Anda di halaman 1dari 5

NASKAH TUGAS MATA KULIAH

UNIVERSITAS TERBUKA SEMESTER : 2019/20.2

NAM MAHASISWA : INTAN KUMALA SARI


NOMOR INDUK MAHASISWA : 030584115
FAKULTAS : FHISIP
PROGRAM STUDI : ilmu pemerintahan
KODE/ NAMA MK : ISIP4212/ Pengantar ilmu politik
TUGAS :2
PENULIS SOAL / INSTITUSI : Mani festati broto /UT

Jawab:
1). Dizaman sekarang feodalisme dan diskriminatif masih sangat sering terjadi ,ini
mengagung agungkan kekuasaan bangsawan, kekuasaan yang besar ditangan tuan
tanah dan jabatan atau pangkat dan bukan prestasi kerja. Pada era atau zaman
Indonesia merdeka menjelang ke 75 tahun ini, sistem sosial atau politik feodal ini
masih terasa kental dalam dunia pemerintahan. Mungkin karena terlalu lama dijajah
Belanda yang berbentuk kerajaan itu yang membuat penyakit feodalisme itu tumbuh
subur di Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia, bau feodalpun masih terasa. Di
Sulawesi Utara, staf pengajar diperguruan tinggi dipanggil meener (tuan) sama
mahasiswanya. Jelas ini warisan zaman kolonial.  Di Jawa seorang majikan yang
orang biasa (bukan turunan bangsawan) sering dipanggil ndoro padahal sebutan
tersebut berkembang dan dipakai dikalangan bangsawan Jawa dengan abdinya. Itu
baru dalam sebutan atau panggilan seseorang kepada orang lain yang dihargai lebih
tinggi bahkan sangat tinggi untuk zaman sekarang.
Binnenlands Bestuur merupakan cikal bakal dari Lembaga Kementerian
Dalam Negeri. Binnenlands Bestuur merupakan bentuk Kementerian Dalam Negeri
pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh Koninklijk
Besluit (Keputusan Raja) tanggal 21 September 1866 (Staatsblad van Nederlandsch-
Indië/Lembaran Negara Hindia-Belanda 1866 no. 127) yang membentuk empat
departemen pemerintahan umum dan Binnenlands Bestuur adalah salah satu di
antaranya. Tujuan pendirian Binnenlands Bestuur adalah agar terjadi perbaikan
kebijakan mengenai pemerintahan dalam negeri ke arah yang lebih baik. Adapun
tugas Binnenlands Bestuur adalah menyangkut pendirian dan pengelolaan
pemerintahan dalam negeri, melakukan kerja sama dengan dan mengawasi pegawai
pemerintah Eropa dan pribumi, dan melakukan jalinan kerjasama antara inlandse
vorsten en groten (raja dan petinggi pribumi)

2). contoh dinamika kelompok stategis yang saya ketahui adalah berikut ini yaitu
masalah konflik kekerasan pada masa orde baru. konflik kekerasan terkait isu-isu
identitas. Berbeda dengan di awal masa transisi, saat ini konflik terkait isu-isu
identitas yang dominan adalah kekerasan antar kampung yang cenderung tidak
dipengaruhi oleh isu etnik maupun agama. Fenomena ini cukup menarik karena
seringkali terjadi akibat dipicu persoalan-persoalan sepele (seperti mabuk, pelecehan
seksual, kriminalitas, dan lainnya). Jika dilihat lebih jauh, ketidaksetaraan horizontal
menjadi akar permasalahan yang melekat dalam kasus-kasus kekerasan antar
kampung. Pada beberapa kasus, persoalan intoleransi antar komunitas agama juga
mengemuka dalam sepuluh tahun terakhir. Meskipun tidak terjadi secara masif dan
frekuensi insiden yang kecil, namun kasus-kasus kekerasan terkait isu intoleransi
masih dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia. Hal yang patut diperhatikan
adalah kasus tersebut tidak terjadi di wilayah yang pernah mengalami konflik
kekerasan bernuansa agama, seperti Poso dan Ambon. Namun, kasuskasus tersebut
muncul di wilayah lain yang bahkan selama ini bukan menjadi hotspot terkait isu-isu
intoleransi. Pada tahun 2015, dua kasus pembakaran tempat ibadah telah terjadi di
Aceh dan Papua. Isu intoleransi patut menjadi perhatian semua pihak mengingat,
persoalan tersebut dapat mengakibatkan collateral damage.

3). Di masa pandemi ini tentu banyak sekali perubahan yang terjadi pada masyarakat
indonsia,terutama perubahan sosial.  Pandemi Covid-19 telah
menyebabkan perubahan sosial yang tidak direncanakan. Perubahan sosial yang
terjadi secara sporadis (secara tiba-tiba dan tidak merata) dan tidak dikehendaki
kehadirannya oleh masyarakat. Kondisi masyarakat yang belum siap menerima
perubahan akibat pandemi Covid-19 tentu dapat menggoyahkan nilai dan norma
sosial yang telah berkembang dan dianut oleh masyarakat selama ini.  
Harus diakui bahwa dampak pandemi Covid-19 telah memaksa komunitas masyarakat
harus adaptif terhadap berbagai bentuk perubahan sosial yang diakibatnya. Masa pra-
pandemi, kini harus di paksa untuk disesuaikan dengan standar protokol kesehatan.
Sebab pandemi Covid-19 telah menginfeksi seluruh aspek tatanan kehidupan
masyarakat yang selama ini telah diinternalisasi secara terlembaga melalui rutinitas
yang terpola dan berulang.
Masyarakat diimbau dari pemerintah untuk belajar, bekerja, dan beribadah di rumah
sejak awal kemunculan virus ini di Indonesia. Begitu pula dengan pola kebiasaan
masyarakat yang senang berkumpul dan bersalaman, kini dituntut untuk terbiasa
melakukan pembatasan sosial.
Dalam perilaku dan kebiasaan masyarakat di masa pandemi kemudian diatur dan
ditransformasikan melalui pola interaksi secara virtual. Kondisi ini mempertegas
bahwa teknologi menjadi penting sebagai perantara interaksi sosial masyarakat di era
pandemi saat ini.
Normal baru menekankan masyarakat pada perubahan perilaku untuk tetap
menjalankan aktivitas secara normal, namun tetap merajuk pada protokol
kesehatan yang kemudian harus dibiasakan. Meskipun begitu, penerapan normal baru
tidak akan berjalan dengan maksimal, apabila tidak disertai dengan kedisiplinan tinggi
oleh masyarakat. Sebab pandemi Covid-19 telah memaksa kita untuk adaptif terhadap
segala bentuk perubahan. Begitu juga hidup normal baru bisa saja akan menjadi
model budaya baru di masa mendatang.
Penerapan new normal salah satunya sudah berlaku di Kabupaten Indramayu. Sejak
awal masyarakat gagal paham dengan istilah ini. Masyarakat menggangap sudah
merdeka dari Covid-19. Serta masyarakat menunjukkan aktivitas normal tanpa
memperhatikan protokol kesehatan.
New normal seharusnya mengubah perilaku lama menjadi kebiasaan baru dengan
memakai masker, menjaga jarak sosial maupun fisik, rajin mencuci tangan, serta
disiplin mengikuti protokol kesehatan. Pandemi Virus covid-19 yang menyebar secara
cepat membuat banyak orang akhirnya bekerja di luar kantor alias di rumah, demi
menghindari penyebaran virus tersebut.

4). Reformasi Birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi,


antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan,
akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Beberapa contoh
reformasi, birokrasi adalah reformasi kelembagaan dan kepegawaian, keuangan,
perbendaharaan, perencanaan dan penganggaran, perizinan, dan sebagainya. Hal yang
penting dalam reformasi birokrasi adalah perubahan mind-set dan culture-set serta
pengembangan budaya kerja. Reformasi Birokrasi diarahkan pada upaya-upaya
mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi secara berkelanjutan, dalam
menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance),
pemerintah yang bersih (clean government), dan bebas KKN. Dalam pelaksanaan
reformasi birokrasi di lingkungan pemerintah, sering terjadi perdebatan antara
hubungan politik serta birokrasi itu sendiri. Perdebatan tentang hubungan antara
politik dan birokrasi telah mempunyai sejarah panjang yang dipacu oleh dikotomi
antara politik dan administrasi, suatu doktrin yang pengaruhnya dimulai dari sejak
penemuan administrasi negara sebagai suatu ilmu oleh Woodrow Wilson pada tahun
1887 (Miftah Thoha, 2000). Perdebatan tersebut meliputi antara lain apakah politik
lebih superior atau setara dibanding birokrasi, apakah politik dan birokrasi merupakan
satu kesatuan atau harus terpisah, serta bagaimana politik dan birokrasi seharusnya
berhubungan. Pembahasan mengenai hubungan politik dan birokrasi kembali
menghangat, khususnya di Indonesia, bahkan jauh sebelum reformasi terjadi pada
penghujung tahun 1990-an. Pada akhir tahun 1980-an beberapa cendekiawan yang
telah kembali dari belajarnya di luar negeri telah cukup nyaring menyuarakan
perlunya pemisahan yang tegas antara birokrasi dengan dunia politik. Netralitas
birokrasi waktu itu menjadi suatu pembahasan yang sangat “seksi’ terutama di
kalangan akademisi di tengah nuansa kooptasi birokrasi yang sangat kuat dari rezim
Orde Baru Presiden Suharto.
Pengalaman selama masa Orde Lama dan Orde Baru cukup memberikan kesan yang
mendalam dalam sistem politik Indonesia. Peran elit yang terlalu dominan membuat
masyarakat tidak berdaya untuk membangun dirinya dan terlibat dalam menciptakan
sistem politik yang stabil, malah sebaliknya timbul beberapa persoalan yang tidak
terselesaikan. Masyarakat atau rakyat merupakan penentu berjalannya suatu sistem
politik, karena masyarakat dianggap sebagai subjek dan objek dari sistem politik yang
ada. Menurut Nico Schulte Nordholt (dalam Juliansyah), kekuatan sistem politik
memerlukan tingkat dukungan yang tinggi dari berbagai peran yang ada di dalam
sistem politik itu sendiri.7 Kalau kita secara sepintas meninjau kelima persyaratan
yang disebutkan oleh Linz dan Stepan, maka dengan sendirinya kita dapat menarik
kesimpulan bahwa kondisi bangsa dan negara Indonesia masih jauh dari keadaan yang
memadai. Lima syarat itu sangat penting bagi proses transisi menuju sistem dmokrasi.
Pertama, civil society yang bebas dan aktif. Kedua, masyarakat politik, termasuk elit
parpol-parpol, yang relatif otonom. Ketiga, penegakan hukum. Keempat, birokrasi
yang profesional. Kelima, masyarakat ekonomi yang relatif otonom dari negara dan
pasar murni.

Anda mungkin juga menyukai