Anda di halaman 1dari 6

Bill Kraus, penghubung antara anggota kongres Philip Burton dan komunitas gay San

Fransisco. Komunitas gay ingin agar partai demokrat masyarakat menyadari bahwa kaum gay di
negeri ini adalah manusia juga. Tampaknya terdapat epedemi aneh di antara gay di Los Angeles,
ada 5 kasus Pneumositis tanpa ada penyakit lain dalam 5 bulan ini dan sudah ada 2 korban. New
York dan San Fransisco tampaknya ada kasus serupa kala itu.

Pada Juni 1982, terjadi perdebatan di rumah Bill Kraus, Selma meminta Mervin (Direktur
Kesehatan Masyarakat) untuk menutup pemandian tersebut karena ia mempunyai kuasa apapun
yang mengancam kesehatan masyarakat, namun Mervin menentang karena di San Fransisco
rumah pemandian bukan hanya kata-kata tetapi simbol untuk kebebasan seks. Jika ingin menutup
pemandian tersebut maka komunitas gay harus membantu menututpnya.

CDC mencoba meyakinkan mereka untuk menghentikan pendonoran dari gay dan memberi izin
untuk melakukan penelitian namun mereka tidak setuju.

Satu hal yang sempat membuat saya heran adalah pemerintah pun digambarkan tidak terlalu
peduli dengan fenomena yang sedang terjadi. Di sisi lain, kalangan ilmuwan Perancis dan
Amerika Serikat justru sibuk berdebat tentang siapa yang pertama menemukan virus yang
kemudian dikenal dengan HIV tersebut. Yang menggelikan adalah bagaimana kondisi saling
klaim itu nyaris dibawa ke meja hijau, yang bila terjadi maka akan memakan waktu bertahun-
tahun untuk penyelesaiannya, dan hal itu akan berdampak pada kemajuan penelitian yang
akhirnya akan memakan korban jiwa lebih banyak lagi.

Sejauh kemampuan saya memahami film ini, virus HIV adalah suatu virus yang berevolusi dari
berbagai penyakit yang sudah ada sebelumnya, seperti Ebola dan Pneumonia. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa adegan mengenai pasien-pasien di berbagai belahan dunia yang mengalami
penyakit yang virusnya menyerang kekebalan tubuh manusia. Lalu entah bagaimana, seiring
perkembangan sikap perilaku manusia, virus ini akhirnya berevolusi dan menjadi lebih ganas
bagaimana kepentingan bisnis dan politik memegang peranan yang begitu kuat dalam
menentukan penelitian dan pencarian penangkal virus yang satu ini, mengalahkan sisi
kemanusiaan. Saya juga baru tahu bahwa sempat terjadi saling klaim antara dokter di Amerika
dan Perancis mengenai hak paten penemuan virus HIV. Yang menggelikan tentunya adalah
bagaimana kondisi saling klaim itu nyaris dibawa ke meja hijau, yang bila terjadi maka akan
memakan waktu bertahun-tahun untuk penyelesaiannya, dan jelas akan berdampak pada
kemajuan penelitian, dan akhirnya akan memakan korban jiwa lebih banyak lagi.

Secara pribadi, saya melihat film ini sebagai salah satu bentuk pendidikan agar masyarakat dunia
lebih waspada dan lebih arif dalam menyikapi keadaan. Kita diajak untuk memahami lebih
dalam tentang apa dan bagaimana HIV itu, melihatnya dari berbagai sisi, termasuk dari sisi
korban yang banyak juga tertular akibat transfusi darah dan keturunan (bayi yang lahir dari Ibu
yang menderita HIV). Kita diajak untuk tidak menghakimi, melihat dengan mata hati dan
berempati atas apa yang terjadi. Tetap memanusiakan mereka dan mengambil hikmah dari setiap
kejadian.

Hal yang membuat saya sangat prihatin adalah bahwa para korban virus HIV seperti mengalami
kematian yang perlahan. Kematian yang datang dengan banyak gejala. Kematian yang
merenggut nyawa sedikit demi sedikit seperti turut mematikan rasa anggota keluarga, kerabat
dan sahabat dekat yang menyaksikannya.

Saya juga melihatnya sebagai peringatan. Bisa jadi virus ini adalah rekayasa industri semata
(walaupun menurut saya, kalau benar, itu adalah perbuatan yang sama kejamnya dengan apa
yang dilakukan NAZI atau bahkan lebih kejam), atau bisa jadi memang ini salah satu cara Tuhan
memberikan pelajaran terhadap manusia.  Bila memang benar penyebab dan atau penyebaran
terbesar virus ini melalui hubungan sex, entah yang sesama jenis atau yang berbeda jenis,
tentunya kita lah penanggung jawab terbesarnya. Ya, kita bertanggung jawab atas apapun yang
terjadi pada diri kita dan juga orang sekitar. Kita bertanggung jawab untuk menjaga sikap dan
perilaku sesuai dengan norma sosial dan agama, kita bertanggung jawab untuk menjaga
lingkungan kita tetap sehat karena kita adalah mahluk sosial yang hidup berdampingan. Kita
bertanggung jawab untuk menerima para korban HIV tetap sebagai apa adanya mereka. Kita
bertanggung jawab terhadap keturunan kita dan tentunya kita bertanggung jawab kepada Tuhan
atas pinjaman raga ini.
Secara keseluruhan, film ini menceritakan dengan begitu apik asal muasal penyakit AIDS yang
sampai sekarang belum juga ditemukan obatnya. Yang sangat menarik perhatian saya adalah
bagaimana HBO mampu menggabungkan antara potongan-potongan dokumentasi berita dan
berbagai aktivitas di era awal virus HIV ditemukan, dengan drama yang mereka buat
berdasarkan buku Randy Shilts yang berjudul “And the Band Played On: Politics, People, and
the AIDS Epidemic” terasa mengalir.

Melalui film ini, kita sebagai penonton diajak untuk melihat begitu banyak aspek yang terlibat
dalam menyebarnya suatu virus penyakit dahsyat. Sisi kemanusiaan kita akan digugah
sedemikian rupa, opini kita sempat digiring ke beberapa arah, yang sepertinya adalah cara
sutradara memberikan gambaran betapa banyak penilaian-penilaian simpang siur diawal virus ini
terendus oleh para dokter di beberapa negara maju, khususnya di Amerika.

Bila yang kita tahu sekarang, bahwa salah satu penyebaran virus HIV penyebab AIDS adalah
melalui hubungan sex, maka di film ini kita dipertemukan dengan seorang tokoh bernama Gaetan
Dugas, yang diduga sebagai salah satu ‘Patient-Zero’ karena menyebarkan virus melalui
hubungan sex nya dengan teman-teman lelakinya. Kalimatnya yang menyatakan ‘If I got it, then
someone gave it to me” adalah seperti sebuah gambaran bahwa virus itu sudah ada, jauh sebelum
dia diduga menyebarkannya.

Sejauh kemampuan saya memahami film ini, virus HIV adalah suatu virus yang berevolusi dari
berbagai penyakit yang sudah ada sebelumnya, seperti Ebola dan Pneumonia. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa adegan mengenai pasien-pasien di berbagai belahan dunia yang mengalami
penyakit yang virusnya menyerang kekebalan tubuh manusia. Lalu entah bagaimana, seiring
perkembangan sikap perilaku manusia, virus ini akhirnya berevolusi dan menjadi lebih ganas.

Dalam film ini juga digambarkan dengan cukup jelas bagaimana pergulatan para dokter dan
ilmuwan di Amerika dan Perancis khususnya dalam mengidentifikasi virus tersebut. Bersamaan
dengan kondisi politik di era Reagan yang turut berpengaruh besar didalamnya. Menurut jalan
cerita film tersebut, Reagan digambarkan sebagai seorang yang memiliki kebijakan yang tidak
memihak kepada kaum Gay/Homoseksual. Hal ini tentunya memperuncing ketegangan antara
masyarakat umum yang merasa menjadi ‘korban perilaku menyimpang’ kaum Gay, dan kaum
Gay itu sendiri yang merasa tidak cukup dimanusiakan.

Penyebaran virus ini pun pada awalnya banyak terjadi pada kaum Gay/Homoseksual.
Kecenderungan mereka untuk berganti-ganti pasanganlah yang ditengarai mengakibatkan virus
ini berkembang dengan pesat. Masyarakat dunia dibuat terhenyak pada tahun 1980-an dengan
banyaknya kematian akibat virus HIV. Tidak dapat dihindari, penghakiman terhadap kaum
Gay/Homoseksual sebagai penyebab timbulnya virus ini pun sempat menguat. Namun, seiring
waktu berjalan, banyak hal terjadi, diantaranya adalah ditemukan juga wanita sebagai korbannya,
lalu segmen masyarakat tertentu seperti Afrika Amerika yang juga banyak menjadi korban.
Satu hal pasti yang tidak dapat terelakkan dan sempat membuat saya tidak habis pikir adalah
bagaimana kepentingan bisnis dan politik memegang peranan yang begitu kuat dalam
menentukan penelitian dan pencarian penangkal virus yang satu ini, mengalahkan sisi
kemanusiaan. Saya juga baru tahu bahwa sempat terjadi saling klaim antara dokter di Amerika
dan Perancis mengenai hak paten penemuan virus HIV. Yang menggelikan tentunya adalah
bagaimana kondisi saling klaim itu nyaris dibawa ke meja hijau, yang bila terjadi maka akan
memakan waktu bertahun-tahun untuk penyelesaiannya, dan jelas akan berdampak pada
kemajuan penelitian, dan akhirnya akan memakan korban jiwa lebih banyak lagi.

Diganjar 3 Emmy, 2 Golden Globe, 7 penghargaan lain, serta 23 Nominasi penghargaan menjadi
bukti bahwa film ini sangat layak dan direkomendasikan untuk disaksikan. Sebenarnya ada
beberapa film mengenai HIV yang juga menarik untuk ditonton, salah satunya berjudul GIA.
Film yang juga diangkat berdasarkan kisah nyata tersebut diperankan oleh Angelina Jolie. Dia
berperan sebagai seorang model papan atas di Amerika yang akhirnya meninggal dengan kondisi
yang sangat mengenaskan akibat HIV.

Kembali lagi ke topik awal, beberapa tokoh dalam film mampu menghadirkan adegan-adegan
yang begitu hidup dan menyentuh hati, kita akan merasa bertemu dengan orang-orang
sebenarnya.

Secara pribadi, saya melihat film ini sebagai salah satu bentuk pendidikan agar masyarakat dunia
lebih waspada dan lebih arif dalam menyikapi keadaan. Kita diajak untuk memahami lebih
dalam tentang apa dan bagaimana HIV itu, melihatnya dari berbagai sisi, termasuk dari sisi
korban yang banyak juga tertular akibat transfusi darah dan keturunan (bayi yang lahir dari Ibu
yang menderita HIV). Kita diajak untuk tidak menghakimi, melihat dengan mata hati dan
berempati atas apa yang terjadi. Tetap memanusiakan mereka dan mengambil hikmah dari setiap
kejadian.

Hal yang membuat saya sangat prihatin adalah bahwa para korban virus HIV seperti mengalami
kematian yang perlahan. Kematian yang datang dengan banyak gejala. Kematian yang
merenggut nyawa sedikit demi sedikit seperti turut mematikan rasa anggota keluarga, kerabat
dan sahabat dekat yang menyaksikannya.

Saya juga melihatnya sebagai peringatan. Bisa jadi virus ini adalah rekayasa industri semata
(walaupun menurut saya, kalau benar, itu adalah perbuatan yang sama kejamnya dengan apa
yang dilakukan NAZI atau bahkan lebih kejam), atau bisa jadi memang ini salah satu cara Tuhan
memberikan pelajaran terhadap manusia.  Bila memang benar penyebab dan atau penyebaran
terbesar virus ini melalui hubungan sex, entah yang sesama jenis atau yang berbeda jenis,
tentunya kita lah penanggung jawab terbesarnya. Ya, kita bertanggung jawab atas apapun yang
terjadi pada diri kita dan juga orang sekitar. Kita bertanggung jawab untuk menjaga sikap dan
perilaku sesuai dengan norma sosial dan agama, kita bertanggung jawab untuk menjaga
lingkungan kita tetap sehat karena kita adalah mahluk sosial yang hidup berdampingan. Kita
bertanggung jawab untuk menerima para korban HIV tetap sebagai apa adanya mereka. Kita
bertanggung jawab terhadap keturunan kita dan tentunya kita bertanggung jawab kepada Tuhan
atas pinjaman raga ini.

Ketika akhirnya kita disodorkan pada pilihan yang terbatas dan kesemuanya nampak tidak
menyenangkan, mungkin kita akan banyak mempertanyakan kemampuan diri untuk menjalani
dan mengolah kehidupan. Semoga kita tidak pernah sampai kesana….

Disutradari oleh Roger Spottiswoode, And the Band Played On disebut menjadi film yang sangat
baik menggambarkan awal mula HIV-AIDS diketemukan. Film ini merupakan adaptasi dari
sebuah buku berjudul, And the Band Played On: Politics, People, and the AIDS Epidemic karya
Randy Shilts.

And the Band Played On mengisahkan tentang Don Francis, seorang dokter yang berkunjung ke
sebuah desa di Zaire pada 1976, dan menemukan penduduk di sana terjangkit penyakit misterius
yang dikenal dengan nama demam berdarah Ebola. Ia khawatir penyebaran virus ini meluas.

Sekembalinya ke Amerika pada 1981, ia menemukan hal serupa. Bedanya, penyakit ini menimpa
kelompok gay. Saat itu, di San Francisco, New York City, dan Los Angeles banyak dilaporkan
homoseksual yang meninggal dunia. Ia pun menyusun teori yang intinya menyatakan penyakit
ini disebabkan oleh kegiatan seksual. Teori tersebut ditentang kelompok gay saat itu.

Sementara, pemerintah pun digambarkan tidak terlalu peduli dengan fenomena yang sedang ia
amati. Di sisi lain, kalangan ilmuwan Perancis dan Amerika Serikat justru sibuk berdebat tentang
siapa yang pertama menemukan virus yang kemudian dikenal dengan HIV tersebut.
Film keren yang dibintangi Matthew Modine dan Alan Alda ini banyak menuai pujian karena
mampu menggambarkan bagaimana kebijakan politik dan ekonomi yang serakah, secara global
telah memakan banyak korban jiwa.

Perayaan Halloween, San Fransisco 1981. Tercatat 160 kasus di AS, 88 mati. "tidak ada yg gay,
pada kanker gay" slogan Bobbi Campbell untuk mempertahankan komunitasnya.

Anda mungkin juga menyukai