Anda di halaman 1dari 32

DENGUE HEMORAGIC FEVER

Oleh :

Reyhan Julio A. 1110313068


Mayang Mailiani 1210312077
Ayu Putri Firda Ningsih 1310311043

Pembimbing :
dr. Yerizal Karani, Sp.PD, Sp.JP, FIHA

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR M DJAMIL

PADANG 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan
hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini yang bejudul
“Dengue Hemoragic fever”. Referat ini ditujukan sebagai slah ssatu syaat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik dibagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR. M.
Djamil Padang.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Yerizal Karani, Sp.PD, Sp.JP,


FIHA selaku preseptor. Penulis menyadai bahwa referat ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
yang membaca demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap makalah ini
dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang
diagnosis dan penatalaksanaan hepatitis terutama bagi penulis dan bagi rekan-rekan
sejawat lainnya.

Padang, Desember 2017

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam dengue merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi

virus dengue oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4

jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara gigitan

vektor nyamuk Aedes aegypti (Stegomiya aegypti) atau Aedes albopictus (Stegomiya

albopictus). Demam berdarah dengue (DBD) merupakan bentuk klinis yang lebih

berat dari demam dengue dengan adanya demam tinggi, nyeri kepala, nyeri pada

mata, sendi dan bercak kemerahan pada kulit dan dapat berlanjut ke kondisi syok.

Dalam 50 tahun terakhir kejadiannya meningkat 30 kali lipat dengan penyebaran

yang meluas ke berbagai negara baru dengan karakteristik geografis yang beragam

dari area pemukiman ke perkotaan. 9 Sekitar 70% populasi yang berada dalam resiko

terinfeksi dengue berada di kawasan asia tenggara dan pasifik bagian barat.

Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita

DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya

meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya,

yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah

kasus meninggal sebanyak 871 penderita.2


Kasus DBD di Kota Padang mengalami peningkatan mencapai sekitar 1.000

kasus pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014 yang hanya 660 kasus. Menurut

data dari Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil selama bulan Desember 2015 ada

21 kasus yang terjadi.4

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan DHF.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah mengembangkan wawasan dan
pemahaman penulis mengenai penyakit DHF.

1.4 Manfaat Penulisan


Referat ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber keilmuan yang
terstruktur bagi calon dokter sehingga dapat menangani kasus DHF dengan
benar di layanan primer.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Demam dengue merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

infeksi virus dengue oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan

mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui

perantara gigitan vektor nyamuk Aedes aegypti (Stegomiya aegypti) atau Aedes

albopictus (Stegomiya albopictus). Demam berdarah dengue (DBD) merupakan

bentuk klinis yang lebih berat dari demam dengue dengan adanya demam tinggi,

nyeri kepala, nyeri pada mata, sendi dan bercak kemerahan pada kulit dan dapat

berlanjut ke kondisi syok. Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan syok

hipovolemik yang terjadi pada DBD yang diakibatkan peningkatan permeabilitas

kapiler yang disertai perembesan plasma. Syok dengue pada umumnya terjadi di

sekitar penurunan suhu tubuh (fase kritis), yaitu pada hari sakit ke 4-5 (rentang hari

ke 3-7), dan sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning signs).1,7,8

Syok dalam proses terjadinya terdapat beberapa istilah, yaitu: (1) Profound

shock, merupakan syok tidak terkompensasi, pada kondisi ini nadi tidak teraba,

tekanan darah tidak terukur, sianosis makin jelas terlihat. (2) Prolonged shock, yaitu

syok yang tidak berhasil diatasi walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan sebanyak

tiga kali, tekanan nadi sempit, asidosis, oliguri, organ disfunction. Prolonged shock

juga diartikan sebagai keadaan syok yang tidak mengalami perbaikan setelah
mendapat ≥ 60 mL/kgBB cairan intavena atau pasien masih dalam keadaan syok

setelah ≥ 6 jam pemberian cairan intravena. (3) Recurrentshock, merupakan syok

yang terjadi kembali setelah sebelumnya telah dapat diatasi.1

1.2 Epidemiologi

Dengue merupakan penyakit infeksi virus mosquito-borne yang tersebar

paling cepat di dunia. Dalam 50 tahun terakhir kejadiannya meningkat 30 kali lipat

dengan penyebaran yang meluas ke berbagai negara baru dengan karakteristik

geografis yang beragam dari area pemukiman ke perkotaan.9 Sekitar 70% populasi

yang berada dalam resiko terinfeksi dengue berada di kawasan asia tenggara dan

pasifik bagian barat. Semenjak tahun 2000 angka kematian akibat dengue mencapai

rata rata 1% di area ini, namun di Indonesia, India dan myanmar angka kematian

mencapai 3-5% (Gambar 1.)9


Gambar 1. Negara-negara/area-area dengan risiko transmisi dengue.9

Beberapa tahun terakhir, kasus demam berdarah dengue (DBD) seringkali

muncul di musim pancaroba, khususnya bulan Januari di awal tahun seperti sekarang

ini. Karena itu, masyarakat perlu mengetahui penyebab penyakit DBD, mengenali

tanda dan gejalanya, sehingga mampu mencegah dan menanggulangi dengan baik.

Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34

provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia.

Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013

dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal

sebanyak 871 penderita.2

Dinas Kesahatan Sumatera Barat mencatat terdapat 28 kematian di 16

kabupaten/kota yang ada di provinsi Sumatera Barat akibat demam berdarah dengue

(DBD) sejak Januari hingga Desember 2015. Kasus DBD di Kota Padang mengalami

peningkatan mencapai sekitar 1.000 kasus pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014

yang hanya 660 kasus. Menurut data dari Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil

selama bulan Desember 2015 ada 21 kasus yang terjadi.4

1.3 Etiologi

Etiologi penyakit demam berdarah dengue adalah virus dengue, termasuk

famili Flaviviridae, genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1,

DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara gigitan vektor nyamuk Aedes aegypti

(Stegomiya aegypti) atau Aedes albopictus (Stegomiya albopictus). Indonesia


memiliki keempat serotipe virus dengue ini. Virus dengue termasuk dalam kelompok

virus yang relatif labil terhadap suhu dan faktor kimiawi lain serta memiliki masa

viremia yang pendek. Virion virus dengue tersusun oleh genom RNA yang

dikelilingi oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang

mengandung dua protein yaitu selubung protein E dan protein membran M.10

Jika seseorang terinfeksi pertama kali (primer) dengan satu serotipe maka

orang tersebut akan mendapatkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe

tersebut, tetapi pada infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondary

heterologous infection) pada umumnya memberikan manifestasi klinis yang lebih

berat dibandingkan dengan infeksi primer.1

1.4 Faktor Risiko

Pada dengue shock syndrome, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya

syok yaitu serotipe virus dengue, umur, jenis kelamin, ras, genetik, daya tahan tubuh,

infeksi primer atau sekunder, penyakit lain yang menyertai, serta status nutrisi. 11

Status nutrisi mempengaruhi derajat berat ringannya penyakit berdasarkan teori

imunologi yaitu gizi baik meningkatkan respon antibodi. Hal ini sejalan pada

penelitian empat dekade terakhir yang telah membuktikan hasil observasi original

yang dilakukan pada tahun 1970-an bahwa pada DBD dan DSS memang memiliki

dasar imunologik. Hal ini yang mendasari teori imunologik pada pasien dengan

obesitas.12
Pada pasien dengan obesitas akan terjadi reaksi antigen dan antibodi yang

berlebihan dan menyebabkan infeksi dengue lebih berat. Hal ini berhubungan

dengan pelepasan sitokin pro-inflamasi oleh sel adiposit jaringan lemak pada pasien

obesitas. Sel adiposit jaringan lemak mensekresikan dan melepaskan sitokin pro-

inflamasi yaitu TNFα (tumour necrosis factor α) dan beberapa interleukin (IL) yaitu

IL-1β, IL-6, dan IL-8. Pada obesitas terjadi peningkatan ekspresi TNF α dan IL-6.

Salah satu efek TNF α adalah meningkatkan permeabilitas kapiler sedangkan pada

DSS juga terjadi produksi TNF α, IL-1, IL-6 dan IL-8.13

Selain faktor imunologik, gambaran klinis dan laboratorium juga merupakan

salah satu faktor risiko terjadinya syok pada DBD. Telah dilakukan penelitian di

RSUP M Djamil Padang pada tahun 2007 tentang faktor risiko syok pada DBD.

Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dari data rekam medik pasien

DBD (kriteria WHO 1997) yang dirawat di RS. M. Djamil Padang pada Januari-

Desember 2007. Dicatat umur, jenis kelamin, status gizi, suhu, manifestasi

perdarahan, hepatomegali, nilai hemoglobin, leukosit, hematokrit, dan trombosit saat

masuk rumah sakit serta derajat DBD, dihubungkan dengan kejadian syok. Hasil

menunjukkan dengan analisis multivariat bahwa faktor yang paling berhubungan

dengan syok adalah suhu, perdarahan spontan, hepatomegali, jumlah trombosit,

hematokrit, dan leukosit (p<0,05).3

1.5 Klasifikasi

WHO mengklasifikasikan infeksi dengue menjadi 3 besar yaitu demam yang

tidak terklasifikasikan, demam dengue, dan demam berdarah dengue (DBD). DBD
memiliki 4 derajat menurut keparahan penyakitnya, derajat 3 dan 4 merupakan

dengue shock syndrome (DSS).14

Tabel 1. Grading demam berdarah dengue.9

DHF Grade Gejala Laboratoris


Demam, dengan dua atau Trombositopenia < 100.000

lebih gejala; nyeri kepala,


Peningkatan hematokrit ≥ 20%
I nyeri retro-orbita,

myalgia/atrhralgia. Ditambah

dengan tes tourniquet positif


Demam, dengan dua atau Trombositopenia < 100.000

lebih gejala; nyeri kepala,


Peningkatan hematokrit ≥ 20%
II nyeri retro-orbita,

myalgia/atrhralgia. Ditambah

dengan perdarahan spontan


III Demam, dengan dua atau Trombositopenia < 100.000

lebih gejala; nyeri kepala,


Peningkatan hematokrit ≥ 20%
nyeri retro-orbita,

myalgia/atrhralgia. Ditambah

dengan tes tourniquet positif

dan/ perdarahan spontan, dan

tanda tanda kegagalan

sirkulasi (nadi cepat &

lemah, hipotensi dan


kelemahan)
Shock dengan tekanan darah Trombositopenia < 100.000

IV yang tidak teratur dan nadi


Peningkatan hematokrit ≥ 20%
tidak teraba

Terdapat kesulitan dalam mengklasifikasikan dengue menurut WHO

1997yang ditandai dengan semakin meningkatnya kasus dengue berat diklinis yang

tidak sesuai dengan kriteria WHO 1997 seperti ensefalopati. Hal ini

disebabkankarena klasifikasi ini terlalu luas sehingga menurut WHO perlu

diadakannyapembaharuan agar memudahkan diagnosis dan identifikasi

penggolongan tingkatderajat dengue untuk triase dan penanganan awal di rumah

sakit sehinggapenanganan pasien menjadi lebih cepat dan terarah. Gambar dibawah

ini merupakan kriteria WHO 2009.14


Gambar 2. Klasifikasi kasus dengue dan tingkat keparahannya.9

Pada tahun 2011 SEARO (South East Asia Regional Office) menambahkan

adanya kriteria expand karena pada beberapa penyakit tidak dapat diklasifikasikan ke

dalam kriteria WHO 2009, SEARO juga memperbaharui dalam mengklasifikasikan

infeksi dengue, klasifikasi tersebut berupa demam yang tidak terklasifikasikan,

demam dengue tanpa manifestasi perdarahan, demam dengue dengan manifestasi

perdarahan, demam berdarah dengue dengan kebocoran plasma, demam berdarah

dengue tanpa adanya tanda-tanda syok, demam berdarah dengue diikuti syok,

demam dengue dengan perluasan dari sindroma dengue.15,16,17

1.6 Patofisiologi

1.6.1 Volume Plasma


Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan

membedakan antara demam dengue (DD) dengan demam berdarah dengue (DBD)

ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma,

terjadinya hipotensi, trombositopenia, disertai diathesis hemoragik. Plasma akan

merembes selama perjalanan penyakit mulai dari awal masa demam dan mencapai

puncak pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut,nilai hematokrit

meninggi secara bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel pembuluh

darah. Bukti adanya kebocoran plasma ialah meningkatnya berat badan, ditemukan

cairan yang tertimbun dalam rongga serosa seperti peritoneum, pleura, dan

perikardium.19

1.6.2 Trombositopenia

Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai

terendah pada masa syok. Trombositopenia diduga disebabkan oleh depresi fungsi

megakariosit dan peningkatan destruksi trombosit. Peningkatan destruksi trombosit

disebabkan oleh virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel

endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah.

Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan

proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah.

Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama

terjadinya perdarahan pada DBD.19


1.6.3 Sistem Komplemen

Aktivasi sistem komplemen oleh virus dengue akan menghasilkan

anafilaktoksin C3 dan C5 yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk

melepaskan histamine yang merupakan mediator kuat untuk menimbulkan

peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok

hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel,

permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit

memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.19

1.7 Patogenesis

Patogenesis demam berdarah dengue (DBD) dan dengue shock syndrome

(DSS) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut

adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan

hipotesis immune enhancement. Halstead menyatakan mengenai hipotesis secondary

heterologous infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe

virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk

menderita DBD atau DSS. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan

mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen

antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama

makrofag. Sifat antibodi yang heterolog menyebabkan virus tidak dinetralisirkan

oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon

antibodi anamnestik).8,19
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit

dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus

kompleks antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5),

melepaskan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding

pembuluh darah sehingga plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume

plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok.8,19

Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang

akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.

Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang

kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitaspembuluh darah, sehingga

mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan

plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar

natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus

dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus

mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.

Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan

peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai

potensi untuk menimbulkan wabah.8,19

Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga

menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui

kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan

perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran

ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini

akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)

sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi

trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi

stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan

menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati

konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan

FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor

pembekuan.8,19

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,

sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di

sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga

terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler

yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD

diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan, kelainan fungsi

trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan

memperberat syok yang terjadi.8,19


Gambar 3. Perjalanan penyakit infeksi dengue.9

1.8 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis demam berdarah dengue (DBD) terdiri atas tiga fase yaitu

fase demam, fase kritis atau syok dan fase konvalesen. Fase kritis terjadi pada saat

demam turun, pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien

mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan

terjadinya syok yaitu dengan mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok

(warning signs). Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam.

Muntah terus menerus, nyeri perut dan nyeri tekan abdomen, letargi atau gelisah,
perdarahan mukosa, pembesaran hati, akumulasi cairan, oliguri, peningkatan

hematokrit dan penurunan jumlah trombosit dengan cepat merupakan warning signs

pada DBD.1

Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok

terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan jatuh

ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif dan profound shock

yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ progresif, dan koagulasi

intravaskular diseminata (KID).6 Manifestasi syok pada anak terdiri atas.19

1. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan

hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang

insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara reflek.

2. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya

menurun menjadi apatis, stupor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan

sirkulasi serebral.

3. Perubahan nadi, nadi menjadi cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba

oleh karena kolaps sirkulasi.

4. Tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau kurang

5. Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80mmHg atau kurang

6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri

renalis.

1.8.1 Syok Terkompensasi


Tanda dan gejala syok terkompensasi :1

1. Takikardi

2. Takipnea

3. Tekanan nadi < 20 mmHg

4. CRT > 2 detik

5. Kulit dingin

6. Produksi urin menurun < 1 mL/kgBB/jam

7. Anak gelisah

1.8.2Syok Dekompensasi

Tanda dan gejala syok dekompensasi :1

1. Takikardi

2. Hipotensi

3. Nadi cepat dan kecil

4. Pernafasan kusmaull

5. Sianosis

6. Kulit lembab dan dingin

7. Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur

1.9 Diagnosis

Kriteria Diagnosis Dengue Shock Syndrome (DSS)


Penegakan diagnosis DSS terdiri dari 2 kriteria, yaitu memenuhi kriteria

Demam Berdarah Dengue (DBD) dan adanya ditemukan tanda dan gejala syok

hipovolemik baik yang terkompensasi maupun yang dekompensasi.1

Tabel 3. Diagnosis klinis demam berdarah dengue.1


 Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinua)

 Manifestasi perdarahan baik yang spontan (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis,

perdarahan gusi, hematemesis dan/atau melena) maupun melalui uji Torniquette/Rumple

Leed yang positif

 Nyeri kepala, mialgia, atralgia, nyeri retroorbital

 Dijumpai kasus DBD dilingkungan penderita (sekolah, rumah, atau di sekitar rumah)

 Hepatomegali

 Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengn salah satu tanda/gejala:

- Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data populasi

menurut umur

- Ditemukan adanya efusi pleura, asites

- Hipoalbuminemia, hipoproteinemia

 Trombositopenia <100.000/mm3

Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan plasma

dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis DBD.

Uji Torniquette yang biasa disebut juga uji Rumple Leed atau uji bendungan

lengan atas dilakukan dengan cara menentukan tekanan darah pasien dan diikuti

mencari angka tengahnya (sistol + diastol lalu dibagi 2). Kembangkan manset dan
pertahankan tekanan manset pada angka tengah selama 5 menit. Setelah 5 menit

manset dilepas, ditunggu 2 menit, kemudian hitung jumlah petekie di volar tangan

dengan luas 1 inci2 (sama dengan lingkaran berdiamete 2,8 cm). Uji ini positif jika

jumlah petekie ≥10.1

1.10 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam menunjang penegakan

diagnosis infeksi dengue. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah : (1) isolasi

virus, (2) deteksi RNA virus dengan menggunakan pemeriksaan sreverse

transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), (3) deteksi antigen virus dengan

pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue, (4) deteksi respon imun serum berupa uji

HI, CFT, uji neutralisasi, atau pemeriksaan serologi IgG dan IgM anti dengue, (5)

analisis parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai

hematokrit, dan jumlah trombosit.1

Terdapat dua kriteria diagnosis laboratoris, yaitu: (1) Probable dengue,

apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan serologi anti dengue, dan

(2) Confirmed dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan deteksi genome

virus Dengue dengan pemerikaan RT-PCR, antigen dengue pada pemeriksaan NS1,

atau apabila didapatkan serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif

menjadi positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan.1

1.11 Tatalaksana
Prinsip utama tatalaksana DSS adalah pemberian cairan yang cepat dengan

jumlah yang adekuat. Diagnosis dini syok terkompensasi disertai dengan pengobatan

yang cepat dan tepat mempunyai prognosis yang jauh lebih baik dibanding apabila

pasien sudah jatuh ke dalam fase syok dekompensasi. Selain itu bila ditemukan

faktor ko-morbid dan penyulit seperti hipoglikemia dan gangguan asam basa,

gangguan elektrolit harus segera diobati.1,6

Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera mendapat

pengobatan sebagai berikut:

- Terapi oksigen 2-4 L/menit

- Resusitasi cairan intravena ringer laktat 10-20 mL/kgBB dalam waktu 1 jam.

Periksa hematokrit.

- Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mL/kgBB/jam selama 1- 2

jam.

- Bila keadaaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap

menjadi 7,5; 5; 3; 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24- 48 jam

pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan

untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila

masukan cairan melalui oral semakin membaik.

- Bila syok tidak teratasi, periksa analisi gas darah, hematokrit, kalsium, dan

gula darah untuk menilai kemungkinan adanya A-B-C-S (A=asidosis,

B=bleeding/perdarahan, C=calcium, S=sugar/gula darah) yang dapat


memperberat syok hipovolemik. Apabila salah satu atau beberapa kelaianan

tersebut ditemukan, segera lakukan koreksi.

Tabel 4. Pemeriksaan laboratorium A-B-C-S.1

Pemeriksaan
Singkatan Keterangan
Laboratorium
A – Acidosis Analisis gas darah Indikasi apabila terjadi prolonged shock

Apabila terdapat keterlibatan organ, periksa

fungsi hati, BUN, dan kreatinin


B – Bleeding Hematokrit Apabila hematokrit menurun dibandingkan

pemeriksaan sebelumnya atau tidak

meningkat, segera periksa golongan darah

untuk persiapan transfusi


C – Calsium Elektrolit, Ca++ Hipokalsemia terjadi pada hampir semua

pasien DBD namun asimptomatik. Pemberian

kalsium pada kasus berat atau dengan

komplikasi. Dosis 1 mg/kgBB dilarutkan dua

kali, diberikan secara intravena perlahan-

lahan (apabila diperlukan dapat diulang

setiap 6 jam), kalsium glukonas maksimal 10

mL
S – Blood sugar Gula darah, dextrosit Kasus DBD berat, nafsu makan menghilang

apalagi disertai muntah dan adanya gangguan

fungsi hati akan menyebabkan hipoglikemia.

Namun beberapa kasus dapat terjadi


hiperglikemia

- Apabila hematokrit masih tetap tinggi atau meningkat, berikan bolus kedua.

Sebaiknya dipilih larutan koloid dengan jumlah cairan 10-20 mL/kgBB

dalam waktu 10-20 menit, apabila tidak ada dapat diberikan larutan kristaloid

isotonik. Walaupun tidak ditemukan perdarahan tetapi keadaan klinis tidak

membaik, pertimbangkan permberian transfusi. Transfusi dapat berupa darah

segar (fresh whole blood) dengan dosis 10 mL/kgBB atau fresh packed red

cell dengan dosis 5 mL/kgBB.

- Apabila syok teratasi, pertahankan jumlah cairan 10 mL/kgBB/jam selama 1-

2 jam, setelah itu jenis cairan diganti dengan larutan kristaloid dengan jumlah

cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5; 5; 3; 1,5 mL/kgBB/jam. Pada

umumnya dalam waktu 24-48 jam setelah syok teratasi pemberian cairan

intravena sudah tidak diperlukan lagi. Namun apabila tidak teratasi, pasien

dapat jatuh ke dalam profound shock, maka seringkali diperlukan bantuan

nafas buatan dan pemberian obat inotropik, dan memerlukan perawatan di

unit perawatan intensif.1


Gambar 4. Algoritma tatalaksana DSS terkompensasi.1
Gambar 5. Algoritma tatalaksana DSS dekompensasi.1

1.12 Pencegahan

Pencegahan DSS dapat dilakukan dengan cara memperhatikan tandabahaya

(warning signs) yang dapat terjadi.1


Tabel 5. Tanda bahaya (warning signs).1

Klinis Demam turun, tetapi keadaan anak memburuk

Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen

Muntah yang menetap

Letargi, gelisah

Perdarahan mukosa

Pembesaran hati

Akumulasi cairan

Oliguria
Laboratorium Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunancepat

jumlah trombosit

Hematokrit awal tinggi

1.13 Kriteria Pulang Rawat

Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue

pada Anak (2014), kriteria pulang pada pasien yang dirawat adalah sebagai berikut:

 Tidak demam minimal 24 jam tanpa terapi antipiretik

 Nafsu makan membaik

 Perbaikan klinis yang jelas

 Jumlah urin cukup

 Minimal 2-3 hari setelah syok teratasi

 Tidak tampak distress pernafasan yang disebabkan efusi pleura atau asites
 Jumlah trombosit >50.000/mm3. Apabila masih rendah namun klinis baik,

pasien boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas yang

memudahkan untuk mengalami trauma selama 1-2 minggu (sampai trombosit

normal). Pada umumnya apabila tidak ada penyulit atau penyakit lain

yangmenyertai (misalnya ITP), trombosit akan kembali ke kadar normal

dalam waktu3-5 hari.1

1.14 Komplikasi dan Prognosis

Dengue shock syndrome (DSS) merupakan suatu kondisi berbahaya yang

dapat dengan sangat cepat dapat jatuh ke kematian. Tingkat kematian akibat syok

mencapai kisaran 12-44%.20 Prediktor kematian pada DSS masih berbeda-beda,

sehingga sangat penting untuk meneliti faktor prognosis yang mempengaruhi

kematian DSS pada anak. Hasil penelitian di RS Dr Sarjito pada tahun 2014,

manajemen cairan sebelum masuk rumah sakit rujukan yang tidak

adekuat,perdarahan mayor dan prolonged shock merupakan faktor prognosis

independen kematian pada anak dengan DSS.21

Penelitian lain telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor risiko kematian.

Penelitian yang dilakukan di India menyebutkan bahwa syok refrakter berat,

disseminated intravascular coagulation (DIC), acute respiratory distress syndrome

(ARDS), gagal hati, manifestasi neurologis merupakan penyebab kematian pada

DSS. Dhoria dkk pada tahun 2008 menunjukkan bahwa refractory shock dan

koagulopati penyebab kematian pada DBD di India. Penelitian di Semarang pada


anak dengan DSS, ditunjukkan bahwa efusi pleura bilateral dan aktivasi koagulasi

berhubungan dengan kematian pada pasien DSS.22,23

DAFTAR PUSTAKA
1. Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Pedoman diagnosis dan tata

laksana infeksi virus dengue pada anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit

Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.

2. Departemen Kesehatan. Demam berdarah biasanya mulai meningkat di

januari. 2015. Diunduh dari http://www.depkes.go.id , pada tanggal 25

Januari 2015, jam 15.00 WIB.

3. Mayetti. Hubungan Gambaran Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor

Risiko Syok Pada Demam Berdarah Dengue. Sari Pediatri 2010;11(5):367-

73.

4. Waspadalah Kasus Demam Berdarah Dengue di Padang Meningkat. 2015.

Diunduh dari http://www.nasional.republika.co.id, pada tanggal 25 Januari

2015, jam 15.00 WIB.

5. R Ryanka, SAD Trusda, L Yuniarti. 2014. Hubungan karakteristik pasien

demam berdarah dengue (dbd) dengan kejadian dengue syok sindrom (dss)

pada anak. UIB: Bandung.

6. Pudjiadi AH, dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia

jilid 1. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;

2010.

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman tatalaksana

klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan. Jakarta.

8. Halstead SB. Dengue fever and dengue hemorrhagic fever. Dalam:

Kliegman, Stanton, Geme ST, Schor, Behrman editor. Nelson Textbook of

Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. Hal. 1147-50


9. World Health Organization. Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment,

prevention and control. Geneva: WHO Library Cataloguing; 2009

10. Suhendro, dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,

ed 5, jilid III. Jakarta: Internal Publishing; 2006: 1732-35

11. Sutaryo. Dengue. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran Universitas

Gadjah Mada; 2004.

12. Cardosa MJ, Guzman MG, Pang T. Of cascades and perfect storms: the

immunopathogenesis of dengue haemorrhagic fever-dengue shock syndrome

(DHF/DSS). Immunology and Cell Biology 2007;85: 43–5.

13. Elmy S, dkk. obesitas sebagai faktor risiko sindrom syok dengue. Sari

Pediatri 2009; 11(4): 238-43.

14. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis,

treatment, prevention and control. Edisi ke-2. Geneva: WHO Library

Cataloguing; 1997

15. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Homepage. 2013.

Diunduh dari http://www.cdc.gov/dengue/clinicalLab/caseDef.html, pada

tanggal 22 januari 2016, jam 13.00 WIB

16. WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO

Library Cataloguing; 2012.

17. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.

Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue

haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi: SEARO

Technical Publication; 2011


18. .Dash AP, Bhatia R, Kalra NL. Dengue in south-east asia: an appraisal of

chase management and vector control. Dalam: Dash AP editor. Dengue

Bulletin Volume36.India: WHO Library Cataloguing; 2012. Hal. 1-13.

19. Soedarmo S., Gama H., Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi dan

Pediatri Tropis Edisi 2. Jakarta: IDAI.

20. Rajapakse S. Dengue Shock in J Emerg Trauma Shock 2011 Jan-Mar; 4(1):

120-

21. Laksanawati IS, Pangaribuan A, Prawirohartono EP. Faktor Prognosis

Kematian Sindrom Syok Dengue in Sari Pediatri 2014; 15(5): 332-40.

22. Dhoria GS, Bhat D, Bains HS. Clinical profile and outcome in children of

dengue hemorrhagic fever in North India. Iran J Pediatr 2008; 18: 222-8.

23. Suharti C, Setiati TE, Gorp ECMV, Djokomoeljanto RJ, Trastotenojo MS,

Meer JWMV. Risk factors for mortality in dengue shock syndrome. M Med

Indones 2009; 43: 213-9.

Anda mungkin juga menyukai