Anda di halaman 1dari 22

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Uraian Teori

2.2. Kerangka Konseptual

2.3. Hipotesis
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Uraian Teori

1. Teori Keagenan

Teori keagenan muncul karena adanya perbedaan kepentingan antara


principal dan agen. Dalam teori keagenan, agen menjalakankan perannya sebagai
pelaksana delegasi wewenang yang diberikan oleh prinsipal. Jensen dan Meckling
(1976), menjelaskan bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh
kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik antara kepentingan
prinsipal dan agen.

Konflik keagenan dapat timbul di dalam segala jenis organisasi, baik


sektor privat, maupun sektor publik. Pada sektor publik atau pemerintahan
Indonesia, eksekutif sebagai pihak yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan
mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan dalam pemerintahan
merupakan bagian dari agen, sedangkan rakyat bertindak sebagai prinsipal yang di
dalam sistem pemerintahan Indonesia diwakili oleh pihak legislatif (DPRD).
Pembukaan Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa salah satu
tujuan dari Negara Republik Indonesia ialah untuk memajukan kesejahteraan
rakyat, dimana setiap pengambilan keputusan oleh eksekutif digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun demikian tidak dapat dipungkiri
terkadang pengambilan keputusan oleh eksekutif tidak mendukung dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, prinsipal membutuhkan
transparansi dari agen untuk meyakinkan bahwa pengambilan keputusan dan
penggunaan sumber daya oleh prinsipal telah memenuhi tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2
library.uns.ac.id digilib.uns.a1c0.i
d

Salah satu cara agar agen dapat meyakinkan prinsipal bahwa keputusan
yang telah diambil sesuai dengan tujuan ialah dengan cara pengawasan internal.
Audit internal merupakan salah satu bentuk dalam proses pengawasan oleh
prinsipal. Dengan adanya audit internal diharapkan setiap keputusan yang diambil
dan penggunaan sumber daya oleh agen telah sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

A. Auditor Internal

1. Pengertian Audit

Arens et al (2006 ; 4) mengemukakan pengertian Audit (auditing) sebagai berikut:

“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to


determine and report on degree of correspondence between the information and
established criteria, auditing should be done by a competent and independent
person”

Kegiatan Audit Internal menguji dan menilai efektivitas dan kecukupan


sistem pengendalian intern yang ada dalam organisasi. Tanpa fungsi audit
internal, dewan direksi dan atau pimpinan unit tidak memiliki sumber informasi
internal yang bebas mengenai kinerja organisasi, mengingat pengertian audit
internal adalah:

“ Internal auditing is an independent appraisal function established within an


organization to examine and evaluate its activities as a service to the
organization” (IIA US 1995; IIA UK 1998; Sawyer, 2005; Moeller, 2005).

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa auditing merupakan suatu


proses pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti mengenai informasi untuk
menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang
telah ditetapkan.
library.uns.ac.id digilib.uns.a1c1.
id

2. Kriteria Audit

Menurut Standar Profesi Audit Internal (2004) kriteria Audit Internal adalah

1. Independensi

2. Kemampuan Profesional

3. Lingkup Pekerjaan

4. Pelaksanaan Kegiatan Pemeriksaan

5. Manajemen Bagian Audit Internal

6. Tujuan, Kewenangan dan tanggung jawab: Pimpinan Auditor Internal harus memiliki
pernyataan tujuan, kewenangan dan tanggung jawab bagi pimpinan Auditor Internal.

7. Perencanaan: Pimpinan Auditor Internal menetapkan rencana bagi pelaksanaan


tanggung jawab bagian Auditor Internal.

8. Kebijaksanaan Auditor Internal: Pimpinan Auditor Internal harus menetapkan rencana


bagi pelaksana tanggung jawab bagian Audit Internal.

9. Manajemen Personal: Pimpinan Auditor Internal hams menetapkan program untuk


menyeleksi dan mengembangkan sumber daya manusia pada bagian Audit Internal

10. Auditor Eksternal: Pimpinan Auditor Internal harus mengkoordinasikan usaha-usaha


atau kegiatan-kegiatan Auditor Internal dengan Auditor Eksternal.

11. Pengendalian Mutu: Pimpinan Auditor Internal harus menetapkan dan


mengembangkan pengendalian mutu atau jaminan kualitas untuk mengevaluasi berbagai
kegiatan Audit Internal.
3. Pengertian Auditor Internal

Istilah Auditor Internal terdiri dari dua kata yaitu Auditing (audit) dan Internal
(intern). Bila diartikan secara sederhana adalah suatu audit yang dilakukan oleh pihak
intern dalam arti oleh perusahaan dengan menggunakan pegawai perusahaan itu sendiri.
Ini hams dibedakan dengan audit eksternal yaitu audit yang dilakukan oleh pihak luar
perusahaan atau pihak yang independen, dalam hal ini akuntan publik.

Tim yang melaksanakan fungsi audit di dalam perusahaan disebut Auditor


Internal. Auditor Internal sebagai pegawai yang melakukan audit mempunyai status
sebagai pegawai perusahaan. Keberhasilan tugas Auditor Internal ditentukan dari
kecakapannya dalam memanfaatkan setiap informasi yang ada yang berhubungan dengan
kegiatannya. Guna menjamin hasil kerja dari bagian perlu diperhatikan kualifikasi yang
baik dari pegawai bagian Auditor Internal tersebut.

S. Hadibroto (1987) antara lain menyatakan :

“ Auditor (pemeriksa) diharapkan menguasai berbagai bidang ilmu, yaitu : Ilmu Ekonomi
Manajemen, Hukum, Moneter dan sebagainya. Maka dari itu seyogianya bagian audit
bertindak sebagai sebuah tim yang bersifat multi disipliner “

Sedangkan menurut Standar Profesi Audit Internal (2004) menyatakan:

“Audit Internal adalah kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan objektif,
yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi
organisasi. Audit Internal membantu organisasi untuk mencapai tujuannya, melalui suatu
pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas
pengelolaan risiko, pengendalian, dan proses governance".
4. Tujuan dan Ruang Lingkup Auditor Internal

Secara umum tujuan dari Auditor Internal adalah untuk membantu semua anggota
organisasi agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dengan
memberikan analisa, saran, rekomendasi, dan komentar-komentar mengenai kegiatan
yang diperkirakannya.

Tujuan Audit Internal menurut Standar Profesi Audit Internal (SPAI) sebagai berikut:

1. Memberikan kerangka dasar yang konsisten untuk mengevaluasi kegiatan dan kinerja
satuan audit internal maupun individu auditor internal.

2. Menjadi sarana bagi pemakai jasa dalam memahami peran, ruang lingkup, dan tujuan
audit internal.

3. Mendorong peningkatan praktek audit internal dalam organisasi.

4. Memberikan kerangka untuk melaksanakan dan mengembangkan kegiatan audit


internal yang memberikan nilai tambah dan meningkatkan kineija kegiatan operasional
organisasi.

5. Menjadi acuan dalam menyusun program pendidikan dan pelatihan bagi auditor
internal.

6. Menggambarkan prinsip-prinsip dasar praktek audit internal yang seharusnya.

The Institute of Chartered Accountans in Australia (ICAA, 1994 p 76) tentang


ruang lingkup audit internal mengemukakan:
"The scope and objectives of internal audit vary widly and are dependent upon the size
and structure of the entity and the requirements of its management. Normally however
internal audit operates in one or more of the following areas : (a) Review of accounting
system and related internal controls; (b) Examination of the management of financial and
operating information; (c) Examination of the economy, efficiency and effectiveness of
operations including non-financial control of an organization”

Dengan demikian ruang lingkup dan tujuan audit internal sangat luas tergantung
pada besar kecilnya organisasi dan permintaan dari manajemen organisasi yang
bersangkutan. Untuk dapat melaksanakan tugasnya, Auditor Internal dalam organisasi
pada umumnya anggotanya memiliki pengetahuan bidang: (1) Keuangan; (2) Information
Technology; (3) Bidang yang bertalian dengan kegiatan pokok (kultur) organisasi; dan (4)
Untuk organisasi yang besar diperlukan tenaga berlatar belakang hukum.

Tuntutan barn peran internal auditing yang telah ditetapkan oleh HA’S Board of
Directors padabulan Juni 1999 adalah:

“Internal auditing is an independent, objective assurance and consulting activity


designed to add value and improve an organization's operations. It helps an organization
accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and
improve the effectiveness of risk management, control and governance processes“
( Sawyer 2003; IIA 2004; Arens et al 2006 p 770 ).

Mengacu kepada pengertian bam audit internal maka ruang lingkup tugas auditor
internal ( Sawyer, 2003:1363; IIA, 2004:14; Arens et al, 2006) adalah:

“The internal audit activity should evaluate and contribute to improvement of risk
management, control, and governance processes using a systematic and disciplined
approach”
Dengan demikian mang lingkup dan tujuan Auditor Internal dapat menjadi luas
tergantung pada besar kecilnya organisasi dan permintaan dari manajemen organisasi
yang bersangkutan.

5. Fungsi dan Tanggung Jawab Auditor Internal

Fungsi audit internal harus independen dan auditor internal harus objektif dalam
melaksanakan pekerjaannya, sedangkan pengertian dari kedua hal tersebut yaitu:

a. Independensi Organisasi

Fungsi audit internal harus ditempatkan pada posisi yang memungkinkan fungsi
tersebut memenuhi tanggung jawabnya. Independensi akan meningkat jika fungsi audit
internal memiliki akses komunikasi yang memadai terhadap Pimpinan organisasi.

b. Objektivitas Auditor Internal

Auditor internal harus memiliki sikap mental yang objektif, tidak memihak dan
menghindari kemungkinan timbulya pertentangan kepentingan (conflict of interest). Pada
saat ini fungsi Auditor Internal dalam suatu perusahaan semakin diperlukan, terutama
pada perusahaan yang memiliki skala operasi yang luas dan besar. Auditor Internal tidak
hanya berfungsi untuk mengurangi kebocoran dan penyelewengan dalam perusahaan,
akan tetapi lebih dari itu yaitu sebagai penghasil informasi yang tepat dan tidak memihak
serta dapat membantu meningkatkan mutu pimpinan dalam pengendalian perusahaan.
Di dalam tugasnya membantu pimpinan, maka fungsi Auditor Internal harus sesuai
dengan fungsi-fungsi manajemen yang dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Fungsi Perencanaan, yang merupakan perencanaan operasi melalui saluran manajemen


yang sah yang meliputi rencana jangka panjang maupun jangka pendek sesuai dengan
tujuan perusahaan.

2. Fungsi Pengawasan, termasuk pengembangan testing dan perbaikan kelayakan yang


berarti dengan membandingkan standar dengan hasil pekerjaan dan membantu pimpinan
dalam menetapkan kesesuaian antara hasil pekeijaan dan membantu pimpinan dalam
menetapkan kesesuaian antara hasil yang nyata dengan standar.

3. Fungsi Pelaporan, yang meliputi penyajian interprestasi dan analisa data keuangan bagi
pimpinan dan menekankan penilaian data dan referensi perusahaan serta tujuan dari
metode bagian-bagian. Pengaruh ekstem dan kelayakan penyajian laporan kepada pihak
ketiga seperti pemerintah, pemilik kreditur-kreditur, langganan, masyarakat dan pihak
lain.

4. Fungsi Akuntansi, termasuk pembentukan perusahaan dan akuntansi umum, akuntansi


biaya dengan sistem dan metode yang mencakup rancangan dan pembentukan serta
pemeliharaan semua buku-buku catatan transaksi keuangan yang objektif dan
menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip akuntansi dengan audit internal yang baik.

5. Fungsi Lain-lain, termasuk pemberian nasehat perpajakan, memperbaiki sistem dan


prosedur serta internal audit.
Lebih lanjut ada pengertian lain yang menyebutkan bahwa fungsi Auditor Internal adalah:

1. Menentukan baik tidaknya Auditor Internal dengan memperhatikan pemisahan fungsi


dan apakah prinsip akuntansi benar-benar telah dilaksanakan.

2. Bertanggung jawab dan menentukan apakah pelaksanannya mentaati peraturan, rencana


policy dan prosedur yang telah ditentukan sampai menilai apakah hal-hal tersebut perlu
diperbaiki atau tidak.

3. Memverifikasi adanya kebutuhan kekayaan termasuk mencegah dan menemukan


penyelewengan.

4. Memverifikasi dan menilai tingkat kepercayaan terhadap sistem akuntansi (accounting


system) dan pelaporan.

5. Menilai kehematan, efisiensi dan efektivitas kegiatan.

6. Melaporkan secara objektif apa yang diketahuinya kepada manajemen disertai


rekomendasi perbaikannya.

Walaupun penyajian tiap penulis di atas berbeda tetapi pada prinsipnya tujuan
mereka dalam menetapkan fungsi Auditor Internal itu adalah sama yakni menekankan
kepada peningkatan hasil guna perusahaan secara umum.

Auditor Internal bukan merupakan fungsi operasional karena Ia tidak terlibat dalam
kegiatan utama perusahaan, tetapi bagian ini berfungsi sebagai star perusahaan. Oleh
karena itu Ia tidak akan melaksanakan perintah atas apa yang direkomendasikannya
kepada pimpinan, Auditor Internal harus bebas membahas dan menilai kebijaksanaan
pejabat yang dia audit.
6. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern


Pemerintah (SPIP) mengatur tentang penerapan sistem pengendalian intern pada instansi
pemerintah. Secara umum, sistem pengendalian intern dapat diartikan sebagai rangkaian
kegiatan, prosedur, proses, dan aspek lain yang berkaitan dengan pencapaian tujuan.

Terdapat empat tujuan dalam penerapan SPIP pada isntansi pemerintah, yaitu untuk
memberikan keyakinan memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi, keandalan
laporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan. SPIP hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan memberikan
keyakinan yang mutlak.

Dalam kerangkanya, SPIP memiliki lima unsur yang terdiri dari:

1. Lingkungan pengendalian

2. Penilaian risiko

3. Kegiatan pengendalian

4. Informasi dan komunikasi

5. Pemantauan pengendalian intern.

Pengertian lain juga mengemukakan bahwa Auditor Internal ialah orang atau
badan yang melaksanakan aktivitas internal auditing. Oleh sebab itu Auditor Internal
senantiasa berusaha untuk menyempurnakan dan melengkapi setiap kegiatan dengan
penilaian langsung atas setiap bentuk pengawasan untuk dapat mengikuti perkembangan
dunia usaha yang semakin kompleks. Dengan demikian
Auditor Internal muncul sebagai suatu kegiatan khusus dari bidang akuntansi yang
luas yang memanfaatkan metode dan teknik dasar dari penilaian. American Institute of
Certified Public Accountants (2004) memberikan pengertian Internal Control sebagai
berikut :

“Internal control comprises the plan of organization and all of the coordinated methods
and measures adopted within a business to safeguad its cassets, check the accuracy and
realibility of its accounting data,promate operational efficieny, and encourage adhrence
to prescribed managerial policies

Atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia akan tampak sebagai berikut:

“ Pengendalian Intern meliputi susunan organisasi dan semua metode serta ketentuan yang
terkoordinir dan dianut daiam perusahaan untuk melindungi harta benda miliknya,
memeriksan kecermatan dan seberapa jauh data akuntansi dapat dipercaya, meningkatkan
efisiensi usaha dan mendorong ditaatinya kebijaksanaan perusahaan yang telah
digariskan”.

Committee of Sponsoring Organization of Treadway Commission (1994) merumuskan


Pengendalian intern sebagai berikut :

” Pengendalian intern adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan komisaris, direksi
atau top manajemen, personel-personel lainnya, dimaksudkan untuk menyajikan kepastian
yang semestinya berkenaan dengan tujuan-tujuan berikut: Efektivitas dan efiensi operasi,
Keandalan atau dapat dipercayanya laporan keuangan, dan ketaatan pada undang- undang
dan peraturan yang telah ditetapkan” (COSO, 1994:3,Arens et al, 2006:270 ).
Pengendalian intern terdiri dari lima komponen kebijakan dan prosedur. Kelima
pengendalian intern tersebut adalah :

1. Control Environment (Lingkungan Pengendalian)

2. Management Risk Assesment (Penilaian Risiko Manajemen)


library.uns.ac.id digilib.uns.a2c0.i
d

3. Accounting Information and Communication System (Sistem Komunikasi dan Informasi


Akuntansi)

4. Control Activities (Aktivitas Pengendalian)

5. Monitoring (Pemantauan)

Lingkungan pengendalian diharapkan memberikan atmosfir yang kondusif di


mana karyawan bekerja. Kondisi ini diharapkan menyadarkan para karyawan untuk
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Untuk itu kompetensi, komitmen, etika, tone
at the top, dan keteladanan merupakan pondasi dari pengendalian intern yang lainnya.
Oleh karena itu lingkungan pengendalian yang baik mencerminkan:

1. Integritas dan nilai etika

2. Komitmen terhadap kompetensi

3. Aktivitas para manajer

4. Filosofi dan gaya kepemimpinan

5. Pembagian wewenang dan tanggung jawab

6. Struktur organisasi

7. Kebijakan dan praktik manajemen dan personalia.

Sesuai dengan uraian diatas, maka dalam arti sistem pengendalian intern mecakup
pengawasan yang dapat dibedakan atas pengawasan yang bersifat akuntansi dan
administratif.

a. Pengawasan akuntansi meliputi rencana organisasi dan semua cara dari prosedur, yang
terutama menyangkut dan berhubugan langsung dengan pengamanan harta benda dan
dapat dipercayainya catatan keuangan (pembukuan). Pada umumnya pengawasan
akuntansi meliputi sistem pemberian wewenang (otorisasi) dan sistem persetujuan
pemisahan antara tugas operasional, tugas penyimpanan harta kekayaan dan tugas
pembukuan, pengawasan fisik dan Audit Internal .
library.uns.ac.id digilib.uns.a2c1.
id

b. Pengawasan administratif, meliputi rencana organisasi dan semua cara dan prosedur
yang terutama menyangkut efisiensi usaha dan ketaatan terhadap kebijaksanaan pimpinan
perusahaan yang pada umumnya tidak langsung berhubungan dengan pembukuan
(akuntansi). Dalam pengawasan admsnistratif termasuk analisa statistik, time and motion
study, laporan kegiatan, program latihan pegawai dan pengendalian mutu.

Sistem Internal Control yang baik tidak dapat menjamin tidak adanya
penyimpangan kecurangan dan pemborosan dalam suatu perusahaan, apabila orang-orang
yang melaksanakan kegiatan tersebut tidak selalu bertindak sesuai dengan prosedur yang
telah ditetapkan. Usaha untuk melaksanakan sistem internal control yang baik adalah
dilaksanakannya pemeriksaan yang teratur oleh pimpinan perusahaan dengan membuat
suatu departemen atau bagian yang disebut Departemen Audit Internal.

Dengan adanya Departemen Audit Internal, diharapkan akan dapat membantu anggota
manajemen dalam berbagai hal, seperti menelaah prosedur operasi dari berbagai unit dan
melaporkan hal-hal yang menyangkut tingkat kepatuhan terhadap kebijaksanaan pimpinan
perusahaan, efisiensi, unit usaha atau efektifitas sistem pengawasan intern. Hal inilah yang
melatar belakangi timbulnya spesialisasi bidang audit internal, yang menuntut tidak hanya
keahlian dalam bidang akuntansi tetapi juga keahlian bidang lainnya.
Namun beberapa ciri-ciri sistem pengendalian intern yang memadai adalah adanya
empat unsur seperti berikut ini.

1. Suatu bagan organisasi yang memungkinkan pemisahan fungsi secara tepat.

2. Sistem pemberian wewenang serta prosedur pencatatan yang layak agar tercapai
pengawasan akuntansi yang cukup atas aktiva, hutang-hutang, hasil dan biaya.

3. Praktek yang sehat harus diikuti dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap bagian
organisasi.

4. Pegawai-pegawai yang kualitasnya seimbang dengan tanggung jawab.

Keempat unsur ini yang masing-masing sama pentingnya merupakan dasar


pengawasan intern yang baik, kelemahan yang menyolok dalam salah satu diantaranya dapat
menghambat tujuan sistem itu sendiri.
2.2. Kerangka Konseptual

Dukungan Manajemen (DM) H1(+)

H2(+)
Kapasitas Auditor (KA)

Peningkatan Efisiensi dan


Efektivitas (PEE)
Hubungan Auditor-Auditee
(HAA) H3(+)

Pembelajaran dan Audit H4(+)


(PBA)
2.3. Hipotesis

1. Dukungan Manajemen (DM)

Salah satu alasan yang menghalangi audit internal dalam memacu peningkatan kinerja
adalah timbulnya penolakan dari auditee (Mints, 1972). Funnel dan Wade (2012)
menjelaskan bahwa respon pertama reaksi auditee ketika dilakukan audit kinerja, terdapat
ketakutan dan kecurigaan, termasuk emosi karena tidak percaya dan paranoid, dan hal-hal
demikian biasanya identik dengan hubungan auditor-auditee. Bahkan, hal tersebut bisa
meningkat menjadi permusuhan di mana kritik, sinisme, penghinaan, kebencian mungkin
akan muncul.

Seringkali, audit tidak dilihat sebuah organisasi sebagai proses yang vital (Allen,
1996; Carmeli and Zisu, 2009). Auditee menggambarkan auditor dengan istilah yang
mengancam seperti halnya polisi, jaksa, penyidik, penuduh (Pickett and Pickett, 2010; Wade,
2008). Hal tersebut menyuratkan bahwa pentingnya bagi pimpinan unit kerja untuk
menyuarakan bahwa mereka menganggap audit sebagai suatu hal yang penting. Ketika para
pimpinan gagal mengakui auditor sebagai ahli profesional di mana sikap negatif yang
ditunjukkan, pada akhirnya negativitas itu bisa menular dan memberikan pesan tersirat bahwa
auditor adalah lawan dan pembuat masalah, dan memunculkan budaya tersebut pada
organisasi (Schein 1996) yang nanti pada akhirnya akan merusak kesediaan unit kerja
tersebut untuk bekerja sama dengan auditor internal.

Kurangnya dukungan manajemen juga dapat dipandang sebagai situasi di mana


lemahnya kepemimpinan yang etis yang akan mengakibatkan auditor untuk meragui proses
kerja dari auditee (Arel et al, 2012). Oleh karena itu, untuk memberikan motivasi kepada
auditee agar lebih mudah menerima audit dan mempelajarinya, dukungan manajemen dari
pimpinan perlu memacu kerangka kerja untuk mengatur dan menyusun hubungan budaya dan
sosial. Kerangka kerja semacam itu memungkinkan sinergi antar pihak dan mengarahkan
perhatian lebih pada pembelajaran audit, bukan justru memacu konflik dan perlawanan
(Giddens 1984). Dukungan manajemen adalah keterlibatan dan komitmen terhadap
keberhasilan proses kerja dengan memberikan perhatian secara memadai dan mengalokasikan
sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkannya. Dukungan manajemen mempengaruhi
tingkat kerjasama auditor dengan auditee dan kesediaan dua pihak untuk menerima komentar
dan saran auditor sehingga perbaikan atas kesalahan dapat diterapkan (Schwartz et al, 2005).
Dukungan manajemen dari para pimpinan untuk kegiatan audit akan menyampaikan
pesan tentang ketertarikan untuk membahas isu-isu yang terkait dengan audit, dan
kemampuan para pimpinan akan bertindak sebagai penengah antara auditor dan auditee,
terutama ketika hal tersebut merosot menjadi konflik interpersonal. Terdapat tiga proses
psikologis yang mendasari dukungan manajemen dan memfasilitasi keterbukaan dan
kerjasama yang lebih baik (Eisenberger et al., 1986; Eisenberger et al., 2002; Rhoades and
Eisenberger, 2002).

Pertama, para pegawai saling mendukung dengan rasa kewajiban dan komitmen yang
lebih besar untuk bertindak dengan cara berkontribusi untuk fungsi unit kerja yang lebih baik.
Kedua, dukungan manajemen menandakan kepedulian, persetujuan, dan rasa hormat di mana
kebutuhan sosio-emosional individu terpenuhi. Ketiga, dukungan keyakinan bahwa unit kerja
akan mengetahui dan memberi penghargaan kepada karyawan yang menunjukkan kinerja
tinggi (yaitu, kinerja yang sesuai dengan harapan). Manajemen yang mememotivasi auditee
untuk terlibat dalam kegiatan audit karena hal tersebut akan mengembangkan komitmen yang
lebih kuat terhadap aktivitas audit dan merasa bahwa audit tersebut dirasakan oleh tim
manajemen sebagai mekanisme kunci untuk meningkatkan hasil kinerja. Hal ini sesuai
dengan Carmeli dan Zisu (2009) yang menjelaskan bahwa ketika auditee percaya bahwa
kompetensi mereka diberi penghargaan lebih oleh unit kerja, mereka cenderung merasakan
kepercayaan dan merasa aman secara psikologis untuk mengemukakan masalah-masalah
yang terjdi dan mendengar suaranya didengar tanpa merasa takut bahwa status atau citra
mereka akan rusak. Pada saat auditee mengetahui bahwa bekerja sama dengan auditor
dikaitkan dengan pemberian penghargaan kinerja, mereka mungkin berupaya lebih keras
untuk membuat aktivitas audit lebih bermanfaat dengan membentuk hubungan yang lebih
positif dengan auditor.

H1: Dukungan manajemen berpengaruh positif terhadap efisiensi dan efektivitas satuan kerja
pemerintah

2. Kapasitas Internal Auditor (KA)

Kapasitas internal auditor terdiri dari keterampilan profesional, sumber daya ekonomi,
dan perilaku etis terhadap auditee. Keterampilan profesional auditor terwujud dalam
pengetahuan dan pengalaman mereka (DeAngelo, 1981; OAG, 2004), dan kredibilitas
profesional (Deis dan Giroux, 1992). Auditor seharusnya tidak hanya memiliki latar belakang
akademis tapi juga pengalaman pelatihan khusus (Firth, 1990).
Ketika auditor internal mengembangkan kapasitas profesional yang tinggi , mereka
akan dianggap sebagai ahli yang mungkin didengarkan dan dipelajari oleh auditee. Peneliti
menegaskan perilaku profesionalisme auditor akan membantu auditee untuk mengembangkan
rasa hormat terhadap mereka, karena mereka dianggap memiliki pengetahuan tentang
masalah yang dihadapi. Hal ini akan menumbuhkan pertukaran hubungan di mana auditee
dan auditor lebih terbuka, saling hormat, dan saling menerima satu sama lain.

H2: Kapasitas internal auditor berpengaruh positif terhadap efisiensi dan efektivitas satuan
kerja pemerintah

3. Hubungan Auditor-Auditee (HAA)

Kegiatan audit memberi kesempatan belajar yang cukup banyak kepada auditor
dengan cara mengungkapkan ketidaksempurnaan spesifik dan memberikan rekomendasi dan
solusi (Eden dan Moriah 1996). Cara auditor internal melakukan audit mereka dapat memberi
tahu auditee mengenai bagaimana mereka dapat mengetahui dan mengidentifikasi
kekurangannya. Selain itu, saran dan rekomendasi auditor juga merupakan kumpulan
pengetahuan dan pengetahuan yang tak ternilai dan pengetahuan yang tersembunyi (Argote,
1999; Simonin, 1997; Stata, 1989) untuk auditee.

Proses audit sering ditandai dengan interaksi yang luas antara auditor dan auditee
(Dittenhofer, 1997). Tingkat kerjasama yang tinggi dari auditee sangatlah penting bagi
auditor. Auditor seringkali menjadi sumber informasi penting, begitu pula berbagai
penjelasan untuk penyimpangan dari praktik normatif maupun yang terbaik. Auditor terlibat
dalam diskusi dengan auditee mengenai kekurangan yang terdeteksi dan implikasinya, serta
berbagai cara potensial untuk memperbaiki dan mempelajarinya. Mengelola interaksi dengan
cara yang menekan negativitas dan menumbuhkan sikap positif auditee terhadap proses audit
merupakan kunci motivasi auditee untuk terlibat dalam pembelajaran dari aktivitas audit.

Auditee harus diberitahu mengenai kesalahan yang terjadi dan bagaimana caranya
untuk menghindari praktik yang buruk, pentingnya pertanggungjawaban, dan kewajiban
moral untuk bertindak secara etis. Auditor memainkan peran penting dalam menunjukkan
bagaimana memperbaiki perilaku etis dan akuntabilitas organisasi (Morris, 2014).

Namun, audit internal cenderung tidak dilihat oleh organisasi dan para pegawainya
sebagai proses yang bermanfaat (Allen, 1996; Carmeli dan Zisu, 2009). Auditee melaporkan
perasaan cemas dan keterasingan terhadap audit dan auditor (Pickett dan Pickett, 2010) dan
mungkin menimbulkan rasa terpisah dalam proses audit tersebut (Wade, 2008). Sumber daya
yang ditanamkan oleh auditee, risiko terhadap nama baik dan status mereka, integritas
mereka, dan kurangnya penghargaan atas investasi mereka, dapat menciptakan
ketidaksesuaian kognitif (cognitif dissonance) yang mungkin dapat menciptakan konflik
dengan auditor dan penolakan terhadap proses audit tersebut.

Hubungan kerja antara auditor internal dan auditee adalah mekanisme kunci yang
dapat membantu memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja (Wang et al, 2005).
Gambaran teori pertukaran sosial (Blau, 1964, Homans, 1961), yaitu berteori tentang kualitas
hubungan auditor-auditee yang muncul selama aktivitas audit dan menyarankan agar
hubungan tersebut cenderung memfasilitasi diskusi yang bermanfaat, yang sangat penting
untuk pembelajaran proaktif dari proses audit. Pembelajaran proaktif mengacu pada orientasi
pembelajaran yang dikembangkan kelompok dan anggotanya dan tingkat keterlibatan mereka
dalam prosesnya, seperti penekanannya pada menumbuhkan keterampilan, pengetahuan, dan
kompetensi (Bunderson dan Sutcliffe, 2003; Bell dan Kozlowski, 2002). Melalui interaksi
positif ini, orientasi belajar kolaboratif menjadi kuat dan auditee akan mengembangkan
pengertian bahwa belajar dari audit itu penting dan bermakna yang merupakan kunci
keterlibatan dalam perilaku kerja semacam itu (Kahn 1990). Ketika individu terlibat dalam
pembelajaran aktif, mereka lebih terbuka untuk mengungkapkan kesalahan dan
mendiskusikannya. Selain itu, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa auditee yang
mengembangkan perasaan bahwa audit merupakan mekanisme pembelajaran yang penting
(Eden dan Moriah 1996) dan perasaan nyaman berinteraksi dengan auditor cenderung
memiliki sikap positif terhadap audit dan akan menimbulkan pembelajaran audit. Sebaliknya,
auditee yang memiliki rasa frustrasi karena keterlibatan mereka dalam proses audit mungkin
akan kurang mampu menghayati komentar dan rekomendasi atau memanfaatkannya untuk
mengembangkan pengetahuan (Blakeney et al, 1976).

H3: Hubungan auditor-auditee berpengaruh positif terhadap efisiensi dan efektivitas satuan
kerja pemerintah

4. Pembelajaran Audit (PBA)

Pembelajaran audit mendorong peningkatan kinerja karena kegiatan audit


memberikan kesempatan unik yang khas bagi auditee untuk belajar bagaimana mendekati dan
menyelesaikan tugas yang sedang dihadapi. Ketika auditee mengembangkan pembelajaran
proaktif di mana mereka menghargai proses pembelajaran, mereka mengembangkan
pendekatan yang lebih terbuka dan adaptif terhadap berbagai masalah. Audit internal juga
membantu auditee untuk bekerja secara lebih baik karena auditor dapat memberikan
gambaran komprehensif baru tentang bagaimana tugas diselesaikan berdasarkan
pengumpulan informasi, pertanyaan, dan klarifikasi yang sistematis (Eden dan Moriah,
1996).

Dalam perspektif pembelajaran sosial Bandura (1977) merekomendasikan bahwa


auditor memengaruhi perilaku etis auditee dengan mencontohkan profesionalisme. Auditor
terus mengevaluasi kepercayan akan keberadaannya dan profesionalisme saat melakukan
aktivitas audit. Beberapa auditees menggambarkan auditor yang baik sebagai teladan (Berg,
1992). Auditor, yang memperhatikan detil hal-hal kecil, menggunakan praktik secara
profesional, merencanakan dan melakukan proses peninjauan yang terorganisir dan
sistematis, menerapkan pengendalian internal dalam pekerjaannya, dan dalam temuannya
menghadirkan kemungkinan akan menjadi contoh yang baik dan dapat mempengaruhi
pandangan dan sikap auditee, nantinya akan diwujudkan sebagai perilaku yang baru dan lebih
baik.

Secara khusus, auditee akan belajar dari auditor sebagai ahli profesional di mana ada
manfaat yang jelas untuk belajar dan mengembangkan pengetahuan baru. Inilah sebabnya
mengapa auditee lebih bersedia hadir dan belajar dari auditor yang lebih baik dan dianggap
sebagai pihak berwenang.

Dengan kata lain, auditee cenderung memperhatikan auditor profesional jika mereka
dianggap sebagai otoritas yang dapat dipercaya yang dapat mereka pelajari jikalau nanti
berurusan dengan perilaku menyimpang di dalam dan di luar unit kerja, dan menemukan cara
untuk memperbaiki etika organisasi.

H4: Pembelajaran audit berpengaruh positif terhadap efisiensi dan efektivitas satuan
kerja pemerintah

Anda mungkin juga menyukai