Anda di halaman 1dari 9

http://journal.trunojoyo.ac.

id/jurnalkelautan Jurnal Kelautan

Volume 11, No. 1, 2018

ISSN: 1907-9931 (print), 2476-9991 (online)

Mikroalga: Sumber Energi Terbarukan Masa Depan


MICROALGAE: FUTURE RENEWABLE ENERGY SOURCES

Sarman Oktovianus Gultom

Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Papua


Jl. Gunung Salju Amban, Manokwari, 98314, Indonesia

Corresponding author e-mail: sarmangultom82@gmail.com

Submitted: 24 Maret 2018 / Revised: 02 November 2018 / Accepted: 02 November 2018

http://doi.org/10.21107/jk.v11i1.3802

ABSTRACT

The discovery of renewable fuel sources is critical to address the problem of limited fossil fuel energy in
meeting the increasing energy demand. In addition, the use of renewable fuels is expected to reduce
environmental pollution that has been sourced from CO 2 emissions of fossil fuel combustion. One of the
future renewable alternative fuel sources is the microalgae. Development of microalgae as a renewable
energy source continues to be done because it has advantages over other energy sources, such as high
biomass production rates, not competing with foodstuffs, and does not require extensive land for growth.
This Thechnilcal review is directed to provide information on the development and utilization of
microalgae as a renewable alternative energy source, including harvesting technologies and microalgae
convertion into fuel.

Keywords: microalgae, biodiesel, cultivation, energy

ABSTRAK

Penemuan sumber bahan bakar terbarukan sangat penting untuk menjawab permasalahan keterbatasan
energi bahan bakar berbasis fosil dalam memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat. Selain itu,
penggunaan bahan bakar terbarukan diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan yang
selama ini bersumber dari emisi gas CO2 hasil pembakaran bahan bakar fosil. Salah satu sumber bahan
bakar alternatif terbarukan masa depan adalah mikroalga. Pengembangan mikroalga sebagai sumber
energi terbarukan terus dilakukan karena memiliki keuntungan dibandingkan sumber energi lainnya,
seperti laju produksi biomassa yang tinggi, tidak berkompetisi dengan bahan pangan, serta tidak
membutuhkan lahan yang luas untuk pertumbuhannya. Technical review ini diarahkan untuk memberikan
informasi tentang pengembangan dan pemanfaatan mikroalga sebagai sumber energi akternatif
terbarukan, termasuk teknologi panen dan korvesi mikroalga menjadi bahan bakar.

Kata kunci: mikroalga, biodiesel, kultivasi, energi

PENDAHULUAN Indonesia masih bergantung sepenuhnya pada


bahan bakar yang berasal dari minyak bumi
Pengembangan sumber bahan bakar alternatif yang tidak terbarukan (petrolium-based oil),
yang terbarukan terus dilakukan guna menjawab yang mana di masa yang akan datang
tantangan besar yang sementara dan akan ketersediaannya semakin berkurang dan
dihadapi umat manusia di muka bumi, yaitu akhirnya akan habis. Oleh sebab itu,
ketersediaan energi bahan bakar. Kebutuhan pengembangan sumber energi bahan bakar
energi bahan bakar terus meningkat seiring terbarukan sangat penting dilakukan guna
bertambahnya jumlah penduduk dan mempertahankan ketersediaan bahan bakar
meningkatnya kebutuhan dan ekonomi secara kontinyu.
masyarakat. Hingga saat ini, pemenuhan energi
bahan bakar dunia, dan secara khusus di

95
Jurnal Kelautan, 11(1), 95-103 (2018)

Beberapa tahun terakhir telah banyak dilakukan Benemann, Van Olst et al., 2006). Selanjutnya
penelitian untuk mendapatkan sumber energi Kultivasi mikroalga dilaporkan secara detail oleh
bahan bakar terbarukan pengganti bahan bakar Benemann (1978), baik dari sisi desain maupun
yang berasal dari minyak bumi, Salah satunya analisis keteknikannya.
adalah pengembangan mikroalga. Banyak hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa mikroalga Secara umum pertumbuhan mikroalga terjadi
memiliki potensi yang besar sebagai sumber pada tiga kondisi yang berbeda, yaitu kondisi
bahan bakar terbarukan karena memiliki fototropik (phototrophic conditions). kondisi
kandungan minyak yang dapat dijadikan heterotropik (heterotrophic conditions) dan
sebagai bahan bakar biodiesel. Selain kondisi mixotropik (mixotrophic conditions).
kandungan minyak yang dimiliki, mikroalga juga Pada kondisi tumbuh secara fototropik
dikenal sebagai tumbuhan akuatik yang memiliki mikroalga sangat bergantung cahaya matahari
keunggulan dibandingkan sumber bahan bakar sebagai sumber energi dan CO2 sebagai
lainnya, antara lain: tidak membutuhkan lahan sumber karbon. Kondisi ini sering disebut juga
yang luar, mampu menghasilkan biomassa autotropik fotosintesis (autotrophic
dengan sangat cepat, serta mampu photosynthesis). Pada kondisi heterotropik
memanfaatkan CO2 dalam pertumbuhannya pertumbuhan mikroalga membutuhkan substrat
sehingga mengurangi pencemaran udara. karbon organik sebagai sumber energi.
Beberapa sumber substrat karbon organik yang
Di Indonesia, pengembangan mikroalga sebagai umum digunakan antara lain: glukosa, asetat
sumber bahan bakar terbarukan juga terus dan gliserol. Berdasarkan beberapa hasil
dilakukan diantaranya dengan dilakukannya penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
identifikasi jenis-jenis mikroalga yang tumbuh dilaporkan bahwa produksi biomassa serta
pada daerah-daerah tropis di Indonesia. kandungan lipid pada mikroalga yang tumbuh
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dengan kondisi heterotropik lebih tinggi dari
telah dilakukan sebelumnya, dilaporan bahwa yang tumbuh pada kondisi fototropik (Miao and
terdapat beberapa tempat di Indonesia yang Wu 2006; Mosojídek et al., 2008). Pada kondisi
memiliki jenis mikroalga yang kandungan ini juga densitas sel mikroalga yang dicapai
minyaknya cukup tinggi sebagai sumber bahan lebih tinggi dari kondisi fototropik sehingga biaya
bakar terbarukan. yang dibutuhkan untuk pemanenan lebih
rendah. Beberapa jenis mikroalga juga mampu
Potensi dan tantangan pengembangan tumbuh pada kondisi mixotropik yang
mikroalga sebagai sumber bahan bakar merupakan perpaduan atara fototropik dan
terbarukan akan dibahas pada telaah ilmiah ini. heterotropik. Jenis mikroalga tersebut dapat
Ruang lingkup telaah ilmiah ini antara lain mengasimilasi cahaya matahari dan karbon
kultivasi dan kondisi tumbuh mikroalga, teknik organik sebagai sumber energinya baik secara
pemanenan mikroalga, teknologi konversi bersamaan maupun secara bergantian.
mikroalga menjadi bahan bakar terbarukan,
serta propek dan masalah dalam Faktor-faktor yang mempengaruhi kultivasi
pengembangan mikroalga sebagai bahan bakar mikroalga
terbarukan.
Keberhasilan dalam melakukan kultivasi
Mikroalga: kultivasi dan kondisi tumbuh mikroalga sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor penting. Hal tersebut perlu diperhatikan
Produksi biomassa pada mikroalga menjadi karena mikroalga yang berbeda membutuhkan
alasan utama dilakukannya kultivasi mikroalga syarat tumbuh yang berbeda.
(Hung et al., 2010). Pada tahun 1960 Oswald
dan Golueke untuk pertama kalinya Jenis mikroalga
memanfaatkan kultur mikroalga untuk menjadi
bahan bakar minyak terbarukan. Penelitian yang Secara natural mikroalga memiliki jenis yang
dilakukan mencakup sistem pada kultur spesifik (strain) yang membedakannya dengan
mikroalga dengan sekala besar, tehnik mikroalga yang lain. Jenis mikroalga tertentu
pemanenan mikroalga, pengendapan lumpur mampu bertahan hidup pada kondisi tertentu.
mikroalga degan cara anaerobik serta Kondisi yang tepat sangat penting bagi
pemanfaatan mikroalga untuk menghasilkan pertumbuhan mikroalga terlebih ketika
biogas (Report, 2002; Benemann, 2003; diperhadapkan dengan organisme penggangu
lainnya. Tehnik kultivasi mikroalga yang tepat

96
Gultom, Makroalga: Sumber Energi Terbarukan Masa Depan

terus dilakukan khususnya untuk menghadapi klorofil dan pigmen lainnya yang berperan dalam
masalah kontaminasi terhadap sel mikroalga proses fotosintesis. Akan tetapi, bagi jenis
yang dikembangkan. mikroalga yang mampu tumbuh secara
CO2 heterotrofik, kehadiran cahaya matahari tidak
dibutuhkan karena mikroalga mampu bertumbuh
Salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh dengan mamanfaatkan karbon organik sebagai
mikroalga untuk pertumbuhannya adalah CO 2. sumber energi pada kondisi tanpa cahaya.
Pada proses metabolismenya, CO2 yang
dibutuhkan oleh mikroalga diubah menjadi Sistem kultivasi mikroalga
biomassa. Sumber CO2 tersebut pada umumnya Sistem terbuka
berasal dari gas yang dihasilkan oleh industrI
yang merupakan hasil pembakaran untuk Kultivasi mikroalga sistem terbuka merupakan
menghasilkan tenaga. Pada beberapa tahun sistem kultivasi dimana mikroalga tumbuh di
terakhir penelitian tentang pemanfaatan CO2 alam terbuka, umumnya pada perairan alamiah
bagi mikroalga terus dilakukan karena hal ini seperti kolam, sungai dan danau. Dalam
bukan hanya berpengaruh pada produksi pengembangannya kultivasi sistem terbuka juga
biomassa oleh mikroalga tetapi juga telah dilakukan pada kolam-kolam buatan yang
pengurangan efek rumah kaca pada atmosfir didisain untuk pertumbuhan mikroalga
akibat gas CO2. (Borowitzka, 1999). Pada sistem terbuka ini
kebutuhan CO2 oleh mikroalga sangat tercukupi
Fisiologi mikroalga karena CO2 diperoleh langsung dari udara
terbuka. Namun, jika biomassa mikroalga sudah
Pertumbuhan mikroalga juga dipengaruhi oleh sangat banyak maka penetrasi udara ke dalam
sifat fisiologinya. Fisiologi mikroalga ini akan kolam tempat mikroalga bertumbuh akan sangat
mempengaruhi pengambilan nutrisi serta sukar sehingga dibutuhkan alat penghembus
lingungan kultivasinya. Secara alamiah udara (submerged aerator) untuk membantu
mikrolaga yang hidup pada kolam (ponds) penyerapan CO2 (Terry and Raymond, 1985).
terbuka akan bertumbuh dengan cepat hingga Kultivasi sistem terbuka merupakan metode
menutupi permukaan kolam. Apabila fisiologi kultivasi mikroalga yang relatif murah jika
dari mikroalga tersebut sangat baik, maka dibandingkan dengan kultivasi sistem tertutup
kondisi tersebut dapat memacu produksi yang menggunakan fotobioreaktor. Namun
biomassa dengan kandungan minyak dan pati demikian, sistem terbuka perlu
yang tinggi. Akan tetapi, respon fisiologi tertentu mempetimbangkan lingkungan tumbuh
tidak mendukung mikroalga untuk bertahan mikroalga karena pada kondisi terbuka
hidup pada kolam tersebut. Hal mungkin terjadi mikroalga sangat mudah terkontaminasi oleh
karena tingginya konsentrasi O2 yang bakteri, protozoa ataupun jenis mikroalga
terakumulasi pada kolam yang menghalangi lainnya yang tidak dikehendaki (Chisti, 2008).
pertumbuhan mikroalga (Benemann, Van Olst,
et al., 2006). Saturasi cahaya juga menjadi Sistem tertutup
masalah bagi fisiologi mikroalga. Pada
mikroalga yang tumbuh pada permukaan kolam Pada umumnya, kultivasi mikroalga sistem
akan menerima cahaya matahari yang sangat tertutup didasarkan pada penggunaan
banyak melebihi yang dibutuhkan untuk proses fotobioreaktor tertutup (closed photobioreactor).
fotosintesis. Oleh sebab itu penelitian terkini Kultivasi sistem tertutup dirancang untuk
dilakukan melalui perubahan fisiologi dan memberikan solusi atas kelemahan yang ada
genetic untuk mengurangi pigmen penyerap pada sistem terbuka, terlebih khusus dalam
cahaya pada mikrolaga (Nakajima and Ueda, meminimalkan terjadinya kontaminasi (Brennan
2000). and Owende, 2010; Y. Chisti, 2008). Beberapa
jenis fotobioreaktor tertutup yang telah
Cahaya matahari digunakan untuk memproduksi mikroalga,
antara lain: tubular photobioreactor, flat plat
Mikroalga termasuk golongan mikroorganisme photobioreactor, dan column photobioreactor.
yang membutuhkan cahaya matahari dalam Dibandingkan dengan sistem terbuka, kultivasi
melakukan fotosintesis untuk pertumbuhannya. sistem tertutup memberikan beberapa
Pada kondisi tumbuh secara fototropik, keuntungan seperti mampu menghasilkan
mikroalga memperoleh energi dari cahaya biomassa yang lebih tinggi serta mudah untuk
matahari dan CO2 dengan memanfaatkan

97
Jurnal Kelautan, 11(1), 95-103 (2018)

mengontrol pertumbuhan jenis mikroalga yang perlu diperhatikan adalah tingginya biaya
diinginkan. Namun, salah satu kelemahan yang pemeliharaan alat serta

Tabel 1. Kentungan dan kelemahan kultivasi sistem terbuka dan sistem tertutup
Sistem kultivasi Keuntungan Kelemahan
Kolam terbuka • Biaya lebih mudah • Produktivitas biomassa yang
• Mudah untuk dibersihkan rendah
• Dapat menggunakan lahan non- • Membutuhkan lahan yang luas
pertanian • Mudah terkontaminasi
• Masukan energi yang rendah • Kurangnya
• Mudah dalam pemeliharaan • Pemanfaatan Cahaya dan CO2
yang terbatas
Tubular photobioreactor • Memiliki luas area permukan • Membutuhkan lahan yang luas
pencahayaan yang besar • Terjadi perubahan pH, oksigen
• Cocok untuk kultur di luar ruangan terlarut dan CO2 sepanjang pipa.
• Biaya relatif murah
• Memiliki produktivitas biomassa
yang baik
Flat plat • Produktivitas biomassa yang tinggi • Sangat sukar untuk di dilakukan
photobioreactor • Mudah untuk disterilkan dalam ukuran besar
• Memiliki luas area permukan • Sangat sukar dalam mengatur
pencahayaan yang besar temperatur
• Cocok untuk kultur di luar ruangan

Column photobioreactor • Transfer massa yang tinggi • Area pencahayaan kecil


• Konsumsi energi yang rendah • Biaya mahal dibandingkan kolam
• Mudah disterilkan terbuka
Sumber: Brennan, L, and P Owende (2010)
Teknik pemanenan mikroalga and Oswald 1965; Shelef, Sukenik and Green
Filtrasi 1984). Muatan negatif pada sel mikroalga ini
sangat penting untuk pertumbuhan mikroalga,
Beberapa sistem filtrasi yang umum digunakan secara khusus untuk menghindari terjadinya
untuk pemanenan mikroalga, antara lain: filter agregasi alamiah antara sel yang tersuspensi
presses, vibrating screens, micro-strains, belt (Grima et al., 2003). Dengan adanya muatan
filters dan vacuum drums (Milledge and Heaven negatif pada permukaan sel mikroalga, maka
2012). Klasifikasi sistem filtrasi didasarkan pada flokulasi menjadi salah satu tehnik pemanenan
ukuran pori membran yang digunakan, yaitu: yang umum digunakan. Pada pemanenan
reverse ormosis (ukuran pori < 0,001 μm), ultra- secara flokulasi, flokulan yang digunakan adalah
filtration (ukuran pori 0,002-2 μm, micro-filtration bahan yang mengandung muatan positif, seperti
(ukuran pori 0,1- 10 μm) dan macro-filtration besi klorida (FeCl3), almunium sulfat(Al 2(SO4)3)
(ukuran pori > 10 μm). Pada umumnya dan besi sulfat (Fe2(SO4)3) (Koopman and
pemberian tekanan dibutuhkan pada metode Lincoln 1983; Grima et al., 2003).
filtrasi untuk melewatkan cairan melalui pori
membran (Jaouen et al., 1999). Flotasi

Flokulasi Metode ini merupakan proses pemisahan


berdasarkan gaya grafitasi di mana sel
Pada umumnya mikroalga memiliki muatan mikroalga menempel pada udara atau
negatif pada permukaan selnya. Muatan ini gelembung gas sehingga sel tersebut terapung
disebabkan karena adanya penyerapan ion dari pada permukaan. Pada kondisi tersebut sel
media tumbuh dan juga diakibatkan adanya mikroalga dapat dipanen dengan mudah. Pada
ionisasi pada dinding sel mikroalga. Kondisi ini beberapa jenis mikroalga tertentu sel nya dapat
sangat dipengaruhi oleh jenis mikroalga, terapung secara alamiah apabila kandungan
kekuatan muatan ion pada media tumbuh serta lipid pada sel meningkat (Edzwald 1993). Pada
kondisi lingkungan lainnya (Ives 1959; Golueke metode flotasi, kebutuhan biaya operasional

98
Gultom, Makroalga: Sumber Energi Terbarukan Masa Depan

akan semakin besar jika melibatkan flokulan karakteristik padatan tersuspensi dengan
(Mohn 1998). adanya perbedaan densitas, radius serta
kecepatan sedimentasi sel mikroalga. Akan
Sentrifugasi tetapi, penggunakan hukum Stoke ini tidak
dapat diterapkan pada partikel yang dapat
Sentrifugasi merupakan suatu metode diflokulasi karenan srukturnya yang rumit serta
pemanenan mikroalga yang didasarkan pada hanya cocok diaplikasikan pada mikroalga yang
pemberian tenaga putar untuk mengendapkan ukurannya besar (>70 μm) seperti Spirulina
sel mikroalga sehingga terpisah dari cairan (Schenk et al., 2008; Shelef et al., 1984; Munoz
media tumbuhnya (Mohn, 1998). Pemisahan and Guieysse 2006).
tersebut didukung oleh adanya perbedaan
densitas antara sel mikroalga dan media cair Peletisasi mikroalga
tempat sel bertumbuh. Menurut Sim, Goh and
Becker (1988), dibandingkan metode Metode pemanenan mikrolaga dengan cara
pemanenan mikroalga yang lain, metode peletisasi merupakan metode baru yang
sentrifugasi mampu mengasilkan mikroalga beberapa tahun terakhir terus dikembangkan.
dalam bentuk pasta dengan kandungan padatan Metode ini melibatkan mikroorganisme lainnya,
hingga diatas 15%. Beberapa studi juga seperti fungi yang mampu membentuk pelet.
menunjukkan bahwa semakin cepat putaran Gultom, Zamalloa and Hu (2014) melaporkan
sentrifugasi, maka biomassa mikroalga yang bahwa interaksi antara mikroalga (Chlorella
diperoleh dapat mencapai hingga 95% vulgaris) dan jamur berfilamen (Aspergillus
(Heasman et al., 2000). niger) terjadi ketika kultivasi mikroalga dan fungi
dilakukan pada media yang sama. Sel mikroalga
Sedimentasi menempel pada hipha sehigga mudah untuk
dipanen (Gambar 1). Interaksi ini diduga terjadi
Pada umumnya metode sedimentasi untuk karena mikroalga dan fungi memiliki muatan
pemanenan biomassa alga diaplikasikan pada yang berbeda sehingga terjadi tarik menarik
pengolahan air limbah. Metode ini didasakan antar kedua sel.
pada hukum Stoke untuk menentukan

Gambar 1. Interaksi antara sel mikroalga Chlorella vulgaris dan hipha Aspergillus niger
terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya (a) Tampak jauh (b)
Tampak dekat. Anak panah menunjukkan sel mikroalga (Gultom, Zamalloa
and Hu 2014).

Teknologi Konversi Mikroalga menjadi konversi mikroalga dapat dibedakan ke dalam


Energi Bahan Bakar dua kategori, yaitu: konversi secara termo-kimia
dan konversi secara bio-kimia. Pemilihan
Pengembangan teknologi konversi mikroalga konvesi mikroalga menjadi energi dilakukan
menjadi energi terus dilakukan. Potensi dengan mempertimbangkan beberapa faktor
mikroalga sebagai bahan baku pembuatan penting, antara lain: jenis dan kuantitas
minya bio-disel, bio-etanol dan produk lainnya biomassa mikroalga, jenis energi yang
menjadi pemacu dalam menemukan dan diinginkan, ekononomis dan produk akhir yang
menerapkan teknologi konversi mikroalga yang diinginkan (McKendry 2002).
efektif, efisien serta secara ekonomi dapat
menguntungkan. Secara umum teknologi Pirolisis

99
Jurnal Kelautan, 11(1), 95-103 (2018)

Pada proses pirolisis, biomassa dikonvesikan Fermentasi


menjadi tiga jenis energi, yaitu minyak, syngas
dan arang. Pirolisis umumnya dilakukan dengan Proses fermentasi pada umumnya digunakan
menggunakan suhu yang tinggi (350-7000C) untuk mengkonversi biomassa yang
tanpa adanya udara (Goyal, Seal and Saxena mengandung gula, pati maupun selulosa
2008). Berdasarkkan lama waktu proses, proses menjadi etanol. Sebagian besar biomassa yang
pirolisis biomassa dapat dilakukan dalam tiga mengandung karbohidrat denga rumus umum
metode, yaitu: (1) metode pirolisis kilat (flash (CH2O) n dapat diubah menjadi etanol. Sebelum
pyrolysis), menggunakan suhu 500 0C dengan proses fermentasi dilakukan, reaksi kimia
waktu 1 detik, (2) metode cepat (fast pyrolysisi), bersama hidrolisis enzimatis sering digunakan
menggunakan suhu 500 0C dengan waktu 10-20 untuk menghasilkan gula sederhana yang
detik, dan (3) metode pirolisis lambat (slow selanjutnya difermentasikan menjadi etanol
pryrolysis), menggunakan suhu 400 0C dengan dengan bantuan ragi seperti Saccharomyces
waktu yang lebih lama. Di masa yang akan cerevesiae (Demirbas, 2010). Mikroalga
datang, pirolisi dinilai memiliki potensi untuk merupakan salah satu tumbuhan uniselular yang
mengkonversi biomassa menjadi minyak karena dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan
memberikan hasil yang memuaskan dimana etanol karena memiliki kandungan pati yang
rasio konversi biomassa menjadi minyak dapat cukup tinggi (sekitar 37% berat kering). Produksi
mencapai hingga 95,5%. Namun, beberapa etranol berbahan baku mikroalga dapat
kelemahan dari metode pirolisis ini antara lain dilakukan melalui tahapan berikut: (1)
minyak yang dihasilkan lebih asam, kental dan pemisahan pati dari dalam sel mikroalga dengan
mengandung padatan serta bahan kimia terlarut. cara mekanis maupun enzimatis, (2)
Oleh sebab itu, prose hidrogenasi dan penambahan Saccharomyces cerevesiae pada
pemecaran secara katalitik sangat diperlukan biomassa untuk memulai proses fermentasi, (3)
untuk menurunkan kandungan oksigen dan produksi etanol dari proses fermentasi, dan (4)
mengurangi kandungan alkali (Clark and pemurnian etanol melalui proses destilasi.
Deswarte, 2015; Demirbas, 2006). Hirano, Ueda, Hirayama, & Ogushi (2008)
melaporkan bahwa efisiensi konversi etanol dari
Gasifikasi mikroalga dapat mencapai 65%.

Gasifikasi merupakan reaksi oksidasi secara Biodisel dari mikroalga


parsial pada biomassa dengan melibatkan suhu
yang sangat tinggi (800-1000 0C) untuk Biodisel merupakan bahan bakar minyak
menghasilkan campuran gas yang mudah terbarukan mono-alkil ester yang berasal dari
terbakar. Pada proses gasifikasi, biomassa bahan-bahan alamiah, seperti minyak tumbuhan
bereaksi dengan oksigen dan uap air untuk maupun lemak hewan, melalui proses
menghasilkan gas sintesis yang merupakan transesterifikasi (Abbaszaadeh et al., 2012;
campuran CO, H2, CO2, N, dan CH4, atau yang Demirbas, 2010). Biodisel memiliki karakteristik
umum disebut “syngas”. Beberapa studi tentang yang cukup sama dengan bahan bakar diesel
proses gasifikasi pada biomassa mikroalga telah yang saat ini banyak digunakan untuk
dilakukan. Hirano et al., (1998) melaporkan kendaraan.
bahwa produksi tertinggi metanol dari proses
gasifikasi spirulina adalah sebesar 0,64 g
methanol/g biomassa pada suhu 1000 0C.
Gasifikasi pada mikroalga Chlorella vulgaris
pada sebuah sistem dengan sikkulasi nitrogen
untuk menghasilkan minyak yang kaya akan
metana juga telah dilakukan oleh Minowa and
Sawayama (1999). Data dari hasil studi tentang
gasifikasi masih jarang sehingga penelitian pada
bidang ini perlu terus dilakukan, terlebih khusus
kebutuhan energi yang dibutuhkan pada proses
pengeringan bahan sebelum dilakukan proses
gasifikasi.

100
Gultom, Makroalga: Sumber Energi Terbarukan Masa Depan

Mikroalga Penghancuran Ekstraksi minyak Transesterifikasi

Pemisahan biodiesel
Pencucian Biodiesel
dan gliserin

Gambar 2. Konversi mikroalga menjadi biodiesel melalui proses transesterifikasi

Biodisel memiliki potensi yang sangat besar termasuk minyak jelantah atau bekas pakai.
untuk menjadi sumber energi alternatif Beberapa keuntungan penggunaan bahan baku
terbarukan, antara lain: (1) bahan baku selalu genberasi kedua ini, antara lain: tidak
tersedia karena berasal dari bahan baku berkompetisi dengan bahan pangan, lebih
terbarukan; (2) mudah terdegradasi; (3) tidak efisien dan ramah lingkungan jika dibandingkan
merusak lingkungan karena tidak menghasilkan dengan bahan baku generasi pertama,
gas-gas berbahaya bagi lingkungan; (4) lebih membutuhkan luas lahan yang lebih kecil, dapat
baik dibandingkan bahan bakar disel yang menghasilkan produk sampingan yang dapat
berasal dari petrolium karena memiliki emisi dimanfaatkan lebih lanjut baik pada industri
hasil pembakaran yang lebih rendah serta tidak bahan kimia maupun energi. Meski demikian,
berkontribusi terhadap pemanasan global ketersediaan bahan baku generasi kedua ini
karena memiliki siklus karbon yang tertutup. belum mampu memenuhi kebutuhan energi atau
bahan bakar minyak. Selain itu, minyak yang
Dalam memproduksi biodisel, bahan baku dihasilkan dari tanaman ataupun lemak hewani
menjadi salah satu faktor terpenting yang perlu mengandung asam lemak jenuh yang lebih
dipertimbangkan karena berkontribusi terhadap tinggi sehingga dapat berpengaruh memiliki
75% total biaya produksi. Oleh sebab itu, performa yang rendah pada lingkungan bersuhu
pemilihan bahan baku yang tepat untuk rendah (Janaun & Ellis, 2010; Ahmad et al.,
pembuatan biodisel sangat penting dilakukan. 2011).
Secara umum terdapat 3 genarasi sumber
bahan baku biodisel yang telah dikembangkan, c. Bahan baku generasi ketiga
yaitu:
Melihat adanya kendala yang dihadapi dalam
a. Bahan baku generasi pertama penggunaan bahan baku generasi pertama dan
kedua, maka dikembangkan bahan baku ketiga
Merupakan jenis-jenis tanaman yang pertama yaitu mikroalga. Pengembangan mikroalga
kali digunakan sebagai bahan baku pembuatan sebagai bahan baku terbarukan dalam
biodisel. Adapun bahan baku pada generasi pembuatan biodiesel didasarkan pada
pertama ini adalah minyak kedelai (soybeans), kemampuan mikroalga untuk melakukan
minyak sawit (palm oil), minyak rapa (rapeseed), fotosistesis dengan efisiensi yang sangat tinggi
dan minyak bunga matahari (sunflower). dalam menghasilkan biomassa dan laju
Penggunaan bahan baku ini pada akhirnya pertumbuhan yang sangat cepat dibandingkan
memberikan pengaruh terhadap terhadap pasar tumbuhan lainnya.
dan ketahanan pangan secara global karena
95% bahan baku biodisel tersebut merupakan Biodisel yang berasal dari mikroalga memiliki
bahan pangan. karakteristik yang sama dengan biodisel yang
berbasis petroleum, seperti densitas, viskositas,
b. Bahan baku generasi kedua titik nyala dan nilai pemanasan. Berdasarkan
hasil percobaan, biodisel berbahan baku
Pada generasi kedua, bahan baku biodisel yang mikroalga telah memenuhi kriteria yang telah
dikembangkan merupakan bahan baku yang ditetapkan oleh American Society for Testing
tidak digunakan sebagai pangan, seperti: and Materials (ASTM) untuk kualitas biodisel
tanama Jatropa, minyak jojoba, biji tembakau, dan International Biodisel Standard for Vehicles

101
Jurnal Kelautan, 11(1), 95-103 (2018)

(ENI 4214). Namun hasil penelitian lainnya agricultural fertilizer recycling, Oilgae –
melaporkan bahwa biodisel yang dihasilkan dari Oil & Biodiesel from Algae.
mikroalga memiliki derajat asam lemak tak jenuh Borowitzka, M. (1999). Commercial production
yang cukup tinggi. Hal ini akan membatasi of microalgae: ponds, tanks, tubes and
penggunaan biodisel karena biodisel tersebut fermenters. Journal of biotechnology ,
mudah mengalami oksidasi saat penyimpanan. 70 (1), 313-321.
Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian Brennan, L., & Owende, P. (2010). Biofuels from
lanjutan untuk mengatasi masalah tersebut. microalgae—A review of technologies
for production, processing, and
KESIMPULAN DAN SARAN extractions of biofuels and co-products.
Renewable and Sustainable Energy
Pengembangan sumber energi alternatif Reviews , 14(2), 557–577.
terbarukan sangat diperlukan untuk memenuhi Chisti, Y. (2007). Biodiesel from microalgae.
kebutuhan energi dunia seiring menipisnya Biotechnology Advances , 41, 99-107.
persediaan energi bahan bakar berbasis fosil. Chisti, Y. (2008). iodiesel from microalgae beats
Menjawab tantangan di atas, secara teknis bioethanol. Trends in biotechnology , 26
mikroalga sangat berpotensi untuk (3), 126-131.
dikembangkan menjadi sumber produksi Clark, J., & Deswarte, F. (2015). Introduction to
biodisel yang diharapkan mampu memenuhi chemicals from biomass. West Sussex:
kebutuhan energi bahan bakar dunia. Selain John Wiley & Sons, Ltd.
sebagai bahan baku biodiesel, mikroalga juga Demirbas, A. (2006). Oily products from mosses
berpotensi untuk dikonversi menjadi bentuk and algae via pyrolysis. Energy Sources
energi lainnya seperti bioethanol, biometanol Part A—Recovery Utilization and
maupun syngas melalui teknologi konversi Environmental Effects , 28(10), 933–
seperti pirolisis, gasifikasi maupun fermentasi. 940.
Namun demikian, penelitian-penelitian lanjutan Demirbas, A. (2010). Use of algae as biofuel
perlu terus dilakukan ke arah pengembangan sources. Energy Conversion and
jenis mikroalga yang mengandung konsentrasi Management , 51(12), 2738-2749.
minyak yang tinggi namun juga mampu Demirbas, M. F. (2010). Microalgae as a
menurunkan derajat asam lemak tak jenuhnya feedstock for biodiesel. Energy
sehingga biodisel tidak mudah teroksidasi saat Education Science and Technology Part
penyimpanan. A-Energy Science and Research, 25(1-
2), 31-43.
DAFTAR PUSTAKA Edzwald, J. K. (1993). Algae, Bubbles,
Coagulants, and Dissolved Air Flotation.
Abbaszaadeh, A., Ghobadian, B., Omidkhah,
Water Science Technology , 27(10), 67-
M., & Najaf, G. (2012). Current biodiesel
81.
production technologies: A comparative
Golueke, C. G., & Oswald, W. J. (1965).
review. Energy Conversion and
Harvesting And Processing Sewage-
Management Journal , 1-11.
Grown Planktonic Algae. Water Pollution
Ahmad, A. L., Yasin, N. M., Derek, C. J. C., &
Control Federation , 37(4), 471-498.
Lim, J. K. (2011). Microalgae as a
Goyal, H., Seal, D., & Saxena, R. (2008). Bio-
sustainable energy source for biodiesel
fuels from thermochemical conversion of
production: a review. Renewable and
renewable resources: a review.
Sustainable Energy Reviews, 15(1),
Renewable and sustainable energy
584-593.
reviews , 12(2), 504-517.
Benemann, J. (2003). Bio fixation of CO2 and
Grima, E. M., Belarbi, E. H., Fernández, F. A.,
greenhouse gas abatement with
Medina, A. R., & Chisti, Y. (2003).
microalgae technology readmap. Final
Recovery of microalgal biomass and
report submitted to the U.S. Department
metabolites: process options and
of Energy. Energy Technology
economics. Biotechnology advances,
Laboratory.
20(7-8), 491-515.
Benemann, J., Van Olst, J., Massingill, M.,
Gultom, S. O., Zamalloa, C., & Hu, B. (2014).
Werssiuman, J., & Biune, D. (2006). The
Microalgae Harvest through Fungal
controlled eutrophication process: using
Pelletization—Co-Culture of Chlorella
microalgae for CO2 utilization and

102
Gultom, Makroalga: Sumber Energi Terbarukan Masa Depan

vulgaris and Aspergillus niger. Energies production. Reviews in Environmental


, 7(7), 4417-4429. Science and Biotechnology , 1-15.
Heasman, M., Deamar, J., O'Connor, W., Minowa, T., & Sawayama, S. (1999). novel
Sushames, T., & Foulkes, L. (2000). microalgal system for energy production
Development of Extended Shelf-Life with nitrogen cycling. Fuel , 78 (10),
Microalgae Concentrate Diets Harvested 1213-1215.
by Centrifugation for Bivalve Molluscs-A Mohn, F. (1998). Harvesting of micro-algal
Summary. Aquaculture Research , 31(8- biomass. In L. J. Borowitzka, & M. A.
9), 637-659. Borowitzka , Micro-algal biotechnology.
Hirano, A., Ueda, R., Hirayama, S., & Ogushi, Y. Cambridge: Cambridge University
(2008). CO2 fixation and ethanol Press.
production with microalgal Mosojídek, J., Torzillo, G., Sven, J. E., & Brian,
photosynthesis and intracellular F. (2008). Mass Cultivation of
anaerobic fermentation. 22, 137-142. Freshwater Microalgae. In J. Mosojídek,
Hirano, A., Hon-Nami, K., Kunito, S., Hada, M., G. Torzillo, J. E. Sven, & F. Brian,
& Ogushi, Y. (1998). emperature effect Encyclopedia of Ecology (pp. 2226–
on continuous gasification of microalgal 2235). Oxford, UK: Academic Press.
biomass: theoretical yield of methanol Munoz, R., & Guieysse, B. (2006). Algal–
production and its energy balance. bacterial processes for the treatment of
Catalysis Today , 45 (1), 399-404. hazardous contaminants: A review.
Hung, Y.-T., Amuda, O. S., Alade, A. O., Amoo, Water Research , 40, 2799-2815.
I. A., Tay, S. T.-L., & Li, K. H. (2010). Nakajima, Y., & Ueda, R. (2000). The effect of
Algae Harvest Energy Conversion. In L. reducing light-harvesting pigment on
K. Wang, J.-H. Tay, S. T.-L. Tay, & Y.-T. marine microalgal productivity. Journal
Hung, Environmental Bioengineering of applied phycology , 285-290.
(pp. 723-741). New York: Humana Patil, V., Tran, K.-Q., & Giselrød, H. (2008).
Press. Towards sustainable production of
Ives, K. J. (1959). The Significance of Surface biofuels from microalgae. International
Electric Charge on Algae in Water journal of molecular sciences , 9 (7),
Purification. Journal of Biochemical and 1188-1195.
Microbiological Technology and Report, G. C. (2002). An assessment of solar
Engineering , 1, 37-47. energy conversion technologies and
Janaun, J., & Ellis, N. (2010). Perspectives on research opportunities. Technical
biodiesel as a sustainable fuel. Assessment Report. GCERP.
Renewable and Sustainable Energy Schenk, P. M., Thomas-Hall, S. R., Stephens,
Reviews , 14, 1312–1320. E., Marx, U. C., Mussgnug, J. H.,
Jaouen, P., Vandanjon, L., & Quemeneur, F. Posten, C., et al. (2008). Second
(1999). The shear stress of microalgal Generation Biofuels: High-Efficiency
cell suspensions (Tetraselmis suecica) Microalgae for Biodiesel Production.
in tangential flow filtration systems: the Bionergy Resources , 1, 20-43.
role of pumps. Bioresource Technology , Shelef, G., Sukenik, A., & Green, M. (1984).
68, 149-154. Microalgae Harvesting and Processing:
Koopman, B., & Lincoln, E. P. (1983). A Literature Review. Solar Energy
Autoflotation Harvesting of Algae from Research Institute, U.S. Department of
High-rate Pond Effluents. Agricultural Energy. Springfield: National Technical
Wastes , 5, 231-246. Information Service U.S. Department of
McKendry, P. (2002). Energy production from Commerce.
biomass (part 2): conversion Sim, T. S., Goh, A., & Becker , E. W. (1988).
technologies. Bioresource technology , Comparison of Centrifugation, Dissolved
83 (1), 47-54. Air Flotation and Drum Filtration
Miao, X., & Wu, Q. (2006). Biodiesel production Techniques for Harvesting Sewage-
from heterotrophic microalgal oil. grown Algae. Biomass , 16, 51-62.
Bioresour. Technol. , 97, 841–846. Terry, K., & Raymond, L. (1985). System design
Milledge, J. J., & Heaven, S. (2012). A review of for the autotrophic production of
the harvesting of micro-algae for biofuel microalgae. Enzyme and Microbial
Technology , 7 (10), 474-487.

103

Anda mungkin juga menyukai