KEPERAWATAN ANAK
LAPORAN PENDAHULUAN
“KONSTIPASI”
NAMA MAHASISWA :
ELIZA ANDRIANI
NIM. I4051201014
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Konstipasi merupakan keadaan yang sering ditemukan pada anak
dan dapat menimbulkan masalah sosial maupun psikologis. Konstipasi
lebih merupakan suatu gejala klinis dibanding sebagai suatu penyakit
tersendiri. Kata constipation atau konstipasi berasal dari bahasa Latin
constipare yang mempunyai arti ‘bergerombol bersama’, yaitu suatu
istilah yang berarti menyusun ke dalam menjadi bentuk padat. Baru pada
abad 16 istilah konstipasi digunakan pada keadaan ditemukan sejumlah
tinja terakumulasi di dalam kolon yang berdilatasi (Endaryani & Syarif,
2016).
Konstipasi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh perubahan
konsistensi feses menjadi keras, ukuran besar, penurunan frekuensi atau
kesulitan defekasi. Konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan
evakuasi tinja secara sempurna yang tercermin dari tiga aspek, yaitu
berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja lebih keras daripada
sebelumnya dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala), dengan
atau tanpa disertai enkopresis (kecipirit) (Kadim & Endaryani, 2016)
2. Klasifikasi
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi
konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional (Endaryani
& Syarif, 2016) :
a. Konstipasi struktural
Konstipasi akibat kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi
aliran tinja
b. Konstipasi fungsional
Konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas
kolon atau anorektal. Konstipasi yang dikeluhkan oleh sebagian besar
pasien umumnya merupakan konstipasi fungsional. Pada awalnya
beberapa istilah pernah digunakan untuk menerangkan konstipasi
fungsional, seperti retensi tinja fungsional, konstipasi retentif atau
megakolon psikogenik. Istilah tersebut diberikan karena adanya usaha
anak untuk menahan buang air besar akibat adanya rasa takut untuk
berdefekasi. Retensi tinja fungsional umumnya mempunyai dua
puncak kejadian, yaitu pada saat latihan berhajat dan pada saat anak
mulai bersekolah.
Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan menjadi bentuk
primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab yang
mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab
dasar konstipasi tidak dapat ditentukan. Keadaan ini ditemukan pada
sebagian besar pasien dengan konstipasi.Konstipasi fungsional
sekunder ditegakkan bila kita dapat menentukan penyebab dasar
keluhan tersebut. Penyakit sistemik dan efek samping pemakaian
beberapa obat tertentu merupakan penyebab konstipasi fungsional
yang sering dilaporkan.
Klasifikasi lain yang perlu dibedakan pula adalah apakah
keluhan tersebut bersifat akut atau kronis. Konstipasi akut bila
kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu, sedangkan konstipasi
kronis bila keluhan telah berlangsung lebih dari 4 minggu
3. Etiologi
Penyebab umum konstipasi adalah sebagai berikut :
a. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan
untuk defekasi dapat menyebabkan konstipasi
b. Mengkonsumsi diet rendah serat sering mengalami masalah konstipasi
karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan
yang rendah juga memperlambat peristaltik
c. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga
d. Pemakaian laksatif yang berat menyebabkan hilangnya reflek defekasi
normal
e. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan gastrointestinal seperti
adanya obstruksi usus, ileus paralitik
f. Kondisi neurologis yang menghambat impuls saraf ke kolon
g. Otot yang semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang
terjadi pada orangtua
4. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis
yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan
sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan
kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan
pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang
terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal
dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain:
rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal,
relaksasi otot sfingter extemal dan otot dalam region pelvik, dan
peningkatan tekanan intra abdomen).
Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat
konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang
menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus
interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi
refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis
yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan
untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,
sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot
dinding perut.
Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi
sfingter dan otot elevator. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis
terlibat dalam proses BAB. Patogenesis dari konstipasi bervariasi,
penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih.
Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut,
motilitas kolon tidak terpengaruh olch bertambahnya usia. Proses menua
yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran
cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah
karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka
dengan konstipasi.
Pathway Konstipasi
Kerusakan neuromuskular
Penurunan pengeluaran
cairan didalam usus
Konstipasi
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Colok dubur.
Pemeriksaan ini memberikan informasi tentang tegangan otot, dubur,
adanya timbunan lemak, atau adanya darah. Pemeriksaan dubur untuk
mengetahui adanya wasir, hernia, atau kemungkinan adanya tumor di
dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar
b. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi fakor risiko konstipasi
seperti gula darah, kadar hormon tiorid, elektrolt, anemia akibat
keluarya darah dalam dubur.
c. Anoskopi
Pemeriksaan ini dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal
pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor.
d. Foto polos perut.
Dilakukan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya
pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi
usus.
7. Penatalaksanaan
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi
konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara
simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada
penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang
terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi
pengobatan dibagi menjadi :
a. Pengobatan nonfarmakologis
1. Latihan usus besar. Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan
perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas
penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara
teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya.
dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga
dapat memanfaatkan reflek gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan
kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap
tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini.
2. Diet. Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada
golongan usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet
yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian
konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya,
misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan
massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus.
untuk mendukung manfaat serat ini, diharpkan cukup asupan
cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk
asupan cairan.
3. Olahraga. Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu
mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan
sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan
sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut,
terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut
b. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi
farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar.
Ada 4 tipe golongan obat pencahar:
1. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal,
Methyl selulose, Psilium
2. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan
menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah
penyerapan air. contohnya : minyak kastor, golongan dochusate
3. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman
untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal,antara lain
: sorbitol, laktulose, gliserin
4. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus
besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan
bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang,
dapat merusak pleksus mesenterikus dan berakibat dismotilitas
kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi
dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan
pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis
ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan
masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta
tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pada
umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau
adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan proses keperawatan pertama untuk menentukan
masalah kesehatan yang dialami oleh klien. Pengkajian yang digunakan
dalam laporan ini adalah menggunakan pengkajian model keperawatan
dan telah mengalami perbaikan. Pengkajian fokus yang digunakan untuk
mengkaji konstipasi pada anak menurut Susanty dalam Karima (2019),
yaitu:
1. Identitas
2. Riwayat penyakit
a. Keluhan Utama : Kesulitan buang air besar, mengejan saat buang
air besar, rasa tidak nyaman pada perut, tidak lampias saat buang
air besar, Feses terasa keras dan kering, frekuensi buang air besar
berkurang, sering kelelahan saat aktivitas.
b. Riwayat Penyakit sekarang : Tidak suka makan sayuran dan buah,
sering menahan buang air besar, kurang minum, atau sering merasa
cemas
c. Riwayat penyakit dahulu : hemoroid, rasa nyeri saat buang air
besar
d. Riwayat penyakit keluarga
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum: Tampak lemah
b. Tanda-tanda Vital (Tekanan Darah, Nadi, Respirasi, Suhu, GCS)
4. Pemeriksaan (fokus abdomen)
a. Warna kulit: Normal
b. Bunyi peristaltik: terjadi penurunan dari normal
c. Keadaan permukaan abdomen : Tenderness
d. Suara perkusi : Dullness
e. Distensi abdomen
f. Nyeri tekan abdomen
5. Kebutuhan fisik dan psikososial
a. Nutrisi
- Frekuensi makan: cenderung tetap, dan menurun ketika
terjadi keluhan
- Nafsu makan : cenderung tetap, dan menurun ketika terjadi
keluha
- Jenis makanan dirumah: makanan yang tidak
disukai/alergi/pantangan: rendah serat
b. Eliminasi (BAB/BAK)
- Frekuensi` : penurunan Frekuensi buang air besar
- Warna : Cenderung hijau kehitaman
- Konsistensi : keras dan kering
- Keluhan : mengejan saat buang air besar
c. Istirahat/tidur
- Durasi tidur
- keluhan/masalah : tidak nyaman karena nyeri pada
abdomen
d. Psikososial
- Persepsi pasien terhadap penyakitnya: biasanya anak
merasa cemas dan takut untuk buang air besar.
2. Ciri-ciri Psikologis
Usia Ciri-ciri Psikologis Balita (bawah lima tahun)
0-5 Mulai mengenal lingkungan. Membutuhkan perhatian khusus dari orang
tahun tua. Senang bermain. Bersifat kekanak-kanakan (manja). Cenderung
keras kepala. Suka menolak perintah. Membutuhkan zat gizi yang
banyak. Hormon pertumbuhan dihasilkan secara meningkat.
2. Ciri-ciri Psikologis
Usia Ciri-ciri Psikologis
Kurang Mulai memperhatikan penampilan. Mudah cemas dan bingung bila
lebih adanya perubahan psikis. Tidak mau dibatasi aktivitasnya. Mulai
usia 10 memilih teman yang cocok. Tidak mau diperlakukan seperti anak
– 17 kecil. Selalu ingin mencoba hal-hal baru. Senang meniru idola atau
tahun berkhayal. Mulai bersikap kritis. Mulai ada perubahan bentuk fisik.
Mulai menghasilkan hormon reproduksi. Alat kelamin mulai
berkembang. Hormon pertumbuhan masih terus dihasilkan.
KONSEP DASAR IMUNISASI
A. PENGERTIAN IMUNISASI
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak
diimunisasi, berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.
Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal
terhadap penyakit yang lain. Imunisasi adalah suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap
suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan penyakit tersebut ia
tidak menjadi sakit. Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi dapat berupa
kekebalan pasif maupun aktif. Sedangkan imunisasi dasar adalah
pemberian imunisasi awal pada bayi yang baru lahir sampai usia satu
tahun untuk mencapai kadar kekebalan di atas ambang perlindungan.
Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif
disebut imunisasi pasif dengan memberikan antibody atau faktor
kekebalan pada seseorang yang membutuhkan. Contohnya pemberian
immunoglobulin spesifik untuk penyakit tertentu misalnya
immunoglobulin antitetanus untuk penderita tetanus. Kekebalan pasif tidak
berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh, seperti
kekebalan alami yang diperoleh janin dari ibu akan perlahan menurun dan
habis.
B. TUJUAN IMUNISASI
a. Tujuan Umum
Tujuan umum imunisasi adalah untuk menurunkan angka kesakitan
dan kematian bayi akibat penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, pertusis
(batuk rejan), measles (campak), polio dan tuberculosis.
b. Tujuan Khusus, antara lain:
1. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI), yaitu
cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi
di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010.
2. Tercapainya ERAPO (Eradikasi Polio), yaitu tidak adanya virus
polio liar di Indonesia yang dibuktikan dengan tidak ditemukannya
virus polio liar pada tahun 2008.
3. Tercapainya eliminasi tetanus maternal dan neonatal MNTE
(Maternal Neonatal Tetanus Elimination).
4. Tercapainya RECAM (Reduksi Campak), artinya angka kesakitan
campak turun pada tahun 2006.
5. Peningkatan mutu pelayanan imunisasi.
6. Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection
practices).
7. Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal
management).
D. MANFAAT IMUNISASI
Manfaat yang didapat dari pemberian imunisasi di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Untuk anak, bermanfaat mencegah penderitaan yang disebabkan oleh
penyakit menular yang sering berjangkit
2. Untuk keluarga, bermanfaat menghilangkan kecemasan serta biaya
pengobatan jika anak sakit.
3. Untuk negara, bermanfaat memperbaiki derajat kesehatan,
menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan
pembangunan negara (Depkes RI, 2005).
E. JENIS IMUNISASI
a. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah proses mendapatkan kekebalan dimana tubuh
anak sendiri membuat zat anti yang akan bertahan selama bertahun-
tahun. Vaksin dibuat “hidup dan mati”. Vaksin hidup mengandung
bakteri atau virus (germ) yang tidak berbahaya, tetapi dapat
menginfeksi tubuh dan merangsang pembentukan antibodi. Vaksin
yang mati dibuat dari bakteri atau virus, atau dari bahan toksit yang
dihasilkannya yang dibuat tidak berbahaya dan disebut toxoid.
Imunisasi dasar yang dapat diberikan kepada anak adalah:
1. BCG, untuk mencegah penyakit TBC.
2. DPT, untuk mencegah penyakit-penyakit difteri, pertusis dan
tetanus.
3. Polio, untuk mencegah penyakit poliomilitis.
4. Campak, untuk mencegah penyakit campak (measles).
5. Hepatitis B, untuk mencegah penyakit hepatitis.
b. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif adalah pemberian antibody kepada resipien,
dimaksudkan untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus
memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya.
Antibody yang diberikan ditujukan untuk upaya pencegahan atau
pengobatan terhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri maupun virus
(Satgas IDAI, 2008). Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami saat ibu
hamil memberikan antibody tertentu ke janinnya melalui plasenta,
terjadi di akhir trimester pertama kehamilan dan jenis antibodi yang
ditransfer melalui plasenta adalah immunoglobulin G (LgG). Transfer
imunitas alami dapat terjadi dari ibu ke bayi melalui kolostrum (ASI),
jenis yang ditransfer adalah immunoglobulin A (LgA). Sedangkan
transfer imunitas pasif secara didapat terjadi saat seseorang menerima
plasma atau serum yang mengandung antibody tertentu untuk
menunjang kekebalan tubuhnya.