Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Giardia intestinalis

2.1.1 Morfologi dan Daur Hidup

Giardia intestinalis (sinonim dengan Lamblia intestinalis dan Giardia


duodenalis) adalah protozoa parasit flagellata yang menyebabkan Giardiasis atau
Lambliasis. Parasit ini pertama kali dilihat oleh Van Leeuwenhoek pada tahun
1681. Flagelata ini pertama kali dikenal dan dibahas oleh Lambl (1859), yang
memberikan nama “intestinalis”. Kemudian Stiles (1915) memberikan nama baru,
Giardia lamblia.

Parasit ini mempunyai 2 stadium yaitu:

a) Stadium trofozoit: Ukuran 12-15 mikron; berbentuk simetris bilateral


seperti buah jambu monyet yang bagian anteriornya membulat dan bagian
posteriornya meruncing. Permukaan dorsal cembung (konveks) dan pipih
di sebelah ventral dan terdapat batil isap berbentuk seperti cakram yang
cekung dan menempati setengah bagian anterior badan parasit. Ia
mempunyai sepasang inti yang letaknya di bagian anterior, bentuknya oval
dengan kariosom di tengah atau butir-butir kromatin tersebar di plasma inti.
Trofozoit ini mempunyai 4 pasang flagel yang berasal dari 4 pasang
blefaroplas. Terdapat 2 pasang yang lengkung dianggap sebagai benda
parabasal, letaknya melintang di posterior dari batil isap.
b) Stadium kista: Berbentuk oval berukuran 8-12 mikron, mempunyai
dinding yang tipis dan kuat. Sitoplasmanya berbutir halus dan letaknya
jelas terpisah dari dinding kista. Kista yang baru terbentuk mempunyai 2
inti; yang matang mempunyai 4 inti, letaknya pada satu kutub.

G.lamblia hidup di rongga usus kecil, yaitu duodenum dan bagian proksimal
yeyenum dan kadang-kadang di saluran dan kandung empedu. Bila kista
matang tertelan oleh hospes, maka akan terjadi ekskistasi di duodenum,

Universitas Sumatera Utara


kemudian sitoplasma membelah dan flagel tumbuh dari aksonema sehingga
terbentuk 2 trofozoit. Dengan pergerakan flagel yang cepat trofozoit yang
berada di antara villi usus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Bila
berada pada villi, trofozoit dengan batill isap akan melekatkan diri pada epitel
usus. Trofozoit kemudian berkembangbiak dengan cara belah pasang
longitudinal. Bila jumlahnya banyak sekali maka trofozoit yang melekat pada
mukosa dapat menutupi permukaan mukosa usus halus (Wolfe, 1992; Farthing,
1999; Hawrelak, 2003). Trofozoit yang tidak melekat pada mukosa usus, akan
mengikuti pergerakan peristaltik menuju ke usus bagian distal yaitu usus besar.
Enkistasi terjadi dalam perjalanan ke kolon, bila tinja mulai menjadi padat,
sehingga stadium kista dapat ditemukan dalam tinja yang padat.

Cara infeksi dengan menelan kista matang yang dapat terjadi secara tidak
langsung melalui air dan makanan yang terkontaminasi, atau secara langsung
melalui fecal-oral.

2.1.2 Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala klinis yang disebabkan oleh giardiasis sangat bervariasi dan dapat
berbeda di antara penderitanya. Hal ini tergantung berbagai faktor seperti jumlah
kista yang tertelan, lamanya infeksi, faktor hospes dan parasitnya sendiri (Faubert,
2000).

Giardiasis bisa muncul sebagai (1) infeksi asimptomatis; (2) diare akut; (3)
diare kronik. Selain diare, terdap juga simptom seperti steatore, kram perut, perut
kembung karena ada gas di dalamnya, kehilangan berat badan, dan muntah. Tinja
akan berwarna pucat, berminyak, atau berbau (Hall, 1994). Giardiasis juga
menyebabkan komplikasi yaitu, malnutrisi yang akan menyebabkan gangguan
perkembangan dan pertumbuhan pada infant dan anak usia muda (Farthing, 1996).

Malabsorpsi zat besi juga terdapat pada infeksi simptomatis (Filer, 1996)
dan alergi ditemukan pada infeksi giardiasis (Di Prisco et al., 1998). Penyakit
pankreas dan hati terjadi pada orang dewasa yang terinfeksi Giardia sp.
(Carroccio et al., 1997; Nakano et al., 1995; Roberts et al., 1998). Walaupun

Universitas Sumatera Utara


sangat jarang giardiasis juga dilaporkan berhubungan dengan arthritis (Letts et al.,
1998), arteritis retina dan iridosiklitis (Corsi et al., 1998).

Metode diagnostik yang standar untuk Giardiasis adalah pemeriksaan tinja


dengan menggunakan teknik SAFC untuk mendeteksi kista dan trofozoit.
Trofozoit juga dapat dijumpai dalam cairan dari duodeno-jejunal junction dengan
endoskopi atau dengan enterotest. Deteksi antigen G.intestinalis dalam tinja segar
dengan teknik IFAT dan ELISA mempunyai sensitivitasa dan spesifisitas yang
tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik.

2.1.3 Epidemiologi

Giardiasis adalah infeksi protozoa usus yang common di seluruh dunia.


World Health Organization (WHO) mengestimasikan bahwa 200 juta orang akan
terinfeksi setiap tahun (Swarbrick et al., 1997). Infeksi Giardiasis lebih sering
ditemukan di daerah beriklim tropik dan subtropik daripada di daerah beriklim
dingin. Terutama ditemukan di Rusia, Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika,
Meksiko dan bagian barat Amerika Selatan.

Kista Giardia sp. secara umum lebih stabil dan bertahan lebih lama dalam
lingkungan pada jangka masa panjang (bulan). Kista ini lebih sesuai bertumbuh
pada kondisi dingin, lembab, dan suhu rendah. Selain itu, kista resisten terhadap
klorin, ozon, dan radiasi ultraviolet (UV). Mendidihkan kista pada suhu 60-70%
selama 10 menit akan menurunkan viabilitasnya.

2.1.4 Pengobatan

Obat pilihan adalah tinidazol dengan dosis tunggal 2 gram pada orang
dewasa atau 30-35 mg/kg pada anak. Selain itu giardiasis juga dapat diobati
dengan metronidazole, kuinakrin, furazolidon.

2.1.5 Pencegahan

Pencegahan infeksi parasit ini terutama dengan memperhatikan hygiene


perorangan, keluarga, dan kelompok., dengan menghindari air minum yang

Universitas Sumatera Utara


terkontaminasi. Sanitasi air minum untuk mencegah terjadinya epidemi giardiasis
dilakukan dengan metode coagulation-sedimentation-filtration. Klorinasi air
minum untuk mengeliminasi kista memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi dan
kontak yang lebih lama pada biasanya. Proteksi individu dapat dilakukan dengan
merebus air sampai mendidih minimal 1 menit. Bila air tidak dapat direbus, dapat
diberikan 2-4 tetes kaporit untuk setiap liter air dan tunggu selama 60 menit
sebelum diminum. Bila airnya dingin dibutuhkan waktu semalam untuk
membunuh kista G.intestinalis. Memanaskan makanan atau makanan yang
matang dapat mencegah infeksi kista G.intestinalis.

2.2 Entamoeba histolytica

2.2.1 Morfologi dan Daur Hidup

Amoebiasis adalah suatu keadaan terdapatnya Entamoeba histolytica


dengan atau tanpa manifestasi klinik, disebut sebagai penyakit bawaan makanan
(Food-borne Disease). Parasit ini pertama kali ditemukan oleh Losh (1875) dari
tinja disentri seorang penderita di Leningrad, Rusia.

Dalam daur hidupnya, E.histolytica mempunyai 2 stadium, yaitu: trofozoit


dan kista. Bila kista matang tertelan, kista tersebut tiba di lambung masih dalam
keadaan utuh karena dinding kista tahan terhadap asam lambung. Di rongga
terminal usus halus, dinding kista dicernakan, terjadi ekskistasi dan keluarlah
stadium trofozoityang masuk ke rongga usus besar. Dari sebuah kista
mengandung 4 buah inti, akan terbentuk 8 buah trofozoit.

Stadium trofozoit berukuran 10-60 mikron; mempunyai inti entameba


yang terdapat di endoplasma. Ektoplasma bening homogen terdapat di bagian tepi
sel, dapat dilihat dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma,
besar dan lebar seperti daun, dibentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat
dan menuju suatu arah (linier).Endoplasma berbutir halus, biasanya mengandung
bakteri atau sisa makanan. Stadium trofozoit dapat bersifat patogen dan
menginvasi jaringan usus besar. Dengan aliran darah, menyebar ke jaringan hati,

Universitas Sumatera Utara


paru, otak, kulit, dan vagina. Stadium trofozoit berkembangbiak secara belah
pasang.

Stadium kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada di rongga usus
besar. Di dalam rongga usus besar, stadium trofozoit dapat berubah menjadi
stadium precyst yang berinti satu (enkistasi), kemudian membelah menjadi berinti
dua, dan akhirnya berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Ukuran kista 10-20
mikron, berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai dinding kista dan terdapat inti
entameba. Di endoplasma terdapat benda kromatoid yang besar, menyerupai
lisong dan terdapat vakuol glikogen. Benda kromatoid dan vakuol glikogen
diannggap sebagai makanan cadangan, karena itu terdapat pada kista muda.

Pada kista matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak
ada lagi. Stadum kista tidak patogen, tetapi merupakan stadium yang infektif.
Dengan adanya dinding kista, stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh
buruk di luar badan manusia. Infeksi terjadi dengan menelan kista matang.

2.2.2 Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala-gejala klinis tergantung daripada lokalisasi dan beratnya infeksi.


Penyakit disentri yang ditimbulnya hanya dijumpai pada sebagian kecil penderita
tanpa gejala dan tanpa disadarimerupakan sumber infeksi yang paling yang kita
kenal sebagai pembawa, terutama didaerah dingin, yang dapat mengeluarkan
berjuta-juta kista sehari. Penderita amoebiasis sering dijumpai tanpa gejala atau
adanya perasaan tidak enak diperut yang samar-samar, dengan adanya konstipasi,
lemah, dan neurastenia. Infeksi menahun dengan gejala subklinis dan terkadang
dengan eksasebasi kadang-kadang menimbulkan terjadinya kolon yang “irritable”
sakir perut berupa kolik yang tidak teratur.

Amoebiasis yang akut mempunyai masa inkubasi 1-14 minggu. Dengan


adanya sindrom disebtri berupa diare yang berdarah dengan mukus atau lendir
yang disertai dengan perasaan sakit perut dan tenesmus ani yang juga sering
disertai dengan adanya deman. Amoebiasis yang menahun dengan serangan
disentri berulang terdapat nyeri tekan setempat pada abdomen dan terkadang

Universitas Sumatera Utara


disertai pembesaran hati. Penyakit menahun yang melemahkan ini mengakibatkan
menurunnya berat badan.

Ameobiasis ekstra intestinalis memberikan gejala sangat tergantung


kepada lokasi absesnya. Yang paling sering dijumpai adalah amoebiasis hati
disebabkan metastasis dari mukosa usus melalui aliran sistem portal. Sering
dijumpai pada orang-orang dewasa muda dan lebih sering pada pria daripada
wanita dengan gejala berupa deman berulang, kadang-kadang disertai menggigil,
ikterus ringan, bagian kana diafragma sedikit meninggi, sering ada rasa sakit
sekali pada bahu kanan dan hepatomegali. Abses ini dapat meluas ke paru-paru
disertai batuk dan nyeri tekan interkostal, efusi pleural dengan deman disertai
dengan menggigil. Infeksi amoeba di otak akan menyebabkan abses atau tumor
otak. Amoebiasis ekstra intestinalis ini dapat juga dijumpai di penis, vulva,
perineum, kulit setentang hati atau kulit setentang colon atau di tempat lain
dengan tanda-tanda suatu ulkus dengan pinggirnya yang tegas, sangat sakit dan
mudah berdarah.

Cara mendiagnosa gangguan yang ditimbulkan oleh E.histolytica adalah


dengan diagnosis koproskopik. Sampel tinja yang segar dilakukan fiksasi dengan
larutan SAF dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop.

Untuk ameobiasis ekstra intestinalis, diperlukan ultrasound, CT Scan, dan


deteksi antibodi serologik untuk menegakkan diagnosis.

2.2.3 Epidemiologi

Infeksi terjadi akibat tertelan kista yang terdapat dalam makanan dan
minuman yang terkontaminasi dengan kista matang serta hygieni yang jelek.
Amoebiasis tersebar luas di berbagai negara di seluruh dunia. Pada berbagai
survei menunjukkan frekuensi diantara 0,2-50 % dan berhubungan langsung
dengan sanitasi lingkungan sehingga penyakit ini akan banyak dijumpai di daerah
tropik dan subtropik yang sanitasinya jelek, dan banyak dijumpai juga di rumah-
rumah sosial, penjara, rumah sakit jiwa dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


Kista dapat tahan lama dalam air (10-14 hari). Kista ini juga resisten
terhadap lingkungan yang lembab. Ia dapat hidup selama 8 hari dalam suhu 28-34
derajat celcius dan selama 1 bulan dalam suhu 10 derajat celcius. Tetapi, Kista
akan dibunuh pada suhu lebih daripada 55 derajat celcius atau dalam keadaan
kering. Kista juga tahan terhadap klorin dan tidak dapat dieliminasikan walaupun
dengan penambahan klorin.

2.2.4 Pengobatan

Pengobatan yang diberikan pada penderita ameobiasis yang invasuf


berbeda dengan non-invasif. Pada penderita ameobiasis non-invasif dapat
diberikan paromomisin. Pada penderita ameobiasis invasif terutama diberikan
golongan nitromidazol yaitu metronidazol. Obat lain yang dapat diberikan adalah
tinidazol, seknidazol, dan ornidazol.

Pada penderita abses hati ameoba dapat dilakukan drainase abses selain
pemberian obat anti ameoba. Pada penderita dengan kolitis fulminan, dapat
ditambahkan pemberian antibiotik spektrum luas untuk membunuh bakteri.

2.2.5 Pencegahan

Pencegahan ameobiasis terutama ditujukan pada kebersihan perorangan


dan kebersihan lingkungan. Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan
dengan bersih sesudah buang air besar dan sebelum makan. Kebersihan
lingkungan meliputi: masak air minum sampai mendidih sebelum diminum,
mencuci sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum dimakan, buang air
besar di jamban, tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan
baik makanan yang dihidangkan untuk menghindari kontaminasioleh lalat dan
lipas, membuang sampah di tempat sampah yang tertutup untuk menghindari lalat.

Universitas Sumatera Utara


2.3 Cryptosporidium parvum

2.3.1 Morfologi dan Daur Hidup

Cryptosporidium sp. adalah protozoa usus dan telah ditemukan di Johns


Hopkins School of Medicine sebagai penyebab kriptosporidiosis pada tahun 1976
(Nime, Burek, Page and Yardley, 1976). Ia akan menyebabkan nyeri perut, diare
masif, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, dan anorexia. Manusia
yang imunokompeten akan menderita penyakit ini dengan self-limited dan sembuh
dalam beberapa minggu (Soave, 1994). Terdapat kriptosporidiosis terutama
ditemukan pada penderita imunokompromais: HIV-AIDS, infan, orang tua,
kemoterapi, dan organ transplantasi (Guerrant 1997).

Kriptosporidiasis terinfeksi melalui konsumsi makanan (CDC 1996, 1997;


Laberge et al., 1996) atau air yang terkontaminasi ookista (Bell et al., 1993; CDC
1994; MacKenzie et al., 1995; Kramer et al., 1996), atau melalui kontak dengan
orang yang terinfeksi dengan penyakit ini (Cordell & Addis, 1994) serta
permukaan lingkungan (e.g. kolam renang (Puech et al., 2001)). Infeksi terjadi
bila tertelan ookista matang yang dikeluarkan bersama tinja hospes terinfeksi.
Ekskistasi terjadi di traktus gastrointestinal atas, sporozoit keluar dari ookista dan
masuk ke sel epitel usus pada bagian apeks di dalam membran sel hospes, tetapi
tidak di dalam sitoplasma, disebut meront. Parasit berkembangbiak secara
aseksual (merogoni) dan menghasilkan merozoit yang memasuki sel lain.
Merozoit kemudian membentuk mikro dan makrogametosit yang berkembang
menjadi mikro dan makrogamet. Setelah pembuahan terbentuk ookista yang
mengandung 4 sporozoit (O’Donoghue, 1995). Ada dua macam ookista; yang
berdinding tipis mengeluarkan sporozoit di dalam usus (ekskistasi) dan
menyebabkan autoinfeksi, sedangkan yang berdinding tebal dikeluarkan dengan
tinja. Ekskistasi terjadi jika terpapar dengan kombinasi kondisi lingkungan, yaitu
pH, garam empedu, karbon dioksida, suhu (Fayer & Leek, 1984). Meront dan
ookista berukuran 4-5 mikron. Masa prepatan, yaitu waktu antara infeksi dan
pengeluaran ookista berkisar 5-21 hari. Lama pengeluaran ookista sebulan atau

Universitas Sumatera Utara


lebih pada orang yang imunokompeten, sedangkan pada yang imunokompromais
jauh lebih lama (Lisawati & Srisasi, 2008).

2.3.2 Gejala Klinis dan Diagnosis

Simptom mulai muncul sesudah 2-10 hari (rata-rata 7 hari) terinfeksi


parasit. Cryptosporidium sp. merupakan penyebab diare. Terdapat juga simptom
yang lain, yaitu nyeri/ kram perut, dehidrasi, nausea, muntah, deman, dan
kehilangan berat badan. Sebagian orang yang terinfeksi adalah asimptomatik.
Gejala-gejala tersebut akan muncul selama 1-2 minggu pada orang yang
imunokompeten. Traktus intestinal merupakan tempat utama Cryptosporidium sp.,
tempat lain yaitu paru, telinga bagian tengah, saluran empedu, pankreas, dan
lambung.

Pasien imunokompromais (AIDS, imunokompromais kongenital,


penderita kanker, pasien yang mendapat transplantasi organ serta obat
imunosupresif) akan menderita penyakit yang lebih serius, kronik, dan kadang-
kadang mengakibatkan kematian (CDC, 2009)

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan ookista dalam tinja segar atau


yang diawetkan dengan formalin. Pemeriksaan tinja dengan cara lain, yaitu acid-
fast staining, direct fluorescent antibody (DFA), dan/ atau deteksi antigen
Cryptosporidium sp. dengan enzyme immunoassays telah dilaporkan.

Pemeriksaan tinja dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain


Reaction) lebih sensitif. Metode molekular ini telah digunakan sebagai preferensi
dalam diagnostik laboratorium (CDC, 2009).

2.3.3 Epidemiologi

Kriptosporidiosis merupakan penyakit endemik hampir di seluruh dunia


dan dijumpai di lingkungan air permukaan, seperti sungai, danau, tempat
agricultul, dan urban (Rose et al., 1997). Ookista Cryptosporidium sp. dapat

Universitas Sumatera Utara


ditemui dari sampel lingkungan karena ia mempunyai banyak animal reservoirs
(Fayer, 2004), termasuk burung, reptila, dan ikan. Dalam beberapa studi, didapati
parasit ini dijumpai pada hewan agrikultural seperti sapi di US (Garber et al.,
1994), Canada (Mann et al., 1986) dan di UK (Reynolds et al., 1986); babi,
domba (Xiao et al., 1993); kambing (Mason et al., 1981; Johnson et al., 1999;
Delafosse et al., 2003).

Sebanyak 3-7 % penyebab diare di negara berkembang adalah disebabkan


oleh Cryptosporidium sp. (Black, 1996). Dalam suatu penelitian, dilaporkan
bahwa angka prevalensi kriptosporidiosis di Asia dan Afrika adalah masing-
masing 4,9% dan 10,4 % (Ungar, 1990). Selain itu, kriptosporidiosis juga dikenali
sebagai “traveler’s diarrhoea”. Di negara dengan tingkat sanitasi yang tidak
optimal, penyediaan sumber air yang terkontaminasi, dan kontak dengan hewan,
mempunyai risiko yang tinggi terinfeksi dengan parasit ini (Swerdlow & Rees,
1992).

Ookista dapat bertahan lama selama 18 bulan dalam lingkungan yang


dingin dan lembab. Desiccation atau lingkungan yang panas dan kering dengan
waktu lebih dari 2 jam akan membunuh ookista (Robertson et al., 1992). Ia
sensitif terhadap suhu yang tinggi, temperatur 65 derajat celcius akan
menyebabkan inaktivasi ookista dalam 5-10 menit. Selain itu, ookista juga
resisten terhadap banyak disinfektan, termasuklah khlor. Konsentrasi disinfektan
yang tinggi dapat membunuh ookista, tetapi pemberian konsentrasi yang tinggi ini
dalam perawatan air adalah tidak pratikal (Robertson et al., 1992).

2.3.4 Pengobatan

Kriptosporidiosis bersifat “ self-limited” pada orang yang


imunokompeten dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Diare dapat diatasi
dengan pemberian cairan yang cukup untuk mencegah dehidrasi. Obat anti-diare,
yaitu Nitazoxanide (FDA-aprroved) diberikan untuk megurangi gejala diare. Pada
penderita AIDS, terapi anti-retroviral harus diberikan untuk meningkatkan status
imun dan mengurangi gejala-gejala kriptosporidiosis (CDC, 2009)

Universitas Sumatera Utara


2.3.5 Pencegahan

Pencucian tangan merupakan cara yang efektif dalam pencegahan penyakit


kriptosporidiosis. Untuk mencegah terinfeksi dengan penyakit ini, beberapa
langkah pencegahan harus dijalankan:

a) Kebiasaan mencuci tangan (higenik yang optimal),


b) Mencegah penggunaan air yang terkontaminasi dengan ookista parasit
tersebut,
c) Air harus dididihkan atau diflitrasi jika penggunaan air yang
terkontaminasi tidak dapat dicegah,
d) Mencegah konsumsi makanan yang terkontaminasi dengan ookista,
e) Extra care saat berlancong,
f) Mencegah terpapar dengan tinja saat aktivitas seksual (CDC, 2009).

2.4 Toxoplasma gondii

2.4.1 Morfologi dan Daur Hidup

Toxoplasma gondii adalah parasit obligat intraselular yang menyebabkan


toxoplasmosis (Murat, 2009). Ia pertama kali ditemukan oleh Nicole dan
Manceaux pada tahun 1908 pada limfa dan hati hewan pengerat Ctenodactylus
gundi di Tunisia Afrika dan pada seekor kelinci di Brazil. Selain itu, Janku (1923)
menemukan protozoa tersebut pada penderita korioretinitis dan oleh Wolf (1937)
telad di isolasinya dari neonatus dengan ensefalitis dan dinyatakn sebagai
penyebab infeksi kongenital pada anak (Indra Chahaya, 2003).

Terdapat tiga bentuk dalam Toxoplasma gondi yaitu takizoit (bentuk


proliferatif), kista (berisi bradizoit), dan ookista (berisi sporozoit) (WHO, 1979;
Frenkel, 1989; Sardjono et al., 1989).

Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan
ujung lagi agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan

Universitas Sumatera Utara


mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa
organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Levine, 1990). Tidak
mempunyai kinetoplas dan sentrosom serta tidak berpigmen. Bentuk ini terdapat
di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan mamalia termasuk manusia
dan kucing sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam
berbagai jaringan tubuh. Takizoit dapat memasuki tiap sel yang berinti.

Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah
membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya
berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000
bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di
otak, otot jantung, dan otot bergaris (Krahenbuhl dan Remington, 1982).

Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista
mengikuti bentuk sel otot. Kista ini merupakan stadium istirahat dari T.gondii.
Menurut Levine (1990), pada infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan
organ tubuh dan terutama di otak.

Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista


mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas.
Pada perkembangan selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding dan menjadi
sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8
x 2 mikron dan sebuah benda reside (Frenkel, 1989; Levine, 1990).

Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari T.gondii. Di


dalam usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel dan tumbuh menjadi
trofozoit.
Setelah terjadi pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan
bersama tinja kucing. Di luar tubuh kucing, ookista tersebut akan berkembang
membentuk dua sporokista yang masing-masing berisi empat sporozoit (sporogoni)
(Krahenbuhl dan Remington, 1982). Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti
domba, babi, sapi, dan tikus serta ayam atau burung, maka di dalam tubuh hospes
perantara akan terjadi daur aseksual yang menghasilkan takizoit. Takizoit akan

Universitas Sumatera Utara


membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian
terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya
ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).
Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang
terinfeksi maka berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus muda akan
terbentuk lagi. Jika hospes perantara yang dimakan kucing mengandung kista
T.gondii, maka masa prepatannya 2-3 hari. Tetapi bila ookista tertelan langsung
oleh kucing, maka masa prepatannya 20-24 hari. Dengan demikian kucing lebih
mudah terinfeksi oleh kista daripada oleh ookista (Coz, 1982; Levine, 1990).

2.4.2 Gejala Klinis dan Diagnosis

Orang yang imunokompeten (sehat) sering tidak menimbulkan gejala jika


terinfeksi T.gondii. Manifestasi yang muncul sering hanya berupa “flu like
syndrome” dan biasanya bertahan selama beberapa minggu. Gejala akan tampak
jelas bahkan menjadi lebih berat bila terjadi reaktivasi (CDC, 2008).

T.gondii dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali
sel darah merah. Kerusakan yang terjadi pada jaringan, tergantung pada umur,
virulensi strain Toxoplasma, jumlah parasit, dan organ yang diserang (Lisawati
dan Srisasi, 2008).

Jika infeksi terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan terjadinya


toksoplasmosis kongenital (Zaman dan Keong, 1988).

Selain itu kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama
kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga
terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti
ensefalomielitis, hidrosefalus (CDC, 2008)

2.4.3 Epidemiologi
Toxoplasmosis adalah infeksi yang sering terjadi akibat mengkonsumsi
daging yang kurang matang atau mentah yang mengandung ookista, juga
disebabkan oleh tertelan sayur-sayuran dan air yang terkontaminasi dengan

Universitas Sumatera Utara


ookista (Tenter et al., 2000). Felix merupakan hospes yang mengeluarkan ookista
bersama tinja ke lingkungan (Dubey & Beattie 1988).
Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista per hari selama
2 minggu. Di dalam tanah yang lembab dan teduh, ookista dapat hidup lama
sampai lebih dari satu tahun. Sedangkan tempat yang terkena sinar matahari
langsung dan tanah kering dapat memperpendek hidupnya.

Kecoa dan lalat dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan
ookista dari tanah atau lantai ke makanan. Selain itu, Toxoplasma sp. juga resisten
terhadap bahan kimia dan proses desinfeksi (Dubey et al. 1970, 1998).
Penyebaran Toxoplasma gondii sangat luas, hampir di seluruh dunia,
termasuk Indonesia baik pada manusia maupun hewan. Sekitar 30% dari
penduduk Amerika Serikat positif terhadap pemeriksaan serologis, yang
menunjukkan pernah terinfeksi pada suatu saat dalam masa hidupnya (Levin,
1990). Kista T.gondii dapat bertahan pada suhu 4 derajat ceicius sampai tiga
minggu dan kista tersebut akan mati dalam keadaan beku pada suhu -15 derajat
celcius selama tiga hari dan pada suhu -20 derajat celcius selama dua hari (WHO,
1979).

2.4.4 Pengobatan

Obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh stadium takizoit
T.gondii dan tidak membasmi stadium kista, sehingga obat dapat memberantas
infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi menahun, yang dapat
menjadi aktif kembali.

Pirimetamim dan sulfonamid sebagai sinergistik dipakai sebagai


kombinasi selama 3 minggu atau sebulan. Klindamisin efektif untuk pengobatan
toksoplasmosis tetapi tidak dianjurkan untuk pengobatan rutin pada bayi dan ibu
hamil. Obat macrolide lain yang efektif terhadap T.gondii adalah klaritromisin
dan azitromisin yang diberikan bersama pirimetamim pada penderita AIDS
dengan ensefalitis toksoplasmik. Obat baru adalah hidroksinaftokuinon

Universitas Sumatera Utara


(atovaquone) yang bila dikombinasikan dengan sulfadiazin atau obat lain yang
aktif terhadap T.gondii, dapat membunuh kista jaringan pada mencit.

Toksoplasmosis akuisita yang asimtomatik tidak perlu diberi pengobatan.


Seorang ibu hamil dengan infeksi primer harus diberikan pengobatan profilaktik.
Pada bayi dengan toksoplasmosis kongenital diberikan Pirimetamim, sulfonamid,
dan asam folinat selama 1 tahun (Susanto & Gandahusada, 2008).

2.4.5 Pencegahan

Terdapat beberapa cara untuk mencegah infeksi toksoplasmosis terkait


lingkungan, diantaranya adalah:

a) Mencegah konsumsi air yang tidak dimasak hingga mendidih, terutamanya


negara yang kurang berkembang
b) Memakai sarung tangan saat berkebun atau jika ada kontak dengan tanah,
kemudian harus mencuci tangan untuk mencegah tangan terkontaminasi
dengan feces kucing yang mengadung ookista
c) Memberi makanan yang matang untuk kucing peliharaan (CDC, 2008)

Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah,
dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin,
amonia, dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70 derajat celcius yang
disiramkan pada tinja kucing (Remington & Desmont, 1983; Seigmund, 1979).

2.5 Strongyloides stercoralis


2.5.1 Morfologi dan Daur Hidup

Hanya cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum
dan yeyunum. Cacing betina mempunyai panjang 2mm, ekornya blunt-ended, dan
esofagus straight-sided (filariform) yang panjang (Speare, 1989).

Cacing dewasa betina berkembang biak secara partenogenesis. Telur


tersebut menetas menjadi larva rabditiform yang non-infektif, larva ini akan
dikeluarkan bersama tinja ke lingkungan, di mana larva tersebut akan menjadi

Universitas Sumatera Utara


cacing dewasa (Pranatharthi et al., 2009). Parasit ini mempunyai tiga macam daur
hidup (Supali T., Margono S.S., 2008):

1. Siklus langsung

Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran ± 225 x 16


mikron, berubah menjadi larva filariform berbentuk langsing dan
merupakan bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron. Bila larva filariform
menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah
vena, kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit
yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan
laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit
tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa.
Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan ± 28 hari sesudah infeksi.

2. Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung,larva rabditiform di tanah berubah menjadi


cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk
dari bentuk parasitik. Cacing betina berukuran 1mm x 0,06 mm, yang
jantan berukuran 1,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung
dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina
menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva
rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang
infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersebut
mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana
keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang
dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri tropik
dengan iklim lembab. Siklus langsung sering terjadi di negeri yang lebih
dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.

Universitas Sumatera Utara


3. Autoinfeksi

Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di


daerah sekitar anus (perianal). Bila larva filariform menembus mukosa
usus atau kulit perianal, maka terjadi daur perkembangan di dalam hospes.
Autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita
yang hidup di daerah nonendemik.

2.5.2 Gejala Klinis dan Diagnosis

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan
kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat.

Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi


ringan Strongyloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena
tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti
tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada
mual dan muntah; diare dan konstipasi saling bergantian. Pada strongiloidiasis
dapat terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang
hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus digestivus dan larvanya
dapat ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu).

Strongyloides stercoralis merupakan parasit yang sulit didiagnosa.


Diagnosis definitif memerlukan visualisasi langsung parasit tersebut ( Van
der Feltz et al., 1999; Kaminsky, 1993), yaitu dengan menemukan larva
rabditiform dalam tinja segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum.
Biakan selama sekurang-kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva filariform dan
cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup bebas (Taniawati dkk., 2008).

2.5.3 Epidemiologi

S. stecoralis menginfeksi sebagian besar populasi di daerah topikal dan


panas. Amerika Selatan, Asia timur selatan, Afrika Saharan dan regio appalachian
di USA merupakan daerah endemik parasit tersebut (Genta R, 1989; Sorozcan W.,
1994). Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat

Universitas Sumatera Utara


menguntungkan cacing Strongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak
langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir
dan humus. (Taniawati dkk., 2008).

2.5.4 Pengobatan

Albendazol 400 mg satu/ dua kali sehari selama tiga hari merupakan obat
pilihan. Mebendazol 100 mg tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat
memberikan hasil yang baik. Mengobati orang yang mengandung parasit,
meskipun kadang-kadang tanpa gejala, adalah penting mengingat dapat terjadi
autoinfeksi. Perhatian khusus ditujukan kepada pembersihan sekitar daerah anus
dan mencegah konstipasi (Taniawati dkk., 2008).

2.5.5 Pencegahan

Edukasi komunitas di daerah endemik adalah seperti berikut:

a) Manajemen sewage
b) Mencegah tanah yang terkontaminasi feses atau penggunaan feses sebagai
fertilizer
c) Memakai pakaian pelindung saat menangani sewage atau tanah yang
terkontaminasi parasit (Emily et al., 2008).

2.6 Soil Transmitted Helminths (STH)

STH merupakan nematode usus yang ditularkan melalui tanah. Cacing


yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, cacing tambang
(hookworms), Trichuris trichiura, dan Strongyloides stercoralis. Manusia
merupakan satu-satunya hospes untuk parasit-parasit ini (Taniawati S. dkk., 2008).

2.7 Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta


interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon
atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari

Universitas Sumatera Utara


dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir,
berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Notoatmodjo, 2007).
Skinner menyatakan bahwa bila dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus,
maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 yakni perilaku yang tidak
tampak/terselubung (covert behavior) dan perilaku yang tampak (overt behavior).
Perilaku yang tidak tampak ialah berpikir, tanggapan, sikap, persepsi, emosi,
pengetahuan dan lain-lain. Perilaku yang tampak antara lain berjalan, berbicara,
berpakaian dan sebagainya (Machfoedz et al., 2006)

Perilaku masyarakat yang sehat akan membuat lingkungan sekitarnya


menjadi bersih dan akan memutuskan berbagai rantai penularan penyakit.
Sebaliknya, lingkungan akan tercemar atau menjadi kotor dan tidak sehat apabila
masyarakat disekitar lingkungan tersebut tidak menjaga, memelihara, atau
memperhatikan faktor kesehatan. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003a),
masalah kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor
perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku (non perilaku).

Selanjutnya faktor perilaku ini ditentukan oleh 3 kelompok faktor yaitu:


faktor-faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong. Faktor predisposisi
(predisposing factors) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan,
tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan
masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana
pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor
pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan.
Ketiga faktor tersebut saling terkait dalam menentukan perilaku seseorang.

Jadi, dari beberapa pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa perilaku


kesehatan merupakan segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang
kesehatan serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan, sehingga
promosi mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan perilaku
hidup bersih dan sehat di masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai