Anda di halaman 1dari 27

Refarat

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Paru
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Abulyatama
RSUD Langsa

Oleh :

ILMAM AKBAR
RAYYAN SYUHADA

Pembimbing :

dr. Siti Noorcahyati, Sp.P

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RSUD LANGSA
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang

tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya

panjanan faktor resiko seperti semakin banyaknya jumlah perokok pada usia muda,

baik perokok aktif maupun perokok pasif serta pencemaran udara didalam ruangan

maupun didalam ruangan dan ditempat kerja. Faktor tersebut merupakan faktor yang

berperan dalam insidensi PPOK.1

PPOK dapat terjadi pada lelaki dan perempuan tanpa memandang umur dan ras.

Data dari World Heath Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2012, jumlah

penderita PPOK mencapai 274 juta jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 400

juta jiwa ditahun 2020 mendatang, setengah dari angka tersebut terjadi di Negara

berkembang termasuk Negara Indonesia. Angka kejadian di Indonesia menempati

urutan ke lima tertinggi di dunia yaitu 7,8 juta jiwa. Penderita PPOK dirumah sakit

umum daerah Pandang Arang Boyolali berdasarkan data instalasi rekam medik pada

tahun 2014 sebanyak 217 jiwa, pada tahun 2015 sebanyak 84 dan 47 jiwa diantaranya

mengalami komplikasi dan tidak menutup kemungkinan jumlah tersebut akan

meningkat di tahun mendatang. Jumlah penderita PPOK meningkat akibat pola hidup

yang tidak sehat, asap rokok dan polusi udara. Faktor penyebab PPOK diantaranya

2
adalah merokok, polusi udara dan pemajanan di tempat kerja (terhadap batu bara,

kapas, padi-padian) merupakan faktor resiko penting yang menunjang pada terjadinya

penyakit PPOK. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang 20 sampai 30 tahun. Penyakit

ini juga mengancam jiwa seseorang jika tidak tertangani.2,3

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 angka kematian akibat penyakit paru

obsruktif kronis menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyebab kematian di seluruh

Indonesia denga prevalensi PPOK rata-rata sebesar 3,7 %. Prevalensi PPOK di Aceh

mencapai angka 4,3 %, angka kejadian PPOK meningkat seiring dengan

bertambahnya usia dan angka kejadian lebih tinggi pada laki-laki sebesar (4,2%)

dibandingkan perempuan sebesar (3,3%) dan ini tentunya berkaitan dengan faktor

resiko yang mempengaruhinya.2,3

Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia masih bertumpu pada puskesmas,

dan ini masih jauh dari pelayanan yang baik untuk kasus PPOK sendiri, sementara

kompetensi sumber daya manusia serta peralatan standar untuk menegakan diagnosis

PPOK seperti spirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja, di samping itu,

rumah sakit pusat rujukan untuk sebagian besar wilayah sulit untuk dijangkau oleh

masyarakat karena keterbatasan dari transportasi ataupun karena mahalnya biaya.

Oleh karena itu perlu sebuah pedoman untuk penatalaksanaan PPOK yang tepat,dan

harus segera di disosialisasikan baik di kalangan medis maupun kalangan masyarakat

luas guna sebagai upaya pencegahan, penanggulangan, diagnosis dini,

penatalaksanaan maupun rehabilitasi yang perlu dilakukan untuk mengurangi

populasi penderita PPOK.2,3

3
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai

dengan adanya suatu hambatan udara yang tidak sepenuhnya reversibel. PPOK

bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap

adanya paparan partikel atau gas yang beracun/berbahaya serta disertai efek ekstra

paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Berbagai jenis zat dapat

terbawa dalam udara lingkungan kerja. Efek paparan zat melalui saluran pernapasan

sangat beragam, tergantung pada kosentrasi dan lamanya pemaparan serta status

kesehatan orang yang terpapar. Banyaknya partikel kotoran dalam udara inspirasi

ditangkap oleh mukus yang menutupi rongga nasal, faring, trakea dan percabangan

bronkus.1

4
Gambar 3.1 Gambar Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering

digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama. Penyakit

PPOK ditandai dengan adanya respon inflamasi paru, seperti yang dijelaskan diatas

PPOK merupakan kondisi reversibel yang berkaitan dengan dispnue saat aktivitas dan

penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. Kerusakan bervariasi pada setiap

individu, karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan

antara obstruktif saluran napas kecil dan kerusakan parenkim. Pada usia pertengahan

PPOK seringkali timbul akibat merokok dalam waktu yang lama. PPOK sendiri

mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai pertanda sudah terdapat kondisi

komorbid lainnya.1,2

5
Gambar 3.2 Gambaran Bronkus dan Alveolus pada PPOK

3.2 Epidemiologi

Bedasarkan survey, kriteria diagnostik serta pendekatan analisis pada beberapa

studi, prevalensi PPOK menunjukkan banyak variasi. Data yang dihimpun dari

sebuah penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brazil,

Meksiko, Uruguay, Chili dan Venezuel) menunjukkan hasil prevalensi PPOK sebesar

14,3%. Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11,3%. Pada studi

BOLD, penelitian yang sama dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK

adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5%.4

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama dari

morbiditas di seluruh dunia yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang

6
progesif dan sebagian besar yang irreversible. Menurut World Health Organization

(WHO) pada tahun 2015 PPOK merupakan salah satu penyebab utama kematian di

dunia dan akan menempati urutan ke-tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.

Pada tahun 2012, 2013 dan 2014 Proportional Mortality Ratio (PMR) akibat PPOK di

beberapa negara maju masing-masing sebesar 3,9%, 3,5% dan 3,9%. Di negara

berkembang masin-gmasing sebesar 7,6%, 7,45% dan 8,1% serta di negara miskin

masing-masing sebasar 3,1%, 3,6% dan 3,4%. Angka-angka tersebut menunjukkan

semakin meningkatnya kematian akibat PPOK di dunia. Laporan terbaru WHO

menyatakan bahwa sebanyak 201 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta

manusia meninggal akibat PPOK. Diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan

menjadi penyebab ke-tiga kematian di seluruh dunia.5

Prevalensi PPOK di Indonesia tahun 2013 tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara

Timur (10%) sedangkan Provinsi Aceh tercatat kedalam sepuluh besar (4,3%). Asap

rokok merupakan penyebab utama yang paling sering ditemukan. Pajanan yang terus

menerus dan berlangsung lama dengan asap rokok dapat menyebabkan gangguan dan

perubahan mukosa jalan napas. 75% kasus bronkitis kronik dan emfisema diakibatkan

oleh asap rokok. 45% perokok berisiko untuk terkena PPOK. Gejala PPOK jarang

muncul pada usia muda umumnya setelah usia 50 tahun ke atas, paling tinggi pada

laki-laki usia 55-74 tahun.6,7

Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala

respiratorik, abnormalitas fungsi paru yang dapat menyebabkan batuk, hipersekresi

mukus, sumbatan saluran pernapasan dan berisiko tinggi untuk menderita PPOK.

7
Risiko tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari, umur mulai merokok dan

berapa lama orang tersebut merokok. Merokok sangat mempengaruhi terjadinya

PPOK. di Indonesia, 70% kematian karena penyakit paru kronik dan emfisema adalah

akibat penggunaan tembakau. Lebih daripada setengah juta penduduk Indonesia pada

tahun 2011 menderita penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh penggunaan

tembakau. Proses ini dikarenakan zat iritatif dan zat beracun yang terkandung dalam

sebatang rokok seperti nikotin, karbon monoksida dan tar. Terdapat beberapa alasan

yang mendasari pernyataan ini. Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin

akan menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang meningkatkan resistensi

aliran udara ke dalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan

peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta pembengkakan

lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel

pernapasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan

dan partikel asing dari saluran pernafasan. Akibatnya lebih banyak debris

berakumulasi dalam jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin bertambah.

Penderita PPOK di Ruang Rawat Inap Paru RSUDZA Banda Aceh 63,33% adalah

perokok berat dan paling banyak dengan derajat III (berat) yaitu 36,67%. Terdapat

hubungan merokok dengan derajat PPOK pada penderita PPOK di Ruang Inap Paru

RSUDZA Banda Aceh.5,6,7

Faktor yang berperan dalam peningkatan kejadian PPOK, yaitu :2

1) Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki diatas 15 tahun 60-70 %)

2) Pertambahan penduduk

8
3) Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an
menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an
4) Industrialisasi

5) Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industry dan di pertambangan

3.3 Etiologi

Penyakit paru obstruksi kronik dapat disebabkan oleh berbagai faktor pencetus,

seperti:1,2,3

1) Genetik

PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan merupakan contoh

klasik interaksi gen dan lingkungan. Defisiensi Alpha 1-antitrypsin merupakan

faktor risiko dari genetik yang memberikan kontribusi 1-3% pada pasien PPOK.

2) Merokok

Perokok memiliki prevalensi yang cukup tinggi menderita gejala dan gangguan

fungsi paru. Resiko PPOK pada perokok bergantung pada banyaknya rokok

yang dikonsumsi, usia pertama kali mulai merokok, jumlah total rokok yang

dihisap pertahun dan status merokok saat ini. Pencatatan riwayat merokok

terbagi atas:

- Perokok aktif

- Perokok pasif

- Bekas perokok

9
derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah

rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam

tahun:

- Ringan : 0-199

- Sedang : 200-599

- Berat : > 600

3) Debu dan Bahan Kimia Okupasi

Paparan partikel dan bahan kimia okupasi merupakan faktor resiko

berkembangnya PPOK, meliputi agen kimia dan debu organik atau anorganik

serta bau-bauan.

4) Polusi Udara dalam Rumah

Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi dengan baik akan

menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.

5) Polusi Udara di Luar Rumah

Peranan polusi udara di luar rumah juga dapat menyebabkan PPOK seperti

polusi udara dari pembakaran hutan, asap kendaraan bermotor serta asap dari

pabrik perindustrian.

6) Stres Oksidatif

Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang dikeluarkan secara

endogen dari fagosit dan jenis sel lainnya atau secara eksogen dari polusi udara

atau asap rokok. Akibat dari ketidak seimbangan antara oksidan dan anti

oksidan maka paru-paru akan mengalami stress oksidatif yang akan

10
menghasilkan perlukaan langsung serta mengaktifkan mekanisme molekuler

yang dapat menginflamasi paru-paru.

7) Infeksi

Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran nafas juga

berperan dalam eksaserbasi, yang akan menyebabkan penurunan fungsi paru

dan menimbulkan gejala gangguaan pernafasan.

8) Asma

Pada orang dewasa dengan asma memiliki resiko 12x lipat lebih besar untuk

menderita PPOK, dibandingkan orang dewasa yang tidak memiliki riwayat

asma.

3.4 Klasifikasi

Klasifikasi PPOK didapatkan bedasarkan ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan

gejala pasien sehingga perlu diperhatikan kondisi-kondisi lain. Adapun klasifikasi

PPOK, yaitu :1

Tabel 3.1 Derajat PPOK

Derajat Klinis Faal Paru


Derajat 0: Gejala klinis (batuk, produksi sputum) Spirometri normal
Beresiko

11
Derajat I: Gejala batuk kronik dan produksi VEP1/KVP < 70%
PPOK Ringan sputum ada tetapi tidak sering. Pada VEP1  80% prediksi
derajat ini pasien sering tidak
menyadari bahwa faal paru mulai
menurun

Derajat II : Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP1/KVP < 70%


PPOK Sedang aktivitas dan kadang ditemukan gejala 50 % < VEP1 < 80%
batuk dan produksi sputum. Pada prediksi
derajat ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya

Derajat III : Gejala sesak lebih berat, penurunan VEP1/KVP < 70%
PPOK Berat aktivitas, rasa lelah dan serangan 30 % < VEP1 < 50%
eksaserbasi semakin sering dan prediksi
berdampak pada kualitas hidup pasien

Derajat IV: Gejala diatas ditambah tanda-tanda VEP1/KVP < 70%


PPOK gagal napas atau gagal jantung kanan VEP1 < 30% prediksi
Sangat Berat dan ketergantungan oksigen. Pada atau VE1 < 50% prediksi
derajat ini kualitas hidup pasien disertai gagal napas
memburuk dan jika eksaserbasi dapat kronik
mengancam jiwa

3.5 Patogenesis

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang

diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal,

perifer, parenkim dan vaskularisasi paru. Proses ini karena adanya suatu inflamasi

yang kronik dan perubahan struktural pada paru sehingga terjadilah peningkatan

penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan

deposisi kolagen dalam dinding luar saluran napas yang berakibat restriksi

12
pembukaan jalan napas. Lumen saluran napas kecil berkurang akibat penebalan

mukosa yang mengandung eksudat inflamasi yang meningkat sesuai berat sakit.1,7,8

Tabel 3.2 Sel-sel Inflamasi pada PPOK

Neutrofil Terdapat di dalam sputum perokok normal, kemungkinan


berperan penting dalam hipersekresi mukus dan melalui
pelepasan protease
Makrofag Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru
dan cairan lavage bronkoalveolar. Berasal dari monosit darah
yang berdiferensiasi dalam jaringan paru. Menghasilkan
peningkatan mediator inflamasi dan protease pada pasien PPOK,
sebagai respon terhadap asap rokok dan dapat menyebabkan
fagositosis defektif

Limfosit T Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan
parenkim paru. Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan
interferon. Sel CD8+ dapat menjadi sitotoksik terhadap sel-sel
alveolar
Limfosit B Terdapat di saluran nafas perifer dan diantara folikel limfoid,
kemungkinan sebagai respon terhadap kolonisasi kronik dan
infeksi saluran nafas.
Eosinofil Protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat
pada dinding saluran nafas saat eksaserbasi.
Sel-sel Epitel Kemungkinan dipicu oleh asap rokok untuk menghasilkan
mediator inflamasi

Keadaan normal, radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan

seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di

paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan

13
menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat

menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi

lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi.

Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan

menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan

leukotriene B4, tumor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1

dan reactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil

melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul

kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan

menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti

proses inflamasi.5,6

Enzim NADPH yang berada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan

mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan

bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik

akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero,

ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl). Pengaruh

radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga

percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi setelah

perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveolus yang

menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh

leukosit dan polusi serta asap rokok.7

14
Abnormalitas pertukaran gas akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan

hiperkapnia. Obstruksi saluran nafas periferal akan menyebabkan ketidakseimbangan

ventilasi perfusi (VA/Q) disertai gangguan fungsi otot pernafasan, sehingga terjadi

retensi CO2. Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien

dengan PPOK. Proses ini disebabkan oleh metaplasia mukus dengan peningkatan

jumlah sel-sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap

iritasi saluran nafas kronis akibat asap rokok dan agen berbahaya lainnya. Hipertensi

ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. Hipertensi disebabkan vasokonstriksi

hipoksik dari arteri pulmonal kecil yang akhirnya akan menyebabkan terjadinya

hiperplasia intima. Pada PPOK, tejadi vasokonstriksi karena hipoksia, dekstruksi

anyaman vaskular paru/parenkim paru, respon inflamasi dan poliferatif yang

berakibat remodelling vaskular. Hipertensi pulmonal ringan akibat penyakit paru

dapat menyebabkan perubahan minimal pada elektrokardiografi (EKG). Pusing dan

pingsan saat aktivitas merupakan tanda ketidakmampuan jantung meningkatkan


4,6,7
cardiac output sehingga terjadi peningkatan resistensi vaskular.

Keterbatasan aliran udara yang bersifat progresif pada PPOK dapat disebabkan
oleh dua proses patologis, yaitu :7

1) Airway remodelling dan penyempitan jalan napas kecil

2) Destruksi parenkim paru disertai rusaknya jaringan penyangga alveolar

kedua proses ini akan menyebabkan berkurangnya elastic recoil, tahanan aliran udara

yang meningkat akibat fibrosis serta meningkatnya air trapping dalam paru.

Progresivitas kerusakan paru akan menyebabkan penurunan faal paru antara lain

15
seperti kapasiti vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama

(VEP1).7

3.6 Tanda dan Gejala


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan

hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi

paru. Gejala yang paling sering dijumpai yaitu sesak napas yang bersifat kronis dan

progresif yang memberat seiring berjalannya waktu dan bertambah berat dengan

aktivitas. PPOK menetap sepanjang hari dan pasien mengeluhkan membutuhkan

usaha untuk bernapas. Selain itu dijumpai juga batuk kronik yang hilang timbul

berdahak serta riwayat terpajan asap rokok, debu, bahan kimia ataupun asap dapur.2

Terdapat gejala dari PPOK eksaserbasi akut yang ditandai dengan memburuknya

gejala pernapasan pasien yang melebihi variasi normal sehari-hari yang akan

menyebabkan perubahan dalam pengobatan. Pasien yang mengalami eksaserbasi akut

dapat ditandai dengan gejala yang khas seperti sesak napas yang semakin bertambah,

batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum. Terkadang dapat

juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, dan gangguan susah tidur.

Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala respirasi

berupa sesak napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi

sputum, batuk yang semakin sering, napas yang dangkal dan cepat. Sedangkan gejala

sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta

gangguan status mental pasien.2,7,8

16
Penyebab tersering eksaserbasi akut adalah infeksi pada saluran pernafasan

trakeobronkial (virus dan bakteri) dan polusi udara, namun pada sekitar sepertiga

kasus eksaserbasi akut tidak dapat diketahui penyebabnya. Peranan infeksi bakteri

pada PPOK eksaserbasi masih kontroversi. Penelitian terbaru menyatakan setidaknya

50 % penderita mempunyai populasi bakteri yang tinggi pada saluran nafas bagian

bawah. Tingkat terjadinya eksaserbasi sangat bervariasi. Prediktor terbaik dengan

menilai riwayat peristiwa seringnya eksaserbasi sebelum diobati. 1,9Keparahan

eksaserbasi biasanya diklasifikasikan sebagai ringan saat gejala eksaserbasi

pernafasan membutuhkan pengobatan inhalasi terhadap pasien, moderat ketika gejala

eksaserbasi pernafasan membutuhkan intervensi medis termasuk pemberian antibiotik

dan steroid oral dan berat saat gejala eksaserbasi pernafasan memerlukan rawat

inap.1,7,9

3.7 Diagnosis

Gejala ringan sampai berat bervariasi, diagnosis PPOK ditegakkan bedasarkan

temuan klinis dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Indikator untuk mendiagnosis PPOK yaitu sesak bersifat progresif yang bertambah

berat dengan aktivitas, terkadang sesak yang persisten, batuk kronik yang hilang

timbul dan berdahak. Riwayat terpajan dari faktor seperti semakin banyaknya jumlah

perokok pada usia muda, baik perokok aktif maupun perokok pasif serta pencemaran

udara didalam ruangan maupun didalam ruangan.1,5,8

3.7.1 Anamnesis

17
Riwayat anamnesis biasanya pasien seorang yang merokok atau memiliki riwayat

merokok yang disertai dengan gejala pernapasan. Riwayat seringnya terpapar zat

iritan ditempat kerja yang terbuka maupun tertutup, adanya keluhan batuk berulang

dengan atau tanpa dahak dan terkadang pasien sering mengeluh sesak yang kadang-

kadang disertai dengan suara mengi.1

3.7.2 Pemeriksaan Fisik1

1) Inspeksi

Terdapat tanda pursed lips brething, bareel chest, penggunaan otot bantu napas,

hipertrofi otot bantu napas, pelebaran sela iga, terlihat denyut vena jugularis di

leher dan edema apabila terjadi gagal ginja dan penampilan pink puffer atau

blue bloater.

2) Palpasi

Stem fremitus melemah dan teraba sela iga melebar.


3) Perkusi
Suara paru hipersonor, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah dan

hepar terdorong ke bawah.

4) Auskultasi
Suara napas terdengar vesikuler namun terkadang melemah, pada beberapa

kasus dapat terdengar ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau

pada ekspirasi paksa. Pada auskultasi juga didapatkan ekspirasi memanjang dan

bunyi jantung terdengar jauh.

18
3.7.3 Pemeriksaan Penunjang

1) Faal Paru

Pemeriksaan faal paru berupa pemeriksaan spirometri. Spirometri (VEP1, VEP1

prediksi, KVP, VEP, VEP1/KVP). Obstruktif ditentukan oleh nilai VEP 1

prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). Obstruktif ditandai dengan % VEP 1

(VEP1/VEP1 pred) <80 % VEP1 % (VEP1/KVP) < 75%. VEP1% merupakan

parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya derajat PPOK dan

parameter untuk memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak

tersedia, APE (Arus Puncak Ekspirasi) meter walaupun kurang tepat, dapat

dipakai sebagai pemerikssan alternative dengan memantau variabilitas harian

pagi dan sore dan tidak lebih dari 20%.1

2) Laboratorium Darah

Meliputi pemeriksaan beberapa indikator, seperti hemoglobin, hematolrit,

trombosit, leukosit dan analisa gas darah.1

3) Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.1

3.8 Diagnosis Banding

Berbagai penyakit dapat memiliki gejala dan tanda yang menyerupai PPOK.

Diagnosis harus didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Berbagai penyakit yang dapat menjadi diagnosis banding dari PPOK

yakni:1,8

19
1) Asma

Onset awal sering pada anak, gejala bervariasi dari hari ke hari, disertai atopi,

rinitis, riwayat keluarga dengan asma dan sebagian besar reversible.

2) Gagal jantung kongestif

Auskultasi terdengar ronki halus dibagian basal, foto toraks tampak jantung

membesar, edema paru, uji faal paru menunjukkan restriksi dan bukan

merupakan obstruktif obstruksi.

3) Bronkiektasis

Sputum produktif dan purulen, awalnya terkait dengan infeksi bakteri,

auskultasi terdengar ronki kasar dan foto toraks menunjukkan pelebaran

bronkus.

4) Tuberkulosis

Onset segala usia, foto toraks menunjukkan infiltrat, konfirmasi mikrobiologi

(sputum BTA) dan prevalensi di daerah endemis.

3.9 Penatalaksanaan

20
Tatalaksana PPOK stabil

Edukasi Farmakologi Non Farmakologi

Berhenti merokok Bronkodilator Rehabilitasi


Pengetahuan dasar Anti kolinergik Terapi oksigen
PPOK 2 Agonis Vaksinasi *
Obat-obatan Xantin Nutrisi
Pencegahan Kombinasi SABA + Ventilasi non mekanik
perburukan Antikolinergik Intervensi bedah
penyakit Kombinasi LABA +
Menghindari Kortikosteroid
pencetus Antioksidan
Penyesuaian Dipertimbangkan
aktifitas mukolitik

3.9.1 Terapi Farmakologi

1) Bronkodilator

Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis

bronkodilator dapat disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada

penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat

lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).1

Jenis-jenis bronkodilator :1

- Golongan antikolinergik

21
Golongan antikolinergik digunakan pada derajat ringan sampai berat,

disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir

(maksimal 4 kali perhari).

- Golongan agonis beta – 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah

penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat

pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.

Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak

dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan

atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,

karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

- Golongan xantin

Golongan xantin dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan

pemeliharaan jangka panjang terutama pada derajat sedang dan berat.

Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ),

bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin

darah.

2) Anti inflamasi

22
Anti inflamasi digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau

injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan

metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka

panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat

perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.9

3) Antibiotik

Antibiotik hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi dan infeksi.1

4) Antioksidan

Antioksidan dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,

digunakan N–acetyl cystein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi

yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.6

5) Mukolitik

Mukolitik hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan

mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan

sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,

tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.1

3.9.2 Terapi Non Farmakologis

Pemberian edukasi terhadap pasien sangat penting dalam pengelolaan jangka

panjang pada pasien PPOK. Edukasi PPOK berbeda dengan edukasi asma, karena

PPOK merupakan penyakit kronik yang ireversibel dan progresif. Inti dari edukasi

meliputi menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan

23
faal paru. Berbeda dengan asma yang sifatnya reversibel, menghindari pencetus dan

memperbaiki derajat penyakit. Adapun tujuan edukasi bagi pasien PPOK yaitu

mengenal perjalanan penyakit beserta pengobatannya, melaksanakan pengobatan

yang maksimal, mencapai aktivitas yang optimal dan meningkatkan kualitas hidup.1,6

3.10 Komplikasi

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan suatu penyakit yang bersifat

progresif yang dapat memperburuk faal paru seiring perjalanan penyakit. Perlu

pemantauan gejala dan perubahan obstruksi saluran napas sehingga mudah untuk

memodifikasi terapi dan menentukan komplikasi. Komplikasi pada PPOK merupakan

bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan tidak sepenuhnya reversibel, adapun

beberapa komplikasi PPOK yaitu:1,3,9

1) Gagal napas kronik

Gagal nafas kronik ditandai oleh analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2

>60mmHg dan pH normal.

2) Gagal napas akut

Gagal nafas akut ditandai oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum

bertambah dan purulen, demam, kesadaran menurun.

3) Infeksi berulang

Pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni

kuman yang memudahkan terjadinya infeksi ditandai dengan menurunnya kadar

limfosit darah

4) Kor pulmonal

24
Ditandai oleh gelombang P pulmonal pada EKG, hematokrit >50% dapat

disertai gagal jantung kanan.

3.11 Prognosis

Prognosis PPOK dapat bervariasi, bila pasien tidak berhenti merokok,

penurunan fungsi paru akan lebih cepat. Perlu diketahui prognosis jangka pendek dan

panjang bergantung pada umur, gejala klinis yang muncul serta komorditas masing-

masing pasien. Penderita dengan penyakit emfisema paru akan lebih baik dari pada

penderita dengan bronkitis kronis. Penderita dengan sesak nafas ringan dengan usia

(<50 tahun), 5 tahun kemudian akan terlihat perbaikan jika diterapi dengan baik,

tetapi apabila penderita datang dengan sesak nafas sedang, maka 5 tahun kemudian

42% penderita bisa mengalami sesak yang lebih berat dari sebelumnya.4,10

DAFTAR PUSTAKA

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PDPI). Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. Hal 1-71.

25
2. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Lingkungan. Data/Informasi

Kesehatan Provinsi Aceh. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

2015.

3. Dirjen Kesehatan. Strategi Nasional Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi

Kronik di Indonesia 2013-2017. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan. Jakarta: 2017.

4. Nugroho YA. Efek Paparan Partikel Terhadap Kejadian Penyakit Paru

Obstruktif Kronik (PPOK). J Idea Medical RS Baptis Kediri. 10 Agustus

2018; 5(2): 64-9.

5. Fadhil NE. Gambaran Derajat Merokok Pada Penderita PPOK di Bagian Paru

RSUP Dr.M.Djamil. J Kesehatan Andalas. April 2018; 5(2). 306-11.

6. Muttaqin A. Gangguan Sistem Pernapasan. Ed 2. Jakarta: Salemba Medika;

2014. Hal.74-95.

7. Amin Z, Asril B. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam: Sudoyo WA dkk,

editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2010.

Hal. 2230-47.

8. Wardhani DP, Anna U. Pulmonologi. Dalam: Tanto C dkk, editor. Kapita

Selekta Kedokteran Essentials of Medicine Pulmonology. Jakarta: Medika

Aesculapius; 2014. Hal. 828-32.

9. Snow V, Lascher S. The Evidance Base for Management of Acute

Exacerbation of COPD. Chest; 2016. 112-9.

26
10. Lidyadalovya. Gambar Penyakit Paru Obstruktif Kronik. [Serial Internet].

2018 [diakses pada 22 desember 2018]. Diunduh dari

http//www.slideshare.net/mobile/lidyadalovya.

27

Anda mungkin juga menyukai