Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai

oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon

insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali

dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka

Panjang.1

Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolisme yang

ditandai dengan hiperglisemia, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak

dan protein yang disebabkan defek sekresi insulin ataupun penurunan

sensitivitas reseptor.2

Menurut American Diabetes Asociation (ADA), diabetes mellitus

diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, diabetes mellitus tipe 1 dan diabetes

mellitus tipe 2. Dari beberapa tipe yang ada, diabetes mellitus tipe 2

merupakan salah satu jenis yang paling banyak di temukan yaitu lebih dari

90-95%.3 Sekitar 90% dari pasien yang DM telah didiagnosis dalam DM tipe

2 dan dikaitkan dengan usia yang lebih tua, obesitas, riwayat keluarga DM,

riwayat DM gestasional, gangguan toleransi glukosa (IGT), aktivitas fisik,

gangguan glukosa puasa (IGF), dan etnis.4


Diabetes Melitus (DM) termasuk salah satu dari sepuluh besar penyakit

tidak menular, diabtes melitus merupakan penyebab mortalitas dari 1,5 juta

jiwa di dunia pada tahun 2012.5 Hiperglikemia kronik pada diabetes mellitus

berkontribusi pada tingginya mortalitas dan morbiditas akibat penyakit

kardiovaskular, penyakit ginjal kronik, dan penyakit serebrovaskular. 5

Menurut data Internasional Diabetes (2015), menunjukan bahwa jumlah

populasi Diabetes di Indonesia mencapai 10 juta jiwa dan (53%) penderita

diabetes tidak menyadari bahwa dirinya terkena diabetes. 5 Di Asia Tenggara,

angka mortalitas akibat DM mencapai 115,3/100.000 jiwa pada populasi usia

lebih dari 20 tahun. Di Indonesia, pola prevalensi DM cenderung meningkat,

dari 10 juta kasus DM pada 2015 diprediksi akan mencepai 21,3 juta pada

2030.2 di indonesia berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 2,1 % dan

prevalensi DM tertinggi yaitu pada usia 55 sampai 65 tahun sebesar 4,8 %.6

International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan

jumlah pasien DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1

juta pada tahun 2035.7

Faktor-faktor penyebab diabetes mellitus antara lain riwayat keluarga

dengan diabetes, aktifitas fisik, usia, jenis kelamin, penyakit penyerta,

konsumsi alkohol, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok, konsumsi obat-

obatan, dan asupan makanan.6 Faktor makanan sebagai faktor utama yang

memiliki efek yang signifikan terhadap kejadian diabetes mellitus.6

Penyakit DM jika tidak dikelola dengan baik akan berkontribusi besar

terhadap munculnya penyakit jantung dan pembuluh darah. Hasil penelitian


menyimpulkan bahwa penyakit hipertensi pada diabetisi di Indonesia

meningkat dari 15 % menjadi 25% dan 40 -50% dari pasien penyakit jantung

adalah diabetisi.8 Pasien dengan diabetes mellitus mempunyai risiko 2 kali

lebih besar untuk mengalami penyakit jantung koroner dan penyakit

pembuluh darah otak, 5 kali lebih mudah menderita ulkus diabetikum, 7 kali

lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal, dan 12 kali lebih mudah

mengalami kebutaan akibat kerusakan retina daripada pasien non diabetes.8

Dengan demikian selain DM mempengaruhi terhadap kualitas hidup juga

meningkatkan mortalitas pada pasien DM, biaya perawatan kesehatan untuk

pasien dengan diabetes melitus rata-rata tiga kali lebih tinggi dibanding

pasien lainnya.9

Pengendalian penyakit DM bertujuan untuk mengurangi mortalitas,

morbiditas akibat Diabetes Melitus dan juga mencegah komplikasi diabetes

serta yang tidak kalah penting juga adalah meningkatkan kualitas hidup

pasien DM. Hal itu juga sesuai dengan pedoman terbaru dari American

Diabetes Association (ADA) yang menekankan perlunya penanganan DM

yang "berpusat pada pasien" dengan pendekatan kualitas hidup, pengendalian

gula darah dan pencegahan komplikasi.10

Lima pilar utama dalam penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2 yaitu

edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

Pengelolaan Diabetes Mellitus dimulai dengan terapi nonfarmakolgis yaitu

pengaturan makan dan latihan jasmani11. Apabila kadar glukosa darah belum
sesuai target, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik

oral (OHO) dan atau suntikan insulin.11

Pengobatan diabetes mellitus terbagi menjadi pengobatan farmakologis

dan non farmakologis. Pengobatan farmakologis terdiri dari obat antidiabetes

yang dibagi beberapa golongan, seperti sulfonilurea (glibenklamid)

mempunyai mekanisme merangsang pelepasan insulin.12 Pengobatan diabetes

mellitus dilakukan dalam jangka waktu yang lama yakni seumur hidup dan

membutuhkan biaya yang cukup.13 Selain itu, kekhawatiran masyarakat

mengenai efek samping obat yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama

dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pengobatan.14 Masalah ini dapat

memicu potensi kesulitan untuk melakukan pengendalian peningkatan

kejadian diabetes mellitus oleh karena itu perlu dilakukan intervensi yang

murah dan mudah didapatkan.

Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada

penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional

memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit daripada obat modern. 15

Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk

diabetes mellitus adalah Binahong (Anredera cordifolia (Ten.)Steenis).

Binahong (Anredera cordifolia (Ten.)Steenis) dikenal sebagai tanaman

multiguna karena hampir seluruh bagian tanaman mulai dari akar hingga daun

bermanfaat bagi manusia.16


Binahong miliki kandungan saponin yang dapat berkhasiat untuk mengobati

luka bakar, penyakit tifus, radang usus, sariawan, keputihan, pembengkakan

hati, pembengkakan jantung, meningkatkan vitalitas dan daya tahan tubuh.17

Daun binahong memiliki kandungan saponin, alkaloids, polyphenols,

flavonoid dan mono polysaccharide. Dari 20g kandung dan binahong

memiliki total saponin triterpenoid dan steroid sekitar ( 28.14 ± 0,22 ). 14

Triterpenoid merupakan jenis senyawa yang dapat larut air sedangkan

senyawa steroid larut dalam lemak.18 Senyawa saponin dapat menurunkan

kadar glukosa darah. Saponin merupakan suatu glikosida alamiah yang terikat

dengan steroid atau triterpena. Saponin mempunyai aktivitas seperti insulin,

dapat menghambat lipolisis, meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel

adipose. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa senyawa saponin dapat

memperbaiki resistensi insulin.18

Senyawa saponin yang berkhasiat sebagai antidiabetes karena bersifat

sebagai inhibitor (penghambat) enzim α-glukosidasi. Enzim α-glukosidasi

merupakan enzim yang berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi

glukosa. Dengan demikian, apabila enzim α-glucosidase dihambat kerjanya,

maka kadar glukosa dalam darah akan menurun, sehingga menimbulkan efek

hipoglikemik (kadar gula dalam darah menurun).19

Saponin meningkatkan premebilitas usus kecil, sehingga meningkatkan

uptake zat yang sesungguhnya kurang serap dan menyebabkan hilangnya

fungsi normal usus. Pengaruh saponin terhadap susunan membrane sel dapat

menghambat absorbsi molekul zat gizi yang lebih kecil, yang seharusnya
cepat diserap, misalnya glukosa darah. Struktur membran sel yang terganggu

diduga juga menimbulkan gangguan system transpor glukosa sehingga akan

terjadi hambatan untuk penyerapan glukosa.20

Penelitian mengenai ekstrak daun binahong terhadap penurunan kadar

gula darah pada penyakit diabetes melllitus sudah dilakukan antara lain : Pada

penelitian Elin Yulinah Sukandar pada mencit yang diberikan ekstrak daun

binahong secara oral sebanyak 50, 100 dan 200 mg/kgBB yang dilakukan

selama 14 hari menunjukkan bahwa ekstrak daun binahong dapat

menurunkan kadar glukosa darah dalam pemantauan kadar glukosa darah

pada hari ke 1, 7 dan 14.21

Penelitian yang dilakukan oleh Sudirman (2017) mengenai efek rebusan

daun binahong terhadap kadar glukosa darah dengan menggunakan dua

kelompok control dan intervensi, Kelompok perlakuan diberikan rebusan

daun binahong penambahan air sebanyak 250 ml yang dikemas dalam wadah

dengan ukuran yang sama. pada mencit yang diberikan ekstrak daun

binahong secara oral sebanyak 50, 100 dan 200 mg/kgBB yang dilakukan

selama 14 hari menunjukkan bahwa ekstrak daun binahong dapat

menurunkan kadar glukosa darah dalam pemantauan kadar glukosa yang

dilakukan pada hari ke 1, 7 dan 14. 6 Penelitian lain pada tikus wistar

yang diberikan ekstrak daun binahong dengan dosis 1,8 g/kgBB juga

menunjukkan penurunan kadar glukosa darah pada tikus wistar.Dari

beberapa jenis dosis ekstrak daun binahong yang diberikan pada tikus
wistar tidak memberikan beda yang signifikan dalam penurunan kadar

glukosa darah. 6

Penelitian Indri Wirasuasty Makalalag pada tikus wistar yang diberikan

esktrak daun binahong dipuasakan selama 24 jam kemudian kadar glukosa

darah dipriksa. Setelah 15 menit dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah

kemudian pada menit ke 15, 30, 60 dan 120 menit dipriksa kembali setelah

diberikan perlakuan.15 Pada penelitian berupa tikus putih/jantan berjumlah 15

ekor yang dibagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif

menggunakan aquadest, kelompok positif menggunakan Glucobay tablet

dengan dosis 4,5 mg/kgBB, dan kelompok perlakuan menggunakan ekstrak

daun binahong 1,8 g/KgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah pada

tikus putih jantan galur wistar yang diinduksi sukrosa.15

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang efektifitas pemberian saponin terhadap penurunan kadar

glukosa darah puasa dan 2 jam postprandial pada penderita Diabetes Mellitus

Tipe 2.

Metode Penelitian sebelum menggunakan sistematis literatur review

menggunakan quasi eksperimental dengan desain pretest-posttest control

group design. Kelompok kontrol adalah kelompok yang mendapatkan

pengobatan metformin 500 mg, sedangkan kelompok eksperimen adalah

kelompok yang mendapatkan perlakuan pemberian metformin 500 mg dan

saponin 21,8 mg. Masing-masing kelompok akan diukur kadar gula darah

sebelum dan sesudah perlakuan. sebagai pretest dan postest. Pretest pada
masing-masing kelompok bertindak sebagai kontrol terhadap kelompok itu

sendiri.

Terjadinya wabah covid 19 diseluruh dunia termasuk di negara

Indonesia terutama wilayah penelitian yang akan dilakukan peneliti

diSulawesi Tengah Kota Palu. Sehingga tidak dilanjutkan penelitian dengan

judul efektifitas pemberian saponin terhadap penurunan kadar glukosa darah

puasa dan 2 jam postprandial pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2.

Digantikan dengan sistematis literaur review menganalis 25 jurnal yang

terkait dengan variable penelitian. Sebagai metode kajian dalam memberikan

fakta yang valid pada penggunaan hasil penelitian sebelumnya.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dapat diidentifikasi masalah :

1. Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolik yang terjadi akibat

kerusakan seksresi insulin dan kerja insulin yang dapat ditandai dengan

hiperglikemia.1

2. Gula darah puasa bertujuan untuk mengukur seberapa banyak kandungan

glukosa didalam darah dan untuk mengetahui apakah pasien berpotensi

terserang penyakit diabetes atau tidak.22

3. Obat golongan metformin 500 mg adalah pilihan utama dalam penanganan

hiperglikemia secara farmakologi.3

4. Kandungan bahan aktif dalam daun binahong yang diyakini berperan

dalam proses penurunan kadar gula darah adalah komponen senyawa

saponin.5
5. Saponin memiliki mekanisme kerja sebagai inhibitor enzim α-glukosidase

yang menghambat pemecahan karbohidrat menjadi glukosa.

C. Rumusan Masalah

1. Rumusan Masalah Umum

Menganalisi efek pemberian saponin terhadap penurunan kadar gula

darah puasa dan 2 jam PP (post prandial).

2. Rumusan Masalah Khusus

a. Menganalisis efek pemberian saponin terhadap kadar gula darah

puasa.

b. Menganalisis efek pemberian saponin terhadap penurunan kadar

gula darah post prandial.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

a. Menganalisis efektivitas intervensi saponin terhadap penurunan kadar

gula darah puasa dan 2 jam PP (post prandial)

2. Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

a. Menganalisis intervensi saponin terhadap gula darah puasa

b. Menganalisis intervensi pemberian saponin terhadap gula darah 2 jam

post prandial

E. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat pengaruh pemberian saponin terhadap kadar gula darah puasa

pada pasien diabetes mellitus.


2. Terdapat pengaruh pemberian saponin terhadap gula darah 2 jam post

prandial pasien diabetes mellitus

F. Manfaat Penelitian

Hasil analisis penelitian ini dapat memberikan manfaat praktis dalam

keperawatan yaitu :

1. Manfaat Teoritik

Memberikan masukan khususnya bagi ilmu keperawatan tentang

pelayanan keperawatan dalam asuhan keperawatan pasien diabetes

mellitus tipe 2 dalam menurunkan kadar gula darah, serta menjadi

sumber informasi dan menambah kepustakaan serta menjadi dasar dalam

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para tenaga kesehatan adalah sebagai dasar asuhan keperawatan

terbaru pada penderita diabetes mellitus dalam menurunkan kadar

gula darah puasa dengan tujuan untuk lebih meningkatkan pelayanan

asuhan keperawatan.

b. Menambah pengetahuan dan informasi masyarakat mengenai

perawatan diabetes mellitus dengan mengkonsumsi saponin sebelum

menggunakan terapi farmakologi.

3. Manfaat Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi penderita diabetes

mellitus untuk memahami cara berperilaku hidup sehat, dan juga sebagai

rekomendasi layanan kesehatan dalam menurunkan kadar gula darah dan


memberi pandangan terhadap keluarga yang sudah mengidap diabetes

mellitus agar tetap memperhatikan gaya dan cara hidup sehat bagi

penderita diabetes mellitus tipe 2.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Systematic Literatur Riview (SLR)

Sistematis dalah sebuah jenis tinjauan literatur yang memakai metode-

metode sistematis untuk mengumpulkan data sekunder, melakukan kajian-

kajian riset dan mengumpulkan temuan-temuan secara kuantitatif dan

kualitatif. Tinjauan sistematis merumuskan pertanyaan-prtanyaan riset dalam

caku[an yang luas atau sempit, serta menidentifikasikan dan mengumpulakn

kajian-kajian yang berkaitan langsung dengan pertanyaan yang bersifat

sistematis.23

B. Metode Systematic Review

Seperti pada metodologi penelitian individual, pada prinsipnya penelitian

systematic review dimulai dengan membuat protokol penelitian systematic

review dan tahap berikutnya melaksanakan penelitian systematic review.

Analog dengan metodologi penelitian secara umum, di mana terdapat metode

kuantitatif dan kualitatif, maka dalam systematic review juga terdapat metode

kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif systematic review adalah

digunakan untuk mensintesis hasil-hasil penelitian dengan pendekatan

kuantitatif. Misalnya, Randomized Control Trials(RCT), Cohort Study, Case-

Control Study, atau studi prevalensi. Pendekatan statistik dalam melakukan

sintesis hasil penelitian kuantitatif ini disebut dengan “meta-analisis”. Secara

definisi, meta-analisis adalah teknik melakukan agregasi data untuk


mendapatkan kekuatan statistik (statistical power) dalam identifikasi hubungan

sebab akibat antara faktor risiko atau perlakuan dengan suatu efek (outcome).

Sementara itu, pendekatan kualitatif dalam systematic review digunakan untuk

mensintesis (merangkum) hasil-hasil penelitian yang bersifat deskriptif

kualitatif. Metode mensintesis (merangkum) hasil-hasil penelitian kualitatif ini

disebut dengan “meta-sintesis”. Secara definisi, meta-sintesis adalah teknik

melakukan integrasi data untuk mendapatkan teori maupun konsep baru atau

tingkatan pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh. Sebagai ,ana

terlah disebutkan bahwa pengambilan data hasil penelitian dengan metode

systematic review adalah melalui searching di internet (PubMed, MEDLINE,

dan lain-lain).24 25

C. Ruang Lingkup Systematic Review

Systematic review adalah suatu metode penelitian untuk melakukan

identifikasi, evaluasi dan interpretasi erhadap semua hasil penelitian yang

relevan terkait pertanyaan penelitian tertentu, topik tertentu, atau fenomena

yang menjadi perhatian.26 Studi sendiri (individual study) merupakan bentuk

studi primer (primary study), sedangkan systematic review adalah studi

sekunder (secondary study). Systematic review akan sangat bermanfaat untuk

melakukan sintesis dari berbagai hasil penelitian yang relevan, sehingga fakta

yang disajikan kepada penentu kebijakan menjadi lebih komprehensif dan

berimbang. Banyak jaringan penelitian kesehatan maupun penelitian sosial di

dunia yang melakukan systematic review. Setidaknya terdapat dua jaringan

yang melakukan systematic review, yakni The Cochrane Collaboration dan


The Campbell Collaboration. The Cochrane Collaboration merupakan

jaringan yang melakukan systematic review di bidang penelitian kedokteran

(medical research), sementara The Campbell Collaboration banyak

melakukan systematic review di bidang penelitian kebijakan (penelitian sosial

ekonomi).

Pada prinsipnya systematic review adalah metode penelitian yang

merangkum hasil-hasil penelitian primer untuk menyajikan fakta yang lebih

komprehensif dan berimbang. Sementara itu, meta-analisis adalah salah satu

cara untuk melakukan sintesa hasil secara statistik (teknik kuantitatif). Cara

lain untuk melakukan sintesis hasil adalah teknik naratif (teknik kualitatif).

Dengan kata lain, meta-analisis adalah bagian dari metode systematic

reviewdengan pendekatan kuantitatif. Selanjutnya, review yang tidak

sistematis (traditional review) adalah metoda review (tinjauan) yang cara

pengumpulan faktanya dan teknik sintesisnya tidak mengikuti cara-cara baku

sebagaimana systematic review.26

D. Meta-Analisis Sebagai Metode Systematic Review Kuantitatif

Meta-analisis metode systematic review kuantitatif mengkombinasikan

hasil penelitian kuantitatif secara statistik (secara kuantitatif) maka langkah-

langkah dalam melakukan meta-analisis adalah sama dengan langkah-langkah

melakukan systematic review secara umum. Langkah-langkah tersebut adalah

sebagai berikut : 1) Identifikasi pertanyaan penelitian (pertanyaan penelitian

meta-analisis)2) Mengembangkan protokol penelitian meta-analisis3)


Menetapkan lokasi data-base hasil penelitian sebagai wilayah pencarian

(misalnya MEDLINE, PubMed). 4) Seleksi hasil-hasil penelitian yang

relevan5) Pilih hasil-hasil penelitian yang berkualitas. 6) Ekstraksi data dari

studi individual. 7) Sintesis hasil-hasil penelitian dengan metode meta-

analisis (funnel plot dan forest plot). 8) Penyajian hasil penelitian dalam

laporan penelitian hasil meta-analisis.26

E. Meta-Sintesis Sebagai Metode Systematic Review Kualitatif

Hampir sama dengan langkah-langkah systematic review kuantitatif,

maka systematic review kualitatif mencakup langkah-langkah sebagai berikut

: 1) memformulasikan pertanyaan penelitian (formulating the review

question). 2) Melakukan pencarian literatur systematic review(conducting a

systematic literature search). 3) Melakukan skrining dan seleksi artikel

penelitian yang cocok (screening and selecting appropriate research articles).

4) Melakukan analisis dan sintesis temuan-temuan kualitatif (analyzing and

synthesizing qualitative findings). 5) Memberlakukan kendali mutu

(maintaining quality control)6) Menyusun laporan akhir (presenting

findings).27

F. Diabetes Mellitus

1. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus adalah penyakit gangguan metabolik yang

ditandai dengan hiperglikemia28. Secara umum diabates mellitus adalah

abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang

disebabkan oleh abnormalitas sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau


keduanya29, 30
Penggolongan tipe diabetes didasarkan pada proses

patogenik29.

Terdapat empat jenis diabetes mellitus, yaitu tipe 1, tipe 2, tipe

spesifik lain dan gestasional. Diabetes tipe 1 merupakan gangguan

metabolisme yang terjadi akibat kekurangan insulin absolut. Kekurangan

insulin absolut diartikan sebagai tidak mampunya sel β pankreas

memproduksi insulin karena sel β mengalami kerusakan.Diabetes tipe 2

merupakan gangguan metabolisme yang terjadi karena resistensi atau

terganggunya sekresi insulin.Diabetes tipe 2 ini diakibatkan oleh faktor

genetik yang belum diketahui dan non genetik. Diabetes tipe spesifik lain

merupakan diabetes yang diakibatkan oleh defek genetika fungsi selbeta

atau insulin maupun penyakit spesifik yang telah diketahui. Sedangkan

diabetes mellitus gestasional adalah diabetes yang diakibatkan oleh

resistensi dan kekurangan insulin yang menyertai kehamilan28.

Terdapat empat kriteria diagnostik diabetes mellitus. Apabila salah

satu dari empat kriteria terpenuhi, maka diagnosis diabetes mellitus dapat

ditegakkan.

Kriteria diagnostik tersebut adalah sebagai berikut31;

a. Glukosa darah acak ≥ 200mg/dL, dimana acak didefinisikan sebagai

pengambilan sampel darah dilakukan kapanpun tanpa memerhatikan

waktu terakhir makan. Selain itu terdapat manifestasi klinis diabetes

(polyuria, polidipsi dan penurunan berat badan tanpa sebab yang

jelas).
b. Glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL., dimana puasa didefinisikan

sebagai tidak adanya asupan kalori dalam bentuk apapun selama

minimal 8 jam.

c. Glukosa darah 2 jam ≥ 200 mg/dL selama menjalani Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO), dimana asupan glukosa pada tes ini sebesar

75 gram atau yang sebanding.

d. HbA1c ≥ 6,5. HbA1C adalah hemoglobin terglikosilasi yang masa

hidup selnya berkisar antara 60-90 hari. Oleh karena fungsi utama

sel ini adalah untuk mengikat glukosa dalam darah, maka kadara

HbA1C akan menunjukkan kadar gula darah dalam 2-3 bulan

terakhir.

G. Patofisiologi Diabetes Tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 memiliki ciri khas yaitu terganggunya

metabolisme karena resistensi insulin, berkurangnya sekresi insulin atau

terganggunya respon seluler terhadap insulin dari waktu ke waktu 32. Insulin

adalah hormon protein dalam bentuk crystaline dalam sel β pankreas.Insulin

memiliki dua fungsi yaitu endokrin dan parakrin29. Dalam fungsinya sebagai

parakrin, insulin menghambat sekresi glukagon. Sedangkan dalam fungsinya

sebagai endokrin, insulin mempengaruhi penggunaan glikogen oleh sel-sel

otot, hati dan jaringan lemak. Resistensi insulin berarti menurunnya

kemampuan insulin dalam fungsinya sebagai endokrin, yaitu merangsang

penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh29. Resistensi insulin juga bisa berarti
menurunnya respon sel-sel tubuh target terhadap kadar insulin fisiologis.

Resistensi insulin dapat terjadi karena faktor genetik, defek primer pada sel

target dan degradasi insulin30.

Faktor genetik yang mengakibatkan terjadinya diabetes mellitus tipe 2 ini

belum diketahui33. Sedangkan faktor non genetikyang menjadi penyebab

utama diabetes tipe 2 adalah obesitas 33. Pada individu dengan obesitas, terjadi

deposit visceral adipose tissue (VAT) yang besar28. Visceral Adipose Tissue

adalah deposit jaringan lemak yang terletak pada abdomen, baik itu ormental,

mesenterik, retroperitoneal maupun perinefrik. VAT secara khusus memiliki

laju lipolysis lebih besar daripada jaringan lemak lainnya. Hal ini secara

langsung menstimulais gluconeogenesis yang kemudian menyebabkan

tingginya Non-EsterifiedFatty Acid (NEFA) bebas dalam hepar, menstimulasi

produksi Low Density Lipoprotein dan menurunkan sensitivitas insulin pada

jaringan perifer28. VAT juga mengakibatkan resistensi insulin secara langsung

karena menghasilkan sitokin seperti TNF-α, resistin dan IL-6. Sitokin

menghambat aktivitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan secara spesifik

menurunkan kerja transposter glukosa GLUT-4.Jaringan adiposa juga

memproduksi adinopectine yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan

juga merupakan hormon anti inflamasi. Hormon ini menekan gluconeogenesis

hepatik dan mengakibatkan stimulasi oksidasi asam lemak pada hepar dan otot

rangka, meningkatkan penggunaan glukosa oleh otot dan meningkatkan

pelepasan insulin oleh sel β pankreas. Namun adinopectine menurun seiring

dengan meningkatnya berat badan34.


Sindrom resistensi insulin juga disebut dengan sindrom metabolisme,

merupakan sindrom yang menjadi konsekuensi dari penyakit diabetes

mellitus. Sekumpulan ciri pada sindrom ini adalah obesitas abdomen,

hipertensi, dislipidemia (penurunan High Density Lipoprotein dan

peningkatanTrigliserida) dan peningkatan plasminogen activator inhibitor

type 1 (PAI-1).

Peningkatan trigliserida yang merangsang proses gluconeogenesisini

menyebabkan meningkatnya kadar keton dalam darah. Meningkatnya kadar

keton dalam darah yang melebihi ambang Kondisi inilah yang menginisiasi

terjadinya ketoasidosisberkaitan dengan penurunan kadar natrium serta pH

serum.Sedangkanresistensi insulin menyebabkan penggunaan glukosa oleh sel

menurun sehingga terjadi hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Jika

kadar gula darah melebihi ambang filtrasi ginjal maka akan terjadi glikosuria.

Kondisi ini juga disertai dengan diuresis osmotik, yaitu perpindahan air dari

darah menuju ke urin sehingga terjadi poliuria serta dehidrasi yang

menstimulasi rasa haus terus menerus karena diuretik osmosis terjadi

sepanjang waktu (polifagi). Oleh karena glikosuria membuat terjadinya

defisiensi kalori dalam tubuh, maka akan timbul rasa lapar (polidipsi).

Defisiensi kalori ini terjadi hingga ke level seluler sehingga terjadi starvasi

(kelaparan sel) yang akan menurunkan aktivitas sel yang berakibat pada

penurunan metabolisme secara sistemik.Metformin dan obat antidiabetes lain

menginhibisi proses gluconeogenesis ini dan menstimulasi pengambilan

glukosa oleh sel28.


Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dihubungkan dengan efek

utama kekurangan insulin yaitu :

1. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan

peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200

mg per 100 ml.

2. Peningkatan mobiisasi lemak dan daerah penympanan lemak sehingga

menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid

pada dinding vaskuler.

3. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.

Manusia dengan metabolisme normal dapat mempertahankan kadar

glukosa darah acak sebesar 80-140mg/dL. Keadaaan metabolisme normal

juga membuat kadar glukosa post prandial (setelah makan) yang

meningkat hingga 120-140mg/dL dapat kembali normal dengan cepat.

Gambar 2.1 Mekanisme Resistensi Insulin pada Diabetes Melitus Tipe 2


C. Manifestasi Klinis

Manifetasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik

defisiensi insulin yaitu :

1. Kadar glukosa tidak normal

2. Hiperglikemia berat berakibat glukosuria yang akan menjadi dieresis

osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa

haus (polidipsi).

3. Rasa lapar yang semakin besar polifagia, BB berkurang

4. Lelah dan mengantuk

5. Gejala lain yang dikeluhkan adalah kesemutan, gatal, mata kabur,

impotensi, peruritas vulva. 35

D. Komplikasi

Beberapa komplikasi dari diabetes melitus adalah :

1. Akut

a. Hipoglikemia dan hiperglikemia

b. Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit

jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).

c. Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati,

nefropati.

d. Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstremitas), saraf

otonom berpengaruh pada gastro intestinal, kardiovaskuler.35

E. Terapi Diabetes Mellitus


Terdapat dua jenis terapi diabetes mellitus, yaitu terapi yang bersifat

non farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis adalah

pengaturan diet dan olahraga. Penatalaksanaan diabetes mellitus

membutuhkan kedua jenis terapi ini ditambah dengan pemberian edukasi

kepada individu dengan diabetes mellitus dan keluarga11.

1. Terapi Non Farmakologis

a. Pengaturan Diet

Pengaturan makanan pada individu dengan diabetes mellitus

memiliki prinsip seimbang. Tidak ada pembatasan dalam proporsi

antara karbohidrat, protein dan lemak. Namun jumlah intake harus

disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga diet masing-masing

individu disesuaikan dengan status pertumbuhan, status gizi, umur

dan aktivitas fisik. Tujuan utama dari diet ini adalah mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan akan

mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel β

pankreas terhadap stimulus glukosa.

b. Olahraga

Aktivitas fisik teratur akan menstimulasi penggunaan glikogen

oleh sel-sel tubuh. Hal ini dapat menrunkan kadar gula darah agar

tetap normal. Aktivitas fisik yag direkomendasikan kepada individu

dengan diabetes mellitus adalah aktivitas fisik yang bersifat

Continuous (berlanjut), Rhymical (dengan ritme teratur), Interval

(dengan jarak teratur), Progressive (menunjukkan perkembangan),


dan Endurance (melatih ketahanan). Aktivitas fisik sangat

disarankan selain karena membantu mempertahankan berat badan

ideal, gangguan metabolik pada diabetes mellitus juga

mengakibatkan kondisi tubuh lemah.

c. Akupressure

Akupresur merangsang pelepasan neurotransmitter membawa

sinyal melalui saraf atau melalui kelenjar dan kemudian

mengaktifkan hipotalamus. pituitari sumbu adrenal untuk mengatur

fungsi kelenjar endokrin.36

Akupressure dilakukan dengan tehnik perangsangan akupuntur

pada titik Zusanli yang akan meningkatkan fungsi sekresi insulin

pada penderita non insulin dependen diabetes melitus dan

secara langsung dapat menurunkan kadar gula darah.36

Akupresur bekerja mengaktifkan glucose 6 phosphate (enzim

yang berfungsi pada metabolisme karbohidrat) yang merangsang

hipotalamus mengaktifkan system kerja pankreas meningkatkan

sintesis insulin, meningkatkan jumlah reseptor pada sel target dan

mempercepat pemanfaatan glukosa, sehingga menurunkan kadar

gula darah.37 Akupresur bekerja dengan menerapkan tekanan lembut

pada titik akupresur yang tepat dan yang telah ditentukan yang

disebut acupoint. Akupresur bekerja merangsang sistem saraf pusat

(otak dan sumsum tulang belakang) untuk melepaskan zat kimia


mengeluarkan hormon dan mempengaruhi penyembuhan alami

tubuh, serta meningkatkan Kesehatan fisik tanpa efek samping.36

Penelitian inisejalan dengan penelitian sebelumnya dimana

penekanan pada titik ST-36 dan SP-6 dapat menurunkan kadar

glukosa darah pasien DM tipe 2.36 Penekanan pada titik ini dapat

mengembalikan keseimbangan Yin dan Yan serta meningkatkan

fungsi sekresi insulin pada penderita non insulin dependen diabetes

melitus. Stimulasi berupa penekanan yang dilakukan pada titik-titik

akupresur ini (SP6 dan ST36) diyakini dapat memperbaiki aliran

energi qi. Selain alasan tersebut, stimulasi titik SP6 dan ST36

dapat mengaktifkan glucose6-phosphate, salah satu enzim

metabolisme karbohidrat dan dapat merespon pada

hipotalamusuntuk mengaktifkan Hypothalamus-Pituitary-Adrenal

AXIS dan menghasilkan hormone cortikotropin releasing factor

(CRF) sehingga merangsang pankreas untuk meningkatkan

sintesis insulin,salah satu reseptor pada sel target yaitu glucose

transporter (GLUT 4) berfungsi membawa glukosa kedalam sel dan

mempercepat penggunaan glukosa sehingga menurunkan kadar

glukosa darah.36

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, akupresur efektif

untuk menurunkan kadar glukosa darah.

d. Bekam basah
Perlukaan kulit pada terapi bekam basah menghasilkan zat nitrit

oksida yang berperan penting untuk meningkatkan sirkulasi darah di

pankreas dan berpengaruh mengendalikan kadar insulin.38

Proses pembekaman dapat mengeluarkan berbagai macam zat asam

(heksosamin) dari otot dan jaringan lemak sehingga membuka jalan

bagi insulin untuk melekat pada reseptor dan meningkatkan

kepekaannya yang menyebabkan kadar gula menurun.39, yang

menyebutkan bahwa bekam berpengaruh positif terhadap kadar gula

sewaktu pada penderita diabetes melitus.40

e. Herbal

Herbal yang dapat menjadi terapi non farmakologi adalah

binahong memiliki kandungan saponin yang merupakan penghambat

glucosidase α. Saponin adalah senyawa glikon dan aglikon41.

Senyawa aglikon pada saponin pada saponin termasuk golongan

steroid dan terpenoid. Saponin triterpenoid merupakan α-glukosidase

inhibitor, sehingga merupakan senyawa yang dapat menurunkan

kadar glukosa darah18. Alkaloid dalam saponin juga bersifat

antipiretik, antiheminitik, analeptik dan antiplasmodium.

Kandungan lain binahong adalah flavoid, asam aleanolik42,

asam askorbat (vitamin C) dan protein43. Flavonoid merupakan anti

inflamasi yang juga bekerja sebagai inhibitor asam arakidonat,

histamin dan prostaglandin yang merpakan mediator inflamasi. Fenol

bersifat antimikrobial dan antioksidan44. Oleh karena sifat tersebut,


fenol dapat menjadi antibiotik. Sedangkan asam oleanolik tergolong

triterpenoid. Senyawa ini memiliki gugus nitrit oksida yang bersifat

antimikrobial.Protein yang terkandung dalam binahong dapat

menjadi sumber asupan protein esensial maupun non esensial yang

diperlukan tubuh untuk sintesis organ sel.Asam askorbat (vitamin C)

adalah booster sel imun. Asam askorbat juga merupakan aktivator

enzim prolil hidroksilasi yang menjadi katalis reaksi pembentukan

kolagen pada jaringan.

2. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis harus diberikan kepada individu yang tidak

mencapai beberapa sasaran meskipun telah melakukan diet dan olahraga.

Terdapat lima sasaran yang harus dipenuhi yaitu kadar plasma glukosa,

kadar plasma glukosa setelah makan, kadar hemoglobin A1c, kadar HDL

dan kadar LDL. Kadar ideal plasma glukosa puasa adalah 70-130 mg/dL

sedangkan kadar plasma glukosa setelah makan adalah <180mg/dL. Kadar

hemoglobin A1c idealnya adalah <7%. Kadar ideal HDL adalah

>45mg/dL pada pria dan >50mg/dL pada wanita. Sedangkan kadar LDL

ideal berkisar antara 100-129mg/dL31.

Terdapat dua jenis terapi farmakologis. Dua jenis terapi tersebut

adalah obat hipoglikemik oral dan injeksi. Antidiabetik oral dibagi

menjadi enam kelas meliputi golongan sulfonylurea, glinid, biguanid,

tiazolidinedion, penghambat glukosidase alfa dan penghambat DPP-IV.


Antidiabetik injeksi terbagi menjadi tiga kelas meliputi insulin, analog

GLP dan analog amylin45.

Kelas obat sulfonilurea merangsang sel β pankreas memproduksi

insulin. Kelas glinid meningkatkan sekresi insulin dengan cara

menghambat kanal kalium-ATP pada sel β pankreas. Kelas obat biguanid

merangsang reseptor insulin sehingga jaringan perifer mengambil glukosa.

Penghambat glukosidase-α menghambat absorpsi glukosa di usus.

Penghambat DPP-IV bekerja dengan meningkatkan hormon incretin yang

akan meningkatkan pembuatan dan sekresi insulin serta menurunkan

sekresi glukagon45.

Obat-obat yang termasuk dalam kelas penghambat α-gluksidase

adalah obat yang bekerja dengan cara menunda penyerapan karbohidrat di

usus. Penyerapan amilase dan karbohidrat lain pada usus dikatalis oleh

enzim α-amilase dan α-glukosidase lainnya. Obat-obatan dari golongan

kelas ini akan menjadi penghambat kerja enzim α-amilase dan α-

glukosidase lainnya31. Obat-obatan yang termasuk dalam kelas ini

contohnya acarbose, voglibose, miglitol dan saponin41, 43.

Saponin danacarbose menjadi inhibitor baik α-amilase dan α-

glukosidase lainnya. Sedangkan voglibose dan miglitol menghambat

enzim yang mengkatalis proses pencernaan disakarida namun tidak

menghambat karbohidrat yang dicerna dengan bantuan enzimα-amilase.

Oleh karena laju penyerapan karbohidrat terhambat, maka glikemia

postpandrial juga tertunda sehingga kadar glukosa darah tidak terganggu.


Acarbose dan voglibose tidak mengalami penyerapan oleh usus sehingga

bioavailabilitasnya rendah46. Sebaliknya, miglitol diserap oleh usus.

Inhobitor α-gluksidase terdistribusi di ruang ekstraseluler dengan afinitas

jaringan rendah. Sehingga tidak terdeposit pada jaringan tubuh. Acarbose

dan voglibose terekskresi melalui jalur fekal, sedangkan miglitol

terekskresi kedalam urin. Efek bersih dari obat-obatan golongan kelas ini

adalah pengurangan glukosa postpandrial sebesar 40-50mg/dL atau setara

dengan 2,2-2,8 mmol/L namun relatif tidak merubah GDP (kurang lebih

mengurangi 10% GDP) dan mengurangi Hemoglobin A1C (0,3-1%.) Obat

pada golongan kelas ini cocok untuk individu dengan tingkatHemoglobin

A1C dan FPG mendekati angka normal namun mengalami hiperglikemia

postpandrial. Hal ini menurunkan risiko komplikasi mikro dan makro

vaskular33.

Efek samping obat dari kelas ini adalah terjadi mekanisme osmosis 30.

Karbohidrat maupun disakarida akan terdeposit pada lumen usus sehingga

menyebabkan perut kembung, sakit perut maupun diare. Pada monoterapi

dengan obat-obatan dari kelas ini jarang ditemukan kejadian hipoglikemia.

Akan tetapi pada dual terapi dengan golongan insulin atau sulfonilurea

hipoglikemia dapat terjadi secara episodik. Oleh karena prinsip kerja

inhibitor ini adalah dengan menghambat reaksi pemecahan polisakarida,

maka hipoglikemia yang terjadi pada individu yang mendapat terapi obat-

oatan pada kelas ini ditangani dengan konsumsi monosakarida (yaitu

glukosa dan fruktosa)


Dosis pada permulaan terapi obat kelas ini adalah 50 mg dengan

frekuensi tiga kali sehari. Apabila diperlukan, dosis dapat dinaikkan dalam

1-2 minggu hingga mencapai dosis maksimal 100 mg dengan frekuensi 3

kali sehari. Obat ini sebaiknya dikonsumsi bersamaan dengan suapan

pertama setiap kali makan berat.

Dalam penentuan terapi diabetik farmakologis, terdapat algoritma

penatalaksanaanya. Algoritma tersebut adalah sebagai berikut29;

Gambar 2.2 Algoritma Pemberian Terapi Farmakologis Diabetes Mellitus29.

Berikut ini adalah aturan penatalaksanaan terapi farmakologis

diabetes mellitus yang tidak tercantum pada algoritma:


a. Individu dengan gejala awal yang mengalami intoksikasi glukosa diberi

terapi insulin atau kombinasi terapi oral untuk menurunkan kadar

toksisitas glukosa. Hal ini dilakukan karena intoksikasi glukosa dapat

semakin mengurangi sekresi insulin dan memperburuk kondisi

resistensi.

b. Individu dengan kadar hemoglobin A1C 7% atau kurang dari 7%

mendapatkan penatalaksanaan pengubahan gaya hidup dan terapi obat-

obatan yang tidak menyebabkan hipoglikemia. Individu dengan kadar

hemoglobin A1C 7-8,5% mendapatkan terapi antidiabetik oral tunggal

maupun kombinasi. Individu dengan kadar hemoglobin A1C >8%

mendapatkan dual terapi antidiabetik oral atau insulin.

c. Individu yang mengalami obesitas dengan skala >120% dari berat

badan ideal mendapatkan terapi awal metformin. Metformin harus

dititrasi hingga kadar 2000mg (dosis harian). Apabila individu tersebut

memiliki kondisi kontraindikasi atau intoleran terhadap metformin,

maka mendapatkan terapi Glitazone.

d. Individu dengan berat badan normal diberi terapi secretagogue insulin,

meskipun metformin juga dapat diberikan.

e. Apabila kondisi diabetes masih berkembang meskipun telah mendapat

terapi metformin, secretagogue insulin (sulfomilurea) bisa diberikan

sebagai dual terapi. Namun glitazone atau penghambat α-glukosidase

(GLP 1 agonis) akan menurunkan kadar hemoglobin A1C lebih


signifikan. Pada individu tersebut pilihan terapi dipertimbangkan

berdasarkan kondisinya.

f. Apabila terapi awal tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka

penambahan satu obat perlu dilakukan apabila kadar A1C kurang dari !

% dari target sasaran. Apabila kadar hemoglobin A1C target dengan

kadar yang dimiliki individu berjarak 1-1,5% maka dua obat oral atau

injeksi insulin adalah terapi yang mungkin tepat.

g. Pada terapi kombinasi tiga jenis obat, DPP-4 inhibitor dapat menjadi

pengganti GLP-1 agonis jika individu tidak menginginkan terapi

injeksi.

h. Terapi insulin dipertimbangkan pada individu dengan kadar

hemoglobin A1C 8,5-9% . Sulfonilurea harus dihentikan saat insulin

menjadi terapi farmakologis pilihan untuk individu tersebut sedangkan

insulin sensitizer dilanjutkan.

i. Hampir semua individu akan mengalami insulinopeniadan

membutuhkan terapi insulin. Terapi insulin alternatif bagi individu ini

adalah yang bersifat intermediate atau long acting pada malam hari

dengan terapi oral untuk siang hari. Obat oral yang sebaiknya diberikan

pada individu ini adalah sensitizer insulin.

j. Apabila kommbinasi terapi insulin untuk malam hari dengan obat oral

siang hari gagal mencapai target, maka terapi yang diberikan adalah

kombinasi suntikan insulin pada siang hari dan sensitizer insulin

dilakukan. Jika terapi ini gagal, ditambahkan terapi suntikan bolus pada
saat makan berat kedua. Jika terapi ini gagal, maka diberikan terapi

dengan model bolus basal standar.

Pada algoritma pemberian terapi farmakologis penderita diabetes

mellitus, terdapat tiga tahapan terapi yang dijelaskan pada gambar 2.2.

tahapan tersebut adalah terapi inisial, terapi kombinasi dua obat dan

terapi kombinasi tiga obat.

a. Terapi inisial

Perubahan pola hidup (diet dan olahraga) harus dilakukan segera

setelah diagnosis ditegakkan30. Apabila perubahan pola hidup tidak

mencapai target, maka monoterapi metformin harus dilakukan kecuali

individu tersebut mengalami intoleransi atau terdapat kontraindikasi

metformin. Perlu dilakukan pemeriksaan Glomerulus Filtration Rate46.

Oleh karena metformin memiliki nilai GFR 45-30mL/menit/1,73m 2,

maka dosis harus dikurangi jika GFR individu dengan pengobatan

metformin lebih rendah dari nilai tersebut. Terapi metformin harus

dihentikan apabila terjadi mual, muntah dan dehidrasi. Pada individu

dengan intoleransi atau kontradinsikasi metformin, dilakukan terapi

awal dari obat kelas lain.

b. Terapi kombinasi (dual terapi)

Ababila terapi yang telah dilakukan pada terapi tunggal tidak

mencapai target A1C dalam jangka waktu 3 bulan, maka perlu

ditambahkan obat kedua. Semakin tinggi kadar A1C maka semakin


direkomendasikan menggunakan terapi insulin. Kebermaknaan

penambahan obat didefinisikan sebagai pengurangan kadar A1C hingga

1%. Apabila obat kedua tidak mencapai penurunan A1C bermakna,

maka obat kedua diganti dengan kelas lain. Data mengenai efektivitas

obat kedua terbatas sehingga belum dapat direkomendasikan pilihan

terbaik. Oleh karena itu, pertimbangan obat kedua didasarkan pada

manfaat dan efek samping obat.

Efek samping yang dihindari pada pemilihan obat kedua adalah

peningkatan berat badan, yang dihubungkan dengan kondisi

memburuknya resistensi insulin yang akan menyebabkan meningkatnya

kemungkinan komplikasi penyakit kardiovaskular. Hal ini dikecualikan

pada kelas TZD karena peningkatan berat badan disebabkan oleh

membaiknya resistensi insulin45. Titrasi dosis secara optimal harus

dilakukan untuk menghindari peningkatan berat badan dan

kemungkinan komplikasi penyakit kardiovaskular30.

c. Terapi kombinasi tiga obat

Terapi ini dilakukan apabila target penurunan HbA1C yang tidak

tercapai dengan terapi kombinasi dua obat. Oleh karena mayoritas

etiologi diabetes mellitus tipe 2 adalah kerusakan progresif sel β

pankreas, maka terapi rekomendasi untuk kondisi ini adalah insulin.

Terapi insulin sangat direkomendasikan untuk individu dengan derajat

hiperglikemi yang tinggi (HbA1C≥ 8,5%). Kombinasi tiga obat yang

salah satunya adalah insulin memerlukan pengawasan yang ketat.


Dalam kombinasi ini, maisng-masing obat harus berasal dari kelas yang

berbeda sehingga kerjanya saling melengkapi namun harus

dipertimbangkan pula interaksi antar obat. Edukasi kepada individu

yang mendapatkan terapi tiga obat ini perlu dilakukan dengan baik

karena penambahan obat akan meningkatkan efek samping dan

menurunkan ketaatan konsumsi obat.

F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi GDP dan GDP 2 jam PP

Faktor yang mempengaruhi adalah :

1. Aktifitas Fisik

Aktivitas fisik sangat mempengaruhi gula darah baik gula darah puasa

maupun gula darah 2 jam Post-pandrial. Hal ini dikarenakan glikogen yang

tersedia dalam darah dapat diolah langsung menjadi energi. Gaya hidup

yang kurang aktivitas fisik menjadi faktor yang menyebabkan gula darah

puasa yang tinggi. 47

2. Usia

Usia yang rentan terhadap gula darah puasa tidak normal adalah usia 45

tahun keatas. Dibandingkan dengan orang dengan usia dibawah 45, orang

denganbusia diatas 45 tahun satu tengah kali lebih mungkin mengalami

ketidaknormalam gula darah baik gula darah puasa maupun gula darah 2

jam post pandrial.47

3. Pola Makan
Orang yang dengan pola makan tidak baik beresiko 2,2 kali lebih besar

mengalami ketidaknormalam gula darah.48

4. Riwayat Keturunan

Riawayat keturunan diabetes mellitus rentan mengalami ketidaknormalan

gula darah puasa dan gula darah 2 jam post-pandrial sebanyak 1,6 kali

dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat diabetes

mellitus.48

G. Gula Darah pada Pasien Diabetes tipe II

a. Gula Darah Puasa

Gula darah puasa merupakan glukosa yang berada dalam sistem peredarah

darah yang menjadi sumber energi utama dan berasal dari nutrisi yang

telah diabsirbsi oleh vili dan diregulas oleh mekanisme glukogenesis,

gluconeogenesis dan glikolisis. glukosa darah puasa pada penderita

diabetes akan bernilai ≥ 126 mg/dl. puasa disini didefenisikan sebagai

tidak adanya asupan kalori dalam bentuk apapun selama minimal 8 jam.

b. Gula darah puasa 2 jam PP

gula darah puasa 2 jam Post-pandrial merupakan glukosa yang berada

dalam sistem peredaran darah 2 jam setelah makan gula sebesar 75 gram

atau sebanding. Glukosa darah 2 jam post-pandrial pada pasien diabetes

akan bernilai sebesar ≥200 mg/dl

c. HbA1C

HbA1C adalah hemoglobin terglikosilasi yang masa hidup selnya berkisar

60-90 hari. HbA1C pada penderita diabetes bernilai ≥6,5. Oleh karena
fungsi utama sel ini adalah untuk mengikat glukosa dalam darah, maka

kadar HbA1C akan menunjukkan kadar gula darah dalam 2-3 bulan

terakhir.49

H. SAPONIN

1. Definisi

Saponin adalah deterjen atau glikosida alami yang mempunyai sifat

aktif permukaan yang bersifat amfifilik, mempunyai berat molekul besar

dan struktur molekulnya terdiri dari aglikon steroid atau triterpen yang

disebut dengan sapogenin dan glikon yang mengandung satu atau lebih

rantai gula. Saponin berasal dari kata Latin yaitu “sapo” yang berarti

mengandung busa stabil bila dilarutkan dalam air. Kemampuan busa dari

saponin disebabkan oleh kombinasi dari sapogenin yang bersifat

hidrofobik (larut dalam lemak) dan bagian rantai gula yang bersifat

hidrofilik (larut dalam air).50

2. Struktur Saponin

Saponin merupakan glikosida yang memiliki glikon berupa steroid

dan triterpenoid. Saponin memiliki berbagai kelompok glikosil yang

terikat pada posisi C3, tetapi beberapa saponin memiliki dua rantai gula

yang menempel pada posisi C3 dan C17. Sturktur saponin tersebut


menyebabkan saponin bersifat seperti sabun atau deterjen sehingga

saponin disebut sebagai surfaktan alami. Saponin steroid tersusun atas inti

steroid (C27) dengan molekul karbohidrat (Hostettmann and Marston,

1995) dan jika terhidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal

saraponin. Saponin steroid terutama terdapat pada tanaman monokotil

seperti kelompok sansevieria (Agavaceae) (Boycea and Tinto, 2007)

gadung (Dioscoreaceae) dan tanaman berbunga. Saponin triterpenoid

tersusun atas inti triterpenoid dengan senyawa karbohidrat yang

dihidrolisis menghasilkan aglikon yang dikenal sapogenin.

3. Sifat fisika dan kimia saponin

Saponin merupakan metabolit sekunder dan merupakan kelompok

glikosida triterpenoid atau steroid aglikon, terdiri dari satu atau lebih

gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin, dapat

membentuk kristal berwarna kuning dan amorf, serta berbau menyengat.

Rasa saponin sangat ekstrim, dari sangat pahit hingga sangat manis.

Saponin biasa dikenal sebagai senyawa nonvolatilem dan sangat larut

dalam air (dingin maupun panas) dan alkohol, namun membentuk busa

koloidal dalam air dan memiliki sifat detergen yang baik.

Saponin merupakan senyawa ampifilik. Gugus gula (heksosa)pada

saponin dapat larut dalam air tetapi tidak larut dalam alkoholabsolut,

kloroform, eter dan pelarut organik non polar lainnya. Sedangkan gugus

steroid (sapogenin) pada saponin, biasa juga disebut dengan triterpenoid


aglikon dapat larut dalam lemak dan dapat membentuk emulsi dengan

minyak dan resin.51

4. Manfaat saponin

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa saponin banyak

dimanfaatkan untuk kepentingan manusia karena saponin memiliki

aktivitas yang luas seperti antibakteri, antifungi, kemampuan menurunkan

kolesterol dalam darah dan menghambat pertumbuhan sel tumor. Hasil

penelitian Vinarova secara in vitro dan in vivo pada mencit menunjukkan

bahwa pemberian saponin dapat menurunkan konsentrasi kolesterol alam

darah. Hasil penelitian aktivitas antibakteri dan antifungi menggunakan

metode disc diffusion testjuga menunjukkan bahwa saponin memiliki

kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri maupun fungi. Berbagai

penelitian telah dilakukan untuk mengungkap aktivitas antitumor saponin

in vivo dengan menggunakan hewan coba mencit maupun tikus putih.

Saponin triterpenoid adalah inhibitor glukosidase α. Oleh karena

sifatnya yang menginhibisi proses pembentukan glukosa darah dengan

sifat rapid acting52, saponin merupakan senyawa yang dapat menurunkan

kadar glukosa darah18. Triterpenoid ini juga dapat membantu sintesis

protein pada sel-sel tubuh sehingga dapat mempercepat pembuatan organ-

organ sel. Selain itu saponin juga bersifat antioksidan dan dapat

menurunkan kolesterol. Afinitas saponin terhadap sel mast dan basofil

relatif tinggi sehingga dapat melindungi gugus amin, rantai asam amino

dan nukleotida dari oksidasi karena sifat antioksidannya 53. Alkaloid dalam
saponin juga bersifat antipiretik, antiheminitik, analeptik dan

antiplasmodium.

I. Mekanisme Saponin

Saponin berfungsi sebagai anti hiperglikemik dengan cara

mencegah pengambilan glukosa pada brush border di usus halus.41

Bergabungnya saponin ke dalam membran sel membentuk struktur yang

lebih permeabel dibanding membran aslinya. Pengaruh saponin terhadap

susunan membran sel dapat menghambat absorbsi molekul zat gizi yang

lebih kecil yang seharusnya cepat diserap, misalnya glukosa. Perubahan

struktur membran sel juga diduga menimbulkan gangguan pada sistem

transporter glukosa sehingga akan terjadi hambatan untuk penyerapan

glukosa. Candra S. Pengaruh pemberian ekstrak buah

belimbing wuluh (Averrhoa blimbi L.) terhadap

penurunan kadar glukosa darah tikus wistar yang

diinduksi aloksan. Jurnal Media Medika Muda. 2012.

Saponin merupakan suatu glikosida alamiah yang terikat dengan

steroid atau triterpena. Saponin mempunyai aktivitas seperti insulin, dapat

menghambat lipolisis, meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel

adipose. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa senyawa saponin dapat

memperbaiki resistensi insulin. Senyawa saponin yang berkhasiat sebagai

antidiabetes karena bersifat sebagai inhibitor (penghambat) enzim α-

glukosidasi. Enzim α-glukosidasi merupakan enzim yang berperan dalam


mengubah karbohidrat menjadi glukosa. Dengan demikian, apabila enzim

α-glucosidase dihambat kerjanya, maka kadar glukosa dalam darah akan

menurun, sehingga menimbulkan efek hioglikemik (kadar gula dalam

darah menurun).

J. Pengaruh Saponin Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Puasa

Dan 2 Jam PostPrandial

Saponin memiliki banyak fungsi biologi dan farmakologi

diantaranya sebagai kardiotonik, hipoglikemik, hipokolesterolemik,

modulator imun, hepatoproteksi, antioksidan, dan antikardiogenik.

Saponin berfungsi sebagai antihiperglikemik adalah triterpene saponin

dengan mekanismenya yaitu mencegah pengosongan lambung dan

mencegah peningkatan uptake glukosa pada brush border membran di

intestinal. Selain itu saponin juga bekerja untuk mencegah penyerapan

glukosa dengan cara mencegah transport glukosa menuju brush border di

usus halus yang merupakan tempat penyerapan glukosa. melaporkan

bahwa ekstrak saponin dari akar Garcinia kola menunjukkan aktivitas

antidiabetes lebih dari obat antidiabetes metformin pada tikus diabetes

yang diinduksi aloksan sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah

postprandial. Andriani, I. 2015. Pemberian Ekstrak Etanol

Daun Afrika (Vernonia amygdalina) Oral

Meningkatkan Kadar Insulin Puasa dan Menurunkan


Glukosa Darah Post Prandial Pada Tikus Putih

(Rattus norvegicus) jantan diabetes melitus, Program

Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

tanaman yang diduga berkhasiat dalam menurunkan kadar gula

darah adalah daun afrika (Vernonia amygdalina). Di Tenggara dari

Nigeria, daun afrika telah lama digunakan dalam pengendalian kadar

glukosa dalam darah. ahun 2008 di Asia Tenggara, terutama di Malaysia

dan Singapura daun afrika selatan sudah banyak digunakan untuk

pengobatan diabetes melitus. Hasil uji skrining fitokimia yang dilakukan

penelitian sebelumnya, diketahui bahwa daun afrika mengandung senyawa

kimia golongan alkaloid, tannin, saponin, dan flavonoid, polifenol, dan

vitamin C. Kandungan dari ekstrak daun afrika yang mampu mampu

menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase adalah alkaloid. Pemberian

ekstrak etanol daun afrika 80 mg/200gr BB tikus secara oral selama 14

hari dapat menurunkan kadar glukosa darah postprandial dan

meningkatkan kadar insulin puasa pada tikus diabetes melitus.

Pamungkas, B.A. 2015. Uji Aktivitas Antidiabetes

Campuran Ekstrak Kering Daun Afrika (Vernonia

amygdalina D) dan Kulit Buah Manggis (Garnicia

mangostana L) Pada Mencit (Mus musculus) Yang Di


Induksi Aloksan. Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas

Airlangga Surabaya (Tidak Dipublikasi).

K. Kerangka Teori Self Care Orem pada Diabetes Mellitus Tipe 2

Penatalaksanaan diabetes mellitus yang berupa empat pilar

pengendalian membutuhkan sinergi dari berbagai pihak. Pihak-pihak yang

berperan penting dalam penatalaksanaan ini adalah tenaga kesehatan,

keluarga serta penderita diabetes mellitus sendiri. Penanganan penyakit

diabetes mellitus yang baik dari tenaga kesehatan akan menjadi tidak optimal

tanpa kemampuan keluarga serta penderita dalam turut serta aktif dalam

pengobatan.

Pendekatan yang dapat digunakan sebagai usaha untuk memahami

keturut sertaan penderita secara aktif dalam pengobatan adalah teori

keperawatan Orem. Menurut Orem, perawatan diri merupakan tindakan yang

diperlukan dilakukan secara berkesinambungan oleh orang dewasa untuk

mempertahankan hidup, mempertahankan kesehatan serta kesejahteraan.

Orem juga mengemukakan bahwa penting bagi manusia untuk membedakan

keperawatan dengan pelayanan masyarakat lain. Fokus utama keperawatan

merupakan pemberdayaan individu dalam merawat diri sendiri secara

adekuat. Apabila kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut tidak

adekuat maka ia jatuh dalam kondisi defisit perawatan diri. Defisit perawatan

inilah yang akan menyebabkan ia tidak mampu mempertahankan hidup,

mempertahankan kondisi sehat atau mempertahankan kesejahteraan.


Teori keperawatan Orem menekankan bahwa perawat sebagai

pemberi asuhan memiliki tujuan untuk mempengaruhi perkembangan

individu sehingga dapat mencapai kemandirian optimal. Kemandirian optimal

ini ditandai dengan kemampuan penderita mengambil keputusan kesehatan

untuk dirinya sendiri. Teori ini menitik beratkan langkah preventif dan

promotif sebagai fokus utama keperawatan. Asuhan keperawatan kepada

individu diberikan berdasarkan tingkat ketergantungan atau kebutuhan dan

kemampuan individu tersebut. Interevensi yang menjadi fokus adalah

mendukung, membimbing, mendidik dan mengupayakan lingkungan

kondusif bagi penderita. Oleh karena itu berikut adalah tujuan-tujuan

intervensi keperawatan yang bersifat prinsip berdasarkan teori Orem:

Membantu pasien penderita diabetes melitus dalam memperoleh

hubungan interpersonal, kemampuan kognitif dan perilaku emosional yang

adekuat dan adaptif, Mengubah persepsi dan sikap penderita yang salah atau

maladaptive, Mengubah lingkungan; membantu manajemen stress, mengubah

lingkungan yang tidak kondusif atas perkembangan dan pengobatan dan

Membantu pasien belajar mengatasi masalah

Berdasarkan tujuan intervensi secara prinsip tersebut, maka tujuan

intervensi kepada penderita diabetes mellitus adalah Dapat merencanakan dan

mengatur diet secara mandiri, dapat menurunkan berat badan secara

berangsur-angsur atau menjaga berat badan ideal, melakukan latihan fisik

teratur, Taat melakukan pemeriksaan Kesehatan secara rutin, dan Mampu

memahami perjalanan penyakit, pentingnya pengendalian penyakit,


komplikasi dan risiko yang timbul, dan menggunakan terapi non farmakologi

seperti dari tanaman-tanaman herbal sebelum menggunakan terapi

farmakologi. 54

L. Kerangka Teori

Penyebab DM tipe II Lima Pilar Management


a. Kegagalan Relative DM Tipe II:
Diabetes melitus 1. Edukasi
Sel
b. Resistensi Insulin 2. Terapi gizi
c. Usia 3. Latihan jasmani
d. Obesitas 4. Terapi non
pengobatan farmakologis
e. Riwayat
5. Stress

Aplikasi teori
Dorothea Orem
Komplikasi diabetes Farmakologis Non farmakologi
melitus:

1. Penyakit 1. Obat: metformin 1. Mengurangi porsi


Ekstrak daun
markovaskuler 2. Injeksi isnulin 2. Olah raga
2. Penyakit binahong
3. Menurunkan berat
jantung badan
koroner (PJK) 4. Hindari minuman
Meningkatkan aliran Mengandung flavanoid,
3. Gagal gnjal manis
kronik darah ke hati, asam aleanolik, saponin, 5. Hindari makanan
4. Neuropati Menghambat produksi triterpenoid, fenol, asam manis
sistem saraf glukosa di hati. askorbat, vitaminn c dan 6. Makan banyak
sensorik protein sayuran
5. Stroke.

Mengkonversi glukosa
Menghambat lipolisis,
menjadi glicogen
meningkatkan pengambilan
glukosa oleh sel adipose,
memperbaiki resistensi insulin

Penurunan kadar gula dalam


darah
Gambar 2. 2 Kerangka Teori
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Penelitian ini adalah penelitian systematic Literature Review

(SLR), merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada

metodologipenelitian atau riset tertentu dan pengembangan yang

dilakukan untuk mengumpulkan sertamengevaluasi penelitian yang terkait

pada fokus topik tertentu. Metode SLR digunakan untuk mengidentifikasi,

mengkaji, mengevaluasi,dan menafsirkan semua penelitian yang tersedia

dengan bidang topik fenomena yang menarik,dengan pertanyaan penelitian

tertentu yang relevan. Dengan penggunaan Metode SLR dapat dilakukan

review dan identifikasi jurnal secara sistematis, yang pada setiap

prosesnya mengikuti langkah-langkah atau protokol yang telah ditetapkan.

Penelitian SLR dilakukan untuk berbagai tujuan, diantaranya untuk

mengidentifikasi, mengkaji, mengevaluasi,dan menafsirkan semua

penelitian yang tersedia dengan bidang topik fenomena yang

menarik,dengan pertanyaan penelitian tertentu yang relevan. SLR juga

sering dibutuhkan untuk penentuan agenda riset, sebagai bagian dari

disertasi atau tesis,serta merupakan bagian yang melengkapi pengajuan

hibah riset. Kelebihan dalam menggunakan systematic reviews yaitu

memberikan suatu summary of evidence bagi para klinis dan pembuat

keputusan yang tidak memiliki banyak waktu untuk mencari berbagai


bukti primer yang jumlahnya sangat banyak dan menelaahnya satu-persatu

(Lusiana 2014). Penelitian ini menggunakan Systematic Literature

Reviews, yang bertujuan untuk mengentahui efektivitas nano partikel daun

biinahong terhadap penurunan kadar gula darah puasa dan 2 jam pp pada

penderita diabetes mellitus tipe II.

B. Tahap Systematic Review

Dalam penelitian menggunakan metode systematic literarur review

(SLR) ada beberapa tahapan yang akan dilaukan sehingga hasil dari study

literatur tersebut dapat diakui. adapun tahap-tahapnya Digambar sebagai

berikut :
Pencarian pada situs

Proquest
Pencarian pada situs Pencarian pada situs
(n=37.195)
EBSCOHost ScienceDirect

(n=64) (n=13.301)

Hasil jurnal secara keseluruhan

Screening:
Screening
a. Rentang waktu 5 tahun
Jurnal akhir yang (April 2015 - April 2020)
sesuai b. Tipe (Research articles,
review articles)
dengan kriteria inklusi c. Jurnal bahasa inggris
Proquest EBSCO

Full text:

Proquest n=x
Jurnal yang dapat
EBSCO n=40
diakses full text

Kriteria Inklusi:

1. Jurnal yang berkaitan dengan binahong,


glukosa darah puasa, 2 jam Post
Prandial
2. Jurnal yang membahas daun binahong
terhadap glukosa darah puasa dan 2 jam
Post Prandia
Proquest (n=X)

EBSCO (n=X)
1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan suatu yang penting di antara

proses yang lain, dikarenakan hal tersebut menentukan kualitas suatu

penelitian. Dalam penelitian inipeneliti mengkaji permasalahan melalui

jurnal-jurnal penelitian internasional yang berasal dari hasil pencarian

jurnal. Masalah penelitian ini adalah efektifitas nano partikel binahong

terhadap penurunan kadar gula darah puasa dan 2 jam PP pada penderita

diabetes melitus tipe 2.

2. Pencarian data

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pencarian data melalui

website portal jurnal yang dapat diakses seperti MEDLINE, ABI/Inform

Complete, ACM Digital Library, Elsevier (SCOPUS), Emerald, IEE

Xplore, science Direct dan IGI Global, Portal Garuda, Perpustakaan

menggunakan kata kunci yang dipilih yakni : daun biinahong, glukosa

darah puasa, 2 jam PP pada penderita diabetes melitus. Pada penelitian

ini, penelitian juga menggunakan layanan Sci-Hub Ketika peneliti

mengalami kesulitan dalam pencarian jurnal karena berbayar. Sci-Hub

adalah sala satu website yang memiliki tujuan provider-mass dalam

penyediaan jurnal agar dapat diakses secara penuh oleh para peneltian.

3. Screening

Penyaringan atau pemilihan data yang bertujuan untuk memilih

masalah penelitian yang sesuai dengan topik uang diteliti. Adapun topik
yang diteliti yang diakses dalam proses penelitian ini di screening

berdasarkan pada kriteria sebagai berikut :

a. Jurnal diterbitkan dalam rentang waktu 5 tahun (2015-2020)

b. Tipe jurnal (review articles, research articles)

c. Jurnal menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris

d. Jurnal yang dapat diakses secara penuh/tersedia full text

4. Penilaian kualitas

Dalam penelitian kualitas pada metode systematic Literatur

Review (SLR) yang dimaksudkan adalah penilaian sumber data jurnal

yang layak dengan kriteria sebagai berikut : Peer Reviewer, terindeks

citeScre, Jurnal Impact Factors (JIF), source Normalized Impact per

paper (SNIP) untuk jurnal Elsevier Scopus, Scimago jurnal Rank(SJR).

5. Ekstrasi Data

Ekstrasi data dapat dilakukan jika semua data yang telah

memenuhi syarat telah diklasifikasi untuk semua data yang ada. Setalah

proses screening dilaukan maka hasil dari ekstraksi data ini dapat

diketehui pasti dari jumblah awal data yang memiliki berapa yang masih

memenuhi syarat untuk selanjutnya dianalisis lebih lanjut.

C. Populasi, Sampling dan Sample Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

oleh peneliti. Adapun yang menjadi populasi dipenelitian ini adalah

jurnal internasional yang berkaitan dengan populasi.


2. Tekhnik Sampling

Teknik sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi

untuk dapat mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-

cara yang digunakan dalam pengambilan sampel, agar memperoleh

sampel yang sesuai dari keseluruhan subjek penelitian (Nursalam,

2015). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling. Yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan

cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang

dikehendaki peneliti (tujuan dan masalah dalam penelitian),

sehingga sampel dapat mewakili karakteristik populasi yang telah

diketahui sebelumnya (Nursalam, 2015). Berdasarkan karakteristik

populasi yang sudah diketahui sebelumnya yaitu telah disebutkan

dalam kriteria inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini:

a. Kriteria inklusi

Menurut (Notoatmodjo, 2010) kriteria inklusi adalah

kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota

populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Kritera inklusi

penelitian dapat dilihat pada tabel 1 berikut :

Tabel 1. Kriteria Inklusi Penelitian

Kriteria Inklusi
Jangka Rentang waktu penerbitan jurnal maksimal 5
tahun
Waktu (2015-2020)

Bahasa Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris

Subyek Manusia dewasa

Jenis jurnal Original artikel penelitian (bukan review


penelitian)
Tersedia full text
Tema isi nano partikel daun biinahong terhadap penurunan
kadar gula darah puasa dan 2 jam pp pada
Jurnal penderita diabetes mellitus tipe II.

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau

mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi

karena berbagai sebab (Nursalam, 2015). Kriteria eksklusi

dalam penelitian ini adalah:

1. Responden dengan penyakit penyerta seperti: hipertensi,

gagal ginjal, gagal jantung, ataupun stroke.

3. Sampel

Sampel terdiri atas bagian populasi yang dapat dipergunakan sebagai

subjek penelitian melalui sampling. Terdapat dua syarat yang harus

dipenuhi dalam menetapkan sampel yaitu, pertama representatif dimana

sample dapat mewakili populasi yang ada dan yang kedua sampel harus

cukup banyak (Nursalam, 2015). Menurut (Notoatmodjo, 2010), sampel

adalah bagian dari populasi yang dipilih untuk menjadi subjek dalam
sebuah penelitian atau sebagai jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. (Sugiyono, 2014) menyebutkan bahwa sampel merupakan bagian

dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Apabila populasi

besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada

populasi karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat

menggunakan sampel yang representatif. Sampel dalam penelitian ini

adalah 25 jurnal internasional yang berkaitan dengan Tema nano partikel

daun biinahong terhadap penurunan kadar gula darah puasa dan 2 jam pp

pada penderita diabetes mellitus tipe II.

D. Variabel penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,

obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,

2012). Variabel independen dalam penelitian ini adalah tema nano partikel

daun biinahong terhadap penurunan kadar gula darah puasa dan 2 jam pp

pada penderita diabetes mellitus tipe II.

E. Analisa Data

Dalam penelitian ini setelah melewati tahapan screening sampai dengan

ekstraksi data maka analisa dapat dilakukan dengan menggabungkan semua

data yang memenuhi persyaratan inklusi menggunakan teknik baik secara

kuantitatif, kualitatif atau keduanya. Pada penelitian ini peneliti akan

menggunakan kedua teknik analisa data yakni secara kuantitatif dan kualitatif
F. Penulisan Hasil Studi Literatur

Hasil dari analisa data selanjutnya akan diketahui PICO (population,

intervention, comparation, outcome) sehingga dapat dilihat apakah dari data

yang sudah dikumpulkan membuktikan bahwa terdapat Efektivitas nano

partikel daun binahong terhadap penurunan kadar gula darah puasa dan 2 jam

Post Prandial pada penderita diabetes mellitus tipe II.

G. Kesimpulan penelitian

Kesimpulan penelitian adalah pernyataan singkat tentang hasil

analisis deskripsi berasal dari fakta- fakta atau hubungan yang logis dan

berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada bagian rumusan

masalah. Keseluruhan jawaban hanya terfokus pada ruang lingkup

pertanyaan dan jumlah jawaban disesuaikan dengan rumusan masalah yang

diajukan. (Handayani, 2017).


DAFTAR PUSTAKA

1. Wijonarko B, Anies A and Mardiono M. Efektvitas Topikal Salep Ekstrak


Binahong (AnrederaCordifolia (Tenore) Steenis) terhadap Proses
Penyembuhan Luka Ulkus Diabetik pada Tikus Wistar (Rattus Novergicus).
Jurnal Ilmiah Kesehatan 2016; 9: 96955.
2. Kintoko K and Novitasari P. Studi In Vivo Efektivitas Gel Ekstrak Etanol
Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steen) Sebagai Penyembuh
Luka Diabetes. In: Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals
Conferences 2016, pp.253-264.
3. Dupre ME, Silberberg M, Willis JM, et al. Education, glucose control, and
mortality risks among US older adults with diabetes. Diabetes research and
clinical practice 2015; 107: 392-399.
4. Nuari NA. Pengembangan model peningkatan pemberdayaan diri dan kualitas
hidup pasien diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Ners Lentera 2016; 4: 152-165.
5. Ekaputri M, Citrawijaya H, Adhimulia KJ, et al. Peran Riwayat Ayah
Diabetes Melitus Tipe 2 pada Status Prediabetes Anak Kandung Penderita
Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 2020; 6: 182-187.
6. Sudirman S and Kusumastuti AC. Pengaruh Pemberian Rebusan Daun
Binahong (Anredera Cordifolia) terhadap Kadar Glukosa Darah pada Wanita
Dewasa. Journal of Nutrition College 2018; 7: 114-122.
7. Hidayah M. Hubungan Perilaku Self-Management Dengan Kadar Gula Darah
Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja Puskesmas Pucang
Sewu, Surabaya. Amerta Nutrition 2019; 3: 176-182.
8. Suryaningtyas NH, Salim M and Margarethy I. ANALISIS DATA SPASIAL
MALARIA DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2017. SPIRAKEL
2019; 11: 63-71.
9. Anggun F. EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN
ULKUS DIABETIKUM DI IRNA PENYAKIT DALAM RSUP DR. M.
DJAMIL PADANG PADA BULAN FEBRUARI-APRIL TAHUN 2018.
Universitas Andalas, 2018.
10. Khotimah S. HUBUNGAN SENAM DIABETES DENGAN KUALITAS
HIDUP PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI KELOMPOK PROLANIS
UPTD PUSKESMAS TEMON I. UNIVERSITAS ALMA ATA
YOGYAKARTA, 2018.
11. Putri NHK and Isfandiari MA. Hubungan empat pilar pengendalian dm tipe 2
dengan rerata kadar gula darah. Jurnal Berkala Epidemiologi 2013; 1: 234-
243.
12. Association AD. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes
care 2009; 32: S62-S67.
13. Muflih FLA. EFEK TEH BINAHONG (ANREDERA CORDIFOLIA (TEN.)
STENNIS) TERHADAP PENURUNAN GULA DARAH. In: Prosiding
Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu 2019, pp.445-450.
14. Nurtika N and Aisyah R. Uji Antidiabetik Daun Binahong (Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus
norvegicus) Yang Diinduksi Aloksan. Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2017.
15. Makalalag IW and Wullur A. Uji ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia
Steen.) terhadap kadar gula darah pada tikus putih jantan galur Wistar (Rattus
norvegicus) yang diinduksi sukrosa. PHARMACON 2013; 2.
16. Syamsul ES, Lestiani WA and Sukawati Y. Uji daya analgetik ekstrak
etanolik daun binahong [Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis] pada mencit
putih (Mus musculus L.) jantan. In: PROSIDING SEMINAR KIMIA 2016.
17. Siskaningrum A. EFEKTIFITAS HIDROGEL BINAHONG (Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis) TERHADAP LUAS LUKA PADA TIKUS
HIPERGLIKEMIA (Rattus Norvegicus) GALUR WISTAR. Journal
Keperawatan Stikes ICME Jombang 2019; 17: 50-59.
18. Fatmala UT, Apriyanto DR and Nurbaiti N. Efektivitas Kombinasi Ekstrak
Daun Annona Muricata L. Dan Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis Terhadap
Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar. Tunas Medika Jurnal
Kedokteran & Kesehatan 2018; 4.
19. Sukandar EY, Qowiyyah A and Larasari L. Effect of methanol extract
hearhleaf madeiravine (Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis) leaves on blood
sugar in diabetes mellitus model mice. jurnal Medika Planta 2013; 1.
20. Febria Syahfu Sari RA. Pengaruh Jus Lidah Buaya Terhadap Kadar Glukosa
Darah Puasa Dan 2 Jam PP (Post Prandial) Pada Penderita Diabetes Melitus.
1.
21. M.Panji Bintang Gumantara RZO. Perbandingan Monoterapi dan Kombinasi
Terapi Sulfonilurea-Metformin terhadap Pasien Diabetes Melitus Tipe 2.
2017; 6.
22. Indri Wirasuasty Makalalag AW, dan Weny wiyono. Uji Ekstrak Daun
Binahong (Anredera cordifolia Steen.) Terhadap Kadar Gula Darah Pada
Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Ratus norvegicus) yang Diinduksi Sukrosa.
jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT 2013; 2.
23. Nurtika. Uji Antidiabetik Daun Binahon (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi
Aloksan. 2017.
24. Elin Yulina Sukandar AQ, dan Lady Larasari. Effect Of Methanol Extract
Hearhleaf Madeiravine (Anredera cordifolia (TEN.) Leaves On Blood Sugar
In Diabetes Mellitus Model Mice. jurnal Medika Planta 2011; 1.
25. Siskaningrum A. Efektivitas Hidrogel Binahong (Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis) Terhadap Luas Luka Pada Tikus Hiperglikemia (Rattus Norvgicus)
Galur Wistar. 2019; 17.
26. Ully Tangziyah Fatmala DRA, Nurbaiti. Efeketivitas Kombinasi Ekstrak
Daun Annona Muricata L. Dan Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis Terhadap
Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar.
27. Bangun Wijonarko A, Mardiono. Efektivitas Topikal Salep Ekstrak Binahong
(Anredera Cordifolia (Tenore) Steenis) terhadap Proses Penyembuhan Luka
Ulkus Diabetes padaTikus Wistar (Rattus Novergicus). 2016; IX.
28. DeFronzo RA, Ferrannini E, Alberti KGMM, et al. International Textbook of
Diabetes Mellitus, 2 Volume Set. John Wiley & Sons, 2015.
29. Garber AJ, Abrahamson MJ, Barzilay JI, et al. Consensus statement by the
American Association of Clinical Endocrinologists and American College of
Endocrinology on the comprehensive type 2 diabetes management algorithm–
2017 executive summary. Endocrine Practice 2017; 23: 207-238 %@ 1934-
2403.
30. Draznin B, Gilden J, Golden SH, et al. Pathways to quality inpatient
management of hyperglycemia and diabetes: a call to action. Diabetes Care
2013; 36: 1807-1814 %@ 0149-5992.
31. Broek I, Haris M, Hanken M, et al. Clinical Guidelines Diagnosis and
Treatment Manual. MSF, 2010.
32. Lestari WAA, Pk S and Lestari AAW. Resistensi Insulin: Definisi,
Mekanisme dan Pemeriksaan Laboratoriumnya. Buku Ilmiah Clinical
Pathology Update on SURAMADE 2011; 1: 2011.2011-2012.
33. Vogt L and Roelofs JJ. Introduction to Pathogenetic Mechanisms of Diabetic
Nephropathy. Diabetic Nephropathy. Springer, 2019, pp.83-87.
34. Patra S, Nithya S, Srinithya B, et al. Review of medicinal plants for anti-
obesity activity. Translational Biomedicine 2015; 6.
35. Fatimah RN. Diabetes Melitus Tipe 2. 2015; 4.
36. Jumari J, Waluyo A, Jumaiyah W, et al. Pengaruh Akupresur terhadap Kadar
Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Persadia RS Islam Jakarta
Cempaka Putih. Journal of Telenursing (JOTING) 2019; 1: 38-50.
37. Masithoh RF, Ropi H and Kurniawan T. Pengaruh Terapi Akupresur
Terhadap Kadar Gula Darahpada Pasien Diabetes Melitus Tipe Iidi Poliklinik
Penyakit Dalam RS Tk II Dr. Soedjono Magelang. Journal of Holistic
Nursing Science 2016; 3: 26-37.
38. WULANDARI R, Ambarwati WN and Jadmiko AW. Perbedaan Kadar
Gula Darah Setelah Terapi Bekam Basah Dan Pijat Refleksi Pada Penderita
Diabetes Mellitus Di Karangmalang Sragen. Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2015.
39. Rizki A and Endang M. Pengaruh Bekam Basah Terhadap Kadar Gula Darah
Puasa Pada Pasien Diabetes Melitus Di Semarang. Jurnal Kedokteran
Diponegoro 2013; 2.
40. Andari R and Mahati E. Pengaruh Bekam Basah terhadap Kadar Gula Darah
Puasa pada Pasien Diabetes Melitus Di Semarang. Jurnal Kedokteran
Diponegoro 2014; 2: 137976.
41. Astuti SM, Sakinah MAM, Andayani RBM, et al. Determination of saponin
compound from Anredera cordifolia (Ten) Steenis plant (binahong) to
potential treatment for several diseases. Journal of agricultural science 2011;
3: 224 %@ 1916-9752.
42. Hasbullah UHAa. Kandungan Senyawa Saponin pada Daun, Batang dan
Umbi Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis). PLANTA
TROPIKA: Jurnal Agrosains (Journal of Agro Science) 2016; 4: 20-24 %@
2528-7079.
43. Astuti SM, Sakinah AMM and Risch A. THE TRITERPENOID SAPONIN
FROM BINAHONG [Anredera cordifolia (Ten) Steenis] TO POTENTIAL
USING AS ANTIDIABETIC ACTIVITY IN ANIMAL LABORATORY. In:
2012, p.331.
44. Kurniawan B and Aryana WF. Binahong (Cassia Alata L) As Inhibitor Of
Escherichiacoli Growth. Jurnal Majority 2015; 4.
45. Pinel J and Pinel J. Essential drugs: Practical guidelines. Medecins Sans
Frontieres, 2006.
46. Greenblatt DJ, Von Moltke LL, Harmatz JS, et al. Pharmacokinetics,
pharmacodynamics, and drug disposition. Neuropsychopharmacology: the
fifth generation of progress Baltimore (MD): Lippincott, Williams and
Wilkins 2002: 507-524.
47. Elevera Juwita S, Novie E Mauliku, Diyan K Nugrahaeni. Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus
Tipe 2 Di Prolanis Puskesmas Kecamatan Cimahi Tengah. 2020; 9: 87-93.
48. Abil Rudi dHNK. Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah
Puasa Pada Pengguna Layanan Laboratorium. 2017; 3.
49. Nur Ramdhan NM. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Berdasarkan Kadar HbA1C Di Puskesmas Jayabaru Kota Banda Aceh. 2015;
2.
50. Vivian-Smith G, Lawson BE, Turnbull I, et al. The biology of Australian
weeds. 46. Anredera cordifolia (Ten.) Steenis. Plant Protection Quarterly
2007; 22: 2 %@ 0815-2195.
51. Basyuni M and Lesmana I. Skrining Fitokimia Metabolit Sekunder pada
Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) untuk Uji In Vitro Daya
Hambat Pertumbuhan Aeromonas hydrophila. AQUACOASTMARINE 2011;
1.
52. Rahardhian MRR and Utami D. UJI SITOTOKSIK DAN
ANTIPROLIFERASI EKSTRAK ETER DAUN BINAHONG (Andredera
cordifolia (Tenore) Steen.) TERHADAP SEL HeLa. Media Farmasi
Indonesia 2018; 13.
53. Sukandar EY, Fidrianny I and Adiwibowo LP. Efficacy of Ethanol Extract of
Anredera cordifolia (Ten) Steenis Leaves on Improving Kidney Failure in
Rats. International journal of Pharmacology 2011; 7: 850-855 %@ 1811-
7775.
54. Miladiyah I and Prabowo BR. Ethanolic extract of Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis leaves improved wound healing in guinea pigs. Universa Medicina
2015; 31: 4-11 %@ 2407-2230.
55. Kintoko K and Novitasari PR. STUDI IN VIVO EFEKTIVITAS GEL
EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore)
Steen) SEBAGAI PENYEMBUH LUKA DIABETES. In: 2016, pp.253-264
%@ 2614-4778.
56. Indri Wirasuasty Makalalag AW, dan Weny wiyono Uji Ekstrak Daun
Binahong ( Anredera cordifolia Steen.) Terhadap kadar Gula Darah Pada
Tikus Putih Jantan Galur Wistar ( Rattus norvegicus) yang Diinduksi Sukrosa
Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT 2013; Vol. 2 No. 01.
57. Contrera JF1 ME, Kruhlak NL, Benz RD. Estimating the safe starting dose in
phase I clinical trials and no observed effect level based on QSAR modeling
of the human maximum recommended daily dose. Regulatory Toxicology
and Pharmacology 2004; 40: 185-206.
58. Nair AB1 JS. A simple practice guide for dose conversion between animals
and human. journal of basic and clnical pharmacy 2016.
59. JDeckerAleksandrsOdinecs PR. Prediction of pharmacokinetic properties
using experimental approaches during early drug discovery. Current Opinion
in Chemical Biology 2001; 5: 452-463.
60. Lewandowski LRRTA. Methods for Identifying a Default Cross-Species
Scaling Factor. Methods for Identifying a Default Cross-Species Scaling
Factor 2006; 12.
61. Blesch BGRK. Estimating the starting dose for entry into humans: principles
and practice. Estimating the starting dose for entry into humans: principles
and practice 2002.
62. USFDA. Guidance for Industry Estimating the Maximum Safe Starting Dose
in Initial Clinical Trials for Therapeutics in Adult Healthy Volunteers 2005.
63. Banavar JR MM, Brown JH, Damuth J, Rinaldo A, SiblyRM, . A general
basis for quarter-power scaling in animals. 2010.
64. Notoatmodjo S. Pengelolaan dan Analisa Data. Dalam: Notoatmodjo, S ed
Metodologi Penelitian Kesehatan Jakarta: Rineka Cipta 2012.
65. Suwandi T. Pemberian Ekstrak Kelopak Bunga Rosela Menurunkan
Malondialdehid Pada Tikus Yang Diberi Minyak Jelantah. Universitas
Udayana Tesis, Denpasar 2012: 30-32.
66. Herdiani N. Pengaruh Ekstrak Kelopak Rosella Merah Menaikkan Kadar
Superoksida Dismutase (SOD) Tikus Wistar Yang Diberi Minyak Jelantah.
MEDICA MAJAPAHIT 2016; 8.
67. Rahmatini R. EVALUASI KHASIAT DAN KEAMANAN OBAT (UJI
KLINIK). Majalah Kedokteran Andalas 2015; 34: 31-38 %@ 2442-5230.
68. Nair AB and Jacob S. A simple practice guide for dose conversion between
animals and human. Journal of basic and clinical pharmacy 2016; 7: 27.
69. Yuliani SH, Anggraeni CD, Sekarjati W, et al. Cytotoxic activity of Anredera
cordifolia leaf extract on hela cervical cancer cells through p53-independent
pathway. Asian J Pharm Clin Res 2015; 8: 328-331.
70. Johnson I, Gee JM, Price K, et al. Influence of saponins on gut permeability
and active nutrient transport in vitro. The Journal of nutrition 1986; 116:
2270-2277.
71. Muflih Muflih FLA. Efek Teh Binahong (Anredera Cordifolia (Ten.) Stennis)
Terhadap Penurunan Gula Darah. 2019.
72. Putra IWA and Berawi K. Empat Pilar Penatalaksanaan Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2. Jurnal Majority 2015; 4: 8-12.
1. Wijonarko B, Anies A and Mardiono M. Efektvitas Topikal Salep Ekstrak
Binahong (AnrederaCordifolia (Tenore) Steenis) terhadap Proses Penyembuhan Luka
Ulkus Diabetik pada Tikus Wistar (Rattus Novergicus). Jurnal Ilmiah Kesehatan. 2016;
9: 96955.
2. Kintoko K and Novitasari P. Studi In Vivo Efektivitas Gel Ekstrak Etanol Daun
Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steen) Sebagai Penyembuh Luka Diabetes.
Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences. 2016, p. 253-64.
3. Dupre ME, Silberberg M, Willis JM and Feinglos MN. Education, glucose
control, and mortality risks among US older adults with diabetes. Diabetes research
and clinical practice. 2015; 107: 392-9.
4. Nuari NA. Pengembangan model peningkatan pemberdayaan diri dan kualitas
hidup pasien diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Ners Lentera. 2016; 4: 152-65.
5. Ekaputri M, Citrawijaya H, Adhimulia KJ, et al. Peran Riwayat Ayah Diabetes
Melitus Tipe 2 pada Status Prediabetes Anak Kandung Penderita Diabetes Melitus Tipe
2. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2020; 6: 182-7.
6. Sudirman S and Kusumastuti AC. Pengaruh Pemberian Rebusan Daun
Binahong (Anredera Cordifolia) terhadap Kadar Glukosa Darah pada Wanita Dewasa.
Journal of Nutrition College. 2018; 7: 114-22.
7. Hidayah M. Hubungan Perilaku Self-Management Dengan Kadar Gula Darah
Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja Puskesmas Pucang Sewu,
Surabaya. Amerta Nutrition. 2019; 3: 176-82.
8. Suryaningtyas NH, Salim M and Margarethy I. ANALISIS DATA SPASIAL
MALARIA DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2017. SPIRAKEL. 2019; 11: 63-71.
9. Anggun F. EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ULKUS
DIABETIKUM DI IRNA PENYAKIT DALAM RSUP DR. M. DJAMIL PADANG PADA BULAN
FEBRUARI-APRIL TAHUN 2018. Universitas Andalas, 2018.
10. Khotimah S. HUBUNGAN SENAM DIABETES DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN
DIABETES MELITUS TIPE 2 DI KELOMPOK PROLANIS UPTD PUSKESMAS TEMON I.
UNIVERSITAS ALMA ATA YOGYAKARTA, 2018.
11. Putri NHK and Isfandiari MA. Hubungan empat pilar pengendalian dm tipe 2
dengan rerata kadar gula darah. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2013; 1: 234-43.
12. Association AD. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes
care. 2009; 32: S62-S7.
13. Muflih FLA. EFEK TEH BINAHONG (ANREDERA CORDIFOLIA (TEN.) STENNIS)
TERHADAP PENURUNAN GULA DARAH. Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu.
2019, p. 445-50.
14. Nurtika N and Aisyah R. Uji Antidiabetik Daun Binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi
Aloksan. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017.
15. Makalalag IW and Wullur A. Uji ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia
Steen.) terhadap kadar gula darah pada tikus putih jantan galur Wistar (Rattus
norvegicus) yang diinduksi sukrosa. PHARMACON. 2013; 2.

77
16. Syamsul ES, Lestiani WA and Sukawati Y. Uji daya analgetik ekstrak etanolik
daun binahong [Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis] pada mencit putih (Mus musculus
L.) jantan. PROSIDING SEMINAR KIMIA. 2016.
17. Siskaningrum A. EFEKTIFITAS HIDROGEL BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis) TERHADAP LUAS LUKA PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA (Rattus Norvegicus)
GALUR WISTAR. Journal Keperawatan Stikes ICME Jombang. 2019; 17: 50-9.
18. Fatmala UT, Apriyanto DR and Nurbaiti N. Efektivitas Kombinasi Ekstrak Daun
Annona Muricata L. Dan Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis Terhadap Kadar Glukosa
Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar. Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan.
2018; 4.
19. Primsa E. Efek Hipoglikemik Influsia Simpliasia Daging Mahkota Dewa (Phaleria
macrocarpa Scheff Boerl) pada Tikus Jantan Putih. Skripsi, Fakultas Farmasi
Universitas Gajah Mada, Jogjakarta Gambar. 2002; 5.
20. Rotblatt M and Zimet I. Evidence-based herbal medicine. London: Haney &
Belfus. INC, 2002.
21. Sukandar EY, Qowiyyah A and Larasari L. Effect of methanol extract hearhleaf
madeiravine (Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis) leaves on blood sugar in diabetes
mellitus model mice. jurnal Medika Planta. 2013; 1.
22. Febria Syahfu Sari RA. Pengaruh Jus Lidah Buaya Terhadap Kadar Glukosa
Darah Puasa Dan 2 Jam PP (Post Prandial) Pada Penderita Diabetes Melitus. 1.
23. Armstrong R, Hall BJ, Doyle J and Waters E. ‘Scoping the scope’of a cochrane
review. Journal of public health. 2011; 33: 147-50.
24. Siswanto S. Systematic review sebagai metode penelitian untuk mensintesis
hasil-hasil penelitian (sebuah pengantar). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2010;
13: 21312.
25. Lewin S. Methods to synthesise qualitative evidence alongside a Cochrane
intervention review. London: London School of Hygiene and Tropical Medicine. 2008.
26. Kitchenham B. Procedures for performing systematic reviews. Keele, UK, Keele
University. 2004; 33: 1-26.
27. Francis C. Baldesari.(2006). Systematic Reviews of Qualitative Literature
Oxford: UK Cochrane Centre.
28. DeFronzo RA, Ferrannini E, Alberti KGMM, Zimmet P and Alberti G.
International Textbook of Diabetes Mellitus, 2 Volume Set. John Wiley & Sons, 2015.
29. Garber AJ, Abrahamson MJ, Barzilay JI, et al. Consensus statement by the
American Association of Clinical Endocrinologists and American College of
Endocrinology on the comprehensive type 2 diabetes management algorithm–2017
executive summary. Endocrine Practice. 2017; 23: 207-38 %@ 1934-2403.
30. Draznin B, Gilden J, Golden SH and Inzucchi SE. Pathways to quality inpatient
management of hyperglycemia and diabetes: a call to action. Diabetes Care. 2013; 36:
1807-14 %@ 0149-5992.
31. Broek I, Haris M, Hanken M, et al. Clinical Guidelines Diagnosis and Treatment
Manual. MSF, 2010.
32. Lestari WAA, Pk S and Lestari AAW. Resistensi Insulin: Definisi, Mekanisme
dan Pemeriksaan Laboratoriumnya. Buku Ilmiah Clinical Pathology Update on
SURAMADE. 2011; 1: 2011.1-2.
33. Vogt L and Roelofs JJ. Introduction to Pathogenetic Mechanisms of Diabetic
Nephropathy. Diabetic Nephropathy. Springer, 2019, p. 83-7.

78
34. Patra S, Nithya S, Srinithya B and Meenakshi SM. Review of medicinal plants
for anti-obesity activity. Translational Biomedicine. 2015; 6.
35. Fatimah RN. Diabetes Melitus Tipe 2. 2015; 4.
36. Jumari J, Waluyo A, Jumaiyah W and Natashia D. Pengaruh Akupresur
terhadap Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Persadia RS Islam
Jakarta Cempaka Putih. Journal of Telenursing (JOTING). 2019; 1: 38-50.
37. Masithoh RF, Ropi H and Kurniawan T. Pengaruh Terapi Akupresur Terhadap
Kadar Gula Darahpada Pasien Diabetes Melitus Tipe Iidi Poliklinik Penyakit Dalam RS
Tk II Dr. Soedjono Magelang. Journal of Holistic Nursing Science. 2016; 3: 26-37.
38. WULANDARI R, Ambarwati WN and Jadmiko AW. Perbedaan Kadar Gula Darah
Setelah Terapi Bekam Basah Dan Pijat Refleksi Pada Penderita Diabetes Mellitus Di
Karangmalang Sragen. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015.
39. Rizki A and Endang M. Pengaruh Bekam Basah Terhadap Kadar Gula Darah
Puasa Pada Pasien Diabetes Melitus Di Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro.
2013; 2.
40. Andari R and Mahati E. Pengaruh Bekam Basah terhadap Kadar Gula Darah
Puasa pada Pasien Diabetes Melitus Di Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro.
2014; 2: 137976.
41. Astuti SM, Sakinah MAM, Andayani RBM and Risch A. Determination of
saponin compound from Anredera cordifolia (Ten) Steenis plant (binahong) to
potential treatment for several diseases. Journal of agricultural science. 2011; 3: 224
%@ 1916-9752.
42. Hasbullah UHAa. Kandungan Senyawa Saponin pada Daun, Batang dan Umbi
Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis). PLANTA TROPIKA: Jurnal
Agrosains (Journal of Agro Science). 2016; 4: 20-4 %@ 2528-7079.
43. Astuti SM, Sakinah AMM and Risch A. THE TRITERPENOID SAPONIN FROM
BINAHONG [Anredera cordifolia (Ten) Steenis] TO POTENTIAL USING AS ANTIDIABETIC
ACTIVITY IN ANIMAL LABORATORY. 2012, p. 331.
44. Kurniawan B and Aryana WF. Binahong (Cassia Alata L) As Inhibitor Of
Escherichiacoli Growth. Jurnal Majority. 2015; 4.
45. Pinel J and Pinel J. Essential drugs: Practical guidelines. Medecins Sans
Frontieres, 2006.
46. Greenblatt DJ, Von Moltke LL, Harmatz JS and Shader RI. Pharmacokinetics,
pharmacodynamics, and drug disposition. Neuropsychopharmacology: the fifth
generation of progress Baltimore (MD): Lippincott, Williams and Wilkins. 2002: 507-24.
47. Elevera Juwita S, Novie E Mauliku, Diyan K Nugrahaeni. Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Di
Prolanis Puskesmas Kecamatan Cimahi Tengah. 2020; 9: 87-93.
48. Abil Rudi dHNK. Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah Puasa
Pada Pengguna Layanan Laboratorium. 2017; 3.
49. Nur Ramdhan NM. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Berdasarkan Kadar HbA1C Di Puskesmas Jayabaru Kota Banda Aceh. 2015; 2.
50. Achmadi SS, Sulistiyani BI and Kayun SP. Uji In Vivo Tanaman Akar Kuning.
Arcangelisia flava. 2005: 1-7.
51. Deshpande S, Kewatkar S and Paithankar V. Antimicrobial activity of Saponins
rich fraction of Cassia auriculata Linn against various microbial strains. International
Current Pharmaceutical Journal. 2013; 2: 85-7.

79
52. Indri Wirasuasty Makalalag AW, dan Weny wiyono Uji Ekstrak Daun Binahong
( Anredera cordifolia Steen.) Terhadap kadar Gula Darah Pada Tikus Putih Jantan Galur
Wistar ( Rattus norvegicus) yang Diinduksi Sukrosa Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT
2013; Vol. 2 No. 01.
53. Miladiyah I and Prabowo BR. Ethanolic extract of Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis leaves improved wound healing in guinea pigs. Universa Medicina. 2015; 31: 4-
11 %@ 2407-230.
54. Putra IWA and Berawi K. Empat Pilar Penatalaksanaan Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2. Jurnal Majority. 2015; 4: 8-12.

80

Anda mungkin juga menyukai