Anda di halaman 1dari 9

Maka dari itu, pada kesempatan kali ini akan dibahas

mengenai dasar-dasar hukum jual beli (ba’i) dalam Islam


dengan harapan dapat menghilangkan ketidaktahuan
dan membuka wawasan kita sehingga menghindarkan
kita dari perbuatan-perbuatan yang tidak diridhai oleh
Allah SWT.

Bentuk Jual-Beli dalam Islam


Jual-Beli (ba’i) memiliki hukum mubah, yakni jika
dikerjakan ataupun tidak dikerjakan maka tidak
mendapat pahala dan juga tidak mendapat dosa. Namun
hukum ba’i dapat berubah sesuai situasi dan kondisi
menjadi wajib, sunah, makruh bahkan haram.

Berikut beberapa landasan hukum jual-beli dari Al-


Quran dan Al-Hadist.

“….Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan


mengharamkan riba.” (QS: Al-Baqarah ayat 275).
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (pilihan
untuk meneruskan atau membatalkan akad jual-beli)
selama mereka belum berpisah.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam tuntunan Islam, ba’i dibagi menjadi 3 bentuk


berdasarkan sisi obyek, sisi waktu serah-terima dan sisi
penetapan harga.

1. Ba’i dari sisi obyek akad

 Menukar uang dengan barang. Misal: Menukar


laptop dengan rupiah.

 Menukar barang dengan barang atau barter


(muqayadhah). Misal: Menukar handphone
dengan jam tangan.

 Menukar uang dengan uang (sharf). Misal:


Menukar Rupiah dengan Won.

2. Ba’i dari sisi waktu serah-terima

 Serah terima barang dan uang dengan cara


tunai.
 Serah terima barang dan uang dengan cara
uang dibayar di muka (akad salam).

 Serah terima barang dan uang dengan cara


barang diterima di muka dan uang menyusul
(jual beli kredit/tidak tunai/ba’i ajal).

 Serah terima barang dan uang tidak tunai atau


jual beli hutang dengan hutang (ba’i dain bi
dain). Misal: Jual-beli buku dengan saling
menyepakati harga namun penjual tidak
memiliki produk dan pembeli tidak memiliki
uang tunai. Setelah produk ada, produk
dikirim kemudian dan uang diserahkan
kemudian.

3. Ba’i dari sisi penetapan harga

 Ba’i musawamah yaitu jual beli dengan cara


tawar menawar. Misal: Suatu barang yang
dijual dengan ditetapkan harga tertentu oleh
penjual tanpa menyebutkan harga pokok dan
pembeli diberi kesempatan untuk menawar
harga barang tersebut (bentuk asal ba’i).
 Ba’i amanah yaitu jual beli dengan cara
penjual menyebutkan baik harga pokok barang
dan harga jual barang tersebut. Ba’i jenis ini
dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Ba’i murabahah, yakni penjual menyebutkan


harga pokok barang dan keuntungan yang
didapatkannya dari menjual barang tersebut.
Misal: “Saya membeli barang ini seharga Rp
5.000 dan saya jual Rp 6.000 atau dengan
keuntungan 20% dari modal.”

2. Ba’i wadh’iyyah, yakni penjual menjual barang


dagangannya dengan harga jual di bawah
harga pokok. Misal: “Saya membeli barang ini
dengan harga Rp 75.000 dan akan saya jual
dengan harga Rp 50.000.”

3. Ba’i tauliyah, yakni penjual menjual barang


dagangannya dengan harga jual sama dengan
harga pokok. Misal: “Saya membeli barang ini
dengan harga Rp 50.000 dan akan saya jual
dengan harga yang sama.”
Lantas, Apa Syarat Sah Ba’i?
Suatu transaksi jual-beli tidak akan sah apabila tidak
terpenuhi 7 syarat-syarat berikut ini:

1. Saling rela antara kedua belah pihak baik


penjual maupun pembeli

Syarat ini merupakan syarat yang mutlak harus ada


dalam transaksi jual beli sesuai dengan firman Allah
SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS: An Nisaa
ayat 29).

Oleh karena itu, transaksi perdagangan yang terjadi


dikarenakan keadaan terpaksa/dipaksa maka transaksi
tersebut dianggap batal/tidak sah. Namun apabila dalam
suatu keadaan terdesak, misal seseorang terlilit hutang
dan dipaksa oleh hakim/qadhi untuk menjual hartanya
demi melunasi beban hutangnya, maka akad tersebut
sah.

2. Kedua belah pihak pelaku akad adalah orang


yang memenuhi syarat melakukan akad

Maksud memenuhi syarat di sini adalah berakal dan


sudah baligh. Maka dari itu, akad yang dilakukan oleh
anak di bawah umur, orang gila atau orang dengan
gangguang kejiwaan dianggap tidak sah kecuali dengan
izin walinya. Namun, ada pengecualian bagi anak di
bawah umur, yakni boleh melakukan akad hanya untuk
jual beli hal kecil, misal: permen. Syarat ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat An Nisaa ayat 5 dan An
Nisaa ayat 6.

3. Masing-masing pelaku akad memiliki hak


milik atas harta obyek transaksi

Tidak sah menjual obyek yang tidak kita miliki dan tanpa
seizin pemiliknya. Bagi barang milik anak yatim,
penyandang keterbelakangan mental atau gangguan jiwa,
maka wali dari mereka disamakan statusnya sebagai
pemilik barang tersebut. Hal ini berdasarkan hadist
berikut:

“Jangan engkau jual barang yang bukan


milikmu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

4. Obyek transaksi adalah barang yang tidak


dilarang agama

Menjual barang haram termasuk haram hukumnya.


Misal menjual miras, daging babi, rokok, dan lain
sebagainya. Hal ini berdasarkan hadist berikut:

“Sesungguhnya Allah bila mengharamkan suatu


barang juga mengharamkan nilai jual barang
tersebut.” (HR. Ahmad).

5. Obyek transaksi adalah barang yang dapat


diserahterimakan

Transaksi jual beli tidak sah apabila obyek yang


diperjualkan tidak dapat diserahterimakan. Misal, jual
beli bintang di langit. Hal ini berdasarkan hadist berikut:
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi melarang
jual beli gharar (penipuan). (HR. Muslim).

6. Obyek transaksi harus jelas dari segi apapun


dan diketahui oleh kedua belah pihak

Tidak diperbolehkan terjadi transaksi yang tidak jelas


obyeknya. Misal, jual beli mobil tanpa dilihat terlebih
dahulu bentuk fisik serta spek mobilnya. Transaksi
dengan obyek yang tidak jelas diklasifikasikan ke
dalam gharar dan Allah jelas-jelas melarangnya.

Untuk mengetahui obyek transaksi dapat dilakukan


dengan dua cara, yaitu:

1. Melihat langsung barang sebelum akad atau


pada saat akad.

2. Penjual menjelaskan spesifikasi obyek secara


sejelas-jelasnya kepada pembeli tanpa ada
yang ditutup-tutupi.

7. Harga obyek harus jelas saat transaksi terjadi


Tidak sah suatu transaksi jual beli apabila penjual tidak
menyebutkan secara jelas harga obyek transaksi. Hal ini
diklasifikasikan ke dalam gharar.

Sekian pembahasan mengenai jual-beli yang sesuai


dengan tuntunan Islam. Sudahkah kamu menerapkan
syarat-syarat sahnya? Bagi kamu yang ingin melakukan
transaksi jual beli dengan sistem cicilan tapi takut
terjerat riba, jangan khawatir! Dengan SyarQ, kamu bisa
melakukan transaksi jual beli dengan sistem cicilan
secara halal, tanpa riba dan tanpa denda.

Sumber: Fiqih Muamalah Maaliyah, Sharia Standards


by Erwandi Tarmizi & Associates.

Anda mungkin juga menyukai