Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

PERSALINAN PRETERM

Pembimbing:

Kolonel Kesehatan dr. Alex Chandra, Sp.OG

Disusun oleh :

Wahyu Hidayat 112019206

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA

PERIODE PERIODE : 23 NOVEMBER 2020 – 30 JANUARI 2021


BAB I

PENDAHULUAN

Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan pada usia kehamilan kurang


dari 37 minggu setelah dianggap viable. Insidens persalinan preterm berbeda-beda antar
negara. Di Amerika Serikat, insiden meningkat dari 9,5% pada tahun 1981 menjadi12,7%
pada tahun 2005. Sementara itu, di Eropa dan negara berkembang, insiden beriksar 5-9%.
Angka persalinan preterm di Indonesia mencapai 15,5% pada tahun 2010. Di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo sebagai pusat rujukan tersier insiden persalinan preterm sebesar 38,5%
pada tahun 2013.1

Persalinan preterm berkontribusi langsung terhadap risiko morbiditas dan


mortalitas maternal, janin, dan neonatus. Pada neonatus, defisit neurokognitif, disfungsi
paru, dan gangguan penglihatan menjadi efek dari persalinan preterm. Sementara itu,
kematian janin intrauterin, pertumbuhan janin terhambat, sepsis awitan dini, perdarahan
intraventrikel, serebral palsi, anemia, konstipasi, dan sindrom twin-twin transfusion
berkaitan erat dengan kejadian persalinan preterm.1

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi

Secara umum, persalinan preterm dibagi menjadi 4, yaitu:2

 Sangat-sangat preterm: usia kehamilan kurang dari 28 minggu (5%)


 Sangat preterm: usia kehamilan antara 28-31 minggu (15%)
 Preterm sedang: usia kehamilan 32-33 minggu (20%)
 Mendekati aterm: usia kehamilan 34-36 minggu (60-70%)

Prekursor obstetri yang menyebabkan persalinan preterm dapat dibagi menjadi


persalinan akibat indikasi maternal atau janin (30-35%), persalinan preterm spontan
dengan membran utuh (40-45%), dan ketuban pecah dini (KPD) preterm (25-30%).2

2.2 Penyebab Pelahiran Kurang Bulan

Ada empat penyebab utama untuk kelahiran kurang bulan di Amerika Serikat:2

1. Pelahiran atas indikasi ibu atau janin sehingga persalinan diinduksi atau bayi
dilahirkan dengan pelahiran caesar prapersalinan.
2. Persalinan kurang bulan spontan takterjelaskan dengan selaput ketuban utuh.
3. Ketuban pecah dini preterm (PPROM) idiopatik.
4. Kelahiran kembar dan multijanin yang lebih banyak.

Pada kelahiran kurang bulan, 30% sampai 35% terindikasi, sebanyak 40% hingga
45% dikarenakan persalinan kurang bulan spontan, dan 30% sampai 35% mengikuti
ketuban pecah dini (Goldenberg dkk., 2008b). Memang, peningkatan angka kelahiran
kurang bulan tunggal di Amerika Serikat disebabkan oleh peningkatan angka kelahiran
kurang bulan terindikasi (Ananth dkk., 2005).2

Penyebab kelahiran kurang bulan ada banyak; faktor-faktor tersebut sering


berinteraksi, mendahului, dan berkontribusi. Kompleksitas ini sangat membingungkan
upaya pencegahan dan pengelolaan komplikasi ini. Hal ini terutama berlaku pada ketuban

3
pecah dini dan persalinan kurang bulan spontan, yang bersama-sama menyebabkan 70%
sampai 80% kelahiran kurang bulan. Terakhir, menurut data dari Martin dkk., (2006), kira-
kira satu dari enam kelahiran kurang bulan di Amerika Serikat merupakan kehamilan
kembar atau kehamilan multijanin yang lebih banyak. Misalnya, pada tahun 2004, terdapat
508.356 kelahiran kurang bulan, dan 86.116 atau 17% diantaranya merupakan kehamilan
multijanin. Sebagian besar kehamilan tersebut dicapai dengan penggunaan obat-obatan
penginduksi ovulasi dan bantuan teknologi reproduksi.2

2.2.1 Ketuban Pecah Dini Preterm

Didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum persalinan dan sebelum 37


minggu; ketuban pecah dini premature dapat disebabkan oleh beragam mekanisme
patologis, termasuk infeksi intraamnion. Faktor lain yang terlibat termasuk status sosial
ekonomi rendah, indeks massa tubuh rendah (kurang dari 19,8), kekurangan gizi, dan
merokok. Perempuan dengan riwayat ketuban pecah dini sebelumnya memiliki risiko yang
lebih tinggi terjadinya rekurensi pada kehamilan berikutnya (Bloom dkk., 2001). Namun,
kebanyakan kasus pecah ketuban preterm terjadi tanpa faktor risiko.2

2.2.2 Persalinan Kurang Bulan Spontan

Goldenberg dkk., (2008b) mengulas patogenesis persalinan kurang bulan dan


mengaitkannya dengan: (1) withdrawal progesteron, (2) inisiasi oksitosin, dan (3) aktivasi
desidua. Penyimpangan dari pertumbuhan janin normal juga telah ditemukan pada
persalinan kurang bulan spontan dan menunjukkan adanya keterlibatan janin (Morken
dkk., 2006).2

Teori withdrawal progesteron berasal dari penelitian pada domba. Semakin


mendekati proses kelahiran, sumbu adrenal janin menjadi lebih sensitif terhadap hormon
adrenokortikotropik sehingga meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol janin merangsang
aktivitas 17-ɑ-hidroksilase plasenta sehingga mengurangi sekresi progesteron
meningkatkan produksi estrogen. Pembalikan rasio estrogen/progesteron menyebabkan
peningkatan pembentukan prostaglandin, memicu rangkaian yang berujung pada
persalinan. Pada manusia, konsentrasi progesteron serum tidak menurun menjelang
persalinan. Meskipun demikian, karena antagonis progesteron, seperti RU486, memicu

4
persalinan kurang bulan dan agen-agen progestasional mencegah persalinan kurang bulan,
penurunan konsentrasi progesteron lokal mungkin berperan.2

Sebuah jalur penting yang menyebabkan inisiasi persalinan melibatkan aktivasi


inflamasi desidua. Pada kehamilan aterm, aktivasi tersebut tampaknya dimediasi
setidaknya sebagian oleh sistem parakrin desidua janin dan mungkin melalui penurunan
konsentrasi progesteron lokal. Namun, pada banyak kasus persalinan kurang bulan dini,
aktivasi desidua tampaknya muncul pada kasus perdarahan intrauteri atau infeksi intrauteri
yang samar.2

2.3 Faktor Pendahulu dan Penyokong

2.3.1 Abortus yang Mengancam

Perdarahan vagina pada awal kehamilan menyebabkan peningkatan dampak buruk


dikemudian hari. Weiss dkk., (2004) melaporkan dampak perdarahan vagina saat usia
kehamilan 6 sampai 13 minggu pada hampir 14.000 perempuan. Baik perdarahan ringan
dan berat dihubungkan dengan persalinan kurang bulan, solusio plasenta, dan keguguran
sebelum 24 minggu pada kehamilan berikutnya.2

2.3.2 Faktor Gaya Hidup

Merokok, pertambahan berat badan ibu yang tidak adekuat, dan penggunaan
narkoba berperan penting pada insiden dan hasil akhir pelahiran neonatus berberat badan
lahir rendah. Selain itu, Ehrenberg dkk., (2009) menemukan bahwa perempuan gemuk
yang berisiko untuk kelahiran kurang bulan memiliki angka kejadian pelahiran kurang
bulan sebelum usia kehamilan 35 minggu yang lebih rendah, dibandingkan perempuan
berisiko dengan berat badan normal. Beberapa efek ini tidak diragukan lagi karena
penghambatan pertumbuhan janin, namun Hickey dkk., (1995) mengaitkan kenaikan berat
badan prenatal secara khusus dengan kelahiran kurang bulan. Faktor maternal lainnya yang
terlibat meliputi usia ibu terlalu muda atau terlalu tua, kemiskinan, bertubuh pendek,
kekurangan vitamin C, dan faktor pekerjaan, seperti bejalan atau berdiri lama, kondisi
kerja yang berat, dan jam kerja mingguan terlalu panjang (Casanueva, 2005; Gielchinsky,
2002; Kramer, 1995; Lukas, 1995; Meis, 1995; Satin dkk., 1994).2

5
Faktor psikologis seperti depresi, cemas, dan stress kronik telah dilaporkan terkait
dengan kelahiran kurang bulan (Cooper, 1996; Li, 2008; Littleton, 2007; Mercer, 2002;
dkk.) Neggers dkk., (2004) menemukan hubungan yang signifikan antara berat badan lahir
rendah dengan kelahiran kurang bulan pada wanita yang cedera akibat kekerasan fisik.2

2.3.3 Kesenjangan Ras dan Etnik

Di Amerika Serikat dan Inggris, wanita yang masuk golongan berkulit hitam,
Afrika-Amerika dan Afro-Karibia, secara konsisten dilaporkan berisiko tinggi untuk
kelahiran kurang bulan (Goldenberg dkk., 2008b). Asosiasi lainnya termasuk status sosial
ekonomi dan status pendidikan yang rendah. Lu dan Chen (2004) menggunakan survei
kooperatif pemerintah pusat dan negara bagian, Sistem Pemantauan Penilaian Risiko
Kehamilan (Pregnancy Risk Assessment Monitoring System/PRAMS), untuk mempelajari
peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres dalam populasi minoritas wanita hamil dan
menemukan hal ini tidak berhubungan dengan kelahiran kurang bulan. Kistka dkk., (2007)
menggunakan data negara bagian Missouri untuk menganalisis kesenjangan ras yang tidak
tergantung dengan faktor risiko medis dan sosial ekonomi; menemukan bahwa wanita kulit
hitam memiliki peningkatan risiko kelahiran kurang bulan berulang. Para penulis
menyiratkan bukti adanya peningkatan risiko intrinsik kelahiran kurang bulan pada
populasi ini.2

2.3.4 Bekerja Selama Kehamilan

Penelitian mengenai bekerja dan aktivitas fisik yang berhubungan dengan kelahiran
kurang bulan telah membuahkan hasil yang bertentangan (Goldenberg dkk., 2008b).
Namun, terdapat beberapa bukti bahwa jam kerja yang panjang dan kerja fisik yang berat
mengkin berhubungan dengan peningkatan risiko kelahiran kurang bulan.2

2.3.5 Faktor Genetik

Kelahiran kurang bulan yang bersifat rekuren, berhubungan dengan keluarga dan
ras telah menimbulkan pendapat bahwa genetika mungkin memainkan peran penyebab
(Anum, 2009; Lie 2006; Ward, 2005, dkk.) Semakin banyak literature mengenai varian

6
genetik yang menopang konsep ini (Gibson, 2007; Hampton, 2006; Li, 2004; Macones,
2004; dkk.) Beberapa studi tersebut juga melibatkan gen imunoregulator yang
memperparah korioamnionitis dalam kasus kelahiran kurang bulan akibat infeksi. (Varner
dan Esplin, 2005).2

2.3.6 Penyakit Periodontal

Peradangan gusi merupakan peradangan kronik anaerob yang memengaruhi


sebanyak 50% wanita hamil di Amerika Serikat (Geopfert dkk., 2004). Vergnes dan Sixou
(2007) melakukan meta-analisis terhadap 17 penelitian dan menyimpulkan bahwa penyakit
periodontal secara bermakna berkaitan dengan kelahiran kurang bulan (odds ratio 2,83; CI
1,95-4,10). Dalam tajuk rencana yang menyertainya, Stamilio dkk., (2007) menyimpulkan
bahwa data yang digunakan tidak cukup kuat untuk merekomendasikan penapisan dan
terapi pada wanita hamil.2

Untuk mempelajari hubungannya dengan periodontal secara lebih baik,


Michalowicz dkk., (2006) mengacak 813 wanita hamil dengan usia kehamilan antara 13
dan 17 minggu yang berpenyakit periodontal untuk menjalani perawatan selama kehamilan
atau setelah melahirkan. Mereka menemukan bahwa perawatan selama kehamilan
meningkatkan penyembuhan penyakit periodontal dan bahwa hal tersebut aman, tapi tidak
secara signifikan mengubah angka kelahiran kurang bulan.2

2.3.7 Interval Antara Kehamilan dan Kelahiran Kurang Bulan

Rentang waktu yang pendek antara kehamilan satu dengan lainnya telah diketahui
selama beberapa waktu berkaitan dengan hasil perinatal yang buruk. Dalam meta-analisis
baru-baru ini, Conde-Agudelo dkk., (2006) melaporkan bahwa rentang waktu yang lebih
pendek dari 18 bulan dan lebih panjang dari 59 bulan dikaitkan dengan peningkatan risiko
kelahiran kurang bulan dan bayi kecil masa kehamilan.2

2.3.8 Riwayat Kelahiran Kurang Bulan

Faktor risiko utama persalinan kurang bulan adalah riwayat kelahiran kurang bulan
(Spong, 2007). Kejadian kelahiran kurang bulan berulang pada hampir 16.000 wanita yang

7
melahirkan di Rumah Sakit Parkland (Bloom dkk., 2001). Risiko kelahiran kurang bulan
berulang, untuk wanita yang pelahiran pertamanya kurang bulan, meningkat tiga kali lipat
dibandingkan dengan wanita yang bayi pertamanya lahir aterm. Lebih dari sepertiga
wanita yang dua kelahiran sebelumnya kurang bulan kemudian melahirkan bayi ketiga
yang kurang bulan juga. Sebagian besar (70%) kelahiran berulang pada penelitian ini
terjadi dalam kurun waktu 2 minggu dibandingkan usia kehamilan persalinan kurang bulan
sebelumnya. Pentingnya lagi, penyebab pelahiran kurang bulan sebelumnya juga
berulang.2

Meskipun wanita dengan kelahiran kurang bulan sebelumnya jelas berisiko untuk
rekurensi, mereka hanya merupakan 10% dari total kelahiran kurang bulan pada penelitian
ini. Dengan kata lain, 90% kelahiran kurang bulan di Parkland Hospital tidak dapat
diprediksi berdasarkan riwayat kelahiran kurang bulan. Berdasarkan sertifikat kelahiran
Amerika Serikat baru, yang telah diperbaharui pada tahun 2003, diperkirakan bahwa
sekitar 2,5% wanita yang melahirkan pada tahun 2004 memiliki riwayat kelahiran kurang
bulan sebelumnya (Martin dan Menacker, 2007). Riwayat senggama selama awal
kehamilan, yang dilaporkan sendiri oleh partisipan, tidak berhubungan dengan peningkatan
risiko kelahiran kurang bulan berulang (Yost dkk., 2006).2

2.3.9 Infeksi

Goldenberg dkk., (2008b) telah meninjau peran infeksi pada kelahiran kurang
bulan. Telah dihipotesiskan bahwa infeksi intrauteri memicu persalinan kurang bulan
akibat aktivasi sistem imun bawaan. Dalam hipotesis ini, mikroorganisme menyebabkan
pelepasan sitokin inflamasi, seperti interleukin dan TNF, yang kemudian merangsang
produksi prostaglandin dan/atau matrix degrading enzyme. Prostaglandin merangsang
kontraksi Rahim sedangkan degradasi matriks ekstraseluler pada membran janin
menyebabkan ketuban pecah dini kurang bulan. Diperkirakan 25% sampai 40% kelahiran
kurang bulan diakibatkan infeksi intrauteri. Kemungkinan rute infeksi intrauteri
diperlihatkan pada Gambar 1.2

8
Gambar 1. Kemungkinan rute infeksi intrauteri.2

Dua mikroorganisme, Ureaplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis, telah


muncul sebagai patogen perinatal penting. Goldenberg dkk., (2008a) melaporkan bahwa
23% neonatus yang lahir antara 23 dan 32 minggu memiliki biakan darah umbilikus yang
positif untuk mikoplasma genital ini. Hasil serupa juga dilaporkan sebelumnya oleh
kelompok riset bagian penelitian perinatologi pada National Institute of Child Health and
Human Development (NICHD). Pada sebuah penelitian, cairan amnion diaspirasi dengan
amniosintesis dari 219 wanita korea dengan pecah ketuban dini sebelum 25 minggu. Hasil
biakan yang positif, terutama untuk U. urealyticum, ditemukan sebanyak 23% (Shim dkk.,
2004). Demikian pula, Gomez dkk., (2005) melakukan amniosintesis pada 401 wanita
Chili dan menemukan invasi mikroba pada 7% wanita (organisme yang paling umum
adalah U. urealyticum). Serviks yang pendek, yang diukur menggunakan sonografi,
dikaitkan dengan invasi mikroba, yang menunjukkan inveksi ascending dari traktus
genitalia bagian bawah.2

Terdapat beberapa penelitian yang menggunakan terapi antimikroba untuk


mencegah persalinan kurang bulan akibat invasi mikroba. Berdasarkan data diatas, strategi

9
ini secara khusus menargetkan spesies mikoplasma. Morency dan Bujold (2007)
melakukan meta-analisis terhadap 61 artikel dan menyatakan bahwa antimikroba yang
diberikan pada trimester kedua dapat mencegah kelahiran kurang bulan berikutnya.
Andrew dkk., (2006) melaporkan hasil uji coba interkonsepsional tersamar ganda dari
Universitas Alabama di Birmingham. Terapi azitromisin ditambah metronidazol diberikan
setiap 4 bulan pada 241 wanita tidak hamil yang kehamilan terakhirnya berakhir dengan
pelahiran spontan sebelum 34 minggu. Sekitar 80% wanita yang hamil kembali telah
menerima obat-obat tersebut dalam kurun waktu 6 bulan terhitung dari konsepsi mereka
selanjutnya. Terapi antimikroba interkonsepsional tersebut tidak mengurangi angka
kelahiran kurang bulan berulang. Tita dkk., kerja (2007) melakukan analisis subgroup dari
data yang sama dan menyimpulkan bahwa penggunaan antimikroba seperti itu mungkin
berbahaya. Dalam studi lain, Goldenberg dkk., (2006) merekrut 2.661 wanita secara acak
di empat lokasi Afrika untuk diterapidengan plasebo atau eritromisin ditambah
metronidazol ketika usia kehamilan antara 20 dan 24 minggu, diikuti dengan ampisilin
ditambah metronidazol selama persalinan. Regimen antimikroba ini tidak mengurangi
tingkat kelahiran kurang bulan ataupun korioamnionitis histologis.2

2.3.10 Vaginosis Bakterialis

Pada kondisi ini, flora vagina yang normal, dominan Lactobacillus yang
memproduksi hydrogen peroksida, digantikan dengan kuman anaerob, meliputi Gardenela
vaginalis, Mobiluncus species, dan Mycoplasma hominis (Hillier dkk., 1995; Nugent dkk.,
1991). Dengan pewarnaan Gram, konsentrasi relatif dari karakteristik morfotipe bakteri
penyebab vaginosis bakterialis ditentukan dan dinilai sebagai skor Nugent.2

Vaginosis bakterialis telah dikaitkan dengan abortus spontan, persalinan kurang


bulan, ketuban pecah dini, kurang bulan korioamnionitis, dan infeksi cairan amnion
(Hilier, 1995; Kukri, 1992; Leitich, 2003a, b, dkk.) Faktor-faktor lingkungan tampaknya
penting dalam perkembangan vaginosis bakterialis. Pajanan terhadap stress kronik,
perbedaan etnis, bilas vagina yang sering, semuanya telah dikaitkan dengan peningkatan
kondisi vaginosis bakterialis (Culhane dkk., 2002; Ness dkk., 2002). Sebuah interaksi gen
lingkungan telah diidentifikasi oleh Macones dkk., (2004). Wanita dengan vaginosis
bakterialis dan genotip TNF-ɑ yang rentan mengalami peningkatan insiden kelahiran
kurang bulan sebesar sembilan kali lipat.2

10
Dari seluruh penelitian tersebut, tampaknya tidak ada keraguan bahwa perburukan
flora vagina terkait dengan suatu cara dengan kelahiran kurang bulan spontan. Sayangnya,
sampai saat ini, penapisan dan terapi belum dapat mencegah kelahiran kurang bulan.
Memang, resistensi mikroba atau perubahan flora vagina akibat antimikroba telah
dilaporkan sebagai hasil dari regimen yang digunakan untuk menyingkirkan vaginosis
bakterialis (Beigi,dkk., 2004; Carey dan Klebanoff, 2005). Okun dkk., (2005) meninjau
laporan sistematik mengenai penggunaan antibiotik untuk vaginosis bakterialis dan
Trichomonas vaginalis. Mereka tidak menemukan bukti pendukung penggunaan
antimikroba tersebut untuk mencegah kelahiran kurang bulan baik pada wanita berisiko
rendah maupun tinggi.2

2.4 Mekanisme

Mekanisme persalinan preterm tidak berbeda dengan persalinan aterm, yaitu


kontraktilitas uterus, pematangan serviks, dan ruptur membran. Perbedaan fundamental
ialah bahwa proses aktivasi pada persalinan aterm merupakan bagian dari aktivasi
fisiologis, sedangkan pada persalinan preterm bersifat patologis. Jalur lazim persalinan
dapat dilihat berdasarkan anatomi, biokimia, imunologi, endokrinologi, dan gejala klinis.
Aktivasi komponen uterus dapat bersifat sinkron dan asinkron. Aktivasi sinkron akan
berujung pada persalinan preterm spontan, sedangkan aktivasi asinkron menimbulkan
fenotip yang berbeda. Sebagai contoh aktivasi membran akan menyebabkan KPD preterm,
aktivasi serviks menyebabkan insufisiensi serviks, dan aktivasi miometrium menyebabkan
kontraksi uterus preterm.1

2.4.1 Kontraksi Miometrium

Persalinan terjadi akibat perubahan dramatis pola kontraktilitas uterus yaitu dari
kontraktur menjadi kontraksi. Hal ini dapat terjadi secara fisiologis pada persalinan aterm
atau diinduksi oleh kejadian patologis seperti infeksi atau pembedahan intraabdominal.
Kontraksi timbul akibat peningkatan komunikasi antar sel yaitu melalui pembentukan gap
juction, koneksin-43 pada miometrium. Selain itu, hormon estrogen, progesteron, dan
prostaglandin berperan serta dalam pengaturan pembentukan gap juction dan ekspresi
koneksin-43.Secara umum, 3 tahap perkembangan pada miometrium tikus hamil adalah:1

11
1. Proliferatif
Proliferatif ditandai dengan peningkatan miosit dan ekspresi protein antiapoptosis
miometrium (BCL2 dan BCL2L1). Perpindahan fase dari proliferatif menjadi
sintetik diatur oleh kapkase 3.
2. Sintetik
Sintetik terjadi saat sel miometrium mengalami hipertrofi dengan peningkatan rasio
protein/DNA pada pertengahan kehamilan. Tahap ini ditandai dengan sekresi yang
tinggi dari protein matriks ekstraseluler miosit, khususnya kolagen I dan III serta
kaldesmon. Perpindahan fase sintetik menjadi kontraktil ditandai oleh penurunan
kadar progesteron.
3. Kontraktil
Kontraktil terjadi saat akhir kehamilan dengan rendahnya ekspresi protein matriks
interstitial dan tingginya ekspresi komponen membran basal (laminin dan kolagen
IV).

2.4.2 Remodeling Serviks

Perubahan serviks meliputi pelunakan, pematangan, dilatasi, dan perbaikan setelah


melahirkan. Remodeling serviks selama kehamilan dan persalinan sangat bergantung pada
pengaturan komponen matriks ekstraseluler. Pelunakan serviks sudah dimulai sejak awal
kehamilan. Kekuatan regang dari serviks yang lunak diatur oleh peningkatan sintesis
kolagen dan pertumbuhan serviks. Pematangan serviks ditandai dengan penurunan
konsentrasi kolagen dan dispresi fibril kolagen (glikosaminoglikan seperti dekorin dan
hialuronan). Dilatasi serviks merupakan fenomena inflamasi dimana terjadi influsk
makrofag dan neutrofil serta degradasi matriks. Kemokin seperti IL-8 dan S100A9
menarik sel inflamasi, sehingga berujung pada pelepasan sitokin pro inflamasi seperti IL-
1ß dan TNF-ɑ. Sitokin ini akan mengaktivasi nuclear factor (NF)-kß, sehingga memblok
reseptor progesteron. Efek dari pemberian antiprogestin pada pematangan serviks tidak
selalu diikuti dengan aktivasi miometrium. Hal ini mengindikasikan bahwa serviks
merupakan target kerja dari progesteron.1

12
2.4.3 Aktivasi Membran/Desidua

Aktivasi membran atau desidua memiliki pengertian kejadian anatomi dan


biokimia yang menyebabkan pelepasan bagian bawah membran amniokorionik janin dari
desidua segmen uterus bawah, sehingga menyebabkan ruptur membran dan lahir plasenta.
Selama hamil, membran korioamnionik bersatu dengan desidua. Degradasi fibronektin,
apoptosis epitel, dan inflamasi lokal menyebabkan kejadian KPD yang berujung pada
persalinan.1

Aktivasi matriks metaloproteinase dan protease lain berperan dalam proses ruptur
membran dan persalinan dengan membran utuh. Pada persalinan preterm dengan KPD
terjadi peningkatan MMP-1 (kolagenase interstitial), MMP-8 (kolagenase neutrofil),
MMP-9 (gelatinase-B), dan elastase neutrofil di cairan amnion.1

2.4.4 Prostaglandin sebagai Aktivator Kunci Jalur Persalinan

Prostaglandin dinggap sebagai kunci persalinan karena dapat mengindukasi


kontraktilitas miometrium, perubahan metabolisme matriks ekstraseluler terkait
pematangan serviks, dan aktivasi desidua atau membran. Peran prostaglandin selama
kehamilan terdiri dari:1

1. Pemberian prostaglandin dapat menginduksi terminasi kehamilan pada awal


ataupun akhir masa kehamilan
2. Indometasin atau aspirin dapat menghambat awitan persalinan spontan
3. Konsentrasi prostaglandin di plasma dan cairan amnion meningkat selama
persalinan
4. Injeksi asam arakidonat intraamnion akan menginduksi abortus
5. Konsentrasi prostaglandin cairan amnion meningkat sebelum mulai persalinan
spontan pada kehamilan aterm
6. Ekspresi reseptor prostaglandin miometrium meningkat pada persalinan
7. Persalinan berkaitan dengan peningkatan ekspresi COX-2 dari mRNA dan
peningkatan aktivitas enzim di cairan amnion

Prostaglandin mengaktivasi persalinan dengan cara meningkatkan kontraksi uterus


melalui peningkatan influsk kalsium transmembran dan sarkoplasma serta melalui
peningkatan transkripsi reseptor oksitosin, koneksin-43 (gap junction), dan reseptor

13
prostaglandin EP1 hingga EP4 dan plasma janin (FP). Selain itu, prostaglandin
menginduksi sintesis MMP oleh sel dan membran janin pada serviks uterus dan PGE2.
PGF2ɑ meningkatkan rasio ekspresi reseptor progesteron (PR-A/PR-B).1

2.5 Diagnosis

Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan preterm.


Tidak jarang kontraksi yang timbul pada kehamilan tidak benar-benar merupakan ancaman
proses persalinan. Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan
preterm, yaitu: (1) Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3
kali dalam waktu 10 menit; (2) Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain); (3)
Perdarah bercak; (4) Perasaan menekan daerah seviks; (5) Pemeriksaan serviks
menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm, dan penipisan 50-80%; (6)
Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika; (7) Selaput ketuban pecah dapat
merupakan tanda awal terjadinya persalinan preterm; (8) Terjadi pada usia kehamilan 22-
37 minggu.3

2.6 Penapisan untuk Persalinan Preterm

Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak
awal, sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang
berisiko, untuk diberikan penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap persalinan
preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat
segera dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan anternatal,
sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat cukup besar dalam meramalkan
terjadinya persalinan preterm. Bila dijumpai serviks pendek (<1 cm) disertai dengan
pembukaan yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensi serviks, mempunyai
risiko terjadinya persalinan preterm 3-4 kali.3

14
Beberapa indikator dapat dipakai untuk meramalkan terjadinya persalinan preterm,
sebagai berikut:

 Indikator klinik
Indikator klinik yang dapat dijumpai seperti timbulnya kontraksi dan pemendekan
serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban pecah dini juga
meramalkan akan terjadinya persalinan preterm.3
 Indikator laboratorik
Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain adalah: jumlah leukosit
dalam air ketuban (20/ml atau lebih), pemeriksaan CRP (>0,7 mg/ml), dan
pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (>13.000/ml).3
 Indikator biokimia
- Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks dan
air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara
korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin
janin 50 ng/ml atau lebih mengindikasikan risiko persalinan preterm.3
- Corticotropin releasing hormon (CRH): peningkatan CRH dini atau pada
trimester 2 merupakan indikator kuat untuk terjadinya persalinan preterm.3
- Sitokin inflamasi: seperti IL-1ß, IL-6, IL-8, dan TNF-ɑ telah diteliti sebagai
mediator yang mungkin berperan dalam sintesis prostaglandin.3
- Isoferitin plasenta: pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin sebesar
10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama kehamilan dan
mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8 ± 53 U/ml. Penurunan kadar
dalam serum akan berisiko terjadinya persalinan preterm.3
- Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitif untuk
keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan dengan
berbagai keadaan reaksi fase akut termasuk kondisi inflamasi. Beberapa
peneliti menyatakan ada hubungan antara peningkatan kadar feritin dan
kejadian penyulit kehamilan, termasuk persalinan preterm.3
- IGF Binding Protein-1 atau Placental Alpha-microglobulin-1 (PAMG-1)
Pemeriksaan IGF binding protein-1 atau PAMG-1 dari cairan vagina berfungsi
jika pada pemeriksaan fisik tidak terlihat KPD preterm. Keefektifan
memprediksi risiko persalinan preterm dalam 7 hari dan 14 hari sudah diuji
dengan sensitivitas 100% dan 100%, spesifisitas 95% dan 98%, PPV 75% dan

15
88%, NPV 100% dan 100%. Perempuan dengan risiko persalinan preterm pada
usia kehamilan antara 20 dan 36 minggu yang membran amnionnya intak dan
dilatasi serviks ≤3 cm disarankan melakukan pemeriksaan PAMG-1. PAMG-1
disekresi oleh desidua plasenta ke dalam kantung amnion, sehingga digunakan
sebagai alat prediksi yang lebih akurat. Transudasi PAMG-1 terjadi melalui
membran korioamnion saat kontraksi uterus berlangsung. Sementara itu,
degradasi matriks ekstraseluler pada membran janin akibat inflamasi akan
menyebabkan pelepasan PAMG-1.1
 Pemeriksaan Panjang serviks dengan USG Transvaginal
Penilaian USG transvaginal dilakukan pada ibu usia kehamilan ≥30 minggu dengan
kecurigaan persalinan preterm. Penilaian bertujuan untuk mengukur panjang
serviks sebagai tes diagnostik memperkirakan kejadian persalinan dalam 48 jam ke
depan. ACOG menentukan cut-off panjang serviks yang berhubungan dengan
persalinan preterm adalah kurang dari 25 mm.1
Menurut rekomendasi National Institute for Health and Care Excellence (NICE),
saat tepat untuk skrining pemeriksaan panjang serviks pada perempuan dengan
kehamilan 18-24 minggu. Indikasi pemeriksaan USG transvaginal adalah adanya
gejala kontraksi uterus, hasil pemeriksaan USG abdominal curiga panjang serviks
pendek, dan terdapat beberapa faktor risiko persalinan preterm. Jika panjang
serviks ≤25 mm pertimbangkan pemasangan sirklase serviks dan memberikan
progesteron hingga usia kehamilan 36 minggu, namun jika panjang serviks >25
mm, tidak perlu tindakan sirklase serviks.1
Sebuah meta-analisis mengemukakan bahwa pemeriksaan USG transvaginal
panjang serviks dengan hasil <25 mm pada usia kehamilan <24 minggu dapat
memprediksi persalinan preterm pada usia <35 minggu dengan sensitivitas 60,3%,
spesifisitas 78,5%, PPV 41,4%, dan NPV 88,7%. Bolotskikh, dkk. Menunjukkan
sensitivitas, spesifisitas, PPV, dan NPV pemeriksaan panjang serviks <25 mm
memprediksi persalinan preterm dalam 7 hari adalah 83%, 59%, 22%, dan 96%.
Sedangkan sensitivitas, spesifisitas, PPV, dan NPV persalinan preterm dalam 14
hari adalah 79%, 59%, 24%, dan 94%. Kumari, dkk. Menemukan 52,9% dari 34
perempuan dengan panjang serviks <25 mm melahirkan dalam 2 hari dan 14,7%
melahirkan dalam hingga 7 hari (likelihood ratio/LHR 2,28).1

16
2.7 Pencegahan Kelahiran Kurang Bulan

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah persalinan preterm antara
lain sebagai berikut:1

 Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17 tahun)


 Hindari jarak kehamilan terlalu dekat
 Menggunakan kesempatan periksa hamil dan memperoleh pelayanan antenatal
yang baik
 Anjuran tidak merokok maupun mengonsumsi obat terlarang (narkotik)
 Hindari kerja berat dan perlu cukup istirahat
 Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan preterm
 Kenali dan obati infeksi genital/saluran kencing
 Deteksi dan penggunaan faktor risiko terhadap persalinan preterm

2.7.1 Tindakan pemasangan cervical cerclage

Ada sedikitnya tiga kondisi untuk memasang cerclage dalam mencegah kelahiran
kurang bulan. Pertama, cerclage dapat digunakan pada wanita yang memiliki riwayat
keguguran berulang pada midtrimester dan yang terdiagnosis memiliki inkompetensi
serviks. Kondisi kedua adalah wanita dengan seviks yang pendek yang diidentifikasi
selama pemeriksaan sonografi. Indikasi ketiga adalah cerclage sebagai “penyelamat”,
dilakukan secara darurat jika inkompetensi serviks ditemukan pada wanita dengan
ancaman persalinan kurang bulan.2

Mengenai indikasi kedua, Berghella dkk., (2005) meninjau ulang beberapa


percobaan kecil mengenai cerclage pada kelompok ini dan menyimpulkan bahwa cerclage
dapat mengurangi angka kelahiran prematur pada wanita dengan riwayat yang sama
sebelumnya. Dari 16 pusat kesehatan, Owen dkk., (2009) secara acak merekrut 302 wanita
dengan serviks pendek (didefinisikan sebagai panjang 25 mm) yang sebelumnya
melahirkan prematur untuk menggunakan cerclage atau tidak. Jumlah wanita dengan
panjang serviks <15 mm yang melahirkan sebelum 35 minggu secara signifikan jauh
berkurang setelah penggunaan cerclage dibandingkan dengan wanita yang tidak
menggunakan cerclage (30 vs 65%). Penelitian ini menunjukkan bahwa pelahiran kurang

17
bulan berulang dapat dicegah pada kelompok wanita yang memiliki riwayat pelahiran
kurang bulan sebelumnya.2

2.8 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini dan Persalinan Kurang Bulan

2.8.1 Diagnosis Ketuban Pecah Dini Kurang Bulan

Riwayat perembesan cairan vagina, baik sebagai aliran kontinu atau menyembur,
seharusnya dilakukan pemeriksaan spekulum untuk memvisualisasikan genangan cairan
amnion di vagina, cairan bening dari kanalis servisis uteri, atau keduanya. Konfirmasi
ketuban pecah biasanya disertai dengan pemeriksaan sonografi untuk menilai volume
cairan ketuban, mengidentifikasi bagian terbawah, dan jika belum ditentukan sebelumnya,
untuk memperkirakan usia kehamilan. Cairan amnion sedikit bersifat basa (pH 7,1-7,3)
dibandingkan dengan cairan vagina (pH 4,5-6,0); sering digunakan sebagai dasar
pengujian pH untuk kasus pecah ketuban. Darah, air mani, antiseptik, atau vaginosis
bakterialis, bagaimanapun juga, semua bersifat alkali dan dapat memberikan hasil positif
palsu.2

2.8.2 Pelahiran Disengaja

Sebelum pertengahan 1970an, persalinan biasanya diinduksi pada wanita dengan


ketuban pecah dini kurang bulan karena kekhawatiran sepsis. Dua uji teracak
membandingkan induksi persalinan dengan penatalaksanaan ekspektatif/menunggu ibu
hamil pada kehamilan seperti itu. Mercer dkk., (1993) secara acak merekrut 93 wanita
dengan kehamilan berusia antara 32 dan 36 minggu untuk bersalin atau mendapat
tatalaksana ekspektasi kehamilan. Kematangan paru janin, yang dibuktikan dengan profil
surfaktan yang matang, didapatkan pada semua kasus. Pelahiran disengaja mengurangi
lama rawat inap ibu dan tingkat infeksi baik pada ibu maupun neonatus. Cox dan Leveno
(1995) juga merekrut 129 wanita dengan usia kehamilan antara 30 dan 34 minggu.
Kematangan paru janin tidak dinilai. Satu kematian janin akibat sepsis terjadi pada
penatalaksanaan ekspektatif ibu hamil. Di antara kelompok pelahiran disengaja, terdapat
tiga kematian neonatus (2 sepsis dan 1 mengalami hipoplasia paru). Dengan demikian,
tidak satupun pendekatan terbukti lebih unggul.2

18
2.8.3 Penatalaksanaan Ekspektatif

Meskipun banyak sekali literatur tentang penatalaksanaan ekspektatif pada kasus


ketuban pecah dini kurang bulan, tokolisis telah digunakan dalam beberapa studi. Pada
studi teracak, wanita direkrut untuk mendapatkan tokolisis atau ditatalaksana ekspektatif.
Para peneliti menyimpulkan bahwa intervensi aktif tidak memperbaiki prognosis perinatal
(Garite dkk., 1981, 1987; Nelson dkk., 1985).2

Pertimbangan lain pada penatalaksanaan ekspektatif melibatkan penggunaan


pemeriksaan serviks secara digital dan cerclage. Alexander dkk., (2000) menganalisis
temuan pada wanita dengan penatalaksanaan ekspektatif antara 24 dan 32 minggu. Mereka
membandingkan orang-orang yang telah menjalani satu atau dua kali pemeriksaan serviks
digital dengan wanita yang tidak diperiksa. Wanita yang diperiksa memiliki interval waktu
sejak ketuban pecah hingga terjadi persalinan selama 3 hari dibandingkan dengan 5 hari
pada mereka yang tidak diperiksa. Perbedaan ini tidak memperburuk hasil akhir pada ibu
atau bayinya. McElrath dkk., (2002) meneliti 114 wanita dengan cerclage yang kemudian
mengalami pecah ketuban sebelum 34 minggu. Mereka dibandingan dengan 288 kontrol
yang tidak menggunakan cerclage. Hasil akhir kehamilan setara pada kedua kelompok.2

2.8.4 Risiko Penatalaksanaan Ekspektatif

Risiko ibu dan janin bervariasi berdasarkan usia kehamilan saat ketuban pecah.
Morales dan Talley (1993b) menatalaksana secara ekspektasi 94 kehamilan tunggal
dengan ketuban pecah sebelum usia kehamilan 25 minggu. Interval waktu rata-ratanya
adalah 11 hari. Walaupun 41% bayi bertahan hidup hingga usia 1 tahun, hanya 27% yang
memiliki kondisi neurologi normal. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Farooqi (1998) dan
Winn dkk., (2000) Lieman dkk., (2005) tidak menemukan perbaikan hasil akhir pada
neonatus dengan penatalaksanaan ekspektatif yang dilakukan setelah 33 minggu.
Sebaliknya, McElrath dkk., (2003) menemukan bahwa waktu yang berkepanjangan setelah
ketuban pecah tidak berhubungan dengan peningkatan insiden cedera neurologis pada
janin.2

Volume cairan amnion yang tersisa setelah ketuban pecah tampaknya memiliki
kepentingan prognostik bagi kehamilan berusia sebelum 26 minggu. Hadi dkk., (1994)
menjelaskan 178 kehamilan dengan ketuban pecah antara 20 dan 25 minggu. Empat puluh

19
persen wanita mengalami oligohidramnion, yaitu keadaan yang ditandai dengan hilangnya
cairan ketuban sebanyak 2 cm atau lebih. Hampir semua wanita dengan penampakan
oligohidramnion melahirkan sebelum 25 minggu, padahal 85% dengan volume cairan
amnion yang memadai melahirkan pada trimester ketiga. Carrol dkk., (1995) mengamati
bahwa tidak ada kasus hipoplasia paru pada janin yang dilahirkan setelah ketuban pecah
pada 24 minggu atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa 23 minggu atau kurang adalah
batas waktu terjadinya hipoplasia paru. Karena itu, ketika merencanakan penatalaksanaan
umum kehamilan lebih dini, perlu diperhatikan kondisi oligohidramnion yang
menyebabkan deformitas ekstremitas akibat kompresi.2

Faktor risiko lain juga telah dievaluasi. Neonatus yang dilahirkan oleh wanita
dengan lesi herpes aktif yang ditatalaksana ekspektatif, risiko morbiditas infeksi lebih kecil
dibandingkan risiko-risiko yang berkaitan dengan kelahiran kurang bulan (Major dkk.,
2003). Lewis dkk., (2007) menemukan bahwa penatalaksanaan ekspektatif pada wanita
dengan ketuban pecah dini preterm dan presentasi nonsefalik meningkatkan angka
prolapsus tali pusat, terutama sebelum 26 minggu.2

2.8.5 Korioamnionitis Klinis

Sebagian besar penulis melaporkan bahwa ketuban pecah lama menyebabkan


peningkatan sepsis janin dan ibu (Ho dkk., 2003). Jika korioamnionitis terdiagnosis, upaya
segera untuk pelahiran, sebaiknya pervaginam, dimulai. Demam merupakan satu-satunya
indikator terpercaya untuk diagnosis ini dan suhu 38°C atau lebih yang menyertai pecah
ketuban menyiratkan infeksi. Leukositosis pada ibu saja tidak dapat diandalkan. Selama
penatalaksanaan ekspektasi, dianjurkan pemantauan terhadap takikardia ibu atau janin
terus-menerus, nyeri tekan pada uterus dan keluarnya sekret vagina berbau busuk.2

Dengan adanya korioamnionitis, morbiditas janin dan neonatus sesungguhnya


meningkat. Alexander dkk., (1998) memperlajari 1.367 neonatus dengan berat badan lahir
sangat rendah yang dilahirkan di Rumah Sakit Parkland. Sekitar 7% dilahirkan oleh wanita
dengan korioamnionitis pasti, dan hasil akhir mereka dibandingkan dengan bayi yang baru
dilahirkan tanpa infeksi klinis. Mereka, pada kelompok yang terinfeksi, mengalami
peningkatan insiden sepsis, sindrom distress pernapasan, kejang awitan dini, perdarahan
intraventrikular, dan leukomalasia periventrikular. Para peneliti menyimpulkan bahwa

20
neonatus berberat badan lahir sangat rendah ini rentan terhadap cedera neurologis akibat
korioamnionitis.2

Meskipun Lovatelli dkk., (2005) telah menentang temuan ini, ada bukti lain bahwa
bayi baru lahir yang sangat kecil memiliki peningkatan risiko sepsis. Yoon dkk., (2000)
menemukan bahwa infeksi intraamnion pada neonatus prematur dikaitkan dengan
peningkatan angka cerebral palsy pada usia 3 tahun. Petrova dkk., (2001) mempelajari
lebih dari 11 juta kelahiran hidup bayi tunggal sejak tahun 1995 hingga 1997 yang
disimpan dalam kumpulan data National Center for Health Statistics. Selama persalinan,
1,6% wanita mengalami demam; ini merupakan prediktor kuat kematian terkait infeksi
pada neonatus aterm dan kurang bulan. Bullard dkk., (2002) melaporkan hasil yang sama.2

2.8.6 Rekomendasi Penatalaksanaan (POGI 2016)4

Berikut ini adalah tatalaksana yang dianjurkan pada KPD berdasarkan masing-
masing kelompok usia kehamilan:

a. Ketuban Pecah Dini Usia Kehamilan <24 Minggu


Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm didapatkan
bahwa morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia dan takipnea transien
lebih besar apabila ibu melahirkan pada usia tersebut dibanding pada kelompok
usia lahir 36 minggu. Morbiditas mayor seperti sindrom distress pernapasan dan
perdarahan intraventrikular tidak secara signifikan berbeda (level of evidence III).
Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan adalah
pilihan yang lebih baik. (Lieman JM 2005). Pada usia kehamilan antara 30-34
minggu, persalinan lebih baik daripada mempertahankan kehamilan dalam
menurunkan insiden korioamnionitis secara signifikan (p<0,05, level of evidence
Ib). tetapi tidak ada perbedaan signifikan berdasarkan morbiditas neonatus. Pada
saat ini, penelitian menunjukkan bahwa persalinan lebih baik dibandingan
mempertahankan kehamilan.2
b. Ketuban Pecah Dini usia Kehamilan 34-38 Minggu
Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan akan
meningkatkan risiko korioamnionitis dan sepsis (level of evidence Ib). Tidak ada
perbedaan signifikan terhadap kejadian respiratory distress syndorme. Pada saat

21
ini, penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan lebih buruk
dibandingkan melakukan persalinan.2

Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm. Dibuktikan dengan


22 uji meliputi lebih dari 6000 wanita yang mengalami KPD preterm, yang telah dilakukan
meta-analisis (level of evidence Ia). Terdapat penurunan signifikan dari korioamnionitis
(RR 0,57; 97% CI 0,37-0,86), jumlah bayi yang lahir dalam 48 jam setelah KPD (RR 0,71;
95% CI 0,58-0,87), jumlah bayi yang lahir dalam 7 hari setelah KPD (RR 0,80; 95% CI
0,71-0,90), infeksi neonatal (RR 0,68; 95% CI 0,53-0,87), dan jumlah bayi dengan USG
otak yang abnormal setelah keluar dari RS (RR 0,82; 95% CI 0,68-0,98). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa administrasi antibiotik mengurangi morbiditas maternal dan neonatal
dengan menunda kelahiran yang akan memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan
kortikosteroid prenatal. Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat menyebabkan
neonatal necrotizing enterocolitis sehingga antibiotik ini tidak disarankan. Pemberian
eritromisin atau penisilin adalah pilihan terbaik. Pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan digunakan bila KPD memanjang (>24 jam).4

Tabel 1. Antibiotik yang digunakan pada KPD >24 jam4


Medikamentosa D Rute Frekuensi
Benzilpenisilin 1,2 gram IV Setiap 4 jam
Klindamisin (Jika
sensitif penisilin) 600 mg IV Setiap 8 jam

Jika pasien datang dengan KPD >24 jam, pasien sebaiknya tetap dalam perawatan sampai
berada dalam fase aktif. Penggunaan antibiotik IV sesuai dengan tabel diatas.4

2.8.7 Manajemen Aktif

Pada kehamilan ≥37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun demikian, jika
pasien memilih manajemen ekspektatif harus dihargai. Lamanya waktu manajemen
ekspektatif perlu didiskusikan dengan pasien dan keputusan dibuat berdasarkan keadaan
per individu. Induksi persalinan dengan prostaglandin pervaginam berhubungan dengan
peningkatan risiko korioamnionitis dan infeksi neonatal bila dibandingkan dengan induksi
oksitosin. Sehingga, oksitosin lebih dipilih dibandingkan dengan prostaglandin
pervaginam untuk induksi persalinan pada kasus KPD.2

22
Kemajuan pada pelayanan maternal dan manajemen PPROM (Preterm Premature
Rupture of Membrane) pada batas yang viable dapat mempengaruhi angka survival;
meskipun demikian untuk PPROM <24 minggu usia gestasi morbiditas fetal dan neonatal
masih tinggi. Konseling kepada pasien untuk mengevaluasi pilihan teriminasi (induksi
persalinan) atau manajemen ekspektatif sebaiknya juga menjelaskan diskusi mengenai
keluaran maternal dan fetal dan jika usia gestasi 22-24 minggu juga menambah diskusi
dengan neonatologis. Beberapa studi yang berhubungan dengan keluaran/outcome,
diperumit dengan keterbatasan sampel atau faktor lainnya. Beberapa hal yang
direkomendasikan:2

- Konseling pada pasien dengan usia gestasi 22-25 minggu menggunakan


Neonatal Research Extremely Preterm Birth Outcome Data.
- Jika dipertimbangkan untuk induksi persalinan sebelum janin viable,
tatalaksana merujuk kepada Intermountain’s Pregnancy Termination
Procedure.

Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD preterm dan telah
dibuktikan manfaatnya dari 15 RCTyang meliputi 1.400 wanita dengan KPD dan telah
disertakan dalam suatu meta-analisis. Kortikosteroid antenatal dapat menurunkan risiko
RDS (RR 0,56; 95% CI 0,46-0,70), perdarahan intraventrikular (RR 0,47; 95% CI 0,31-
0,70) dan enterokolitis nekrotikan (RR 0,21; 95% CI 0,05-0,82), dan mungkin dapat
menurunkan kematian neonatus (RR 0,68; 95% CI 0,43-1,07).2

Tokolisis pada kejadian KPD preterm tidak direkomendasikan. Tiga uji teracak 235
pasien dengan KPD preterm melaporkan bahwa proporsi wanita yang tidak melahirkan 10
hari setelah ketuban pecah dini tidak lebih besar secara signifikan pada kelompok yang
menerima tokolisis (level of evidence Ib).2

Tabel 2. Medikamentosa yang digunakan pada KPD4


Magnesium Magnesium Sulfat IV:
Untuk efek neuroproteksi pada PPROM Bolus 6 gram selama 40 menit dilanjutkan
<31 minggu bila persalinan diperkirakan infus 2 gram/jam untuk dosis pemeliharaan
dalam waktu 24 jam sampai persalinan atau sampai 12 jam
terapi
Kortikosteroid Betamethasone:
Untuk menurunkan risiko sindrom distres 12 mg IM setiap 24 jam dikali 2 dosis
pernapasan Jika Betamethasone tidak tersedia, gunakan

23
deksametason 6 mg IM setiap 12 jam
Antibiotik Ampicilin
Untuk memperlama masa laten 2 gram IV setiap 6 jam dan
Erytromycin
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam,
dikali 4 dosis diikuti dengan
Amoxicillin
250 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari dan
Erytromycin
333 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari, jika
alergi ringan dengan penisilin, dapat
digunakan:
Cefazolin
1 gram IV setiap 8 jam selama 48 jam dan
Erytromycin
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan:
Cephalexin
500 mg PO setiap 6 jam selama 5 hari dan
Erytromycin
333 mg PO setiap 8 jamk selama 5 hari
Jika alergi berat penisilin, dapat diberikan:
Vancomycin
1 gram IV setiap 12 jam selama 48 jam dan
Erytromycin
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan
Clindamycin
300 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari
2.8.8 Algoritma Manajemen KPD Preterm4

24
2.9 Persalinan Kurang Bulan dengan Ketuban Utuh

25
Wanita dengan tanda dan gejala persalinan kurang bulan dengan ketuban utuh
ditatalaksana sama seperti penjelasan di atas untuk mereka dengan ketuban pecah dini
kurang bulan. Dasar pengobatan adalah untuk mencegah pelahiran sebelum 34 minggu,
jika mungkin.2

2.9.l Rekomendasi Penatalaksanaan Persalinan Kurang Bulan

Berdasarkan ACOG, rekomendasi tatalaksana pada ancaman persalinan preterm sebagai


berikut:1

1. Kortikosteroid dosis tunggal direkomendasikan pada wanita dengan usia kehamilan


24-34 minggu dengan risiko persalinan dalam 7 hari (rekomendasi level A).
2. Magnesium sulfat dapat menurunkan derajat keparahan dan risiko serebral palsi
pada bayi ketika dilahirkan sebelum usia kehamilan 32 minggu (rekomendasi level
A).
3. Tokolitik lini pertama dengan terapi agonis beta adrenergik, calcium channel
blocker, NSAID untuk pemanjangan kehamilan hingga 48 jam (pemberian steroid
antenatal) direkomendasikan (rekomendasi level A).
4. Terapi maintenance dengan tokolisis untuk mencegah persalinan preterm dan
meningkatkan luaran neonatus tidak direkomendasikan (rekomendasi level A).
5. Pemberian antibiotik sebaiknya tidak diberikan untuk memperpanjang kehamilan
atau meningkatkan luaran neonatus pada wanita dengan persalinan preterm dengan
membran intak (rekomendasi level A).
6. Kortikosteroid dosis tunggal dapat dipertimbangkan sejak usia kehamilan 23
minggu pada wanita hamil dengan risiko persalinan preterm yang akan lahir dalam
7 hari tanpa mempertimbangkan status membran (rekomendasi level B).
7. Pemberian ulang kortikosteroid tunggal pada wanita dengan kehamilan kurang dari
34 minggu yang berisiko lahir dalam 7 hari ke depan dan telah mendapat
kortikosteroid lebih dari 14 hari sebelumnya (rekomendasi level B).
8. Tirah baring dan hidrasi tidak efektif mencegah persalinan preterm dan tidak secara
rutin direkomendasikan (rekomendasi level B)
9.

BAB III

26
KESIMPULAN

Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada usia


kehamilan kurang dari 37 minggu setelah dianggap viable. Persalinan preterm dapat
disebabkan dari faktor maternal, janin, paternal, lingkungan, dan genetik. Mekanisme
persalinan preterm tidak berbeda dengan persalinan aterm. Prediksi persalinan preterm
dapat dilakukan melalui pemeriksaan panjang serviks dengan USG transvaginal,
fibronektin janin, dan IGF binding protein-1 atau placental alpha-microglobulin-1
(PAMG-1). Secara umum, manajemen persalinan preterm diantaranya pemerian
kortikosteroid dosis tunggal pada wanita dengan usia kehamilan 24-34 minggu dengan
risiko persalinan dalam 7 hari. Selain itu, magnesium sulfat dapat menurunkan derajat
keparahan dan risiko serebral palsi pada bayi ketika dilahirkan sebelum usia kehamilan 32
minggu. Tokolitik lini pertama seperti agonis beta adrenergic, calcium channel blocker,
NSAID dapat diberikan untuk pemanjangan kehamilan hingga 48 jam (pemberian steroid
antenatal).

REFERENSI

27
1. Surya R, Pudyastuti S. Persalinan preterm. CDK Edisi Suplemen-1. 2019; 46: 28-
32.

2. Setiawan R, Cunningham FG, et al. William obstetric. Edisi 23. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2012. h. 846-70.

3. Mochtar AB. Persalinan preterm. Dalam: Saifuddin AB, Rachimhadhi T,


Wiknjosastro GH, editors. Ilmu kebidanan sarwonon prawirohardjo. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016. h. 667-75.

4. Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Himpunan Kedokteran Feto


Maternal. Pedoman nasional pelayanan kedokteran ketuban pecah dini, 2016.
Jakarta: Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi; 2016.

28

Anda mungkin juga menyukai