Anda di halaman 1dari 7

Lima Sore

Tiga jam berlalu begitu saja. Dari matahari masih tampak, hingga sekarang bulan sudah
menggantikannya, aku belum menyelesaikan naskah cerpen yang akan diikut-sertakan dalam
lomba. Padahal batas waktu pengiriman naskah berakhir tengah malam nanti. Satu halaman pun
belum kudapatkan. Segelas frappucinno sudah hampir habis karena lama menemaniku di kafe
yang nyaman ini. Aku kembali mencoba mengetik kata demi kata. Kuulangi membaca kalimat
yang baru saja aku tulis, namun aku menghapusnya kembali karena tampak tidak runut dengan
kalimat sebelumnya. Begitu saja terus yang aku lakukan sedari tadi sehingga cerpenku tak
kunjung kelar.

Argh! Dengan sedikit menggerutu, aku kembali membaca dua paragraf yang sudah berhasil
kutulis sebelumnya. Mau dibawa kemana alur ceritaku ini? Nafas sudah kuhela berkali-kali,
berharap suplai oksigen ke otakku cukup banyak sehingga aku bisa dengan lancar mengetik
cerita selanjutnya.

Mungkin aku harus berselancar sebentar ke Instagram. Siapa tahu aku menemukan hal bagus
untuk kujadikan bahan bercerita. Tak begitu banyak akun teman yang kuikuti, dan postingannya
hanya itu-itu saja. Ketika sedang asyik berselancar di beranda Instagram, entah mengapa terlintas
dibenakku untuk mengintip akun seseorang. Seseorang yang berhubungan dengan orang di masa
laluku. Ya, sederhananya, aku akan mengintip akun pacar dari Barry. Barry adalah mantan
gebetanku di SMA. Hingga saat ini, Barry masih memiliki tempat istimewa di sudut hatiku.
Beberapa kali aku pacaran dengan orang lain, tapi tak membuat Barry pergi dari tempatnya.
Bahkan aku tetap mencari tahu tentang Barry di saat aku sedang memiliki pacar. Parah memang.

Kembali ke masa itu, aku dan Barry cukup dekat. Aku menyimpan cinta untuknya sejak pertama
kami berkenalan. Barry sepertinya tahu akan hal itu, karena aku cukup ’tampak’ memperlihatkan
rasa sayangku kepadanya. Namun, di antara kami tidak ada yang benar-benar berani
mengungkapkan rasa di hati kami. Aku pun tidak pernah tahu apa yang dia rasakan terhadapku,
meskipun dia tidak pernah menolak jika aku memberi perhatian lebih padanya. Singkatnya, aku
frustrasi karena tidak pernah bisa bilang aku menyayanginya, sehingga aku memutuskan untuk
perlahan pergi dan mengubur perasaanku sedalam-dalamnya. Tanpa pernah tahu apa yang kami
rasakan satu sama lain sampai detik ini.

Beberapa laki-laki pernah mampir mengisi hari-hariku selepas aku menjauh dari Barry, tapi
belum ada yang sangat menyita hatiku seperti Barry. Usahaku cukup keras untuk menemukan
cinta baru untuk diriku, namun seberapa keras aku mencoba untuk berjalan maju, hatiku selalu
kembali ke Barry. Salahku dulu memaksakan diri menjalin hubungan baru, padahal sudah
terlihat akan sia-sia.

Aku mengetik sebuah nama dan muncul akun dengan nama tersebut. Ya, itu akun milik pacar
Barry. Barry sempat mengunggah foto dirinya bersama seorang wanita di akun Facebook-nya.
Dia menandai foto tersebut ke sebuah akun bernama Shanty. Dari situ pula aku menemukan akun
Instagram milik Shanty. Barry punya akun Instagram, namun dia tak pernah sekalipun
mengunggah foto. Makanya, aku terpikir untuk mencari akun pacarnya. Beruntung akun Shanty
tidak di-private.

Ada perasaan pedih ketika mengetahui Barry akhirnya dimiliki orang lain. Aku berspekulasi
kalau memang tak pernah ada cinta untukku. Aku menghela napas. Setelah sekian lama tidak
menyentuh akun ini, akhirnya hari ini aku kembali membukanya. Dahiku mengerut, melihat apa
yang terlihat di layar laptop. Kenapa tidak ada foto mereka berdua di akun Shanty? Padahal
beberapa waktu lalu, Shanty masih mengunggah kebersamaannya dengan Barry. Pikiranku
langsung tertuju pada satu alasan: mereka telah berpisah. Unggahan terakhir dari Shanty sekitar
dua bulan lalu adalah sebuah foto berisi kutipan; Don’t cry because it’s over, smile because it
happened. Shanty memberikan caption pada unggahan itu; Aku akan melangkah maju tanpamu.
Kuharap kau pun demikian. Ada beberapa komentar di foto tersebut. Komentar menyemangati
dari teman-teman Shanty. Aku menerka-nerka, apa penyebabnya?

Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa. Terkejut sudah pasti. Senang? Kuakui, ada sedikit.
Sedih? Tidak sama sekali. Perlukah aku berharap lebih atas hubunganku dan Barry selanjutnya?
Tak ada yang salah, kami sama-sama sendiri sekarang. Hahaha, aku tiba-tiba menertawakan
khayalanku. Terlalu muluk. Sudah lama aku tidak melakukan kontak dengan Barry. Meskipun
kami terhubung di Facebook dan Line, tapi kami tidak pernah saling menyapa. Saat itu aku
punya kekasih, Barry pun demikian.

Ada notifikasi pesan masuk di akunku. Aku terkejut ketika melihat akun siapa yang mengirimiku
pesan. Barry mengirimiku pesan!

“Ms. Swift.” Begitu isi pesannya. Iya, itu Barry. Dulu, dia suka sekali memanggilku Swift,
karena aku adalah penggemar berat dari Taylor Swift. Dia tidak lupa, meskipun telah sekian
lama.

Tak habis pikir, secepat itukah harapanku didengar Tuhan dan semesta? Bingung, apa yang harus
kulakukan pada pesan Barry. Pesannya hanya berisikan kalimat singkat, tapi sukses membuat
jantungku berdebar. Apa yang harus aku lakukan?

Kerongkonganku tiba-tiba terasa kering. Frappucinno yang kupesan tadi sudah habis. Aku
beranjak ke meja kasir untuk kembali memesan. Kali ini aku menjatuhkan pilihan pada segelas
hibiscus tea. Setelah membayar, aku kembali menuju mejaku dengan pikiran tertuju pada pesan
yang dikirim oleh Barry. Harus kujawab apa?

Aku membuka pesan dari Barry dan itu artinya Barry sudah tahu bahwa aku membaca pesannya.

“Hai, Barry! Apa kabar lo?” Ah, kok kesannya aku riang sekali ya. Aku menghapus kalimat itu.

“Siapa nih?” Hm. Pertanyaan yang seharusnya aku tanyakan terlebih dahulu. Iya, bisa saja yang
mengirim pesan bukan Barry, seperti dulu. Salah seorang teman Barry, yang kenal denganku
juga, mengirimiku pesan di Facebook menggunakan akun Barry. Aku sempat meladeni si
pengirim pesan, sampai akhirnya di akhir pesan Barry bilang bahwa sebelumnya yang mengirimi
aku pesan bukanlah dia. Beberapa kali terjadi hal semacam itu. Mungkin saja kali ini juga sama,
bukan Barry yang mengirim pesan.

Baiklah, sudah kuputuskan untuk mengirim pesan tersebut sebagai balasannya. Send!
Sungguh, aku merasa deg-degan menunggu balasan dari Barry. Eh, apa dia akan membalas
pesanku? Belum tentu juga, sih. Aku melengos. Lebih baik aku kembali menyentuh cerpenku
yang sama sekali belum menunjukkan kemajuan dari tiga puluh menit sebelumnya. Lembar kerja
word terbuka. Apa lanjutannya ya? Sama sekali tak ada ide terlintas di benakku. Aku
memandang ke luar jendela, mengamati lalu lalang kendaraan yang mulai padat di jam-jam
pulang kantor. Lampu-lampu dari kendaraan ikut meramaikan padatnya jalanan. Otakku mulai
berpikir ke berbagai arah, mencari lanjutan cerita yang menarik untuk cerpenku. Bunyi denting
terdengar samar di tengah alunan musik kafe, tapi aku menyadarinya. Apa itu balasan pesan dari
Barry?

“Barry lah. Siapa lagi emangnya?” Begitu bunyi pesan yang tertulis.

Aku tersenyum tipis. Aku ingin sekali lagi menggodanya. “Foto profil lo bukan mukanya Barry.
Sejak kapan muka Barry berubah jadi Sloth?”

Tak lama aku menemukan foto profilnya berubah, Dia menggunakan foto aslinya. Satu pesan
kemudian masuk.

“Tuh, udah puas?” katanya.

Aku cekikikan ketika membaca pesannya. “Oke, oke. Gue cuma memastikan itu elo. Kan
biasanya akun lo suka dibajak temen lo.”

“Ini Instagram. Gue jarang buka, jadinya selalu gue logout. Btw, apa kabar? Masih di Bumi,
kan?”
Ada desiran di hatiku ketika menerima pesan dari Barry. Setelah sekian lama tidak saling kontak,
kini kami kembali bertukar pesan. Saat kami tidak sedang terikat oleh siapapun. Pertanda baik-
kah?

“Ya, kali aja. Untungnya gue masih di Bumi, jadi masih ngerti main Instagram.” balasku.
Aduh, aku malah chatting, bukannya menyelesaikan cerpen. Alamat aku melewatkan lagi lomba
cerpen untuk ke sekian kalinya
“Syukurlah. Jadi, kapan kita ketemu?” balasan dari Barry cukup mengejutkan. Tanpa tedeng
aling-aling, dia mengajakku bertemu. Astaga. Harus kujawab apa pertanyaannya?

Aku berpikir sejenak, kemudian terlintas sebuah kalimat. “Ogah. Nanti cewek lo ngamuk dan
pacar gue ngamuk.” Ops, sedikit berdusta.

“Kalo gue masih punya cewek dan lo masih jadi pacar orang, gak bakal gue ngajakin. Tau etika
gue.”

Wah, dia tahu rupanya kalau aku jomblo. “Dih, lo kepoin gue ya?”

“Iyalah. Gue kepoin biar gak salah sasaran. Jadi, kapan?”

Aku menimbang-nimbang balasan apa yang cocok. Tidak mungkin aku langsung mengiyakan
ajakannya. Terlalu ketahuan kalau aku bahagia sekali mendapatkan kesempatan ini. “Lo pasti
pengen cari pelarian ya setelah putus dengan cewek lo.”

“Enggak, anjir. Gue pengen menyelesaikan masalah sama lo yang seharusnya udah gue
selesaikan dari dulu.”

“Masalah apaan? Gue gak ada ngutang sama lo ya.” Aku bingung apa masalah yang dia maksud.

“Emang utang doang yang bisa disebut masalah? Ini lebih rumit dari utang.” jawabnya.

“Apaan sih?”

“Masalah hati.” Dua kata yang dikirimkan Barry kepadaku menaikkan ritme detak jantungku
dari keadaan normal. Masalah… Hati? Apa maksudnya dia ingin menyatakan perasaannya
terhadapku?
Barry kembali mengirim pesan sebelum sempat aku membalas pesan sebelumnya. “Gue tau lo
juga punya permasalahan yang sama kayak gue. Gue pengen menyelesaikannya, jadi lo gak
boleh nolak. Waktu dan tempat terserah sama lo.”
Astaga, aku tidak pernah mengantisipasi situasi seperti ini. Bagaimana ini? Bagaimana?

“Elah. Lama bener mikirnya.” Barry terlihat tidak sabaran menunggu jawabanku.

“Gini ya, Bar. Gue sama lo udah lama banget gak kontak. Lo pun pernah sama orang lain, dan
gue juga sama. Apa lo yakin lo itu masih punya masalah perasaan sama gue? Dan kok lo yakin
bener gue masih ngarep sama lo?”

Terlihat Barry sedang mengetik sesuatu. Cukup lama sampai akhirnya pesan itu dikirimnya.

“Akan gue jelasin nanti ketika kita ketemu. Gue cuma berusaha percaya kata hati gue.”

Sebenarnya tak ada alasan untukku menolak ajakannya. Dia benar, aku masih bergumul dengan
perasaanku yang belum tuntas terhadapnya. Jika tidak dituntaskan, sampai kapan aku terus
membohongi perasaanku dan terus membodohi laki-laki lain? Sepertinya, ini waktu yang tepat
untuk menyelesaikannya, supaya kami bisa lebih lega selanjutnya dalam menjalani kisah cinta
kami masing-masing.

“Ya. Kita emang punya problem yang sama. Gue pikir, gue harus menyelesaikan semuanya agar
gue bisa tenang menjalani kisah cinta selanjutnya.” Aku mengirim pesan tersebut.
Tak butuh waktu lama buat Barry untuk membalas pesanku.

“Kisah cinta selanjutnya adalah lo sama gue.” Wah, aku terkejut membaca pesan Barry yang
tidak ada basa-basinya sama sekali.

“Wait and see. Jangan kepedean. Minggu depan di kafe Starla, jam 5 sore.”

“See you there,” jawab Barry.


Aku menutup tab pesan Instagram. Aku membayangkan apa yang akan terjadi setelah kami
bertemu nanti. Apa seperti yang diharapkan Barry? Ah, semoga semua berjalan menyenangkan.
Kembali ke permasalahanku tadi tentang cerpen yang tak kunjung kelar. Kejadian barusan bisa
kujadikan sebuah cerpen. Aku bersemangat mengetik ceritanya agar tidak melebihi batas waktu
yang diberikan. Aku menghapus dua paragraf yang sudah kuhasilkan sebelumnya dan kembali
mengetik dari awal. Siapa tahu cerita ini bisa membawa hoki kepadaku, karena aku tidak pernah
sekalipun memenangkan lomba cerpen yang pernah aku ikuti.

Cheers!

Anda mungkin juga menyukai