Anda di halaman 1dari 6

Rindu Terakhir

“Guys, mulai hari ini sampai beberapa hari ke depan kita akan berada dalam satu tim.
Susah dan senang yang terjadi selama masa orientasi mahasiswa akan kita lalui bersama…”
Andre, si ketua, membuka pertemuan pertama mereka sebagai sebuah tim.
“Silakan kalian memperkenal diri lagi, siapa tau ada yang kelupaan nama anggotanya.
Dimulai dari gue, Andre, jurusan Matematika.”
Begitu seterusnya hingga semua anggota memperkenalkan diri. Dian menjadi salah satu
anggota di tim delapan. Namun, ada salah satu anggota tim yang langsung mencuri perhatiannya.
Cowok itu memperkenalkan dirinya sebagai Boni, dari jurusan Kimia. Entah apa yang merasuki
Dian, hingga ia mendapat gebetan bahkan di saat masa orientasi mahasiswa belum benar-benar
dimulai.

Semuanya mulai berjalan. Anggota tim delapan intensif bertemu selama masa orientasi.
Mereka bercanda disela-sela kesibukan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Dian masih
saja berdebar ketika berinteraksi dengan Boni, maka dari itu Dian tidak terlalu banyak bicara
dengan Boni untuk menghindari kecanggungan yang dapat terlihat oleh anggota lain. Namun,
sia-sia saja. Ternyata anggota lain memperhatikan kelakuan Dian terhadap Boni. Tak lama,
rumor tenang Dian menyukai Boni tersiar ke seluruh anggota tim. Sering kali para anggota tim
meledek secara terang-terangan di depan Boni dan membuat pipi Dian terasa panas. Tapi apa
daya, sudah terlanjur menyebar, tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima keadaan.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tugas orientasi belum sepenuhnya
selesai, namun sepertinya Dian dan kawan-kawannya sudah tidak mampu untuk melanjutkan.
Dian mulai membereskan barang-barangnya sebelum beranjak pulang. Masalahnya, bagaimana
ia bisa pulang tengah malam begini tanpa motor. Ia tak tega untuk menelepon ibunya agar datang
menjemput.
Sebenarnya, sejak tadi ia berpikir untuk minta tolong Boni mengantarnya sampai rumah
yang tidak jauh dari lokasinya sekarang. Namun, ia takut Boni menolak permintaannya dan
penolakan tersebut disaksikan oleh semua anggota tim. Ketika Dian sibuk dengan pikirannya,
tiba-tiba saja Boni menawarkan diri untuk mengantar Dian pulang karena memang tujuannya
searah. Dian langsung setuju dengan ajakan Boni, dan memancing keriuhan di antara anggota
tim. Dian tak rela jika kesempatan ini ia lepaskan begitu saja. Awal yang baik untuk memulai
yang baik. Siapa tahu, Boni jadi tertarik kepadanya.
Sepanjang perjalanan pulang, hening tercipta di antara Boni dan Dian. Rasa canggung
meliputi keduanya. Boni akhirnya bersuara menanyakan di mana Dian tinggal. Hanya sebatas
itu, tak lebih. Dian memasuki rumah setelah mengucapkan terima kasih kepada Boni. Debar di
dadanya mereda. Memori otaknya kembali memutar kejadian yang baru saja berlalu. Semesta
mendengar keinginannya untuk pulang bersama Boni. Seulas senyum terpatri di wajah Dian.

Masa orientasi akhirnya usai. Perkuliahan sudah berjalan normal. Dian sudah beradaptasi
dengan keadaan baru. Namun, ia masih berkabar dengan Boni setiap hari, meskipun cuma
sebatas mengucapkan selamat pagi dan hal remeh-temeh lainnya. Dian sebenarnya bingung
apakah Boni tertarik pada dirinya, seperti ia tertarik kepada Boni. Karena selama ini, Dian-lah
yang lebih sering menghubungi Boni terlebih dahulu dan dijawab oleh Boni dengan seadanya.
Apa Boni hanya berusaha bersikap baik, alih-alih menyukainya? Pertanyaan itu sering hinggap
di benak Dian.
Pernah suatu hari, atas saran teman, Dian menahan diri untuk tidak mengirim pesan ke
Boni agar Boni yang mencarinya lebih dulu. Benar saja, Boni akhirnya mengirim pesan lebih
dulu menanyakan kabar Dian hari itu. Senang bukan main hati Dian mendapat pesan tak biasa
dari Boni. Ia kembali yakin bahwa Boni memang tertarik padanya.
“Bilang aja duluan kalo lo naksir sama dia.” Begitu kata teman dekat Dian ketika Dian
mencurahkan kegalauan hatinya. Memang ada niat dari Dian untuk mengungkapkan perasaannya
kepada Boni, namun nyatanya rasa gengsi masih menguasai dirinya. Tidak pernah benar-benar
menyatakan, hanya sekadar menunjukkan bahwa ia menyukai Boni.

Jadwal perkuliahan di semester pertama memang padat. Tugas yang diberikan dosen pun
tak kalah ganasnya. Hampir di setiap mata kuliah ada tugas yang menunggu untuk dikerjakan.
Dian dan beberapa kawannya sering kali pergi ke restoran cepat saji yang ada di dekat
kampusnya. Sekadar membeli es krim atau makanan ringan agar bisa menikmati jaringan
internet dan mencari suasana baru untuk mengerjakan tugas kampus.
“Boni online nih.” Kala itu Dian dan dua temannya sedang mengerjakan tugas. Salah satu
temannya memberitahu bahwa Boni sedang online di Facebook.
“Biarin aja.” Dian menanggapi dengan dingin. Ia berusaha untuk tidak terlalu
memusingkan perihal Boni. Tugas kuliah sudah cukup banyak menyita pikirannya.
“Gue tanya ke dia ya, dia naksir lo atau gak.” Kalimat itu tiba-tiba meluncur dari
temannya itu.
Dian berhenti mengetik. Ia mematung menatap temannya itu, memikirkan jawaban apa
yang harus ia berikan. “Teserah lo aja deh.”
Akhirnya Dian memutuskan pilihan tindakan ada di temannya itu, karena Dian pikir Boni
akan mengabaikan pertanyaan itu andai kata ia benar-benar ditanya seperti itu.
“Gue udah nanya tuh.” Temannya cukup nekat menanyakan hal itu kepada Boni.
“Seriusan lo?” Wajah Dian pucat pasi ketika ia membaca pesan yang dikirim temannya
itu ke Boni. Jantungnya berdebar dengan cepat. Ia tak tahu harus bagaimana dalam menyikapi
jawaban Boni nantinya. Dian berdoa Boni tidak membaca pesan itu, dan kalaupun Boni
membacanya, semoga ia tak berniat untuk menanggapinya. Dian berusaha untuk kembali fokus
ke tugasnya. Namun, dirinya malah cemas memikirkan tanggapi Boni.
“Dia bales nih.”
Tuhan, kenapa harus dibalas, sih Bon?! Dian meruntuki Boni. Setengah takut, Dian
mencoba membaca pesan balasan dari Boni. Ia membaca kata per kata yang ditulis Boni. Baru
kali ini Boni membalas pesan dengan cukup panjang. Tanpa terasa, air menggenangi matanya. Ia
ingin menangis, tapi tidak memungkinkan untuk menangis di sini. Ia tahan sekuat tenaga agar air
matanya tidak jatuh.
“Are you okay?” temanku terdengar khawatir.

“Enggak lah. Gue belum kepikiran sampai sana. Nanti aja mikirin itu, bla bla bla…”

Entah kalimat apalagi yang ada di pesan itu. Dian hanya mengingat bagian awalnya saja,
dan itu pun sudah membuat hatinya sedih. Mungkin ini adalah jawaban dari pertanyaan yang
melanda hati Dian. Ya, Boni tidak menyukai dirinya. Hanya dirinya yang menyukai Boni sedari
awal.
“Gak apa-apa kok. Udah terjawab deh pertanyaan gue selama ini. Hehehe.” Tawa yang
dipaksakan itu nyatanya tak membuat hati Dian membaik. Boni tidak tahu bahwa rasa suka yang
dipupuk oleh Dian sudah terlanjur mengakar dan tumbuh. Boni tiba-tiba mencabutnya begitu
saja, menyisakan serpihan-serpihan akar yang bisa saja mati, atau malah menumbuhkannya lagi.

Delapan tahun berlalu.

Dian baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Ia hendak pulang, tapi hujan turun dengan
cukup deras. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu hujan reda di kedai kopi yang ada di
gedung kantornya. Meskipun jam pulang kantor sudah lewat dua jam yang lalu, namun nyatanya
kedai kopi ini masih ramai pengunjung. Dian segera memesan minuman kesukaannya. Setelah
membayar pesanannya, Dian beranjak menuju satu meja yang masih kosong. Meja itu berada di
pinggir jendela yang menghadap langsung ke jalanan ibukota. Dari sini, Dian bisa menikmati
rintik hujan yang membasahi bumi. Hujan biasanya membuat memori-memori lama seseorang
kembali muncul. Begitu pun Dian yang masih mengingat bahwa hari ini adalah hari ulang tahun
Boni dan ia kembali merindukan sosok Boni.
Dian tidak seharusnya merindukan Boni sejak delapan tahun lalu, tapi sosoknya tidak
pernah benar-benar menghilang dari hati dan pikiran Dian. Bahkan, Dian diam-diam masih
mengamati Boni dari media sosialnya, hanya untuk tahu bagaimana kabarnya kini. Selama
delapan tahun ini ia meruntuki dirinya sendiri mengapa ia masih menyimpan rindu untuk Boni,
yang jelas-jelas sudah memiliki kekasih sejak tiga tahun lalu. Ya, Boni sudah punya pacar. Tapi
fakta itu nyatanya tidak pernah benar-benar bisa menghapus bayang-bayang Boni. Boni saja
sudah maju menjauhi dirinya. Sedangkan dirinya masih berusaha untuk maju meninggalkan
bayang-bayang Boni.
Dian memikirkan untuk mengirim ucapan selamat ulang tahun ke Boni melalui private
message di Twitter. Ia pikir, Boni tidak akan membaca pesannya secara cepat karena tahu Boni
tidak aktif di Twitter. Ia hanya ingin mengirim pesan, tidak berharap untuk diketahui oleh Boni.
Aneh sekali memang. Dian sudah mengetik “Happy Birthday to you!”, tapi ia masih menimbang-
nimbang apakah pesan ini perlu ia kirim. Namun, ia akhirnya menekan tombol send. Terkirim.
Begitu pesan sudah dikirim, ia segera menghapus pesan itu dari inbox miliknya. Ada sedikit rasa
lega memasuki hati Dian. Cukup untuk mengobati rindu terhadapnya.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Dan. Brian, pacarnya, menanyakan apakah ia sudah
pulang. Brian berniat untuk mengajaknya makan malam bersama. Dian menghela napas. Tahun
ini adalah tahun ke-delapan hubungannya dengan Brian. Bukan waktu yang sebentar untuk
menjalin sebuah hubungan. Namun, sepertinya waktu delapan tahun tidak benar-benar
sepenuhnya membuat perasan Dian ke Boni luntur. Memang memudar, namun belum
sepenuhnya hilang. Kadang ia merasa bersalah kepada Brian. Tak ada yang kurang dari sosok
Brian. Ia sempurna, di mata semua wanita dan Dian beruntung bisa memilikinya. Berkali-kali ia
camkan itu ke dalam pikirannya. Tak ada yang lebih baik dari Brian, saat ini.
Lalu, Dian membalas pesan dari Brian dengan mengatakan ia sudah pulang dan sedang
menunggu hujan reda di kedai kopi. Brian memberitahu bahwa ia sedang dalam perjalanan. 45
menit menunggu, Brian datang dengan tergopoh-gopoh. Ia meminta maaf pada Dian karena
terlambat akibat jalan yang macet. Dian tersenyum meyakinkan Brian bahwa ia maklum atas
keterlambatan Brian.
Mobil melaju perlahan di tengah kemacetan dan hujan yang masih rintik. Untung saja
tempat yang dituju tidak terlalu jauh dari kantor Dian. Mereka turun dari mobil menuju salah
satu restoran terkenal yang cukup eksklusif. Dian bingung mengapa Brian mengajaknya ke
tempat eksklusif seperti ini. Tak ada perayaan apa pun, seingat Dian, yang cocok untuk
dirayakan di sini. Brian menggandeng tangan Dian sambil tersenyum penuh arti ke arah Dian.
Seorang pelayan menyambut mereka dan mendampingi mereka menuju meja yang telah dipesan
Brian sebelumnya. Pelayan menunjuk salah satu meja kosong yang dihias dengan bunga mawar
dan temaram lilin. Suasananya sungguh romantis. Apa Brian akan melamarnya di sini? Dian
memikirkan dugaan itu. Mereka sudah sering membicarakan tentang rencana pernikahan.
Namun, hanya sekedar pembicaraan. Dian tak memaksa Brian untuk segera melamar, karena
pernikahan butuh proses yang matang.

Apa hari itu tiba sekarang?


Sebuah grup musik memainkan lagu-lagu romantis. Makanan pembuka sudah datang.
Brian dan Dian mengobrol tentang aktivitas masing-masing atau apa pun itu. Hingga pelayan
datang untuk menyajikan makanan pencuci mulut. “Silakan dinikmati menu yang manis ini.”
Sebuah piring yang ditutupi penutup makanan disajikan di depan Dian. Tiba-tiba rasa
gugup menyergapnya. Brian memberi isyarat agar Dian membuka tutupnya. Dengan perlahan
Dian membukanya. Sebuah cincin berkilau berada dalam kotak kecil merah yang sudah terbuka.
Dugaan Dian benar, Brian melamarnya! Orang-orang terdekat mereka, seperti keluarga dan
beberapa kerabat muncul. Mereka turut hadir di momen bahagia itu dan menambah semarak
proses lamaran.
Mata Dian berkaca-kaca ketika Brian mengambil kotak itu dan berlutut di samping Dian.
“Untuk mengatakan ini, aku butuh banyak waktu. Menimbang segala hal. Pada akhirnya aku
meyakini bahwa kamu adalah wanita yang tepat untuk menjadi pendampingku, di kala suka dan
duka, hingga akhir hayat kita. Will you marry me, Diandra Roseline Haridjaya?” Kata-kata
pamungkas itu meluncur dari mulut Brian, diiringi dengan senyum manisnya.
Dian tak bisa lagi membendung air matanya. Dengan suara bergetar karena berusaha
menahan tangis, Dian menjawab dengan yakin, “I will, Brian Miles Suryadirga!”
Riuh tepuk tangan terdengar dari seisi ruangan. Perasaan bahagia membuncah dari dalam
hatinya. Seketika ia tak ingat bahwa beberapa jam yang lalu ia masih merindukan laki-laki lain di
masa lalunya.
Brian tersenyum lebar, tampak jelas raut bahagia di wajahnya. Ia memasukkan cincin ke
jari manis Dian. Mereka berpelukan. Dian memeluk Brian dengan erat. Dian memastikan bahwa
perasaan rindu terhadap Boni berakhir hari ini. Tak ada lagi cerita tentang Boni. Yang ada hanya
cerita tentang ia dan Brian serta keluarga kecilnya di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai