Anda di halaman 1dari 3

PERENCANAAN AGREGAT DALAM RANTAI PASOK

“Bayangkan jika dalam dunia ini di mana manufaktur, transportasi, pergudangan, dan
bahkan kapasitas informasi tidak terbatas dan bernilai gratis.”

Aggregate Planning
Aggregate Planning merupakan suatu proses di mana sebuah perusahaan menentukan
tingkatan yang ideal dalam kapasitas, produksi, subkontrak, inventori, stockout, dan bahkan
penetapan harga selama rentang waktu tertentu.

Aggregate Planning dibuat di tingkat agregat, bukan pada Stock Keeping Unit (SKU).
Misalnya, Aggregate Planning menentukan total produksi di pabrik pada suatu bulan tanpa
merinci kuantitas setiap SKU. dengan kerincian keputusan seperti ini, Aggregate Planning
merupakan alat yang cocok untuk keputusan jangka menengah, yaitu antara 3-18 bulan.

Tujuan dari aggregate planning adalah untuk memenuhi/memuaskan permintaan dengan


berusaha memaksimalkan profit.

Biasanya, kebanyakan dari Aggregate Planning hanya terfokus pada lingkup perusahaan
mereka saja dan tidak melihatnya sebagai bagian dari manajemen rantai pasok. Bagaimanapun
juga, Aggregate planning merupakan isu penting dalam supply chain. Aggregate Planning
membutuhkan input dari seluruh rantai pasok, sehingga akan menghasilkan dampak yang luar
biasa terhadap kinerja rantai pasok. forecasting dan collaborative forecasts dibutuhkan oleh
banyak perusahaan rantai pasok dan merupakan input penting dalam perencanaan Aggregate
Planning. Forecast yang baik membutuhkan kolaborasi dengan downstream partner supply
chain. Hambatan dalam aggregate planning kebanyakan datang dari luar perusahaan.
Hambatan-hambatan ini menjadi perhatian penting dalam aggregate planning, utamanya dari
upstream partners dalam supply chain. Aggregate Planning tidak akan menghasilkan nilai
tambah, keefektifan dan keefisienan produksi serta keuntungan yang optimal apabila tidak
melibatkan input-input dari upstream maupun downstream rantai pasok.

Tujuan utama perencana agregat adalah untuk mengidentifikasi beberapa parameter


operasional berikut selama jangka waktu yang ditentukan:

 Production rate (tingkat produksi)


 Workforce (tenaga kerja)
 Overtime (lembur)
 Machine Capacity Level (kapasitas mesin produksi)
 Subcontracting
 Backlog
 Inventory on Hand (persediaan yan ada)

Idealnya, semua stage atau semua pelaku dari supply chain seharusnya bekerja sama
dalam aggregate plan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok. Apabila masing-masing stage
mengembangkan aggregate plan nya sendiri-sendiri, maka hal itu akan membuat rencana
berantakan dalam koordinasinya.

Permasalahan Aggregate Planning


Tujuan dari Aggregate Planning yaitu untuk memenuhi permintaan dengan cara
memaksimalkan profit untuk perusahaan.

Berdasarkan demand forecast untuk setiap periode dalam rentang waktu perencanaan,
tentukan tingkat produksi, persediaan, dan kapasitas untuk setiap periode yang dapat
memaksimalkan profit supply chain selama rentang waktu perencanaan.

Informasi yang dibutuhkan untuk Aggregate Planning

1. Demand forecast (Ft) untuk setiap periode t dalam planning horizon sepanjang T
periode.
2. Biaya-biaya produksi
• Biaya tenaga kerja ($/hr), waktu reguler dan lembur
• Biaya subkontrak ($/hr atau $/unit)
• Biaya mengubah kapasitas: ($/pekerja) dan ($/mesin)
3. Jam tenaga kerja/mesin yang diperlukan per unit
4. Biaya penyimpanan persediaan ($/unit/periode)
5. Biaya kehabisan persediaan ($/unit/periode)
6. Constraints: batasan lembur, pemecatan, modal yang ada. kehabisan persediaan dan
backlogs.

Strategi Aggregate Planning


1. Chase strategy - Menggunakan kapasitas sebagai pendukung: menyelaraskan laju
produksi dengan laju permintaan.
2. Time flexibility strategy - Menggunakan utilitas sebagai pendukung: mengubah waktu
kerja dan lembur untuk menyelaraskan produksi dengan permintaan.
3. Level strategy - menggunakan persediaan sebagai pendukung: penggunaan/kapasitas
mesin dan tingkat tenaga kerja dibuat tetap, permintaan dipenuhi dari persediaan.
4. Mixed strategy - kombinasi satu atau lebih dari ketiga stategi di atas.

Chase Strategy
• Laju produksi diselaraskan dengan permintaan dengan mengubah kapasitas mesin atau
menyewa/memberhentikan tenaga kerja saat permintaan bervariasi
• Dalam praktiknya seringkali sulit untuk mengubah kapasitas dan tenaga kerja dalam
waktu singkat
• Mahal jika biaya mengubah kapasitas tinggi
• Pengaruh negatif terhadap moral tenaga kerja
• Berakibat pada rendahnya persediaan
• Berguna jika biaya menyimpan persediaan tinggi sementara biaya mengubah kapasitas
rendah

Time Flexibility Strategy


• Dapat digunakan jika terdapat kelebihan kapasitas mesin -> mesin tidak bekerja 24 jam
dalam sehari, 7 hari seminggu
• Jumlah tenaga kerja tetap, tetapi jumlah jam kerja diubah sepanjang waktu untuk
menyelaraskan produksi & permintaan
• Dapat menggunakan lembur atau jadwal kerja fleksibel
• Membutuhkan tenaga kerja fleksibel, tetapi menghindari masalah moral yang muncul
pada chase strategy
• Tingkat persediaan rendah dan utilitas rendah
• Harus digunakan saat biaya menyimpan persediaan tinggi dan kapasitas tidak terlalu
mahal

Time Flexibility Strategy


• Dapat digunakan jika terdapat kelebihan kapasitas mesin -> mesin tidak bekerja 24 jam
dalam sehari, 7 hari seminggu
• Jumlah tenaga kerja tetap, tetapi jumlah jam kerja diubah sepanjang waktu untuk
menyelaraskan produksi & permintaan
• Dapat menggunakan lembur atau jadwal kerja fleksibel
• Membutuhkan tenaga kerja fleksibel, tetapi menghindari masalah moral yang muncul
pada chase strategy
• Tingkat persediaan rendah dan utilitas rendah
• Harus digunakan saat biaya menyimpan persediaan tinggi dan kapasitas tidak terlalu
mahal

Anda mungkin juga menyukai