Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KEPERAWATAN JIWA

PENGABAIAN, KEKERASAN, DAN PENELANTARAN PADA ANAK


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah keperawatan jiwa
Dosen Pengampu Erna Erawati, S.Kep, Ns, MKep

Disusun Oleh :
Adila Amalita Hersandi
P1337420519028

Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang


Prodi DIII Keperawatan Magelang
2020
1. Pengabaian Anak (Child Neglect)
Pengabaian (neglection) merupakan bentuk kekerasan pada anak yang dilakukan secara
pasif. Orang tua maupun caregiver tidak memedulikan kebutuhan bahkan keberadaan anak
sehingga anak menjadi tidak terurus. Pengabaian terhadap anak terlihat pada gagalnya
memberikan kebutuhan primer seperti makanan, pangan, papan, kasih sayang, pendidikan,
dan kesehatan yang layak untuk anak.
A. Jenis-jenis Neglect
Para ahli mendefinisikan empat jenis pengabaian yakni fisik, pendidikan,
emosional dan medis.
1) Physical neglect (Pengabaian fisik)
Pengabaian fisik umumnya melibatkan orang tua atau pengasuh yang tidak
memberikan kebutuhan dasar pada anak (misalnya, makanan pakaian, memadai
dan tempat tinggal). Kegagalan atau penolakan untuk menyediakan kebutuhan
membahayakan kesehatan fisik anak, kesejahteraan, pertumbuhan psikologis
dan perkembangan. Pengabaian fisik juga termasuk meninggalkan anak,
pengawasan tidak memadai, penolakan terhadap anak yang mengarah ke
pengusiran dari rumah dan kegagalan untuk secara memadai menyediakan untuk
keselamatan anak dan kebutuhan fisik dan emosional. Pengabaian fisik yang
parah dapat berdampak pada perkembangan anak dengan menyebabkan gagal
tumbuh, gizi buruk, penyakit serius, kerusakan fisik berupa luka, memar, luka
bakar atau cedera lainnya karena kurangnya pengawasan, dan seumur hidup
harga diri yang rendah.
2) Educational neglect (Pengabaian pendidikan)
Pengabaian pendidikan melibatkan kegagalan dari orang tua atau pengasuh
untuk mendaftarkan anak usia sekolah wajib di sekolah atau menyediakan home
schooling yang sesuai atau diperlukan pelatihan pendidikan khusus, sehingga
memungkinkan anak atau pemuda untuk tidak terlibat dalam kebiasaan
membolos. Pengabaian pendidikan dapat menyebabkan anak gagal untuk
memperoleh keterampilan hidup dasar, putus sekolah atau terus menampilkan
perilaku yang mengganggu. Pengabaian pendidikan bisa menimbulkan ancaman
serius bagi kesehatan anak, kesejahteraan emosional, fisik atau pertumbuhan
psikologis normal dan perkembangan, terutama ketika anak memiliki kebutuhan
pendidikan khusus yang tidak terpenuhi.
3) Psychological neglect Emotional (Pengabaian psikologi emosional)
Pengabaian psikologi dan emosional meliputi tindakan seperti terlibat dalam
pertengkaran orang tua yang ekstrim di hadapan anak, memungkinkan seorang
anak untuk menggunakan obat-obatan atau alkohol, menolak atau gagal untuk
menyediakan membutuhkan perawatan psikologis serta terus-menerus
meremehkan kasih sayang. Perilaku orang tua yang dianggap menganiaya anak
secara emosional meliputi:
 Mengabaikan (kegagalan konsisten untuk merespon kebutuhan anak
untuk stimulasi, merawat, dorongan dan perlindungan atau kegagalan
untuk mengakui keberadaan anak)
 Menolak (aktif menolak untuk menanggapi kebutuhan anak - misalnya,
menolak untuk menunjukkan kasih sayang);
 Menghina secara verbal (meremehkan, nama panggilan atau
mengancam)
 Mengisolasi (mencegah anak dari memiliki kontak sosial yang normal
dengan anak-anak lain dan orang dewasa)
 Meneror (mengancam anak dengan hukuman ekstrim atau menciptakan
iklim teror dengan memainkan pada ketakutan masa kanak-kanak); dan
 Kerusakan atau pemanfaatan (mendorong anak untuk terlibat dalam
perilaku merusak, ilegal atau antisosial).
Sebuah pola perilaku orangtua dapat menyebabkan citra diri yang rendah
pada anak, penyalahgunaan narkoba atau alkohol, perilaku merusak dan bahkan
bunuh diri. Yang lebih parah yakni mengabaikan stimulasi dan perawatan
kebutuhan bayi dapat menyebabkan bayi gagal untuk berkembang dan bahkan
kematian bayi.
4) Medical neglect (Pengabaian Medis)
Pengabaian medis adalah kegagalan untuk menyediakan perawatan kesehatan
yang tepat bagi seorang anak (walaupun secara finansial mampu
melakukannya), sehingga menempatkan anak beresiko cacat atau mati. Menurut
NCANDS, pada tahun 2005, 2 % anak-anak (17.637 anak-anak) di Amerika
Serikat menjadi korban dari kelalaian medis (USDHHS, 2007). Pengabaian
tidak hanya ketika orangtua menolak perawatan medis untuk anak dalam
keadaan darurat atau untuk penyakit akut, tetapi juga ketika orangtua
mengabaikan rekomendasi medis untuk anak dengan penyakit kronis yang
seharusnya bisa diobati, namun malah terjadi kecacatan pada anak.
Bahkan dalam situasi non-darurat, pengabaikan medis dapat mengakibatkan
kesehatan secara keseluruhan semakin memburuk. Orangtua mungkin menolak
perawatan medis untuk anak-anak mereka untuk alasan yang berbeda , seperti
agama atau keyakinan, ketakutan atau kecemasan tentang kondisi medis atau
perawatan dan masalah keuangan. Lembaga perlindungan anak umumnya akan
campur tangan bila:
 Perawatan medis sangat diperlukan dalam keadaan darurat akut
(misalnya, seorang anak perlu transfusi darah untuk mengobati syok);
 Seorang anak dengan penyakit kronis yang mengancam nyawa namun
tidak menerima perawatan medis diperlukan (misalnya, anak dengan
diabetes tidak menerima obat-obatan); atau
 Seorang anak memiliki penyakit kronis yang dapat menyebabkan
kecacatan atau kematian jika tidak ditangani (misalnya, anak dengan
katarak bawaan perlu dioperasi untuk mencegah kebutaan).
Dalam kasus ini, jasa lembaga perlindungan anak dapat mencari perintah
pengadilan untuk perawatan medis guna menyelamatkan nyawa anak atau
mencegah cedera yang mengancam nyawa,atau kecacatan.
Meskipun penelantaran medis sangat berhubungan dengan kemiskinan, ada
beberapa hal yang menyebabkan ketidakmampuan seorang pengasuh untuk
memberikan perawatan yang diperlukan yakni : kurangnya sumber daya
keuangan, keengganan pengasuh untuk mengetahui perawatan itu sendiri dan
penolakan untuk menyediakan perawatan. Anak-anak dan keluarga mereka
mungkin membutuhkan pelayanan meskipun orang tua mungkin tidak sengaja
lalai. Ketika kemiskinan membatasi sumber daya orangtua untuk menyediakan
kebutuhan bagi anak, terdapat lembaga yang menawarkan bantuan guna
mencukupi kebutuhan anak tersebut.
B. Dampak Child Neglect
Konsekuensi dari kelalaian umumnya kumulatif, dan sering negatif
mempengaruhi perkembangan anak. Sebagai contoh, gizi buruk memiliki
konsekuensi negatif terhadap perkembangan anak secara fisik dan psikologis. Jika
nutrisi yang tepat tidak tersedia pada periode kritis pertumbuhan, perkembangan
anak tidak akan mengikuti pola normal dan biasa. Reaksi fisik dan psikologis dari
terabaikan meliputi terhambatnya pertumbuhan, masalah medis yang kronis,
pertumbuhan tulang dan otot tidak memadai dan perkembangan neurologis yang
negatif mempengaruhi fungsi otak normal dan pengolahan informasi. Pengolahan
masalah mungkin sering membuat sulit bagi anak-anak untuk memahami arah, dapat
berdampak negatif terhadap kemampuan anak untuk memahami hubungan sosial,
atau mungkin membuat penyelesaian beberapa tugas akademik tidak mungkin tanpa
bantuan atau intervensi dari orang lain. Kurangnya perawatan medis yang memadai
dapat mengakibatkan masalah kesehatan jangka panjang atau kecacatan seperti
kehilangan pendengaran dari infeksi telinga yang tidak diobati.
Efek jangka panjang dari mengabaikan dapat mengakibatkan kesehatan mental
yang tidak konsisten. Efek dari kelalaian dapat berkisar dari depresi kronis, kesulitan
dengan hubungan, namun tidak semua anak-anak yang terabaikan aoleh orang
dewasa dapat mengalami hal-hal seperti ini. Beberapa individu yang lebih tangguh
daripada yang lain mampu bergerak untuk meneruskan hidup, walaupun mereka
telah mengalami pengabaian secara emosinal. Karakteristik individu ulet dan
tangguh diantaranya memiliki pandangan optimis atau harapan hidup, dan merasa
tertantang daripada dikalahkan oleh masalah.
2. Pelecehan seksual anak
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang
dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak
untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta
atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya),
paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak,
kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak,
melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk
memproduksi pornografi anak.
Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri,
kenangan buruk, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan pelecehan
(termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual,
sakit kronis, kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan
somatik, depresi, gangguan stres pasca trauma, kecemasan, penyakit mental lainnya
(termasuk gangguan kepribadian). dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk
mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik pada anak di
antara masalah-masalah lainnya. Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria
yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku
pelecehan seksual adalah orang yang kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah
keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60%
adalah kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing
adalah yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.
A. Bentuk-bentuk Pelecehan / kekerasan Seksual Pada Anak
1) Pelecehan Seksual yang Berupa Sentuhan
 Pelaku memegang-megang, meraba atau mengelus organ vital anak seperti
alat kelamin, bagian pantat, dada / payudara.
 Pelaku memasukkan bagian dalam tubuh atau benda lain ke mulut, anus,
atau kemaluan anak.
 Pelaku berjalan anak untuk memegang tubuhnya sendiri, bagian tubuh
pelaku, atau bagian tubuh anak lain.
2) Pelecehan seksual yang tidak berupa sentuhan
 Pelaku mempertunjukkan bagian tubuhnya (temasuk alat kelamin) pada
anak / remaja secara cabul, tidak pantas, atau tidak senonoh.
 Pelaku mengambil gambar (memfoto) atau merekam anak / remaja dalam
aktivitas yang tidak senonoh, dalam adegan seksual yang jelas nyata,
maupun adegan yang tersamar memancing pemikiran seksual. Contohnya,
pelaku merekam anak yang sedang membuka bajunya.
 Kepada anak, pelaku memperdengarkan atau visualisasi (gambar, foto,
video, dan semacamnya) yang mengandung muatan seks dan pornografi.
Misalnya, pelaku ajakan anak menonton film dewasa (film pomo).
 Pelaku tidak menghargai privasi anak / remaja, misalnya tidak menyingkir
dan justru menonton ketika ada seorang anak mandi atau berganti pakaian.
 Pelaku melakukan percakapan bermuatan seksual dengan anak / remaja,
baik eksplisit (bahasa lugas) maupun implisit (tersamar). Percakapan ini
bisa dilakukan melalui telepon, chatting, internet, surat, maupun sms.
Tanda Terjadi Pelecehan.
B. Faktor Resiko Pelecehan Seksual
1) Faktor Resiko Pelecehan Seksual Pada Keluarga, Orang Tua.
Memiliki orang tua yang hubungan suami isterinya tidak baik, akan membuat
anak menjadi pelampiasan untuk menyalurkan kemarahan orang tua mereka.
Sehinggan pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang tua bukan semata- mata
untuk menyalurkan hasrat seksual mereka, namun untuk melampiaskan kemarahan
terhadap pasangan, Saudara. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh saudara
kandung disebabkan bisa dipicu dari perlakuan keluarga kepada saudaranya,
seperti ayah yang melakukan pelecehan seksual kepada adiknya, maka kakaknya
menjadi merasa tidak bersalah apabila melakukan hal yang sama kepada adiknya,
Pola Interaksi yang buruk dengan orang tua. Keluarga yang interaksi orang tua dan
anaknya buruk, menjadikan anak tidak terbiasa untuk menceritakan kejadian
sehari-hari yang dialami oleh anak tersebut. Sehingga apabila ada yang melakukan
perbuatan kearah pelecehan seksual membuat anak tidak berani untuk berterus
terang kepada orang tuanya, Fungsi keluarga yang buruk. Keluarga seharusnya
memberikan tempat yang nyaman, dan aman sehingga anak merasa terlindungi.
Apabila dalam keluarga tidak dapat memberikan hal tersebut, anak akan mencari
tempat perlindungan yang lain dan kondisi seperti ini yang dimanfaatkan orang lain
untuk memberikan perlindungan dan menjadikan anak sebagai objek pelecehan
seksual.
2) Faktor Resiko Pelecehan Seksual Pada Lingkungan Tempat Tinggal, Status
sosial ekonomi.
Memiliki status sosial ekonomi yang rendah menjadikan anak memiliki
keinginan unuk mendapatkan uang yang lebih sehingga mereka mencari cara yang
cepat untuk mendapatkan uang dan memilih cara yang salah dimana justru
pekerjaan mereka sendiri yang meningkatkan resiko pelecehan seksual terjadi,
Tingkat pendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah membuat orang tua
memiliki peluang pekerjaan yang sedikit dan tidak mampu membeli lingkungan
tempat tinggal yang aman bagi anak, Orang lain di lingkungan Masyarakat.
Pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang lain yang tinggal di masyarakat bisa
terjadi ketika anak bermain tanpa pengawasan oleh orang tua dan kesempatan itu
dimanfaatkan oleh pelaku. Faktor resiko lainnya, dalam penelitian ini ditemukan
faktor lain yang juga semakin meningkatkan anak untuk menjadi korban pelecehan
seksual, diantaranya adalah: Teman sebaya. Memiliki teman sebaya yang punya
akses untuk hal-hal berbau pornografi membuat anak menjadi ikut serta
didalamnya, dan memiliki hubungan berpacaran juga semakin meningkatkan anak
menjadi korban karena dengan berpacaran akan lebih mudah untuk
mengungkapkan pelecehan seksual yang tidak disadari, Media massa. Korban
diinvite melalui BBM kedalam grup yang didalamnya orang-orang penyuka
sesama jenis. Kemudian dari situlah pelaku dapat menambahkan korban untuk jadi
temannya dan mengajak melakukan hubungan seksual sodomi, Budaya masyarakat
tentang perilaku berpacaran. Dalam masyarakat saat ini, menganggap perilaku
berpacaran adalah hal yang wajar, sehingga apabila pacar melakukan perbuatan
yang mengarah ke seksual dianggap wajar dan biasa-biasa saja oleh kekasihnya.
C. Dampak Pelecehan Seksual
1) Kognisi.
Secara kognisi anak yang mengalami tindakan pelecehan seksual pada dirinya
mengalami gangguan secara kognitif, yaitu berupa ketidakmampuan untuk
berbicara dengan lancar dan adanya perubahan orientasi seksual yaitu anak laki-
laki menjadi tidak tertarik dengan lawan jenis, namun justru tertarik dengan sesama
jenis,
2) Sosio- Emosional
Dampak sosio-emosional yang ditunjukan oleh korban pelecehan seksual yaitu
menjadikan anak tidak mudah percaya dengan orang lain, menarik diri dari
lingkungan, membatasi komunikasi dengan orang lain, memiliki ketakutan yang
berlebihan, dan memiliki kecemasan yang berlebihan,
3) Fisik
Korban pelecehan seksual sesama jenis, yang dilakukan dengan cara sodomi
memiliki dampak fisik yang dirasakan korban yaitu korban merasakan sakit pada
bagian dubur setelah melakukan hubungan badan dengan cara sodomi.
Modus Pelecehan Seksual, Pelaku pelecehan seksual, melakukan berbagau upaya
untuk memposisikan seorang anak agar dapat dilecehkan secara seksual, berdsarkan hasil
analisis data, ditemukan bahwa modus yang digunakan oleh pelaku dalam melakukan
tindakan pelecehan seksual adalah dengan meminta bantuan kepada korban untuk
membantu menyelesaikan masalahnya, kemudian karena korban menolak, pelaku
memberikan ancaman kepada korban sehingga korban diposisi terdesak dan akhirnya
dapat dilecehkan oleh pelaku.
3. Penelantaran
Penelantaran anak adalah praktik melepaskan tanggung jawab dan klaim
atas keturunan dengan cara ilegal. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor-faktor seperti
faktor ekonomi dan sosial, serta penyakit mental. Seorang anak yang ditinggalkan atau
dibuang oleh orangtuanya disebut dengan bayi telantar atau anak buangan (berbeda dengan
anak yang kabur atau yatim piatu). Sedangkan penelantaran bayi mengacu pada orang tua
(biasanya ibu) yang meninggalkan atau membuang bayinya yang berusia kurang dari 12
bulan dengan sengaja di tempat umum ataupun tempat tersembunyi dengan maksud untuk
membuangnya.
Penelantaran anak di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk
menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan
untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan
untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk
mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau
membawa anak ke dokter).
A. Macam-macam Penelantaran anak
1) Penelantaran Fisik merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan
mencari bantuanmedis, pengawasan yang kurang memadai serta tidak
tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
2) Penelantaran Pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan
yang sesuaipadahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan
hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.
3) Penelantaran Secara Emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak
menyadari kehadirananak ketika ribut dengan pasangannya. Atau orang tua
memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda di antara anak-anaknya.
4) Penelantaran Fasilitas Medis. Hali ini terjadi karena ketika orang tua gagal
menyediakan layanan medis utuk anak meskipun secara finansial memadai.
Dalam beberapa kasus orang tua, orang tua memberi pengobatan tradisional
terlebih dahulu, jika elum sembuh barulah kembali ke layanan dokter.
B. Factor Penyebab Besar Kecilnya Dampak Penelantaran Anak
1) Faktor Usia Anak. Semakin mudah usia anak maka akan menimbulkan akibat
yang lebih fatal.
2) Siapa yang terlibat jika yang melakukan penganiyaan adalah orang tua, ayah,
ibu tiri atau anggota keluarga maka dampaknya akan lebih parah lagi daripada
yang melakukannya orang yang tidak dikenal
3) Seberapa parah. Semakin sering dan semakin buruk perlakuan yang diterima
anak akan memperburuk kondisi anak.
4) Berapa lama terjadi. Semakin lama kejadian berlangsung akan semakin
meninggalakan trauma yang membekas pada diri anak.
5) Jika anak mengungkapkan penganiyaan yang dialaminya dan menerima
dukungan dari orang lain atau anggota keluarga yang dapat mencintai,
mengasihi dan memperhatikannya maka kejadiannya tidak menjadi lebih parah
sebagaimana jika anak justru tidak dipercaya.
C. Dampak Penelantaran Anak
1) Kecepatan perkembangan fisik maupun emosional dari seorang anak yang
dianiaya atau ditelantarkan seringkali tidak normal.
2) Bayi yang mengalami kekurangan kasih sayang dari orang tuanya tampak tidak
peka atau tidak menunjukkan ketertarikan terhadap lingkungannya. Mungkin
terjadi gangguan pada kemampuan sosial dan bahasanya karena mereka kurang
mendapatkan perhatian.
3) Seorang anak mungkin menunjukkan sikap curiga, tidak tegas dan sangat
gelisah.
4) Anak yang lebih tua sering bolos sekolah atau prestasinya di sekolah kurang
baik. Mereka mungkin mengalami masalah dalam membentuk hubungan
dengan teman-teman maupun guru di sekolahnya.
5) Penampilan tampak sangat lusuh tidak terawat, karena tidak diurus dan mungkin
bisa jadi tidak punya siapa-siapa setelah ditelantarkan.

Anda mungkin juga menyukai