Anda di halaman 1dari 50

MODUL PENDIDIKAN AGAMA

Program studi : S-I Farmasi / SSPK 01


Mata kuliah : Pendidikan Agama
Beban SKS :3
Pengampu : Indra Syahfari M.Pd

KEPERLUAN MANUSIA PADA AGAMA

A. Agama dan Klasifikasinya

Secara etimologi, agama berasal dari Bahasa Sansekerta. Ada tiga istilah yang pada
mulanya punya makna berbeda, yakni : Agama artinya tata cara hubungan manusia dengan
rajanya. Igama artinya tata cara hubungan manusia dengan dewa. Dan Ugama artinyat ata
cara hubungan manusia dengan manusia. Ketiga istilah tersebut kini dipakai dengan makna
yang sama, yakni tata cara hubungan manusia dengan Tuhan-Nya. Yang membedakan
masyarakat pemakainya, istilah agama lazim dipakai dalam Bahasa Indonesia, Igama dalam
Bahasa Jawa dan Bali, dan Ugama dalam Bahasa Malaysia.
Secara terminologi, istilah “agama” sama dengan “religi” yang berasal dari Bahasa
Inggris; “religion”. Dalam kamus The Holt Intermediate Dictionary of American English,
religion berarti : “Belief in and worship of God or the Super Natural” (kepercayaan dan
penyembahan kepada Tuhan atau kepada yang Maha Mengetahui). Dalam kamus The
advanced Learner’s Dictionary of Current English mendefinisikan Religion : “belief in the
existence of supernatural rulling fower, the creator and controller of the universe, who has
given to man a spiritual nature which continues to exist after the death of body” (agama
adalah mempercayai adanya kekuatan kodrat yang maha mengatasi, menguasai, menciptakan
dan mengawasi alam semesta dan yang telah menganugerahkan kepada manusia suatu watak
ruhani, supaya manusia dapat hidup terus-menerus setelah masa kematiannya). Dari dua
definisi agama (religi) di atas, dapat disimpulkan bahwa isi agama itu meliputi ;
1. Suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan
2. Suatu sistem penyembahan kepada Tuhan.

Dengan demikian, agama menurut kesimpulan di atas hanyalah menunjukkan


hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal). Dan memang dalam pengertian
itulah umumnya doktrin agama-agama yang ada di dunia ini selain agama Islam. Dalam
Islam, agama diistilahkan dengan ‫“( دین‬dien”). Istilah ini punya pengertian yang jauh lebih
luas dari pengertian agama seperti yang telah diuraikan di atas. ‫” ”دین‬selainpengaturan
hubungan manusia dengan tuhan (vertikal), juga berisi ajaran yang mengatur tata hubungan
manusia dengan sesama manusia /masyarakat (horizontal), bahkan juga memberi petunjuk
tentang bagaimana perlakuan manusia terhadap binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-
benda alam.Agama Islam sangat sesuai dengan makna ini. Firman Allah SWT :
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.,…….(Q.S. al-Maidah: 3)

Sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia, agama ( ‫ ) دین‬otomatis sangat diperlukan


dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain manusia berhajat kepada agama. Dan hajat hidup
manusia terhadap agama didorong oleh adanya fitrah (kebutuhan asasi) terhadap agama
yangmelekat pada setiap manusia. Adanya anggapan telah adanya fitrah beragama (potensi
beragama) pada diri manusia bisa ditinjau secara ilmiah maupun normatif. Secara ilmiah
dapat dilihat melalui bukti historis dan antropoligi bahwa pada manusia primitif yang tidak
pernah datang kepada mereka informasi mengenai tuhan, ternyata mereka mempercayai
adanya tuhan, walaupun sebatas daya hayal mereka. Mula-mula mereka menuhankan benda-
benda alam yang berawal pada rasa ketergantungan dan kekaguman. Bagi mereka yang
bertempat di pesisir pantai, mereka mengagungkan lautan yang dianggap memiliki kekuatan
magis, seperti yang telah diungkapkan pada bab terdahulu. Kepercayaan demikian ini
selanjutnya dinamakan dinamisme.Kekuatan magis pada laut dalam perkembangan
berikutnya dinamakan ruh atau jiwa. Keyakinan ini selanjutnya dinamakan animisme.Ruh
yang bersemayam pada benda-benda alam tersebut mendapatkan formalisasi dalam bentuk
dewa-dewi yang sangat banyak jumlahnya.Kepercayaan inilah yang disebut dengan
politeisme.Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi bertuhan.Namun
karena potensi itu tidak terarah dengan baik, maka tampil bentuk yang bermacam-macam
yang keadaannya serba relatif.Namun yang dipentingkan di sini adalah bahwa dari
persepektif historis dan antropologis, ternyata manusia cenderung hidup bertuhan. Secara
normatif, kecenderungan manusia hidup beragama dapat ditelaah pada Al-Qur’an surah al-
A’raf ayat 172. Sebagian mufassir mengatakan ayat tersebut menggambarkan terjadinya
dialog rimordial antara Ruh manusia dengan Tuhan:

“Bukankah Aku tuhan-Mu? Mereka menjawab; benar, kami bersaksi atas ketuhanan
Engkau”.

Selanjutnya, Allah Swt meniupkan ruh yang telah bersaksi itu ke janin yang
dikandung seorang ibu (sekitar 4 bulanusia kandungan, ada yang mengatakan 2 bulan
kandungan).Sampai waktunya lahirlah bayi itu dalam keadaan fitrah (“kecenderungan
mentauhidkan Allah Swt” ; .(‫ جانحین للتوحید‬Berdasarkan sumbernya, agama diklasifikasikan
kepada dua bagian:
1. Agama langit ( ‫ماوي‬++‫) دین الس‬, yaitu agama yang bersumber dari wahyu Ilahi, atau
agama yang diwahyukan mulai kepada Nabi Adam a.s. sampai kepada Nabi
Muhammad Saw.
2. Agama bumi( ‫) دین االرض‬, yaituagama yang bersumber dari produk fikir manusia
(filsafat) seperti agama Budha dan Hindu.

Ajaran samawi pra Nabi Muhammad Saw cenderung menyimpang karena bercampur
dengan produk fikir manusia sehingga derajatnya menurun menjadi agama al-Ard. Hanya
Islam yang sampai sekarang masih murni sesuai dengan kemurnian Al-Qur’an yang hingga
kini tetap terjaga keorisinilannya.Kesempurnaan Islam terlihat dari cirinya yang mendorong
manusia mempergunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Kauniyah (Sunnatullah) yang
terbentang di alam semesta dan ayat-ayat Qur’aniyah yang terekam dalam 30 juz Kitabullah,
Al-Qur’an al-Karim.Firman Allah SWT :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali Imran :
190)

B. Agama Islam

Secara etimologi, Islam berasal dari kata “aslama-yuslimu” yang berarti menyerah,
tunduk, dan damai. Makna secara bahasa ini juga dapat dipahami dengan melihat makna kata
turunannya (derifasi), yaitu : “assalmu” yang berarti bersih (lahir batin),“assilmu” yang
berarti taat aturan Allah Swt , dan “assalamatu” yang berarti selamat sejahtera. Dari ketiga
makna kata turunan tersebut dapat dipahami bahwa manakala seorang muslim senang dalam
mengamalkan ajaran kebersihan baik lahiriah atau batiniah plus sikap hidupnya yang
menjunjung tinggi hukum-hukum Allah SWTmaka ia akan mendapatkan keselamatan hidup
dunia dan akhirat.

Secara terminologi, Islam--sebagaimana yang didefinisikan oleh Ahmad Abdullah al-


Masdoosi-- berarti suatu kaedah hidup yang diturunkan kepada seluruh manusia sejak
manusia digelar ke muka bumi, terbina dalam bentuknya terakhir dan sempurna dalam Al-
Qur’an.Diwahyukan Allah SWT kepada Nabi-Nya terakhir sebagai tuntunan yang jelas dan
lengkap mengenai aspek hidup manusia;spiritual maupun material. Jadi Islam adalah agama
yang ajaran-ajarannya diberikan Allah SWT kepada masyarakat manusia melalui para utusan-
Nya(rasul-rasul) semenjak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad Saw. Makna Islam
seperti ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut :

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan
anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara
mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".(Q.S al-Baqarah: 136).

Ada satu perbedaan mendasar antara Islam sebagai nama suatu agama jika
dibandingkan dengan nama-nama agama lain. Pada agama-agama selain Islam, penamaan
agama dikaitkan dengan nama pembawanya, misalnya Agama Kristen diacukan pada nama
pembawanya yakni Yesus Kristus, Agama Budha diacukan kepada pembawanya yang
bernama Budha Sidarta Gautama. Penamaan agama seperti ini merupakan indikasi dari
pengakuan adanya ide dan gagasan manusia baik sang pembawa maupun pengikutnya. Oleh
karena itu pada kasus kedua agama di atas, si pembawa agama dikultuskan sebagai
Tuhan.Berbeda dengan Agama Islam, penamaannya berdasarkan makna esensial dari Islam
itu sendiri. Oleh karena itu keliru besar apabila Islam disebut dengan Muhammadanisme,
lebih-lebih untuk menyamakan dengan penamaan yang terjadi pada agama lain. Agama Islam
tidak terbentuk dari pemikiran Muhammad SAW,melainkan berasal dari wahyu Ilahi. Nabi
Muhammad SAW hanyalah sebagai Rasul utusan Allah SWT yang bertugas menyampaikan
risalah yang diturunkan kepadanya. Firman Allah SWT :

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)?Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
mudlarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orangorang
yang bersyukur”. (QS Ali Imran : 144)

C. Karakteristik Kewahyuan Ajaran Islam

Sebagai sebuah sistem ajaran, Agama Islam memiliki ciri-ciri yang menunjukkan
kebenaranya sebagai agama yang berasal dari wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Beberapa ciri tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kelahiran Ajaran Islam bersifat menyerah yakni pada tanggal 17 Ramadlan tahun
Gajah (6 Agustus 610 M) dalam momentum turunnya Al-Qur’an untuk pertama
kalinya kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sebagai cara yang
utama turunnya wahyu. Ada pula cara lain turunnya wahyu yaitu : terdengar suara
bergema di balik tabir, didahului oleh suara gemerincing lonceng yang dahsyat yang
menunjukkan wahyu yang diturunkan berisi wahyu berupa berita yang berat misalnya
informasi tentang siksa neraka, dan Rasulullah SAW ketika itu dalam keadaan
menggigil. Cara yang lain lagi yaitu wahyu itu langsung dimasukkan oleh Allah SWT
ke dalam hati sanubari Rasulullah SAW.
3. Memiliki kitab suci, yakni Al-Qur’an yang terdiri dari 30 Juz, 114 Surah dan 6666
ayat (pendapat lain mengatakan sebanyak 6326 ayat, perbedaan disebabkan
berbedanya penentuan akhir sebuah ayat) dan 74.499 kata. Sebagai petunjuk jalan
kebenaran Al-Qur’an senantiasa aktual dan cocok di segala zaman. Tidak pernah
mengalami perubahan semenjak Rasul pembawanya karena telah mendapat jaminan
dari Allah SWT akan keterjagaan dari kemungkinan penyelewengan.
4. Ajaran Islam mutlak kebenarannya karena berasal dari Allah SWT. Ajaran Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah ajaran pembaharu yang meluruskan
berbagai penyimpangan ajaran Allah SWT yang dlakukan oleh umat rasul-rasul
terdahulu sepeninggal rasul bersangkutan semenjak Nabi Adam a.s. hingga Nab Isa
a.s.
5. Sistem hubungan muslim dengan Allah SWT jelas ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Secara intensif tiap sehari semalam lima kali seorang muslim secara formal
melakukan komunikasi dengan tuhannya Allah SWT lewat media shalat fardlu lima
waktu.
6. Konsep ketuhanan Islam adalah tauhid. Allah SWT tunggal, tidak berbilang. Tidak
bersekutu dengan yang selain-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Konsep
ketunggalan tuhan dalam Islam bersifat murni, oleh karena itu Islam tidak mengenal
trinitas atau yang sejenis dengan itu.
7. Dasar-dasar Agama Islam bersifat fundamental dan mutlak serta berlaku untuk
seluruh umat manusia di belahan bumi manapun dan dalam kurun waktu kapanpunia
berada.
8. Penamaan “Islam” mengacu pada intisari ajaran, yang berarti “bersih lahir batin,
ketaatan pada aturan Allah SWT, dan keselamatan atau kesejahteraan dunia akhirat.
Dengan memenuhi makna Islam yang pertama dan kedua tersebut, maka otomatis
seorang muslim akan mendapati hakikat makna Islam yang ketiga.
9. Nilai-nilai etika dan estetika Islam sesuai dengan fitrah manusia. Fitrah manusia yang
dimaksud di sini adalah hajat hidup manusia yang paling asasi seperti terpenuhi
kebutuhan sandang, pangan, papan, keamanan, harga diri dan lain-lain. Nilai-nilai
etika dan estetika Islam sangat mendukung terpenuhinya berbagai hajat hidup
tersebut.
10. Soal-soal alam semesta dalam Al-Quran telah terbukti dalam perkembangan sains.
Dulu masyarakat Islam menerima kebenaran Al-Qur’an semata secara doktriner,
sedangkan kini bersamaan dengan pesatnya perkembangan sains, kebenaran Al-
Qur’an diperkuat dengan argumen ilmiah dari berbagai bidang ilmu pengetahuan.

D. Kesalahan dalam Memahami Islam

Berikut ini beberapa bentuk kesalahan seseorang atau sekelompok orang dalam
memahami Islam, yaitu sebagai berikut :

1. Salah dalam memahami ruang lingkup agama Islam. Islam hanya dianggap sebatas
religi. Islam hanya dipahami sebatas shalat, puasa, zakat, dan haji saja. Pada
kehidupan yang melibatkan interaksi dengan sesama manusia dengan berbagai
keperluannya seperti berdagang, Islam dianggap tidak punya kepentingan untuk
mengadakan pengaturan.Denan kata lain adanya pandangan dikotomis yang
memisahkan antara Islam dan keduniaan. Islam diamalkan menyangkut ibadah
mahdlah saja. Adapun perkara yang menyangkut kepentingan yang melibatkan
kerjasama antar manusia (urusan keduniaan) aturan Islam tidak dipakai karena
dianggap merugikan.
2. Salah dalam menggambarkan bagian-bagian ajaran Islam. Suatu ajaran yang bersifat
pokok (Ushul) hanya dipandang sebagai ajaran cabang (Furu’) saja, sehingga
perbedaan pada hal-hal yang pokok dianggap lumrah saja. Sebaliknya pada ajaran
yang sebenarnya hanya bersifat cabang saja dianggap bersifat pokok, sehingga
perbedaan pada masalah cabang dianggap telah keluar dari Islam. Kecenderungan
pertama merupakan akar dari liberalisme dalam beragama, sementara yang kedua
merupakan akar fanatisme membabi buta.
3. Salah dalam menggunakan metode mempelajari Islam. Islam hanya dijadikan obyek
studi dengan menggunakan logika semata, padahal tidak semua wilayah ajaran Islam
selesai didekati dengan pendekatan logika. Bukan berarti wilayah ajaran tersebut tidak
masuk akal akan tetapi kapasitas akal yang tidak mampu menjangkau untuk
memahaminya secara tuntas. Wilayah ajaran tersebut umumnya bersifat imani seperti
keyakinan adanya kehidupan akhirat setelah kehidupan dunia ini. Agar terhindar dari
kemungkinan kesalahan seperti tersebut di atas, ada beberapa hal yang harus
dilakukan sebagai berikut :
a. Pelajari Islam dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an, Hadits, dan buku-buku
yang ditulis ahlinya.
b. Pelajari Islam secara integral, hindari secara parsial.
c. Pelajari Islam dengan menggunakan metode yang selaras, dengan cara
menggunakan pendekatan naqli yang didukung dengan pendekatan aqli.
d. Dihubungkan dengan persoalan asasi yang dihadapi masyarakat.
e. Dipadu dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang berkembang.
f. Tidak menyamakan Islam dengan penganutnya. Islam dinilai dari keluhuran
g. ajarannya, bukan dinilai dari perilaku umatnya yang kadang-kadang
menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan keluhuran ajarannya.

E. Sumber Pokok Ajaran Islam

Dalam Surah an-Nisa ayat 59 Allah SWT berfirman : Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”. Berdasarkan ayat tersebut di atas, secara herarkis, ada tiga sumber
pokok ajaran Islam, yaitu :

1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran Islam yang pertama. Secara
etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a” yang berarti “membaca” (lihat QS al-
Qiyamah :18). Al-Qur’an sendiri berarti “bacaan tertentu”.Secara terminologi, Al-
Qur’an berarti firman Allah Swt yang disampaikan kepada Rasulullah Saw sebagai
mu’jizat (bukti kerasulan), tertulis secara mutawatir, dan membacanya dipandang
ibadah (Manna’ Khalil Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum Al-Qur’an). Al-
Qur’an yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, sekitar 13 tahun di Mekkah dan 10
tahun di Madinah ini juga dinamakan pula al-Furqan yang artinya “pembeda” (lihat QS
al-Furqan : 1), al-Kitab yang artinya “yang ditulis dalam mushab” (lihat QS al-Kahfi :
1), dan adz-Dzikr yang artinya “peringatan dari Allah kepada manusia” (lihat QS al-
Hijr : 9).
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an berfungsi memberikan
petunjuk atau pedoman tidak saja bagi kaum muslimin tapi juga bagi seluruh umat
manusia dalam usahanya mencapai kesejahteraan lahir batin. Di antara petunjuk yang
diberikan Al-Qur’an kepada manusia antara lain berupa pembedaan yang jelas
mengenai nilai-nilai kebenaran (haq) dari yang batil sehingga nampak jelas perbedaan
antara keduanya. Perhatikan firman Allah SWT sebagai berikut :
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. Al-Baqarah: 185)

Selain itu, Al-Qur’an juga berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur
perjanan hidup manusia agar berjalan lurus. Oleh karena itu manakala terjadi
perselisihan antar sesama muslim maka hendaklah mereka berakim kepada Al-Qur’an.

2. Hadits / Sunnah
Secara etimologi, hadits merupakan lawan kata dari qadim.Hadits artinya baru,
sedangkan qadim artinya lama.Dalam konteks ini, hadits dapat dipahami sebagai
segala perkataan yang dinukil oleh manusia. Sedangkan secara terminologi, hadits
dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah Saw
baik berupa perkataan, perbuatan,maupun persetujuan atau sifat yang memiliki
implikasi hukum.
a. Fungsi Hadits (Sunnah)
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, hadits mempunyai fungsi yang sangat
berarti terhadap Al-Qur’an, antara lain dapat disebutkan secara ringkas sebagai
berikut:
1) Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an, misalnya
dalil-dalil tentang kewajiban shalat,puasa, zakat, dan haji dapat ditemukan
dalam Al-Qur’an dan dikuatkan dalam hadits Nabi Saw.
2) Memberi contoh tata pelaksanaan suatu ibadah. Setiap kewajiban yang tertera
dalam Al-Qur’an, tidak diterangkan secara terperinci mengenai tata cara
pelaksanaannya. Oleh karena itu hadits Nabi Saw memberikan contoh tata
cara pelaksanaannya secara jelas.
3) Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini,
hadits menetapkan hukum secara tersendiri lantaran masalah bersangkutan
tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Misalnya di dalam Al-Qur’an Allah SWT
hanya menyebutkan empat macam yang diharamkan, yaitu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang disembelih untuk selain Allah SWT. Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ditetapkan juga kriteria lain
binatang yang diharamkan sebagaimana bunyi hadits yang artinya :

“Rasulullah Saw melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring


dan setiap burung yang mempunyai cakar yang kuat”.

b. Klasfikasi Hadits
Ditinjau dari segi bentuknya, hadits dibedakan kepada tiga macam, yaitu :

1) Hadits Qauliyyah, yakni perkataan atau sabda Rasulullah Saw yang beliau
sampaikan dalam berbagai kesempatan, baik berupa perintah, larangan,
teguran, pujian, penjelasan dan lain-lain.
2) Hadits Fi’liyyah, yakni segala perbuatan dan tindakan Rasulullah Saw, seperti
perbuatan beliau melaksanakan kewajiban shalat lima waktu.
3) Hadits Taqririyyah, yakni : sikap Rasulullah Saw yang diam saja terhadap
suatu perbuatan sahabat yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw
menyetujui perbuatan tersebut. Misalnya, suatu ketika ada pengikut Rasulullah
Saw yang membakar belalang, dan menanyakannya kepada beliau apakah halal
atau haram untuk dimakan. Rasulullah Saw ketika itu diam saja sampai orang
itu memakan belalang tersebut. Diamnya Rasulullah Saw dalam hal ini
dianggap tanda persetujuan yang berarti belalang tersebut halal dimakan.
Hanya saja dari sekian jenis belalang yan ada sekarang, yang manakah belalang
yang dimaksud halal? Inilah yang menjadi persoalan.

Ditinjau dari segi kekuatan hujjahnya, hadits diklasifikasikan kedalam dua bagian:

1) Hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang kepada
banyak orang dan seterusnya, dengan sanadnya yang banyak pula. Hadits
mutawatir ini dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a) Mutawatir lafdziyah, yaitu redaksi dan kandungannya sama, tidak
ditemukan perbedaan.Contoh: “maka barang siapa membuat
kebohongan terhadapku dengan sengaja, hendaknya mengambil tempat
duduk dari api neraka” (HR Bukhari-Muslim)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh sekitar 200 orang sahabat dengan
redaksi yang tidak berbeda
b) Mutawatir ma’nawiyah, yaitu redaksinya berbeda-beda tetapi maknanya
tetap sama. Contoh, hadits tentang mengangkat tangan tatkala berdoa.
Hadits ini diriwayatkan oleh sekitar 100 orang sahabat dengan redaksi
yang berbeda tapi maknanya sama.

2) Hadits Ahad

Hadits Ahad adalah hadits yang driwayatkan oleh satu orang, dua orang
atau lebih yang tidak sampai pada derajat mutawatir, kemudian diteruskan oleh
satu, dua orang atau lebih pada generasi berikutnya (tabi’in dan seterusnya)
tanpa mencapai derajat mutawatir.Hadits ahad merupakan bagian yang paling
banyak yang didapatkan dalam kitab-kitab hadits. Ditinjau dari segi kualitas
kehujjahannya, hadits ahad diklasifakasikan menjadi empat macam, yaitu :

a) Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang adil


(baik), kuat hafalannya, sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung
sampai kepada Rasulullah Saw, tidak mempunyai cacat, dan tidak
bertentangan dengan dalil atau periwayatan yang lebih kuat.
b) Hadits Hasan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang adil (baik),
sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw, tidak
mempunyai cacat, dan tidak bertentangan dengan dalil atau periwayatan
yang lebih kuat. Akan tetapi kekuatan hafalan atau ketelitian perawinya
kurang baik.
c) Hadits Dha’if, yaitu hadits yang lemah karena perawinya tidak adil,
terputus sanadnya, punya cacat, bertentangan dengan dalil atau
periwayatan yang lebih kuat, atau karena cacat yang lainnya. Lebih dari
20 macam hadits yang dipandang dha’if.
d) Hadits Maudhu’, yaitu hadits yang dibuat oleh seseorang (karangan
sendiri) kemudian dikatakan sebagai perkataan atau perbuatan
Rasulullah Saw.

3. Ijtihad dan Syarat-syaratnya

Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang atau beberapa orang
yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman tertentu yang memenuhi syarat untuk
mencari, menemukan dan menetapkan norma yang belum jelas patokannya dalam Al-
Qur’an atau hadits mengenai suatu persoalan baru yang muncul di masyarakat yang belum
terdapat pada zaman Rasulullah Saw.

Ijtihad diperlukan seiring dengan zaman yang terus berkembang.Perkembangan


tersebut selalu bersinggungan dengan aspek hukum (tidak terkecuali hukum menurut
perspektif agama) mengenai boleh tidaknya.Disinilah peran ulama diperlukan untuk
membaca persoalan, dan selanjutnya mengambil keputusan hukum berdasarkan kaedah-
kaedah yang dibenarkan menurut asas-asas hukum Islam.

Abul A’la al-Maududi mengemukakan 6 macam syarat seorang dikatakan


mujtahid, yaitu :

a. Memiliki keimanan yang kuat.


b. Menguasai Bahasa Arab.
c. Mendalami ilmu al-Qur’an dan Hadits.
d. Mengetahui produk-produk ijtihad ulama terdahulu.
e. Memiliki pengamatan yang cermat terhadap masalah-masalah kehidupan berikut
situasi dan kondisi yang melingkupinya.
f. Memiliki akhlak yang terpuji sesuai dengan tuntutan Islam.

RUMPUN KEILMUAN AGAMA


IMAN ISLAM DAN IHSAN
ِ ِ ِ ِ ‫ بينَم ا حَنْن جلُ و‬: ‫ال‬
‫ات‬َ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّم َذ‬ َ ‫س عْن َد َر ُس ْول اهلل‬ ٌ ْ ُ ُ َ َْ َ َ‫ض ا ق‬ ً ْ‫َع ْن عُ َم َر َر ِض َي اهللُ َعْن هُ أَي‬
َّ ‫ الَ يَُرى َعلَْي ِه أَثَ ُر‬,‫َّع ِر‬ ِ ِ ِ ‫اض الثِّي‬ ِ ٍ
ُ‫الس َف ِر َوالَ َي ْع ِرفُه‬ ْ ‫اب َشديْ ُد َس َواد الش‬ َ ِ َ‫َي ْوم إِ ْذ طَلَ َع َعلَْينَا َر ُج ٌل َشديْ ُد َبي‬
‫ض َع َكفَّْي ِه َعلَى‬ ِ ِ
َ ‫ َو َو‬,‫َس نَ َد ُر ْكبََتْي ه إِىَل ُر ْكبََتْي ه‬
ِ
ْ ‫ فأ‬,‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّم‬ َ ِّ ‫س إِىَل النَّيِب‬ َ َ‫ َحىَّت َجل‬,‫َح ٌد‬ َ ‫منَّا أ‬
ِ
‫ اَ ِإل ْس الَ ُم أَ ْن‬: ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّم‬ ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل اهلل‬ َ ‫ َف َق‬,‫َخرِب ْ يِن ْ َع ِن ا ِإل ْسالَِم‬
ْ ‫ يَا حُمَ َّم ُد أ‬: ‫ال‬ َ َ‫ َو ق‬,‫فَ ِخ َذيِْه‬
,‫ض ا َن‬ َ ‫ص ْو َم َر َم‬ ُ َ‫ َوت‬,‫الز َك ا َة‬َّ ‫ َو ُت ْؤيِت‬,‫الص الََة‬
َ َّ ‫ َوتُِقْي ُم‬,‫اهلل‬
ِ ‫َن حُم َّم ًدا رس و ُل‬ ِ ِ
ْ ُ َ َ َّ ‫تَ ْش َه َد أَ ْن الَإ لَ هَ إالَّ اهللُ َو أ‬
‫َخرِب ْ يِن ْ َع ِن‬ ِ َ َ‫ ق‬.ً‫ت إِلَْي ِه َسبِْيال‬ ِ ‫وحَتُ َّج الْبي‬
ْ ‫ فَأ‬: ‫ قَ َال‬.ُ‫ص ِّدقُه‬ َ ُ‫ َف َعجْبنَا لَهُ يَ ْسَئلُهُ َوي‬.‫ت‬ ُ ْ‫ص َدق‬َ : ‫ال‬ َ ‫استَطَ ْع‬ْ ‫ت إِن‬ َ َْ َ
.‫ َو ُت ْؤ ِم َن بِالْ َق ْد ِر خَرْيِ ِه َو َش ِّر ِه‬,‫اآلخ ِر‬ِ ‫ والْي وِم‬,‫ ورس لِ ِه‬,‫ و ُكتُبِ ِه‬,‫ ومالَئِ َكتِ ِه‬,‫اهلل‬ ِ ِ ِ َ‫ا ِإلمْي‬
َْ َ ُ َُ َ َ َ ‫ أَ ْن ب‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬,‫ان‬
ِ ‫ فَأَخرِب يِن ع ِن ا ِإلحس‬: ‫ال‬
ُ‫َّك َت َراهُ فَِإ ْن مَلْ تَ ُك ْن َت َراهُ فَِإنَّه‬
َ ‫ أَ ْن َت ْعبُ َد اهللَ َكأَن‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬,‫ان‬ َْ َ ْْْ َ َ‫ ق‬.‫ت‬ َ ْ‫ص َدق‬ َ : ‫قَ َال‬
‫َخرِب ْ يِن ْ َع ْن‬ْ ‫ فَأ‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫الس ائِ ِل‬َّ ‫ َم ا الْ َم ْس ُؤ ْو ُل َعْن َه ا بِأ َْعلَ َم ِم َن‬: ‫اع ِة قَ َال‬ َّ ‫َخرِب ْ يِن ْ َع ِن‬
َ ‫الس‬ ْ ‫ فَأ‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫َي َر َاك‬
ِ ‫الش ِاء يتَطَاولُو َن يِف الْبْني‬ ِ ‫هِت‬
,‫ان‬ َ ُ ْ ْ َ َ َّ َ‫ َوأَ ْن َت َرى احْلَُف اةَ الْعُ َراةَ الْ َعالَةَ ِر َع اء‬,‫ أَ ْن تَل َد األ ََمةُ َربََّت َها‬: ‫ قَ َال‬,‫أ ََم َارا َا‬
ِ َّ ‫ أَتَ ْد ِري م ِن‬,‫ يا عمر‬: ‫ مُثَّ قَ َال‬,‫ َفلَبِثْت ملِيًّا‬,‫مث اَنْطَلَق‬
ُ‫ فَِإنَّه‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫ اهللُ َو َر ُس ْولُهُ أ َْعلَ ُم‬: ‫ت‬ ُ ‫السائل؟ ُق ْل‬ َْ َُ ُ َ َ ُ َ
‫ َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬.‫ِجرْبِ يْ ُل أَتَا ُك ْم يُ َعلِّ ُم ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم‬
Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata : Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di
dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki
mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya
tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia
segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan
kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad!
Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar
melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan
shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke
Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka
kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya;
para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia
berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia
melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat
orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing
telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku :
“Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab,”Allah dan
RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian
tentang agama kalian.” (HR Muslim)

Sebagai sebuah sistem ajaran, Islam memiliki kerangka dasar ajaran yang jelas.
Kerangka dasar ini disusun mengikuti hadits Rasulullah Saw tentang tiga esensi ajaran Islam,
yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Secara ilmiah, ketiga esensi ajaran tersebut dituangkan masing-
masingnya secara berurutan dalam tiga jenis ajaran besar sebagai berikut :

1. Ajaran Aqidah (Aspek Credial/Keyakinan)

Secara ringkas aqidah merupakan keyakinan akan adanya Allah SWT dan para rasul yang
diutus dan dipilih-Nya untuk menyampaikan risalah kepada umat melalui malaikat, yang
dituangkan dalam kitab-kitab suci-Nya yang berisikan informasi tentang adanya hari akhir
atau kehidupan setelah mati. Selain itu juga berisikan informasi tentang segala sesuatu yang
telah direncanakan dan ditentukan oleh Allah SWT.Aqidah merupakan komponen pokok
dalam Agama Islam yang di atasnya berdiri syari’at dan akhlak Islam.

2. Ajaran Syariah (Aspek Yurisprudence/Hukum)

Syariah merupakan aturan atau undang-undang Allah SWT tentang pelaksanaan dari
penyerahan diri secara total melalui proses ibadah secara langsung kepada Allah SWT
maupun secara tidak langsung dalam hubungannya dengan sesama makhluk lainnya
(mu’amalah), baik dengan sesama manusia maupun dengan alam.

3. Ajaran Akhlak (Aspek Etika)

Kalau ajaran aqidah berintikan masalah iman, ajaran syariah berintikan masalah Islam,
sedangan ajaran akhlak berintikan masalah ihsan. Dengan demikian ajaran akhlak menggiring
manusia untuk bersifat, bersikap dan berperilaku ikhlas dalam beraqidah dan bersyariat sesuai
dengan intisari ajaran ihsan yang menuntun manusia untuk selalu menumbuhkan perasaan
selalu diawasi Allah SWT dalam segenap gerak-geriknya.

Ketiga ajaran tersebut terkait begitu eratnya, laksana sebatang pohon yang baik,sebagaimana
tergambar dalam Al-Qur’an Surah Ibrahim ayat 24-25 sebagai berikut :

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang
baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon
itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pohon yang baik adalah pohon yang akarnya
kuat menancap ke bumi, cabangnya menjulang ke langit, dan dengan begitu pohon tersebut
akan menghasilkan buah yang berkualitas. Inilah sebuah perumpamaan sosok seorang
muslim yang ideal. Akar melambangkan kekokohan iman sebagaimana kokohnya akar yang
menancap ke bumi. Ranting yang menjulang ke langit melambangkan sosok muslim yang
baik itu menjunjung tinggi hukum-hukum Tuhan. Dan buah yang berkualitas melambangkan
kualitas akhlak yang terbentuk dari kekokohan iman dan pengamalan ajaran syariah yang
mantap.

ISLAM, HAM DAN TOLERANSI HIDUP BERAGAMA

1. Proses Kelahiran HAM


Sejarah mencatat bahwa perjuangan atas pengakuan Hak Asasi Manusia sebagaimana
yang kita kenal dewasa ini tidak terjadi dalam sekejap mata, melainkan berlangsung dalam
rentang waktu berabad-abad. Dokumen-dokumen penting yang tercatat sebagai pendorong
lahirnya deklarasi universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948, di antaranya adalah
peristiwa Magna Charta, 15 Juni 1225, Habeas Corpus Act tahun 1670, Bill of Rights tahun
1696, dan Declaration Des Droits de L’home et du Citoyen tahun 1789.1
a. Magna Charta 1225. Magna Charta diawali pemberontakan Stepen Langton,
Archbishop dan kawan-kawannya. terhadap kerajaan Inggris yang dipimpin oleh Raja (Sir)
John. Pemberontakan ini disulut oleh perlakuan semena-mena kerajaan terhadap rakyat jelata
dalam pemungutan pajak.. Gandum dan hewan piaraan rakyat dirampas pihak keamanan dan
penarik pajak secara paksa. Penangkapan, penahanan, pembuangan, hingga pembunuhan
tanpa alasan serta bukti dan saksi yang kuat, marak di mana-mana. Selama masa
pamberontakan, terutama ketika kaum pemberontak berada di daerah lembah sungai Themes,
mereka membacakan tuntutan kepada Raja John yang berisi: 1) pernyataan kemerdekaan bagi
Gereja Inggris; 2) pernyataan kemerdekaan bagi rakyat Inggris yang bebas; 3) pernyataan
bahwa petugas kejaksaan dan polisi tidak diperbolehkan menuduh atau menuntut seseorang
tanpa saksi dan fakta yang dapat dipercaya; 4) pernyataan bahwa tidak seorang pun dapat
ditangkap, ditahan, dibuang, atau dibunuh tanpa alasan hukum/pertimbangan kepala distrik
atau berdasar undang-undang yang berlaku atau yang harus dibuat. Hukum harus berdasar
keadilan dan hak-hak seseorang tidak dapat diperjual-belikan. Inilah dokumen pertama yang
dikenal masyarakat Eropa sebagai embrio kesadaran akan pengakuan Hak Asasi Manusia
oleh negara.
b. Habeas Corpus Act 1670. Ia adalah perangkat perundang-undangan yang mengatur
mekanisme penahanan, baik bagi petugas keamanan maupun pihak tertuduh. Bila petugas
kerajaan melakukan penangkapan atau penahanan secara tidak adil dan manusiawi, raja
berhak mengeluarkan surat perintah untuk segera menahan petugas tersebut. Di samping itu,
11
Periksa lebih lanjut dalam Suko Susilo dkk: Demokrasi, HAM & Kapitalisme dalam Perspektif Sosiologi Politik.
Depdiknas. vol. I, 2003. h. 158-160.
pihak tertuduh juga harus diperiksa, sehingga ada ketegasan hukum dan pengajuan fakta atas
penahanan dirinya oleh petugas bersangkutan. Dari sini tampak ada keseimbangan perlakuan
hukum antara pihak petugas dan pihak terdakwa, serta diakuinya kemerdekaan pribadi
seseorang.
c. Bill of Rights 1696. Sebuah piagam perundang-undangan yang berisi pengakuan atas
hak-hak dan kebebasan warga negara serta pergantian raja (raja tidak lagi berkuasa secara
mutlak seperti tahun-tahun sebelumnya). Bill of Rights seperti tersebutkan di atas adalah
konsep yang dipakai kerajaan Inggris, sementara Bill of Rights di Amerika merupakan
amandemen tambahan yang diatur tersendiri dalam pasal 10 konstitusi Amerika.
d. Declaration Des Droits de L’home et du Citoyen 1789. Dokumen keempat ini
adalah pernyataan bersama (deklarasi) HAM dan hak warga negara Prancis yang berisi
pengakuan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka. Di dalamnya termuat
daftar hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga negara, misalnya hak milik yang dianggap
suci dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, baik oleh individu maupun oleh negara.
Keempat dokumen resmi di atas dipercaya sebagai emrio awal atas lahirnya Universal
Declaration of Human Rights atau pernyataan universal tentang hak asasi manusia oleh PBB
pada 10 Desember 1948, di samping Petiton of Rights yang dikeluarkan pada tahun 1628.

2. Lahirnya HAM PBB


Pendorong utama kemunculan Deklarasi Universal HAM PBB adalah tumbuhnya
kesadaran masyarakat pada kisaran abad ke-19. Kesadaran ini tumbuh karena desakan sosial
masyarakat yang merasa muak atas kebrutalan negara dan perlakuan semena-mena terhadap
individu, baik oleh negara terhadap warganya sendiri maupun terhadap warga negara lain.
Gagasan bahwa hukum negara terhadap warga negara tidaklah bersifat absolut dan manusia
harus memiliki instrumen hukum untuk menjamin perlakuan yang adil terhadap semua orang
di mana saja berada, tercermin dalam dokumen-dokumen penting seperti konvensi Genewa
dan Piagam Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Negarawan seperti mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan mantan
Presiden Amerika Franklin Roosevelt, mempopulerkan gagasan tersebut dalam pidato-pidato
mereka pada akhir Perang Dunia Kedua. Dengan berakhirnya konflik lima tahun Eropa, yang
telah memakan korban jutaan penduduk sipil yang tidak bersalah, masyarakat internasional
sepakat untuk membela hak-hak individu yang terlalu sering dianiaya oleh negara.
Berawal pada tanggal 9 Juni 1947, delapan anggota calon komisi HAM PBB
didampingi staf PBB mengadakan pertemuan untuk membuat rancangan awal undang undang
internasional tentang hak asasi manusia di Lake Succes, New York. Anggota komite ini
berasal dari Australia, Chile, Prancis, Libanon, Uni Republik Sosialis Soviet, Inggris, dan
Amerika Serikat. John Humphrey, Direktur PBB bidang HAM mewakili Sekretaris PBB.
Setelah hasil rancangan komite itu dikomentari seluruh anggota PBB dan diperdebatkan
di Majelis Umum PBB, Deklarasi Universal HAM disetujui Majlis Umum PBB pada 10
September 1948. Empat puluh delapan negara menyetujui rancangan tersebut, sementara
delapan negara lainnya, termasuk negara-negara blok Uni Soviet, Afrika Selatan, dan Saudi
Arabia tidak memberikan suara, ditambah dua negara lainnya tidak hadir.2
Menanggapi lahirnya Deklarasi Universal HAM, John Humphrey, yang kemudian
menjadi direktur bidang HAM, mengatakan: “Deklarasi ini tidak mempunyai ‘bapak’ seperti
Thomas Jefferson yang menjadi Bapak Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia dibuat oleh
ratusan orang dari komisi (HAM), Komite Status Perempuan, dua Sub-Komisi HAM
mengenai kemerdekaan atas informasi dan pencegahan diskriminasi, Dewan Ekonomi dan
Sosial dan Majlis Umum, Sekretariat PBB, Konvensi Genewa mengenai kemerdekaan atas
informasi pada 1948, Lembaga-lembaga khusus PBB, pemerintah negara-negara anggota dan
organisasi-organisasi non-pemerintah yang telah menyumbang ide dan gagasan.”3
Bila ditelusuri lebih jauh, istilah human rights atau Hak Asasi Manusia saat deklarasi
merupakan istilah yang relatif baru. Namun ia telah menjadi kepedulian etis pada masa-masa
selanjutnya. Pada dasarnya, HAM berawal dari konsep kuno Yunani-Romawi yang
mengaitkan sifat manusia serta mengukur baik buruk sifat itu berdasarkan keserasiannya
dengan hukum alam.
Konsep yang dikenal dengan doktrin hukum alam lebih menekankan ‘kewajiban’
daripada ‘hak’. Sejak masa Renaisans (sekitar abad ke-15) sampai permulaan abad millenium
ini, paling tidak di Barat, penekanan terhadap kewajiban-kewajiban manusia dalam kerangka
hukum alam beralih ke hak-hak manusia secara lebih spesifik. Untuk menjamin
terlindunginya hak-hak asasi tersebut, pada tahun 1948 PBB mengeluarkan sebuah dokumen
penting yang kemudian disebut “The Universal Deklaration of Human Rights”. Pada
prinsipinya, deklarasi ini dapat diterima oleh hampir seluruh anggota PBB. Namun konsensus
dunia tentang deklarasi ini tidak berarti menunjukkan bahwa sifat dasar, definisi, serta
lingkup hak-hak asasi itu sendiri telah tuntas disepakati. Hal ini terbukti dengan kesulitan
yang dialami PBB dalam mengubah bentuk penyataan (declaration) menjadi persetujuan atau
perjanjian (convention), sebab masih terdapat perbedaan mencolok di antara negara-negara

22
Makalah Pelatihan Jurnalistik Perspektif HAM, Wisma Hening Poksarang Kediri, h. 5.
33
Ibid.
anggota soal hak mengeluarkan pendapat, hak kedudukan yang sama di depan hukum, hak
kepemilikan barang, hak memperoleh penghidupan yang layak, dan hak-hak sosial lainnya. 4
Setiap negara mempunyai pandangan dan konsep berbeda seputar penerapan hak-hak primer-
fundamental di atas.

3. HAM di Indonesia
Di Indonesia, embrio HAM sebenarnya telah ada sejak lama. Sebagai contoh di
Sulawesi Selatan, terdapat konvensi adat yang kemudian ditulis dalam buku-buku adat yang
dikenal dengan nama Lontarak (Tomatindo di Lagana). Dalam buku tersebut, antara lain
disebutkan bahwa apabila raja berselisih dengan Dewan Adat, raja harus mengalah. Tetapi
apabila Dewan Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang menyelesaikan. Jadi, ruh-ruh
HAM yang sedang disoroti sekarang, semuanya telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh raja-
raja dahulu. Sayangnya, hal ini kurang diperhatikan karena sebagian pakar hukum Indonesia
sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Bahkan asas-asas Hukum Laut
yang berasal dari Amanna Gappa (1676), yang saat ini sedang dipelajari ahli-ahli hukum
Barat, oleh para ahli kita sendiri kurang diperhatikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun perkembangannya tidak begitu menonjol
dikarenakan kurangnya publikasi dan kajian mendalam seputar tradisi sendiri.5
Human Raight selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Namun masih
ada yang bertanya, mengapa tidak disebut hak dan kewajiban asasi? Juga ada yang bertanya,
mengapa bukan Social Right? Bukankah Social Right mengutamakan hak masyarakat
sebagaimana tujuan hidup manusia? Sesungguhnya dalam Human Right, secara implisit telah
ada kewajiban tentang keharusan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian
juga, tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa ada kewajiban. Orang yang
dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain, sehingga yang terjadi
kemudian adalah saling menghormati.
Mungkin yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Selain itu, perlu juga dijaga
keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan
bertindak, tetapi tidak boleh memperkosa hak-hak orang lain. Ada pendapat yang
mengatakan, pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latarbelakang budaya
Indonesia. Dalam arti Universal Declaration of Human Right versi PBB dapat kita akui,
44
Suko Susilo dkk, Op. cit., h. 160.
55
Pr. Dr. H. Baharudin Lopa, S.H. Al-Quran dan Hak-Hak Asasi Manusia, PT. Dana Bahkti Prima Yasa Jogjakarta,
cet. II, 1999, h. 5.
hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain,
khususnya di negara Barat yang latar belakang sejarah, budaya, dan agamanya berbeda
dengan kita.
Di Eropa, seorang anak berusia 17 tahun bebas menentukan siapa pasangan hidupnya
tanpa memerlukan persetujuan orang tua. Bahkan seringkali saat berlangsungnya prosesi
pernikahan, orang tua si anak cuma hadir sebagai tamu. Dari sini sudah tampak bahwa pihak
orang tua sudah lepas tanggung jawab terhadap anaknya, sehingga perkawinan anak tersebut
tidak perlu mengikutsertakan orang tua. Lain halnya dengan di Indonesia, di mana setiap
perkawinan melibatkan orang tua dan seluruh kerabat dari kedua belah pihak. Apabila tradisi
ini tidak dijalankan, maka hal itu dianggap telah melanggar adat dan etika sosial. Oleh sebab
itu, betapapun bebasnya hak individual di Indonesia, namun hal itu masih terikat dengan etika
kelompok atau komunitas di sekelilingnya. Berbeda dengan di Eropa yang ikatan kekerabatan
sudah sangat longgar dan cenderung menyirna.
4. Konsep Hak Asasi dalam Perspektif Islam
Islam sebagai agama paripurna mengandung ajaran yang bersifat universal-
komprehensif (‘âm-syâmil), serta memiliki konsep utuh dan terpadu sebagai jalan hidup ideal
bagi semua manusia sampai bumi tutup lembaran. Problematik apapun di dunia ini, atau
pandangan hidup baru macam apapun ciptaan manusia, akan bisa terjawab melalui syariat
Islam.
Dalam perspektif Islam, istilah ‘hak’ secara harfiah berarti ‘milik’, ‘harta’, dan ‘sesuatu
yang ada serta pasti’ seperti tercantum dalam surat Yasin ayat 7 yang menyatakan:
“Sesungguhnya telah pasti berlaku (haqq) perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan
mereka, karena mereka tidak beriman.”

Para ulama ushul fiqh mengartikan hak sebagai perbuatan mukallaf yang berkaitan
dengan tuntutan syariat Islam. Secara teoretik, hak diklasifikasikan dalam trilogi spektrum,
yaitu hak Allah swt., hak hamba, dan yang ketiga adalah perpaduan antara hak Allah dengan
hak hamba. Yang dimaksud dengan hak Allah swt adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan kepentingan umum, tanpa adanya kekhususan bagi seseorang. Dinamakan hak Allah
karena mengandung manfaat yang besar dan resiko yang besar. Hak ini tidak bisa digugurkan
dan tidak ada seorang pun yang boleh meminta agar terlepas dari hak jenis pertama ini,
apalagi sampai keluar dari medium cakupnya. Boleh dikata, hak Allah ini merupakan
peraturan universal dalam ranah undang-undang syariat. Hak Allah mencakup dua macam:
pertama, suatu hal yang menjadi sarana ritual (taqarrub) dan pengagungan pada Allah, serta
pelaksanaan syiar-syiar agama-Nya, semisal ritual ibadah, jihad, amar ma’ruf nahi munkar,
nadzar, sumpah dan sebagainya; kedua, suatu hal yang menyangkut kepentingan umum,
semisal menanggulangi kriminalitas dan merealisasikan sanksi-sanksi baik berupa hudûd atau
ta’zîr. Karakteristik dari hak ini adalah tidak bisa gugur, tidak bisa dirubah, tidak bisa
diwaris.
Yang dimaksud hak hamba atau hak personal adalah hak yang berkaitan dengan
kemaslahatan individual. Seperti hak kepemilikan harta, pemeliharaan kesehatan,
pemeliharaan anak, rasa aman, perlindungan dari tindak kriminal, pemanfaatan fasilitas
umum, kepentingan yang dimilki oleh orang-orang tertentu sebagaimana hak bagi pelaku
transaksi, hak kompensasi atas perusakan hak milik, hak seorang istri atas nafkah dari
suaminya, hak ibu atas penguasaan anaknya, hak ayah atas perwalian anaknya, hak menekuni
profesi dan sebagainya. Karakteristik dari hak ini adalah terdapat dispensasi hukum, bisa
digugurkan dengan pengampunan dari pemilik hak, damai (shulh), pembebasan (ibra’), atau
pembolehan (ibahah), dapat diwaris, dan pemenuhannya tergantung pada pemilik hak atau
walinya.6
Dalam konsepsi lebih lanjut, terdapat semacam hak yang mengiris (musytarak) antara
hak Tuhan dan hak manusia. Salah satu contohnya dalam tuduhan zina. Tuduhan perbuatan
zina merupakan dosa yang berkaitan dengan harga diri seseorang dan berujung ancaman
sanksi bagi penuduh. Ketika hukuman atas perbuatan tuduhan zina (qadzf) itu terrealisir,
maka berpotensi menciptakan kemaslahatan umum karena akan menjauhkan manusia dari
berbuat hal yang serupa. Di samping itu, vonis hukuman bagi pezina akan menjaga martabat
manusia, menjauhkan dari perilaku semi-hewani, serta akan menghindarkan masyarakat dari
berbuat kerusakan.7
Kombinasi dua hak ini adakalanya lebih didominasi oleh hak Allah dan adakalanya
pula lebih didominasi oleh hak manusia. Yang pertama, sebagaimana ‘iddah perempuan yang
dicerai. Hak Allah dalam hal ini adalah memelihara keturunan atau nasab dari percampuran. 8
66
Dr. Abdul Karim Zaydan, al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, Yordania: al-Maktabah al-Batsa’ir Amman, cet. III. 1990 M.,
h.84. Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, Wizârah al-Awqâf al-
Kuwaitiyyah, vol. XVIII, h. 8-20.
77
Dr. Abdul Karim Zaydan. Loc. cit.
8 8
Setiap manusia memiliki hak untuk menyambung nasab-keturunan antara orang tua dan anak (hak geneologis,
nasab). Oleh karenanya dalam tataran praksis, agama menganjurkan menikah sesuai anjuran syariat. Tujuan fundamental
pernikahan adalah demi mendapatkan hak nasabi tersebut di atas, karena dalam pandangan Islam, geneologis anak-bapak
selalu terikat dan “menyambung”. Adapun langkah antisipatif mempertahankan (menjaga) garis keturunan (hak nasabi)
adalah dengan melarang berhubungan biologis diluar nikah, sex bebas, dan lain sebagainya. Dan sebagai langkah
konservatif, Islam menghukum pelaku dengan jilid atau bahkan rajam. 13 Yang dimaksud perzinaan atau adultery di sini
adalah hubungan seksual yang dilakukan pria maupun perempuan yang sedang dalam ikatan pernikahan (menghianati
pasangan). Sejak zaman dahulu hingga abad millenium ini, hampir seluruh agama dan peradaban di dunia mengecam keras
praktek perzinaan ini. Hukum Hammurabi di Babilonia pada abad 19 sebelum Masehi, misalnya, menghukum mati pelaku
perzinaan. Yunani dan Romawi Kuno menjatuhkan hukuman mati hanya bagi pelaku perempuan, sedangkan hukuman bagi
pihak pria lebih ringan. Tradisi Hindu bahkan lebih bengis lagi, perbuatan zina dinilai sebagai perilaku setan (Regveda
Sedangkan hak individu dalam hal ini adalah memelihara nasab anak-anaknya, namun hak
Allah lebih dominan. Yang kedua, misalnya hak qishash, hak Allah yakni membersihkan
kehidupan sosial dari kejahatan baik pembunuhan maupun penganiayaan. Hak individu yakni
memadamkan dendam pada pembunuh. Dan hak individu inilah yang lebih dominan.9
Kesempurnaan hak dalam literatur Islam sangat tampak dalam elaborasi detailnya..
Tidak ada kecerobohan dalam syariat Islam, sebab ajaran Ilahi tersebut berhasil
menyeimbangkan antara hak Tuhan dan hak hamba. Lain halnya dengan hak yang diciptakan
manusia, selain terkesan dipaksakan, daya jangkaunya juga terbatas pada ketertiban yang
bersifat kasat mata. Terbukti, dalam HAM versi manusia, unsur-unsur spiritual dan norma-
norma transendental acap kali mendapat porsi yang kecil, bahkan cenderung terabaikan.
Padahal kebutuhan manusia akan nilai-nilai religi merupakan kebutuhan dasar yang mutlak
diperlukan.

Wahbah al Zuhayli dalam “Fiqh al-Islâmi” mendefinisikan hak manusia sebagai segala
tindakan bermotif untuk memelihara kemaslahatan manusia. Entah berupa hak-hak universal,
seperti hak memperoleh kesehatan, menjaga keturunan, harta dan lain-lain, atau hak khusus
seperti hak pemilik untuk menjaga harta yang dimilikinya. Dalam lanskap ini, Wahbah al-
Zuhayli menuturkan metode aplikasi hak manusia dalam tataran praksis sebagai upaya
pencapaian keselarasan dengan tuntutan syariat Islam. Sehingga bentuk aktifitas apapun yang
membahayakan orang lain, baik secara personal maupun kolektif, sengaja ataupun tidak,
harus dicegah karena telah keluar dari area syariat. Begitu juga larangan mengelola harta
benda dengan cara merusak dan menyia-nyiakannya (tabdzîr al mâl), karena tindakan
semacam itu tidak mengandung nilai baik dalam perspektif syariat Islam.10
Ada juga pakar fiqh yang mencoba mendefinisikan hak dengan sesuatu yang dimiliki
oleh seseorang, baik yang berkaitan dengan hak kepemilikan komoditi,11 kewajiban yang
IV,5:5). Dalam tradisi Yahudi, hukuman mati melalui lontaran batu hanya berlaku bagi pelaku perempuan yang bersuami.
Adapun pria yang beristri tidak dinyatakan berzina kecuali jika ia melakukannya dengan perempuan bersuami. Perjanjian
lama (Taurat) mencantumkan perzinaan sebagai salah satu dari sepuluh larangan Tuhan (ten commandment). Bahkan dalam
Talmud, tiga dosa besar yang harus dihindari adalah menyekutukan Tuhan, membunuh, dan berzina. Dalam Islam definisi
perzinaan berbeda dengan tradisi agama dan kebudayaan lain. Dalam Islam, hubungan seksual pra-nikah adalah perzinaan.
Islam tidak mengenal hukuman yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan pria. Apabila pelakunya bersuami atau
beristri, maka ia diberi nama mukhsan (arti literalnya terpelihara), bagi yang belum menikah disebut ghair-mukhsan. (Dr.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, cet. VII, 1999, h.187.)
99
Dr. Wahbah al Zuhayli, al-Fiqh al -Islami, Dar al-Fikr, vol. IV, h. 13-15.
1010
Ibid., h. 24-29.
11 11
Setiap makhluk hidup membutuhkan harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik berupa pangan,
sandang, atau papan. Karena kebutuhan itu adalah kepentingan kolektif setiap individu, kiranya sangat diperlukan sekali
aturan yang bisa menahan tabrakan kepentingan antar manusia itu sendiri. Dalam hal ini, Islam memiliki perhatian besar
dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk mendapatkan hak atas harta benda. Wujud perhatian itu dibuktikan dengan
aturan-aturan berbagai bentuk transaksi untuk mengais rizki. Bahkan Islam memotivasi manusia untuk giat berkerja mencari
nafkah. Adapun haknya dalam menjaga harta, Islam berupaya menjerakan dengan hukum pidana bagi seseorang yang telah
melakukan pencurian harta orang lain. Hukum moral dalam al-Qur’an, termasuk kode etik berbisnis, sama sekali tidak
bersinggungan dengan implikasi transaksi seperti serah-terima, hak atas gaji, pemanfaatan
fasilitas umum, dan lainnya.
Dalam literature kita juga menemukan konseptualisasi hak secara lebih detail dengan
berbagai sudut pandang. Diantaranya:
1) Hak Jiwa. Untuk perawatan jiwa, manusia diharuskan menkonsumsi makanan dan
minuman untuk mendayakan dirinya. Makan dan minum merupakan kebutuhan pokok, yang
seandainya tanpa anjuran pun akan dilakukan. Tetapi Islam tetap mempunyai perhatian besar
pada persoalan ini. Sebab meskipun secara alamiah pemenuhan atas kebutuhan pokok sudah
pasti dilakukan setiap manusia, namun upaya pemenuhanya membutuhkan perangkat undang-
undang. Jika tidak demikian, pemenuhan yang berkala dapat terancam baik karena kondisi
social ekonomi maupun keserakahan sebagian manusia. Dalam Islam, untuk membendung
kejahatan manusia, dirumuskan sanksi tindak pidana balas-sama (qishash) bagi pembunuh
(killer).12 Tidak terbayangkan seandainya tidak ada system hokum dalam hal ini. Balas
dendam, siklus bunuh membunuh satu sama lain, hingga kehancuran massal sangat mungkin
akan terjadi dalam konstruksi kehidupan ini.
2) Hak kebebasan (huriyyah). Hak ini terbagi menjadi hak kebebasan barfikir,
kebebasan berpendapat, dan pluralisme agama. Pertama, kebebasan intelektualitas. Dalam
Islam ia mendapatkan legitimasi melalui teks normatif dalam surat Yunus: 101, al-Rum: 8,
Saba: 46, al-Baqarah: 164, Ali Imran: 7, Qaf: 37, al-Ghasyiyyah: 17, dan al-Thâriq: 6, yang
secara garis besar menekankan pengembangan intelektualitas. Akal sebagai anugerah maha
sempurna dari Allah swt. kepada manusia, semestinya dirawat sebaik mungkin dan tidak
boleh dibiarkan sia-sia begitu saja. Tanpa akal, manusia akan tereliminasi dari panggung
sejarah, dan akan menikmati hidup layaknya binatang yang tidak punya harga diri. Bahkan
seseorang yang tak berakal akan dinilai sebagai beban sosial dan penyakit masyarakat. Al-
Qur’an juga sangat mencela manusia yang memarginalkan kebebasan berpikirnya dengan
melalui taqlid buta.13 Sebagai langkah antisipatif-konservatif terhadap fungsi akal yang multi,
Islam mengancam hukuman-hukuman bagi seseorang yang berusaha merusak akal, baik dari
pelaku sendiri maupun dari pihak lain. Seperti penkonsumsi barang-barang memabukan yang
akan merusak potensi akal diancam dengan hukuman cambuk 40 kali. Alwi Shihab
menegaskan MIRAS sangat mengancam rusaknya intelektualitas seseorang, juga berdampak
diserahkan begitu saja kepada pilihan atau kebijakan pribadi seorang hamba. Karenanya, pemilikan sesuatu tanpa pengakuan
syariat tidaklah dinamakan hak dan tidak dibenarkan. Misalnya seperti hasil curian dan rampasan. Jika pencurian itu tidak
diketahui orang lain, dan barang curian itu berada ditangan si pencuri dan secara nyata menjadi “hak milik” si pencuri.
Tetapi, karena hak ini tidak diakui oleh syariat, maka barang itu bukanlah miliknya dan harus dikembalikan pada pemilik
semula.
1212
Dr. Abdul Karim Zaydan, Op. cit., h. 380.
13 13
Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tasyrî’ al-Jana’I al-Islâmi, Muassasah al-Risalah, cet. XI, 1996, vol. I, h. 30-35.
negatif terhadap anggota keluarga penkonsumsi. MIRAS, misalnya, juga mengancam
keselamatan bayi yang masih dalam kandungan, merugikan ekonomi keluarga, mengancam
retaknya rumah tangga, dan masih banyak yang lain. Sejauh ini, milyaran dollar telah
dibelanjakan secara sia-sia dan ribuan manusia telah menjadi korban oleh barang laknat ini.
Oleh karena itu, tiada jalan lain kecuali kita harus memerangi penyakit sosial (mabuk
mabukan) dan ekonomi ini.15 Namun sayangnya, anjuran agama Islam yang jelas membawa
kebaikan untuk manusia sendiri tidak diperhatikan, apalagi dilaksanakan.
Kedua, kebebasan berpendapat. Sebagai hak setiap individu, dalam Islam ia
mempunyai posisi yang vital. Bahkan Islam mewajibkan menyuarakan aspirasi khususnya
yang bersinggungan dengan kemaslahatan umum yang terbingkai dalam amar ma’ruf nahi
munkar, sebagaimana anjuran dalam surat Ali Imran: 104 dan al-Haj: 41. Namun, kebebasan
berpendapat tersebut tidak bersifat mutlak. Islam membatasinya dengan norma-norma etik
agar tidak bertentangan dengan perintah dan larangan Allah sawt. Norma etik tersebut secara
jelas terlansir dalam surat al-An’am: 108 yang melarang memaki sembahan-sembahan Non-
muslim karena dikhawatirkan mereka akan membalas memaki Allah sawt., al-Nahl: 125 yang
menganjurkan menyeru ke jalan Allah swt. dengan cara yang baik, tegas, dan benar yang
dapat membedakan antara yang hak dan bathil, al-‘Ankabut: 46 yang melarang mendebat
Ahli Kitab melainkan dengan dengan cara yang paling baik, kecuali kepada mereka yang
zalim, dan ayat-ayat yang lain.
Ketiga, pluralisme agama. Kebebesan beragama ini merupakan deskripsi yang selalu
digembar-gemborkan oleh pemikir post-modern. Padahal al-Qur’an secara tegas telah
melegitimasi hak kebebasan ini sejak awal dalam surat al-Mâidah: 48 yang menyatakan;
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan hidup yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu.” Dari ayat ini dapat dipahami
bahwa Allah bisa saja menjadikan manusia dalam satu agama jika Ia berkehendak. Akan
tetapi Allah telah menciptakan manusia dalam sebuah jalan hidup yang pluralis sebagai
media pengujian bagi umat manusia, apakah dengan pluralitas tersebut kita dapat hidup
berdampingan dengan harmonis-humanis.16

Dari uraian di atas tampak sekali bahwa Islam memberi perhatian besar pada
kemaslahatan manusia. Kemaslahatan bagi manusia secara universal juga dapat ditemui

1515
Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, h. 187.
16 16
Abd al-Qâdir ‘Awdah. Loc. cit.
dalam tujuan prinsip syariat (maqâshid al-syar’iyyah). Prinsip tersebut mengatur secara
komprehensif terhadap semua kebutuhan-kebutuhan manusia baik yang bersifat elementer
(dharuriyyah), komplementer (hajiyyah), maupun suplementer (tahsiniyyah). Konsep tersebut
merupakan konsepsi samawi yang diproyeksikan menjaga terhadap hak hidup, akal, agama,
keturunan, dan hak milik.
Namun dalam tataran teoritis-praksis, syariat juga memberikan garis disparitas-
formalistik antara huqûq Allah (hak-hak Allah) dan huqûq al-’ibâd (hak-hak hamba). Hak
Allah adalah kewajiban yang dicanangkan kepada tiap manusia untuk diimplementasikan.
Implementasi kewajiban-kewajiban tersebut tidak lain adalah pengakuan terhadap ke-Esaan,
ke-Mahakuasaan dan keunikan-Nya dengan mengikuti ketentuan-Nya. Sementra hak-hak
manusia, bahkan eksistensi manusia sekalipun, sebenarnya adalah anugerah Tuhan dan
kepada-Nya akan kembali. Berdasarkan premis ini, sebenarnya hak-hak manusia dalam Islam
bersifat ‘teosentris’, yakni bertujuan untuk dan bersumber dari Tuhan.17
Sementara HAM dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lebih bersifat
‘antoposentris’, hanya terfokus pada manusia itu sendiri. Artinya, HAM dalam Islam
merupakan hak-hak yang mengakomodir aspek vertikal dan horizontal, sedang HAM versi
PBB hanya menitikberatkan pada aspek horizontal. Hal ini dapat dibuktikan dengan
eksistensi konsep modern tentang HAM yang hanya bertumpu pada apa yang diidealkan oleh
tradisi Aufklaerung Eropa, bahwa manusia adalah subyek otonom dan karena itu menjadi
tuan bagi nasibnya sendiri. Itulah substansi dari prinsip subyektivitas yang menjadi esensi
dari “Deklarasi HAM dan Hak Warga” tahun 1789. Simpulan kami ini berpunggungan secara
kontras dengan pendapat Syekh Muhammad al-Ghazali dari Mesir, pengarang kitab Huqûq
al-Insân bayn Ta’alim al-Islâm wa I’lan al-Umam al-Muttahida (HAM antara Ajaran Islam
dan Deklarasi PBB) yang menganggap bahwa pertama kali pencetus HAM adalah Islam.18
Secara jelas, HAM dalam perspektif PBB menempatkan manusia dalam suatu setting di
mana relasinya dengan Tuhan tidak disinggung sedikitpun. Sementara Islam menempatkan
hak-hak manusia sebagai konsekuensi dari pelaksanaan kewajiban kepada Allah. Berbeda
dengan Islam, HAM dalam pandangan Barat sekuler adalah ekspresi kebebasan manusia yang
keluar dari ketentuan Tuhan, agama, moral, atau kewajiban yang bersifat metafisik. Dalam
Islam, ekspresi kebebasan manusia harus ditempatkan dalam rangka keadilan, kasih sayang,
dan persamaan kedudukan di sisi Tuhan. Al-Qur’an misalnya, sangat menaruh perhatian pada
pemenuhan hak keadilan dan tanggung jawab pelaksananya.

17 17
Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Op. cit., h. 11-12.
18 18
Dr. Ivan A Hadar, Islam dan HAM, Halqah: Warta-Analisa HAM & Demokrasi, edisi XVI/2002, h. 24.
5. Pasal HAM Barat Melanggar Hukum Islam
Secara terbuka, di antara pasal-pasal dalam deklarasi universal HAM PBB, terdapat
beberapa pasal yang bertentangan dengan garis Islam. Di antaranya adalah pasal ke-4 yang
berbunyi: “Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan
perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang”, dan pasal ke-16, ayat 1 yang
berbunyi; “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan,
kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.
Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan
perceraian”.
Untuk pasal ke-16 ayat 1 mengenai kebebasan perkawinan lintas agama, ras, dan
negara sudah dijelaskan dalam judul tersendiri (baca: Nikah Lintas Agama dalam Perspektif
Islam). Maka dari itu, yang akan diurai di sini hanya pelanggaran pasal HAM PBB tentang
penghapusan perbudakan.
Secara eksplisit, pasal di atas berseberangan dengan ketetapan hukum Islam. Hak Asasi
Manusia PBB mengenai penghapusan perbudakan dalam segala bentuknya, merupakan
keputusan sembrono yang tidak mengkaji tuntas aspek kemaslahatan dan memahami sosio-
kultural masyarakat sedang berkembang. Apa kata orang jika budaya masyarakat yang sudah
mengakar akan terhapus dengan cara frontal, jikalau memang masih ditemukan alternatif
untuk mengarahkan dengan cara tidak menafikan pokok dasar memanusiakan manusia dalam
aplikasinya?.

Budak Pra Islam dan Keragaman Siksa


Perlakuan terhadap seorang budak pra-Islam terhitung sangat mengenaskan dan
menyayat hati. Perlakuan budak tersebut, andai kita melihatnya sendiri, niscaya mampu
merobek-robek isi perut kita, mengeringkan air mata. Dunia saat itu tidak jarang berteriak
histeris memanggil nama Tuhannya, melantangkan betapa beratnya siksaan dan cobaan yang
menimpa orang-orang lemah yang diperbuat manusia yang tidak mengenal kasih sayang.
Mereka bagaikan binatang buas, bahkan lebih buas dari binatang. Anehnya kondisi seperti itu
dianggap lumrah. Jaringan perbudakan hampir terjadi di mana-mana dan di setiap kerajaan
apa saja. Perbuatan semena-mena yang mereka lakukan sangat tidak manusiawi, kejam, keji,
sadis, bengis, dan seterusnya.19

1919
Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatih, al-Haramayn, vol. 2. h.381.
Pada awal kelahiran Islam, perbudakan bukan merupakan problem sosial yang
dianggap memprihatinkan dan bukan pula hal yang asing dan tercela. Di Barat dan Timur,
dunia penuh sesak dengan kaum budak, tak satupun orang yang memperdulikan dan berpikir
ingin menolongnya. Perlakuan amoral dan absurd ini, pada masa itu, menyebar luas di setiap
negara dan kerajaan. Misalnya Yunani kuno. Perbudakan bukan hal yang asing di telinga
masyarakat Yunani. Pada masa itu, jarang yang memperdulikan penderitaan budak. Para
pemikir dan filosof, Pseperti, pun menerima konstruksi sosial yang pincang dan kejam itu.
Ironisnya, mereka malah berasumsi bahwa pengabsahan perbudakan termasuk bentuk
konstitusi sebuah negara yang ideal, karena lebih memandang sebagai kepentingan rakyat.
Para budak itu terlarang menikmati hak-haknya sebagai warga negara. Saking
kejamnya, opini publik menganggap budak sebagai instrumen bernyawa yang multi fungsi
melayani tuannya, atau sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan seenak perut.
Masyarakat Yunani kuno mengkonstruksi praktik perbudakan melalui cara penculikan dan
perburuan. Pada waktu itu, aturan negara secara resmi menjustifikasi praktik perbudakan
manusia dalam jumlah tak terbatas. Budak dalam pandangan orang Yunani Kuno, meskipun
telah dimerdekakan, tetap tidak dibolehkan mendapat hak layaknya manusia biasa. Mereka
terus terdiskriminasi dan terus dipaksa melakukan pekerjaan berat dan nista, meskipun telah
beralih status menjadi orang merdeka.20
Romawi kuno. Di negara ini, problema perbudakan lebih kejam daripada di Yunani.
Orang-orang Romawi kuno terbiasa memaksa seseorang yang berbuat salah menjadi budak.
Kesalahan kecil seperti ketidakmampuan melunasi hutang, bagi orang Romawi dinilai
sebagai cela yang besar, sehingga pihak yang tidak mampu melunasi hutang secara otomatis
akan menjadi budak si tuan yang menghutangi. Bahkan masyarakat Romawi juga tega
memperbudak anak-anak kecil. Kegilaan rakyatnya tidak cukup sampai di situ, mereka
melakukan praktik penculikan sebagai cara paling intensif untuk memperoleh budak
perempuan. Di samping untuk melayani nafsu seksual tuannya, budak perempuan itu juga
dijadikan pelacur. Apalagi pada masa itu perdagangan budak dianggap sesuatu yang wajar
dan menguntungkan. Sehingga banyak di antara anggota masyarakat Romawi yang berprofesi
mengumpulkan budak perempuan untuk kemudian dipaksa menjadi pekerja seks komersial.
Kejamnya, meskipun para budak perempuan itu telah menjual tubuhnya, tapi keuntungan
bayaran dari para pelanggan sama sekali tidak bisa mereka nikmati, karena semuanya diraup
oleh majikan.21

2020
Dr. Ahmad al-Sarbashi, Yas’alunak fi al-Dîn wa al-Hayat, Dar al-Jayl, vol. II, h. 594.
2121
Ibid.
Persia. Di negeri ini segala macam bentuk perbudakan mudah ditemukan. Ada budak
yang berfungsi sebagai penggembala, ada pula yang sekedar dijadikan perhiasan (tontonan
tamu), pekerja barang-barang kotor, dan ada pula budak yang khusus melakukan pekerjaan
berat dan keras, yaitu bagi budak berusia dewasa. Tindakan melebihi batas yang dilakukan
masyarakat Persia terhadap manusia budak ini sangat menyusahkan banyak pihak. Sehingga
ada sebagian kalangan pemikir yang peduli dan melontarkan gagasannya untuk menolak
tindakan semacam itu. Mereka mengajak masyarakat Persia untuk meminimalisir bentuk-
bentuk perbudakan dengan segala variannya. Salah seorang diantara pemikir itu adalah
sejarawan Yunani bernama Hairudut, yang kemudian populer dengan julukan ‘Bapak
Sejarah’. Hairudut pernah melontarkan statemen; “Bagi warga Persia tidak dibolehkan
menyiksa budaknya dengan kejam dan pedih hanya karena satu kesalahan. Akan tetapi jika
budak tersebut mengulangi kesalahannya, maka boleh bagi tuannya membunuh atau
menyiksanya”.22 Dari sini tampak sekali betapa kejamnya perilaku para tuan Persia terhadap
budak-budaknya. Seorang pemikir yang dikenal peduli kepada nasib para budak pun, ternyata
menghalalkan penyiksaan dan pembunuhan budak jika ia melakukan kesalahan lebih dari
satu kali.
India. Masyarakat di daratan Benua India mengenal ‘Manu’ sebagai Tuhan dan
pencetus undang-undang India yang telah membuat kompilasi perundangan sebagai pijakan
normatik dan etika untuk mengabsahkan perbedaan derajat di antara kaum lelaki. Di
masyarakat India kuno dikenal kasta ‘Sudra’, yaitu kasta terendah yang umumnya berprofesi
sebagai pelayan kaum Brahmana. Manu, dalam produk undang-undangnya, ternyata
memperbolehkan orang Brahmana membeli orang-orang berkasta Sudra, bahkan
mengesahkan cara lain untuk menjadikan kaum Sudra sebagai budak. Keadaan seperti itu
termotivasi oleh asumsi masyarakat India yang menganggap bahwa kaum Sudra terlahir
hanya untuk melayani kaum Brahmana.23 Yang lebih tragis lagi, orang-orang India
menganggap kaum Paria sebagai barang najis, yang tidak ada harganya sama sekali.
Dikisahkan, suatu hari anak dari seorang Brahmana terjatuh ke dalam sumur. Saat itu ada
seorang kaum Paria, yang seandainya diperbolehkan menolong, niscaya anak itu dapat
diselamatkan. Akan tetapi sang ibu lebih suka anaknya mati daripada hidup disentuh oleh
tangan orang Paria.24 Hal ini menunjukkan bahwa diskriminasi rasial sangat kental dalam
konstruksi masyarakat Hindu India. Bahkan dalam undang-undang Manu juga diatur soal

2222
Ibid.
2323
Ibid, h. 594-598.
2424
Syekh Muhammad al-Ghazâli, al-Ghazali Menjawab 40 Soal Agama, (pent.) Muhammad Thahir dan Abu Layla,
Mizan Bandung, cet. II, 1989, h. 103.
sanksi berat dan penyiksaan bagi para budak yang melakukan kesalahan. Seperti hukuman
mencuri; seorang budak yang mengambil harta Brahmana akan menerima balasan dengan
dibakar hidup-hidup. Bahkan ketika berani menentang keputusan hakim, maka ia akan
disiksa dan ditusuk dengan besi panas. Anehnya, ketika sang pencurinya adalah orang
Brahmana, ia hanya dihukum sangat ringan, yakni hanya diperintahkan menggantikan barang
yang dicuri saja.
Kerajaan China. Para budak di negeri tirai bambu ini bukan hanya berasal dari warga
negaranya sendiri, tapi juga diperoleh dari luar negara. Kerajaan China Kubo biasanya
melakukan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di belahan dunia dalam hal
eksport-import budak. Sementara di dalam negeri, mayoritas penduduk miskin terpaksa harus
menjual diri atau menjual anak-anaknya, hanya dengan alasan demi memenuhi kebutuhan
hidup keluarga. Tapi himpitan budak di negeri ini, tidak sekejam di Benua India. Malah saat
tampuk kekuasaan dipegang Raja Kwancun, keluar keputusan raja tentang perintah untuk
menghormati, melakukan humanisasi, dan larangan memusuhi para budak.25
Mesir kuno. Di negeri ini, budak hanya sebatas alat untuk melakukan pekerjaan, untuk
perhiasan dan sekedar memamerkan kebesaran-keagungan. Walapaun demikian, tuannya
memiliki otoritas mutlak dalam memperlakukan budaknya. Sang tuan berhak membunuh atau
menyiksa. Dan soal hak hidup dan mati, semuanya terserah keinginan tuannya.26

Kebebasan Manusia
Manusia adalah mahluk Allah swt yang paling unik. Satu sisi manusia diciptakan,
diarahkan, diatur, dibatasi, dan akan dibinasakan. Namun demikian, anehnya manusia
diciptakan tapi disuruh menciptakan, diarahkan tapi diperintah mengarahkan, diatur tapi
disuruh mengatur, dan dibatasi tapi diberi kebebasan. Menurut al-Ghazali, tawakal sebagai
klimaks ajaran spiritual Islam pun tidak boleh meninggalkan kebebasan manusia untuk
berusaha.27
Petunjuk yang dijadikan rujukan manusia dalam setiap langkahnya adalah al-Qur’an,
sebagaimana pesan Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 2;
َ‫يب فِ ْي ِه هُدًى لِ ْل ُمتقِين‬
َ ‫ك ال ِكتاَبُ الَ َر‬
َ ِ‫َذل‬
“Kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan isinya petunjuk bagi orang yang bertakwa.”
Dari ayat itu jelaslah, al-Qur’an dijadikan petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Artinya,
segala gerak kehidupan manusia di dunia sudah dijelaskan oleh Allah swt dalam al-Qur’an.
2525
Dr. Ahmad al-Sarbashi, Loc. cit.
2626
Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi. Loc. cit.
2727
Muhammad Abi Hamid al-Ghazâli, al-Arbain fi Ushûl al-Dîn, Dar al-Jayl Beirut, h. 186.
Manusia diberi kebebasan memilih tindakannya, tapi kebebasan itu dibatasi oleh
tanggungjawab manusia itu sendiri, sesuai petunjuk al-Qur’an dalam memanfaatkan
kebebasan itu. Tegasnya, kebebasan merupakan hak asasi manusia yang diberikan Allah swt.
Manusia bebas berbuat apa saja asalkan dibarengi tanggungjawab. Kisah Nabi Adam as
kiranya bisa menjadi contoh tentang kebebasan manusia, karena ditilik dari konteksnya,
Allah swt. menunjukan bahwa manusia diberi kebebasan bertindak dan berpendapat, namun
ia juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Jika manusia melanggar
kebebasan itu, ia harus berani menanggung resiko. Nabi Adam as diberi kebebasan mereguk
kenikmatan surgawi, tapi kebebasan itu tetap dibatasi pada buah khuldi. Buah itu membatasi
gerak Adam as. dalam menikmati kebebasan hidup di surga. Karenanya, ketika Nabi Adam
as. memakan buah terlarang itu, ia dihukum keluar dari surga sebagai bentuk tanggungjawab
atas pelanggaran yang dibuatnya.
Dalam sejarah manusia, banyak ditemukan berbagai penindasan terhadap hak asasi
seperti penindasan terhadap kelompok lemah, atau penjajahan negara kuat terhadap negara
lemah. Semua ini adalah hasil pekerjaan setan yang selalu menggoda manusia untuk berbuat
dosa, termasuk memperkosa hak asasi manusia. Seperti kehidupan pra Nabi di muka yang
dikenal dengan masa jahiliyah. Zaman itu sangat kacau di mana dunia mengalami peradaban
yang masih rendah yang dihiasi huru hara, perampokan, pembunuhan, perampasan hak asasi
dan lain sebagainya.
Di atas telah dijelaskan bukti sejarah yang menunjukan hampir di segenap penjuru
dunia mengalami perbudakan. Perbudakan di bumi tak akan berhenti selama masih ada
manusia yang ingin menguasai yang lainnya. Baharudin Lopa menyebutkan beberapa
pelanggaran yang terjadi di Timur Tengah, kejadian di Uni Soviet yang diikuti dengan
tindakan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Chechnya, pembantaian
pemberontak Serbia terhadap golongan Muslim Bosnia, dan perkosaan hak asasi manusia di
belahan dunia lainnya, merupakan bukti masih berlangsungnya perbudakan dalam bentuk
baru yang lebih kejam. Perbudakan di abad modern ini tidak lagi dalam bentuk klasik seperti
kerja paksa. Caranya relatif halus, tetapi menggerogoti hak-hak rakyat yang menimbulkan
kesengsaraan.28
Hal itu semua berbeda dengan prinsip Islam yang memandang manusia adalah
sederajat. Islam tidak membedakan bangsa, warna kulit, maupun asal-usul. Hal tersebut
sangatlah logis, karena manusia yang sumbernya sama tentu pula statusnya sama. Tetapi
manusia diberi kebebasan untuk berkompetisi beramal sehingga yang membedakan di antara
2828
Pr. Dr. H. Baharudin Lopa, S.H, Op. cit, h. 22.
mereka hanya ketakwaannya. Di mata Allah swt, manusia, hak, kewajiban dan kedudukannya
adalah sama. Namun demikian, Allah membedakan antara manusia hanya dalam kalkulasi
ketakwaan, sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Hujurat ayat 13:
َ ‫يَا أَيهُّاَالنَاسُ إِنا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوأُنث َى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبا ً َوقَبَائ َل لتِ َع‬
‫ارفُوا إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هللاِ أَ ْتقَ ُك ْم‬
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang pria dan
perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal (hidup rukun damai) sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu adalah yang paling bertakwa diantara kamu.”

Kembali ke awal. Sebenarnya tentang budaya perbudakan, Islam sejak awal sudah
mengatur secara komprehensif. Di antara beberapa prioritas Islam yang merefleksikan ayat
di muka adalah membangun kesetaraan derajat antar manusia. Sudah disinggung bahwa
filsafat Yunani dengan ‘kecemerlangan pikirannya’ meyakini kebaikan sistem perbudakan!
Demikian juga ajaran-ajaran agama lain yang didukung dan diasuh oleh tukang-tukang
tenung dan pendeta. Dunia dibiarkan dalam kegelapan bertahun-tahun. Habis gelap datanglah
terang. Baru setelah itu tiba zaman Nabi Muhammad saw. Dari Beliau manusia mendengar
bahwa semua manusia adalah saudara dan setara.
Boleh dikata, peradaban manusia mengalami peningkatan status strata dan sosial, bila
ditilik dari sama-sama bebas mengekpresikan aksinya (hurriyah). Dengan kehadiran Islam,
unsur diskriminasi sosial (perbudakan) disetarakan statusnya dengan manusia yang lain.
Bandingkan dengan tradisi pra-Islam yang sangat kejam dan bengis terhadap seorang budak.
Kebebasan manusia, menurut pandangan Syeh Muhammad Thahir dalam, Maqâsid al-
Syar’iyah al-Islamiyyah, merupakan bagian tak terpisahkan dalam ranah hukum Islam,
karena hal itu semata-mata refleksi kebebasan natural fitrah manusia, dan demi tercipta
kesetaraan derajat antar manusia (musawah, equality). Mengenainya, sayidina Umar pernah
menuturkan: “Kenapa kamu memperbudak manusia, padahal ibu-ibunya telah melahirkannya
dalam keadaan merdeka”. Komentar itu bukanlah pertanyaan yang butuh jawaban. Secara
eksplisit menegaskan bahwa kedudukan manusia sebagai mahluk merdeka merupakan produk
fitrah yang dibawa sejak lahir. Statemen sahabat Umar ini menunjukkan bahwa sejak awal
Islam telah mengatur dari apa yang terdapat dalam Declaration Des Droits de L’home et du
Citoyen 1789, deklarasi HAM dan hak warga negara Prancis yang berisi pengakuan bahwa
setiap manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka.
Dalam catatan yudisial Islam, banyak pesan-pesan religi yang disampaikan para
pakarnya bahwa syariat sangat berharap akan terwujudnya kemerdekaan manusia secara
nyata. Tesis ini merupakan hasil analisis syariat yang menawarkan tujuannya yang paling
pokok adalah menghapus perbudakan manusia. Akan tetapi cara Islam menjaga kebaikan
universal (mashlahah al-am) dan melindungi aturan-aturan yang berlaku dengan cara
adaptasi. Upaya itu untuk mengimbangi konvensi sosial masyarakatnya yang berasumsi
bahwa perbudakan adalah legal dan beraturan.29

Budak di Bawah Payung Islam


Setelah kehadiran Islam, nasib budak mulai tercerahkan. Kekejaman dan kebengisan
manusia pra-Islam yang bertindak semena-mena terhadap budak sudah berkurang tajam.
Islam datang menyampaikan berita kebaikan dan merekonstruksi tatanan budaya lama yang
sangat memarginalkan posisi budak. Islam juga tidak mengenal kesalahan apapun yang boleh
dijadikan dalih memperbudak manusia yang pernah dilegalisasi pada zaman Romawi kuno.
Banyak sumber referensi transferensial (dalil naqli) dalam hukum Islam yang
menganjurkan penghormatan hak-hak budak serta memberikan ruang kebebasan terhadap
manusia secara universal.
Dalam hal ini Allah swt telah memfirmankan kepada manusia tentang etika pergaulan
secara humanis terhadap budak, sebagaimana dalam surat al-Nisa, ayat 36 yang berbunyi;
ِ ُ‫ا َ ِر ال ُجن‬Œ‫رْ ب َى َوالج‬ŒŒُ‫ار ِذي الق‬
‫ب‬ ِ Œ‫الج‬
َ ‫ين َو‬ َ ْ‫ر‬Œُ‫ ِذى الق‬Œ‫انا ً َوب‬Œ‫َين إِحْ َس‬
ِ ‫ا ِك‬Œ‫بى َواليَت َمى َوال َم َس‬ ِ ‫د‬Œِ‫يْئا ً َوباِال َوال‬Œ‫ ِه َش‬Œِ‫َوا ْعبُدُواهللاَ َوالَ تُ ْش ِر ُكوا ب‬
‫ت أَي ْماَنُ ُك ْم‬
ْ ‫ب َوا ْب ِن ال َسبِي ِل َو َما َملَ َك‬
ِ ‫لج ْن‬
َ ِ ‫ب با‬
ِ ‫صا ِح‬َ ‫َوال‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh, teman-teman sejawat dan hamba sahayamu.”

Ayat itu mengilustrasikan norma-etik pergaulan dengan budak tanpa merendahkan


derajatnya sebagai manusia. Pokok konstruk sosial yang diback-up oleh ‘matrik sosial’ Islam,
tidak mengenal diskriminasi apapun. Islam melindungi hak budak sebagai makhluk hidup
yang tidak dilarang menyerap udara dunia tanpa merasa termarginalkan. Tradisi kebiadaban
terhadap mereka yang menjadi wewenang absolut tuannya yang berjalan mulus, tanpa ada
yang peduli dengan penderitaannya, bahkan termotifasi oleh undang-undang negaranya, telah
terhapus oleh ajaran Islam yang mengangkat tinggi-tinggi persamaan hak manusia. Tidak
boleh bagi tuannya bertindak seenaknya tanpa mengenal batas manusia.

2929
Syekh Muhammad al-Thahir bin ’Asyur (Ed) Muhammad Thahir al-Maysawi, Maqâsid al-Syari’at al
-Islamiyyah, Dar al-Nafais, cet. I, 1421 H/2001 M., h. 392.
Keseriusan Islam dalam menjaga hak manusia budak, bukan hanya tercermin dari sisi
keharusan memberikan didikan, bimbingan dan sarana hidup ideal (pakaian, makanan yang
sama dengan tuannya), bahkan Islam melarang menyebut budak-budak mereka dengan
sebutan dan nama yang merendahkan derajat, tapi dengan sebutan akrab, dengan bahasa
manusiawi yang kedengaran tidak melecehkan derajat kemanusiaan. Apalagi bentuk tindakan
aniaya menyakitkan yang lain.30
Budak yang terayomi Islam memiliki taraf hidup yang sama dengan yang non-budak.
Seorang majikan dituntut pula menyalurkan harta yang dikaruniakan Allah swt. kepadanya,
untuk dijadikan modal pertama setelah ia memulai hidup sebagai orang merdeka. Pesan itu
disampaikan dalam surat al-Nur ayat 33:
‫ت أَي ْماَن ُكم فَ َكاِتبُوهُ ْم ِإ ْن َعلِ ْمتُ ْم فِي ِه ْم خَيرًا َواَت ُوهُ ْم ِم ْن َما ِل هللاِ الَ ِذي أَتا َ ُك ْم‬
ْ ‫ب ِم َّما َملَ َك‬
َ َ ‫َوالَ ِذينَ يَبْت ُغونَ ال ِكتا‬
“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu
buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan
berikanlah pada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.”

Hikmah Penetapan Budak


Mungkin banyak menghadirkan keganjilan dan kegundahan. Kehadiran Islam
dideklarasikan untuk memperbaiki konstruk budaya dan membahagiakan manusia baik untuk
kehidupan dunia maupun akhiratnya. Sementara kesenangan manusia, mungkin klimaks dari
segala kenikmatan adalah nikmatnya merdeka (kebebasan), yang seandainya sifat merdeka
itu tidak diperoleh maka yang terbayangkan hanya kepahitan dunia. Sebagian orang yang
memilih mati daripada hidup hina dan diperbudak. Tapi kenapa Islam tidak menghapus
budaya perbudakan sebagaimana ia meniadakan budaya kuno yang terkesan mengurangi rasa
kenikmatan sebuah kemerdekaan? Perlu diketahui, pembawa syariat Islam merupakan hakim
yang pandai beradaptasi. Karenanya, syariat tidak spontanitas menghapus budaya yang
mengakar di hati masyarakatnya. Coba bayangkan! Justru seandainya Nabi saw. menghapus
perbudakan secara frontal, niscaya akan banyak menerima kritikan dan demonstrasi. Oleh
sebab itu, syariat tidak menghapus dengan spontan, akan tetapi dengan cara lain yang bisa
diterima masyarakat yang masih menginginkan perbudakan dan yang tidak menghendaki
perbudakan. Perbudakan hanya dapat terhapus dengan perubahan wawasan. Rasulullah saw
memperjuangan pembebasan budak juga secara berangsur-angsur (gradual).
Usaha mengenyahkan praktik perbudakan ini ditempuh Islam melalui cara
menganjurkan memerdekakan budak sebagai bentuk nilai ritualitas, persyariatan hukuman-
3030
Sayyid al-Sabiqi, al-Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fikr, vol. III, h. 88.
hukuman dalam Islam yang berupa memerdakakan budak, meminimalisir faktor penyebabnya
yang hanya bisa diperoleh dari tawanan perang. Upaya Islam ini merupakan hal yang luar
biasa mengingat pada masa pra-Islam budak bisa didapatkan dengan cara apa saja. Dengan
demikian, hukum asal praktik perbudakan dalam Islam adalah “tidak dibolehkan”. Akan
tetapi ketika kaum Muslimin berada dalam situasi dan kondisi darurat dilematis, di mana
mereka mendapatkan teror dan serangan dari Non-muslim, maka memperbudak orang-orang
yang memusuhi umat Islam merupakan solusi alternatif yang mampu meruntuhkan mental
orang kafir.31
Lagi pula, sumber perbudakan pasca Islam yang tersisa hanya dari para tawanan
perang. Orang-orang yang kalah dalam peperangan akan menghadapi hari depan yang suram,
bahkan mereka membayangkan perbudakan lebih ringan dari pada nasib buruk lain yang akan
menimpa mereka. Dalam Perang Dunia kedua, tidak diketahui bagaimana nasib beribu-ribu
tawanan Rusia yang jatuh ke tangan-tangan orang Jerman, atau beribu-ribu tawanan Jerman
yang jatuh ke tangan orang-orang Prancis. Jika keadaan seperti itu dapat terjadi di masa
sekarang, bagaimanakah dugaan anda mengenai apa yang terjadi di zaman silam?.32
Lalu mengenai alasan kenapa Islam tidak sekalian menghapus perbudakan dari tawanan
perang, lebih karena berlandaskan konvensi normatif sosial saat kelahiran Islam. Masyarakat
pada saat itu merasa senang memperbudak tawanan dan beranggapan hal itu dapat menambah
kekuatan. Sementara tujuan prima Islam ialah menghentikan kesewenang-wenangan dan
menciptakan keadilan antara komunitas kuat dan lemah, dengan cara memperluas sayap
hegemoni Islam dan menyebarluaskan pemeluknya di belahan dunia. Masalahnya ketika
Islam ingin menggapai cita-citanya menyelematkan manusia dengan mengislamkan dengan
cara perang, kemudian terburu tersebar berita sampai mendunia tentang jaminan keselamatan
para tawanan dari pihak lawan, padahal yang terbersit di benak kelompok yang menang dan
yang paling ditakuti pihak yang kalah adalah ditawan dan diperbudak. 33

Tawanan Perang, Budakkah?


Bagaimanapun keadannya, kenyataan membuktikan bahwa Islam sejak perang pertama
telah menunjukan terhadap dunia bahwa ia memiliki prinsip yang jauh lebih baik dan lunak

3131
Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatih. Op. cit. h. 388.

3232
Muhammad al-Ghazâli. Op. cit, h. 105.
33 33
Alasan ini meski dikaji kembali, karena misionaris Islam lebih menghendaki diterimanya Islam, tertatanya
komunitas sosial dan diikuti akidahnya, sama sekali tidak dengan cara menakut-nakuti akan memperbudak. Seandaiannya
latar masuk Islamnya seseorang itu pengaruh rasa takut akan diperbudak, tentu mereka akan mudah murtad dan kembali ke
semula, setelah penduduk Arab kembali menguasai orang Muslim. Disamping itu, tidak benar alasan itu jika dirujuk ke
realitas sejarah.
dalam memperlakukan tawanan perang. Tepatnya dalam perang Badar Nabi saw menerima
wahyu mengenahi tawanan perang, demikian bunyinya;
‫و ٌر‬ŒŒُ‫رْ لَ ُك ْم َوهللاُ َغف‬ŒŒِ‫ َذ ِم ْن ُك ْم َوي ْغف‬Œ‫ِما أُ ِخ‬Œََِّّ ‫يرًا م‬ŒŒَ‫ؤت ِكم خ‬Œْ Œُ‫يرًا ي‬ŒŒ‫وب ِكم َخ‬ŒŒُ‫فى قُل‬ ِ ُ‫ َرى إِ ْن يَ ْعلَ ِم هللا‬Œ‫في أَي ِد ْي ُك ْم ِمنَ األَ ْس‬ ِ ‫ِم ْن‬Œََِ ‫يَا أيها النبي قُلْ ل‬
‫ك فَقَ ْد خَ انُوا هللاَ ِم ْن قَ ْب ُل فَأ َ ْم َكنَ ِم ْنهُ ْم َوهللا ُ َعلِي ٌم َح ِك ْي ٌم‬
َ ‫ َوإِ ْن ي ُِريدُوا ِخيَانَت‬. ‫َر ِحي ٌم‬
“Hai Nabi! Katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada pada tanganmu: ‘Jika
Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu
yang lebih baik dari apa yang diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu’. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Akan tetapi jika mereka (tawanan-tawanan
itu) bermaksud berkhianat kepadamu, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada
Allah sebelum ini, lalu Allah menjadikan (mu) berkuasa terhadap mereka. Dan Allah Maha
Menegetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfâl: 70-71).
Mengenai penghianatan yang dimaksud ayat tersebut, menurut al-Nawawi al-Jawi
adalah sikap mereka dalam memegang janji terikat dengan Nabi saw. Ketika Nabi saw
melepaskan para tawanan, telah membuat kesepakatan untuk tidak mengulangi perbuatannya
lagi, dan akan memihak Nabi saw dalam peperangan. Tapi karena sebelumnya mereka
berkhianat dengan ikut memerangi kelompok Muslim maka Nabi pun tidak tinggal diam,
memerintahkan umatnya untuk melumpuhkan kekuatan mereka dengan cara dibunuh dan
ditawan.34
Lain dengan yang dituturkan al-Ghazali. Menurutnya, penghianatan itu ialah sikap
kaum musyrik terhadap kemerdekaan beragama dan kebebasan manusia. Sikap mereka saat
itu sangat bebal, keras kepala, congkak, dan sangat bengis. Sikap demikian bukan hanya pada
kaum penyembah berhala saja. Waktu itu kaum Ahli Kitab35 sikapnya lebih buruk dan lebih
dzalim. Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 145;
َ َ ‫َولَئِ ْن أَتَيْتَ الَ ِذينَ أُوت ُو ال ِكتا‬
َ ‫ب ب ُكلِّ أَيَ ٍة َما تَبعُوا قِ ْبلَت‬
‫ك‬
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) seluruh ayat (ketrangan), mereka pun tidak
akan mengikuti kiblatmu.”
Demikian masalahnya, kendati tak seorang pun memaksa mereka supaya masuk agama
Islam, mereka belum merasa cukup kalau hanya itu saja. Mereka malah merintangi orang
yang hendak memeluk Islam dan menganiaya kaum Muslim yang masih lemah, sampai Allah
swt menurunkan ayat untuk memperingatkan mereka.36

3434
Muhammad Nawawi al-Jawi, Tafsir al-Munîr, Libanon: Dar Ibn Abud, vol. I, h. 362.
3535
Ahli Kitabi adalah sebutan untuk para penganut kitab Taurat dan Injil, atau orang-orang yang beragama Nasrani
dan Yahudi.
3636
Syekh Muhammad al-Ghazali. Loc. cit.
َ‫ص ُّدونَ ع َْن َسبِ ْي ِل هللاِ َم ْن أَ َمنَ تبَ ُغونَهَا ِع َواجًا َوأَنتُ ْم ُشهَدَا ُء َو َما هللا ُبِغَافِ ٍل َع َّما تَ ْع َملُون‬ ِ ‫قُلْ يَا أَ ْه َل ال ِكتا‬
ُ َ‫ب لِ َم ت‬
“Katakanlah ‘Hai Ahli Kitab, kenapa kalian menghalang-halangi jalan Allah,
merintangi orang-orang yang beriman dan menghendaki jalan yang tidak lurus (bengkok),
padahal kalian sendiri menyaksikan (kebenaran itu). Sungguh, Allah tidak lalai dari yang
apa kalian perbuat.” (QS. Ali ’Imran: 99).

Betapapun beratnya penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh kaum salaf (generasi
pertama umat Islam), namun mereka tanpa bimbang dan ragu terjun ke dalam peperangan
melawan musuh. Pada saat itu perbuatan orang-orang kafir terhitung keterlaluan. Mereka
tidak segan-segan memprovokasi orang Muslim yang percaya betul dengan Allah swt.,
Muhammad saw. dan kitab al-Qur’an. Permainan bahasa mereka dijadikan alasan akan
kebenaran agamanya. Di antaranya adalah pengakuan jika agama Nashrani terhapus berarti
menunjukan agama itulah yang pertama. Mereka juga berani membelokkan kandungan kitab
Taurat, untuk mendasari akan ajaran agamanya yang dianggap syariat abadi. Karena
sebenarnya mereka tahu bahwa di dalam kitab Taurat Allah swt. hanya mengakui Islam
sebagai agama yang sah.37
Peraturan perang dalam Islam ketika musuh tidak mempunyai cakar lagi dan agresinya
telah dilumpuhkan, umat Islam boleh membebaskan atau minta tebusan dari orang-orang
yang kalah perang atau yang telah jatuh sebagai tawanan. Mungkin ada sebagian orang yang
ngeri mendengar ‘pancunglah batang-leher mereka’, dalam surat Muhammad ayat 4.
Demikian bunyi ayat itu;
َ َ‫ض َع ال َحرْ بُ أَوْ ز‬
‫ارهَا‬ َّ ‫ق فَإ ِ َّما َمنًّا بَ ْع ُد َوإِ َّما فِدَا ًء َحت‬
َ َ‫ى ت‬ َ ‫ى إِ َذا أَثخَ ْنتُ ُموهُ ْم فَ ُش ُّدوا ال َوثا‬ ِ ‫الرقَا‬
َّ ‫ب َحت‬ ِ ‫ب‬ َ َ‫فَإ ِ َذا َلقِيتُ ُم الَ ِذينَ َكفَرُوا ف‬
َ ْ‫ضر‬
“Apabila kamu bertemu dengan orang kafir (di medan perang) maka pancunglah
batang-leher mereka. Sehingga apabila kalian telah mengalahkan mereka, maka tawanlah
mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai
perang berhenti.”

Tetapi kengerian itu akan lenyap setelah dia mengetahui sebabnya. Yaitu seorang Arab
pengekor Romawi dan berkedudukan sebagai penguasanya di bagian Utara Jazirah Arabia
menangkap seorang Muslim utusan Rasulullah saw yang membawa sepucuk surat kepadanya.
Surat itu berisi ajakan kepadanya untuk memeluk Islam. Penguasa itu bertanya: “Benarkah
engkau membawa surat dari Muhammad”? Utusan itu menjawab; “Ya benar”. Tanpa

3737
Muhammad al-Nawawi al-Jawi. Op. cit., h. 123.
bertanya lagi penguasa itu langsung memanggil algojo untuk memenggal utusan Nabi saw
tersebut.38
Membawa surat yang berisi ajakan halus dan lembut supaya mudah diterima penguasa
itu dipandangnya sebagai kejahatan dan segera dijatuhi hukuman mati!. Perlakuan apakah
yang pantas diberikan kepada antek kolonialisme Romawi yang despotis-anarkis itu? Tidak
ada yang lain kecuali perang. Setelah itu Allah swt. berfirman tertuju pada kaum Muslim,
yang menyatakan; “Setelah itu kalian boleh membebaskan mereka, atau menerima tebusan,
hingga perang berhenti.”
Pada titik inilah keragaman pendapat ulama dalam menentukan apakah boleh seorang
tawanan menjadi budak? Mayoritas ulama menyimpulkan ayat tersebut tidak terhapus
(mansukh). Namun di antara mereka berselisih dalam menentukan tindakan terhadap
tawanan. Ada yang menyatakan bahwa maksud ayat itu menjelaskan tentang dibolehkannya
seorang pemimpin menentukan nasib tawanannya dengan memilih antara membebaskan dan
meminta tebusan. Pendapat ini didukung Imam Syafi’i. Beliau menambahkan opsi, yakni
seorang pemimpin boleh memilih empat opsi ketika memperlakukan tawanan; boleh
membunuh, membebaskan, meminta tebusan, dan menjadikan budak. Tegasnya, sebagaimana
yang diungkapkan Ibnu Katsir, masalah ini (empat opsi) berkisar dalam ranah yudisial
Islam.39
Jadi jelaslah bahwa tawanan perang tidak selalu menjadi sumber perbudakan,
sebagaimana yang lazim pada abad-abad sebelumnya. Perlakuan terhadap tawanan perang
tidak ditetapkan oleh perundang-undangan setempat, atau hanya ditentukan satu pihak.
Persoalan itu ditentukan oleh semua pihak yang berkepentingan langsung, melalui kerjasama
dan saling bantu atas dasar prinsip saling menghormati nilai-nilai tertentu. Yang menjadi
pertanyaan apakah kaum Muslim zaman dahulu melihat adanya prinsip seperti itu di kalangan
musuh mereka? Jawabannya adalah tidak! Musuh Muslim adalah para penyembah berhala
dan para Ahli Kitab yang tidak memberi hak hidup kepada Islam dan kaum Muslim. 40
Hingga dunia mencapai saling pengertian tentang cara-cara manusiawi dalam
memperlakukan tawanan perang, Islam merupakan satu-satunya pihak yang telah memiliki
ajaran tentang perlunya bersikap lembut terhadap orang-orang yang malang itu, yaitu tentang
persaudaraan manusiawi, sikap kasih sayang sebagai pengganti sikap keras, dan lain
sebagainya.

3838
Muhammad al-Ghazâli. Op. cit., h. 107.
3939
Isma’il bin ‘Umar bin Katsîr al-Dimisyqa Abu al-Fida’. Op. cit., vol. IV, h. 174.
4040
Muhammad al-Ghazali. Loc. cit.
Sebagai catatan, kelompok kafir modern meski tidak terang-terangan memusuhi Islam,
mereka selalu siaga menghancurkan Islam. Tinggal bagaimana dengan kekuatan kita sebagai
orang Islam, apakah rela Islam dihancurkan dan dituduh sebagai teroris. Pembunuhan
karakter terhadap Islam dengan kecanggihan media Barat bukan hal aneh. Namun sungguh
sayang, jika umat Islam sendiri mengiyakan. Padahal itu rekayasa orang kafir untuk
membunuh citra baik Islam. Karenanya, fight for Moslem people with jihad fi sabilillah!
Muslim sejati tentu tidak rela bila saudaranya tersakiti.

Realitas Moralitas USA


HAM PBB hanya gagasan pemikiran dan pandangan sebagai refleksi budaya Barat
saat itu, yang tidak memasukkan nilai-nilai agama. Sementara Islam dengan Kitab sucinya
bukanlah simbol kebesaran sejarah masa lalu, tapi sebagai the way of life, sebagai pijakan
pandangan hidup manusia. Jika kita mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai seorang
utusan Tuhan maka dengan sendirinya kita akan mengakui bahwa makhluk yang paling bisa
memahami kebaikan yang menular sampai ke rumah abadi (akhirat) adalah Nabi. Kebaikan
dan kejelekan tidak dapat ditebak dengan jalan empiris layaknya seorang dokter yang tahu
akan obat sebuah penyakit. Pengetahuan itu pun diperoleh atas data empiris yang hanya pada
sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang.
Oleh sebab itu, setiap manusia berakal budi akan menerima dan mengakui rasio tidak
dapat menjangkau kehidupan alam baqa’; kehidupan pasca kematian, tidak mengetahui arti
manfaat dan bahayanya ketaatan dan kedurhakaan. Apalagi sampai detail dan spesifik. Yang
tahu akan hal itu hanyalah Allah Yang Maha Tahu. Syariat sebagai aturan agama yang
diamanatkan kepada manusia bukanlah buatan manusia akan tetapi itu sebagian kecil
pengetahuan Tuhan yang disalurkan untuk dipahami manusia. Hanya wahyu-Nya yang
diberikan pada Nabi Muhammad saw yang bisa mengatur, mengarahkan, dan memberitakan
esensi kebaikan dan kejelekan tingkah-perbuatan.41
Fleksibelitas, perkembangan, dan aktualitas syariat Islam seringkali dipahami tidak
sebagaimana mestinya oleh sebagian orang. Dengan kata lain, sebagian mereka telah salah
memahami, yaitu bahwa Islam tidak menolak sama sekali pembaharuan sepanjang menurut
mereka dianggap baik dan membawa keuntungan, tanpa mengemukakan dalil-dalil atau dasar
hukumnya. Disamping itu mereka kurang cermat dalam melihat, apakah pembaharuan
tersebut benar-benar membawa manfaat dan kebaikan atau tidak.

4141
Imam Ghazali, Iljâm al-‘Awam ’an al-‘Awam, Beirut Libanon: Dar al-Fikri al-Banani, h. 81.
Jika diamati, Deklarasi HAM alam semesta hanya keputusan konvensi normatif
manusia yang dirasa sebagai wujud perubahan pola pikir budaya yang bosan dengan konstruk
sosial yang berlaku, yang dianggap bertenaga memperbaiki kondisi dunia yang porak
poranda. Namun sungguh sangat disayangkan, konvensi tersebut tidak merekrut nilai-nilai
religius, padahal daya jangkau rasio yang terbatas dan variatif tidak akan mampu
merumuskan norma-etika mujarab untuk mengatasi kompleksitas problema dunia, tanpa
merujuk pada pesan-pesan Tuhan. Sehingga apa yang dicita-citakan, selamanya akan tetap
menjadi cita-cita.
Bagi umat Muslim yang panduan hidupnya al-Qur’an, lebih baik meneliti lebih dalam
apakah HAM versi PBB selaras dengan pesan-pesan syariat Allah swt., bila dibenturkan
dengan tujuan syariah Islam, yang termasuk di antara sasarannya adalah menjaga
kemaslahatan manusia: jika untuk kebaikan manusia berarti akan ditolerir, dan tidak jika
sebaliknya. Semua itu butuh analisa mendalam, karena kemaslahatan manusia dalam
pandangan Islam tidak sesempit yang dibayangkan banyak orang. Islam lebih hirau akan
keselamatan manusia di hari akhirat di samping tidak menyiakan kebaikan dunia.
Realitas dunia tanpa canggung menyatakan bahwa Amerika Serikat, yang katanya
berjuluk negara adikuasa yang memback-up PBB, ternyata tidak mampu membawa teladan
apa-apa. Alwi Shihab dalam buku Islam Inklusif-nya menulis contoh kecil yang
menggambarkan keprihatinan kehidupan di sana, adalah pengakuan siswa SMU di salah satu
kota kecil di negara bagian Connecticut, bahwa 72% dari mereka minum minuman keras,
sebagian bahkan melakukannya dihadapan orang tuanya. Selain itu, menurutnya, 40% dari
mereka sering mabuk, 24% menghisap marijuana dan 18% menggunakan obat terlarang
lainnya. Begitu pula praktek kumpul kebo, di Amerika masa kini, merupakan realitas hidup.
Hasil survey US news and World Report menerangkan bahwa mayoritas bangsa Amerika
menyetujui hidup bersama tanpa nikah sebagai media uji coba untuk mendapatkan pasangan
idaman. Kebebasan tanpa batas orang Barat tidak layak ditiru umat Muslim yang diperintah
membangun dunia dengan kebijakan pedoman kitab suci al-Qur’an.
Tak jarang HAM hanya dijadikan tameng untuk kepentingan politik pihak tertentu.
Seperti yang baru kita saksikan, betapa kejam dan congkaknya invansi Amerika terhadap Irak
dengan tuduhan menyimpan bom pemusnah masal (hanya topeng belaka, karena ternyata
tidak ada bukti) serta tuduhan pelanggaran HAM, yang banyak memakan korban rakyat sipil
tak bersalah. Tapi ironisnya, organisasi dunia sebagai pemegang otoritas HAM tidak
merespon secar memadahi dengan menghukum Amerika yang nyata-nyata sebagai pelanggar
sebenarnya. Jika demikian, apakah struktur sosial kacau balau seperti ini yang diinginkan
manusia, yang tidak lebih dari sebuah produk hukum untuk melegalisir ‘nafsu serakah’
manusia belaka?!.
Islam sebagai ajaran Tuhan, tidak melibatkan manusia dalam menentukan hukum,
sehingga syariatnya pun murni inisiatif Allah, bersifat teosentris (diyanah). Berdasarkan
analisa ulama, skriptualitas al-Qur’an telah melahirkan ide-ide cemerlang mengenahi
kedudukan manusia dalam membina diri sendiri (personal) dan lingkungan (interaksi sosial).
Sehinggga yang terkesan dalam syariat Islam adalah keseimbangan antara kebebasan sebagai
manusia dan pengakuan sebagai makhluk Tuhan yang harus patuh dan tunduk kepada-Nya.
Tegasnya, Allah swt. telah berpesan dalam al-Qur’an mengenahi keberadaan-Nya
yang tidak menghendaki manusia untuk menjalankan aktifitas-ritualitas kecuali mengimbangi
kadar kekuatannya. Demikian bunyi firmannya;
‫َوالَ نُ َكلِّفُ َن ْفسًا إِالَّ ُو ْس َعهَا‬
“Saya (Allah) tidak akan menuntut seseorang kecuali melihat kekuatannya.” (QS. al-
Mu’minun: 62)

Seseorang yang di buka hatinya oleh Allah swt akan melihat Islam bagaikan
perempuan cantik penenang hati, apapun permintaannya tak ada yang dianggap berat, sulit,
apalagi merasa diperbudak. Kebahagiaan yang bermacam-macam: kebahagian materi,
kebahagian mental, kebahagian intelektual dan kebahagian spiritual, belum ada setetesnya
kebahagian perjumpaan manusia dengan Dzat Yang Maha Indah. Karenanya, hanya mereka
yang masih terhalang hatinya, yang merasa terbebani dengan norma-norma religius Islam.
Wallahu a‘lam bi al-Shawab.

PRESFEKTIF ISLAM TENTANG KESEHATAN DAN KEBERSIHAN

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah kebersihan dan kesehatan,
sehingga hal tersebut dikaitkan dengan keimanan. Orang yang tidak menjaga kebersihannya
dan tidak perduli dengan kesehatan menandakan lemahnya keimanan. Bahkan tidak sekedar
kebersihan yang lebih dari tampilan luar (dhahir), jauh dan lebih dalam yang jadi perhatian
Islam adalah kesucian. Kehidupan yang tidak mengenal Tuhan dan ajaran Islam
menyebabkan kebodohan mengenai masalah ini. Orang-orang kafir terlihat bersih dan megah,
namun sebenarnya mereka tidak suci dalam pandangan Islam, sebagai contoh mereka yang
tidak cebok ketika buang air, mengkomsumsi minuman keras dan makanan yang tidak halal.
Oleh karena itu yang diutamakan dalam Islam dan yang disebutkan dalam hadits-hadits
adalah kesucian (Thaharah) tidak hanya bersih.

ْ ‫الطهُو ُر َش‬:‫وسلم‬
‫ط ُر ا ِإلي َما ِن‬ ُّ ِّ ‫ك األَ ْش َع ِر‬
‫ قَا َل َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه‬: ‫ قَا َل‬، ‫ي‬ ٍ ِ‫عن أَبِي َمال‬

Dari Abi Malik al-Asy`ari Rasulullah saw bersabda: Kesucian adalah setengah
keimanan (HR. Ahmad)

Islam sangat memperhatikan kesehatan dan kebersihan, hal tersebut dapat dilihat dari
aturan-aturan sederhana dalam kehidupan sehari-hari, mengenai adab-adab istinja, adab
makan minum, adab tidur dan sebagainya, telah secara lengkap dibicarakan dalam agama
Islam.

Pola hidup Nabi saw yang kemudian diikuti oleh para sahabat adalah pola hidup yang
paling sehat. Sejarah menuliskan bahwa Nabi saw dan sahabat adalah manusia-manusia yang
paling jarang sakit. Jika pola hidup Nabi saw diterapkan dalam kehidupan, maka hal tersebut
merupakan sumber kebahagiaan dunia sampai akhirat.

A. Adab Istinja
1. Hukum Istinja
Imam Asy Syafi’i berkata : Tak ada kewajiban istinja atas seseorang yang
wajib berwudhu kecuali karena ia buang air besar atau kencing, sehingga ia harus
beristinja dengan batu atau air.

Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rosululloh SAW berkata, “Sesungguhnya aku


seperti orang tua bagi kalian, karena itu bila salah seorang dari kalian pergi untuk
buang air besar, maka janganlah menghadap qiblat dan jangan pula membelakanginya
dengan buang air besar atau kencing. Beristinjalah dengan tiga batu”. Beliau melarang
beristinja dengan tahi dan tulang basah dan juga melarang beristinja dengan tangan
kanannya.

Dari Tsabit dari bapaknya bahwasanya Rosululloh SAW memerintahkan


istinja dengan tiga batu dan melarang dari tahi dan tulang basah, melarang istinja
dengan tangan kanan. Tiga batu tersebut tak ada tahinya.

Fukaha Syafi'iyyah : Istinja wajib karena kencing, tinja dan segala najis yang keluar
dari salah satu dua jalan. Itu merupakan syarat sahnya sholat, berdasarkan hadits Abu
Hurairoh bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bersihkan dari kencing, karena umumnya adzab
kubur karena kencing"
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rosululloh SAW berkata, “Sesungguhnya aku
seperti orang tua bagi kalian, karena itu bila salah seorang dari kalian pergi untuk
buang air besar, maka janganlah menghadap qiblat dan jangan pula membelakanginya
dengan buang air besar atau kencing. Beristinjalah dengan tiga batu”. Beliau melarang
beristinja dengan tahi dan tulang basah dan juga melarang beristinja dengan tangan
kanannya.

Dari Salman berkata : Rosululloh SAW melarang kami beristinja kurang dari
tiga batu.

Dari Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda, "Bila salah seorang di antara kalian
pergi buang air, maka bawalah tiga bantu untuk beristinja, karena itu mencukupi"

Dari Ibn Abad bahwa Nabi SAW melewati du kuburan, lalu bersabda,
"Keduanya sedang disiksa, tetapi keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Orang
pertama suka mengadu domba, sedangkan yang lain tidak membersihkan diri dari
kencingnya"

Karena kencing merupakan najis yang umumnya tidak diikuti dengan kesukaran
dalam menghilangkannya, sehingga tidak sah sholat dengan ada kencing seperti juga
najis-najis lain.

Abu Hanifah menyatakan bahwa istinja itu sunnah. Itu juga merupaka riwayat
dari Malik dan diceritakan oleh Al Qodhi Abuth Thoyyib, Abush Shobbagh, Al
Abdari dan lain-lain dari AL Muzanni. Abu Hanifah menjadikan ini prinsip untuk
semua najis, sehingga segala najis yang besarnya sedirham, maka dimaafkan. Bila
lebih, maka tidak dimaafkan. Demikian pula dalam hal istinja. Bila sesuatu yang
keluar lebih dari sedirham, maka istinja dengan air dan tidak boleh dengan batu.
Hujjahnya adalah :

Dari Abu Hurairoh bahwa Nabi SAW bersabda, "Barang siapa beristinja,
maka ganjillah. Siapa yang lakukan, maka ia telah berbuat baik, tetapi siapa yang
tidak lakukan, maka tidak apa-apa" Diriwayatkan oleh Ad Darimi, Abu Dawud dan
Ibn Majjah dan merupakan hadits hasan.
Karena itu merupakan najis yangtidak wajib dihilangkan bekasnya, maka demikian juga
bentuknya seperti juga darah nyamuk. Karena itu tidak wajib dihilangkan dengan air, maka
tidak wajib pule dengan lainnya. Al Muzanni berkata : Kita sepakat bolehnya mengusap
dengan batu, sehingga tidak wajib menghilangkannya seperti mani.

Jawaban untuk hujah mereka dengan hadits adalah bahwa tidak apa-apa
meninggalkan bilangan ganjil dan itu dibawa pemahamannya pada ganjil yang lebih dari tiga
batu, dengan menggabungkan antara hadits ini dan hadits-hadits lain. Adapaun terhadap qiyas
mereka dengan darah nyamuk adalah bahwa itu merupakan kesulitan yang besar, lain halnya
dengan istinja. Karena inilah hadits-hadits saling menguatkan perintah beristinja, tetapi tidak
ada hadits perintah mengholangkan darah nyamuk. Qiyas Al Muzanni dengan mani juga
tertolak, karena mani suci sedangkan kencing najis.

Imam Asy Syafi'i berkata : Tidak wajib istinja bagi orang yang tidur atau keluar angin dari
dirinya.

Fukaha Syafi'iyyah : Bila keluar kerikil atau cacing yang tidak basah, maka dalam
hal ini ada dua pendapat. Pertama wajib beristinja, karena tidak mungkin terhindar dari basah.
Kedua, tidak wajib, dan inilah yang paling shohih, karena itu keluar tanpa nasah sehingga
diserupakan denga angin. Ashab sepakat bahwa tidak wajib istinja karena angin, tidur,
bersentuhan dengan perempuan dan menyentuh dzakar. Berkata Asy Syaikh Nashr bahwa
bila bersitinja karena ini, maka itu bid'ah. Berkata Al Jurjani : Dimakruhkan istinja karena
angin.

Istinja sebelum berwudhu dan tayammum

Imam Asy Syafi'i berkata : Boleh beristinja dengan batu dalam wudhu bagi orang yang
mendapatkan air atau tidak. Bila seseorang buang air, namun tidak mendapatkan air dan ia
termasuk orang yang boleh melakukan tayammum, maka tidak boleh kecuali beristinja lalu
bertayammum. Bila ia bertayammum lalu beristinja, maka tidak boleh sampai tayammum
dikerjakan setelah istinja.

Ada pendapat Asy Syafi’i yang kedua bahwa boleh bertayammum sebelum istinja dengan
ketentuan bila ia beristinja sesudah tayammum, ia tidak boleh menyentuh dzakar dan juga
duburnya dengan tangannya.
Fukaha Syafi'iyyah : Bila ia berwudhu atau tayammum sebelum beristinja, lalu beristinja
dengan batu atau air, dan pada tangannya ada kain atau lainnya sekiranya tidak menyentuh
kemaluannya, maka dalam hal ini ada tiga pendapat.

Pertama, Asy Syafi'i menyatakan dalam Al Buwaithi bahwa sah wudhunya, tetapi tidak sah
tayammumnya. Ar Robi' mengatakan dari Asy Syafi'i dalam Al Umm bahwa tayammumnya
tidak sah.

Alasannya adalah bahwa tayammum tidak mengangkat hadats, tetapi hanya membolehkan
sholat karena najis buang air, sehingga tidak dibolehkan dengan tetap ada penghalang.
Tayammum berbeda dengan wudhu, karena wudhu mengangkat hadats, sehingga boleh
mengangkat hadats, padahal penghalang masih ada.

Kedua, tidak wudhunya dan tayammumnya.

Ketiga, sah wudhunya dan tayammumnya.

Ar Robi menyatakan pendapat lain dari Asy Syafi'i bahwa tayammunya sah. Al Muzanni
dalam Al Mantsur menukil dari Asy Syafi'I tentang sahnya tayammum dan wudhu, karena
menggabungkan dua pendapat.

Pendapat pertama merupakan pendapat shohih menurut Ashab dan telah ditetapkan oleh
kebanyakan mutaqoddimin dan mutakhirin. Abu Ishaq mengatakan bahwa pendapat yang
disebutkan oleh Ar Robi' tentang sahnya tayammum tidak dinyatakan oleh Asy Syafi'i, tetapi
hanya pendapat dirinya. Al Muhamili berkata : Ashab keliru memahami Ar Robi dalam hal
ini. Berkata Al Qodhi Abuth Thoyyib : Kelirulah orang yang menyebutkan ada perselisihan
pendapat dalam hal wudhu.

Menghilangkan bentuk najis

Imam Asy Syafi’i berkata : Bila ia mendapatkan batu, batu bata atau batu yang keras
dengan tiga sisi, lalu ia mengusap dengan tiap sisinya, maka itu seperti tiga batu. Bila ia
mengusap dengan tiga batu, lalu ia tahu bahwa itu menyisakan bekas, maka tidak boleh
kecuali ia tidak menyisakan bekas dengan pengusapan itu. Adapun bekas yang menempel
yang tidak dapat hilang kecuali dengan air, maka tak ada kewajiban membersihkan atasnya,
karena bila ia bersungguh-sungguh untuk membersihkannya, maka ia tidak akan dapat
membersihkannya kecuali dengan air.

Fukaha Syafi'iyyah : Harus menghilangkan bentuk najis hingga tidak tersisa bekas
menempel yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air. Ini dinyatakan oleh Asy Syafi'i
dalam Al Umm dan Mukhtashor Al Muzanni. Demikian yang dikatakan oleh ashab kecuali
Ash Shoimari dan penulis Al Hawi. Katanya : Bila tersisa sesuatu yang tidak bisa hilang
dengan batu tapi bisa hilang dengan tembikar lembut atau perca, maka dalam hal ini ada dua
pendapat. Pertama, ini merupakan lahiriah madzhab Asy Syafi'i dan pendapat kebanyakan
ashab, yaitu wajib menghilangkannya, karena hal itu mungkin tanpa air. Kedua, ini
merupakan pendapat sebagian mutaqoddimin, yaitu tidak wajib, karena yang wajib adalah
hilang dengan batu. Ar Ruyani merajihkan pendapat kedua. Itualah yang benar, karena syariat
tidak membebani padanya selain batu dan hadits-hadits shohih yang saling menguatkan
menyatakan cukupnya dengan batu.

Sesuatu yang tidak bisa menghilangkan bentuk najis tidak boleh untuk istinja, seperti kaca
dan arang, berdasarkan :

() Dari Ibn Masud berkata : Utusan jin datang kepada Nabi SAW, lalu mereka berkata, "Ya
Muhammad, laranglah umatmu untuk beristinja dengan tulang, tahi atau arang, karena Alloh
telah jadikan di dalamnya rejeki untuk kami", maka Nabi SAW melarangnya.

karena itu tidak bisa menghilangkan bentuk najis.

Ashab sepakat bahwa syarat benda yang digunakan untuk istinja adalah benda yang
dapat menghilangkan bentuk najis. Mereka sepakat bahwa kaca, bambu yang tidak beruas
dan yang serupa tidak mencukupi. Adapun arang, ulama Iraq menetapkan bahwa itu
mencukupi. Ulama Khurasan mengatakan : Teks Asy Syafi'i tentang hal ini berbeda-beda.
Pendapat yang shohih adalah dengan dirinci tergantung pada dua keadaan, karena hadits yang
melarang tidak shohih. Bila padat tidak terpecah-pecah, maka mencukupi, tetapi bila
berongga dan terpecah-pecah, maka tidak mencukupi.

Debu
Asy Syafi'I menyatakan dalam Al Buwaithi dan Mukhtashor Ar Robi' bolehnya istinja
dengan debu. Ashab mengatakab bahwa yang ia maksudkan adalah bila debunya berbatu
yang bias menghilangkan. Bila debunya lembut yang tidak dapat menghilangkan najis, maka
tidak mencukupi. Demikian yang dinyatakan oleh mayoritas, di antaranya Al Mawardi, Al
Furani dan Imam Al Haramain.

Tidak dimuliakan

Beristinja tidak boleh dengan barang-barang atau benda yang dimuliakan seperti:

1. Makanan

Benda yang dimuliakan berupa makanan, seperti roti dan tulang tidak boleh
digunakan untuk istinja, karena Nabi SAW melarang istinja dengan tulang dan bersabda :

"itu adalah bekala saudara-saudara kalian dari jin"

Bila melanggar dan beristinja dengan tulang, maka tidak mencukupi, karena istinja dengan
selain air itu merupakan rukhshoh, sedangkan rukhshoh tidak didapatkan dengan maksiat.

Ashab mengatakan bahwa termasuk benda-benda yang dimuliakan adalah kitab-kitab yang
terkandung ilmu-ilmu syariat. Bila beristinja dengan itu dalam keadaan tahu, maka berdosa,
namun dalam hal gugurnya kewajiban, ada dua pendapat. Pendapat yang benar adalah tidak
mencukupi. Berdasarkan pendapat ini, setelahnya boleh beristinja dengan batu.

2. Tulang

Imam Asy Syafi'I berkata : Tidak boleh juga dengan tulang, karena walaupun tulang tidak
najis, namun tidak bersih. Bersuci hanya dengan yang bersih suci.

Imam Asy Syafi'I berkata dalam Al Buwaithi : Tidak boleh beristinja dengan tulang binatang
sembelihan dan juga tidak boleh dengan tulang bangkai, karena adanya larangan dengan
tulang secara mutlak.
Imam Asy Syafi'I berkata dalam Al Mukhtashor : Perbedaan antara mencukupi beristinja
dengan tangan kanan dan tidak mencukupi beristinja dengan tulang adalah bahwa tangan
kanan merupakan alat dan larangan dengan kanan merupakan adab, dan istinja itu untuk
bersuci, sedangkan tulang tidak suci.

Fukaha Syafi'iyyah : Ashab berselisih tentang perkataan dalam Al Mukhtashor.

Pertama, ini merupakan kekeliruan Al Muzanni, padahal Asy Syafi'i hanyalah mengatakan
bahwa tulang itu tidak bersih, sebagaimana dalam Al Umm. Ini merupakan pendapat Abu
Ishaq Al Marwazi dan ditetapkan oleh Al Qodhi Abuth Thoyyib.

Kedua, nukilan dari Al Muzanni shohih. Perkataan tidak suci maksudnya adalah tidak
menyucikan. Ini merupakan takwil Abu Ali bin Abu Hurairoh.

Ketiga, Asy Syafi'I menyebutkan dua alasan tentang tulang yang najis, karena tulang yang
najis tidak boleh digunakan untuk istinja karena dua alas an. Pertama, tulang itu najis dan lain
dimakan. Tulang yang suci tidak boleh hanya karena tulang dimakan. Berkata Al Mawardi :
Ini merupakan takwil Abu Hamid Al Isfaraini. Al Azhari memilih pendapat pertama, yaitu
kekeliruan Al Muzanni, dan menjelaskan bahwa perbedaan antara bersih dan suci adalah
sesuatu yang mengeluarkan bau menyengat itu suci bukan bersih, yaitu seperti tulang dan
kulit binatag semelihan sebelum disamak.

3. bagian tubuh binatang

Bagian tubuh binatang seperti ekor keledai tidak boleh untuk istinja. Di antara ashab,
yaitu Al Mawardi dan Asy Syasyi mengatakan boleh, karena kemuliaan binatang terlaetak
pada larangan menyakitinya bukan larangan menggunakannya. Pendapat yang dishohihkan
oleh mayoritas adalah pendapat pertama, karena itu dimuliakan seperti makanan.

Adapun istinja dengan tangan manusia, maka dalam hal ini ada empat pendapat.

Pertama, tidak mencukupi, baik dengan tangannya atau tangan orang lain. Ini yang ditetapkan
oleh Al Mutawalli dan lain-lain, karena itu merupakan anggota yang dimuliakan.

Kedua, Mencukupi dengan tangannya dan tangan orang lain.


Ketiga, Boleh dengan tangannya, tetapi tidak boleh dengan tangan orag lain. Ini yang
ditetapkan oleh Imam Al Haramain dan lain-lain.

Keempat, mencukupi dengan tangan orang lain, bukan tangannya, sebagaimana boleh
bersujud di atas tangan orang lain, bukan tangannya. Ini merupakan pilihan AL Mawardi. Ini
dhoif atau keliru.

Pendapat paling shohih adalah pendapat pertama.

Wol

Imam Asy Syafi'I berkata : Bila wol dicabut dari domba dan beristinja dengan itu, maka aku
memakruhkannya, tetapi membolehkannya.

Fukaha Syafi'iyyah : Ashab berkata : Asy Syafi'I memakruhkannya, karena itu mengandung
penyiksaan binatang. Adapun istinja dengan wol tidaklah makruh. Bila diambil dari domba
setelah disembelih atau mencukurnya saat hidup, maka tidak makruh.

3. Belum digunakan

Imam Asy Syafi’i berkata : Ia tidak boleh mengusap dengan batu yang telah
digunakan sekali, kecuali ia tahu ada air yang menyucikannya. Bila ia tidak tahu bahwa air
telah menyucikannya, maka tidak boleh mengusap dengan batu itu, walaupun tak ada
bekasnya. Demikian pula bila ia cuci dengan air dari tumbuhan hingga hilang bekasnya,
maka tidak mencukupi mengusap dengannya dan tidak bisa mnyucikannya kecuali air yang
bisa menyucikan najis.

Fukaha Syafi'iyyah : Ashab sepakat bahwa bila istinja dengan batu, lalu dicuci dan
kering, maka boleh untuk istinja untuk kedua kali. Bila dicuci lagi dan kering, maka boleh
untuk ketiga kali. Demikian seterusnya dan itu tidak dimakruhkan sebagaimana tidak makruh
sholat dengan satu pakaian berkali-kali.
Bila melihat batu dan ragu apakah telah digunakan, maka boleh menggunakannya, karena
pada prinsipnya suci, tetapi disunnahkan meninggalkannya atau mencucinya. Bila ia tahu
bahwa itu telah digunakan dan ragu apakah telah dicuci, maka tidak boleh menggunakannya,
karena pada prinsipnya tetap ada najis.

4. Suci

Imam Asy Syafi’i berkata : Ia tidak boleh beristinja dengan tahi, karena tahi itu
najis. Tidak boleh juga dengan tulang, karena walaupun tulang tidak najis, namun tidak
bersih. Bersuci hanya dengan yang bersih suci. Aku tidak tahu suatu yang semakna dengan
tulang kecuali kulit sembelihan yang belum disamak, karena itu tidak bersih, walaupun suci.
Adapun kulit yang disamak, maka bersih suci, sehingga tidak mengapa digunakan untuk
beristinja.

Fukaha Syafi'iyyah : Boleh beristinja dengan batu dan segala yang bisa
menggantikannya, yaitu semua yang keras, suci, menghilangkan bentuk, tidak dimuliakan,
dan bukan bagian dari binatang. Hal ini disepakati oleh ashab. Ashab berhujjah dengan :

Dari Abu Hurairoh berkata : Aku mengikuti Nabi SAW untuk buang air, lalu bersabda,
"Bawakan untukku batu atau semisalnya, dan jangan engkau berikan tulang dan tahi"

Dari hadits Abu Hurairoh lain Rosululloh SAW bersabda, "beristinjalah dengan tiga batu"
dan beliau melarag dengantahi dan tulang.

Larangan dengan tahi dan tulang menunjukkan bahwa selain batu dapat menggantikannya.
Bila tidak demikian, tidak ada artinya pengkhususan larangan kedua benda itu.

Dari Ibn Masud berkata : Nabi SAW akan buang air, lalu memerintahkan aku untuk
membawakan tiga batu, maka aku temukan dua batu dan aku cari batu ketiga, tetapi tidak aku
temukan, lalu aku ambil tahi, lalu aku berikan kepada beliau, maka beliau ambil dua batu dan
membuang tahi, dan bersada, "Ini kotor"

Sisi pendalilannya adalah bahwa Nabi SAW memberikan alasan pelarangan istinja dengan
tahi karena tahi itu kotor, tetapi tidak memberikan alasan karena itu bukan batu.
Cairan selain air tidak boleh untuk istinja, karena itu menjadi najis dengan
bersentuhan dengan najis, sehingga menambah najis. Sesuatu yang tidak suci seperti tahi dan
batu suci tidak boleh untuk istinja, karena itu najis. Bila istinja dengan itu, maka setelahnya
wajib beristinja dengan air, karena tempatnya telah menjadi najis, sehingga wajib
mencucinya dengan air. Ini yang ditetapkan oleh Imam Al Haramain, Al Ghozali, Al
Baghowi dan lai-lain, dan telah dishohihkan oleh mayoritas, tetapi Al Muhamili berbeda
dengan mereka. Ia berkata : Ashab berkata bila istinja dengan najis, maka wajib beristinja
dengan tiga batu suci, hingga bila istinja dengan kulit anjing, maka setelah itu batu
mencukupi, karena najis yang datang mengikuti najis buang air.

Kulit disamak

Imam Asy Syafi'I berkata : Aku tidak tahu suatu yang semakna dengan tulang kecuali kulit
sembelihan yang belum disamak, karena itu tidak bersih, walaupun suci. Adapun kulit yang
disamak, maka bersih suci, sehingga tidak mengapa digunakan untuk beristinja.

Fukaha Syafi'iyyah : Bila beristinja dengan kulit binatang sembelihan yang boleh dimakan,
tetapi belum disamak, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Dalam Al Umm dan Harmalah
tidak boleh, sedangkan dalam Al Buwaithi boleh. Bila beristinja dengan kulit yang disamak,
maka dalam hal ini ada dua pendapat. Dalam Harmalah tidak boleh, karena itu seperti tulang,
tetapi dalam Al Umm boleh. Pendapat paling shohih menurut Ashab adalah boleh dengan
kulit yang telah disamak, bukan dengan lainnya. Itu merupakan teks dalam Al Umm.

5. Tidak melampaui tempat keluarnya

Imam Asy Syafi'i berkata : Beristinja boleh dengan batu dan segala sesuatu yang bisa
menggantikannya, selama tinja tidak melampaui tempat keluarnya, yaitu bagian di depan
bagian dalam dua pantat. Bila keluar dari bagian itu, maka hanya mencukupi untuk bagian
antara dua pantat dengan beristinja dengan batu, tetapi tidak mencukupi untuk tinja yang
menyebar keluar dari dua pantat kecuali dengan air.

Beristinja dari kencing sama dengan istinja dari tinja, tidak berbeda. Bila kencing
menyebar ke bagian di depan lobang, maka istinja mencukupi. Bila menyebar hingga
melampaui itu, maka tidak emncukupi untuk kencing yang melampaui itu kecuali dengan air.
Orang yang kencing beristibra dari kencing supaya kencing tidak menetes. Aku lebih suka ia
bersitibra dari kencing dan berdiri sejenak sebelum wudhu, lalu mengurut dzkarnya sebelum
istinja, lalu berwudhu.

Fukaha Syafi'iyyah : Ashab berkata : Bila keluar tinja, maka ada empat kondisi.

Pertama, tidak melampaui tempat keluarnya, maka mencukupi istinja dengan batu tanpa ada
perselisihan.

Kedua, melampaui tempat keluar, tetapi tidak melampaui kadar yang biasa pada kebanyakan
orang, maka mencukupi dengan batu juga, karena itu susah dihindari.

Al Muzanni menukil dari Asy Syafi'i bahwa bila melampaui tempat keluarnya, maka mesti
dengan air. Al Buwaithi juga menukil demikian. Di antara ashab ada yang mengatakan
pendapat lain, tetapi mayoritas menetapkan bahwa itu bukan seperti lahiriahnya, bahkan
cukup dengan adanya kesukaran. Di antara mereka ada yang menganggap Al Muzanni keliru.
Ini merupakan pendapat ulam Iraq dan sekelompok ulama Khurasan. Al Bandaniji dan Al
Muhamili menukil kesepakatan ashab tentang kekeliruan Al Muzanni. Di antara mereka ada
yang mentakwil bahwa ada percatan yang hilang dan yang benar adalah bila melampaui
tempat keluarnya dan sekelilingnya. Ini walaupun disebut takwil, tetapi searti dengan
menganggap keliru. Mayoritas ashab mengatakan bahwa yang diperhatikan adalah kebiasan
umumnya orang-orang. Ad Darimi menyebutkan dua pendapat tentang hal yang diperhatikan,
yaitu dengan kebiasaan orang-orang atau kebiasannya.

Ketiga, menyebar dan keluar dari tempat biasa, tetapi tidak melampaui bagian dalam pantat,
maka apakah mesti dengan air atau batu mencukupi? Dalam hal ini ada dua pendapat. Paling
shohih adalah batu mencukupi. Itu merupakan tekas Al Umm, Harmalah dan Al Imla.
Demikian dikatakan oleh Al Bandaniji da dishohihkan oleh ashab. Kedua, mesti dengan air.
Dinyatakan dalam Al Mukhtashor dan qoul qodim.

Keempat, menyebar ke bagian luar pantat. Bila bersambung, maka wajib dengan air untuk
semuanya, seperti halnya najis-najis lain, karena jarang terjadi dan susah membedakan antara
satu bagian dengan bagian lain. Bila terputus sebagian dengan bagian lain, maka wajib
dengan air untuk yang ada di luar pantat. Adapun yang tidak jelas dan tidak bersambung,
maka ada perselisihan pendapat.
Perincian di atas bila tidak melampaui kebiasaan, maka batu mencukupi. Bila melampaui
kebiasaan, maka ada dua pendapat. Paling shohih adalah mencukupi.

Adapun kencing, bila tersebar dan keluar dari penis dengan bersambung, maka wajib
dengan air, tetapi bila tidak keluar, maka ada dua thoriq. Berkata Abu Ishaq : Bila melampaui
tempat keluar hingga kembali ke dzakar bagian atas atau bawah, maka tidak boleh kecuali
dengan air, karena sesuatu yang keluar dari kencing tidak menyebar kecuali jarang. Lain
halnya dengan sesuatu yang keluar dari dubur, karena pasti menyebar. Di antara ashab ada
yang mempunyai dua pendapat. Pertama, tidak boleh kecuali dengan air. Dinyatakan dalam
Al Buwaithi dengan alasan yang dikemukakan oleh Abu Ishaq. Kedua, boleh dengan batu
selama tidak melampaui penis. Ini dinyatakan dalam Al Umm, karena ketika boleh dengan
batu pada tinja selama tidak melampaui bagian dalam pantat karena susah memastikannya,
maka mesti boleh untuk kencing selama tidak melampaui penis karena susah memastikannya.
Ashab berselisih mana yang rajih. Asy Syaikh Abu Hamid dan Al Mawardi menetapkan
wajib dengan air karena jarangnya. Al Muhamili menetapkan bolehnya dengan batu selama
tidak melampuai penis, dan telah dishohihkan oleh Ar Rofi'i. Berkata Al Bandaniji : Itulah
lahiriah teks Asy Syafi'I dalam Harmalah. Inilah yang paling shohih, karena kencing
menyebar juga dan susah memastikannya.

6. Datang najis lain

Imam Asy Syafi’i berkata : Bila seseorang menderita wasir dan koreng di dekat
tempat duduknya atau lobangnya, lalu mengalir darah, nanah, maka tidak boleh baginya
kecuali istinja dengan air, dan batu tidak mencukupi. Air dapat menyucikan najis
seluruhnya. Kemudahan dalam istinja dengan batu terbatas pada tempat keluarnya.
Demikian buang air besar dan kencing bila melampaui tempatnya, lalu mengenai bagian
tubuh lain, maka tidak dapat menyucikannya kecuali dengan air.

Menggabungkan batu dan air

Imam Asy Syafi’i berkata : Bila seseorang beristinja dengan sesuatu selain air, maka tidak
boleh kurang dari tiga batu, walaupun bersih. Istinja sudah cukup, namun bila seseorang
menggabungkannya lalu mencuci dengan air, maka itu lebih aku sukai.
Sesungguhnya ada suatu kaum dari Anshor beristinja dengan air, lalu turunlah ayat berkaitan
dengan mereka, yaitu :

‫فيه رجال يحبون أن يتطهروا وهللا يحب المطهرين‬

'Di dalamnya ada orang-orang yang suka bersuci dan Alloh mencintai orang yang bersuci'

Imam Asy Syafi’i berkata : Bila seseorang hanya beristinja dengan air tanpa batu, maka itu
mencukupi, karena air lebih membersihkan dibandingkan batu. Bila ia beristinja dengan air,
maka tidak ada jumlah ulangan dalam beristinja, kecuali sampai ia benar-benar telah
membersihkan apa yang ada.

Fukaha Syafi'iyyah : Bila seseorang beristinja, maka harus diperhatikan. Bila najisnya itu
kencing atau tinja dan tidak melampaui tempat yang biasanya, maka boleh dengan air atau
batu. Lebih utama menggabungkan keduanya, karena :

() Alloh memuji penduduk Quba, dengan firman-Nya :

‫فيه رجال يحبون أن يتطهروا وهللا يحب المطهرين‬

'Di dalamnya ada orang-orang yang suka bersuci dan Alloh mencintai orang yang bersuci'

Lalu Nabi Saw bertanya kepada mereka apa yang mereka perbuat, maka mereka menjawab
bahwa mereka mengikutkan air pada batu. 1[1]

1
()Berkata An Nawawi : Hadits penduduk Quba diriwayatkan oleh Abu Hurairoh dari Nabi SAW bersabda, "Ayat ini diturunkan
berkaitan denga penduduk Quba :

‫فيه رجال يحبون أن يتطهروا واهلل يحب المطهرين‬

'Di dalamnya ada orang-orang yang suka bersuci dan Alloh mencintai orang yang bersuci'

Mereka beristinja dengan air, sehingga diturunkan ayat ini berkaitan engan mereka. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Turmudzi,
Ibn Majjah, Al Baihaqi dan lain-lain, dan tidak didhoifkan oleh Abu Dawud, tetapi isnadnya dhoif. Di dalamnya ada Yunus bin Al
Harts yang didhoifkan oleh kebanyakan ulama, dan Ibrohim bin Abu Maimunah. Dari uwaim bin Saidah bahwa Nabi SAW
mendatangi mereka di masjid Quba, lalu bersabda, "Alloh telah memuji kalian dalam hal bersuci. Bersuci seperti apa yang lakukan
itu?", mereka menjawab, "ya Rosululloh, kami tidak tahu apapaun kecuali kami mempunyai tetangga Yahudi yang mencuci dubur
mereka, maka kami cuci seperti mereka cuci". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dalam musnadnya dan Ibn Khuzaimah dalam
shohihnya. Dari Anas, Jabir dan Abu Ayyub berkata, "Ayat ini turun :

‫فيه رجال يحبون أن يتطهروا واهلل يحب المطهرين‬


Bila ingin mencukupkan pada salah satunya, maka lebih utama dengan air, karena air lebih
membersihkan. Tetapi bila ingin mencukupkan diri dengan batu, maka boleh.

Lalu Rosululloh SAW bersabda, "Wahai kaum Anshar, Alloh telah memuji kalian dalam hal bersuci, bersuci seperti apa itu?",
mereka menjawab, "Kami berwudhu untuk sholat, mandi karena janabah dan beristija dengan air", maka beliau bersabda, "itu dia!".
Diriwayatkan oleh Ibn Majjah, Ad Darquthni dan Al Baihaqi. Dalam riwayat Al Baihaqi, "Bersuci seperti apa itu?", mereka
menjawab, "Kami berwudhu untuk sholat dan mandi dari janabah". Rosululloh SAW bertanya lagi, "Apakah ada lainnya?", mereka
menjawab, "Tidak ada lainya, hanya saja bila salah seorang kami keluar dari buang air, ia suka beristinja dengan air", beliau
bersabda, "itu dia!". Isnad riwayat ini, riwayat Ib Majjah dan lainnya shohih, kecuali Atabah bin Abu Hakim. Ulama berselisih
dalam mentsiqohkanya. Mayoritas mentsiqohkannya dan orang yang mendhoifkannya tidak menjelaskan sebab kedhoifanya.
Riwayat yang aku sebutkan telah diketahui dalam kitab-kitab hadits bahwa mereka beristinja dengan air, tetapi tidak menyebutkan
menggabungkan air dan batu. Adapun perkataan bahwa mereka mengikutkan air pada batu, maka demikia yang dikatakan oleh
ashab dan lain-lain dalam kitab-kitab fiqih dan tafsir, tetapi tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. Demikian juga dikatakan
oleh Abu Hamid bahwa ashab meriwayatkannya. Aku tidak mengenalnya. Bila telah diketahui bahwa tidak ada asalnya dari segi
riwayat, maka mungkin menshohihkannnya dari segi istimbath, karena istinja dengan batu telah diketahu oleh mereka tetapi
dilalaikan oleh semuanya. Adapun istinja dengan batu, maka itu yang mereka tersendiri melakukannya, sehingga ini disebut, tetapi
tidak disebut dengan batu, karena itu sama antara mereka dan lainnya. Dan karena keberadaan itu telah diketahui, maka maksudnya
adalah menjelaskan keutamman mereka yang dipuji oleh Alloh karena sebab itu. Ini diperkuat dengan perkataan mereka : Bila salah
seorang kami keluar dari buang air, ia suka beristinja dengan air. Ini menunjukkan bahwa istinja mereka dengan air dilakukan
setelah keluar dari WC, sedangkan kebiasaan berlaku bahwa tidak keluar dari WC kecuali setelah mengusap dengan air atau batu.
Demikian disunnahkan beristija dengan batu di tempat buang air dan mengakhirkan air sampai berpindah ke tempat lain

Anda mungkin juga menyukai