Anda di halaman 1dari 3

Menurut World Health Organization(WHO) lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang berumur

60 tahun atau lebih. Badan kesehatan dunia WHO mengatakan bahwa penduduk lansia di Indonesia
pada tahun 2025 mendatang sudah mencapai 28,8 juta orang. Menurut World Health Organizatition
WHO, dalam Monika dan Dian, (2016) penyakit utama muskuloskletal adalah Artritis Rheumatoid,
Osteoarthritis, dan Gout. Perubahan muskuloskletalini yang dapat mempengaruhi kondisi jutaan orang
diseluruh Dunia. Penyakit Artritis Rheumatoid diperkirakan bahwa dari faktor lingkungan 17% (6-31%),
dan diperkirakan bahwa Artritis Rheumatoid disebabkan oleh beban dan aktivitas yang berlebihan 20%
(11-29%).

Jumlah lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03% dari seluruh penduduk
Indonesia tahun 2014. JumlahLansia 60 tahun keatas 21,7 jutajiwaatau8,5% total penduduk Indonesia
(Badan Pusat Statistika, 2014).Tahun 2017 terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia di Indonesia (Badan
Pusat Statistika, 2017).

Seseorang dikatakan lanjut usia apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia menurut Pudjiastuti, lansia
bukan penyakit namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia menurut Hawari,
adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan
terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk
hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Siyoto dan Muhith, 2016).

Menurut World Health Organizatition WHO, dalam Monika dan Dian, (2016) penyakit utama
muskuloskletal adalah Artritis Rheumatoid, Osteoarthritis, dan Gout. Perubahan muskuloskletalini yang
dapat mempengaruhi kondisi jutaan orang diseluruh Dunia. Penyakit Artritis Rheumatoid diperkirakan
bahwa dari faktor lingkungan 17% (6-31%), dan diperkirakan bahwa Artritis Rheumatoid disebabkan
oleh beban dan aktivitas yang berlebihan 20% (11-29%).

Rheumathoid Arthritis (RA) merupakan gangguan peradangan kronis autoimun atau respon autoimun,
dimana imun seseorang bisa terganggu dan turun yang menyebabkan hancurnya organ sendi dan
lapisan pada sinovial, terutama pada tangan, kaki dan lutut (Sakti & Muhlisin, 2019; Masruroh &
Muhlisin, 2020). Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap remeh penyakit Rematik, karena
sifatnya yang seolah-olah tidak menimbulkan kematian padahal rasa nyeri yang ditimbulkan sangat
menghambat seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Nurwulan, 2017). Penyakit Rematik
sering kita dengar di masyarakat, Namun pemahaman yang benar tentang Rematik di keluarga belum
memuaskan (Siahaan et al., 2017).
Angka kejadian rheumatoid arthritis pada tahun 2016 yang disampaikan oleh WHO adalah mencapai
20% dari penduduk dunia, 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% adalah mereka yang
berusia 55 tahun (Majdah & Ramli, 2016; Putri & Priyanto, 2019).

Menurut Riskesdas (2018) jumlah penderita rheumatoid arthritis di Indonesia mencapai 7,30%. Seiring
bertambahnya jumlah penderita rheumatoid arthritis di Indonesia justru tingkat kesadaran dan salah

pengertian tentang penyakit ini cukup tinggi. Keadaan inilah menjelaskan bahwa kurangnya
pengetahuan masyarakat Indonesia khususnya penderita untuk mengenal lebih dalam lagi mengenai
penyakit rheumatoid arthritis.

Penanganan nyeri pada rematik dapat dilakukan dengan dua metode yaitu dengan farmakologi dan
nonfarmakologi (Andri et al., 2019). Dengan farmakologi bisa menggunakan obatobatan analgesik,
namun lansia pada proses penuaan mengalami farmakodinamik, farmakokinetik serta metabolisme obat
dalam tubuh lansia sehingga sangat memberi resiko pada lansia. Selain itu efek yang dapat timbul dalam
jangka panjang dapat mengakibatkan perdarahan pada saluran cerna, tukak peptik, perforasi dan
gangguan ginjal (Mawarni & Despiyadi, 2018).

Prevalensi di salah satu Provinsi dengan penduduk pantai adalah Provinsi Kepulauan Riau. Data dari
Dinas Kesehatan tahun 2018 penyakit reumatoid arthritis di sebanyak 4.260 jumlah kasus. Paling banyak
terjadi di Kota Tanjungpinang yaitu terdapat 1.106 jumlah kasus yang mengalami reumatoid arthritis
(Dinkes Provinsi Kepri, 2018).

Puskesmas adalah tempat tujuan pertama bagi masyarakat untuk memeriksa kesehatannya. Data dari
Dinas Kesahatan Kota Tanjungpinang pada tahun 2018 paling banyak pasien reumatoid arthritis di
kawasan Puskesmas Tanjungpinang yaitu terdapat 464 jumlah kasus, di Puskesmas Tanjungpinang terdiri
dari 242 laki – laki, dan 222 perempuan, pengunjung yang tergolong pada lanjut usia yaitu pada umur
60-69 tahun berjumlah 50 orang laki-laki, dan 45 orang perempuan, pada usia diatas 70 tahun, terdapat
46 orang laki-laki, dan 36 orang perempuan.

Rheumatoid arthritis merupakan penyakit kronis yang menyebabkan nyeri sendi, kekakuan sendi,
pembengkakan, keterbatasan gerak pada sendi, kelelahan fisik dan dapat menyebabkan kecacatan pada
penderitanya. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi-sendi kecil ditangan dan sendi kaki, yang
cenderung paling sering terkena adalah sendi kaki. Pada rheumatoid arthritis kekakuan paling sering
terjadi yaitu dipagi hari, hal ini dapat berlangsung selama satu hingga dua jam (Malmstrom, Catrina &
Klareskog, 2017). Selain menyebabkan kekakuan, kecacatan dan kelelahan fisik, penyakit rheumatoid
arthritis biasanya juga dapat menimbulkan gangguan psikologis pada penderitanya. Gangguan tersebut
muncul disebabkan karena stressor yang berkepanjangan muncul pada penderita rheumatoid arthritis
sehingga menyebabkan timbulnya respon stress (Finan & Zautra, 2016).
Rheumathoid Arthritis (RA) merupakan gangguan peradangan kronis autoimun atau respon autoimun,
dimana imun seseorang bisa terganggu dan turun yang menyebabkan hancurnya organ sendi dan
lapisan pada sinovial, terutama pada tangan, kaki dan lutut (Sakti & Muhlisin, 2019; Masruroh &
Muhlisin, 2020).

Anda mungkin juga menyukai