Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningitis Ensefalitis merupakan penyakit yang menyerang sistem saraf. Kebanyakan
penyakit ini menyerang pada anak-anak. Banyak yang tidak mengetahui sesungguhnya kedua
penyakit ini berbeda meskipun sebenarnya mirip.
Meningitis adalah radang membran pelindung system saraf pusat. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh mikroorganisme, luka fisik, kanker, obat-obatan tertentu. Meningitis adalah
penyakit serius karena letaknya dekat dengan otak dan tulang belakang, sehingga dapat
menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran,bahkan kematian. Kebanyakan kasus meningitis
disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam
darah ke cairan otak.
Meningitis tergolong penyakit serius dan bisa mengakibatkan kematian. Data WHO
menunjukkan bahwa dari sekitar 1,8 juta kematian anak balita di seluruh dunia setiap tahun,
lebih dari 700.000 kematian anak terjadi di negara kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Di
Australia pada tahun 1995 meningitis yang disebabkan Neisseria meningitidis 2,1 kasus per
100.000 populasi, dengan puncaknya pada usia 0 – 4 tahun dan 15 – 19 tahun . Sedangkan kasus
meningitis yang disebabkan Steptococcus pneumoniae angka kejadian pertahun 10 – 100 per
100.000 populasi pada anak kurang dari 2 tahun dan diperkirakan ada 3000 kasus per tahun
untuk seluruh kelompok usia, dengan angka kematian pada anak sebesar 15%, retardasi mental
17%, kejang 14% dan gangguan pendengaran 28%.
Sedangkan ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus.
Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis, atau komplikasi
dari penyakit lain seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh bakteri).
Penyakit parasit dan protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic
meningoencephalitis, juga dapat menyebabkan ensefalitis pada orang yang sistem kekebalan
tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi karena otak terdorong terhadap tengkorak dan
menyebabkan kematian.
Di Hokkaido Jepang sepanjang tahun 1994-1995 terdapat 12 kasus acute onset brain
dysfunction yang secara klinis didiagnosis sebagai ensefalitis atau ensefalopati. Tidak ada
satupun dari ke 12 kasus ini yang memiliki riwayat penyakit kronis yang dapat memicu
komplikasi infeksi virus Influenza. Togashi melanjutkan penelitiannya selama kurun 1995 -2002
dan mendapatkan 89 penderita Influenza-associated acute encephalopathy (51 laki-laki, 38
perempuan). Usia rata-rata penderita 3,8 tahun (rentang usia 9 bulan – 12 tahun) ; 78,7% terjadi
pada usia 9 bulan hingga 5 tahun. Penyebab terbanyak adalah virus Influenza tipe A subtipe
H3N2. Insidens tertinggi acute onset brain dysfunction memiliki pola yang sama dengan insidens
tertinggi virus Influenza yang diisolasi dari pasien di Sapporo City General Hospital dan kasus
Influenza Like Illnesses yang dilaporkan di Hokkaido.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta didapatkan sebuah hasil bahwa
dari 95 penderita ensefalitis karena infeksi virus. Dalam penelitian yang menggunakan metode
yang spesifik dan sensitive yaitu ELISA diketemukan hanya 9 spesimen yang positif artinya
ensefalitis disebabkan oleh virus Japanese Encephalitis. Angka kematian untuk ensefalitis masih
tinggi, berkisar antara 35-50%. Penderita yang hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala
sisa yang melibatkan sistem saraf pusat yang dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatrik,
epilepsi, penglihatan atau pendengaran bahkan sampai sistem kardiovaskuler

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses pengkajian pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis?
2. Apakakah diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis?
3. Bagaimana perencanaan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis?
4. Bagaimana evaluasi pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis?

1.3  Tujuan
1. Mengetahui proses pengkajian pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
2. Mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
3. Mengimplementasikan perencanaan pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis
4. Mengetahui evaluasi pada pasien dengan gangguan meningitis ensefalitis        

1.4  Manfaat
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan meningitis
ensefalitis yang meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan dan evaluasi.
BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1 MENINGITIS
2.1.1 Definisi
Definisi dari meningitis adalah infeksi dari cairan yang mengelilingi otak
dan.spinal cord(Meningitis Foundation of America). Mengetahui meningitis disebabkan
oleh bakteri atau virus dapat membantu dalam menentukan keparahan penyakit dan
pengobatannya. Viral meningitisbiasanya kurang parah dan dapat sembuh tanpa
pengobatan spesifik, sementara bacterial meningitisbiasanya cukup parah dan dapat
menimbulkan kesusakan fungsi otak (Meningitis Foundation of America)
Meningitis adalah infeksi ruang subarakosid dan leptomeningen yang disebabkan
oleh berbagai organism pathogen. Meningitis adalah gangguan yang sangat serius yang
terus memiliki insidensi mortalitas dn morbiditas signifikan
Meningitis bakteri atau purulenta adalah bentuk yang paling penting di Amerika
Serikat dalam hal insidensi,gejala, usia dan akhirnya kehilangan kehidupan
produktif.Meningitis aseptic , yang biasanya disebabkan oleh virus lebih sering terjadi
namun gejala sisa yang bermakna jarang ditemukan dan penyakit besifat sembuh
spontan.Meningitis granulomatesa yang disebabkan oleh M tuberculosis ata jamur adalah
penyebab utama cedera neurologic dan kematian di bagian dunia yang lain.
Memingitis adalah kegawatdaruatan medis dengan kebutuhan segera terhadap
diagnosis yang cepat dan pemberian antibiotic yang tepat, serta tindakan suportif.Indeks
kecurigaan yang tinggi haeus selalu dipertahankan bila menentukan anak yang febris atau
anak yang mengalami perubahan status mental karena beberapa jam pertama perawatan
akan memberikan perbedaan yang sangat penting dalam prognosis. (Rudolph,2006)
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan
spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita,
2001).
 2.1.2 Klasifikasi dan etiologi meningitis
. 1. Meningitis bakterial
Meningitis bacterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang
susunan saraf pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan ke matian dan
kecacatan. Diagnosis yang cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan meningitis
bakteri (Pradana, 2009).
Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta (Mardjono, 1981).Pada umumnya
meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Pada meningitis
meningokokus, prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi
meningokokus terjadi di nasofaring. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari
otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut (Mardjono, 1981).
Etiologi dari mening itis bakterial antara lain (Roos, 2005):
1. S. pneumonie
2. N. meningitis
3. Group B streptococcus atau S. agalactiae
4. L. monocytogenes
5. H. influenza
6. Staphylococcus aureus

. 2. Meningitis tuberkulosa
Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di Indonesia
karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai
akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di paru. Terjadinya
meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh
penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel
pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah
kedalam rongga arakhnoid (Pradana, 2009).
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan
peningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama pada
batang otak tempat terdapat eksudat dan uberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan
elatinosa dapat menimbulkan obstruksi ada sisterna basalis (Pradana, 2009). Etiologi dari
meningitis tuberkulosa adalah Mycobacterium tuberculosis(Pradana, 2009)
3. Meningitis viral
Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir / sequel dari
berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, Mumps herpes simpleks,
dan herpes zooster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan pada
pemeriksaan cairan serebrospinal(CSS) tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi
terjadi pada korteks serebri, white matter, dan lapisan menigens. Terjadinya kerusakan
jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada herpes simpleks, virus ini akan
mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa enyebabkan gangguan
produksi enzim neurotransmiter, dimana hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel
dan akhirnya terjadi kerusakan neurologis (Pradana, 2009)
Etiologi dari meningitis viral antara lain :

Virus yang dapat menyebabkan meningitis (Swartz 2007)


COMMON
NONARTHROPOD VIRUSES
Picornavirus (RNA)
Enterovirus
Echovirus
Coxsackie A
Coxsackie B
nterovirus 70, 71
Poliovirus
Herpes
simplex type 2 (HSV-2) (DNA)
ARTHROPOD-BORNE VIRUSES (ARBOVIRUSES)
Togavirus (Alphavirus, RNA)
Eastern equine encephalitis (EEE)
Western equine encephalitis (WEE)
Venezuelan equine encephalitis (VEE)
Flavivirus (RNA)
St. Louis encephalitis (SLE)
West Nile virus (WNV)
Bunyavirus (RNA)
California encephalitis
UNCOMMON
Arenavirus (RNA)
Lymphocytic choriomeningitis (LCM)
Paramyxovirus RNA)
Mumps
Retrovirus (RNA)
Human Immunodeficiency virus (HIV-1)
RARE
Herpes virus (DNA)
Herpes simplex type 1 (HSV-1)
Epstein-Barr virus (EBV)
Cytomegalovirus (CMV)
Varicella-Zoster virus (VZV)
Human herpes virus type 6 (HHV-6)
Adenovirus (DNA)
Coltivirus (RNA)
Colorado tick fever
Bunyavirus (RNA)
Toscana virus (a Phlebovirus)

4.Meningitis jamur
Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang ditemukan,
namun dengan meningkatnya pasien dengan gangguan unitas, angka kejadian meningitis
jamur semakin meningkat. Problem yang hadapi oleh para klinisi adalah ketepatan
diagnosa dan terapi yang efektif. Sebagai contoh, jamur tidak langsung dipikirkan
sebagai penyebab gejala penyakit infeksi dan jamur tidaksering ditemukan dalam cairan
serebrospinal (CSS) pasien yang terinfeksi oleh karena jamur hanya dapat ditemukan
dalam eberapa hari sampai minggu pertumbuhannya (Pradana, 2009).
Etilogi dari meningitis jamur antara lain:
1. Cryptococcus neoformans
2. Coccidioides immitris
2.1.3  Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala meningitis secara umum:
1. Aktivitas / istirahat ;Malaise, aktivitas terbatas, ataksia, kelumpuhan, gerakan
involunter, kelemahan, hipotonia
2. Sirkulasi ;Riwayat endokarditis, abses otak, TD ↑, nadi ↓, tekanan nadi berat,
takikardi dan disritmia pada fase akut
3. Eliminasi ; Adanya inkontinensia atau retensi urin
4. Makanan / cairan ; Anorexia, kesulitan menelan, muntah, turgor kulit jelek,
mukosa kering
5. Nyeri / kenyamanan ; Sakit kepala hebat, kaku kuduk, nyeri gerakan okuler,
fotosensitivitas, nyeri tenggorokan, gelisah, mengaduh/mengeluh
6. Pernafasan ; Riwayat infeksi sinus atau paru, nafas ↑, letargi dan gelisah
7. Keamanan ; Riwayat mastoiditis, otitis media, sinusitis, infeksi pelvis,
abdomen atau kulit, pungsi lumbal, pembedahan, fraktur cranial, anemia sel
sabit, imunisasi yang baru berlangsung, campak, chiken pox, herpes simpleks.
Demam, diaforesios, menggigil, rash, gangguan sensasi.

2.1.3 Patofisiologi
Secara umum patofisiologi dari mening itis ada lah sebaga i berikut

Agen penyebab

Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarachnoid

Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, cairan serebrospinal, dan entrikuler

Eksudat menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologis
Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point
d’entrymasuknya kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses
otak yang pecah. Penyebab lainnya adalah adanya rhinorhea, otorheapada basis cranial
yang memungkinkan kontaknya CSS dengan lingkungan luar (Pradana, 2009).

1. Meningitis bakterial
Bacterial meningitis merupakan tipe meningitis yang paling sering terjadi.
Tetapi tidak setiap bakteri mempunyai cara yang sama dalam menyebabkan
meningitis. H. influenza dan N. meningitides biasanya menginvasi dan
membentuk koloni di sel-sel epitel faring. Demikian pula S. pneumonie, hanya
saja S. pneumonie dapat menghasilkan immunoglobulin A protease yang
mennonaktifkan antibodi lokal (Swartz, 2007).
Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah S. pneumonie
dan N. meningitis. Bakteri tersebut menginisiasi kolonisasi di nasofaring dengan
menempel di sel epitel nasofaring. Bakteri tersebut berpindah menyeberangi sel
epitel tersebut menuju ke ruang intravaskular atau menginvasi ruang intravaskular
dengan menciptakan ruang di tight unction dari sel epitel kolumnar. Sekali masuk
aliran darah, bakteri dapat mnghindari fagositosis dari neutrofil dan komplemen
dengan adanya apsul polisakarida yang melindungi tubuh mereka. Bloodborne
bacteria dapat mencapai fleksus koroideus intraventrikular, menginfeksi langsung
sel epitel fleksus koroideus, dan mencapai akses ke cairan serebrospinal.
Beberapa bakteri seperti S. pneumonie dapat menempel di sel endotelial kapiler
serebral dan bermigrasi melewati sel tersebut langsung menuju cairan
serebrospinal. Bakteri dapat bermultiplikasi dengan cepat di cairan serebrospinal
karena kurang efektifnya sistem imun di cairan serebrospinal (CSS). Cairan
serebrospinal(CSS)normal mengandung sedikit sel darah putih, sedikit protein
komplemen, dan immunoglobulin. Kekurangan komplemen dan immunoglobulin
mencegah opsonisasi dari bakteri oleh neutropil. Fagositosis bakteri juga
diganggu oleh bentuk cair dari cairan cerebrospinal itu sendiri (Roos, 2005).
Peristiwa yang penting dalam patogenesis meningitis bacterialadalah
reaksi inflamasi diinduksi oleh bakteri. Manifestasi-manifestasi neurologis yang
terjadi dan komplikasi akibat meningitis bacterial merupakan hasil dari respon
imun tubuh terhadap zat patogen yang masuk dibandingkan dengan kerusakan
jaringan langsung oleh bakteri. Sehingga cedera neurologis dapat terus terjadi
meskipun bakteri telah ditangani dengan antibiotik (Roos, 2005).
Lisis dari bakteri dan dilepaskannya komponen-komponen dinding sel di
ruang subaraknoid merupakan langkah awal dari induksi respon inflamasi dan
pembentukan eksudat di ruang subarakhnoid. Komponen dinding sel bakteri,
seperti molekul lipopolisakarida (LPS) bakteri gram negatif dan asam teikhoic
dan peptidoglikan S. pneumonie, menginduks i inflamasi selaput meningens
dengan menstimulasi produksi sitokin-sitokin inflamasi dan kemokin-kemokin
oleh mikroglia, astrosit, monosit, dan sel leuko sit CSS. Kemudian, setelah 1-2
jam LPS dilepaskan di cairan serebrospinal (CSS), sel sel endotelial dan
meningeal, makrofag, dan mikroglia akan mengeluarkan Tumor Necrosis
Factor(TNF) dan Interleukin-1(IL-1) (Swartz, 2007). Lalu kemudian setelah
dilepaskannya sitokin tersebut, akan terjadi peningkatan kandungan protein
CSSdan leukositosis. Kemokin (yang turut menginduksi migrasi leukosit) dan
berbagai sitokin inflamasi lainnya juga diproduksi dan diskresi oleh leukosit dan
jaringan yang diinduks i oleh IL-1dan TNF(Roos, 2005).
Kebanyakan patofisiologi dari bacterial meningitismerupakan akibat dari
meningkatnya sitokin CSSdan kemokin. TNFdan IL-1bekerja sinergis
meningkatkan permeabilitas Blood-Brain Barrier(BBB), yang mengakibatkan
edema vasogenik, bocornya protein serum ke ruang subarakhnoid. Eksudat di
ruang subarakhnoid mengganggu aliran CSS di sistem ventrikular dan
mengurangi reabsorbsi dari CSS di sinus dura, sehingga dapat menyebabkan
communicating edema dan concomitant interstitial edema(Roos, 2005).
2. Meningitis tuberkulosa

BTA masuk tubuh



Tersering melalui inhalasi, jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplika si

Infeksi paru/focus infeksi lain

Penyebaran homogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif/dorman Bila daya tahan tubuh lemah

Ruptur tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarakhnoid

Meningitis

Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (piamater


dan arakhnoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung
terkumpul di daerah basal otak (Pradana, 2009)
3. Meningitis viral
Ada 2 rute virus menyerang sistem saraf pusat manusia, yaitu
hematogenus (infeksi enterovirus) dan limfogenus (infeksi Herpes Simpleks Virus
(HSV)). Enterovirus pertama kali menuju ke lambung, bertahan dari keasaman
asam lambung, dan berlanjut ke saluran pencernaan di bawahnya lagi. Beberapa
virus bereplikasi di nasofaring dan menyebar ke kelenjar limfe regional. Setelah
virus menempel ke reseptor di enterosit, virus menembus lapisan epitelialnya dan
melakuka n replikasi di sel enterosit tersebut. Dari situ, virus menuju peyeatches,
dimana replikasi yang lebih lanjut terjadi. Kemudian dari situ viremia enterovirus
berkembang ke sistem saraf pusat (SSP), hati, jantung, dan sistem
retikuloendotelial. Dan kemudian virus bereplikasi dengan cepat di tempat-tempat
tersebut. Mekanisme enterovirus memasuki SSP diduga dengan cara menembus
BBBtight junctiondan memasuki cairan serebrospinal (CSS) (Swartz, 2007).

Berlawanan dengan enterovirus, infeksi HSV mencapai SSP dengan jalur


neuronal. Pada HSV-1 ensepalitis, virus masuk lewat jalur oral menuju nervus
trigeminal dan olfaktori, sedangkan di HSV-2 aseptic meningitis, virus menyebar
dari lesi genital menuju sacral nerve rootsmenuju meninges. Dari situ, HSV-2
menjadi fase laten dan menunggu untuk reaktivasi menjadi episode
aseptikmeningitis (Swartz, 2007)

4.Meningitis jamur
Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu,
meningitis kronis, vaskulitis, dan invasi parenkimal. Pada infeksi
Cryptococcaljaringan menunjukkan adanya meningitis kronis pada leptomeningen
basal yang dapat menebal dan mengeras oleh reaksi jaringan penyokong dan
dapat mengobstruksi aliran likuor dari foramen luschkadan magendi sehingga
terjadi hidrosepalus. Pada jaringan otak terdapat substansia gelatinosa pada ruang
subarakhnoid dan kista kecil di dalam parenkim yang terletak terutama pada
ganglia basalis pada distribusi arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri dari
agregasi atau gliosis. Infiltrat meningens terdiri dari sel-sel inflamasi dan
fibroblast yang bercampur dengan Cryptococcus. Bentuk granuloma tidak sering
ditemukan, pada beberapa kasus terlihat reaksi inflamasi kronis dan reaksi
granulomatosa sama dengan yang terlihat pada Mycobacterium
tuberculosadengan segala bentuk komplikasinya (Pradana, 2009)

 Pada meningitis bakteri ditemukan bebagai gangguan patofisiologi dan ini


mungkin terjadi sebagai akibat respon penjamu terhadap organisme
penginfeksi.Abnormalitas tersebut mungkin memainkan peran dalam berkembangnya
gejala usia neurologi pesca meningitis dan pemahaman atas hal ini merupakan hal yang
penting guna perawatan yang efektif bagi pasien meningitis.
Setela satu dekade menjalani studi intensif dengan model hewan suatu gambaran
luas mengenai dasar seluler dan molekuler perubahan patofisiologi ini telah
diperoleh.Begitu bakteri mencapai akses menuju ruang subaraknoid komponen-
komponen dinding sel bakteri (lipopolikardia , lipooligosakardika,asam telkost)
merangsang pembuatan sitokin proinflamotorik (TNF,II-Iß.II-6.PAF dan lain-lain. Ini
semua pada gilirannya akan meningkatkan pelekatan leukosit ke endotel pembuluh darah
otak meningkatkan permeabilitas sawar darah otak serta migrasi leukosit ke dalam ruang
subarakosid.Spesies oksigen derivate sel darah putih serta endotel dan mungkin
reaktivitas serebrovaskuler. Hal ini bersama dengan peningkatan tekanan intrakranium
mengakibatkan iskemia serebrum dan perubahan metabolism otak.
Edema serebrum mempresentasikan suatu kombinasi edema vasigenik,sitotoksik
dan intersitisial. Jika berat edema ini mengakibatkan peningkatan besar pada tekanan
intrakranium.
Abnormalitas metabolism otak meliputi hipoglikemia dan asidosis laktat CSS.
Kadar glukosa CSS yang rendah terjadi akibat terganggunya pengangkutan glukosa
melewati sawar darah otak dan mungkin akibat peningkatan penggunaan glukosa otak,
Asidosis laktat CSS mengidentifikasikan penggunaan glkosa secara anaerob si system
saraf pusat.
Perfusi otak terbukti menurun pada sekitar 30% anak penderita meningitis yang
telah menjalai penilaian darah otak . Disamping itu gangguan vasoreaktifitas serebrum ,
factor lain uang dapat mengakibatkan pengurangan erfusi mecakup vaskolitis serebrum
dan arteri atau vena.
Peningkatan tekanan intrakranium hampir selalu ditemukan pada meningitis dan
tidak turut meyebabkan penurunan tekanan perfusi otak , tetapi juga dapat menyebabkan
herniasi serebrum.Patogenesis peningkatan tekanan intrakranium bersifat multi factor dan
mencakup keterlibatan edema otak , peningkatan volume CSS dan abnormalitas aliran
darah sererum
Sawar darah otak terdiri atas pleksus konideus, mikrovaskulator sererumdn
membrane araksoid , memperlihatkan penigkatan permeabilitas dalam
meningitis,Mikroskopi electron telah memperlihatkan bahwa taut-taut ketat pada venula
serebrum menjadi terpisah pada meningitis sehingga memungkinkan masukya
makromolekul dan elemen sel dari kapiler serebrum ke dalam ruang intersisial.
Meskipun banyak pasien meningitis memiliki keluaran neurologic yang baik
dengan upaya suportif standart dan antibiotic pasien dengan gangguan system saraf pusat
yang lebih berat membutuhkan perawatan yang lebih intensif.(Rudolph ,2006)

2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak.
Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa Lumbal
Pungsi. Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan
protein.cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan intra
kranial..
1. Meningitis bacterial: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan
protein meningkat, glukosa menurun, kultur posistif terhadap beberapa jenis
bakteri.
2. Meningitis virus : tekanan bervariasi, CSF jernih, leukositosis, glukosa dan
protein normal, kultur biasanya negative.
Kaku kuduk pada meningitis bisa ditemukan dengan melakukan pemeriksaan
fleksi pada kepala klien yang akan menimbulkan nyeri, disebabkan oleh adanya iritasi
meningeal khususnya pada nervus cranial ke XI, yaitu Asesoris yang mempersarafi otot
bagian belakang leher, sehingga akan menjadi hipersensitif dan terjadi rigiditas.
Sedangan pada pemeriksaan Kernigs sign (+) dan Brudzinsky sign (+)
menandakan bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian bawah.
Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat diatas
nilai normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya
ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi. Kadar glukosa darah dibandingkan
dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari
nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun
dari nilai normal.
Glukosa serum: meningkat (meningitis) LDH serum: meningkat (meningitis
bakteri) Sel darah putih: sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
Elektrolit darah: Abnormal ESR/LED: meningkat pada meningitis MRI/CT-scan: dapat
membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah
serebral, hemoragik atau tumor.
Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine: dapat mengindikasikan daerah pusat
infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.Ronsen dada/kepala/ sinus: mungkin
ada indikasi sumber infeksi intra kranialArteriografi karotis : Letak abses

2.1.5 Komplikasi
Komplikasi serta sequelle yang timbul biasanya berhubungan dengan proses
inflamasi pada meningen dan pembuluh darah cerebral (kejang, parese nervus cranial,lesi
cerebral fokal, hydrasefalus) serta disebabkan oleh infeksi meningococcus pada organ
tubuh lainnya (infeksi okular, arthritis, purpura, pericarditis, endocarditis, myocarditis,
orchitis, epididymitis, albuminuria atau hematuria, perdarahan adrenal). DIC dapat terjadi
sebagai komplikasi dari meningitis. Komplikasi dapat pula terjadi karena infeksi pada
saluran nafas bagian atas, telinga tengah dan paru-paru, Sequelle biasanya disebabkan
karena komplikasi dari nervous system.

2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan efektif untuk meningitis tergantung pada terapi suportif agresif
yang dini dan pemilihan antibiotika empiric yang tepat untuk kemungkinan pathogen.
Tindakan suportif umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi
intrakranium berat.Pasien koma atau dengan gangguan reflex muntah harus dikosongkan
isi lambungnya dan dipertimbangkan untuk intubasi guna untuk melindungi jalan
napasnya.Hipoksia harus di tanggulangi dengan pemberian oksigen.Hiperventilasi
merupakan kondisi yang secara khusus mencemaskan pada kasus meningitis karena
peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi serebrum dan meningkatkan tekanan
intrakranium.Hiperkabia harus dipikirkan sebagai indikasi lain untuk intubasi dan
bantuan pernafasan.
Pengelolaan cairan sangat penting bagi pasien meningitis.Sindrom sekresi
hormone antidiuretikyang tidak tepat (SIADH, syndrome of inppopriate antidiuretic
hormone secretion) terjadi pada sekitar 30% pasien meningitis, dan jika ditemukan harus
dilakukan pembatasan cairan Meskipun demikian,sebuah studi klinis telah membuktikan
pentingnya menjaga tekanan perfusi otak yang adekuat pada penyakit ini. Pembatasan
cairan secara tidak tepat dapat menimbulkan deplsi volume, yang jika ekstrem dapat
menuju pada ketidakadekuatan volume sirkulasi. Sebaiknya, cairan mula-mula dibatasi
sementara menunggu pemeriksaan ekudat urine dan serum bila terdapat SIADH
pembatasan cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan tindakan yag
tepat, sampai kelebiha hormone antidiuretik pulih, bila tidak terdapat SIADH cairan
harus diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan jumlah kehilangan cairan dan elektroli
dewasa secara seksama.
Terapi peningkatan tekanan intrakranium harus diarahkan pada pemeliharan
derajat tekanan perfusi otak yang adejuat , seperti pada kondisi lain yang dipersulit oleh
hipertensi intrakranium.Cara yang adabisa termasuk hiperventilasi, pengambilam CSS
melalui kateter intraventrikel atau mungkin pemakaian obat diuretic osmotic secara hati-
hati.
Pada kecurigaan meningitis ,antibiotic intravena diberikan secara empirik
sementara menunggu hasil biakan.Pemilihan antibiotic awal didasarkan pada
kemungkinan atogen menurut kelopok usia, pajanan yang diketahui dan setiap factor
resikoyang tidak lazim pada pasien,Prinsip terapi antimikroba meningitis mencakup
pemilihan antibiotic yang bersifat bekterisid terhadap pathogen yang dicurigai dan yang
mampu mencapai konsentrasi CSS setidaknya sepuluh kali konsentrasi bakterisid
minimal untu organism tersebut karena inilah konsentrasi yang dalam penelitian hewan
telah terbukti berkonfasi dengan sterilisasi CSS yang efektif.Anjuran pilihan untuk terapi
aseptic empiric disajikan dalam table 6-26
Terapi harus dipersempit dengan benar bila tersedia data sensitivitas.Selain terapi
antibiotic , penelitian klinis terbaru memperlihatkan sejumlah perbaikan pada keluaran
neurologi setelah pemberian kortikosteroid dan untuk anak dengan meningitis bakteri
Deksamenton 0,15 mg/lg per dosis, diberikab serentak dengan penatalaksanaan
antibiotic , dan diteruskan selama 6 jam selama 4 hari. Lama terapi adalah 14 hari untuk
meningitis neonatus yang disebabkan oleh streptokokus grup b dan 21 hari utyk organism
enteric gram negative.Pengobatan meningitis pada bayi lebih tua atau anak harus selama
7 hari untuk n meningituilid dan h influenza dan 10-14 hari untuk s. pneunimuxiae
(Rudolph ,2006)

Table 8-28 anjuran pilihan antibiotic empiric untuk pasien dengan mrningitis purulenta
Neonatus < 7 hari
amprresilin (100 mg.kg/hr terbagi q12)
Dan
Aminoglikosida (5.0 mg.kh/ht terbagi q12)
Atau
Ampisilin dan setotaksin (100 mg/kg.hr terbagi q12)
Neonatus >7 hari
-ampisilin (150 mg/kg/kr terbagi q8)
Dan
Aminoglikosida (7,5 mg.kh/ht terbagi q8)
Atau
Ampisilin dan setotaksin (100 mg/kg.hr terbagi q)
Bayi 1-3 bulan’
Ampisilin (300 mg/kg.hr terbagi q6)
dan
setotaksin (200 mg/kg.hr terbagi q6)
Bayi >3 bulan
setotaksin (200 mg/kg.hr terbagi q6j)
dan
seftriakson (100 mg/kg.hr terbagi q12)
anak >6 taun
penisilin G(300,000 unit/kg q4) bila dicurigai influinzae berdasaekan perwarnaan gram atau
metodedeteksi antigen , gunakkan regimen yang digariskan untuk bayi)
atau
seftriakson (100 mg/kg.hr terbagi q12)
PATHWAY MENINGITIS

MK: NYERI
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1    Pengkajian Meningitis


Pengkajian keperawatan meningitis tergantung pada tingkat yang luas pada usia anak-
anak. Gambaran klinis juga dipengaruhi oleh beberapa tingkat tipe organisme dan efektivitas
tetapi terhadap penyakit yang mendahuluinya. Berikut ini pengkajian keperawatan berdasarkan
golongan usia tumbuh kembang anak.
 Riwayat Kesehatan Masa Lalu.
Mencakup beberapa pertanyaan sebagai berikut :
- Apakah pernah menderita inpeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
- Apakah pernah mengalami prosedur neurosurgital
- Apakah pernah menderita trauma yang mencederai kepala
- Adakah kelainan bawaan (spina bifida)
- Bagaimana riwayat kesehatan ibu selama hamil
- Bagaimana riwayat kesehatan keluarga
- Bagaimana riwayat imunisasi, dll.
Neonatus
Meningitis pada bayi baru lahir dan bayi prematur benar-benar sulit untuk didiagnosa.
Manifestasinya samar-samar dan tidak spesifik. Bayi-bayi ini biasanya tampak sehat ketika lahir,
tetapi dalam beberapa hari kemudian tampak mulai melemah. Mereka tidak mau makan,
kemampuan mengisap buruk, bisa muntah atau diare. Tonus otot melemah (hipotonus), kurang
gerak, tangisan melemah. Tanda-tanda lain yang nonspesifik yang dapat muncul meliputi
hipotermia atau demam (bergantung pada kematangan bayi), ikterik, mudah terangsang,
mengantuk, kejang, napas tidak teratur, apnea, sianosis, dan berat badan menurun. Ubun-ubun
menonjol, tegang dapat muncul atau tidak sampai akhir perjalanan penyakit. Bila tidak diobati
kondisi anak cenderung menurun hingga kolaps sistem kardiovaskuler, kejang, dan apnea.
Bayi dan Balita
Gambaran klasik meningitis jarang terlihat pada anak-anak usia 3 bulan – 2 tahun.
Penyakit ini ditandai secara khas dengan demam, tidak nafsu makan muntah, peka terhadap
rangsangan, serangan kejang berulang, yang disertai tangisan merintih. Ubun-ubun besar yang
menonjol merupakan penemuan yang paling bermakna dan kaku kuduk dapat muncul/tidak.
Tanda-tanda Brudzinski dan Kernig biasanya tidak membantu diagnostik karena sulit untuk
menemukannya dan mengevaluasinya pada anak-anak usia ini.
Anak dan Adolesens
Timbulnya penyakit mungkin tiba-tiba, demam, sakit kepala, muntah yang disertai
/dengan cepat diikuti oleh perubahan sensoris. Sering kali gejala awal nya berupa kejang yang
berulang karena penyakitnya memburuk. Anak jadi mudah terangsang, gelisah, dan dapat
berkembang menjadi fotofobia, delirium, halusinasi, kelakuan yang agresif/maniak, mengantuk,
stupor, bahkan koma. Kadang-kadang datangnya gejala perlahan-lahan, sering kali didahului
oleh gejala-gejala gastrointestinal selama beberapa hari.Kadang-kadang infeksi sebelumnya yang
telah diobati menutupi atau memperlambat tanda-tanda meningitis.Anak menolak fleksi dari
leher dan karena penyakit bertambah buruk, leher menjadi kaku kuduk sampai kepalanya tertarik
kebelakang / hiperekstensi (opitotonus). Tanda Kernig positif, Brudzinski positif. Respons-
respons refleks bervariasi, meskipun mereka memperlihatkan hiperaktivitas. Kulit mungkin
dingin dan sianotik dengan perfusi perifer yang buruk.

PENGKAJIAN MININGITIS

1. Riwayat: Mengalami infeksi saluran pernapasan atau infeksi telinga, kontak


dengan pasien rinitis. Pneumonia dan otitis media seringkali
mendahului pneumokokus dan hemofilus miningitis.
2. Gejala subjektif: Sakit kepala yang hebat, nyeri otot, kaku kuduk, sakit punggung,
dingin, ekspresi rasa takut. Tidak enak badan dan mudah
terangsang.
3. Suhu tubuh: 38– 41° C, dimulai pada fase sistemik, kemerahan, panas, kulit
kering,berkeringat.
4. Tanda Vital: Nadi lambat sehingga intra kranial meningkat dan Tekanan Darah
meningkat.
5. Tingkat kesadaran: Mula-mula sadar kemudian delirium dan akhirnya Koma.
6. Persarafan: Perubahan refleks. Tidak adanya refleks dinding abdomen, tidak
adanya refleks kremasterik pada laki-laki, gangguan refleks
tendon. Kaku kuduk. Tanda Brudzinski positif, tanda Kernig
positif. Ubun-ubun besar menonjol (bayi).
7. Cairan & Elektrolit: Turgor kulit jelek, berkurangnya output urin.
8. Muskuloskeletal Meningokoksemia kronik : bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar
(khususnya lutut dan pergelangan kaki).
9. Kulit: Meningokoksemia:Ptekia dan lesipurpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit
yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada wajah dan
ekstremitas.

3.2  Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
2. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral yang
mengubah/menghentikan darah arteri/virus
3. Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan
umum.
4. Resiko tinggi gangguan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
5. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan myelin pada akson
6. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.

3.3  Intervensi
Diagnosa 1 : Nyeri akutberhubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi
Tujuan : Nyeri klien berkurang
Kriteria Hasil : Skala nyeri menjadi > 4                     
Intervensi Rasional
Mandiri
      Letakkan kantung es pada kepala, pakaian Meningkatkan vasokonstriksi, penumpukan
dingin di atas mata, berikan posisi yang resepsi sensori yang selanjutnya akan
nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan menurunkan nyeri.
rentang gerak aktif atau pasif dan masase otot
leher.
      Dukung untuk menemukan posisi yang Menurunkan iritasi meningeal, resultan
nyaman(kepala agak tinggi). ketidaknyamanan lebih lanjut.
      Berikan latihan rentang gerak aktif/ pasif. Dapat membantu merelaksasikan
ketegangan otot.
      Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher Meningkatkan relaksasi otot dan
atau pinggul. menurunkan rasa sakit/ rasa tidak nyaman
Kolaborasi Mungkin diperlukan untuk menghilangkan
      Berikan anal getik, asetaminofen, codein nyeri yang berat

Diagnosa 2 : gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema


serebral yang mengubah/ menghentikan darah arteri
Tujuan : Perfusi jaringan menjadi adekuat
Kriteri hasil : Kesadaran kompos mentis  
Intervensi Rasional
Mandiri  Perubahan tekanan CSS mungkin
1. Tirah baring dengan posisi kepala datar. merupakan potensi adanya resiko herniasi
batang otak yang memerlukan tindakan
medis dengan segera
      Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah Aktivitas seperti ini akan meningkatkan
mengejan. tekanan intratorak dan intraabdomen yang
dapat men9ingkatkan TIK.
Kolaborasi.  Peningkatanaliran vena dari kepal akna
      Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat. menurunkan TIK
      Berikan cairan iv (larutan hipertonik, Meminimalkan fluktuasi dalam aliran
elektrolit ). vaskuler dan TIK.
      Berikan obat : steroid, clorpomasin, Menurunkan permeabilitas kapiler untuk
asetaminofen membatasi edema serebral, mengatasi
kelainan postur tubuh atau menggigil yang
dapat meningkatkan TIK, menurunkan
konsumsi oksigen dan resiko kejang
Diagnosa 3 : Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kejang umum/local.
Tujuan             : Mengurangi risiko cidera akibat kejang
Kriteria hasil : Tidak ditemukan cidera selama kejang
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Pertahankan penghalang tempat tidur tetap Melindungi pasien bila terjadi kejang
terpasang dan pasang jalan nafas buatan
2. Tirah baring selama fase akut Menurunkan resiko terjatuh/trauma ketika
terjadi vertigo, sinkop, atau ataksia
Kolaborasi
      Berikan obat : venitoin, diazepam, Merupakan indikasi untuk penanganan dan
venobarbital. pencegahan kejang
Diagnosa 4 : Resiko tinggi gangguan nutrisi berhubungan dengan kesulitan
mengunyah dan sulit makan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dalam waktu 5 x 24 jam.
Kriteria hasil : Turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kkebutuhan, terdapat
kemampuan menelan, berat badan meningkat, Hb dan albumin dalam
batas normal.
Intervensi Rasional
Observasi tekstur dan turgor kulit. Mengetahui status nutris klien.
Lakukan oral higiene. Kebersihan mulut merangsang nafsu
makan.
Observasi asupan dan keluaran. Mengetahui keseimbangan nutrisi klien.
Observasi posisi dan keberhasilan sonde. Untuk menghindari resiko infeksi/iritasi.
Tentukan kemampuan klien dalam Untuk menetapkan jenis makanan yang
mengunyah, menelan dan refluks batuk. akan diberikan pada klien.
Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk Dengan mengkaji faktor-faktor tersebut
dan adanya sekret. dapat menentukan kemampuan menelan
klien dan mencegah resiko aspirasi.
Auskultasi bising usus, amati penurunan atau Bising usus menentukan respon
hiperaktivitas bising usus. pemberian makan atau terjadinya
komplikasi, misalnya pada ileus.
Timbang berat badan sesuai indikasi. Untuk mengevaluasi efektivitas dari
asupan makanan.
Berikan makanan dengan cara meninggikan Menurunkan resiko regurgitasi atau
kepala. aspirasi.
Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka Membantu dalam melatih kembali
mulut secara manual dengan menekan ringan sensorik dan meningkatkan kontrol
di atas bibir/di bawah dagu jika dibutuhkan. muskular.
Letakkan makanan pada daerah mulut yang Memberikan stimulasi sensorik
tidak terganggu. (termasuk rasa kecap) yang dapat
mencetuskan usaha untuk menelan dan
meningkatkan maskan.
Berikan makan per oral setengan cair dan Makanan lunak/cair mudah untuk
makanan lunak ketika klien dapat menelan air. dikendalikan di dalam mulut dan
menurunkan terjadinya aspirasi.
Anjurkan klien menggunakan sedotan untuk Menguatkan otot fasial dan otot menelan
minum. dan menurunkan resiko terjadinya
tersedak.

Diagnosa 5 : Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan myelin


pada akson.
Tujuan : Meminimalkan perubahan persepsi sensori
Kriteria : Klien dapat mengontrol emosi dirinya
Intervensi Rasional
Mandiri  Menurunkan ansietas, respons emosi yang
1. Hilangkan suara bising yang berlebihan. berlebihan/bingung yang berhubungan dengan
sensorik yang berlebihan
      Validasi persepsi pasien dan berikan umpan Membantu pasien untuk memisahkan pada
balik. realitas dari perubahan persepsi
      Beri kesempatan untuk berkomunikasi dan Menurunkan frustasi yang berhubungan dengan
beraktivitas. perubahan kemampuan/pola respons yang
memanjang
Kolaborasi ahli fisioterapi Pendekatan antardisiplin dapat menciptakan
      Terapi okupasi, wicara dan kognitif. rencana penatalaksanaan terintegrasi yang
didasarkan atas kombinasi
kemampuan/ketidakmampuan secara individu
yang unik dengan berfokus pada fungsi fisik,
kognitif, dan keterampilan perceptual

Diagnosa 7 : Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.


Tujuan : suhu tubuh kembali normal.
Kriteria hasil : suhu tubuh 36,5 - 37,5 ° C
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Berikan kompres hangat 1.Pengeluaran panas secara konduksi
2. Anjurkan klien untuk menggunakan baju 2. Pengeluaran panas secara evaporasi
yang tipis. 3.Menentukan keberhasilan tindakan
3. Observasi Suhu tubuh klien
Kolaborasi dengan dokter
      Berikan obat penurun panas. Membantu menurunkan suhu tubuh

3.4 Evaluasi
1. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen atau
keterlibatan orang lain.
2. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/sensorik,
mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
3. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
4.  Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu
tidur/istirahat dengan tepat.
5. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
6. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan
pengetahuan tentang situasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, M. Rudolph., 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 20. Volume 1. Jakarta: EGC
Blackwell,Wiley,2015-2017.NANDA Intenational ,Inc NURSING
DIAGNOSIS;Definition&Clasiffication;edition;edited,T Heather Herdman,Shigemi
Kamitsuru;Oxford
Doenges M, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Lwang, Donna. Keperawatan Pediatrik. Penerbit: Buku Kedokteran
Manjoer Arif. 2000. Kapita Selecta, Jilid III. Penerbit: Mendra Aescylapius Fakultas Kedokteran
UI: Jakarta
Mutaqqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Salemba Medika: Jakarta
Pradhana, D., 2009. Referat Meningitis. Kepaniteraan Klinik Ilmu enyakit Saraf Rumah Sakit
Umum Daerah Budhi Asih. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta
Roos, K.L., Tyler, K.L., 2005. Meningitis,Encephalitis, Brain Abscess, and
Empyema. In: Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S., Hauser, S.L., ongo, D.L., and Jameson,
J.L. Harrison’s Principles of Internal Medicine
. 16thed. New York: McGraw-Hill, 2471-2490.
Suriadi, Rita Yuliani. 2006. Asuhan keperawatan pada Anak Ed.2. Jakarta: Percetakan Penebar
Swadaya
Soedarmo,et al.(2008).Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi 2.Jakarta:Ilmu Kesehatan Anak
FKUI
Swartz, M.N., 2008. Meningitis: Bacterial, Viral, and Other. In: Goldman, L., Ausiello, D., Cecil
Medicine. 23rded. Philadelphia: Saunders Elsevier
Tarwoto, dkk.2007.Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: Sagung
Seto.
Wilkinson & Ahem,2011.Buku Saku Diagnosa Keperawatan :Diagnosa Keperawatan : Diagnosa
NANDA, Intervensi NIC , Kriteria Hasil NOC , Alih bahasa ,Esty Wahyuningsih; editor edisi
bahasa Indonesia dari Widiarti.Edisi 9 ,Jakarta:EGC,2005

2.2 ENSEFALITIS
2.2.1 Definisi 
   Ensefalitis menurut Mansjoer dkk,(2000) adalah radang jaringan otak yang
dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, protozoa. Sedangakan meurut Soedarmo
dkk,(2008) Ensefalitis adalah suatu penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat di
medula spinalis dan meningen yang di sebabkan oleh japanese ensefalitis virus yang
ditularkan oleh nyamuk.
          Dari dua pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa ensefalit
adalah suatu penyakit yang di sebabkan oleh virus dan menularkan penyakit tersebut
melalui vektor nyamuk, sehingga akan tejadi gangguan di susunan syaraf pusat.

2.2.2 Etiologi
1. Ensefalitis Supurativa
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus,
streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.
2. Ensefalitis Siphylis
Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunansaraf
pusat Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan
bagianbagian lain susunan saraf pusat.
3.  Ensefalitis Virus
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
a. Virus RNA
Paramikso virus : virus parotitis, virus morbili
Rabdovirus : virus rabies
Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B,
virus dengue)
Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
b. Virus DNA
Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks,
sitomegalivirus,
virus Epstein-barr
Poxvirus : variola, vaksinia
Retrovirus : AIDS
4. Ensefalitis Karena Parasit
a. Malaria serebral Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria
serebral.
Gangguan utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai
parasit. Sel darah merah yang terinfeksi plasmodium falsifarum
akan melekat satu sama lainnya sehingga menimbulkan
penyumbatan-penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis
fokal yang tersebar secara difus ditemukan pada selaput otak dan
jaringan otak. Kelainan neurologik tergantung pada lokasi
kerusakan-kerusakan.
b. Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak
menimbulkan gejala-gejala kecuali dalam keadaan dengan daya
imunitas menurun. Didalam tubuh manusia parasit ini dapat
bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak.
c. Amebiasis
Amoeba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung
ketika berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan
meningoencefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut,
nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
d. Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus
mukosa dan masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh
badan. Larva dapat tumbuh menjadi sistiserkus, berbentuk kista di
dalam ventrikel dan parenkim otak. Bentuk rasemosanya tumbuh
didalam meninges atau tersebar didalam sisterna. Jaringan akan
bereaksi dan membentuk kapsula disekitarnya.
5. Ensefalitis Karena Fungus
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida
albicans, Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus
dan Mucor mycosis
6. Riketsiosis Serebri
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan
dapat menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul
noduli yang terdiri atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula
disekitar pembuluh darah di dalam jaringan otak. Didalam pembuluh
darah yang terkena akan terjadi trombosis. Gejala-gejalanya ialah nyeri
kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaran
dapat menurun. Gejala-gejala neurologik menunjukan lesi yang tersebar.

2.2.3 Manifestasi Klinis


 Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis Ensefalitis lebih kurang sama
dan khas, sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis. Secara umum, gejala
berupa Trias Ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan kesadaran menurun.
(Mansjoer, 2000). Adapun tanda dan gejala Ensefalitis sebagai berikut:
1. Suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan hiperpireksia
2. Kesadaran dengan cepat menurun
3. Muntah
4. Kejang-kejang, yang dapat bersifat umum, fokal atau twitching saja (kejang-kejang di
muka)
5. Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama,
misal paresis atau paralisis, afasia, dan sebagainya (Hassan, 1997)
Inti dari sindrom Ensefalitis adalah adanya demam akut, dengan kombinasi tanda
dan gejala : kejang, delirium, bingung, stupor atau koma, aphasia, hemiparesis dengan
asimetri refleks tendon dan tanda Babinski, gerakan involunter, ataxia, nystagmus,
kelemahan otot-otot wajah.

2.2.4 Patofisiologi
Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran napas dan saluran cerna, setelah
masuk kedalam tubuh, virus akan menyebar keseluruh tubuh dengan secara lokal: aliran
virus terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ tertentu, penyebaran
hematogen primer : virus masuk kedalam darah, kemudian menyebar keorgan dan
berkembang biak diorgan tersebut dan menyebar melalui saraf : virus berkembang biak
dipermukaan selaput lendir dan menyebar melalui sistem persarafan.
Setelah terjadi penyebaran keotak, timbul manifestasi klinis ensefalitis, Masa
Prodromal berlangsung selama 1 – 4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, sulit
mengunyah, suhu badan naik, muntah, kejang hingga penurunan kesadaran, paralisis, dan
afasia.
 
2.2.5 Pathway

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. Biakan:
1. Dari darah viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar untuk
mendapatkan hasil yang positif. 
2. Dari likuor serebrospinalis atau jaringan otak (hasil nekropsi), akan didapat
gambaran jenis kuman dan sensitivitas terhadap antibiotika. 
3. Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif 
4. Dari swap hidung dan tenggorokan, didapat hasil kultur positif.
5. Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan
uji neutralisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat diketahui reaksi antibodi
tubuh. IgM dapat dijumpai pada awal gejala penyakit timbul.
6. Pemeriksaan darah : terjadi peningkatan angka leukosit.
7. Pungsi lumbal  Likuor serebospinalis sering dalam batas normal, kadang-
kadang ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau glukosa.
8. EEG/ Electroencephalography
2.      CT scan
Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil normal, tetapi bisa pula didapat
hasil edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti Ensefalitis herpes simplex, ada
kerusakan selektif pada lobus inferomedial temporal dan lobus frontal.

2.2.6 Komplikasi 
Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang
nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik,
dan penanganan selama perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti
perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya
sekuele secara dini. Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan serius pada
susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi. Komplikasi pada
SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia
muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik, gangguan belajar,
hidrosefalus obstruktif, dan atrofi serebral.

2.2.7 Penatalaksanaan
Isolasi
Isolasi bertujuan untuk mengurangi stimuli/rangsangan dari luar dan sebagai tindakan
pencegahan.
Terapi antimikroba :        
1. Ensefalitis supurativa
1. Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
2. Cloramphenicol 4 x 1g/24  jam intra vena selama 10 hari.
3. Ensefalitis syphilis
1. Penisillin G 12-24 juta unit/hari dibagi 6 dosis selama 14 hari 
2. Penisillin prokain G 2,4 juta unit/hari intra muskulat + probenesid 4 x
500mg oral selama 14 hari.
Bila alergi penicillin :  
1.      Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari 
2.      Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari 
3.      Cloramfenicol 4 x 1 g intra vena selama 6 minggu
4.      Seftriaxon 2 g intra vena/intra muscular selama 14 hari.
2.      Ensefalitis virus
1. Pengobatan simptomatis: 
- Analgetik dan antipiretik: Asam mefenamat 4 x 500 mg 
- Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari.
Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan penyebab
herpes zoster-varicella:
- Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau 200 mg peroral
tiap 4 jam selama 10 hari.
3.      Ensefalitis karena parasit
1. Malaria serebral 
-  Kinin  10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam, setiap 8 jam hingga tampak
perbaikan.
2.      Toxoplasmosis
-  Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
-  Pirimetasin 1 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
-  Spiramisin 3 x 500 mg/hari
3.      Amebiasis
-  Rifampicin 8 mg/KgBB/hari.
4.      Ensefalitis karena fungus
-  Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali minimal 6 minggu
-  Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu.
5.      Riketsiosis serebri
-  Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari 
-  Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari.

Mengurangi meningkatnya tekanan intracranial, management edema otak :


a)  Mempertahankan hidrasi, monitor balance cairan : jenis dan jumlah cairan
yang diberikan tergantung keadaan anak.
b)  Glukosa 20%, 10ml intravena beberapa kali sehari disuntikkan.
c)  Kortikosteroid intramuscular atau intravena dapat juga digunakan untuk
menghilangkan edema otak

2.3 Perbedaan Ensefalitis dengan Meningitis


Encephalitis Meningitis
Kesadaran ↓ Kesadaran relatif masih baik
Demam ↓ Demam ↑
Lokasi terinfeksi di jaringan otak Lokasi terinfeksi di selaput otak
Banyak disebabkan virus Banyak disebabkan bakteri

3.2   Pengkajian Esefalitis


1. Anamnese
Data-data yang di identifikasikan masalah kesehatan yang dihadapi
penderita, meliputi :
a.      Biodata.
Merupakan identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis. Identitas ini digunakan untuk membedakan
klien satu dengan yang lain. Jenis kelamin, umur dan alamat dan kotor dapat
mempercepat atau memperberat keadaan penyakit infeksi.
b.      Keluhan utama.
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. keluhan
utama pada penderita encephalitis yaitu sakit kepala, kaku kuduk, gangguan
kesadaran, demam dan kejang.
c.       Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan riwayat klien saat ini yang meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul atau kekambuhan dari penyakit yang pernah dialami
sebelumnya. Biasanya pada masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari ditandai
dengan demam,s akit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri
ekstrimitas dan pucat. Kemudian diikuti tanda ensefalitis yang berat ringannya
tergantung dari distribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala terebut berupa gelisah,
irritable, screaning attack, perubahan perilaku, gangguan kesadaran dan kejang
kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis,
hemiplegia, ataksia dan paralisi saraf otak.
d.      Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam
riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh
ibu terutama penyakit infeksi. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi
lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi system
kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi
timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal
diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah lahir.
Contoh : BBLR, apgar score, yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan selanjutnya.
e.       Riwayat penyakit yang lalu.
Kontak atau hubungan dengan kasus-kasus meningitis akan meningkatkan
kemungkinan terjdinya peradangan atau infeksi pada jaringan otak (J.G. Chusid,
1993). Imunisasi perlu dikaji untuk mengetahui bagaimana kekebalan tubuh
anak. Alergi pada anak perlu diketahui untuk dihindarkan karena dapat
memperburuk keadaan.
f.        Riwayat kesehatan keluarga.
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya.
Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada
anggota keluarga yang menderita penyakit menular yang ada hubungannya
dengan penyakit yang dialami oleh klien (Soemarno marram 1983).
g.      Riwayat social.
Lingkungan dan keluarga anak sangat mendukung terhdap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Perjalanan klinik dari penyakit sehingga mengganggu
status mental, perilaku dan kepribadian. Perawat dituntut mengkaji status
klien ataukeluarga agar dapat memprioritaskan masalah keperawatnnya.
(Ignatavicius dan Bayne, 1991).
h.      Kebutuhan dasar (aktfitas sehari-hari).
Pada penderita ensepalitis sering terjadi gangguan pada kebiasaan sehari-hari
antara lain : gangguan pemenuahan kebutuhan nutrisi karena mual muntah,
hipermetabolik akibat proses infeksi dan peningkatan tekanan intrakranial.
Pola istirahat pada penderita sering kejang, hal ini sangat mempengaruhi
penderita. Pola kebersihan diri harus dilakukan di atas tempat tidur karena
penderita lemah atau tidak sadar dan cenderung tergantung pada orang lain
perilaku bermain perlu diketahui jika ada perubahan untuk mengetahui
akibat hospitalisasi pada anak.
i.        Pemeriksaan fisik.
Pada klien ensephalistis pemeriksaan fisik lebih difokuskan pada pemeriksaan
neurologis.
Ruang lingkup pengkajian fisik keperawatan secara umum meliputi :
1.      Keadaan umum.
Penderita biasanya keadaan umumnya lemah karena mengalami perubahan
atau penurunan tingkat kesadaran. Gangguan tingkat kesadaran dapat
disebabkan oleh gangguan metabolisme dan difusi serebral yang berkaitan
dengan kegagalan neural akibat prosses peradangan otak.
2.      Gangguan system pernafasan.
Perubahan-perubahan akibat peningkatan tekanan intra cranial menyebabakan
kompresi pada batang otak yang menyebabkan pernafasan tidak teratur.
Apabila tekanan intrakranial sampai pada batas fatal akan terjadi paralisa
otot pernafasan (F. Sri Susilaningsih, 1994).
3.      Gangguan system kardiovaskuler.
Adanya kompresi pada pusat vasomotor menyebabkan terjadi iskemik pada
daerah tersebut, hal ini akan merangsaang vasokonstriktor dan menyebabkan
tekanan darah meningkat. Tekanan pada pusat vasomotor menyebabkan
meningkatnya transmitter rangsang parasimpatis ke jantung.
4.      Gangguan system gastrointestinal.
Penderita akan merasa mual dan muntah karena peningkatan tekanan intrakranial
yang menstimulasi hipotalamus anterior dan nervus vagus sehingga
meningkatkan sekresi asam lambung. Dapat pula terjd diare akibat terjadi
peradangan sehingga terjadi hipermetabolisme (F. Sri Susilanigsih, 1994).
j.        Pertumbuhan dan perkembangan.
Pada setiap anak yang mengalami penyakit yang sifatnya kronuis atau
mengalami hospitalisasi yang lama, kemungkinan terjadinya gangguan
pertumbuhan dan perkembangan sangat besar. Hal ini disebabkan pada keadaan
sakit fungsi tubuh menurun termasuk fungsi social anak. Tahun-tahun pertama
pada anak merupakan “tahun emas” untuk kehidupannya. Gangguan atau
keterlambatan yang terjadi saat ini harus diatasi untuk mencapai tugas –tugas
pertumbuhan selanjutnya. Pengkajian pertumbuhna dan perkembangan anak
ini menjadi penting sebagai langkah awal penanganan dan antisipasi. Pengkajian
dapat dilakukan dengan menggunakan format DDST.

5.     Pengkajian Saraf Kranial pada Ensefalitis


1)  Saraf I. Biasanya pada pasien ensefalitis tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
2)  Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan
papiledema mungkin didapatkan terutama pada ensefalitis supuratif disertai
abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.
3)   Saraf III, IV, VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien ensefalitis yang
tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut
ensefalitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi
dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, pasien
ensefalitis mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan
terhadap cahaya.
4)  Saraf V. Pada pasien ensefalitis didapatkan paralisis pada otot sehingga
mengganggu proses mengunyah.
5)  Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
6)   Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7)  Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
8)  Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya
usaha dari pasien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.
9)  Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.

2.        Diagnosa Keperawatan


a.    nyeri b/d roses inflamasi, toksin dalam sirkulasi
b.    Hipertemi b/d reaksi inflamasi.
c.    Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan
susunan saraf pusat.

3.        Intervensi Keperawatan


a.    nyeri b/d roses inflamasi, toksin dalam sirkulasi
Tujuan : Nyeri teratasi.
Kriteria hasil :
1)      Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
2)      Menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
Berikan tindakan nyaman. Tindakan non analgetik dapat
menghilangkan ketidaknyamanan
dan memeperbesar efek terapi
analgetik.
Berikan lingkungan yang Menurunkan reaksi terhadap
tenang, ruangan agak gelap stimulasi dari luar atau sensitivitas
sesuai indikasi. terhadap cahaya dan meningkatkan
istirahat/relaksasi.
Kaji intensitas nyeri. Untuk menentukan tindakan yang
akan dilakukan kemudian.
Tingkatkan tirah baring, bantu Menurunkan gerakan yang dapat
kebutuhan perawatan diri meningkatkan nyeri.
pasien.
Berikan latihan rentang gerak Dapat membantu merelaksasikan
aktif/pasif secara tepat dan ketegangan otot yang
masase otot daerah leher/bahu. meningkatkan reduksi nyeri atau
rasa tidak nyaman tersebut.
Kolaborasi :
Berikanan algesik sesuai Obat ini dapat digunakan untuk
indikasi. meningkatkan kenyamanan
/istirahat umum.

b.    Hipertermi b/d reaksi inflamasi.


Tujuan : Suhu tubuh normal.
Kriteria hasil : Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari
kedinginan.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
Pantau suhu pasien, Suhu 38,9-41,1 C menunjukkan
perhatikan menggigil/ proses penyakit infeksius akut.
diaforesis.
Pantau suhu lingkungan, Suhu ruangan/jumlah selimut
batasi / tambahkan linen harus diubah untuk
tempat tidur sesuai indikasi. mempertahankan suhu mendekati
normal.
Berikan kompres mandi Dapat membantu mengurangi
hangat, hindari penggunaan demam.
alkohol.
Kolaborasi :
Berikan antipiretik sesuai Digunakan untuk mengurangi
indikasi. demam dengan aksi sentralnya
pada hipotalamus.

c.    Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan
susunan saraf pusat.
Tujuan : Memulai/mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi
perseptual.
Kriteria hasil : Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya
keterlibatan residual.
Mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap hasil.
INTERVENSI RASIONAL
Kesadaran akan tipe/daerah yang
Mandiri :
terkena membantu. dalam
Lihat kembali proses patologis
mengkaji/ mengantisipasi defisit
kondisi individual.
spesifik dan keperawatan
Munculnya gangguan
penglihatan dapat berdampak
Evaluasi adanya gangguan
negatif terhadap kemampuan
penglihatan
pasien untuk menerima
lingkungan.
Menurunkan/ membatasi jumlah
Ciptakan lingkungan yang
stimuli yang mungkin dapat
sederhana, pindahkan perabot
menimbulkan kebingungan bagi
yang membahayakan.
pasien.

d.   Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.


Tujuan : Tidak terjadi kontraktur.
Ktiteria hasil : Tidak terjadi kekakuan sendi.
Dapat menggerakkan anggota tubuh.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri: Berikan
Dengan diberi penjelasan diharapkan
penjelasan pada keluarga klien tentang
keluarga mengerti dan mau membantu
penyebab terjadinya spastik dan terjadi
program perawatan.
kekacauan sendi.
Lakukan latihan pasif mulai ujung ruas Melatih melemaskan otot-otot,
jari secara bertahap. mencegah kontraktor.
Dengan melakukan perubahan posisi
Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam. diharapkan perfusi ke Jaringan lancar,
meningkatkan daya pertahanan tubuh.
Kolaborasi untuk pemberian
Diberi dilantin / valium , kejang /
pengobatan spastik dilantin / valium
spastik hilang.
sesuai Indikasi.

Anda mungkin juga menyukai