Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta’ala yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah
yang berjudul “Fiqh Adzan”

Makalah ini berisikan tentang awal pensyari’atan, hukum dan keutamaan adzan.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan tambahan informasi kepada kita
tentang adzan.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada sumber yang saya gunakan dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Ta’ala senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Semarang, 12 Desember 2014

Penyusun 

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................1

DAFTAR ISI.................................................................................2

BAB I. PENDAHULUAN...........................................................4

Latar Belakang Masalah.................................................................................4

Rumusan Masalah...........................................................................................4

Batasan Masalah.............................................................................................4

Tujuan dan Kegunaan Penulisan....................................................................4

Garis Besar Isi.................................................................................................5

BAB II. PEMBAHASAN............................................................7

Pensyari’atan Adzan.......................................................................................7

Keutamaan Adzan...........................................................................................9

Hukum Adzan...............................................................................................14

Hukum Adzan Bagi Musafir.........................................................................18

Hukum Adzan Bagi Sholat yang Luput........................................................21

Hukum Adzan Bagi Wanita..........................................................................23

Hukum Adzan Bagi yang Sholat Sendirian (Munfarid)...............................25

2
Hukum Adzan Bagi yang Ketinggalan Sholat Jama’ah...............................26

Hukum Adzan Bagi Sholat yang Dijama’....................................................27

BAB III. KESIMPULAN..........................................................30

BAB IV. PENUTUP..................................................................31

SUMBER....................................................................................32

3
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Adzan berarti pemberitahuan atau seruan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman


dalam surat At Taubah Ayat 3:

ُ ‫َوأَ َذانٌ ِمنَ هَّللا ِ َو َر‬


ِ ‫سولِ ِه إِلَى النَّا‬
‫س‬

“dan ini adalah seruan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia”

Adapun makna adzan secara istilah adalah seruan yang menandai masuknya
waktu shalat lima waktu dan dilafazhkan dengan lafazh-lafazh tertentu.1

Adzan dan Iqomah merupakan di antara amalan yang utama di dalam Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Imam sebagai penjamin dan muadzin (orang yang adzan) sebagai yang diberi
amanah, maka Allah memberi petunjuk kepada para imam dan memberi ampunan
untuk para muadzin.”2

Namun, sebagian orang masih belum dapat memahami betapa pentingnya adzan
dan hukum-hukumnya serta keutamaan-keutamaan yang dimilikinya.

1
Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 84, cetakan Maktabah Al Asadi, Karya Syaikh
Abdullah Al Bassam.

2
Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud (1203), At Tirmidzi (207), dan Ahmad (II/283-419).

4
Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan-


permasalahan sebagai berikut:

 Kapan awal pensyari’atan Adzan?


 Bagaimana hukum Adzan?
 Apa saja keutamaan yang dimiliki Adzan?
 Bagaimana hukum Adzan dalam keadaan tertentu?

Batasan Masalah

Karena terbatasnya waktu dan referensi yang digunakan, maka makalah ini hanya
membahas tentang pensyari’atan Adzan dan hukum-hukumnya, serta keutamaan-
keutamaan yang dimiliki Adzan.

Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

 Untuk memenuhi Tugas Harian Mata Pelajaran Fiqh.


 Untuk memperoleh pemahaman tambahan tentang hukum-hukum Adzan.
 Untuk ikut berperan serta dalam kegiatan ilmiah, khususnya ilmu Fiqh
melalui studi kepustakaan guna memperkaya khazanah dunia ilmu.

Adapun kegunaan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

 Dapat mengetahui awal pensyari’atan Adzan.


 Dapat memahami hukum serta dalil tentang Adzan.

5
 Dapat mengetahui serta memahami keutamaan-keutamaan yang dimiliki
Adzan.

Garis Besar Isi

Isi dari makalah secara garis besar adalah sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, batasan masalah, tujuan dan
kegunaan penulisan dan garis besar makalah.

Bab II. Pembahasan

Pada bab ini akan dijelaskan tentang pensyari’atan, keutamaan serta dalil dan
hukum-hukum penting dalam Adzan.

Bab III. Kesimpulan

Pada bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang dapat disimpulkan dari Fiqh
Adzan.

Bab IV. Penutup

6
BAB II

PEMBAHASAN

Pensyari’atan Adzan

Adzan disyari’atkan di Madinah pada tahun pertama Hijriyah. Inilah pendapat


yang lebih kuat. Di antara dalil yang mendukung pendapat ini adalah hadits Ibnu
‘Umar, di mana beliau berkata,

، َ‫ فَتَ َكلَّ ُموا يَ ْو ًما فِى َذلِك‬، ‫س يُنَادَى لَ َها‬ َ ‫ لَ ْي‬، َ‫صالَة‬ َّ ‫سلِ ُمونَ ِحينَ قَ ِد ُموا ا ْل َم ِدينَةَ يَ ْجتَ ِمعُونَ فَيَت ََحيَّنُونَ ال‬ ْ ‫َكانَ ا ْل ُم‬
َ‫ فَقَا َل ُع َم ُر أَ َوال‬. ‫ض ُه ْم بَ ْل بُوقًا ِم ْث َل قَ ْر ِن ا ْليَ ُهو ِد‬
ُ ‫ َوقَا َل بَ ْع‬. ‫صا َرى‬ ِ ‫سا ِم ْث َل نَاقُو‬
َ َّ‫س الن‬ ً ‫ض ُه ْم ات َِّخ ُذوا نَاقُو‬ُ ‫فَقَا َل بَ ْع‬
َّ ‫سو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – « يَا بِالَ ُل قُ ْم فَنَا ِد بِال‬
‫صالَ ِة‬ َّ ‫» تَ ْب َعثُونَ َر ُجالً يُنَا ِدى بِال‬
ُ ‫ فَقَا َل َر‬. ‫صالَ ِة‬

“Kaum muslimin dahulu ketika datang di Madinah, mereka berkumpul lalu


memperkira-kira waktu sholat, tanpa ada yang menyerunya, lalu mereka
berbincang-bincang pada satu hari tentang hal itu. Sebagian mereka berkata,
gunakan saja lonceng seperti lonceng yang digunakan oleh Nashrani. Sebagian
mereka menyatakan, gunakan saja terompet seperti terompet yang digunakan
kaum Yahudi. Lalu ‘Umar berkata, “Bukankah lebih baik dengan
mengumandangkan suara untuk memanggil orang shalat.” Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Bilal bangunlah dan
kumandangkanlah adzan untuk shalat.”3

3
HR. Bukhari no. 604 dan Muslim no. 377.

7
Inilah dalil yang menunjukkan kapan dimulai disyari’atkannya adzan, yaitu pada
awal-awal hijrah saat di Madinah. Sampai-sampai Yahudi ketika mendengar
kumandang adzan tersebut, mereka berkata, “Wahai Muhammad, engkau sudah
membuat hal yang baru yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.” Lantas kala itu
turunlah firman Allah,

َّ ‫َوإِ َذا نَا َد ْيتُ ْم إِلَى ال‬


‫صاَل ِة‬

“ Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat.”

(QS. Al Maidah: 58)

Dapat pula diperhatikan pada firman Allah,

‫صاَل ِة‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّ ِذينَ آَ َمنُوا إِ َذا نُو ِد‬
َّ ‫ي لِل‬

“Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at.”

(QS. Jumu’ah: 9).

Ayat ini juga menandakan bahwa adzan pertama kali disyari’atkan di Madinah
karena shalat Jum’at baru disyari’atkan saat di Madinah. Untuk tahunnya sendiri,
Ibnu Hajar lebih menguatkan pendapat adzan dimulai pada tahun pertama
Hijriyah.4

4
Fathul Bari, 2: 78.

8
Keutamaan Adzan

o Setan menjauh saat mendengar adzan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

‫ض َى األَ َذانُ أَ ْقبَ َل فَإ ِ َذا ثُ ِّو َب بِ َها أَ ْدبَ َر فَإ ِ َذا‬
ِ ُ‫س َم َع األَ َذانَ فَإ ِ َذا ق‬
ْ َ‫ض َراطٌ َحتَّى الَ ي‬ ُ ُ‫ش ْيطَانُ لَه‬ َّ ‫ى ِباألَ َذا ِن أَ ْدبَ َر ال‬َ ‫إِ َذا نُو ِد‬
ْ‫ لِ َما لَ ْم َي ُكنْ َي ْذ ُك ُر َحتَّى َيظَ َّل ال َّر ُج ُل إِن‬.‫س ِه يَقُو ُل ْاذ ُك ْر َك َذا ْاذ ُك ْر َك َذا‬ ِ ‫يب أَ ْقبَ َل َي ْخطُ ُر َبيْنَ ا ْل َم ْر ِء َونَ ْف‬
ُ ‫ض َى التَّ ْث ِو‬ِ ُ‫ق‬
ٌ ِ‫س ْج َدتَ ْي ِن َو ُه َو َجال‬
‫س‬ َ ‫س ُج ْد‬ َ ‫صلَّى فَإ ِ َذا لَ ْم يَ ْد ِر أَ َح ُد ُك ْم َك ْم‬
ْ َ‫صلَّى فَ ْلي‬ َ ‫يَ ْد ِرى َك ْم‬

“Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia
tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka ia
pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah, setan pun berpaling lagi. Apabila
iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara
seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk
sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut
senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari
kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali
dalam keadaan duduk.”5

Ibnul Jauzi mengatakan,

“Suara adzan membuat setan takut sehingga pergi jauh. Karena dalam kumandang
adzan sulit terjangkit riya’ dan kelalaian. Hal ini berbeda dengan shalat, hati
mudah diserang oleh setan dan ia selalu memberikan pintu was-was.” Sampai-
sampai Abu ‘Awanah membuat judul suatu bab “

Dalil bahwa orang mengumandangkan adzan dan iqomah tidak dihinggapi was-
was setan dan sulit terjangkit riya’ karena setan menjauh darinya.”6

5
HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 389.
6
Fathul Bari, 2: 87.

9
o Yang mendengar adzan akan menjadi saksi bagi muadzin pada hari kiamat

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ش ِه َد لَهُ يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة‬ ٌ ‫ت ا ْل ُمؤ َِّذ ِن ِجنٌّ َوالَ إِ ْن‬


َ َّ‫س َوالَ ش َْى ٌء إِال‬ ِ ‫ص ْو‬ ْ َ‫الَ ي‬
َ ‫س َم ُع َمدَى‬

“Tidaklah suara adzan yang keras dari yang mengumandangkan adzan didengar
oleh jin, manusia, segala sesuatu yang mendegarnya melainkan itu semua akan
menjadi saksi pada hari kiamat.”7

Termasuk juga di sini jika yang mendengar adalah hewan dan benda mati
sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah. Dalam riwayat lain
disebutkan,

‫س‬ ٍ ‫ش َه ُد لَهُ ُك ُّل َر ْط‬


ٍ ِ‫ب َويَاب‬ َ ‫ا ْل ُمؤ َِّذنُ يُ ْغفَ ُر لَهُ َمدَى‬
ْ َ‫ص ْوتِ ِه َوي‬

“Muadzin diberi ampunan dari suara kerasnya saat adzan serta segala yang basah
maupun yang kering akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.”8

Termasuk juga yang mendengarnya adalah malaikat karena sama-sama tidak


terlihat seperti jin.9

7
HR. Bukhari no. 609.
8
HR. Abu Daud no. 515, Ibnu Majah no. 724, dan An Nasai no. 646. Sanad hadits ini hasan
sebagaimana dinilai oleh Al Hafizh Abu Thohir.
9
Lihat Fathul Bari, 2: 88-89.

10
o Kalau tahu keutamaan adzan pasti akan jadi rebutan

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ستَ َه ُموا‬ ْ َ‫صفِّ األَ َّو ِل ثُ َّم لَ ْم يَ ِجدُوا إِالَّ أَنْ ي‬


ْ َ‫ستَ ِه ُموا َعلَ ْي ِه ال‬ ُ َّ‫لَ ْو َي ْعلَ ُم الن‬
َّ ‫اس َما فِى النِّدَا ِء َوال‬

“Seandainya setiap orang tahu keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian
mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan
berundi.”10

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

“Yang dimaksud hadits adalah seandainya mereka mengetahui keutamaan adzan,


keagungan dan balasannya yang besar, kemudian waktu adzan sudah sempit atau
masjid hanyalah satu, pastilah mereka saling merebut untuk adzan dengan cara
mengundi.”11

o Keadaan muazin yang istimewa pada hari kiamat

Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

‫س أَ ْعنَاقًا يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة‬


ِ ‫ا ْل ُمؤ َِّذنُونَ أَ ْط َو ُل النَّا‬

“Seorang muazin memiliki leher yang panjang di antara manusia pada hari
kiamat.”12

10
HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437.
11
Syarh Shahih Muslim, 4: 142.
12
HR. Muslim no. 387.

11
Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah orang yang paling banyak
menampakkan rahmat Allah. Ada juga ulama yang menafsirkan bahwa yang
dimaksud adalah orang yang paling terlihat banyak mendapatkan pahala.13

o Muazin diampuni oleh allah dan dimasukkan dalam surga kelak

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صلِّى فَيَقُو ُل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل ا ْنظُ ُروا إِلَى‬ َّ ‫ش ِظيَّ ٍة بِ َجبَ ٍل يُؤ َِّذنُ بِال‬
َ ُ‫صالَ ِة َوي‬ َ ‫س‬ ِ ‫ب َربُّ ُك ْم ِمنْ َرا ِعى َغنَ ٍم ِفى َر ْأ‬
ُ ‫َي ْع َج‬
َ‫صالَةَ يَ َخافُ ِمنِّى فَقَ ْد َغفَ ْرتُ لِ َع ْب ِدى َوأَد َْخ ْلتُهُ ا ْل َجنَّة‬ َّ ‫َع ْب ِدى َه َذا يُؤ َِّذنُ َويُقِي ُم ال‬

“Rabb kalian begitu takjub terhadap si pengembala kambing di atas puncak


gunung yang mengumandangkan adzan untuk shalat dan ia menegakkan shalat.
Allah pun berfirman, “Perhatikanlah hamba-Ku ini, ia beradzan dan menegakkan
shalat (karena) takut kepada-Ku. Karenanya, Aku telah mengampuni dosa hamba-
Ku ini dan aku masukkan ia ke dalam surge.”14

o Muazin lebih utama daripada imam.

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫َن ال ْمؤ َِّذنِيْن‬


ِ ‫ش َد هللاُ اأْل َئِ ّمةَ َو َعفَا ع‬
َ ‫ فَأ َ ْر‬، ٌ‫ضا ِمنٌ َوا ْل ُمؤ َِّذنُ ُمؤْ تَ َمن‬
َ ‫اإْل ِ َما ُم‬

“Imam adalah penjamin sedangkan muazin adalah orang yang diamanahi. Semoga
Allah memberikan petunjuk kepada para imam dan mengampuni para muazin.”15

13
Syarh Shahih Muslim, 4: 84.
14
HR. Abu Daud no. 1203 dan An Nasai no. 667. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih.
15
HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no.1669, dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
rahimahullah dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 239.

12
Hadits ini dan sebelumnya menunjukkan bahwa seorang muazin lebih utama
daripada seorang imam. Karena yang namanya amanah lebih tinggi daripada
memberi jaminan, juga maghfirah (ampunan) lebih utama daripada irsyad
(petunjuk).

Yang menjadi pendapat dalam madzhab Syafi’i, muazin lebih utama daripada
imam berdasarkan pertimbangan dalil-dalil yang ada. Sampai-sampai Umar bin
Khottob berkata, “Seandainya aku bukanlah khalifah (yang mesti jadi imam
shalat, -pen), tentu aku akan mengumandangkan adzan.”16

16
Lihat Al Mughni, 2: 54-55.

13
Hukum Adzan

Hukum adzan adalah fardhu kifayah. Jadi tidak boleh di suatu negeri tidak ada
kumandang adzan sama sekali.

Dalil yang menyatakan hukum adzan adalah fardhu kifayah adalah:

o Adzan adalah di antara syi’ar Islam yang besar di mana syi’ar ini tidak
pernah ditinggalkan sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kita tidak pernah mendengar ada satu waktu yang kosong dari adzan.

o Kumandang adzan dijadikan patokan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam apakah suatu negeri termasuk negeri Islam ataukah tidak. Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,

‫ َوإِنْ لَ ْم‬، ‫س ِم َع أَ َذانًا َكفَّ َع ْن ُه ْم‬


َ ْ‫ فَإِن‬، ‫صبِ َح َويَ ْنظُ َر‬ ْ ُ‫َكانَ إِ َذا َغزَ ا ِبنَا قَ ْو ًما لَ ْم يَ ُكنْ يَ ْغزُو ِبنَا َحتَّى ي‬
َ ‫س َم ْع أَ َذانًا أَ َغ‬
‫ار َعلَ ْي ِه ْم‬ ْ َ‫ي‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu jika akan menyerang satu


kaum, beliau tidak memerintahkan kami menyerang pada malam hari
hingga menunggu waktu subuh. Apabila adzan Shubuh terdengar, maka
tidak jadi menyerang. Namun bila tidak mendengarnya, maka ia
menyerang mereka.”17

o Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk


dikumdangkan adzan dan mengangkat salah seorang jadi imam. Beliau
bersabda,

‫صالَةُ فَ ْليُؤ َِّذنْ لَ ُك ْم أَ َح ُد ُك ْم َو ْليَ ُؤ َّم ُك ْم أَ ْكبَ ُر ُك ْم‬


َّ ‫ت ال‬ َ ‫فَإ ِ َذا َح‬
ِ ‫ض َر‬

17
HR. Bukhari no. 610 dan Muslim no. 382.

14
“Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya
mengumandangkan adzan untuk kalian dan yang paling tua di antara
kalian menjadi imam.”18

o Dari Anas bin Malik, ia berkata,

ْ َ‫فَأ ُ ِم َر ِبالَ ٌل أَنْ ي‬


‫شفَ َع األَ َذانَ َوأَنْ يُوتِ َر ا ِإلقَا َم‬

“Maka Bilal diperintah untuk mengumandangkan adzan dengan


menggenapkan dan mengumandangkan iqamah dengan mengganjilkan”19

o ‘Utsman bin Al ‘Ash berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ؤَذنًا الَ يَأْ ُخ ُذ َعلَى أَ َذانِ ِه أَ ْج ًرا‬


ِّ ‫َوات َِّخ ْذ ُم‬

“Angkatlah muazin yang tidak mencari upah dari adzannya.”20

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Yang tepat, hukum


adzan adalah fardhu kifayah. Tidak boleh jika ada di suatu negeri atau kampung
yang tidak ada adzan sama sekali. Demikian pendapat yang masyhur dalam
madzhab Imam Ahmad dan lainnya.

18
HR. Bukhari no. 631 dan Muslim no. 674.
19
HR. Bukhari no. 605 dan Muslim no. 378.
20
HR. Abu Daud no. 531 dan An Nasai no. 673. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih.

15
Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa hukum adzan adalah sunnah.
Namun mereka selanjutnya mengatakan bahwa jika di suatu negeri meninggalkan
adzan, maka boleh diperangi. Akan tetapi sebenarnya yang terjadi adalah
perselisihan lafzhi. Karena kebanyakan ulama ada yang memaknakan sunnah
dengan maksud jika ditinggalkan mendapatkan celaan. Jadi hakikatnya yang
terjadi adalah perbedaan lafzhi saja dengan yang berpendapat wajib.

Adapun yang menyatakan hukum adzan adalah sunnah yang artinya jika
ditinggalkan tidak berdosa dan tidak mendapatkan hukuman, pendapat tersebut
adalah pendapat yang keliru. Karena adzan adalah bagian dari syi’ar Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai akan memerangi suatu negeri
yang meninggalkan adzan, ini jelas menunjukkan wajibnya. Jika waktu Shubuh
tiba, lalu dikumandangkan adzan, maka negeri tersebut tidak diperangi. Jika tidak
ada adzan, negeri tersebut baru diperangi.

Juga ada hadits dalam sunan Abi Daud dan An Nasai dari Abu Ad Darda’, ia
berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ش ْيطَانُ فَ َعلَ ْي َك ِبا ْل َج َما َع ِة فَإِنَّ َما يَأْ ُك ُل‬


َّ ‫ست َْح َو َذ َعلَ ْي ِه ُم ال‬ َّ ‫َما ِمنْ ثَالَثَ ٍة فِى قَ ْريَ ٍة َوالَ بَ ْد ٍو الَ تُقَا ُم فِي ِه ُم ال‬
ْ ‫صالَةُ إِالَّ قَ ِد ا‬
َ‫صيَة‬ ِ ‫ْب ا ْلقَا‬ ِّ
ُ ‫الذئ‬

“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat
berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka.
Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu
hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”21

21
HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh An-Nawawi
dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 344.

16
Allah Ta’ala juga berfirman,

َّ ‫ش ْيطَا ِن أَاَل إِنَّ ِح ْز َب ال‬


ِ ‫ش ْيطَا ِن ُه ُم ا ْل َخ‬
َ‫اسرُون‬ ُ ‫سا ُه ْم ِذ ْك َر هَّللا ِ أُولَئِ َك ِح ْز‬
َّ ‫ب ال‬ َ ‫ش ْيطَانُ فَأ َ ْن‬
َّ ‫ست َْح َو َذ َعلَ ْي ِه ُم ال‬
ْ ‫ا‬

“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah,
mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan
syaitan itulah golongan yang merugi.”

(QS. Al Mujadilah: 19)22

22
Majmu’ Al Fatawa, 22: 64-65.

17
Hukum Adzan Bagi Musafir

Kata Imam Asy Syaukani, “Wajib setiap penduduk negeri mengangkat seorang
muazin untuk mengumandangkan adzan sesuai lafazh yang disyariatkan. Adzan
tersebut sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Tujuan adzan pula adalah
sebagai tanda berpegang teguh dengan syari’at Islam. … Adapun untuk yang
bukan ahlul balad23 seperti musafir atau orang yang menetap di padang sahara,
maka ia mengumandangkan adzan untuk dirinya sendiri, begitu pula dengan
iqomah. Namun jika berjama’ah, hendaklah salah satu mengumandangkan adzan
dan iqomah.”24

Beberapa dalil berikut menunjukkan tetap adanya adzan saat safar. Imam Bukhari
membawakan hadits-hadits berikut ketika membicarakan adzan bagi musafir
ketika mereka berjama’ah.

Dari Abu Dzarr, ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada suatu safar, lalu ada seorang muazin ingin mengumandangkan adzan,
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tundalah, jangan saat panas.”
Lalu beberapa waktu kemudian, ia ingin mengumandangkan, beliau bersabda,
“Tundalah, jangan saat panas.” Lalu ia ingin kumandangkan adzan lagi, beliau
sama bersabda, “Tundalah, jangan saat panas.” Sampai Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

ِ ‫ش َّدةَ ا ْل َح ِّر ِمنْ فَ ْي‬


‫ح َج َهنَّ َم‬ ِ َّ‫إِن‬

“Sesungguhnya panas yang sangat itu dari panasnya jahannam.”25

23
bukan penduduk negeri.
24
Ad Daroril Mudhiyyah, hal. 120.
25
HR. Bukhari no. 629.

18
Dari Malik bin Al Huwairits, ia berkata,

‫سفَ َر فَقَا َل النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – « إِ َذا أَ ْنتُ َما‬
َّ ‫أَتَى َر ُجالَ ِن النَّبِ َّى – صلى هللا عليه وسلم – يُ ِريدَا ِن ال‬
‫» َخ َر ْجتُ َما فَأ َ ِّذنَا ثُ َّم أَقِي َما ثُ َّم لِيَ ُؤ َّم ُك َما أَ ْكبَ ُر ُك َما‬

“Ada dua orang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka berdua ingin melakukan safar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda, “Jika kalian berdua keluar, maka kumandangkanlah adzan lalu iqomah,
lalu yang paling tua di antara kalian hendaknya menjadi imam.”26

Nafi’ berkata,

‫سو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه‬ ُ ‫ فَأ َ ْخبَ َرنَا أَنَّ َر‬، ‫صلُّوا فِى ِر َحالِ ُك ْم‬ َ ‫ض ْجنَانَ ثُ َّم قَا َل‬ َ ِ‫أَ َّذنَ ابْنُ ُع َم َر فِى لَ ْيلَ ٍة بَا ِر َد ٍة ب‬
‫ فِى اللَّ ْيلَ ِة ا ْلبَا ِر َد ِة أَ ِو ا ْل َم ِطي َر ِة فِى‬. ‫ال‬ ِ ‫الر َح‬ِّ ‫صلُّوا فِى‬ َ َ‫ أَال‬، ‫ ثُ َّم يَقُو ُل َعلَى إِ ْث ِر ِه‬، ُ‫وسلم – َكانَ يَأْ ُم ُر ُمؤ َِّذنًا يُؤ َِّذن‬
‫سفَ ِر‬
َّ ‫ال‬

“Ibnu ‘Umar pernah mengumandangkan adzan di malam yang dingin di Dhojnan,


lalu ia mengumandangkan, “Shalatlah di kendaraan kalian.” Ia mengabarkan
kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh
muazin mengumandangkan adzan lalu di akhir adzan disebutkan, “Shalatlah di
kendaraan kalian.” Ini terjadi pada malam yang dingin atau pada saat hujan ketika
safar.”27

26
HR. Bukhari no. 630.
27
HR. Bukhari no. 632.

19
Dari Abu Juhaifah, ia berkata,

ِ َ‫سو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – ِباألَ ْبط‬


َّ ‫ح فَ َجا َءهُ ِبالَ ٌل فَآ َذنَهُ بِال‬
‫ ثُ َّم َخ َر َج بِالَ ٌل ِبا ْل َعنَ َز ِة َحتَّى‬، ‫صالَ ِة‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
َ‫صالَة‬َّ ‫ح َوأَقَا َم ال‬ ِ َ‫سو ِل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – بِاألَ ْبط‬ ْ ‫َر َك َزهَا بَيْنَ يَد‬
ُ ‫َى َر‬

“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Abthoh, ketika


itu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat. Kemudian Bilal keluar
membawa tongkat lalu ia menancapnya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam di Abthoh, lalu ia mengumandangkan iqomah.”28

28
HR. Bukhari no. 633.

20
Hukum Adzan Bagi Shalat yang Luput

Di antara dalilnya adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertidur dari
Shalat Shubuh dalam safar beliau, beliau baru bangun setelah matahari terbit, lalu
beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqamah.29

Shalat yang luput tersebut pun tetap dikumandangkan adzan berdasarkan


keumuman hadits,

‫صالَةُ فَ ْليُؤ َِّذنْ لَ ُك ْم أَ َح ُد ُك ْم‬


َّ ‫ت ال‬ َ ‫فَإ ِ َذا َح‬
ِ ‫ض َر‬

“Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya
mengumandangkan adzan untuk kalian.”30

Namun jika di suatu daerah sudah dikumandangkan adzan untuk shalat, lalu ada
sekelompok orang yang tertidur hingga keluar waktu semisal saat matahari sudah
terbit, maka adzan ketika itu tidak wajib. Saat itu cukup digunakan adzan umum
yang sudah dikumandangkan.

Karena adzan di daerah itu sudah menghasilkan hukum kifayah, gugur kewajiban
bagi yang lain. Akan tetapi, untuk yang telat tersebut, cukup bagi mereka
mengumandangkan iqamah.31

29
HR. Muslim no. 1099, dari Abu Qatadah dalam hadits yang panjang. Hadits ini disebutkan oleh
Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom.
30
HR. Bukhari no. 631 dan Muslim no. 674. Hadits ini mencakup azan pada shalat di waktunya
dan juga bagi shalat yang luput.
31
Lihat Syarhul Mumthi’, 2: 46.

21
Tentang hadits Abu Qotadah yang disebutkan di atas, Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika telat shalat karena ketiduran, maka kewajiban
adzan tidaklah gugur. Adzan tetap ada meskipun pada shalat yang diqodho. Ini
jika sekelompok orang yang telat, maka mereka mengumandangkan adzan.
Namun jika sudah dikumandangkan adzan di negeri tersebut, maka adzan itu
sudah cukup.”32

32
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, 2: 171, terbitan Madarul Wathon.

22
Hukum Adzan Bagi Wanita

Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin menuturkan, “Menurut madzhab Hambali,


adzan bagi wanita tidaklah wajib. Baik bersama jamaah perempuan sendiri atau
bersama jama’ah laki-laki.

Dalam salah satu pendapat Imam Ahmad disebutkan bahwa hukumnya adalah
makruh. Dalam pendapat lain disebutkan masih boleh. Ada juga salah satu
pendapat beliau yang menyebutkan disunnahkan. Pendapat Imam Ahmad lainnya
juga menyatakan bahwa yang disunnahkan adalah iqamah, bukanlah adzan.
Namun semua itu dibolehkan jika suara wanita tidak dikeraskan untuk didengar
orang banyak. Jika suara tersebut dikeraskan, kami bisa jadi berpendapat
hukumnya haram atau minimal makruh.”33

Asy Syairozi berkata, “Dimakruhkan bagi wanita mengumandangkan adzan.


Namun disunnahkan mengumandangkan iqamah untuk sesama jama’ah wanita.
Untuk adzan terlarang karena adzan itu dengan dikeraskan suaranya, sedangkan
iqamah tidak demikian. Namun wanita tidaklah sah mengumandangkan adzan
untuk jama’ah laki-laki karena dalam masalah menjadi imam, wanita tidak sah
mengimami laki-laki.”34

Imam Nawawi berkata, “Tidak sah jika wanita mengumandangkan adzan untuk
laki-laki. …. Namun kalau iqamah disunnahkan sesama jama’ah wanita, tidak
untuk adzan.”35

33
Syarhul Mumthi’, 2: 44.
34
Al Majmu’, 3: 75.
35
Al Majmu’, 3: 76.

23
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi berkata, “Tidak ada dalil shahih yang menunjukkan
wajibnya adzan bagi wanita. Namun tidak ada pula hadits shahih yang
menunjukkan haramnya.”36

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi di akhir bahasan tentang adzan bagi wanita


menyatakan, “Kesimpulannya, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa wanita
terlarang mengumandangkan adzan dan iqamah. Begitu pula tidak ada dalil yang
jelas yang menunjukkan wanita itu boleh mengumandangkannya. Jika saja wanita
mengumandangkan iqamah, kami tidak menganggapnya terlarang. Jika pun
mengumandangkan adzan, hendaknya suaranya dilirihkan. Karena untuk
mengingatkan imam saja, wanita tidak mengeraskan suara, namun dengan
menepuk punggung telapak tangannya. Wallahu Ta’ala a’laa wa a’lam.”37

36
Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 1: 299.
37
Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 1: 303.

24
Hukum Adzan Bagi yang Sholat Sendirian (Munfarid)

Siapa saja yang shalat sendirian dan di tempat tersebut sudah dikumandangkan
adzan sebelumnya, maka ia tidak perlu lagi mengumandangkan adzan dan
mencukupkan diri dengan adzan tersebut.

Akan tetapi, apabila ia mengumandangkan adzan dan iqamah sekaligus, maka ia


akan mendapatkan keutamaan adzan sebagaimana disebutkan dalam hadits
‘Uqbah bin ‘Amir berikut,

‫صلِّى فَيَقُو ُل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل ا ْنظُ ُروا إِلَى‬ َّ ‫ش ِظيَّ ٍة بِ َجبَ ٍل يُؤ َِّذنُ بِال‬
َ ُ‫صالَ ِة َوي‬ َ ‫س‬ ِ ‫ب َربُّ ُك ْم ِمنْ َرا ِعى َغنَ ٍم فِى َر ْأ‬
ُ ‫يَ ْع َج‬
َ‫صالَةَ يَ َخافُ ِمنِّى َفقَ ْد َغفَ ْرتُ لِ َع ْب ِدى َوأَد َْخ ْلتُهُ ا ْل َجنَّة‬ َّ ‫َع ْب ِدى َه َذا يُؤ َِّذنُ َويُقِي ُم ال‬

“Rabb kalian begitu takjub terhadap si pengembala kambing di atas puncak


gunung yang mengumandangkan adzan untuk shalat dan ia menegakkan shalat.
Allah pun berfirman, “Perhatikanlah hamba-Ku ini, ia beradzan dan menegakkan
shalat (karena) takut kepada-Ku. Karenanya, Aku telah mengampuni dosa hamba-
Ku ini dan aku masukkan ia ke dalam surge.”38

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bagi yang shalat munfarid (shalat


sendirian) di padang pasir atau di suatu negeri, ia tetap mengumandangkan adzan
sebagaimana hal ini adalah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan nash jadid dari
Imam Syafi’i39. Menurut pendapat lawas40, tidak perlu dikumandangkan adzan.”41

38
HR. Abu Daud no. 1203 dan An Nasai no. 667. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih.
39
pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir.
40
saat Imam Syafi’i di Irak.
41
Roudhotuth Tholibin, 1: 141.

25
Hukum Adzan Bagi yang Ketinggalan Sholat Jama’ah

Begitu pula jika seseorang ketinggalan shalat berjamaah, jika ia mencukupkan


dengan adzan yang sudah ada, itu boleh. Tetapi yang utama adalah ia
mengumandangkan adzan dan iqamah. Demikian perbuatan Anas bin Malik ketika
ia terlambat berjamaah.

Dari Abu ‘Utsman, ia berkata bahwa Anas pernah datang menemui mereka di
masjid Bani Tsa’labah. Anas bertanya, “Sudahkah kalian shalat?” Mereka
menjawab, “Sudah.” Anas memerintahkan pada seseorang, “Ayo
kumandangkanlah adzan!” Orang yang diperintahkan tersebut lantas
mengumandangkan adzan dan iqamah, lalu Anas melaksanakan shalat42. Inilah
pendapat dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad.

Sedangkan Imam Malik dan Al Auza’i berkata bahwa cukup iqamah saja, tanpa
adzan. Adapun Abu Hanifah dan pengikutnya menyatakan bahwa tidak ada adzan
dan iqamah.

42
HR. Ibnu Abi Syaibah 1: 221, sanad shahih

26
Hukum Adzan Bagi Shalat yang Dijama’

Shalat yang dijamak artinya adalah shalat yang digabungkan dalam satu waktu.
Shalat yang boleh dijamak adalah shalat Zhuhur dan Ashar, lalu shalat Maghrib
dan Isya.

Allah Ta’ala berfirman,

ْ ‫ق اللَّ ْي ِل َوقُ ْرآَنَ ا ْلفَ ْج ِر إِنَّ قُ ْرآَنَ ا ْلفَ ْج ِر َكانَ َم‬


‫ش ُهودًا‬ َ ‫س إِلَى َغ‬
ِ ‫س‬ َّ ‫أَقِ ِم ال‬
َّ ‫صاَل ةَ لِ ُدلُو ِك ال‬
ِ ‫ش ْم‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).”

(QS. Al Isra’: 78).

Yang dimaksud shalat pada waktu matahari telah tergelincir adalah shalat Zhuhur
dan Ashar, sedangkan pada gelap malam adalah shalat Maghrib dan Isya.

Syaikh As Sa’di berkata dalam Taysirul Lathifil Mannan Khulashoh Tafsiril


Quran, “Shalat Zhuhur dan Ashar boleh dijamak di satu waktu karena ada uzur,
begitu pula shalat Maghrib dan Isya. Karena Allah menggabungkan masing-
masing dari dua shalat tersebut untuk satu waktu. Itu berarti waktu kedua shalat
tersebut boleh dijamak ketika uzur. Sedangkan bagi yang tidak mendapatkan uzur
tetap dua waktu (tidak digabungkan).”

27
Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah (1: 275) berkata, “Jika dua shalat
digabungkan satu waktu, misalnya shalat Ashar yang digabungkan ke waktu
Zhuhur seperti yang terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat wukuf di
Arafah, begitu pula jamak shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah yang dilakukan
oleh beliau, maka cukup dengan sekali adzan, sedangkan iqamah untuk masing-
masing dari dua kali shalat. Inilah yang dilakukan saat haji dan menjadi pegangan
jumhur43 ulama. Hal ini berbeda dengan pendapat dari madzhab Maliki yang
mewajibkan adzan untuk masing-masing shalat.”

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,

‫َب ِمنَ اللَّ ْي ِل‬ َ ‫َق َحتَّى َذه‬ ِ ‫ت يَ ْو َم ا ْل َخ ْند‬


ٍ ‫صلَ َوا‬َ ‫ عَنْ أَ ْربَ ِع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫ش َغلُوا َر‬ َ َ‫ش ِر ِكين‬ ْ ‫إِنَّ ا ْل ُم‬
‫صلَّى‬ َ َ‫صلَّى ا ْل َم ْغ ِر َب ثُ َّم أَقَا َم ف‬ َ َ‫ص َر ثُ َّم أَقَا َم ف‬ َ َ‫ظ ْه َر ثُ َّم أَقَا َم ف‬
ْ ‫صلَّى ا ْل َع‬ َ َ‫َما شَا َء هَّللا ُ فَأ َ َم َر ِبالَالً فَأ َ َّذنَ ثُ َّم أَقَا َم ف‬
ُّ ‫صلَّى ال‬
‫ا ْل ِعشَا َء‬

”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu


’alaihi wa sallam sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang
Khondaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau shallallahu
’alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk adzan. Kemudian Bilal iqomah dan
beliau menunaikan shalat Dzuhur. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan
shalat Ashar. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Maghrib. Dan
kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Isya.”44

43
Mayoritas.
44
HR. An Nasa’i no. 662. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih li ghoirihi yaitu
shahih dilihat dari jalur lain.

28
Dalam riwayat Muslim disebutkan,

ِ ‫صلَّى بِ َها ا ْل َم ْغ ِر َب َوا ْل ِعشَا َء بِأ َ َذا ٍن َو‬


‫اح ٍد َوإِقَا َمتَ ْي ِن‬ َ َ‫َحتَّى أَتَى ا ْل ُم ْز َدلِفَةَ ف‬

”Ketika beliau sampai ke Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan ’Isya
dengan sekali adzan dan dua kali iqomah.”45

Kesimpulannya, bagi shalat yang dijamak, adzan dikumandangkan sekali pada


shalat yang pertama, sedangkan iqamah dikumandangkan dua kali di masing-
masing shalat. Itulah yang dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

45
HR. Muslim no. 1218.

29
BAB III

KESIMPULAN

 Pemahaman awal pensyari’atan adzan.

 Pentingnya mengetahui keutamaan-keutamaan adzan agar tidak


meremehkan kedudukan adzan

 Orang yang mendengar dan mengumandangkan adzan sama-sama


mendapat keutamaan.

 Pentingnya mempelajari hukum-hukum adzan untuk keadaan yang


berbeda-beda.

 Tidak wajibnya ber-adzan untuk wanita, namun tetap boleh dengan suara
direndahkan.

30
BAB IV

PENUTUP

Demikian yang bisa disampaikan dalam lembaran yang sederhana ini, mudah-
mudahan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, jika didapatkan di dalamnya
kebenaran ini semata mata taufik dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jika
didapatkan kesalahan dan kekeliruan ini semata-mata dari diri saya sendiri, saya
istighfar dan taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sangat mengharapkan
nasihat dan saran dari para pembaca.

‫ وصلى هللا وسلم على نبيا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين‬،‫الحمد هلل بنعمته تتم الصالحات‬

31
SUMBER

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fikih-azan-1-kapan-mulai-
disyariatkan-azan.html

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fikih-azan-2-keutamaan-azan.html

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fikih-azan-3-keutamaan-azan.html

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fikih-azan-4-hukum-azan.html

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fikih-azan-5-hukum-azan-bagi-
musafir.html

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fikih-azan-6-azan-bagi-shalat-
yang-luput.html

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fikih-azan-7-azan-bagi-
wanita.html

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fikih-azan-8-azan-bagi-yang-
shalat-sendirian-munfarid.html

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/tata-cara-adzan-dan-iqomah.html

32

Anda mungkin juga menyukai