Anda di halaman 1dari 45

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. YA
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 24 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Gampong paya udang
Agama : Islam
Status perkawinan : Belum menikah
No. Rekam medis : 0-60-80-56
Tgl masuk RS : 10/4/2018
Tgl pemeriksaan : 11/4/2018

1.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam sejak 1 minggu yang lalu, meningkat pada sore hari, batuk
tidak berdahak beberapa hari sebelum masuk ke RS, riwayat batuk darah
disangkal, riwayat sesak disangkal. Pasien tampak lemas, nafsu makan
berkurang,dan juga berat badan turun drastis dalam bulan ini, sakit perut
bagian kanan bawah sejak 1 minggu yang lalu, pasien juga mengeluhkan
mual dan ada riwayat mutah sebanyak 3x SMRS. Buang air besar dan
buang air kecil normal. Pasien juga mengatakan sering berkeringat banyak
pada malam hari.
Riwayat penyakit dahulu : Tidak Ada

1
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat keluarga yang mengalami keluhan atau penyakit serupa
dengan pasien disangkal. Namun pasien mengaku adanya keluhan serupa
(batuk lama) pada teman dilingkungan kostnya.
Riwayat Penggunaan obat : Ada (Paracetamol).
Riwayat Alergi : Riwayat alergi obat dan makanan
disangkal.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Temperatur : 38,2 °C
Pernafasan : 20 x/menit
Nadi : 80 x/menit
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 35 kg

1.4 Status Generalisata


1.4.1 Kepala :
Inspeksi
Rambut : Hitam, Distribusi merata
Wajah : Tidak ada kelainan
Alis mata : Tidak ada kelainan
Bulu mata : Tidak ada kelainan
Mata : Dekstra Sinistra
- Anemis : - -
- Ikterik : - -
Hidung : Tidak ada kelainan
Bibir : Sianosis (-)
Lidah : Tidak ada kelainan

2
1.4.2 Leher :
Inspeksi
K. Limfe : Tidak ada kelainan
Posisi trakea : Midline
1.4.3 Thorax :
a) Depan
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Penggunaan otot bantu nafas : Tidak ada
Ictus cordis : Tidak terlihat
Palpasi
Fremitus taktil :
Regio Dekstra Sinistra
Atas Mengeras Normal
Tengah Mengeras Mengeras
Bawah Normal Normal
Ictus cordis : Teraba, ICS 5 Linea Mid clavicula sinistra
Perkusi
Paru
Lapangan paru kanan sonor memendek, lapangan paru kiri sonor
Batas Relatif : ICS V linea midclavicula dextra
Batas Absolut : ICS VI linea midclavicula dextra
Jantung :
Batas jantung atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri : ICS V 1 jari ke arah medial linea
midclavicularis sinistra
Batas jantung kanan : ICS V linea para parasternalis dextra

3
Auskultasi
Paru

Suara pernafasan : Dekstra Sinistra

- Vesikular: + +
Suara tambahan :

Regio Dekstra Sinistra


Atas Rhonki Basah Negative
Kasar
Tengah Rhonki Basah Negative
Kasar
Bawah - -
Jantung
Bunyi Jantung : BJ I > BJ II
Bunyi Tambahan : Tidak Ada

b) Belakang
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Penggunaan otot bantu nafas : Tidak ada
Venektasi : Tidak ditemukan
Palpasi
Fremitus taktil :
Regio Dekstra Sinistra
Atas Mengeras Normal
Tengah Mengeras Mengeras
Bawah Normal Normal

4
Perkusi
Regio Dekstra Sinistra
Atas Sonor memendek Normal
Tengah Sonor memendek Normal
Bawah Sonor memendek Normal

Auskultasi
Suara pernafasan : Dekstra Sinistra

- Vesikular: + +

Suara tambahan :
Regio Dekstra Sinistra
Atas Rhonki Basah -
Kasar
Tengah Rhonki Basah -
Bawah - -

1.4.4 Abdomen :
Inspeksi
Simetris, Distensi (-), venektasi (-), Ascites (-)

Palpasi
Distensi (-), Nyeri tekan (-)
Hepar: Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba

Perkusi
Tympani

5
Auskultasi
Peristaltik Usus (+) normal
1.4.5 Ekstrimitas
Atas Bawah
Bengkak : Tidak ada Bengkak : Tidak ada
Merah : Tidak ada Merah : Tidak ada
Pucat : Tidak ada Pucat : Tidak ada
Clubbing finger : Tidak ada Tremor : Tidak ada
Tremor : Tidak ada

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Hematologi dan Metabolisme Karbohidrat (10 April 2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 9,9(L) 12-16 g/dl
Hematokrit 31,7(L) 35-47 %
Eritrosit 4,34 3,8-5,2 106/ul
Leukosit 10,57 3,6-11 103/ul
Trombosit 566(H) 150-440 103/ul
Golongan Darah O - -
Metabolisme Karbohidrat
Kadar Gula Darah Sewaktu 93 <200 mg/100ml

Faal Ginjal dan Hati (11 April 2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Faal Ginjal
Ureum 15 10-50 mg/dl
Creatinin 0,16(L) 0,45-0,75 mg/dl
Uric Acid 4,04 2,4-5,7 mg/dl
Faal Hati
Bilirubin Total 0,82 0,1-1,0 mg/dl
Bilirubin Direct 0,27 0,1-1,0 mg/dl
Alkali Phospatase 54 30-120 U/L
SGOT 32 0-35 U/L
SGPT 18 0-35 U/L

6
X-Foto Thoraks PA (11 April 2018)

Interpretasi :
- Tampak bercak infiltrat pada kedua lapang paru.

- Tampak gambaran bercak berawan pada lapang paru kanan atas dan
tengah

- Kesan : Paru TB Aktif

1.6 Diagnosa
Diagnosa Banding :
o TB paru
o Pneumonia
o Mycosis paru
o Tumor Paru
o Brochitis
o Bronkiektasis
Diagnosa Kerja :
o TB paru

7
1.7 Follow Up Pasien

Tanggal Hasil
12-4-2018 S : Nyeri perut (+), Mual (+), Pusing (+), Mencret (+)
O :TD= 110/70MMHG,
HR= 80x/i
RR =20x/i
T= 36,7C
A:
P : ivfd RL 20 gtt/i
Inj Cefotaxime/ 8j
Paracetamol 3x500 mg
13-4-2018 S : Nyeri perut (+), Mual (+), Pusing (+),
Mencret(+), demam(+)
O :TD= 90/60MMHG,
HR= 80x/i
RR =20x/i
T= 38,2C
A : TB paru
P :ivfd Rl 20gtt/i
Inj. Cefotaxime/ 8j
Paracetamol 3x500 mg
Isoniazid 1x100 mg
Rifampisin 1x300 mg
Pirazinamid 2x500 mg
Etambutol 1x250 mg
14-4-2018 S : Nyeri perut (+), Mual (+),muntah (+), Pusing (+),
Mencret(+), demam(+) , nyeri sendi (+)
O :TD= 90/60MMHG,
HR= 80x/i
RR =20x/i

8
T= 37,9C
A : TB paru
P :ivfd Rl 20gtt/i
Inj. Cefotaxime/ 8j
Paracetamol 3x500 mg
Isoniazid 1x100 mg
Rifampisin 1x300 mg
Pirazinamid 2x500 mg
Etambutol 1x250 mg
15-4-2018 S : Nyeri perut (+), Mual (+), Pusing (+), demam(+)
O :TD= 90/50MMHG,
HR= 80x/i
RR =20x/i
T= 38,7C
A : TB paru
P :ivfd Rl 20gtt/i
Inj. Cefotaxime/ 8j
Paracetamol 3x500 mg
Isoniazid 1x100 mg
Rifampisin 1x300 mg
Pirazinamid 2x500 mg
Etambutol 1x250 mg
16-4-2018 S : Nyeri perut (+), Mual (+), Pusing (+), nyeri
pinggang(+),
O :TD= 90/60MMHG,
HR= 80x/i
RR =20x/i
T= 36,7C
A : TB paru
P :ivfd Rl 20gtt/i
Inj. Cefotaxime/ 8j

9
Paracetamol 3x500 mg
Isoniazid 1x100 mg
Rifampisin 1x300 mg
Pirazinamid 2x500 mg
Etambutol 1x250 mg
Renadinac 2x1
Lansoprazole 2x30 mg
17-4-2018 S : Nyeri perut (+), Mual (+), Pusing (+),
Mencret(+), demam(+)
O :TD= 90/60MMHG,
HR= 80x/i
RR =20x/i
T= 38,2C
A : TB paru
P :Isoniazid 1x100 mg
Rifampisin 1x300 mg
Pirazinamid 2x500 mg
Etambutol 1x250 mg
Renadinac 2x1
Lansoprazole 2x30mg
Cotrimoxazole 2x1
18-4-2018 PBJ

1.8 Penatalaksanaan
Non Farmakologis :

10
- Bed rest

Farmakologis :

- RL 20 gtt/menit
- Cefotaxime 1g/8 jam
- Paracetamol 3x500 mg
- Isoniazid 1x300 mg
- Rifampicin 1x300 mg
- Pyrazinamid 2x500 mg
- Ethambutol 500 mg 1 x 1

1.9 Prognosis
- Quo ad Vitam : ad bonam
- Quo ad Functionam : ad bonam
- Quo ad Sanationam : ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

11
2.1 Definisi dan Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru) yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang
dengan panjang 1-4 μm dan tebal 0,3 – 0,6 μm, tidak berspora, tidak
berkapsul dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch
pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri
tersebut diberi nama basil Koch. Bahkan, penyakit TB pada paru-paru
disebut juga sebagai Koch Pulmonum (KP)1.

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan Ziehl


Neelsen (berbentuk batang berwarna merah)

2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal manusia, biasanya dihubungkan dengan tempat tinggal
didaerah urban, lingkungan yang padat.
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan
WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus BTA (Basil
Tahan Asam ) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman

12
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di
Asia tenggara yaitu 33% dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara
yaitu 350 per 100.000 penduduk1.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan
2-3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa
jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000
orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka
mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus
TB yang muncul1.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus
TB setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan
sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada
seluruh kalangan usia1.

2.3 Cara Penularan


Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi droplet
nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdahak
yang mengandung basil tahan asam (BTA). Apabila pasien mengadakan
ekspirasi paksa berupa batuk, bersin, tertawa keras, akan menyebabkan
keluarnya percikan-percikan dahak halus (droplet nuclei), yang berukuran
kurang dari 5 mikron dan akan melayang-layang di udara. Bila droplet
nuclei tersebut terhirup oleh orang sehat, maka orang tersebut akan beresiko
tertular2. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa
saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji
<5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis langsung. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah

13
65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif
adalah 17%.
Risiko mendapat infeksi Mycobacterium tuberculosis ditentukan
terutama oleh faktor-faktor eksogen :2
a. Kontak dengan penderita BTA positif (seberapa dekat dan seberapa
lama)
b. Lingkungan tempat kontak (lingkungan yang padat atau rumah dengan
ventilasi ruang yang buruk)
Dan juga faktor-faktor endogen, seperti :2
a. Daya tahan tubuh
b. Usia
c. Penyakit penyerta (infeksi HIV, silikosis, limfoma, leukemia,
malnutrisi, gagal ginjal kronis, diabetes melitus, orang dengan terapi
imunosupresif dan hemophilia)

2.4 Patogenesis
2.4.1 Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang terhirup melalui droplet nuclei dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan
tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan parus disebut
Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di keenjar limfe (limfadenitis)

14
yng terka. Jika fokus primer terletak di lobus paru bagian bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat
adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara
fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu.

Kompleks primer ini selanjutnya dapat mengalami salah satu hal


dibawah ini3:
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak
terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi
pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ±10% diantaranya dapat
terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya. Salah satu
contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran
napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat
ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis6.
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
yang disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum
dan ludah sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang
yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi

15
bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan yang cukup gawat seperti TB milier,
meningitis TB, typhobachillosis Landouzy6.

2.4.2 Post-Primer (Sekunder)


Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis
dewasa (tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder).
Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Terjadi karena imunitas menurun akibat
malnutrisi, alkohol, diabetes, AIDS dan gagal ginjal. Tuberkulosis pasca
primer ini dimulai dari sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian
apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah
parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-
mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini
menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit
dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai
jaringan ikat1-4.
Sarang dini pada tuberkulosis sekunder ini akan mngikuti salah satu
jalan sebagai berikut:2-4
1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses
penyembuhan dengan serbukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan
terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
3) Sarang tersebut meluas, membentuk jaringan keju. Kavitas akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindinganya akan menjadi
tebal (kavitas sklerotik). Kavitas tersebut akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang baru.
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan sembuh, dan
mungkin aktif kembali, mencair lagi dan terus menjadi kavitas
lagi.

16
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau
kavitas menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang
terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang.

Gambar 2. Patogenesis Tuberkulosis


2.5 Klasifikasi Pasien TB
Infeksi Tuberkulosis berdasarkan lokasi diklasifikasikan atas :
1. TB paru
2. TB extra paru
TB paru diklasifkasikan berdasarkan:2,7
1) Hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. TB paru BTA(+)
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif

17
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
b. TB paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan rediologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotik spektrum luas
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. tuberculosis positif
- Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa

2) Berdasarkan riwayat pengobatan pasien


a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT
namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28
dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir, yaitu:
- Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
- Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan
terakhir.

18
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan
lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
- Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil
akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Berdasarkan hasil uji kepekaan OAT:
a. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
b. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang
sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis
suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
e. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional).

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu
gejala lokal (repiratorik) dan gejala sistemik.
1) Gejala Respiratorik2,3,8
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada
gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.
a. Batuk

19
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus.
Batuk ≥ 2 minggu dan mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus,
selanjutnya akibat adanya peradangan pada bronkus batuk akan
menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang
produk-produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid
atau purulen.

b. Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan
ringannya batuk darah yang timbul tergantung dari besar kecilnya
pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat
pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga dapat terjadi karena
ulserasi pada mukosa bronkus. Batuk darah inilah yang paling sering
membawa penderita berobat ke dokter.
c. Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
d. Wheezing
Terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan
oleh sekret, peradangan, jaringan granulasi dan ulserasi.
e. Dispneu
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan
paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah
didapatkan.

2) Gejala sistemik4,8,9
a. Demam
Demam merupakan gejala pertama dari TB paru, biasanya subfebril,
mirip demam influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya
tahan tubuh dan virulensi kuman, serangan demam yang berikut

20
dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan (multiplikasi 3 bulan).
Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40-41°C.

b. Keringat malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit
tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses
telah lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor labil,
keringat malam dapat timbul lebih dini.

c. Malaise dan nafsu makan berkurang


Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa
tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin
kurus, sakit kepala dan mudah lelah.

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesa
Dari anamnesa didapatkan keluhan pasien berupa gejala respiratorik
dan gejala sistemik.
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru.  Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.  Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6).  Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi “cold abscess”

21
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
1) Radiologis
Pemeriksaan standar ialah X-foto toraks proyeksi PA.
Peroyeksi lain atas indikasi: lateral, top-lordotik, oblik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif1 :
- Bayangan berawan / nodular disegmen apikal dan
posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus
bawah paru.
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh
bayangan opak berawan atau nodular.
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral
(jarang)
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif :
- Fibrotik
- Kalsifikasi
- Schwarte atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk


kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut
(terutama pada kasus BTA negatif) :

- Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu


atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume
paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra
torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2)
dan tidak dijumpai kaviti.
- Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

22
2) Laboratorium
a. Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah
( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini
sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai
keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan
untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan
biologik/ daya tahan tubuh penderida, yaitu dalam keadaan
supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
Limfositpun kurang spesifik. Selain itu juga dapat ditemukan
Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer.2
b. Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis tuberculosis terutama pada anak-anak
(balita). Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang
individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.tuberculosae,
M.bovis, vaksinasi BCG dan Myvobacteria patogen lainnya. Di
Indonesia, dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi,
pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang
berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu
bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat
besar sekali.1,5,6
Teknik standar tes Mantoux adalah dengan
menyuntikkan tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative)
sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 T.U. tuberkulin secara
intrakutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal

23
lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Jarum
dipegang dengan permukaan miring diarahkan ke atas dan
ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan
terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang
menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan
dengan tepat dan cermat9.

Gambar 3. Uji Tuberkulin

Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum


diperlukan waktu antara 48-72 jam sesudah penyuntikan dan
reaksi harus dibaca dalam periode tersebut, yaitu dalam cahaya
yang terang dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Hanya
indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritem yang
bernilai9.
Hasil tes mantoux ini dibagi dalam3:
- Indurasi berdiameter 0-5 mm : Mantoux negatif
- Indurasi berdiameter 6-9 mm : hasil meragukan
- Indurasi berdiameter 10-15 mm : Mantoux positif
- Indurasi berdiameter > 15 mm : Mantoux positif kuat

24
- Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantous ± 5
mm, dinilai positif.
c. Pemeriksaan Sputum
1. Mikroskopis langsung
Pemeriksaan sputum penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah
dapat dipastikan. Disamping itu, pemeriksaan sputum juga
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah, sehingga dapat
dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang
tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang
tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini,
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien
dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan
melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan menambahkan
obat-obat mukolitik ekspektoran sebelumnya.
Cara pengumpulan spesimen dilakukan dengan cara:6
- Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya )
- Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila :
- 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
- 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA sampai 3
kali
- 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
- 3 kali negatif → Mikroskopik negatif
-
2. Pemeriksaan Biakan

25
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi
Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
- Pasien TB ekstra paru
- Pasien TB anak.
- Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis langsung BTA negatif.

Gambar 4. Alur diagnosis TB Paru pada pasien dewasa (Tanpa


kecurigaan/bukti hasil tes HIV (+) atau TB Resisten OAT)

26
2.8 Diagnosa Banding
Pada proses paru minimal sebagai diagnosis banding adalah simple
bronchopneumonia, kanker paru stadium dini, dan pneumonia lobaris. Pada
proses tuberkulosis menahun perlu diingat bahwa ada penyakit paru non
tuberkulosis yang bersifat menahun, seperti bronkiektasis, bronkitis,
emfisema dan kanker paru.4,8

27
a.Simple bronkopneumonia1
Terdapat pada bronkiolus dan bronkus. Disebabkan oleh
streptococcus, hemophilus influenza, koliform dan jamur. Sering
ditandai dengan septikemia, demam dan kurang kesadaran. Juga terdapat
bercak-bercak konsolidasi.1
b. Pneumonia lobaris1
Disebabkan oleh streptococcus pneumonia. Disertai dengan keluhan
batuk, nyeri dada, demam,dan sputum purulen. Pneumonia lobaris
mengenai seluruh lobus.1
c. Kanker paru stadium dini1
Tidak ada stadium batuk berdarah. Ditemukan gambaran patologis
ditemukan sel neoplasma.1
d. Bronkitis1
Ditandai dengan keluhan batuk, dyspneu dan takypneu. Biasanya
disebabkan oleh virus (hemophilus influenza) dan bakteri (streptococcus
pneumonia).1

2.9 Penatalaksanaan10
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan
tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif/awal 2-3 bulan dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan.
Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan2. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan:
1. Jenis obat utama (lini 1):
- Rifampisin (R)
- INH (H)
- Pirazinamid (Z)
- Streptomisin (S)
- Etambutol (E)
Tabel 1. Sifat dan Efek Samping OAT Lini 1

28
Tabel 2. Kisaran dosis OAT Lini 1

2. Jenis obat untuk pengobatan TB MDR (lini 2) adalah:


- Kanamycin (Km)
- Amikacin (Am)
- Capreomycin (Cm)
- Levofloksasin (Lfx)
- Moksifloksasin (Mfx)
- Para-aminosalicylic acid (PAS)
- Ethionamide (Etio)
Tabel 3. Sifat dan Efek Samping OAT Lini 2

29
Berdasarkan pedoman nasional pengendalian tuberkulosis tahun 2014,
Paduan OAT Lini Pertama dan Peruntukannya adalah sebagai berikut:
1) Kategori 1: 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
- Pasien TB paru terdiagnosis klinis
- Pasien TB ekstra paru
2) Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang):
- Pasien kambuh

30
- Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up).

OAT Kategori 1 dan Kategori 2 ini disediakan dalam bentuk :


1) Paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT)
Terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.
keuntungan penggunaan OAT-KDT, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping,
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep,
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Tabel 4. Dosis Paduan OAT-KDT Kategori 1

Tabel 5. Dosis Paduan OAT-KDT Kategori 2

31
2) Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT
KDT sebelumnya.

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1

Tabel 7. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2

Evaluasi Pengobatan

32
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan
dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan
negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh
uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil
pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah
menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan
(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada
semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya
dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan
dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.
Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang
dahak untuk memantau kemajuan hasil pengobatan:
1) Abila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :
- Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan
dosis pengobatan tahap lanjutan
- Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal
(pada bulan ke 5 dan Akhir Pengobatan).
2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :
a. Pada pasien yang mendapat pengobatan dengan paduan OAT
kategori 1 :
- Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila
tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya
berobat teratur.

33
- Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT
sisipan). Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah
pemberian OAT tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan pemeriksaan uji
kepekaan obat.
- Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat,
lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada
akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
b. Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan
dengan paduan OAT kategori 2):
- Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila
tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya
berobat teratur.
- Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR
- Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat
atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan
dosis OAT tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan
diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke-5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
3) Hasil pemeriksaan pada bulan ke 5 atau lebih
- Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang
apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif,
lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan selesai
diberikan
- Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT
kategori 1) apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya
positif, pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan
sebagai terduga pasien TB MDR. Lakukan pemeriksaan uji
kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR.

34
Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.
- Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat
pengobatan dengan paduan OAT kategori 2) apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan
dinyatakan gagal. Harus diupayakan semaksimal mungkin agar
bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS
Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab
belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke
RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan
dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya PPI
(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).

Efek samping OAT dan penatalaksanaannya

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa


mengalami efek samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien
dapat saja mengalami efek samping yang merugikan atau berat. Secara
umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya
tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara
mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk menghilangkan
keluhannya. Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan
harus dihentikan sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau
fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang
mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit. Tabel
berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan keluhan dan gejala.

35
Tabel 8. Efek samping ringan dan penatalaksanaannya

Tabel 9. Efek samping berat dan penatalaksanaannya

*Catatan : Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada
penyebab lain, dianjurkan untuk memberikan pengobatan simtomatis
dengan antihistamin serta pelembab kulit. Pengobatan TB tetap dapat

36
dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian terjadi rash,
semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk ke fasyankes rujukan.

2.10 Prognosis
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan
pengobatan yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai
0-14% yang biasanya muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai
terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering
terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis
biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis
dipengaruhi oleh penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru,
immunokompeten. Usia tua serta riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks
massa tubuh yang melambangkan status gizi juga menjadi faktor yang
mempengaruhi prognosis.

2.11 Komplikasi
Komplikasi dari TB Paru dapat berupa:
1) TB Larings
Karena setiap kali dahak yang mengandung basil TB dikeluarkan
melalui larings, tidaklah mengherankan bila ada basil yang tersangkut di
larings dan menimbulkan proses TB di tempat tersebut, sehingga terjadilah
TB larings.1,2
2) Pleuritis Eksudatif
Bila terdapat proses TB di bagian paru dekat sekali dengan pleura,
pleuara akan ikut meradang dan menghasilkan cairan eksudat. Dengan lain
kata, terjadilah pleuritis eksudatif. Tidak jarang proses TB nya masih
begitu kecil, sehingga pada foto paru belum tampak kelainan. Bilamana
cairan eksudat masih sedikir, cukup diberikan terapi spesifik saja, tetapi
bila cairan semakin banyak, perlu dilakukan pungsi dan cairan eksudat
dikeluarkan sebanyak mungkin, untuk menghindari terjadinya Schwarte di
kemudian hari.
3) Pneumothoraks

37
Bisa saja terjadi proses nekrotis berlangsung dekat sekali dengan
pleura, sehingga pleura ikut mengalami nekrosis dan bocor, sehingga
terjadilah pneumothoraks. Sebab lain pneumothoraks adalah pecahnya
dinding kavitas yang kebetulan berdekatan dengan pleura, sehingga pleura
pun ikut robek.2
4) Hemoptisis
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah yang berasal dari saluran
nafas bagian bawah (dibawah pita suara). Karena pada dasarnya proses TB
adalah proses nekrosis, kalau diantara jaringan yang mengalami nekrosis
terdapat pembuluh darah, besar kemungkinan penderita akan mengalami
batuk darah, yang dapat bervariasi mulai dari jarang sekali sampai
sering/setiap hari. Variasi lainnya adalah jumlah darah yang dibatukkan
keluar mulai dari sangat sedikit (berupa garis pada sputum) sampai banyak
sekali (profus), tergantung pada pembuluh darah yang terkena.
Batuk darah baru akan membahayakan jiwa penderita bila profus,
karena dapat menyebabkan kematian oleh syok dan anemia akut. Di
samping itu, darah yang akan dibatukkan keluar akan menyangkut di
trakea/larings dan akan menyebabkan asfiksia akut yang dapat berakibat
fatal.1,3
Untuk batuk darah yang minimal sampai agak banyak, dapat
diberikan koagulan dan/atau obat-obatan trombolitik (asam traneksamat)
saja. Bila perdarahan agak hebat, perlu dipertimbangkan pemberian
transfusi darah segar. Kalau hal ini sering berulang, perlu juga
dipertimbangkan lobektomi ataupun embolisasi arteri, yang menjadi
permasalahan.3
Dalam stadium akut sampai beberapa hari sesudahnya, sebaiknya
diberikan pula antitusif untuk mencegah batuk, sebaiknya diberikan pula
antitusif untuk mencegah batuk, setidak-tidaknya mengurangi frekuensi
batuk untuk memberi kesempatan beristirahat secukupnya bagi lesi,
sampai thrombus yang terbentuk cukup kuat.

38
Hemoptisis dikatakan massif apabila batuk darah mencapai > 600
ml darah dalam 24 sampai 48 jam.3
Prinsip tatalaksana hemoptisis massif adalah mempertahankan jalan
nafas, proteksi paru yang sehat, menghentikan perdarahan. Dengan cara :
- Oksigenasi
- Istirahat baring, kepala direndahkan dan tubuh dimiringkan ke
sisi sakit.
- Medikamentosa: Kodein/antitusif untuk supresi batuk
- Koreksi koagulopati : Vit K IV
Indikasi dilakukannya operasi pada pasien batuk darah massif:
- Batuk darah > 600 cc/24 jam, dan pada observasi tidak berhenti
- Batuk darah > 100-250 cc/24 jam, Hb < 10g/dl. Dan pada
observasi tidak berhenti.
- Batuk darah 100-250 cc/24 jam, Hb >10 gr/dl, pada observasi 48
jam tidak berhenti.

39
BAB III
KESIMPULAN

1. Tuberkulosis paru disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium


tuberculosis.

2. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri
menyebar ke udara dalam bentuk droplet.

3. Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan


mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di
sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masing-
masing individu.

4. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.

5. Gejala klinis utama TB apru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan.

6. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,


mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Zulkifli A, Asril B. Tuberkulosis paru. Dalam: Ilmu penyakit dalam. Jilid III.
Edisi V.  Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. 
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2009.
3. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, Jilid 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007.

988-993

4. Alsagaff H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit

Paru. Jakarta: Airlangga, 2012. 73-108

5. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA, Brooks GF, Butel JS, Ornston LN.

Mikrobiologi Kedokteran, Buku II Edisi I Jakarta: Salemba Medika, 2009.

6. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Program Penanggulangan

Tuberkulosis. http://www.tbcindonesia.or.id [Diakses 21 April 2018]

7. WHO. Standar Internasional Penanganan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI, 2006

8. Yunus F. Diagnosis Tuberkulosis. http://www.kalbe.co.id/files/cdk [Diakses

21 April 2018]

9. Permatasari A. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS.

http://www.Adln.lib.unair.ac.id/go.php.id=jiptunair [Diakses 21 April 2018]

41
10. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian

Kesehatan RI. 2014.

LAMPIRAN

Tabel 6. Penatalaksanaan pasien TB yang berobat tidak teratur

42
LAPORAN KASUS
TB PARU

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Langsa

Oleh:
Luthfi Maullana Dicatama
Syahrial
Qurzatul Aini

Pembimbing:
dr. Gunardi, Sp.PD. FINASIM

43
ILMU PENYAKIT DALAM RSUD LANGSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
2018
DAFTAR ISI

BAB I LAPORAN KASUS.............................................................................. 1

1.1 Identitas Pasien............................................................................... 1

1.2 Anamnesa....................................................................................... 1

1.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................... 2

1.4 Status Generalisata.......................................................................... 2

1.5 Pemeriksaan Penunjang.................................................................. 6

1.6 Diagnosa Pasien.............................................................................. 7

1.7 Follow Up Pasien............................................................................ 8

1.8 Penatalaksanaan.............................................................................. 11

1.9 Prognosis......................................................................................... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 12

2.1 Definisi dan Etiologi....................................................................... 12

2.2 Epidemiologi................................................................................... 12

2.3 Cara Penularan................................................................................ 13

2.4 Patogenesis..................................................................................... 14

2.5 Klasifikasi....................................................................................... 17

2.6 Manifestasi Klinis........................................................................... 19

44
2.7 Diagnosis........................................................................................ 21

2.8 Diagnosis Banding.......................................................................... 27

2.9 Penatalaksanaan.............................................................................. 27

2.10 Prognosis....................................................................................... 36

2.11 Komplikasi.................................................................................... 36

BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 39

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

45

Anda mungkin juga menyukai