Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

BEBERAPA PRINSIP DASAR EPISTEMOLOGI


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah METODOLOGI STUDI ISLAM
program studi Pendidikan Agama Islam Semester 2
Dosen Pengampu Bapak H.Iman fadhila, M.SI.

Disusun oleh: kelompok 1


Mukhammad Ilmannajib ( 19106011144 )
Zaenun Primaetika ( 19106011163 )
Siti Isna Nur Aliyah ( 19106011165 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah karna telah memberikan rahmat serta inayahnya
sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tidak
lupa pula kami kirimkan sholawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW. Berserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh insan yang
dikehendaki-Nya
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah metodologi studi islam.
Penulisan makalah ini telah semaksimal mungkin kami upayakan dan
didukung bantuan berbagai pihak. Sehingga dapat memperlancar penyusunannya.
Untuk itu tidak lupa pula kami mengucapkan trima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini, namun tidak lepas dari
itu semua kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik
dari segi penyusunan Bahasa dan aspek lain.
Akhir penyusunan sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana
ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang berkaitan dengan makalah-
makalah. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan memenuhi berbagai
pihak. Amin

Semarang, Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
Bab I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................1
C. Tujuan Pembahasan..........................................................................1
Bab II PEMBAHASAN….................................................................................2
A. Pengertian Epistemologi dan Islam...................................................2
B. Sumber pengetahuan.........................................................................6
C. Kriteria Kebenaran dalam Epistemologi Islam.................................8
D. Peran dan fungsi Pengetahuan Islam................................................9
Bab III PENUTUP.............................................................................................11
A. Kesimpulan.......................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sejak kedatangan islam pada abad ke-13 M. hingga saat ini, fenomena
pemahaman ke islaman umat islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan
amat variatif. Kondisi pemahaman keislaman serupa ini barangkali terjadi
pula diberbagai negara lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi
demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai
suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukan diperlukan adanya
setandar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai
paham keagamaan yang variative itu, sehingga walaupun keadaan nya amat
bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat
dipertanggung jawabkan keabsahannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian epistemology dalam Islam ?
2. Bagaimana sumber pengetahuan ?
3. Bagaimana kriteria kebenaran dalam epistemologi Islam ?
4. Bagaimana peranan dan fungsi pengetahuan Islam ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian epistemologi dan Islam.
2. Mengetahui bagaimana sumber pengetahuan.
3. Mengetahui bagaimana kriteria kebenaran dalam epistemologi Islam.
4. Mengetahui bagaimana peranan dan fungsi pengetahuan Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian epistemologi dari Islam


1. Pengertian epistemologi
Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani Episteme dan logos.
Episteme biasa diartika pengetahuan atau kebenaran, sedangkan logos
diartikan pikiran, kata, atau teori. Secara etimologi epistemologi dapat
diartikan bahwa teori pengetahuan yang benar, dan lazimnya hanya
disebut teori pengetahuan yang dalam Bahasa inggisnya menjadi theory of
knowledge, (Amsal Bakhtiar, 2005: 79),
Secara terminologi bahwa pengertian epistemologi disampaikan oleh
para ahli. Menurut hanum nasution, pengertian epistemologi, episteme
berarti pengetahuan dan epistemologi merupakan ilmu yang membahas
tentang, apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan.
Selanjutnya, Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi sebagai
berikut : Epistemologi berarti: ilmu filsafat tentang pengetahuan, (Harun
Nasution, 1978: 10).
Dalam kajian Epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran,
yakni empirisme, rasionalisme, dan intutisme. Sementara itu, dalam
pemikiran filsafat hindu dinyatakan bahwa kebenaran biasa didapatkan
dari tiga macam, yakni teks suci, akal, dan pengalaman pribadi. Dalam
kajian pemikiran islam terdapat juga berbagai aliran besar dalam kaitannya
dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model
sistem berfikir dalam islam, yakni boyani, irfani, dan burhani. Yang
masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda berbeda
tentang pengetahuan. Berikut ini penjelasan mengenai metode berpikir
bayani, burhani, dan irfani.
a) Epistemologi bayani
Secara etimologi, bayani berarti penjelasan. Al-Jabiri
berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan Al-Arab
mengartikan sebagai Al-Fashl wu Infishal yaitu memisahkan dan

2
terpisah, dalam kaitannya dengan metodologi Donal dhuhur wa Al-
idhar yaitu jelas dan penjelasan, berkaitan dengan visi dari metode
bayani, (Muhammad Abid Al-Jibiri, 2000: 60).
b) Epistemologi Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera,
percobaan dan hukum -hukum logika. Maksudnya bahwa untuk
mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan komponen
kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa
teks wahyu suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber
pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang
berkaitan dengan alam, social, dan humanities. Artinya ilmu
diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil
eksperimen, baik di labolatorium maupun di alam nyata, baik yang
bersifat alam maupun social. Corak model berpikir yang digunakan
adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian
empiris.
Mengenai model berpikir bayani dan burhani Van Peursen
mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan
panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila
keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap
sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan
pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau
pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang
mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika
(induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode
diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas
maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber
kajian.
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula
(metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang
bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning).
Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku

3
pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social
science, al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora (humanities,
al-'ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi
pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan
sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-
keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila
dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah),
antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan
sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam
untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang
interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks
sosial suatu prilaku keberagaman dapat didekati secara lebih tepat,
dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta
masyarakat utama.
Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati maslah-
masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya
Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga
dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat
kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-
konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta
masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam
Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan
historis. Untuk itu, dibutuhkan juga
Pendekatan sejarah (tarikhiyyah) untuk mengetahui konteks
sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan
yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan).
Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang

4
baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih
memadai dan up to date.
Kelemahan dan kendala yang sering dihadapi dalam
penerapan pendekatan burhani ini adalah sering tidak sinkronnya
teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam
permasalahannya ada yang diutamakan antara teks atau konteks.
Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat lebih banyak
memenangkan tekstualitas daripada kontekstualitasnya, meskipun
yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
c) Pendekatan Irfani
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang
bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan,
basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi
manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga
manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal,
tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi
disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk
menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-
analogi.
Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi
berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b)
tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan
ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi
dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau
menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan
mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan
agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan
menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin
(al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-
dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di
atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani

5
mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya
melalui ta'wil).
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat
subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya.
Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan
kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat
intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat
intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap
sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk
memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus
ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman".
Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi.
tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di
mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang
dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses
oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran
keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran
substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya
dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan
orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya,
namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama.
Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan
transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain
secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap
problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan
peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.

B. Sumber Pengetahuan
Bagi yang mengaku dirinya muslim sumber utamanya adalah wahyu
atau al-Quran sebagai sumber absolut yang berasal dari Tuhan semesta alam.
Wahyu menempati posisi absolut karena bersumber dari yang absolut pula.

6
Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar dan kebenarannnya tidak
dapat dibantah manusia. Hampir setiap penilaian terhadap sesuatu senantiasa
merujuk kepada wahyu tersebut. Wahyu yang menekankan ketiga sumber
tersebut dan mengingatkan manusia tentang ketertinggalan dan kemunduran
untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran tidak lain disebabkan oleh diri
manusia itu sendiri yang lalai dan malas menggunakan semua potensi-
potensi yang telah dianugerahkan kepada mereka atau pengetahuan itu tidak
menghampiri manusia karena ada hijab (batas) yang menghalanginya.
Di kalangan kaum muslimin ada dua tipe pemikiran dalam memahami
wahyu itu sebagai sumber. Pertama, sebagai sumber ilmu pengetahuan
ilmiyah dan kedua, sebagai sumber petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi,
Muhammad Shadiq al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal dan Maurice Bucaille,
mereka tergolong kedalam kelompok yang pertama sedangkan Ibn Ishak al-
Syathibi dan Quraish Shihab termasuk kelompok yang kedua. Mahdi
Ghulsyani memilih berada diantara kedua kelompok tersebut, ia menekankan
wahyu itu sebagai petunjuk bagi manusia yang mengandung ilmu
pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk senantiasa menggunakan
indra, akal dan hatinya untuk menggali pengetahuan dari alam ini atas
bimbingan wahyu itu sendiri.
Sumber pengetahuan yang lain adalah akal yang mempunyai fungsi
sangat besar untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Posisinya sangat tinggi
dalam Islam, ia berpotensi sebagai alat untuk berfikir, memahami dan
mengambil kesimpulan, khususnya dikalangan para filosof dibagi kepada dua
yakni aktif dan teoritis dengan fungsinya masing-masing. Akal aktif berkaitan
dengan etika, sedangkan yang pokok akal teoritis merupakan fakultas
pemahaman.
Dalam pandangan islam, akal manusia mendapat kedudukan yang lebih
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat Al Quran. Pengetauan lewat
akal disebut pengetahuan “aqli”. Akal dengan indra dalam kaitan dengan
pengetahuan satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan dengan tajam,
bahkan sering berhubungan. Dalam pandangan islam, akal mempunyai
pengertian tersendiri dan berbeda dengan pandangan secara umum. Dalam

7
pandangan islam, akal berbeda dengan otak, akal dalam pandangan islam
bukan otak, melainkan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat pengetahuan, indra
tentu sangat penting. Begitu pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat
tertentu, seperti empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan. Indra adalah sumber awal mengenal alam sekeliling kita.
Bahkan satu riwayat menyatakan : “apabila seorang manusia kehilangan salah
satu indranya, maka ia telah kehilangan setengah ilmu”. Melalui mata
manusia menangkap hal-hal yang tampak apakah bentuk, keberadaan, sifat
atau karakteristik benda-benda yang ada di dunia. Melalui telinga dapat
mendengar suara. Demikian juga dengan indra perasa, kita bisa mengenal
dimensi yang lain lagi dari objek-objek dunia yaitu rasa, (masam, manis ,
asam, pahit dan lain-lain) yang tentunya tidak dapat dilihat dan didengar oleh
mata dan telinga .Indra peraba untuk memegang. Tak kalah pentingnya juga
indra penciuman yang dapat menyerap aspek lain dari objek-objek fisik yaitu
bau.
Setelah melihat fungsi indra sangat besar pengaruhnya untuk
mendapatkan pengetahuan. Persoalan sekarang, cukupkah indra memenuhi
kebutuhan akan ilmu sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana
adanya?. Apakah misalnya penglihatan manusia telah mampu memberikan
pengetahuan tentang sebuah benda, katakanlah langit, bulan, bintang ?
Sepintas bisa dijawab ya, dapat dikatakan langit itu biru dan bintang itu kecil.
Namun apakah penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri
sebagaimana adanya atau semata-mata kesan yang tercerap oleh mata
belaka?. Apakah kesan-kesan inderawi itu sama dengan kenyataan? tidak,
ternyata indra itu terbatas. Banyak dorongan dan perintah bagi kaum
muslimin dalam Alquran untuk mengadakan pengamatan (observasi) dengan
indera juga penalaran dalam memahami alam.

C. Kriteria Kebenaran dalam Epistemologi Islam


Pandangan Islam akan kebenaran merujuk kepada landasan
keimanan dan keyakinan terhadap keadilan yang bersumber pada Al-

8
Qur’an. Sebagaimana yang diutarakan oleh fazrur rahman bahwa semangat
dasar dari Al-qur’an adalah semangat moral, ide-ide keadilan social dan
ekonomi. Hokum moral adalah abadi, ia adalah “perintah Allah”. Manusia
tak dapat membuat dan memusnahkan hokum moral: ia harus menyerahkan
diri kepadanya. Pernyataan ini dinamakan Islam dan Implementasinya
dalam kehidupan di sebut Ibadah atau pengabdian kepada Allah. Tetapi
hokum moral dan nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah
diketahui.
Dalam kajian epistemologi Islam dijumpai beberapa teori tentang
kebenaran :
1. Teori Korespondensi
Menurut teori ini suatu posisi atau pengertian itu benar adalah
apabila terdapat suatu fakta bersesuaian, yang beralasan dengan realitas,
yang serasi dengan situasi actual, maka kebenaran adalah sesuai fakta
dan sesuatu yang selaras dengan situasi akal yang diberinya interpretasi.
2. Teori Konsistensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara
putusan (judgement) dengan suatu yang lain yaitu fakta atau realitas,
tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata
lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan-putusan yang
baik dengan putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui benar
terlebih dahulu, jadi sesuatu itu benar, hubungan itu saling berhubungan
dengan kebenaran sebelumnya.
3. Teori Prakmatis
Teori ini mengemukakan benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau
semata-mata tergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau
teori tersebut bagi manusia untuk berfaedah dalam kehidupannya.

D. Peran dan Fungsi Pengetahuan Islam


Ilmu atau pengetahuan dalam Islam mempunyai peran dan fungsi
yang cukup penting. Tak dapat dipungkiri keberadaan ilmu menempati

9
posisi sangat tinggi karena mempunyai peran dan pengaruh cukup besar
pada perkembangan, perubahan dan kemajuan umat manusia.
Jalaluddin Rakhmat mengungkap peran penting ilmu menurut Islam
antara lain :
1.  Ilmu pengertahuan harus berusaha menemukan keteraturan (sistem),
hubungan sebab akibat dan tujuan dialam semesta. Dalam banyak ayat
Alquran dijelaskan bahwa alam ini diurus oleh pengurus dan pencipta
yang tunggal, karena itu tidak pernah ada kerancuan (tahafut) di
dalamnya. Alam bergerak menuju tujuan tertentu, karena Allah tidak
menciptakannya untuk main-main dan bukan perbuatan sia-sia.
Keteraturan dalam ilmu biasanya disebut hukum-hukum yang terdapat
dalam afaq disebut alquran sebagai qadar atau takdir sedangkan aturan
dalam anfus dan tarikh disebut sebagai sunnatullah.
2.  Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka
mengabdi kepada Allah sebab Allah telah menundukkan matahari,
bulan, bintang dan segala yang langit dan dibumi untuk manusia.
3. Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan baik
afaq atau anfus.
Adapun fungsi ilmu menurut RBS. Fubyartana sebagaimana dikutip
Endang Saifuddin Anshari antara lain:
1. Fungsi Deskriptis : menggambarkan, melukiskan dan memaparkan
suatu obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti
2.  Fungsi pengembangan : Melanjutkan hasil penemuan yang lalu yang
menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru
3.  Fungsi prediksi : meramalkan kejadian yang besar kemungkinan
terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang
perlu dalam usaha menghadapinya
4.  Fungsi kontrol : berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang
tidak dikehendaki.

10
Dalam Ensiklopedi, Dawam Raharjo menyatakan satu fungsi ilmu
yakni, perbaikan atau pembaharuan, dalam istilah Alquran “ishlah” .Mahdi
Ghulsyani menerangkan manfaat ilmu antara lain :
1. Ilmu dapat meningkatkan pengetahuan seseorang akan Allah.
2. Ilmu dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat
Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya.
3. Dapat membimbing orang lain.
4. Dapat memecahkan berbagai problem masyarakat.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat yang eksistensinya adalah
mengajak manusia untuk berfikir, mentadaburi alam yang dikemas dalam
ilmu pengetahuan yang sistematis, memberi konstribusi bagi perkembangan
manusia dalam ranah keilmuan. Dengan beberapa prinsip dasar epistemologi
islam kita bisa mengatehaui peranan islam dalam ilmu pengetahuan, yang
mana Al-Quran (wahyu) sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan yang
kemudian ditalar melaui akal sebagai keistimewaan bagi manusia dan serta
panca indra atau sentuhan indrawi yang membantu memperoleh pengetahuan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi islam.Yogyakarta: Tazzaff


Zainuddin, M. 2003. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Yogyakarta : Bayu
Media.
Abuddin , Nata. 1998. Metodologi Studi Islam, Jakarta :Raja Grafindo Persada.
Harun Nasution.1973. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta : Bulan
Bintang.
Endang Saefuddin Anshori. 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya : PT Bina
Ilmu Offst.
Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarok Mubarok. 2009.Metodologi Studi Islam.
Bandung : Remaja Rosdakarya.

13

Anda mungkin juga menyukai