NIM : 1820209014 Kelas : Fisika Genap 2018 MK : Islam dan Peradaban Melayu
Sejarah Perkembangan dan Dinamika Islam di Thailand ( Pattani) dan Malaysia
A. Perkembangan dan Dinamika Islam di Thailand (Pattani)
Menurut Sanurdi (2018), sejarah Islam di Thailand tidak terlepas dari perjalanan sejarah negara Thailand itu sendiri. Thailand dahulu dikenal dengan nama “Siam”, kemudian berganti menjadi “Thai”. Asal mula penamaan Thailand, dikaitkan dengan dengan sebuah kerajaan yang berumur pendek, yakni Sukhothai yang didirikan pada tahun 1238. Kata akhir dari kerajaan tersebut, yakni “Thai” yang berarti “bebas”, kemudian menjadi “Thailand” pada 1939. Sejak berdirinya sampai sekarang, negara ini berbentuk kerajaan. Kepala negaranya adalah Perdana Menteri yang dilantik oleh sang raja. Dalam sejarah diketahui bahwa Ayutthaya sebagai raja Sukhothai pada abad XIII sangat mementingkan perdagangan. Jalur perdagangan ini yang menjadi faktor-faktor dominan mendekatkan Islam kepada Ayutthaya. Saudagar-saudagar muslim yang dekat dengan raja memiliki pengaruh di Istana, bahkan sebagian di antara mereka ada yang menjadi menteri. Berdasarkan pada data sejarah ini, maka dapat dipastikan bahwa Islam mulai masuk di Thailand sejak abad ke-13 melalui jalur perdagangan. Dapat dipahami bahwa sejak datangnya Islam di Thailand, umat muslim tidak hanya berperan sebagai pengontrol jalur perdagangan yang melintasi semenanjung, namun juga mereka mampu memainkan peran siginifikan dalam bidang administratif di seluruh kerajaan Sukhotai. Tentu saja, dengan peran seperti ini mereka juga gunakan sebagai wahana dalam pengembangan dakwah Islam. Itulah sebabnya, sehingga pada masa-masa berikutnya umat Islam mampu menguasai Thailand bagian selatan. Salah satu wilayah bagian selatan Thailand yang dikuasai oleh Islam, adalah Provinsi Pattani. Bahkan, dalam sejarah dikatakan bahwa Pattani merupakan salah satu kerajaan Melayu Islam yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Siam Sukhotai dan Ayutthaya sampai pada tahun 1767. Pada masa-masa selanjutnya, Melayu Pattani di Thailand selatan mengalami kerapuhan yang ditandai dengan hilangnya peran elit tradisional, yakni bahasa Melayu yang menjadi perekat identitas mereka dan media dalam sistem pengajaran dihapuskan, dan akhirnya pada tahun 1909 Raja Siam mencaplok Pattani. Akhirnya, komunitas muslim ketika itu yang berjumlah dua juta jiwa mengalami dilema yang kompleks. Diperburuk lagi oleh keadaan muslim yang terpusat di provinsi bagian selatan yang menginginkan kemerdekaan dan keikutsertan mereka dalam bernegara tidak mendapat tempat (Sanurdi, 2018). Provinsi Pattani di bagian selatan Thailand yang disebutkan di atas, dihuni oleh mayoritas muslim yang jumlahnya mencapai angka 80%. Sebagian kecilnya lagi, muslim bermukim Thailand Tengah dan Utara. Muslim yang bermukim di Thailand Selatan, disebut muslim Melayu, sedangkan yang bermukim di Thailand Tengah dan Utara disebut muslim Thai. Populasi muslim Thai jauh lebih majemuk daripada penduduk muslim Melayu di Thailand. Muslim Thai mencakup keturunan muslim Iran, Champa, Indonesia, India, Pakistan, China, dan Melayu yang bermukim di daerah- daerah yang didominasi oleh pemeluk Budha Thai di Thailand Tengah dan Utara. Meskipun mereka sadar akan warisan etnis mereka yang berbeda dan mempertahankan tradisi keagamaan mereka sendiri, mayoritas besar dari muslim ini berbicara dalam bahasa Thai dan telah berasimilasi dengan masyarakat Thai kebanyakan (Sanurdi, 2018). Menurut Kusuma (2016), dalam kaitannya dengan masyarakat Muslim Thailand, pemerintah Thailand menerapkan kebijakan asimilasi budaya yang sangat mengekang kebebasan hidup masyarakat Muslim Thailand. Kebijakan tersebut secara garis besar berisi tentang keputusan Pemerintah Thailand menjadikan Thai Budha sebagai identitas dan kebudayaan tunggal negara. Akibat diimplementasikannya kebijakan tersebut, masyarakat Melayu Muslim di Thailand berada pada kondisi yang tertekan. Kebijakan tersebut mengakibatkan culture shock karena masyarakat Muslim di Thailand harus merubah cara hidup mereka secara drastis dan berlawanan dengan cara hidup mereka sebelumnya. Terlebih penerapan kebijakan tersebut juga disertai dengan paksaan dan ancaman dari pemerintah. Kondisi sosial tersebut tentunya mengakibatkan dampak psikologis yang berat dan berkepanjangan terhadap masyarakat Muslim di Thailand. Muslim di Thailand pada dasarnya dibedakan menjadi dua kelompok yaitu golongan yang terasimilasi (assimilated group) dan golongan yang tidak terasimilasi (unassimilated group). Kebijakan asimilasi budaya di Kerajaan Thailand mulai berlaku pada masa pemerintahan Jenderal Phibul Songkhram. Pada masa pemerintahan Jenderal Phibul Songkhram (1938-1944 dan 1947- 1957), kebijakan nasionalisasi budaya Thailand menjadi kebijakan primer negara. Dimulai dari upaya untuk mengasimilasikan bahasa dan budaya Thailand di seluruh penjuru Thailand, termasuk di wilayah selatan yang kemudian menciptakan resistensi dari masyarakat Melayu Muslim yang berbahasa Melayu. Di tahun 1940 diterapkan aturan tertentu tentang cara berpakaian dengan pakaian gaya barat dan kewajiban mengadopsi nama Thai jika seorang Melayu Muslim hendak memasuki sekolah negeri atau ketika hendak melamar pekerjaan pada instansi pemerintah. Akibatnya banyak Melayu Muslim yang gagal masuk sekolah negeri untuk mengakses pendidikan. Di dalam sekolah pun masyarakat Melayu Muslim dilarang menggunakan bahasa Melayu dalam percakapan sehari-hari. Kebijakan Phibul Songkhram tersebut didukung oleh sistem politik di Thailand yang absolut dan tak tersentuh. Sistem tersebut dalam pemerintahan Thailand disebut dengan “politik birokrasi” dimana pemerintah mengontrol kehidupan melayu Muslim secara ketat. Kebijakan tersebut pada dasarnya adalah untuk menghilangkan identitas Muslim Thailand khususnya mencegah perlawanan di wilayah selatan (Kusuma, 2016). Selain Phibul Songkhram, pemimpin Thailand lainnya yang juga sangat diskriminastif terhadap Muslim adalah Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Thaksin Shinawatra mengeluarkan sebuah kebijakan represif terhadap muslim di Thailand selatan. Dalam upaya penyelesaian konflik di selatan, Raja Thailand sebenarnya memerintahkan kepada para birokrat negara untuk menempuh jalur pendekataan kesejahteraan. Tapi Thaksin Shinawatra justru memberlakukan darurat militer yang diterapkannya sejak 5 January 2004. Menurut Kusuma (2016), apa yang terjadi terhadap Melayu Muslim di Thailand dapat dikatakan sebagai kekerasan kultural. Kekerasan kultural yang dimaksud adalah aspek budaya, ranah simbolik eksistensi kita ditunjukkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan yang bersifat empirik dan ilmu pengetahuan yang bersifat formal yang dapat digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung atau struktural. Sampai saat ini minoritas Melayu Muslim di Thailand masih jauh dari kelapangan dalam menjalani hidup. Karena mereka tetap menjadi minoritas yang terus mendapatkan tekanan dan diskriminasi yang tiada henti. Di sini masyarakat Melayu Muslim terus menerima tekanan untuk mengganti identitas mereka secara paksa. Namun masyarakat Melayu Muslim melakukan perlawanan yang kemudian memicu konflik berkepanjangan. Muslim Thailand merasa bahwa harga diri kelompoknya diinjak-injak oleh kesewenang-wenangan pemerintah Thailand. Lebih buruk lagi, kebijakan asimilasi budaya juga membuat orang Thai kerap menaruh perasaan curiga terhadap Melayu Muslim (Kusuma, 2016). B. Perkembangan dan Dinamika Islam di Malaysia Menurut Rohman (2020), Malaysia adalah suatu negara yang secara geografis masuk dalam wilayah Asia Tenggara, seperti halnya Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam, Burma, Republik Filipina, Kerajaan Muangthai, Kampuchea, dan Republik Singapura. Penduduknya terdiri dari berbagai ras atau etnis, yakni Aborigin, Melayu, China, Arab, India dan etnis lainnya yang bersal dari Indonesia (Jawa) maupun Eropa. Sebagai negara yang didominasi ras Melayu, Malaysia memiliki berbagai ragam agama yang dipeluk warganya. Islam, Kristen, Hindu, Budha adalah di antara agama yang menjadi keyakinan mereka. Sebagai negara tetangga Indonesia, Malaysia dalam meraih kemerdekaannya tidak seperti Indonesia yang berjuang melawan penjajah dengan mengorbankan harta dan nyawa. Malaysia berjuang melalui cara diplomatik dengan memohon kepada penjajah untuk mendapatkan kemerdekaan. Akhirnya setelah Indonesia merdeka selama 12 tahun, Malaysia baru mendapatkan kemerdekannya yakni pada tanggal 31 Agustus 1957. Seperti halnya Islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang Arab pada tahun 674 Masehi, ketika mereka mendarat di pantai Sumatera. Pada awal abad permulaan Islam, agama ini belum menjamah ke wilayah Malaysia. Kemudian pada abad ke 12 Islam baru masuk ke wilayah Malaysia melalui para pedagang Muslim yang berasal dari India. Hal ini diketahui ketika sultan Madzafar Syah I pada abad tersebut menganut agama Islam melalui seorang pedagang dari India (Rohman, 2020). Terkait dengan perkembangan Islam di Malaysia Richard Winstead (Osman 1989), menyatakan bahwa peralihan ke agama Islam dipermudah adanya fakta bahwa para mubaligh yang datang dari India dahulu mampu menyatukan ajaran Islam dengan kepercayaan kepercayaan yang ada. Hal ini sebagaimana terjadi dalam perkembangan Islam di tanah Jawi, yang melibatkan para wali. Oleh karena itu menurut (Miller 2004) dalam jurnal An Nakhlah bahwa pembawa Islam ke wilayah Malaysia adalah para saudagar Muslim India, penganut ajaran Islam Sunni yang sangat dipengaruhi oleh mistisisme Sufi. Selanjutnya, perpaduan antara praktik Sunni dan Sufi dikombinasikan dengan kepercayaan dan kebiasaan tradisional Melayu - seperti animisme - yang memungkinkan evolusi bentuk unik Islam masih dipraktekkan di Malaysia saat ini (Rohman, 2020). Menurut Rohman (2020), berdasarkan beberapa imperium kuat pada abad ke- 7 dan arus transportasi laut pada selat Malaka telah menjadi wilayah kosmopolitan para pedagang, sertakeberadaan nilai-nilai keagamaanIslam yang diaplikasikan masyarakat Malaysia sedemikian mentradisi, maka hal ini memperkuat bahwa Islam datang ke wilayah Malaysia adalah pada abad ke 7 Masehi. Ketika Malaysia berada di penghujung lahirnya kemerdekaan, maka beberapa persiapan mendasar dilakukan, seperti membuat undang undang dasar Malaysia. Pada awalnya, rancangan Konstitusi Malaysia tidak menyebutkan agama resmi. Langkah ini didukung oleh penguasa sembilan negara Melayu, yang merasa cukup bahwa Islam adalah agama resmi masing-masing negara bagian. Namun, Hakim Abdul Hamid dari Komisi Reid yang merancang konstitusi mengeluarkan argumen yang kuat untuk menjadikan Islam sebagai agama resmi, dan sebagai hasilnya, konstitusi terakhir menyebutkan Islam sebagai agama resmi Malaysia. Semua etnis Melayu beragama Islam, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 160 Konstitusi Malaysia (Rohman, 2020). Menurut Rohman (2020), kehidupan agama di Malaysia menjadi pemandangan umum yang dapat dilihat dan dirasakan. Masjid maupun surau adalah pemandangan biasa di seluruh negeri dan adzan dari menara terdengar lima kali dalam sehari. Badan pemerintah dan lembaga perbankan ditutup selama dua jam setiap hari Jumat sehingga pekerja Muslim dapat melakukan sholat Jum'at di masjid. Pada beberapa negara bagian seperti Kelantan, Terengganu, Kedah dan Johor, akhir pekan jatuh pada hari Jumat dan Sabtu, bukan hari Sabtu dan Ahad. Bahkan telah diundangkan ke beberapa negara bagian, terutama Kelantan dan Terengganu, agar semua kegiatan bisnis tutup selama 2 jam pada hari Jumat untuk memberi kesempatan kaum Muslimin melakukan ibadah sholat Jum’at. Kuatnya nuansa dan etos Islam di Malaysia dapat dilihat terutama sejak kebangkitan Islam pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya di tahun 1980- an. Menurut Rohman (2020), perkembangan Islam yang tiada henti dalam perjalanan Islam di wilayah Malaysia, terutama dalam pergerakan politik maupun budaya kiranya tidak terlepas dari perjuangan para ulama, baik melalui lembaga edukatif maupun lembaga politik. Kiprah mereka untuk mendakwahkan Islam terus diperjuangkannya. Dalam perkembangan agama Islam, Malaysia memiliki nuansa yang lebih baik, terutama dalam sisi formal legal, dibandingkan dengan negara-negara di sekitarnya. Sebab dalam Konstitusi Malaysia, Islam telah dijadikan agama resmi bagi negaranya. Padahal komunitas Muslim diperkirakan hanya menempati 60 %, dibandingkan dengan Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, hingga mencapai 87 % lebih. Hal ini kiranya lebih disebabkan bahwa bangunan landasan negara, Malaysia memiliki dasar yang kuat dalam mengimplementasikan ajaran Islam ke depan, sehingga grafik perkembangan Islam semakin meninggi (Rohman, 2020).
Sumber:
Kusuma, Bayu Mitra Adhyatama. 2016. MASYARAKAT MUSLIM THAILAND
DAN DAMPAK PSIKOLOGIS KEBIJAKAN ASIMILASI BUDAYA. Jurnal Hisbah. vol 13, no 1.
Rohman, Abdul. 2020. Perkembangan Islam dan Gerakan Politiknya di Malaysia.
Jurnal Politik Walisongo. vol 2, no 1.
Sanurdi. 2018. Islam di Thailand. Jurnal Studi Islam. vol.10, no.2