabetes

I= control infection

C= -

O= prevention of infection

Database Keyword Hasil Inclusi Criteria Hasil


Ebscohost  patient 580  10 tahun terakhir 15
diabetes  Full text
 control  Language : english
infection
 prevention
of
infection
Pubmed  patient 2468  Article Types : 79
diabetes Randomized
 control Controlled Trial,
infection Meta-Analysis
 preventio  Text Availability :
n of free full text
infection  Publication Dates : 10
years

12
2.3.1 Analisis Jurnal
Populasi, Sampel,
Judul Artikel Tujuan Jenis Variabel & Kekuatan dan
No & Teknik Intervensi Hasil
& Penulis Penelitian Penelitian Instrumen Kelemahan
sampling
1 Negative Untuk 368 pasien diacak Randomize Variable : NPWT penutupan Hasil Pada Kelemahan :
pressure mengevaluas dan 345 peserta d Control kecepatan luka dengan populasi ITT, Defisit
wound i efektivitas dimasukkan Trial penutupan luka bantuan vakum, baik tingkat dokumentasi
therapy dan dalam populasi mengacu pada penutupan luka dan
compared keamanan pengobatan luka Alat ukur : sistem pembalut (perbedaan: n = penyimpangan
with standard terapi luka diabetes yang CONSORT, luka yang secara 4 (2.5% (95% dari pedoman
moist wound tekanan dimodifikasi. Pasi Consolidated terus menerus atau CI − 4.7% - pengobatan
care on negatif en dewasa yang Standards of sesekali 9.7%); p = berdampak
diabetic foot (NPWT) menderita ulkus Reporting Trial memberikan tekan 0.53)) maupun negatif pada
ulcers in real- pada pasien kaki diabetik of Reporting an subatmosfir ke waktu hasil penutupan
life luka kaki setidaknya selama Trials sistem, yang penutupan luka luka.
clinical diabetik 4 minggu dan memberikan tekan (p = 0.244)
practice: dalam tanpa an positif ke signifikan Tidak
results of the praktek kontraindikasi permukaan antara dijelaskan SPO
German klinis untuk NPWT luka.dibandingkan kelompok SMWC sesuai
DiaFu- RCT diizinkan untuk dengan perawatan pengobatan. guidline di
(Dörthe dimasukkan. luka lembab 191 peserta negara tersebut
Seidel, dkk standar (SMWC) (NPWT 127;
tahun 2020) Teknik sampling: menurut standar SMWC 64)
Uji klinik acak dan pedoman local kehilangan
di Jerman. dokumentasi
titik akhir,
terapi prematur
berakhir atau
perubahan

13
pengobatan
yang tidak sah.
96 peserta
dalam
kelompok
NPWT dan 72
peserta dalam
kelompok
SMWC
memiliki
setidaknya satu
AE (p = 0,007),
tetapi hanya 16
AE yang terkait
dengan NPWT.
NPWT tidak
lebih baik dari
SMWC pada
luka kaki
diabetik pada
praktek klinis
Jerman. Secara
keseluruhan,
tingkat
penutupan luka
rendah. 
2 Repositionin Untuk 30 pasien, 10 Randomize Variabel : Reposisi dan Pemberian Kelemahan :
g and mengetahui pasien dengan d Penurunan Massage yang reposisi - Tidak adanya
Massage apakah immobilisasi Controlled derajat dilaksanakan dan pasien dengan

14
Reducing reposisi dan yang terdiri dari 7 Trials dekubitus selama massage kelompok
Decubitus massgee pasien penurunan seminggu yang selama 7 hari kontrol
Degrees in berpengaruh kesadaran dan 3 Instrumen : dikaji setiap hari dapat
Immobilized terhadap pasien dengan alat ukur grade perubahannya. menurunkan
Patients with menurunnya paraplegia/hemipl dekubitus pada pasien ukuran
Neurological derajat egia mengalami dekubitus diameter luka,
Disorders dekubitus decubitus grade 1 derajat satu dan memberikan
dan 2 dua setiap dua jam perubahan
(Najihah, dkk pada pagi dan sore warna
2020) Teknik sampling : hari, dan setiap mendekati
Purvosive enam jam pada warna kulit di
sampling malam hari, sekitar, lebih
dilakukan secara cepat
bergantian dari menurunkan
posisi terlentang, derajat luka
miring kanan, pada
miring kiri dan dekubitus
seterusnya dengan derajat 1, dan
durasi 10-15 lebih
menit untuk cepat
setiap pergantian menurunkan
posisi. derajat
dekubitus
Massage pada bagian
dilakukan dengan Heel
pemberian
tekanan lembut
menggunakan
tekhnik stroking

15
dan efflurage
pada pasien
dekubitus derajat
satu dan dua di
area
sekitar luka,
dilakukan dua kali
sehari (pagi dan
sore) selama 1 - 2
menit.

3 The Effect of untuk 100 pria dan quasi- Variabel : Sebelum kursus Perubahan Kelemahan :
Educational mengevaluas wanita dewasa eksperimen Kadar glukosa diambil melakukan HbA1c tiga Tidak adanya
Interventions i efektivitas berusia antara 40 tal dalam tubuh sampel gula darah, bulan setelah kelompok
on Glycemic intervensi dan 75 tahun lalu mulai kursus 3 selesainya kontrol untuk
Control in pendidikan yang menderita Instrumen : bulan diantaranya intervensi perbandingan
Patients with dalam diabetes tipe 2 alat cek gula kursus pendidikan pendidikan kelompok
Type 2 kontrol minimal 2 tahun darah diabetes bersama, dibandingkan intervensi
Diabetes glikemik dan telah pelatihan olah raga dengan nilai
Mellitus yang menerima dan pendidikan dasar
diwakili oleh maksimal 2 obat gizi bersama ahli menggunakan
(Zibaeenezha penurunan diabetes oral. dalam rangka uji-t sampel
d MJ, dkk kadar peningkatan berpasangan. M
tahun 2015) hemoglobin Teknik sampling : pengetahuan dan enurut hasil,
terglikasi (Uji klinik acak sikap pasien tingkat rata-rata
(HbA1c) di terkomputerisasi) terhadap diabetes HbA1C secara
antara pasien dan untuk signifikan lebih
diabetes meningkatkan rendah pada
partisipasi mereka follow up 3

16
dalam swa- bulan
monitor glukosa dibandingkan
darah. dengan baseline
program intervensi (8,09 ± 0,31
pendidikan dinilai versus 8,51 ±
dengan mengukur 0,26, P
perubahan pada <0,001). 
level Hba1c.

4 Dietary Fiber Untuk Populasi: Quasi Variabel : serat Peningkatan Lima belas Kekuatan:
for the mengetahui dilakukan pada experiment makanan asupan serat studi memenuhi Penulis lebih
Treatment of apakah 100 pria dan al makanan terapi kriteria inklusi banyak
Type 2 peningkatan wanita dewasa Instrumen : nutrisi medis dan eksklusi. memaparkan
Diabetes serat berusia antara 40 alat ukur antara lain untuk Perbedaan rata- hasil dengan
Mellitus: A makanan dan 75 tahun hemoglobin meningkatkan rata keseluruhan menggunakan
Meta- mempengaru yang menderita dan gula darah kontrol kadar serat diagram
Analysis hi diabetes tipe 2 glukosa darah, dibandingkan sehingga
hemoglobin minimal 2 tahun profil lipid, dan dengan plasebo memudahkan
(Robert E (HbA1c) dan dan telah tekanan darah adalah pembaca
Post, dkk glukosa menerima untuk mengurangi penurunan Kelemahan:
tahun 2012) darah puasa maksimal 2 obat risiko penyakit glukosa darah Penulis tidak
pada pasien diabetes oral kardiovaskular puasa 0,85 memeriksa data
diabetes pada pasien mmol / L (95% yang tidak
mellitus tipe diabetes mellitus CI, 0,46-1,25). dipublikasikan,
2 tipe 2. Terapi Diet tidak terdapat
nutrisi medis telah serat sebagai jumlah sampel
terbukti dapat intervensi juga dan teknik
mengurangi memiliki efek pengambilan
hemoglobin pada HbA1c sample

17
terglikosilasi dibandingkan
(HbA1c) oleh 1% plasebo, dengan
hingga 2% pada perbedaan rata-
pasien dengan rata keseluruhan
diabetes mellitus penurunan
tipe 2 seperti HbA1c sebesar
mengonsumsi 0,26% (95% CI,
buah bit dan 0,02– 0,51).
gandum

5 Mindfulness- Untuk 105 peserta Randomize Variabel : Meditasi relaksasi Hasil Kedua Kelemahan :
Based membanding penelitian dibagi d Control meditasi progresif terdiri kelompok MM Kurangnya
Meditation kan secara acak Trial kesadaran dari fokus pada dan PM generalisasi
Versus penggunaan menjadi 3 (MM), kelompok otot, mengalami untuk populasi
Progressive meditasi kelompok: 35 meditasi menegangkan, dan signifikan yang lain
Relaxation kesadaran peserta kelompok kontrol (CM), kemudian ( P<0,05)
Meditation: dan relaksasi meditasi dan meditasi merelaksasikan pengurangan
Impact on progresif kesadaran (MM), relaksasi kelompok otot nyeri harian
Chronic Pain untuk Kelompok progresif (PM) tertentu sampai rata-rata dalam
in Older mengurangi meditasi kontrol seluruh tubuh 24 jam terakhir
Female nyeri kronis (CM), dan Instrumen : mengalami proses pada akhir
Patients With pada wanita Kelompok Penilaian ini pada akhir sesi. penelitian
Diabetic lansia meditasi relaksasi Efektivitas Sesi ini terdiri dari dibandingkan
Neuropathy dengan progresif (PM). Analgesik  5 menit duduk dengan baseline
diabetes dinilai dengan tenang, 23 menit (masing-masing
(Nadia Teknik sampling : mengamati relaksasi otot 28,7% dan
Hussain, dkk Open recruitment setiap progresif, dan 2 39,7%). Kelom
tahun 2019) atau invitation perubahan hingga 3 menit pok MM
dengan pamflet dalam nyeri pemanasan. mengalami pen

18
harian rata-rata urunan nyeri
Brief Pain Kelompok yang lebih
Inventory meditasi kesadaran signifikan
(BPI) yang menjalani terapi ( P <.01)
dimodifikasi kognitif berbasis dibandingkan
untuk kesadaran. 16 sesi dengan kontrol,
neuropati latihan meditasi skor 5,2 ± 1,2
perifer diabetik yang digabungkan turun menjadi
yang dengan elemen 3,0 ± 1,1 pada
menyakitkan terapi kognitif. minggu ke-12
(BPI-DPN Q4) pengobatan. Kel
dan Patient Kelompok control ompok MM dan
Global menjalani 16 sesi PM
Impression of diskusi selama 15 menunjukkan
Change menit diikuti peningkatan
(PGIC) dengan 20 menit yang signifikan
duduk dengan pada kesan
tenang dan disuruh pasien pada
bersantai sebaik akhir penelitian,
mungkin. masing-masing
75 ± 5,1% (n =
36) dan 61 ±
6,5% (n =
32). Di Grup
MM, skor
kepuasan pasien
meningkat
secara
signifikan

19
( P.<0,05)
hingga 3,8 ± 1,9
pada minggu
12.

20
BAB III

INTERVENSI PENGONTROLAN INFEKSI

Setelah melakukan pencarian artikel jurnal dan diperoleh 5 jurnal terkait


dengan pengontrolan infeksi pada pasien diabetes melitus. Tindakan yang
direkomendasikan adalah jika pasien diabetes melitus memiliki gejala actual seperti
adanya luka decubitus maka perlu diberikan manajemen perawatan luka agar tidak
terjadi infeksi yang lebih parah. Peran perawat sebagai care giver sangat dibutuhkan
khususnya dalam perawatan luka decubitus pada pasien diabetes melitus. Intervensi
bagi pasien diabetes melitus untuk gejala actual bagi penderita decubitus yang penulis
dapatkan berdasarkan evidence based adalah Terapi Luka Tekanan Negatif (NPWT).
Prinsip NPWT dalam penyembuhan luka adalah menerapkan tekanan subatmosfer
pada dasar luka untuk mengurangi edema, meningkatkan pembentukan jaringan
granulasi dan mengatasi eksudat.
Hal terpenting dari terapi NPWT adalah menjadikan suasana lembap/moist
pada area luka, pengangkatan cairan dan material infeksius, pengurangan kolonisasi
bakteri, dan peningkatan pembentukan jaringan granulasi. Kelebihan NPWT antara
lain proses drainase luka lebih cepat, mencegah risiko munculnya seroma dan
hematoma, mengurangi angka kejadian dehisensi dan infeksi pada pasien berisiko
tinggi. Hal ini cukup penting pada pasien usia tua dan pasien dengan kondisi
komorbid seperti obesitas, hipertensi, penggunaan obat steroid, dan para perokok.
NPWT telah dianjurkan sebagai pilihan terbaik penanganan ulkus luas derajat III dan
IV dengan sedikit jaringan granulasi dan disertai eksudat berlebih. Intervensi
mengenai manajemen luka dapat diimplementasikan dalam praktik keperawatan
dengan tujuan agar luka tidak terjadi infeksi dan meminimalisir lokasi luka agar
sembuh.
Evidance based terkait intervensi NPWT ini, masih kurang relevan dalam hal
pengaplikasian di Indonesia. Karena terkendala oleh alat yang belum update serta dari
segi teknis negara Jerman yang mengenalkan NPWT. Namun, di Indonesia dalam

21
manajemen lukanya sudah mulai dikembangkan pada terapi modern dengan alat dan
bahan yang modern. Dari intervensi ini sangat relevan dengan diagnosa keperawatan
yang ada karena dapat meminimalisir dalam risiko infeksi pada pasien DM dengan
luka decubitus.
Adapun prosedur perawatan luka menurut (Ghofar, 2012) sebagai berikut :
a. Tahap pra interaksi
1) Melakukan pengecekan pada care plan pasien
2) Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
3) Mencuci tangan
4) Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar
b. Tahap orientasi
1) Memberikan salam dan menyapa pasien
2) Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/klien
3) Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
c. Tahap kerja
1) Menjaga privacy
2) Mengatur posisi pasien sehingga luka dapat terlihat jelas
3) Membuka peralatan
4) Memakai sarung tangan
5) Membasahi balutan dengan alkohol/swah bensin dan buka dengan
menggunakan
pinset
6) Membuka balutan lapisan terluar
7) Membersihkan sekitar luka dan bekas plester
8) Membuka balutan lapisan dalam
9) Menekan tepi luka (sepanjang luka) untuk mengeluarkan pus
10) Melakukan debridement
11) Membersihkan luka dengan menggunakan NaCl
12) Melakukan kompres desinfektan dan tutup dengan kassa
13) Memasang plester atau verband

22
14) Merapihkan pasien
d. Tahap terminasi
1) Melakukan evaluasi tindakan yang dilakukan
2) Berpamitan dengan klien
3) Membereskan alat-alat
4) Mencuci tangan
5) Mencatat kegiatan dalam lembar/catatan keperawatan
Sedangkan untuk intervensi di Indonesia terkait penanganan ulkus yang
mempengaruhi pada penyembuhan banyak variannya, dari muali terapi konvensional
maupun terapi modern. Hasil penelitian Nabhani & Widiyastuti (2017) mengatakan
bahwa madu memiliki manfaat untuk membantu proses penyembuhan luka gangrene
pasien diabetes melitus karena menurut Hammad (2013) dalam Nabhani dan
Widiyastuti (2017) madu memiliki kandungan airnya rendah, PH madu yang asam
serta kandungan hidrogen peroxida-nya mampu membunuh bakteri dan mikro-
organisme yang masuk kedalam tubuh kita. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Ismail, Irawati, & Haryati (2019), Balutan modern mempunyai tingkat perkembangan
perbaikan luka diabetik yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan balutan
konvensional. Semakin tinggi proses perbaikan luka pasien, semakin tinggi biaya
yang dikeluarkan untuk proses perbaikan luka. Pada kondisi dimana balutan modern
tidak dapat di lakukan, balutan konvensional masih dapat dilakukan dengan tetap
menjaga kelembaban luka yaitu dengan mengganti balutan 2 kali sehari dan
ditetapkan sebagai prosedur perawatan luka diabetes.
Selain dengan manajemen perawatan luka, bagi pasien dengan gejala actual
dengan decubitus, perawat dapat mengintervensi dengan melakukan reposisi atau
tirah baring. Tujuan reposisi adalah untuk mengurangi atau mengurangi tekanan pada
daerah yang terkena dekubitus, menjaga massa otot dan integritas jaringan umum dan
menjamin pasokan darah yang memadai untuk tubuh. Dalam analisis jurnal telah kita
ketahui bahwa dengan reposisi dapat menurunkan derajat dekubitas. Dalam hal ini
pasien diabetes melitus yang berisiko decubitus dapat mencegahnya dengan
intervensi reposisi. Menurut Zulaikah (2014) mengatakan bahwa ada pengaruh antara

23
alih tirah baring 2 jam terhadap kejadian dekubitus pada berbagai varian IMT pasien
dengan ρ value 0,011. Intervensi keperawatan yang lainnya yaitu dengan
menggunakan kasur anti dekubitus. Hasil penelitian Rustina (2016) menyatakan
bahwa ada pengaruh antara kasur anti dekubitus dengan derajat dekubitus pada pasien
tirah baring dengan ρ value 0,046.
Evidance based terkait intervensi reposisi dan dilakukan massage relevan
dalam hal pengimpementasiannya. Sudah banyak penelitian di Indonesia yang
menggunakan intervensi ini dalam menurunkan derajat decubitus. Meskipun
memerlukan evaluasi yang cukup lama dalam penyembuhannya serta perawatan yang
baik dan teratur. Pada praktiknya pun mudah dilakukan dengan bantuan dari keluarga
atau orang sekitar. Dari intervensi ini sangat relevan dengan diagnosa keperawatan
yang ada karena dapat menurunkan derajat dekubitus pada pasien DM dengan luka
decubitus. Namun, yang perlu dikembangkan adalah edukasi dan mengajarkan
kepada pasien DM bagaimana langkah – langkah reposisi dan massage yang baik
dilakukan. Ini menjadi tugas bagi tenaga kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan
dan melatih agar terealisasikan dalam penurunan kasus decubitus.

Contoh dan tata cara memposisikan tubuh melakukan reposisi sebagai berikut :

1) Meminta bantuan sedikitnya satu atau dua asisten


2) Rendahkanlah kepala tempat tidur sebatas klien mampu menoleransi
3) Posisikan klien ke sisi tempat tidur. Gunakan alat untuk mengurangi gesekan atau

24
pengangkat mekanik sesuai petunjuk pabrik jika klien tidak dapat menolong
melakukan gerakan atau obesitas.
4) Siap untuk membalikkan klien. Fleksikan lutut klien yang tidak dekat dengan
matras, letakkan salah satu tangan diatas pinggul klien dan tangan lainnya di atas
bahu klien.
5) Geser klien kesisi yang berlawanan dengan lutut yang di fleksikan
6) Letakkan bantal dibawah leher dan kepala klien
7) Bawa bahu klien kedepan
8) Posisikan kedau lengan sedikit fleksi. Lengan atas didukung dengan bantal setinggi
bahu ; lengan lain dengan matras
9) Letakkan bantal dibelakang punggung klien (buat dengan melipat panjang bantal.
Area yang mulus sedikit menjauhi punggung klien.
10) Letakkan bantal dibawah kaki semifleksi sejajar pinggul dari groin ke kaki
11) Meletakkan ankle foot orthotic pada kaki klien

Tidak dapat dipungkiri bahwa selain terdapat gejala aktual dalam kebutuhan
dasar manusia perlu diintervensi pula pasien dengan gejala potensialnya yang
harapannya dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien khususnya pada kasus
diabetes melitus. Peran perawat sebagai edukator sangat penting dalam memberikan
informasi kepada pasien mengenai pentingnya melakukan kontrol gula darah,
memperbaiki status nutrisi pasien, karena jika pasien mengalami malnutrisi maka
akan meningkatkan faktor risiko terjadinya decubitus. Kemudian, jika pasien dapat
mengontrol gula darah hal ini dapat meningkatkan perubahan perilaku pasien
sehingga persentase kadar gula darah pasien yang buruk dapat diminimalkan.
Beberapa fenomena yang terjadi pada penelitian yang telah dilakukan oleh
Masfufah pada tahun 2013 menyebutkan bahwa dari 36 pasien yang melakukan
memeriksakan gula darah puasa secara teratur, terdapat sebanyak 16,7% pasien
memiliki kadar gula darah baik yaitu kurang dari 100 mg/dl, sebanyak 5,5% pasien
memiliki kadar gula darah antara 100 - 126 mg/dl, dan sebanyak 77,8% memiliki

25
kadar gula darah buruk atau tidak terkontrol yaitu lebih dari 126 mg/dl. Hal ini
menunjukkan masih banyak pasien yang tidak teratur mengontrol gula darahnya.
Banyak faktor yang menyebabkan pasien tidak teratur dalam melakukan
kontrol kadar gula darah, salah satunya menurut Safitri Inda tahun 2013 adalah faktor
locus of control internal. Pengertian Locus of control internal merupakan sebuah
penguatan diri pada pasien yang mengidentifikasikan bahwa individu percaya bahwa
penyakit datang dari dirinya sendiri sehingga ia bertanggung jawab atas apa yang
akan dialaminya. Jika tingkat locus of control internal pasien DM rendah, maka
tingkat kesadaran untuk memperhatikan kesehatannya (melakukan kontrol kadar gula
darah secara teratur) juga akan menurun. Selain itu, terdapat faktor lain yang
menyebabkan pasien tidak teratur dalam melakukan kontrol kadar gula darah.
Menurut penelitian yang dilakukan di Korea pada tahun 2014 faktor yang
mempengaruhi pasien DM tidak teratur melakukan kontrol kadar gula darah meliputi
faktor ekonomi, jarak tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan, dan dukungan
keluarga. Tinggi rendahnya tingkat ekonomi dapat mempengaruhi pasien dalam
meningkatkan self management. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan sebesar
70% pasien yang tidak mempunyai pekerjaan (pengangguran) lebih cenderung jarang
melakukan kontrol kadar gula darah secara teratur. Jarak tempat tinggal dengan
fasilitas kesehatan juga dapat mempengaruhi keteraturan kontrol yang dilakukan.
Pasien yang mempunyai jarak yang lebih dekat dengan fasilitas 51 kesehatan akan
lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan. Selain itu, terdapat faktor dukungan
keluarga yang mempengaruhi keteraturan pasien dalam melakukan kontrol kadar gula
darah secara rutin. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan sebesar 89% pasien
yang telah menikah memiliki dukungan keluarga yang lebih besar dalam
meningkatkan keteraturan pasien dalam melakukan kontrol kadar gula darah.
Dengan fenomena ini, maka ada intervensi yang mencakup keseluruhan
masalah dapat diatasi pada pasien diabetes melitus gejala potensial yaitu dengan
menerapkan Schedule of EMAS (education, nutrition management, physical activity,
stresss management) interventions. (Andriyanto, Rekawati, & Rahmadiyah, 2019).
Dengan intervensi ini diharapkan kasus diabetes melitus dapat terkontrol.

26
Kursus Aktivitas Metode
Kursus 1 Edukasi tentang DM Menonton video edukasi, diskusi, dan
evaluasi workbook yang diadakan satu
kali di minggu ke 1 bulan ke 1

Kursus 2 Skrining kesehatan: skrining Metode support group oleh kader


faktor risiko DM kesehatan kepada masyarakat,
demonstrasi dan redemonstrasi pada
pelatihan pengisian formulir google
untuk kader kesehatan yang
dilaksanakan sebanyak dua kali pada
bulan ke 1

Kursus 3 Manajemen nutrisi: makanan Metode kuis singkat dan evaluasi buku
sehat dan tidak sehat untuk kerja yang dilaksanakan sebanyak dua
penderita diabetes kali pada minggu ketiga dan keempat
bulan ke 1

Kursus 4 Manajemen nutrisi: Sebuah tutorial yang diadakan satu kali


menghitung kalori tubuh di minggu pertama bulan ke 2.
Kursus 5 Manajemen nutrisi: Demonstrasi dan demonstrasi ulang
menyusun menu makan yang dilakukan satu kali pada minggu
sehari-hari kedua bulan ke 2, serta evaluasi buku
kerja, pada minggu ketiga bulan ke 3.
Kursus 6 Peningkatan latihan: Latihan Metode demonstrasi dan demonstrasi
kaki diabetes ulang dilakukan selama lima kali
pertemuan pada minggu pertama,
kedua, dan ketiga bulan ke 4, serta
minggu pertama dan kedua bulan ke 5.
Kursus 7 Latihan yang ditingkatkan: Dilakukan bersama kader kesehatan dan
Senam masyarakat setiap minggu.

Kursus 8 Relaksasi otot progresif dan Spesialis perawat komunitas


terapi musik melaksanakan program selama lima
pertemuan pada minggu ketiga bulan ke
4 hingga minggu ketiga bualan ke 5.

Evidance based terkait intervensi melakukan pola diet pasien DM, melakukan
control glukosa dan latihan fisik yang teratur sudah sering dilakukan oleh pasien DM
di Indonesia serta relevan dalam hal pengimpementasiannya. Perlu ditekankan
perlunya kesadaran dan kepatuhan dari pasien DM itu sendiri agar intervensi ini bisa

27
efektif. Terkait control glukosa sudah dicanangkan di Indonesia untuk bisa
melakukannya secara mandiri walaupun harus melakukan pelatihan dan diawasi oleh
kader setempat ataupun bisa datang ke pelayanan kesehatan secara teratur. Hal yang
paling ditekankan pola makan diet pasien DM adalah disiplin dalam mengatur jadwal
makan, jenis dan jumlah makanan atau 3 J. Dalam pengaplikasiannya pun di
Indonesia sudah dijalankan. Intervensi kurang efektif bila pasiennya sendiri kurang
patuh dalam menjalankan diet DM ini. Pada praktik latihan fisik pada evidence based
diatas mash banyak intervensi latihan aktifitas yang dapat digunakan untuk menekan
risiko DM, di Indonesia sendiri banyak variannya seperti senam, lari, ataupun terapi
music yang akan berpengaruh pada fisik, psikologi dan meningkatkan imunitas tubuh.
Dari intervensi ini sangat relevan dengan diagnosa keperawatan yang ada karena
dapat meningkatkan derajat kesehatan pada pasien risiko DM dan terealisasikan
program kesehatan menjauhi risiko infeksi yang lebih lanjut.

28
BAB IV

PEMBAHASAN

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang mengalami trend


dan prevalensi yang berubah karena berhubungan dengan faktor risiko DM tipe 2
apabila tidak tertangani sehingga tidak menutup kemungkinan muncul insiden setiap
tahunnya salah satunya terjadi risiko infeksi. Risiko infeksi pada pasien Diabetes
Mellitus juga disebabkan karena adanya kadar glukosa yang tidak stabil sehingga
menyebabkan kadar imun dalam tubuh menurun. Oleh sebab itu penderita Diabetes
Mellitus (DM) rentan terkena infeksi pada luka. Infeksi pada luka tersebut karena
terhambatnya aliran darah sehingga menimbulkan pembusukan pada bagian luka
(Dewi, 2020).
Pengelolaan diabetes melitus yang komprehensif tidak lepas dari peran ilmu
keperawatan dengan pelayanan keperawatan professional dengan menekankan pada
kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan. Dalam memberikan asuhan keperawatan
profesional, beberapa hal yang dapat dilakukan adalah dengan penerapaan teori
keperawatan sebagai petunjuk asuhan keperawatan, memberikan intervensi
keperawatan berdasarkan evidence based, dan membuat terobosan melalui inovasi
keperawatan (Runtuwarow, et al, 2020). Melalui penerapan praktek keperawatan
berbasis pembuktian (Evidence Based Practice), pengkajian dan pengelolaan diabetes
melitus dilakukan untuk mengontrol kadar gula dalam darah serta memberikan
edukasi mengenai teknik perawatan luka pada pasien diabtes.
Intervensi bagi pasien diabetes melitus untuk gejala actual bagi penderita
decubitus yang penulis dapatkan berdasarkan evidence based adalah Terapi Luka
Tekanan Negatif (NPWT). Prinsip NPWT dalam penyembuhan luka adalah
menerapkan tekanan subatmosfer pada dasar luka untuk mengurangi edema,
meningkatkan pembentukan jaringan granulasi dan mengatasi eksudat. Hal terpenting
dari terapi NPWT adalah menjadikan suasana lembap/moist pada area luka,
pengangkatan cairan dan material infeksius, pengurangan kolonisasi bakteri, dan
peningkatan pembentukan jaringan granulasi. Kelebihan NPWT antara lain proses

29
drainase luka lebih cepat, mencegah risiko munculnya seroma dan hematoma,
mengurangi angka kejadian dehisensi dan infeksi pada pasien berisiko tinggi. Hal ini
cukup penting pada pasien usia tua dan pasien dengan kondisi komorbid seperti
obesitas, hipertensi, penggunaan obat steroid, dan para perokok. NPWT telah
dianjurkan sebagai pilihan terbaik penanganan ulkus luas derajat III dan IV dengan
sedikit jaringan granulasi dan disertai eksudat berlebih.
Dalam praktik manajemen perawatan luka perawat dituntut untuk mempunyai
pengetahuan dan keterampilan dalam menangani masalah proses perawatan luka yang
dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat,
implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta
dokumentasi hasil yang sistematis. Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan
kompetensi perawat dalam melakukan perawatan luka adalah melalui pelatihan
perawatan luka dan melakukan sesuai prosedur yang berlaku. Dalam hal ini maka
perawat telah menjalankan otonomi dengan baik dalam manajemen perawatan luka
khususnya mengontrol infeksi pada pasien dekubitus penderita diabetes melitus.
Selain manajemen perawatan luka, intervensi yang dapat dilakukan untuk
mengelola luka pada diabetes melitus berdasarkan evidence base practice, yaitu
reposisi atau tirah baring dan massage dengan gejala aktual, dekubitus. Tujuannya,
yaitu untuk mengurangi tekanan pada daerah yang terkena dekubitus. Meskipun
tindakan massage tidak termasuk prosedur standar, namun beberapa penelitian telah
membuktikan massage dapat menjaga integritas kulit, kelembapan kulit, dan
regeneritas kulit.  Dalam penerapan evidence based pratice dengan metode reposisi
dan massage ditemukan adanya perubahan penurunan diameter luka, memberikan
perubahan warna mendekati warna kulit di sekitar, serta lebih cepat menurunkan
derajat luka pada dekubitus derajat 1. Menurut penelitian Sahrila, 2019 peran perawat
dalam mengedukasi intervensi reposisi dan massage kepada pasien dapat
mempengaruhi motivasi pasien sehingga berdampak pada perilaku perawatan diri.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi perawat untuk memberikan edukasi pada
pasien diabetes melitus sehingga perawatan diri dalam pengontrolan infeksi pasien
dapat diminimalisir.

30
Diabetes melitus masih menjadi suatu penyakit ancaman mengingat tingginya
prevalensi yang terjadi secara lokal dan nasional. Sehingga diperlukan sebuah
penatalaksanaan yang efektif agar tidak menjadi lebih kompleks. Menurut Smeltzer &
Bare (2002, dalam Anggraeni, Widayati, & Sutawardana, 2020) permasalahan yang
dialami oleh pasien diabetes melitus dapat diminimalisir apabila pasien memiliki
kemampuan dan pengetahuan yang maksimal dalam mengontrol penyakitnya.
Perawat memiliki peran penting dalam mempengaruhi kesehatan pasien sehingga
pasien dapat mencapai peningkatan derajat kesehatan (Suryadi, 2013).  Perawat
sebagai edukator memberikan edukasi kesehatan kepada pasien DM perihal
bagaimana melakukan perawatan diri dan perubahan gaya hidup (Gao et al., 2013).
Informasi yang diberikan oleh perawat mengenai penyakit akan menambah
pengetahuan seseorang terhadap penyakitnya dan persepsi yang muncul dapat
memberikan informasi (Notoatmodjo, 2012).
Peran perawat selain memberikan edukasi tentang penyakit diabetes melitus
dari segi pengertian, faktor penyebab, komplikasi, pencegahan dan gaya hidup sehat
pada klien diabetes melitus perlu memperhatikan pada kontrol glikemik klien
tersebut. Pengendalian glukosa darah yang baik menjadi salah satu faktor penting dan
telah terbukti menurunkan risiko komplikasi pada penyandang diabetes melitus tipe 1
dan 2. Pencapaian kendali glukosa darah yang baik diperlukan penatalaksanaan
holistik meliputi edukasi, terapi gizi medik, aktivitas fisik, pemberian obat-obatan,
dan pemantauan glukosa darah. Standar pemeriksaan kadar gula darah di pelayanan
kesehatan idealnya dilakukan minimal tiga bulan sekali setelah kunjungan pertama,
yang meliputi pemeriksaan kadar gula darah puasa, kadar gula darah 2 jam setelah
makan, dan pemeriksaan HbA1C (Mahendra, 2008). Peran perawat sebagai edukator
sangat penting dalam memberikan informasi kepada pasien mengenai pentingnya
melakukan kontrol gula darah. Melakukan kontrol kadar gula darah secara teratur
harus lebih ditekankan. Dengan melakukan kontrol kadar gula darah secara teratur,
kadar glukosa darah juga akan lebih mudah dikendalikan.
Pengontrolan glukosa ini perlu diiringi dengan pola makan bagi pasien DM.
Prinsip diet pasien DM adalah mengurangi dan mengatur konsumsi karbohidrat

31
sehingga tidak menjadi beban untuk mekanisme pengaturan gula darah. Pola diet
yang baik dapat tercipta jika kepatuhan pasien dalam pola diet baik menjalaninya. Hal
yang paling ditekankan pola makan adalah disiplin dalam mengatur jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan atau 3 J. Hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan
makan adalah kebutuhan energi / kalori ditentukan berdasar umur, jenis kelamin,
berat badan, dan aktifitas fisik. Tjokopurwo (2012) mengatakan bahwa diet DM yaitu
mengatur makanan tepat dengan jumlah energi yang dikonsumsi dalam satu hari,
tepat jadwal 3 kali makan utama dan 3 kali makan selingan dengan interval waktu 3
jam antara makan utama dan makan selingan serta tepat jenis yaitu menghindari
makanan yang tinggi kalori.
Pada penelitian (Widodo, 2012) menunjukkan bahwa ada hubungan diet tepat
dalam jumlah energi dengan peningkatan kadar gula darah puasa. Peran perawat
dalam manajemen nutrisi pada pasien DM sebagai asesor digambarkan dalam
pengkajian yang dilakukan berulang-ulang untuk menemukan perubahan pada status
nutrisi pasien. Perawat juga bernegosiasi dengan ahli gizi dalam penentuan jenis
makanan lain yang mungkin aman untuk meningkatkan status nutrisi pasien. Perawat
berperan sebagai edukator dalam hal memberikan pendidikan kesehatan tentang pola
makan diet untuk pasien DM.
Latihan relaksasi pada penderita DM memiliki peranan yang sangat penting
dalam mengendalikan kadar gula dalam darah untuk menghindari risiko infeksi,
dimana saat melakukan latihan fisik terjadi peningkatan pemakaian glukosa oleh otot
yang aktif sehingga secara langsung dapat menyebabkan penurunan glukosa darah.
Salah satu bentuk intervensi pelatihan mindfulness menekankan pada pemfokusan
perhatian pada peristiwa kekinian (peristiwa yang terjadi disini dan sekarang).
Germer (2005) menjelaskan tiga elemen penting dalam praktek mindfulnes, yaitu :
(1) kesadaran, (2) pengalaman saat ini, (3) dengan penerimaan. Kesadaran yang
muncul untuk meningkatkan wellbeing lebih lanjut dijelaskan oleh Mace (2008)
bahwa individu yang secara konsisten melakukan latihan mindfulness menunjukkan
adanya perubahan kesadaran dari waktu kewaktu serta peningkatan psychological
wellbeing. Penelitian tentang monitoring psychological wellbeing pada pasien DM

32
rawat jalan, menunjukkan bahwa monitoring rutin terhadap psychological wellbeing
sebagai bagian dari perawatan diabetes rawat jalan memiliki efek menguntungkan
pada suasana hati pasien (Pouwer F et al, 2010). Berdasarkan pada beberapa
penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa intervensi mindfulness
efektif dalam meningkatkan psychological wellbeing penderita DM. Berdasarkan
data-data yang telah disampaikan dapat disimpulkan bahwa individu yang menderita
DM akan mengalami perubahan baik fisik maupun psikis terkait pola pengelolaan
penyakitnya sehingga berpengaruh terhadap psychological wellbeing penderita.
Fluktuasi kadar gula darah penderita DM sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis.
Berdasarkan penelitian evidence based practice, pemberian edukasi kepada
pasien diabetes melitus cenderung menjadi intervensi yang hemat biaya dan dapat
mengurangi biaya perawatan kesehatan. Dalam memberikan intervensi pendidikan,
perlu mempertimbangkan hambatan uji klinis sesuai pada intervensi pendidikan,
mengingat fakta bahwa diabetes melitus adalah penyakit yang mengancam nyawa
sehingga penting bagi semua individu yang didiagnosis untuk menerima edukasi pada
saat didiagnosis. Pentingnya perawat sebagai edukator dalam memberikan pendidikan
diabetes kepada pasien dapat memperbaiki kesalahpahaman terkait penyakit mereka
(Strauss, Rosedale, & Kaur, 2016). Edukasi yang didapatkan oleh pasien DM dapat
meningkatkan kemampuan untuk mencapai dan memperoleh pemahaman tentang
pengetahuan kesehatan dan memahami kondisi mereka. Pemberian edukasi yang
dilakukan oleh perawat dapat memunculkan persepsi yang dapat menentukan perilaku
kesehatan seseorang terhadap penyakitnya dan terhindar dari risiko infeksi dan
komplikasi (Boonsatean, Rosner, Carisson, & Ostman, 2016).

33
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Infeksi pada pasien diabetes melitus terjadi apabila terdapat luka pada penderita
diabetes melitus lebih efektif dengan melakukan reposisi dan massage. Pada pasien
diabetes melitus belum mengarah komplikasi perlu mengatur pola makan diet,
mengontrol gula darah dan aktifitas latihan secara teratur agar terhindar dari risiko
infeksi decubitus. Melalui penerapan praktek keperawatan berbasis pembuktian
(Evidence Based Practice), intervensi pengontrolan infeksi pada pasien diabetes
melitus terbukti lebih efektif dan efisien sehingga dapat mengurangi biaya perawatan
kesehatan.

5.2 Saran

Bagi Penderita diabetes melitus hendaknya selalu mengontrol diet makan DM,
melakukan control glukosa dan latihan fisik yang teratur, agar dapat terhindar dari
komplikasi. Bagi perawat diharapkan dapat menerapkan intervensi berdasarkan
pembuktian (evidence based practice) sehingga dapat meningkatkan kualitas patient
safety dan peningkatan outcome asuhan keperawatan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, N. C., Widayati, N., & Sutawardana, J. H. (2020). Peran Perawat sebagai
Edukator terhadap Persepsi Sakit pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Kabupaten Jember. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia, 66-76.
Betteng, R., Pangemanan, D., & Mayulu, N. (2014). Analisis Faktor Resiko Penyebab
Terjadinya Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Dipuskesmas
Wawonasa. Jurnal E-Biomedik (Ebm), 404-412.
Boonsatean, W., Rosner, I. D., Carison, A., & Ostman, M. (2016). The Influences Of
Income And Education On The Illness Perception And Self-Management Of
Thai Adults With Type 2 Diabetes. Diabetes & Metabolic Disorders .
Https://Doi.Org/10.24966/Dmd201x/100017, 1-8.
Damsir, Mattalata, Muzakir, & Irnayati, R. (2018). Analisis Manajemen Perawatan
Luka Pada Kasus Luka Diabetik Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah
Sakit Arifin Nu’mang Kabupaten Sidrap. Window of Health : Jurnal
Kesehatan, 116-124.
Decroli, E. (2019). Diabetes Melitus Type 2. Padang: Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Dinas Kesehatan Kabupaten Garut. (2017). Profil Kesehatan Kabupaten Garut
Tahun 2017
Fauziah, M., & Soniya, F. (2020). Potensi Tanaman Zigzag Sebagai Penyembuh
Luka. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 39-44.
Ghofar, A. (2012), Pedoman Lengkap Keterampilan Perawatan Klinik. Yogyakarta:
Mitra Buku.
Ismail, D. D. S. L., Irawati, D., & Haryati, T. S. (2019), Penggunaan Balutan Modern
Memperbaiki Proses Penyembuhan Luka Diabetik. Jurnal Kedokteran
Brawijaya, Vol. XXV, No. 1, April 2019.
Kasiati, N., & Rosmalawati, N. D. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia 1. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Lipsky, B., Senneville, E., Abbas, Z., Sanchez, J. A., Diggle , M., Embil, J., . . .
Lavery, L. (2020). Guidelines On The Diagnosis And Treatment Of Foot
Infection In Persons With Diabetes (IWGDF 2019 Update). Wiley, 1-24.

35
Masfufah M& VH. Pengetahuan, kadar glukosa darah, dan kualitas hidup penderita
diabetes melitus tipe 2 rawat jalan di wilayah kerja puskesmas kota Makasar.
2013;1–12.
Merizkha, S. (2019). Asuhan Keperawatan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Rasa
Nyaman (Nyeri Akut) pada Pasien Pasca Operasi Apendisitis di Ruang
Kutilang RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung (Doctoral
dissertation, Poltekkes Tanjungkarang).

Muhartono, & Sari, N. R. (2017). Ulkus Kaki Diabetik Kanan Dengan Diabetes
Mellitus Tipe 2. Agromed Unila, 134-139.
Nabhani, & Widiyastuti, Yuli. (2017), Pengaruh Madu Terhadap Proses
Penyembuhan Luka Gangren Pada Pasien Diabetes Mellitus. Media Publikasi
Penelitian; 2017; Volume 15; No 1.
Paramitha, & Gumilang, M. (2014). Hubungan aktivitas fisik dengan kadar gula
darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 di rumah sakit umum daerah
karanganyar. Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Patrisia, I., Juhdeliena, J., Kartika, L., Pakpahan, M., Siregar, D., Biantoro, B., &
Sitanggang, Y. F. (2020). Asuhan Keperawatan pada Kebutuhan Dasar
Manusia. Yayasan Kita Menulis.
Pujiastutik, Y. E., & Sumaningrum, N. D. (2019). Theory Of Goal Attainment
(Imogene M. King) Sebagai Basis Analisis Faktor Patuh Minum Obat TB
Paru Di Kabupaten Kediri. Journal Ners Dan Kebidanan, 268-275.
Rini, P. S. (2017). Hubungan Konsep Diri dengan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Manusia Secara Holistik Berdasarkan Teori Abraham Maslow pada Anak Usia
6-12 Tahun yang Tinggal di Panti Asuhan Pondok Pesantren Subul’Ussalam
Palembang. Masker Medika, 5(2), 504-515.
Sejati, S. (2019). Hirarki Kebutuhan Menurut Abraham H. Maslow dan Relevansinya
dengan Kebutuhan Anak Usia Dini dalam Pendidikan Islam (Doctoral
dissertation, IAIN Bengkulu).
Roza, R. L., Afriant, R., & Edward, Z. (2015). Faktor Risiko Terjadinya Ulkus
Diabetikum Pada Pasien Diabetes Mellitus Yang Dirawat Jalan Dan Inap Di
RSUP Dr. M. Djamil Dan RSI Ibnu Sina Padang . Jurnal Kesehatan Andalas,
243-248.
Rustina. (2016). ‘Pengaruh Penggunaan Kasur Anti Dekubitus Terhadap Derajad
Dekubitus Pada Pasien Tirah Baring Di Rumah Sakit Brayat Minulya
Surakarta’. Skripsi. Sarjana Keperawatan. STIKES Kusuma Husada
Surakarta. Diakses dari www.digilib.stikeskusumahusada.ac.id/download.php
pada tanggal 2 Februari 2017.

36
Sari, N., & Purnama, A. (2019). Aktivitas Fisik dan Hubungannya dengan Kejadian
Diabetes Melitus. Window of Health : Jurnal Kesehatan, 368-381.
Strauss, S. M., Rosedale, M. T., & Kaur, N. (2016). Illness Perception Among at Risk
for Diabetes. https://doi.org/10.1177/0145721715569003.Illness, 195-202.
Warastiko, C., & Widiyarti, S. (2016). Konvensional Bed-Bath Dan Prepacked
Disposible Bed-Bath Dalam Pemenuhan Kebutuhan Kebersihan Diri

Yusra, S., & Aprilani, I. (2015). Perawatan Luka Kaki Diabetik Pada Pasien Diabetes
Melitus di Cindara Wound Care Center Jepara. JPK, 55-65.

Zulaikah. (2014). Pengaruh Alih Baring 2 Jam Terhadap Resiko Dekubitus Dengan
Varian Berat Badan Pada Papsien Bedrest Total Di SMC RS Telogorejo.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. Vol 2, No 4. Hal 29-36.

37

Anda mungkin juga menyukai