Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SCABIES PADA DOMBA DAN KAMBING

PRODUKSI DOMBA DAN KAMBING

Disusun oleh :
Kelompok 5
Syifa Raina Puspita Rahayu (200610190008)
Gilang Riyaya (200610190015)
Muhammad Taufik Budiyatna (200610190021)
Neni Prestiani (200610190022)

FAKULTAS PETERNAKAN
PROGRAM STUDI DILUAR KAMPUS UTAMA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
PANGANDARAN
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha kuasa, kami panjatkan puji beserta
syukur atas kehadirat-Nya yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Scabies Domba dan Kambing” ini
untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahan Pakan dan Pemberian Rasum.

Penyusunan makalah ini juga tak luput dari kontribusi beberapa pihak yang terlibat,
untuk itu kami mengucapkan terimakasih. Kami menyadari betul jika makalah ini jauh dari
kata sempurna, maka dari itu, penyusun meminta kritik dan saran yang membangun untuk
penyempurnaan makalah ini. Atas segala perhatiannya, penyusun mengucapkan terimakasih.

Pangandaran, 12 April 2021


DAFTAR ISI

BAB
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
I. PENDAHULUAN.........................................................................................................................4
1. 1 Latar Belakang........................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................................................5
II. PEMBAHASAN............................................................................................................................6
2.1 Pengertian Scabies.......................................................................................................................6
2. 2 Penyebab Scabies.......................................................................................................................6
2.3 Penyebaran Serangan Scabies......................................................................................................6
a) Prevalensi serangan kudis pada domba dan kambing selama bulan-bulan yang berbeda dalam
setahun...........................................................................................................................................6
b) Prevalensi serangan kudis pada domba dan kambing pada musim yang berbeda......................7
c) Prevalensi kudis pada domba dan kambing di berbagai daerah di provinsi Menufia.................7
2.4 Faktor yang mempengaruhi Scabies............................................................................................7
a) Usia Bendungan.........................................................................................................................7
b) Usia Keturunan..........................................................................................................................7
c) Tipe Kelahiran...........................................................................................................................8
d) Musim.......................................................................................................................................8
e) Interleukin 12............................................................................................................................8
f) Parameter Genetik......................................................................................................................9
g) Seks...........................................................................................................................................9
2.5 Pengendalian Kudis pada Domba dan Kambing..........................................................................9
2.6 Potensi Protein Antigenik Sarcoptes scabieis sebagai Kandidat Diagnostik Serologis untuk
Kudis pada Kambing.........................................................................................................................9
2.7 Ekspresi Sitokeratin pada Lesi Kulit Normal dan Kudis Domba yang Terinfeksi Secara Alami
.........................................................................................................................................................10
III. PENUTUP...............................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................10
3.2 Saran..........................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................10
I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Populasi domba dan kambing di Indonesia cukup tinggi dan umumnya dipelihara
secara tradisional oleh petani dalam skala kepemilikan kecil. Sebagian besar kambing yang
dipelihara petani adalah jenis kambing lokal (kambing kacang) yang mempunyai sifat
reproduksi yang tinggi, tetapi bobot badan relatif rendah berkisar 18-25 kg. Kondisi usaha
peternakan kambing selama ini kurang berkembang karena pengembangan produksi
peternakan didasarkan pada pendekatan komoditas yang kerap kali tidak efesien serta kurang
mampu mendorong peningkatan, pendapatan dan kesejahteraan petani (BPS Sul-sel, 2010).
Peternakan kambing khususnya di daerah-daerah terpencil kurang mendapatkan perhatian
dari pemerintah karena jarak transportasi yang jauh. Masyarakat hanya mengandalkan tradisi
dan budaya yang telah turun-temurun dalam proses peternakan mereka. Peternakan yang ada
di daerah kurang mengenali penyakit pada hewan ternak
Penyakit tersebut dapat mempengaruhi dan menghambat sistem perekonomian pada
peternakan kambing (Subekti, 2007). Penyakit parasitik merupakan salah satu faktor yang
dapat menurunkan produktivitas ternak. Parasit bertahan hidup dalam tubuh hospes dengan
memakan jaringan tubuh, mengambil nutrisi yang dibutuhkan dan menghisap darah hospes.
Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan, pertumbuhan yang lambat,
penurunan daya tahan tubuh dan kematian hospes. Ternak yang terinfeksi parasit biasanya
mengalami kekurusan sehingga mempunyai nilai jual yang rendah (Khan dkk., 2008).
Scabies merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di Indonesia dan
cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang
ditandai dengan gejala khas yaitu gatal pada kulit dan akhirnya mengalami kerusakan pada
kulit yang terserang. Parasit Sarcoptes scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan
terutama pada bagian kulit, yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit dan
mengganggu kesehatan masyarakat. Penyakit ini di golongkan penyakit hewan yang menular
pada manusia atau zoonosis (Iskandar, 2000).
Parasit Sarcoptes scabiei telah lama dikenal dan pertama kali ditemukan sebagai
penyebab penyakit scabies oleh Bonoma dan Cestoni pada tahun 1689. Literatur lain
menyebutkan bahwa scabies telah diteliti pertama kali oleh Aristotle dan Cicero dengan
menyebutnya sebagai “lice in the Flesh”. Sejauh ini dilaporkan terdapat lebih dari empat
puluh spesies dari tujuh belas famili dan tujuh ordo mamalia yang dapat terserang scabies,
termasuk manusia, ternak hewan kesayangan dan hewan liar. Masalah scabies masih banyak
ditemukan di seluruh dunia, terutama pada negara-negara berkembang dan industri.
Rendahnya tingkat higienitas dan sanitasi serta sosial ekonomi manjadi faktor pemicu
penyakit ini. Kondisi kekurangan air atau tidak adanya sarana pembersih tubuh, kekurangan
makanan dan hidup berdesakan semakin mempermudah penularan penyakit scabies dari
penderita sehat ke yang sakit (Anonim, 2012). 2 30 Semua hewan ternak dapat terserang
scabies, namun predileksi serangan scabies pada tiap-tiap hewan berbeda; pada kerbau di
punggung, paha, leher, muka dan daun telinga sedangkan kelinci disekitar mata, hidung, jari
kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh apabila bersifat kronis dan kambing sekitar
punggung, telinga dan seluruh tubuh. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kambing
dibandingkan pada domba. Prevalensi scabies pada kambing di Kabupaten Ponorogo
dilaporkan sebesar 12 % sedangkan pada domba 2 %. Pada periode Juni-Juli di Pulau
Lombok tercatat 2.000 dari 50.000 ekor kambing (4 %), 1.000 ekor (50 %) diantaranya mati.
Scabies pernah menyerang 36,4% kambing di Sumatra Barat (Manurung, 2001). Menurut
data dinas setempat tingkat kejadian scabies pada tahun 2013, di 2 Kecamatan di Kabupaten
Bulukumba pernah di laporkan 5 kasus scabies pada kambing yaitu; Kecamatan Bontotiro 2
kasus dan Kecamatan Gantarang 3 kasus, tetapi tingkat kejadian scabies ditahun sebelumnya
yakni tahun 2009-2011 pernah dilaporkan beberapa kasus kejadian scabies khususnya di
Kecamatan Bontotiro. Kambing yang terkena penyakit scabies kurang mendapatkan perhatian
dari pemlik ternak. Pemilik ternak cenderung mengobati sendiri ternaknya dengan obat-
obatan tradisional, sehingga informasi kejadian scabies tidak diketahui oleh dinas setempat
(Puskeswan Bulukumba, 2013) Dengan melihat jumlah kasus penyakit scabies yang terjadi
pada kambing dan kurangnya pelaporan terhadap kasus tersebut, maka peneliti tertarik
melakukan penelitian di Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Penelitian ini
diharapkan menjadi bahan referensi atau menjadi informasi tentang penyakit scabies pada
kambing serta memudahkan pengendalian penyakit scabies.

1.2 Rumusan Masalah


1. Dapat mengetahui apa itu Scabies
2. Dapat mengetahui penyebab Scabies
3. Dapat mengetahui penyebaran Scabies
4. Dapat mengetahui faktor yang mempengaruhi Scabies
5. Dapat mengetahui pengendalian Scabies
6. Dapat mengetahui potensi protein antigenik Sarcoptes pada Scabies
7. Dapat mengetahui ekspresi Sitokeratin pada lesi kulit normal dan scabies domba yang
terinfeksi secara alami

1.3 Tujuan Penelitian


1. Apa itu Scabies?
2. Apa saja penyebab Scabies?
3. Bagaimana penyebaran Scabies pada Domba dan Kambing?
4. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi terjadinya Scabies?
5. Bagaimana cara pengendalian Scabies pada Domba dan Kambing?
6. Bagaimana potensi protein antigenik Sarcoptes pada Scabies?
7. Bagaimana ekspresi Sitokeratin pada lesi kulit normal dan scabies domba yang
terinfeksi secara alami?
II. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Scabies


Kudis (Scabies) adalah penyakit kulit penting yang dapat menyerang berbagai
hewan termasuk sapi, kambing, domba, kuda, babi, kelinci, dan anjing. Kulit yang sering
dijumpai pada ternak di Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini
disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gejala khas yaitu gatal
pada kulit dan akhirnya mengalami kerusakan pada kulit yang terserang. Parasit
Sarcoptes scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian kulit,
yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit dan mengganggu kesehatan
masyarakat. Penyakit ini di golongkan penyakit hewan yang menular pada manusia atau
zoonosis (Iskandar, 2000).

2. 2 Penyebab Scabies
Kudis adalah penyakit populer yang menyebar luas pada banyak orang di
berbagai negara dan semua jenis hewan yang tertular penyakit ini khususnya pada domba
yang membuang parasit seperti tungau atau kutu, itu jenis Psoroptes ovis dan Sarcoptes
scabiere yang menghinggapi kulit. Kudis domba merupakan infeksi kulit yang sangat
menular yang disebabkan oleh serangan tungau. Ini menyebabkan kerugian yang
signifikan dalam industri peternakan di negara-negara di mana kudis domba merupakan
penyakit endemik. Beberapa jenis infeksi kudis lainnya termasuk kudis kaki, kudis
gatal, kudis folikel dan kudis kepala. Gejala kudis domba termasuk
bersisik, berkerak, luka kekuningan, kerusakan kulit dan kehilangan wol. Tungau gatal
atau kudis memakan permukaan atau liang di dalam kulit, membuat terowongan yang
sangat ramping dan berliku dari panjang 0,1 hingga 1 inci. Infestasi menular dan
pengobatan semua hewan dalam kawanan sangat penting untuk mencapai
pengendalian . Penyakit menyebar ke orang-orang yang berhubungan dekat dengan
hewan yang terinfeksi .
2.3 Penyebaran Serangan Scabies

a) Prevalensi serangan kudis pada domba dan kambing selama bulan-bulan yang
berbeda dalam setahun
Hasil tabulasi menunjukkan bahwa prevalensi kudis pada domba tertinggi
(45,7%) terlihat pada bulan Agustus dan prevalensi tertinggi pada kambing (38%)
pada bulan April. Sebaliknya, prevalensi kudis pada domba terendah (13%) terjadi
pada bulan Februari dan prevalensi terendah pada kambing (12,8%) pada bulan
Desember.

b) Prevalensi serangan kudis pada domba dan kambing pada musim yang berbeda
Hasil menunjukkan bahwa selama musim dingin, 63 dari 450 (14%) domba
dan 37 dari 250 (14,8%) kambing ditemukan terinfeksi tungau. Selama musim semi,
110 dari 375 (29,3%) domba dan 56 dari 200 (28%) kambing ditemukan terinfeksi
tungau. Selama musim panas, 128 dari 350 (36,57%) domba dan 56 dari 175 (32%)
kambing ditemukan terinfeksi tungau. Selama musim gugur, 68 dari 325 (20,92%)
domba dan 26 dari 125 (20,8%) kambing ditemukan terinfeksi tungau.

c) Prevalensi kudis pada domba dan kambing di berbagai daerah di provinsi Menufia
Hasil menunjukkan bahwa di Shebein El-kom, 101 dari 375 (6,73%) pada
domba dan 43 dari 165 (5,73%) pada kambing masing-masing terinfeksi kudis. Di
Tala, 90 dari 350 (6%) pada domba dan 43 dari 170 (5,73%) pada kambing masing-
masing terinfeksi kudis. Di Menouf, 48 dari 240 (3,2%) pada domba dan 31 dari 115
(4,13%) pada kambing masing-masing terinfeksi kudis. Di Ashmoon, 70 dari 285
(4,67%) pada domba dan 30 dari 150 (4%) pada kambing masing-masing terinfeksi
kudis. Di El-Bagoor, 60 dari 250 (4%) pada domba dan 28 dari 150 (3,73%) pada
kambing masing-masing terinfeksi kudis.

2.4 Faktor yang mempengaruhi Scabies

a) Usia Bendungan
Studi menunjukkan bahwa infeksi usia bendungan mempengaruhi secara
signifikan (p> 0,05), hewan memiliki insiden yang lebih tinggi tingkat 0,78% selama
4-6 tahun dan menurun menjadi 0,59% untuk usia lebih tua lebih dari 6 tahun.
Penurunan angka kejadian di usia lanjut terjadi mungkin karena subjek-subjek ini
telah terinfestasi sebelumnya beberapa kali dan ini membuat tubuh mereka lebih tegar
parasit dan memungkinkan tubuh mereka untuk mengenali ini patogen awal mengarah
pada pengendalian penyakit ini.
b) Usia Keturunan
Usia tidak berdampak pada infestasi keturunan kudis dan tingkat insiden yang
lebih tinggi di antara hewan di antara 1-3 tahun 4 tahun yang mencapai 0,80% dan
0,73% masing-masing sedangkan insiden yang lebih sedikit adalah 0,56% untuk
mereka di bawah usia 1 tahun.

c) Tipe Kelahiran
Tipe kelahiran memiliki pengaruh yang signifikan (p> 0,05) ditemukan untuk
jenis kelahiran di induksi kudis, infeksi cenderung naik kelas untuk lajang dan lebih
rendah untuk anak kembar adalah 0,74% dan 0,54%.

d) Musim
Infeksi dipengaruhi secara signifikan (p> 0,05) oleh musim, tingkat insiden
yang lebih tinggi adalah 1,00% di musim semi dan 0,75% di Musim gugur di sisi
yang sama, infeksi cenderung turun kelas dalam kondisi dingin dan panas dengan
tingkat yang sama sebesar 0,53% dan 0,30%. Nuru dan Mhatbu (2017) mengatakan
bahwa musim dingin dan musim semi menyaksikan lebih banyak infeksi kudis dan
karena dingin yang cocok lingkungan untuk mengembangkan dan meningkatkan
parasit sementara di musim panas terbitnya sinar matahari untuk waktu yang lama,
yang mana kelembaban berkurang dan lumbung yang disterilkan. Penyebab
peningkatan infeksi di Musim Semi dan Musim Gugur mungkin karena hujan dan
kelembaban tinggi menyebabkan reproduksi serangga dan telurnya di kulit, lebih
banyak bulu domba menutupi kulit dan biarkan mereka tidak dilihat dan ini
berkembang infeksi, menurut musim panas, hewan bertebaran dengan anti-parasit dan
ini berkontribusi pada penurunan penyebaran penyakit.

e) Interleukin 12
Infeksi memiliki signifikansi yang tinggi dalam konsentrasi dari 1L – 12, yang
berkurang menjadi 0,08 NG / ML pada kondisi sehat hewan sementara meningkat
menjadi 0,28 ng / ml untuk infestasi. Peningkatan kadar IL-12 mungkin merujuk pada
parasit ekto tersebut memakan jaringan, darah juga protein epidermis Untuk bertahan
hidup, Sel T. dan CD + 4 secara dominan tersedia pada kulit yang terinfeksi kudis di
dinding pembuluh untuk lapisan dermis atas, yang menghasilkan fagosit dan sel
pembunuh alami yang dilepaskan INF-c yang membasmi sel T pro menuju T helper 1
yang menghasilkan IL-12 selain T pembantu 2 sel dalam kulit, yang merangsang
fagosit untuk menyerang parasit dan mengakibatkan kerusakan kulit, akhirnya
menimbulkan gejala kudis.

f) Parameter Genetik
Pengulangan infeksi kudis adalah 0,64, heritabilitas untuk infeksi dan
konsentrasi 1L-12 adalah 0,51 dan 0,12 masing-masing korelasi antara kudis dan
masing-masing usia bendungan, jenis kelahiran masing-masing adalah -0,225 dan
0,250 negatif (P> 0,05) sedangkan asosiasi tidak penting antara infeksi dengan
keturunan usia 0,147 dan seks 0.224. Di sisi yang sama, hubungan antara infeksi dan
level IL - 12 adalah 0,344. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa varian
genetik untuk kudis dengan nilai sedang (0,51) dan ini menunjukkan bahwa genetik
memiliki sebagian berperan dalam perlawanan terhadap penyakit ini, yang mana
diulangi dengan nilai 0.46 yang memungkinkan untuk memprediksi infeksi tergantung
pada waktu kejadian juga pemilihan hewan sehat dengan ketahanan tinggi terhadap
patogen.

g) Seks
Tidak ada efek seks pada infeksi kudis, yang mana terjadi antara jantan dan
betina dengan tingkat 0.85% dan 0,79%. Hasil saat ini disetujui dengan temuan Nuru
dan Mhatbu (2017), sementara kontras kepada Soundaravajan dkk. (2017) yang
mencatatkan rekor tertinggi efek positif untuk seks pada induksi kudis, itu persentase
adalah 35,14% untuk jantan lebih tinggi dari mereka, diterima untuk 22,37% di
betina, sementara 10% dan 5,9% di antara jantan dan betina domba Karakul di
Pakistan (Aatis et al, 2007)

2.5 Pengendalian Kudis pada Domba dan Kambing


Khasiat acaricides melawan kudis yang menyerang domba dan kambing
Efikasi deltametrin pada domba dan kambing sebagaimana terlihat pada tabel , 71,3%
dan 55,8% berturut-turut, efikasi diazinon pada domba dan kambing berturut-turut
adalah 81,1%dan 81,4%, sedangkan efikasi ivermektin pada domba dan
kambing. masing-masing adalah 83,3% dan 80,6%. 87,63% dan terakhir khasiat
diazinon plus ivermectin 94,7%.

2.6 Potensi Protein Antigenik Sarcoptes scabieis sebagai Kandidat Diagnostik Serologis
untuk Kudis pada Kambing
Hasil uji ELISA tidak langsung menunjukkan bahwa protein antigenik yang
teridentifikasi oleh sampel antibodi standar emas adalah protein berat molekul. 57,3 kDa.
Jumlah sampel sebanyak 40 sampel yang terdiri dari kontrol positif sebanyak 25 sampel
dan kontrol negatif sebanyak 15 sampel. Berdasarkan uji ELISA tidak langsung, nilai OD
dan titer antibodi digunakan sebagai dasar pengujian sensitivitas dan spesifisitas protein
dengan berat molekul 57,3 kDa. Hasil pengujian menunjukkan diagnostik serologis untuk
scabies pada kambing. Berdasarkan hasil penelitian Tarigan (2004a) bahwa kambing
terinfeksi S.scabiei menunjukkan respon IgG yang tinggi sepuluh hari setelah infeksi dan
tingkat IgG yang tinggi dapat dipertahankan hingga 20 hari setelah menerima ivermectin.
Antibodi tersebut mampu mengenali antigen dengan berat molekul menunjukkan tingkat
sensitivitas 95,4% dan tingkat spesifisitas 100% dan berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa uji ELISA digunakan untuk mendiagnosis dan mempelajari
epidemiologi skabies pada rubah merah dengan skabies biasa dan berkrusta.

2.7 Ekspresi Sitokeratin pada Lesi Kulit Normal dan Kudis Domba yang Terinfeksi
Secara Alami
Pada kulit normal, CKAE1 / AE3 dan CK34BE12 diekspresikan di semua
struktur epitel. CKMNF116 diekspresikan dalam lapisan stratumbasale dan 2e3 dari
stratum spinosum epidermis, di epitel folikel dan kelenjar apokrin. Ekspresi CK5 / 6
diamati pada lapisan epidermal stratum basale dan 1e2 lapisan stratumspinosum dan pada
selubung akar terluar dari folikel rambut dan sel my-oepithelial dari kelenjar apokrin.
Ekspresi CK14 diamati di stratum basale epidermis, di selubung akar luar folikel rambut
dan di kelenjar sebaceous. Pelabelan CK19 hanya terbatas pada kelenjar apokrin. Pada
kulit scabietic, CK34BE12 kehilangan ekspresi di stratum granulosum dan stratum
corneum, sedangkan CKMNF116 diekspresikan di semua lapisan stratum spinosum.
CK5 / 6 dan CK14 diekspresikan di sebagian besar lapisan stratum spino-sum dan di
bagian dalam. selubung akar dari folikel rambut. Tidak ada perbedaan perbandingan
yang terlihat untuk CKAE1 / AE3 dan CK19.

III. PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Kudis (Scabies) adalah penyakit kulit penting yang dapat menyerang berbagai
hewan termasuk sapi, kambing, domba, kuda, babi, kelinci, dan anjing. Penyakit ini
disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gejala khas yaitu gatal
pada kulit dan akhirnya mengalami kerusakan pada kulit yang terserang. Penyebaran
Scabies ini bisa terjadi karena adanya serangan yang terjadi setiap bulannya di dalam
satu tahun, lalu bisa terjadi dikarenakan musim yang berubah-ubah. Sementara itu, untuk
faktor penyebab terjadinya Scabies bisa disebabkan oleh Usia Bendungan, Usia
Keturunan, Tipe Kelahrian, Musim, Interleukin, Parameter Genetik, dan Seks,
Untuk Pengendalian Scabies sendiri bisa menggunakan acaricides melawan
kudis yang menyerang domba dan kambingEfikasi deltametrin pada domba dan kambing
sebagaimana terlihat pada tabel , 71,3% dan 55,8% berturut-turut, efikasi diazinon pada
domba dan kambing berturut-turut adalah 81,1%dan 81,4%, sedangkan efikasi
ivermektin pada domba dan kambing. masing-masing adalah 83,3% dan 80,6%. 87,63%
dan terakhir khasiat diazinon plus ivermectin 94,7%

3.2 Saran

Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan.
Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang
dapat dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

DAFTAR PUSTAKA

Asgar, H. A. (2010). Prevalence of Scabies Diagnosed in Sheep and Goats During Hajj Season in
Makkah. Agricultural and Veterinary Sciences, 37-43.

D.Doukas, Z. D. (2017). EXPRESSION OF CYTOKERATINS IN NORMAL SKIN AND SCABIES LESIONS OF


NATURALLY-INFECTED SHEEP. ESVP and ECVP, 54-141.

Khalafallah S, M. Y. (2020). Epidemiology and Control of mange in sheep and goat in Menofia
Governorate. pBenha Veterinary Medical , 111-116.

Nayyef, I. A. (2018). GENETIC PARAMETERS FOR SCABIES DISEASE AND RELATION WITH INTERLEUKIN
12 CONCETRATION IN SHEEP. Plant Archives.

Nunuk Dyah Retno Lastuti, D. C. (2001). The Potential of Antigenic Protein of Sarcoptes scabiei as a.
International Conference Postgraduate School.

Anda mungkin juga menyukai