Anda di halaman 1dari 28

Makalah Sumber Ajaran Islam

Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas pada Mata kuliah
“Akhlak Islam (Aqidah-Tauhid)”

Dosen pengampu :

Umi Kalsum, S.pd.I,M.pd.

Disusun oleh:

Ria Rizky 71200612011

Fatimah 71200612005

Program Studi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Sumatera Utara
2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan
rahmat,taufik,dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan pembuatan tugas makalah
diskusi Akhlak Islam dengan judul Sumber – sunber Ajaran Agama Islam.
Sholawat dan salam kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW karena beliaulah
satu – satunya Nabi yang mampu mengubah dunia dari zaman kegelapan menuju zaman
terang benderang yakni Agama Islam.
Makalah ini disusun dan diuraikan secara efektif dengan landasan pengetahuan
yang diambil dari buku untuk menambah wawasan, kemudian makalah ini disusun
berdasarkan hasil diskusi anggota masing – masing kelompok yang dijilid menjadi satu
kedalam bentuk makalah.
Kiranya makalah ini masih sangat jauh dari kata kesempurnaan oleh karena itu
kami menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun demi memperbaiki isi dari
makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan kepada pembaca serta ridho dari Allah SWT.

Medan, 1 April 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................4
1.3 Tujuan.............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................6
2.1 Pengertian dan Prinsip Ajaran Islam...........................................................................6
2.2 Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam......................................................................7
Kajian Tafsir Al-Qur’an..................................................................................................9
2.3 Al-Sunnah atau Al-Hadits...........................................................................................11
Fungsi Al-Sunnah...........................................................................................................12
Tingkatan-tingkatan Hadits...........................................................................................13
Asbabun Nuzul Hadits....................................................................................................16
2.4 Ijtihad............................................................................................................................17
Pengertian Ijtihad...........................................................................................................17
Landasan Ijtihad.............................................................................................................18
Macam-macam Ijtihad...................................................................................................19
Kedudukan Ijtihad.........................................................................................................19
Metode Ijtihad.................................................................................................................20
2.5 Paradigma Qur’ani dalam kehidupan modern.........................................................21
Menelusuri Konsep dan Karakteristik Paradigma Qurani untuk Menghadapi
Kehidupan Modern.........................................................................................................21
“Mengapa Paradigma Qurani sangat Penting bagi Kehidupan Modern?”..............21
Menggali Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis tentang
Paradigma Qurani untuk Kehidupan Modern............................................................22
Membangun Argumen tentang Paradigma Qurani sebagai Satu-satunya Model
untuk Menghadapi Kehidupan Modern.......................................................................23
Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Paradigma Qurani dalam Menghadapi
Kehidupan Modern.........................................................................................................25
BAB III PENUTUP................................................................................................................27
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................27
3.2 Saran..............................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................28

3
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau
pedoman syariat islam. Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam
bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah
Rasulullah. Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi
setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan
oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam
adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, “ Aku tinggalkan
bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian
berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” Dan disamping itu pula para
ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan
hadist.
Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan seluruh
kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat
untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuka
ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.

Rumusan Masalah
 Apa saja
 sumber-sumber ajaran agama Islam?
 Bagaimanakah konsep Al-Qur’an?
 Bagaimankaah Asbabun Nuzul Al-Qur’an?
 Apa saja kajian tafsir Al-Qur’an?
 Bagaimanakah konsep Al-Sunnah atau Al-Hadits?
 Apa saja tingkatan-tingkatan hadits?
 Bagaimanakah Asbabun Nuzul Al-Hadits?
 Bagaimanakah konsep ijtihad?

4
Tujuan
 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Islam (Aqidah – Tauhid)
 Sebagai penambah wawasan dan pengetahuan tentang sumber-sumber ajaran agama
Islam

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Prinsip Ajaran Islam


Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang
paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan yang
paling kecil sampai urusan negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Allah
berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah:
3)
Bukti kesempurnaan Islam itu tercermin dari ajaran dan tuntunan kehidupan yang
komprehensif dan bersumber dari kebenaran wahyu. Agama Islam memiliki aturan-aturan
sebagai tuntunan hidup manusia, baik dalam hubungan dengan sang khaliq Allah SWT
(hablu minawallah) maupun hubungan dengan manusia yang lainnya (hablu minannas).
Tuntunan itu digariskan sebagai sebuah jalan keselamatan yang berdiri kokoh atas dasar
ajaran yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya.
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah
Alquran dan Al-Sunnah. Sumber ajaran lainnya yaitu ijtihad yang dipandang sebagai
sebuah proses penalaran atau akal pikiran yang digunakan untuk memahami Alquran dan
Al-Sunnah. Dalil tentang sumber ajaran Islam tersebut tersurat dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal. Hadits itu banyak diterjemahkan sebagai berikut:
Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda,
“.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan
kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah
Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.” “Aku
berusaha dengan ra’yu ku dan aku tidak akan menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk
dadanya dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan
Rasulullah”
Prof. Dr. Ir. H. Ika Rochdjatun Sastrahidayat (Guru Besar UIN Malang) dalam
presentasinya di Denpasar Bali, mengungkapkan dalam memahami ajaran Islam ada 12
prinsip yang bisa ditemukan dalam al-Qur’an, diantaranya : pertama Prinsip Tauhid atau
Monoteisme, kedua Prinsip Peribadatan yang Indah, Dinamis dan Natural, ketiga Prinsip

6
Muamalat, keempat Prinsip Penggunaan Akal, kelima Prinsip Sistem Nilai atau Akhlakul
Karimah, keenam Prinsip Kebersihan Jiwa dan Raga, ketujuh Prinsip al-Qur’an sebagai
Softwere atau Informasi dari Langit yang Dahsyat, kedelapan Prinsip Persaudaraan,
kesembilan Prinsip Bermasyarakat, kesepuluh Prinsip Membela Kebenaran tanpa
Membedakat Warna Kulit, kesebelas Prinsip Keberlanjutan dan Tidak Boleh Berhenti, dan
keduabelas Prinsip Berserah Diri Kepada Alloh SWT.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang membawa keberkahan bagi suluruh
umat manusia sangat logis untuk diminati oleh setiap orang, sehingga perkembangan
Islam sangat pesat diseluruh belahan dunia.

2.2 Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam


Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u,
qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-
dlammu). Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengum-pulkannya dan ‘membacanya’.
Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”. 
Sedangkan secara terminologi (syariat), Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi
Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya. Al-
Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah
ditetapkan sebelumnya. Seperti dalam ayat yang artinya:
“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang
ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta
alam” (Q.S.Yunus:37). 
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang
benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya Sesungguhnya Allah benar-benar
Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hambanya.” (Q.S. Faathir:31)

Dan menurut para ulama klasik, Alquran sumber ajaran agama Islam pertama yang
memuat firman-firman Allah, yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad sebagai Rasul Allah. sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari,
mula-mula di Mekah kemudian di Madinah. Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada
tanggal 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an). Wahyu yang perta kali turun tersebut adalah

7
Surat Alaq, ayat 1-5. Al-Qur’an memiliki beberapa nama lain, antara lain adalah Al-
Qur’an (QS. Al-Isra: 9), Al-Kitab (QS. Al-Baqoroh: 1-2), Al-Furqon (QS. Al-Furqon: 1),
At-Tanzil (QS. As-Syu’ara: 192), Adz-Dzikir (QS. Al-Hijr: 1-9).

Ayat-ayat al-Quran yang diturunkan selama lebih kurang 23 tahun itu dapat
dibedakan antara ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di
Mekah (sebelum hijrah) dengan ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah (pindah)
ke Madinah. Ayat-ayat yang tutun ketika Nabi Muhammad masih berdiam di Mekkah di
sebut ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi Muhammad
pindah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyah.
Ciri-cirinya adalah :
1. Ayat-ayat Makiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi
al-Quran, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah pada
umumnya panjang-panjang, merupakan 11/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 28
surat, 1456 ayat.
2. Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannaas (hai manusia) sedang
ayat–ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhallaziina aamanu (hai
orang-orang yang beriman).
3. Pada umumnya ayat-ayat Makkiyah berisi tentang tauhid yakni keyakinan pada
Kemaha Esaan Allah, hari Kiamat, akhlak dan kisah-kisah umat manusia di masa lalu,
sedang ayat-ayat Madaniya memuat soal-soal hukum, keadilan, masyarakat dan
sebagainya.

Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah, antara lain:

 Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan
mengajarkannya
 Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an (HR. Turmuzi)
 Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat-malaikat yang suci
dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan kurang fasih lidahnya berat dan
sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim).
 Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah
tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).

8
 Bacalah Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur’an sebagai
penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).

 Fungsi Al-Qur’an antara lain adalah:


1. Menerangkan dan menjelaskan (QS. An-Nahl:89; Ad-Dukhaan:4-5)
2. Al-Qur’an kebenaran mutlak (Al-Haq) (QS. Al-Baqarah: 91, 76)

3. Pembenar (membenarkan kitab-kitab sebelumnya) (QS. Al-Baqarah: 41, 91, 97; Ali
Imran: 3; Al-Maa’idah: 48; Al-An’aam: 92; Yunus: 37; Faathir: 31; Al-Ahqaaf: 1;
Yusuf: 30)

4. Sebagai Furqon (pembeda antara haq dan yang bathil, baik dan buruk)
5. Sebagai obat penyakit (jiwa) (QS. Yunus: 57; Al-Israa’: 82; Fushshilat: 44)
6. Sebagai pemberi kabar gembira
7. Sebagai hidayah atau petunjuk (QS. Al-Baqarah:1, 97, 185; Ali Imran: 138;
Al-A’raaf : 52, 203)
8. Sebagai peringatan
9. Sebagai cahaya petunjuk (QS. Asy Syuura: 52)
10. Sebagai pedoman hidup (QS. Al Jaatsiyah: 20)
11. Sebagai pelajaran

Asbabun Nuzul Al-Qur’an


Alquranul karim tidaklah diturunkan sekaligus kepada Rasulullah saw. namun
diturunkan secara berangsung-angsur. Alquran yang memuat 30 juz ayat itu disampaikan
kepada Nabi Muhammad dengan memakan waktu antara 20, 23 dan 25 tahun.  Perbedaan
waktu ini terjadi disebabkan perbedaan mengenai penetapan masa tinggal Rasullullah di
Makkah dan Madinah. Dan berdasarkan hitungan para peneliti sejarah, didapati bahwa
lamanya turun Alquran lebih dekat kepada pendapat yang menyatakan selama 23 tahun.

Turunnya Alquran dengan berangsur-angsur memiliki makna dan tujuan tersendiri.


Persoalan keberangsuran ini pernah menjadi pertanyaan orang kafir. Hal ini dapat dilihat
dalam firman Allah,
   ‫وقال اللذين كفروا لو ال أنزل عليه القرأن جملة واحدة‬ 
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Alquran itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?"

9
Lalu Allah menjawab dalam ayat sama  ...‫كذالك ليثبت به فؤادك ورتلناه ترتيال‬
…demikian itu supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya
secara tartil (teratur dan benar)

Kajian Tafsir Al-Qur’an


Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:
1. Petunjuk mengenai akidah yang harus diyakini oleh manusia. Petunjuk akidah ini
berintikan keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan kepastian adanya hari
kebangkitan, perhitungan serta pembalasan kelak.
2. Petunjuk mengenai syari’ah yaitu jalan yang harus diikuti manusia dalam
berhubungan dengan Allah dan dengan sesama insan demi kebahagiaan hidup
manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.
3. Petunjuk tentang akhlak, mengenai yang baik dan buruk yang harus diindahkan leh
manusia dalam kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial.
4. Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau. Sebagai contoh kisah kaum Saba
yang tidak mensyukuri karunia yang diberikan Allah, sehingga Allah menghukum
mereka dengan mendatangkan banjir besar serta mengganti kebun yang rusak itu
dengan kebun lain yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit rasanya.
5. Berita tentang zaman yang akan datang. Yakni zaman kehidupan akhir manusia
yang disebut kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan
sangkakala (terompet) oleh malaikat Israil. “ Apabila sangkakala
pertamaditiupkan, diangkatlah bumi dan gunung-gunung, la- lu keduanya
dibenturkan sekali bentur. Pada hari itulah terjadilah kiamat dan terbelahlah
langit...”. (Qs al-Haqqah (69) : 13-16.
6. Benih dan Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
7. Hukum yang berlaku bagi alam semesta.

Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:


 Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia
dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum
ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid,
Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
 Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia
dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan

10
lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
 Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia
dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini
tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Akhlaq atau Tasawuf.

Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
2. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia
dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
.  Hukum munakahat (pernikahan).
·  Hukum faraid (waris).
·  Hukum jinayat (pidana).
·  Hukum hudud (hukuman).
·  Hukum jual-beli dan perjanjian.
·  Hukum tata Negara/kepemerintahan
·  Hukum makanan dan penyembelihan.
·  Hukum aqdiyah (pengadilan).
·  Hukum jihad (peperangan).
·  Hukum dauliyah (antarbangsa).

2.3 Al-Sunnah atau Al-Hadits


Hadits disebut juga As-Sunnah. Sunnah secara bahasa berarti "adat-istiadat" atau
"kebiasaan" (traditions). Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan
penetapan/persetujuan serta kebiasaan Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir) adalah
persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat. Pengertian
di atas didasarkan kepada Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai
berikut:
Artinya: “Barang siapa membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh
pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi
pahalanya sedikitpun. Barang siapa membuat sunnah yang buruk maka dia akan

11
memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa
mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
Al Sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah: “Apa-apa yang diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan
sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan
sabda Nabi Muhammad Saw.
“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka
menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
lalu mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka
menerima sepenuh hati”(Q.S. An Nisaa’:65).
“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah” (Q.S.Al Hasyr:7).
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang
teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan
Sunnah-ku.” (HR. Hakim dan Daruquthni).

“Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur


Rasyidin setelahku”(H.R. Abu Daud).

Sunnah merupakan “penafsir” sekaligus “juklak” (petunjuk pelaksanaan) Al-


Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang kewajiban shalat dan berbicara
tentang ruku’ dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-lah yang memberikan contoh
langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai takbiratul ihram (bacaan “Allahu Akbar”
sebagai pembuka shalat), doa iftitah, bacaan Al-Fatihah, gerakan ruku, sujud, hingga
bacaan tahiyat dan salam.

Fungsi Al-Sunnah
Fungsi Al-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1. Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti
hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum,
yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni

12
manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-
Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2. Bayan Taqrir
Yaitu Al-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-
Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi”
(Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah
memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih,
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan
Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-
hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-
Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang
yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah
maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun
banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka
mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.

Tingkatan-tingkatan Hadits
Pembagian hadits adalah suatu kegiatan yang bertujuan memisahkan atau
mengklasifikasikan suatu hadits dengan hadits lain berdasarkan sanad, matan, dan rawi.
Para ahli hadits membagi hadits dalam tiga bagian, yaitu:

 Hadits Shahih

Para ulama hadits memberikan definisi hadits shahih sebagai hadits yang sanadnya
sambung berakhir pada Rasulullah saw. Suatu hadits dapat dikatakan shahih apabila
memenuhi 5 persyaratan,yaitu :
  Semua rawinya adil
  Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
  Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
  Tidak ber’illat (cacat tersembunyi)
  Tidak janggal (syadz)

Contoh Hadits Sahih: Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab
Shahih-nya (juz.4 Hal.18),kitab al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min al-jubni;

13
‫ا‬ ‫صلَّى‬ َ َ‫ق‬ ،‫ َع ْنهم‬  ‫هَّللا‬ ‫ضي‬
َ  ‫النَّبِ ُّي‬  َ‫ َكان‬ :‫ال‬ َ ‫أَن‬ ‫ْت‬
ٍ ِ‫ َمال‬  َ‫ ْبن‬ ‫َس‬
ِ ‫ َر‬ ‫ك‬ ُ ‫ َس ِمع‬:‫قَا َل‬ ‫أَبِي‬ ‫ْت‬
ُ ‫ َس ِمع‬ :‫ال‬
َ َ‫ق‬ ،ٌ‫ ُم ْعتَ ِمر‬ ‫ َح َّدثَنَا‬ ،‫ ُم َس َّد ٌد‬ ‫َح َّدثَنَا‬
‫ َوأَعُو‬ ،‫ت‬
ِ ‫ َو ْال َم َما‬ ‫ ْال َمحْ يَا‬ ‫فِ ْتنَ ِة‬ ‫ ِم ْن‬  ‫ك‬
َ ِ‫ب‬ ‫ َوأَعُو ُذ‬ ،‫ َو ْالهَ َر ِم‬ ،‫ َو ْال ُج ْب ِن‬ ،‫ َو ْال َك َس ِل‬ ،‫ ْال َعجْ ِز‬  َ‫ ِمن‬ ‫ك‬
َ ِ‫ب‬ ‫أَعُو ُذ‬ ‫إِنِّي‬ ‫اللَّهُ َّم‬ :ُ‫يَقُول‬ ‫ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬  ‫هَّلل‬
‫ ْالقَب ِْر‬ ‫ب‬ َ ِ‫ُذب‬
ِ ‫ َع َذا‬ ‫ ِم ْن‬ ‫ك‬
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami
Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Anas bin Malik ra
berkata, Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari
kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu
perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu
perlindungan dari adzab di neraka.”

 Hadits Hasan

Yaitu adakalanya termasuk hadits shahih,seperti yang dikutip oleh adz-dzahabi


dari imam bukhari dan muslim. Adakalanya pula termasuk hadits dha’if yang tidak boleh
diamalkan begitu saja, tetapi menurut ahmad bin hanbal lebih layak untuk diamalkan
daripada qiyas.
Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, hanya saja terdapat perbedaan
dalam soal ingatan perawi. Pada hadits shahih ingatan atau daya hapalannya harus
sempurna sedangkan pada hadits hasan ingatan atau daya hapalannya kurang
sempurna.dengan kata lain bahwa syarat-syarat hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadits hasan
d. Tidak terdapat kejanggalan
e. Tidak ada illat
Contoh hadis hasan: Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Quththan di
dalam Ziyadah ‘ala Sunan Ibni Majah (2744)

ٍ ‫ا ْم ِر‬ššِ‫ ٌر ب‬š‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُك ْف‬


‫ئ‬ َ َ‫ ق‬،‫ ع َْن أَبِ ْي ِه ع َْن َج ِّد ِه‬،‫ب‬
َ ِ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬:‫ال‬ ٍ ‫ ع َْن َع ْمرو ْب ِن ُش َع ْي‬š،‫يَحْ َي بْنُ َس ِع ْي ٍد‬
َّ ‫ َوإِ ْن َد‬،ُ‫ أَوْ َج َّح َده‬،ُ‫ْرفُه‬
‫ َو َسنَ ُدهُ َح َس ٌن‬،‫ق‬ ِ ‫ب الَ يَع‬
َ ‫ا َّدعَا نَ َس‬

Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata;
Rasulullah saw bersabda; “kafirlah orang yang mengaku-aku nasab orang yang tidak
diketahuinya, atau menolak nasab (yang sebenarnya), meskipun samar”
14
Di dalam sanad hadis ini terdapat Amr bin Syu’aib bin Muhammad, bin Abdullah
bin Amr bin al-Ash. al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab at-Taqrib(2/72) mengatakan,
bahwa ia adalah shaduq.

 Hadits Dla’if

Hadits dla’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Secara istilah di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan
hadits dla’if ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya adalah sama.
Hadis dla’if menurut derajat kedla’ifannya dapat dibagi menjadi dua bagian:

1. Hadis yang kedla’ifannya ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan
hadis yang setingkat dengannya akan hilang dla’ifnya, dan meningkat
menjadi hasan lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang yang dla’if yang
masih ditulis hadisnya, tetapi tidak bisa menjadi argumen apabila hanya
diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalam sanadnya
terdapat inqitha’ (keterputusan) karena mursal, atautadlis.

2.   Apabila tingkat kedla’ifannya berat, maka tak ada artinya


banyaknyatabi’ (pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh
pendusta, matruk karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan,
atau majhul ‘ain yang tak diketahui sama sekali identitasnya.
Contoh Hadis Dla’if berat, dengan sebab kedla’ifan dalam hal ‘adalah(keadilan)
adalah; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Iqtidla’ al-Ilmi
al-‘Amali (69)

‫لَّ َم‬š‫ ِه َو َس‬š‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬š‫ص‬ َّ ِ‫ْت النَّب‬


َ ‫ي‬ ُ ‫ ِمع‬š‫ َس‬:‫ال‬š
َ šَ‫ ق‬،‫ْك‬
ٍ ‫ ع َْن َسلِي‬،‫َطفَانِي‬ ْ ‫ َح َّدثَنَا َعلِ ُّي بْنُ ُعبَ ْي ِد هللاِ ْالغ‬،‫ع َْن أَبِي دَا ُو َد النَّخ َِعي‬
ُ‫ق نَ ْف َسه‬ ِ َّ‫ض ْي ُء لِلن‬
ُ ‫ َويَحْ ُر‬،‫اس‬ ِ ُ‫اح ي‬ِ َ‫ َكانَ َك ْال ِمصْ ب‬، ْ‫ ِإ َذا َعلِ َم ْال َعالِ ُم َولَ ْم يَ ْع َمل‬:ُ‫يَقُوْ ل‬

Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Ubaidilah
al-Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi saw bersabda; Apabila seorang
berilmu mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia seperti lampu yang menyinari
orang lain tetapi membakar dirinya sendiri.

15
Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr.
Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia pernah memalsukan hadis”. Ibnu Ma’in
berkata, “Dia orang yang paling dusta”. Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan
hadis”. Al-Bukhari berkata, “Dia ditinggalkan hadisnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya
sebagai pendusta”.
Dengan demikian hadis tersebut melalui sanad ini adalah maudlu’, karena
kedla’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).

Asbabun Nuzul Hadits

Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang para sahabatnya
menuliskan apa yang dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar ucapan-ucapannya tidak
bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran). Karenanya, seluruh Hadits waktu itu hanya
berada dalam ingatan atau hapalan para sahabat.

Kodifikasi Hadits dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100 H/718
M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur (136 H/174 M).
Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab Hadits, di antaranya Imam Malik di Madinah
dengan kitabnya Al-Mutwaththa,  Imam Abu Hanifah menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafi’i
menulis Ikhtilaful Hadits, Al-Um, dan As-Sunnah. 

Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang berisi 40.000 Hadits.
Ulama Hadits terkenal yang diakui kebenarannya hingga kini adalah Imam Bukhari (194
H/256 M) dengan kitabnya Shahih Bukhari dan Imam Muslim (206 H/261 M) dengan
kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab Hadits itu menjadi rujukan utama umat Islam
hingga kini. Imam Bukhari berhasil mengumpulkan sebanyak 600.000 hadits yang
kemudian diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000 hadits yang kemudian
diseleksinya. 

Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasa'i yang menuangkan koleksi
haditsnya dalam Kitab Nasa'i, Imam Tirmidzi dalam Shahih Tirmidzi, Imam Abu Daud
dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah dalam Kitab Ibnu Majah, Imam Baihaqi dalam
Sunan Baihaqi dan Syu'bul Imam, dan Imam Daruquthni dalam Sunan Daruquthni.

16
Ada tiga peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam,
yakni sebagai berikut :

1. Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya dalam Al-
Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaannya dijelaskan
oleh Nabi.
2. Sebagai penjelasan isi Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintah- kan manusia
mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan banyaknya raka’at, cara
rukun dan syarat mendirikan shalat. Nabilah yang menyebut sambil mencontohkan
jumlah raka’at setiap shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.
3. Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar
ketentuannya di dalam Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi mengawini seorang
perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan
perkawinan di surat An-Nisa (4) : 23. Namun, kalau dilihat hikmah larangan itu jelas
bahwa larangan tersebut mencegah rusak atau putusnya hubungan silaturrahim antara
dua kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama Islam.

2.4 Ijtihad
Islam sebagai agama yang adil dan berlaku untuk seluruh umat manusia. Sumber
ajaran islam adalah Al-Qur’an dan sunnah yang sangat lengkap. Pertanyaan timbul
mengapa ijtihad dijadikan sebagai sumber hukum atas sumber ajaran agama islam,
padahal Al-Qur’an dan sunnah sudah cukup lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat
pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi
oleh sunnah, karena perkembanganya zaman banyak masalah yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan as-sunnah.
Sebagai contoh akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul
masalah bayi tabung, pemindahan kornea mata. Semua itu memerlukan jawaban apakah
dibolehkan atau tidak, bagaimana sebenarnya menurut konsep ajaran agama islam.
Jawabanya bagaimana dan sejauh mana islam secara tegas menetapkan dan menyelesaikan
persoalan. Demikian ijtihad dibutuhkan sebagai metode menerangkan suatu persoalan
yang tidak ada atau secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah.

17
Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa ialah percurahan segenap kesanggupan untuk
mendatangkan sesuatu dari berbagai urusan atau perbuatan. Berasal dari kata ja-ha-da
yang artinya berusaha keras atau berusaha sekuat tenaga: ijtihad secara harfiah mengndung
arti yang sama.
Menurut Muhammad Syaltut, ijtihad artinya sama dengan ar-ra’yu yang
perinciannya berarti:

a. Pemikiran arti yang mengandung oleh Al-Qur’an dan sunnah.


b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak diajukan oleh nass dengan suatu
masalah yang hukumnya ditetapkan oleh nass.
c. Pencerahan seganap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang
masalah yang tidak ditunjukan hukunya oleh suatu nass secara langsung.

Landasan Ijtihad
Dalam islam akal sangat dihargai. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menagtaka
suruhan untuk mempergunakan akal, sebagaimana dapat dilihat dari terjemaahan ayat-ayat
ini:
“Sesungguhnya pencptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (Q.S 8:22)
“Sesungguhnya bunatang (makhluk) yang seburuk-buruknya disisi Allah ialah
orang yang peka dan tuli yang mengerti apapun” (Q.S 8:22)
Untuk memberikan bukti bahea ijtihad pernah dilakukan para sahabat, pada massa
nabi sekalipun hadist yang di riwayatkan oleh Al-Baghawi dari Mu’adz bin Jabal yang
artinya sebagai berikut:
،‫ول هللا‬B‫ه رس‬B‫ى ب‬B‫ا قض‬B‫ى بم‬B‫ اقض‬: ‫ال‬B‫اب هللا؟ ق‬B‫د فى كت‬B‫ان لم تج‬B‫ ف‬: ‫ قال‬،‫ بما فى كتاب هللا‬: ‫بم تقضى؟ قال‬
‫ الحمد هلل الذى وفق رسول رسوله‬: ‫ قال‬،‫ اجتهد برأيى‬: ‫ قال‬،‫ فان لم تجد فيما قضى به رسول هللا؟‬: ‫قال‬
“Pada waktu Rosulullah SAW mengutusnya (Mu’adz bin Jabal) ke Yaman, Nabi
Mahammad SAW berkata: ‘bagaimana jika engkau diserahi urusan peradilan?’,
jawabnya: ‘saya menetapkan perkara berdasarkan Al-Qur’an’, nabi berkata: ‘bagaimana
kalau kau tidak mendapati dalam Al-Qur’an?’, jawabnya: ‘dengan sunnah nabi’,
selanjutnya nabi berkata: ‘bila dalam sunnah pun tidak kau dapati?’, jawabnya: ‘saya
akan mengerahkan kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiran saya’,
akhirnya nabi Muhammad SAW menepuk dada dengan mengucapkan segala puji bagi
Allah yang telah memberikan taufiq (kecocokan) pada utusan Rosulullah (Mu’adz)

18
Sebagai bukti bahwa ijtihad yang dilakukan para sahabat adalah ketika Abu Bakar
menjadi khalifah, waktu itu terdapat sekelompok yang tidak mambayar zakat fitrah. Abu
Bakar bertindak memerangi mereka. Tidakan Abu Bakar tidak disetujui oleh Umar bin
Khatab dengan alasan menggunakan sabda Nabi SAW yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak (yang mengganggu islam)
sehingga mereka mau mengucapkan syahadat. Kalau mereka telah mengucapkannnya,
terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan cara yang benar”
Dalam peristiwa itu Abu Bakar berargumen berdasarkan sabda nabi SAW, ILLAHI
HAQQIKA. Dalam kata-kata itu menunaikan zakat adalah sebagaimana mengerjakan
shalat termasuk haq.
Dalam hal itu Umar berpendirian bahwa merupakan suatu kebaikan bagi
kepentingan umat islam dan umat mukmin.

Macam-macam Ijtihad
Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan
dan ijtihad jam’i. Ijtihad perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang
mujtahid dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad jam’i atau ijtihad kelompok
adalah ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam menganalisa suatu
masalah untuk menentukan suatu hukum.
Dilihat dari lapangannya ijtihad dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Ijtihad pada masalah-masalah yang ada nassnya tapi bersifat zhanni.


b. Ijtihad untuk mencapai suatu hukum syara’ dengan penetapan kaidah kulliyah yang
bisa diterapkan tanpa adanya suatu nass.
c. Ijtihad bi ar-ra’i yaitu ijtihda yang berpegang pada tanda-tanda dan wasilah yang
telah ditetapkan syara’ untuk menunjuk pada suatu hukum.

Kedudukan Ijtihad
1. Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena
mengingat hasil ijtihad merupakan analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari akal
manusia sendiri yang relatif, maka hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa
berlaku dan pada saatnya yang lain bisa tidak berlaku.
2. Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam
ketentuan ini generasi terhadap suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam
bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai situasi dan kondisi alamiah yang berbeda.

19
Lungkungan sosial dan budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah
belum tentu berlaku di daearah lain.
3. Proses ijtihad harus mempertimbangkan motifasi, akibat dan permasalahan umum
(umat)
4. Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah
tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian kaidah
yang penting dalam melakukan ijtihad adalah bahwa ijtihad tersebut tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.

Metode Ijtihad
1. QIYAS. Qiyas artinya reasoning by analogy. Makna aslinya adalah mengukur atau
membandingkan atau menimbang dengan menimbangkan sesuatu. Contoh: pada masa
nabi ada belum ada permasalahan padi. Dengan demikian diperlukan ijtihad dengan
jalan qiyas dalam menentukan zakat.
2. Ijma’ atau konsensus. Kata ijma’ berasal dari kata jam’un yang artinya menghimpun
atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur
sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan
suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan
pendapat berdasarkan dengan hasil ijma’ ini contohnya bagaimana masalah kelurga
berencana.
3. ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna aslinya ialah menganggap baik suatu
barang atau menyukai barang itu menurut terminlogi para ahli hukum, berarti
didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan, sebagai cotoh adalah
peristiwa Ummar bin hatab yang tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada
seorang pencuri pada masa peceklik.
4. MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan yang berdasarkan guna dan
manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi dasar
pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa. Contoh metode ini adalah tentang khamar
dan judi. Dala ketentuan nash bahwa khamar dan judi itu manfaat bagi manusia, tetapi
bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa
suatu masalah yang mengandung masalahat dan manfaat, di dahulukan menolak
mafsadat. Untuk ini terdapat kaidah,

“menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan


apabila berlawanan antara mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak mafsadat”.

20
Disamping itu masih terdapat metode ijtihad yang lain, seperti istidlal, Al-Urf dan
Istishab.

2.5 Paradigma Qur’ani dalam kehidupan modern


Menelusuri Konsep dan Karakteristik Paradigma Qurani untuk Menghadapi
Kehidupan Modern
Secara etimologis kata paradigma dari bahasa Yunani yang asal katanya adalah
para dan digma. Para mengandung arti “di samping‟, “di sebelah‟, dan “keadaan
lingkungan‟. Digma berarti “sudut pandang‟, “teladan‟, “arketif; dan “ideal‟. Dapat
dikatakan bahwa paradigma adalah cara pandang, cara berpikir, cara berpikir tentang suatu
realitas. Adapun secara terminologis paradigma adalah cara berpikir berdasarkan
pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu realitas atau suatu
permasalahan dengan menggunakan teori-teori ilmiah yang sudah baku, eksperimen, dan
metode keilmuan yang bisa dipercaya.
Dengan demikian, paradigma Qurani adalah cara pandang dan cara berpikir
tentang suatu realitas atau suatu permasalahan berdasarkan Al-Quran. Kemudian Mengapa
Al-Quran dijadikan paradigma? Semua orang menyatakan bahwa ada suatu keyakinan
dalam hati orang-orang beriman, Al-Quran mengandung gagasan yang sempurna
mengenai kehidupan; Al-Quran mengandung suatu gagasan murni yang bersifat
metahistoris. Menurut Kuntowijoyo (2008), Al-Quran sesungguhnya menyediakan
kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan cara berpikir. Pengembangan
eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan berdasarkan paradigma Al-Quran jelas akan
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia. Premis-premis normatif Al-
Quran dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional. Struktur
transendental Al-Quran adalah sebuah ide normatif filosofis yang dapat dirumuskan
menjadi paradigma teoretis.
Paradigma Qurani akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu
pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai
dengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam yaitu untuk mengaktualisasikan misinya
sebagai khalifah di muka bumi.

21
“Mengapa Paradigma Qurani sangat Penting bagi Kehidupan Modern?”
Al-Quran bagi umat Islam adalah sumber primer dalam segala segi kehidupan. Al-
Quran adalah sumber ajaran teologi, hukum, mistisisme, pemikiran, pembaharuan,
pendidikan, akhlak dan aspekaspek lainnya. Tolok ukur benar / salah, baik / buruk, dan
indah / jelek adalah Al-Quran. Jika mencari sumber lain dalam menentukan benar / salah,
baik / buruk, dan indah / jelek, maka seseorang dianggap tidak konsisten dalam berislam,
suatu sikap hipokrit yang dalam pandangan Al-Quran termasuk sikap tidak terpuji.
Apa Al-Quran diturunkan? Apa tujuan Al-Quran diturunkan? Yusuf al-Qardhawi
menjelaskan bahwa tujuan diturunkan Al-Quran paling tidak ada tujuh macam, yaitu:
1. meluruskan akidah manusia,
2. meneguhkan kemuliaan manusia dan hak-hak asasi manusia,
3. mengarahkan manusia untuk beribadah secara baik dan benar kepada Allah,
4. mengajak manusia untuk menyucikan rohani,
5. membangun rumah tangga yang sakinah dan menempatkan posisi terhormat bagi
perempuan,
6. membangun umat menjadi saksi atas kemanusiaan, dan ke
7. mengajak manusia agar saling menolong.

Menggali Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis tentang


Paradigma Qurani untuk Kehidupan Modern
Untuk menggali sumber historis, filosofis, psikologis, sosiologis, dan paedagogis
tentang paradigma Qurani yang membawa kemajuan dan kemodernan pada zaman silam,
kita dapat mempelajari cara-cara untuk mencapai kemajuan pada zaman keemasan Islam
dan mempelajari peran Al-Quran dalam mewujudkan kemajuan itu.
Dalam sejarah peradaban Islam ada suatu masa yang disebut masa keemasan
Islam. Disebut masa keemasan Islam karena umat Islam berada dalam puncak kemajuan
dalam berbagai aspek kehidupannya: ideologi, politik, sosial budaya, ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi, pertahanan dan keamanan. Karena kemajuan itu pula, maka
dunia Islam menjadi pusat peradaban, dan dunia Islam menjadi super-power dalam
ekonomi dan politik. Ekspansi dakwah Islam semakin meluas dan diterima oleh belahan
seluruh dunia ketika Islam datang. Kekuasaan politik semakin luas yang implikasinya
kemakmuran ekonomi juga semakin terbuka tambah subur dan tentu lebih merata.

22
faktor-faktor yang menyebabkan umat Islam bisa maju pada saat itu dan dalam
waktu yang amat lama (lebih dari lima abad.), maka jawabannya tentu saja karena umat
Islam menjadikan Al-Quran sebagai paradigma kehidupan. Al-Quran pada saat itu bukan
hanya dijadikan sebagai sumber ajaran tetapi juga menjadi paradigma dalam
pengembangan Iptek, pengembangan budaya, bahkan Al-Quran dihadirkan untuk
mengatasi dan menghadapi pelbagai problem kehidupan umat Islam saat itu. Pada zaman
keemasan Islam, Al-Quran dijadikan sebagai paradigma dalam segala aspek kehidupan
dan Rasulullah saw. menjadi role model (uswatun ḫasanah) dalam mengimplementasikan
Al-Quran dalam kehidupan sehari hari. Para sahabat menjadikan Rasulullah sebagai
panutan, figur, dan pemimpin. Para sahabat merupakan generasi terbaik dalam kacamata
Islam sebab mereka hidup langsung di bawah bimbingan Rasulullah saw. Rasulullah hadir
di tengah-tengah mereka dan Rasulullah hadir di hati mereka. Demikian juga generasi
berikutnya, yakni generasi tabiin menjadikan Rasulullah sebagai panutan dan Al-Quran
dan hadis sebagai sumber ajaran yang mereka implementasikan dalam keseharian.
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku lalu generasi berikutnya dan generasi
berikutnya” (HR Muslim). Sikap komitmen para sahabat dan generasi berikutnya
menjadikan Rasulullah sebagai uswah dalam segala segi kehidupan dan sesungguhnya
perilaku mereka sesuai dengan tuntunan Al-Quran itu sendiri. Allah berfirman, “Apa
apa yang Rasulullah datangkan untuk kamu, maka ambillah dan apa-apa yang
Rasulullah melarangnnya, maka tinggalkanlah” (QS Al-Hasyr/59: 7).

Toshihiko Izutsu (1993: 91-116) mencoba meneliti konsepkonsep etika religius


dalam Al-Quran. Hasil penelitiannya menetapkan ada lima nilai etik yang perlu
dikembangkan manusia yaitu: 1) murah hati, 2) keberanian, 3) kesetiaan, 4) kejujuran, dan
5) kesabaran. Berikutnya Izutsu menuangkan konsep kemunafikan religius serta
membahas konsep baik dan buruk secara mendalam. Bahasannya meliputi konsep salih,
birr, fasad, ma‟ruf dan munkar, khair dan syarr, ḫusn dan qubḫ, fakhisyah atau fawakhisy,
thayyib dan khabis, haram dan halal termasuk konsep dosa.

Membangun Argumen tentang Paradigma Qurani sebagai Satu-satunya Model


untuk Menghadapi Kehidupan Modern
Pendapat yang pernah disampaikan oleh Sakib Arselan dalam bukunya “Limādza
ta`akhkharal muslimūna wa taqaddama gairuhum” artinya, „mengapa umat Islam mundur

23
sedangkan non-Islam maju?‟. Penulis buku itu menyimpulkan bahwa umat Islam mundur
karena mereka meninggalkan ajarannya, sedangkan non-Islam maju justru karena mereka
meninggalkan ajarannya. Sejalan dengan pemikiran Arselan tersebut, para pembaharu
sepakat bahwa untuk kemajuan Islam, umat Islam harus berkomitmen terhadap ajarannya,
mustahil mereka dapat maju kalau mereka meninggalkan ajarannya. Adapun ajaran
dimaksud adalah ajaran murni al-Islām sebagaimana yang tercantum dalam AlQuran dan
sunah bukan ajaran-ajaran yang bersumber dari budaya selain Al-Quran dan sunah.
Tidak sedikit orang berpandangan bahwa untuk maju justru mereka harus
meninggalkan ajaran agama mereka sehingga mereka harus mengembangkan budaya
sekuler dalam segala segi kehidupan. Sementara bagi umat Islam, untuk maju tidak perlu
mengambil sekulerisasi, malah sebaliknya, harus berkomitmen terhadap ajarannya.
Mengapa umat Islam untuk dapat maju tidak perlu mengambil jalan sekulerisasi?
Jawabannya tentu saja, karena :
1. ajaran Islam yang sumbernya Al-Quran dan hadis bersifat syumul artinya
mencakup segala aspek kehidupan.
2. ajaran Islam bersifat rasional, artinya sejalan dengan nalar manusia sehingga tidak
bertentangan dengan Iptek
3. ajaran Islam berkarakter tadarruj artinya bertahap dalam wurūd dan
implementasinya.
4. ajaran Islam bersifat taqlilat-takaalif
artinya tidak banyak beban karena beragama itu memang mudah, dalam arti untuk
melaksanakannya berada dalam batas-batas kemanusiaan bukan malah sebaliknya,
tidak ada yang di luar kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Allah sendiri
menyatakan dalam banyak ayat bahwa yang dikehendaki oleh Allah adalah
kemudahan bagi umat manusia bukan kesulitan, menjunjung tinggi kesamaan
(egaliter), keadilan, rahmat dan berkah bagi semua.
5. ajaran yang diangkat Al-Quran berkarakter i‟jāz artinya bahwa redaksi Al-Quran
dalam mengungkap pelbagai persoalan, informasi, kisah dan pelajaran selalu
dengan gaya bahasa yang singkat, padat, indah, tetapi kaya makna, jelas dan
menarik. Agama yang mempunyai prinsip seperti itulah agama masa depan dan
agama yang dapat membawa kemajuan.

Perlu juga ditambahkan adanya faktor persesuaian antara akal dan wahyu.
Kebenaran wahyu adalah absolut. Argumen akal tentang kebenaran wahyu tidak

24
memberikan pengaruh sedikit pun terhadap kebenaran itu. Demikian sebaliknya, argumen
akal yang menyatakan ketidakbenaran wahyu tidak lantas membuat wahyu itu menjadi
tidak benar. Akan tetapi, apabila akal melakukan penalaran yang valid, maka ia akan
sesuai dengan kebenaran wahyu.
Kemajuan yang dicapai dengan keberhasilan pengembangan Iptek tentu akan
membawa perubahan yang sangat dahsyat. Revolusi kebudayaan terjadi karena Iptek telah
mengantarkan manusia kepada kemajuan yang luar biasa. Kemajuan melahirkan
kehidupan modern dan kemodernan menjadi ciri khas masyarakat maju dewasa ini. Bagi
umat Islam kemodernan tetap harus dikembangkan di atas paradigma Al-Quran. Kita maju
bersama Al-Quran, tidak ada kemajuan tanpa AlQuran.
Al-Quran bukan hanya sebagai sumber inspirasi, tetapi ia adalah landasan,
pedoman paradigma dan guide dalam mengarahkan kemodernan agar dapat
menyejahterakan manusia dunia dan akhirat. Apa arti kemodernan kalau tidak membawa
kesejahteraan? Apa arti kemajuan Iptek kalau manusia tidak makrifat kepada Allah? Imam
Junaid al-Bagdadi menyatakan, “Meskipun orang tahu segala sesuatu tetapi jika dia tidak
mengenal Allah sebagai Tuhannya, maka identik dengan tidak tahu sama sekali”. Junaid
ingin menyatakan bahwa landasan Iptek adalah ma‟rifatullāh, dan Al-Quran adalah
paradigma untuk pengembangan Iptek.
Penguasaan Iptek yang dilandasi ma‟rifatullāh akan membawa kemajuan lahir
batin, sejahtera dunia akhirat, dan rahmat bagi semua alam. Iptek dan kehidupan yang
tidak dipandu wahyu belum tentu membawa kesejahteraan, ketenteraman, dan
kebahagiaan, sedangkan Iptek dan kehidupan yang dipandu wayu tentu akan mewujudkan
kesejahteraan yang seimbang; sejahtera lahir batin, dunia akhirat, jasmani rohani. Itulah
paradigma Qurani dalam konsep dan kenyataan kehidupan.

Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Paradigma Qurani dalam Menghadapi


Kehidupan Modern
Ciri utama kehidupan modern adalah adanya pembangunan yang berhasil dan
membawa kemajuan, kemakmuran, dan pemerataan. Pembangunan yang
berkesinambungan yang berimplikasi terhadap perubahan pola hidup masyarakat ke arah
kemajuan, dan kesejahteraan itu merupakan bagian dari indikator kehidupan modern.

Dalam konsep Islam, kemajuan dan kemodernan yang integral adalah sesuatu yang
harus diraih dan merupakan perjuangan yang tak boleh berhenti. Berhenti dalam proses

25
pencapaiannya berarti berhenti dalam perjuangan, suatu sikap yang dilarang dalam Islam.
Namun, karena umat Islam memiliki sumber norma dan etik yang sempurna yaitu kitab
suci Al-Quran, maka Al-Quran harus dijadikan paradigma dalam melihat dan
mengembangkan segala persoalan.
Paradigma Qurani dalam pengembangan budaya, juga akan melahirkan budaya
masyarakat yang Islami yang tidak sekuler dalam proses, hasil, dan aktualisasinya.
Misalnya dalam pengembangan ekonomi yang berlandaskan paradigma Qurani jelas akan
melahirkan konsep dan kegiatan ekonomi yang bebas bunga dan spekulasi yang
merugikan. Prinsip ekonomi Islam adalah tidak boleh rugi dan tidak boleh merugikan
orang lain (lā dharāra wa lā dhirāra). Riba dan gharar jelas merupkan sesuatu yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu
Sekularisasi hanya akan mengikis keimanan yang ada di hati umat dan akan
melahirkan generasi yang ambivalen (bersikap mendua) dalam kehidupan. Di satu sisi ia
sebagai seorang muslim, di sisi lain ia meminggirkan ajaran Islam dari dirinya dan
kehidupannya sehingga Islam lepas dari aktivitas hidupnya, yaitu suatu sikap hipokrit
yang harus dijauhkan dari kepribadian umat Islam. Umat Islam akan maju kalau Al-Quran
menjadi tuntunan dan Rasulullah sebagai panutan. Umat Islam akan tertinggal, dan masuk
pada situasi stagnasi kalau Al-Quran dijauhkan dari kehidupan dirinya. Paradigma Qurani
adalah proses menghadapi realitas sekaligus tujuan yang harus digapai dalam perjalanan
hidup umat Islam

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari materi diatas tentang Sumber Ajaran Islam dapat disimpilkan bahwa terdapat
3 pokok yang menjadi sumber ajaran bagi umat islam. yaitu, Al-Qur’an, hadis dan Ijtihad. 
Dimana Al-qur’an adalah nama bagi kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai
petunjuk hidup (hidayah) bagi seluruh umat manusia. Hadits merupakan sesuatu yang
disandarkan kepada nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat
beliau. Dan Ijtihad merupakan pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk
mendapatkan hukum syara’ yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.

3.2 Saran
Saran dari penulis adalah marilah kita menjadikan Al-qur’an dan Al-hadist
sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari kita yang merupakan sumber hukum agama
Islam dan sekaligus pembawa kita kedalam kehidupan yang bahagia baik itu di dunia dan
akhirat kelak nanti.

27
DAFTAR PUSTAKA
 

Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Maarif Bandung, 1989


http://lesmanaferi.blogspot.com/2013/04/makalah-psi-sumber-jaran-islam.html
http://agusabang.blogspot.com/2013/01/sumber-sumber-ajaran-islam.html
H. Djarnawi Hadikukusam, “Ijtihad”, dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif
https://republika.co.id/berita/mvokwc/12-prinsip-ajaran-islam-di-alquran
https://www.scribd.com/presentation/408073171/PPT-Membangun-Paradigma-Qurani
Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M Yogyakarta, 1985
https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-hadits.html
Zainab Al-Ghazali, Menuju Kebangkitan Baru, Gema Insani Press Jakarta, 1995
http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/4

28

Anda mungkin juga menyukai