Anda di halaman 1dari 71

MAKALAH

KEPERAWATAN MATERNITAS
“ Remaja & Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan”

Disusun Oleh :

Kelompok 7

Dosen Pembimbing :

Ns. Nilam Noorma, S. Kep., M. Kes.

PROGRAM STUDI :

Sarjana Terapan Keperawatan – Profesi Ners

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMATAN TIMUR

TAHUN AKADEMIK 2021


MAKALAH

KEPERAWATAN MATERNITAS
“ Remaja & Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan”

Dosen Pembimbing :

Ns. Nilam Noorma, S. Kep., M. Kes.

Disusun Oleh:

1. Anggun Paramita P07220219079


2. Eka Putri Kumala Dewi P07220219087
3. Lettisia Anggra Ayunda Sari P07220219099
4. Lis Diana P07220219101

PROGRAM STUDI :

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN + NERS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

TAHUN AKADEMIK 2021


1. J
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami bisa mendapatkan kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah “ Remaja & Prinsip-prinsip Etika Keperawatan” dengan mata kuliah
Keperawatan Maternitas ini bisa selesai pada waktunya. Terimakasih juga kami
ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide
idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan rapi. Kami berharap semoga
makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik beserta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah yang lebih baik dikemudian hari.
Walaupun demikian, kami berharap dengan disusunnya makalah ini dapat
memberikan sedikit gambaran mengenai konsep tingkat kesadaran diri manusia
dengan benar.

Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Samarinda, 13 Februari 2021

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................3
C. Tujuan............................................................................................................3
D. Sistematika Penulisan.....................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja..................................................................................................................6
1. Kesehatan Reproduksi remaja........................................................................6
2. Pelayanan Komprehensif Kesehatan Reproduksi..........................................11
3. Hak Reproduksi..............................................................................................16
4. Ruang Lingkup Kespro Perempuan...............................................................17
5. Isu Sunat Perempuan......................................................................................20
6. Kekerasan terhadap Perempuan.....................................................................27
7. Seksualitas pada remaja.................................................................................32
8. Kehamilan pada remaja..................................................................................46
9. Menjadi orang tua pada masa remaja.............................................................50
B. Prinsip-prinsip etika keperawatan........................................................................59
1. Pengertian.......................................................................................................59
2. Prinsip-prinsip etika keperawatan..................................................................61
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................70
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai suatu kesejahteraan
fisik,mentaldan sosial secara utuh tidak semata-mata bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi
dan prosesnya (Aisyaroh, Noveri).
Kondisi kesehatan reproduksi yang sangat penting ini mendorong
pemerintah Indonesia membentuk pusat informasi kesehatan reproduksi
remaja (PIK-R) menjadi program nasional pada tahun 2000. Selain dari itu,
cakupan wilayah kerja puskesmas yang luas, yaitu 30.000 penduduk bertugas
untuk menjamin status kesehatan masyarakat setempat berada dalam taraf

optimal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dari remaja yang terdiri dari :
a. Kesehatan Reproduksi remaja.
b. Pelayanan Komprehensif Kesehatan Reproduksi.
c. Hak Reproduksi.
d. Ruang Lingkup Kespro Perempuan.
e. Isu Sunat Perempuan.
f. Kekerasan terhadap Perempuan.
g. Seksualitas pada remaja.
h. Kehamilan pada remaja.
i. Menjadi orang tua pada masa remaja
2. Bagaimana prinsip dari etik keperawatan yang terkait :
a. Otonomi,
b. Beneficience,
c. Justice,

1
d. Non maleficience,
e. Moral right,
f. nilai dan norma masyarakat
g. Nursing advocacy
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mampu memahami konsep remaja yang terdiri dari :
a. Kesehatan Reproduksi remaja.
b. Pelayanan Komprehensif Kesehatan Reproduksi.
c. Hak Reproduksi.
d. Ruang Lingkup Kespro Perempuan.
e. Isu Sunat Perempuan.
f. Kekerasan terhadap Perempuan.
g. Seksualitas pada remaja.
h. Kehamilan pada remaja.
i. Menjadi orang tua pada masa remaja
2. Agar mahasiswa mampu memahami prinsip dari etik keperawatan yang
terkait :
a. Otonomi,
b. Beneficience,
c. Justice,
d. Non maleficience,
e. Moral right,
f. nilai dan norma masyarakat
g. Nursing advocacy
D. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan makalah ini lebih teratur dan sistematis maka
penyusunan pun disususun dengan segala kemudahan sehingga memberikan
pemahaman yang efesien mungkin, adapun penyusunanya :

2
BAB I  PENDAHULUAN : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA :
1. konsep remaja yang terdiri dari :
a. Kesehatan Reproduksi remaja.
b. Pelayanan Komprehensif Kesehatan Reproduksi.
c. Hak Reproduksi.
d. Ruang Lingkup Kespro Perempuan.
e. Isu Sunat Perempuan.
f. Kekerasan terhadap Perempuan.
g. Seksualitas pada remaja.
h. Kehamilan pada remaja.
i. Menjadi orang tua pada masa remaja
2. Prinsip dari etik keperawatan yang terkait :
h. Otonomi,
i. Beneficience,
j. Justice,
k. Non maleficience,
l. Moral right,
m. nilai dan norma masyarakat
n. Nursing advocacy
BAB II PENUTUP : Kesimpulan dan saran.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja
1. Kesehatan reproduksi remaja
a. Definisi kesehatan reproduksi
Kesehatan reproduksi menurut Kemenkes RI (2015) adalah
keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak
semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan
sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Ruang lingkup pelayanan
kesehatan repoduksi menurut International Conference Population and
Development(ICPD) tahun 1994 di Kairo terdiri dari kesehatan ibu dan
anak, keluarga berencana, pencegahan dan penanganan infeksi menular
seksual termasuk HIV/AIDS, kesehatan reproduksi remaja,
pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi, pencegahan dan
penanganan infertilitas, kesehatan reproduksi usia lanjut, deteksi dini
kanker saluran reproduksi serta kesehatan reproduksi lainnya seperti
kekerasan seksual, sunat perempuan dan sebagainya.
Kesehatan reproduksi menurut Depkes RI adalahsuatu keadaan
sehat, secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kedudukan sosial
yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi, dan
pemikiran kesehatan reproduksi bukan hanya kondisi yang bebas dari
penyakit, melainkan juga bagaimana seseorang dapat memiliki seksual
yangaman dan memuaskan sebelum dan sudah menikah (Nugroho,
2010).
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial secara utuh dalam semua hal yang berkaitan dengan
sistem reproduksi, serta fungsi danperannya (Lubis, 2013).
b. Pengertian Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan reproduksi remaja merupakan suatu kondisi sehat
yang menyangkut sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki

4
oleh remaja (Lestari, 2013).
Program kesehatan reproduksi remaja bertujuan memberikan
pengetahuan yang memadahi kepada anak sehingga diharapkan
mampu menjalani masa remaja serta memelihara kesehatan dirinya
guna memasuki masa kehidupan berkeluarga dengan reproduksi yang
sehat (Janiwarty, 2013).
c. Pengetahuan Remaja
Menurut Widyastuti (2011), pengetahuan yang dibutuhkan remaja
meliputi:
1. Perkembangan fisik, kejiwaan dan kematangan seksual remaja.
2. Proses reproduksi yang bertanggung jawab.
3. Pergaulan yang sehat antara remaja laki-laki dan perempuan, serta
kewaspadaan terhadap masalah remaja yang banyak ditemukan.
4. Persiapan pra nikah.
5. Kehamilan, persalinan, serta cara pencegahannya
2. Pelayanan Komprehensif Kesehatan Reproduksi
Pelayanan kesehatan reproduksi yang berkaitan dengan
pemeriksaan selama masa kehamilan, persalinan, dan penggunaan alat
kontrasepsi ini merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
AKI. Rendahnya kualitas pelayanan kesehatan reproduksi dengan
demikian menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat upaya
penurunan AKI yang menjadi salah satu target MDGs. Saat ini masih
terdapat 64 kabupaten/kota di 9 provinsi yang memiliki tingkat kematian
ibu yang tinggi (Media Indonesia, 9 Januari 2015).
Kebijakan Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia menetapkan
bahwa Kesehatan Reproduksi mencakup 5 (lima) komponen atau program
terkait, yaitu Program Kesehatan Ibu dan Anak, Program Keluarga
Berencana, Program Kesehatan Reproduksi Remaja, Program Pencegahan
dan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk
HIV/AIDS, dan Program Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut.
Pelaksanaan Kesehatan Reproduksi dilaksanakan dengan menggunakan

5
pendekatan siklus hidup (life-cycle approach) agar diperoleh sasaran yang
pasti dan pelayanan yang jelas berdasarkan kepentingan sasaran atau klien
dengan memperhatikan hak reproduksi mereka.
Saat ini, kesehatan reproduksi di Indonesia yang diprioritaskan baru
mencakup empat komponen atau program, yaitu: Kesehatan Ibu dan Bayi
Baru Lahir, Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi Remaja, serta
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS)
termasuk HIV/AIDS. Pelayanan yang mencakup 4 komponen atau
program tersebut disebut Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial
(PKRE). Jika PKRE ditambah dengan pelayanan Kesehatan Reproduksi
untuk Usia Lanjut, maka pelayanan yang diberikan akan mencakup
seluruh komponen Kesehatan Reproduksi, yang disebut Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK). Pelaksanaan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) bertumpu pada pelayanan dari
masing-masing program terkait yang sudah ada di tingkat pelayanan
kesehatan dasar. Ini berarti bahwa Paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Esensial bukan suatu program pelayanan yang baru maupun berdiri
sendiri, namun berupa keterpaduan berbagai pelayanan dari program yang
terkait, dengan tujuan agar sasaran atau klien memperoleh semua
pelayanan secara terpadu dan berkualitas, termasuk dalam aspek
komunikasi, informasi dan edukasi
Di bawah ini keadaan dan masalah beberapa komponen kesehatan
reproduksi yang dapat memberikan gambaran umum tentang keadaan
kesehatan reproduksi yaitu sebagai berikut
a. Komponen Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir
Peristiwa kehamilan, persalinan dan masa nifas merupakan kurun
kehidupan wanita yang paling tinggi risikonya karena dapat membawa
kematian, dan makna kematian seorang ibu bukan hanya satu anggota
keluarga tetapi hilangnya kehidupan sebuah keluarga. Dalam rangka
mengurangi terjadinya kematian ibu karena kehamilan dan persalinan,
harus dilakukan pemantauan sejak dini agar dapat mengambil tindakan

6
yang cepat dan tepat sebelum berlanjut pada keadaan kebidanan
darurat. Upaya intervensi yang dilakukan dapat berupa pelayanan
antenatal, pelayanan persalinan atau partus dan pelayanan postnatal
atau masa nifas. Informasi yang akurat perlu diberikan atas
ketidaktahuan bahwa hubungan seks yang dilakukan, akan
mengakibatkan kehamilan, dan bahwa tanpa menggunakan kontrasepsi
kehamilan yang tidak diinginkan bisa terjadi. Dengan demikian tidak
perlu dilakukan pengguguran yang dapat mengancam jiwa.
Masalah kematian ibu merupakan masalah kompleks yang
diwarnai oleh derajat kesehatan, termasuk status kesehatan reproduksi
dan status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Sekitar 60% ibu
hamil dalam keadaan yang mempunyai satu atau lebih keadaan “4
terlalu” (terlalu muda, kurang dari 20 tahun; tua, lebih dari 35 tahun;
sering, jarak antar-anak kurang dari2 tahun; banyak, lebih dari 3 anak).
Prevalensi infeksi saluran reproduksi diperkirakan juga cukup tinggi
karena rendahnya hygiene perorangan dan paparan penyakit menular
seksual (PMS) yang meningkat. Kejadian kematian ibu juga berkaitan
erat dengan masalah sosial-budaya, ekonomi, tradisi dan kepercayaan
masyarakat. Hal ini pada akhirnya menjadi latar belakang kematian ibu
yang mengalami komplikasi obstetric, yaitu dalam bentuk “3
terlambat”, diantaranya :
1) Terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan di
tingkat keluarga;
2) Terlambat mencapai tempat pelayanan kesehatan; dan
3) Terlambat mendapat penanganan medis yang memadai di tempat
pelayanan kesehatan.
Permasalahan kesehatan ibu tersebut merupakan refleksi dari masalah
yang berkaitan dengan kesehatan bayi baru lahir. Angka kematian bayi
(AKB) kematian pada masa perintal/neonatal pada umumnya berkaitan
dengan kesehatan ibu selama hamil, kesehatan janin selama di dalam
kandungan dan proses pertolongan persalinan yang diterima ibu atau

7
bayi, yaitu asfiksia, hipotermia karena prematuritas/BBLR, trauma
persalinan dan tetanus neonatorum (Atika, 2017).
b. Komponen Keluarga Berencana
Promosi keluarga berencana (KB) dapat ditujukan pada upaya
peningkatan kesejahteraan ibu sekaligus kesejahteraan keluarga. Calon
suami-istri agar merencanakan hidup berkeluarga atas dasar cinta
kasih, serta pertimbangan rasional tentang masa depan yang baik bagi
kehidupan suami istri dan anak-anak mereka serta masyarakat.
Keluarga berencana bukan hanya sebagai upaya atau strategi
kependudukan dalam menekan pertumbuhan penduduk agar sesuai
dengan daya dukung lingkungan tetapi juga merupakan strategi bidang
kesehatan dalam upaya peningkatan kesehatan ibu melalui pengaturan
jarak dan jumlah kelahiran. Pelayanan yang berkualitas juga perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan pandangan klien atau
pengguna pelayanan.
Komponen Pencegahan dan Penanganan Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR) (termasuk Penyakit Menular Seksual dan
HIV/AIDS). Jenis infeksi saluran reproduksi (ISR) dibagi menjadi 3
kategori, yaitu :
1) Penyakit Menular Seksual (PMS) meliputi infeksi klamida,
gonorhoe, trikomoniasis, sifilis, ulkus mole, herpes kelamin, dan
infeksi human immunodeficiency virus (HIV);
2) Infeksi endogen karena pertumbuhan berlebihan kuman yang
biasanya ada di saluran reproduksi wanita normal, seperti
vaginosis bacterial dan kandidiasis vulvovaginal;
3) Infeksi iatrogenik, yaitu infeksi yang terjadi karena dilakukannya
tindakan medis.
Upaya pencegahan dan penanggulangan ISR di tingkat
pelayanan dasar masih jauh dari yang diharapkan. Upaya tersebut baru
dilaksanakan secara terbatas di beberapa provinsi, berupa upaya
pencegahan dan penanggulangan PMS dengan pendekatan sindrom

8
melalui pelayanan KIA/KB. Hambatan sosial-budaya sering
mengakibatkan ketidaktuntasan dalam pengobatannya, sehingga
menimbulkan komplikasi ISR yang serius seperti kemandulan,
keguguran, dan kecacatan pada janin (atika, 2017).
Pencegahan dan penanganan infeksi ditujukan pada penyakit dan
gangguan yang berdampak pada saluran reproduksi. Baik yang
disebabkan penyakit infeksi yang non PMS, seperti tuberculosis,
malaria, filariasis, dan lain sebagainya, maupun penyakit infeksi yang
tergolong penyakit menular seksual (PMS), seperti gonorrhoea, sifilis,
herpes genital, chlamydia, dan sebagainya, ataupun kondisi infeksi
yang berakibat infeksi rongga panggul (pelvic inflammatory
diseases/PID) seperti alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), yang
dapat berakibat seumur hidup pada wanita maupun pria, misalnya
kemandulan serta akan menurunkan kualitas hidupnya. Salah satu yang
juga sangat mendesak saat ini adalah upaya pencegahan PMS yang
fatal yaitu infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Atika,
2017).
c. Komponen Kesehatan Reproduksi Remaja
Upaya promosi dan pencegahan masalah kesehatan reproduksi
juga perlu diarahkan pada masa remaja, yang ditandai dengan terjadi
peralihan dari masa anak menjadi dewasa, dan perubahan-perubahan
dari bentuk dan fungsi tubuh terjadi dalam waktu relatif cepat. Hal ini
ditandai dengan berkembangnya tanda seks sekunder dan
berkembangnya jasmani secara pesat, menyebabkan remaja secara
fisik mampu melakukan fungsi proses reproduksi tetapi belum dapat
mempertanggungjawabkan akibat dari proses reproduksi tersebut.
Informasi dan penyuluhan, konseling, serta pelayanan klinis perlu
ditingkatkan untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja
ini.
Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat
dikelompokkan sebagai menjadi :

9
1) Kehamilan tak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada
aborsi yang tidak aman dan komplikasinya;
2) Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko
kesakitan dan kematian ibu;
3) Masalah PMS, termasuk infeksi HIV/AIDS. Masalah kesehatan
reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat
berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan
ekonomi serta kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak
jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap remaja
itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa
pada akhirnya (Atika, 2017).
d. Komponen Usia Lanjut
Masalah kesehatan usia lanjut semakin meningkat bersamaan
dengan bertambahnya presentase penduduk usia lanjut. Masalah
prioritas pada kelompok ini antara lain meliputi gangguan pada masa
menopause, osteoporisis, kanker prostat, dan penyakit kardiovaskular
serta penyakit degeneratif, yang dapat berpengaruh terhadap organ
reproduksi. Di samping itu, kekurangan gizi dan gangguan otot serta
sendi sering memperburuk keadaan tersebut.
Melengkapi siklus kehidupan keluarga, komponen ini akan
mempromosikan peningkatan kualitas penduduk usia lanjut pada saat
menjelang dan setelah akhir kurun usia reproduksi
(menopouse/adropause). Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui
skrining keganasan organ reproduksi misalnya kanker rahim pada
wanita, kanker prostat pada pria serta pencegahan defesiensi hormonal
dan akibatnya seperti kerapuhan tulang dan lain-lain (Atika, 2017).
3. Hak-hak reproduksi
a. Hak untuk hidup. hidup Setiap perempuan mempunyai hak untuk bebas
dari risiko kematian karena kehamilan.
b. Hak mendapatkan kebebasan dan keamanan. setiap individu berhak
untuk menikmati dan mengatur kehidupan seksual dan reproduksinya

10
dan tak seorang pun dapat dipaksa untuk hamil, menjalani sterilisasi
dan aborsi.
c. Hak atas kesetaraan dan terbebas dari segala bentuk diskriminasi. setiap
individu mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi
termasuk kehidupan seksual dan reproduksinya.
d. Hak privasi. setiap individu mempunyai hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi dengan menghormati
kerahasiaan pribadi. Setiap perempuan mempunyai hak untuk
menentukan sendiri pilihan reproduksinyaHak kebebasan berpikir
e. Hak atas informasi dan edukasi. setiap individu mempunyai hak atas
informasi dan pendidikan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
dan seksual termasuk jaminan kesehatan dan kesejahteraan perorangan
maupun keluarga.
f. Hak memilih untuk menikah atau tidak, serta untuk membentuk dan
merencanakan sebuah keluarga
g. Hak untuk memutuskan apakah ingindan kapan mempunyai anak
h. Hak atas pelayanan dan proteksi kesehatan
i. Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
j. Hak atas kebebasa berserikat dan berpartisipasi dalam arena politik.
setiap individu mempunyai hak untuk mendesak pemerintah agar
memprioritaskan kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak kesehatan
seksual dan reproduksi.
k. Hak untuk terbebas dari kesakitan dan kesalahan pengobatan. Setiap
individu mempunyai hak untuk dilindungi dari perkosaan, kekerasan,
penyiksaan, dan pelecehan seksual.
4. Ruang Lingkup kesehatan reproduksi
Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi Secara luas, ruang lingkup
kesehatan reproduksi meliputi :
a. Kesehatan bayi dan anak.
b. Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi, termasuk
PMS-HIV/AIDS.

11
c. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi.
d. Kesehatan reproduksi remaja.
e. Pencegahan dan penanganan infertilitas.
f. Kanker pada usia lanjut dan osteopororosis.
g. Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks,
mutilasi genital, fistula, dan lain-lain.
Kesehatan reproduksi ibu dan bayi beru lahir meliputi
perkembangan berbagai organ reproduksi mulai dari sejak dalam
kandungan hingga meninggal. Permasalahan kesehatan reproduksi remaja
termasuk pada saat pertama anak perempuan mengalami haid/menarche,
hingga menyakut kehidupan remaja memasuki masa perkawinan. Selain
itu seseorang berhak terbebas dari kemungkinan tertulari penyakit infeksi
menular seksual yang bias berpengaruh pada fungsi reproduksi. Penerapan
pelayanan kesehatan reproduksi oleh Departemen Kesehatan RI
dilaksanakan secara integratif memprioritaskan pada empat komponen
kesehatan reproduksi yang menjadi masalah pokok di Indonesia yang
disebut paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), yaitu :
a. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
b. Keluarga berencana.
c. Kesehatan reproduksi remaja.
d. Pencegahan dan penanganan infeksi saluran reproduksi, termasuk
HIV/AIDS. Sedangkan Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Komprehensif (PKRK) terdiri dari PKRE ditambah kesehatan
reproduksi pada usia lanjut (Widyastuti dkk, 2012).
Uraian ruang lingkup kesehatan reproduksi remaja berdasarkan
pada pendekatan siklus kehidupan, yakni memperhatikan kekhususan
kebutuhan penanganan sistem reproduksi pada setiap fase kehidupan,
serta kesinambungan antar fase kehidupan tersebut. Ini dikarenakan
masalah kesehatan reproduksi pada setiap fase kehidupan dapat
diperkirakan, maka apabila tidak ditangani dengan baik maka akan
berakibat buruk bagi masa kehidupan selanjutnya Salah satu ruang

12
lingkup kesehatan reproduksi dalam siklus kehidupan adalah kesehatan
reproduksi remaja. Tujuan dari program kesehatan reproduksi remaja
adalah untuk membantu remaja agar memahami kesehatan reproduksi,
sehingga remaja memiliki sikap danperilaku sehat serta bertanggung
jawab kaitannya dengan masalah kehidupan reproduksi (Widyastuti dkk.,
2012).
Ruang lingkup kesehatan reproduksi mencakup keseluruhan
kehidupan manusia sejak lahir sampai mati (life cycle approach) agar di
peroleh sasaran yang pasti dan komponen pelayanan yang jelas serta
dilaksanakan secara terpadu dan berkualitas dengan memperhatikan hak
reproduksi perorangan dan bertumpu pada program pelayanan yang
tersedia.
1) Konsepsi
Perlakuan sama antara janin laki-laki dan perempuan, Pelayanan
ANC, persalinan, nifas dan BBL yang aman.
2) Bayi dan Anak
PemberianASI eksklusif dan penyapihan yang layak, an pemberian
makanan dengan gizi seimbang, Imunisasi, Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) dan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM),
Pencegahan dan penanggulangan kekerasan pada anak, Pendidikan
dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang sama pada anak
laki-laki dan anak perempuan.
3) Remaja
Pemberian Gizi seimbang, Informasi Kesehatan Reproduksi yang
adequate, Pencegahan kekerasan sosial, Mencegah ketergantungan
NAPZA, Perkawinan usia yang wajar, Pendidikan dan peningkatan
keterampilan, Peningkatan penghargaan diri,. Peningkatan pertahanan
terhadap godaan dan ancaman.
4) Usia Subur
Pemeliharaan Kehamilan dan pertolongan persalinan yang aman,
Pencegahan kecacatan dan kematian pada ibu dan bayi, Menggunakan

13
kontrasepsi untuk mengatur jarak kelahiran dan jumlah kehamilan,
Pencegahan terhadap PMS atau HIV/AIDS, Pelayanan kesehatan
reproduksi yang berkualitas, Pencegahan penanggulangan masalah
aborsi, Deteksi dini kanker payudara dan leher rahim, Pencegahan dan
manajemen infertilitas.
5) Usia Lanjut
Perhatian terhadap menopause/andropause, Perhatian terhadap
kemungkinan penyakit utama degeneratif termasuk rabun, gangguan
metabolisme tubuh, gangguan morbilitas dan osteoporosis, Deteksi
dini kanker rahim dan kanker prostat. Ruang Lingkup Kesehatan
Reproduksi secara “lebih luas“, meliputi: Masalah kesehatan
reproduksi remaja yaitu pada saat pertama anak perempuan
mengalami haid/menarche yang bisa beresiko timbulnya anemia,
perilaku seksual bila kurang pengetahuan dapat terjadi kehamilan
diluar nikah, abortus tidak aman, tertular penyakit menular seksual
(PMS), termasuk HIV/AIDS.
Remaja saat menginjak masa dewasa dan melakukan
perkawinan, dan ternyata belum mempunyai pengetahuan yang cukup
untuk memelihara kehamilannya maka dapat mengakibatkan
terjadinya risiko terhadap kehamilannya (persalinan sebelum
waktunya) yang akhirnya akan menimbulkan risiko terhadap
kesehatan ibu hamil dan janinnya. Dalam kesehatan reproduksi
mengimplikasikan seseorang berhak atas kehidupan seksual yang
memuaskan dan aman. Seseorang berhak terbebas dari kemungkinan
tertular penyakit infeksi menular seksual yang bisa berpengaruh pada
fungsi organ reproduksi, dan terbebas dari paksaan. Hubungan seksual
dilakukan dengan saling memahami dan sesuai etika serta budaya
yang berlaku.
5. Sunat Perempuan
a. Pengertian
Banyak konsep yang digunakan untuk menjelaskan tentang

14
sunat perempuan. Dalam Islam khitan atau sunat berasal dari bahasa
arab Al-khitan yang merupakan isim masdar dari kata kerja Khatana
yang berarti memotong. Khitan pada perempuan dilakukan dengan cara
memotong bagian atas (klentit) dari kemaluan (faraj) (Jendrius, dkk Hal
3).
Khitan perempuan adalah memotong sedikit kulit labia minora
atau preputium clitoridis di atas uretra di farji atau kemaluan. Kata lain
yang sering digunakan adalah sunat dan istilah lain yang kurang dikenal
yaitu khifad yang berasal dari kata khafd, istilah ini khusus untuk
khitan perempuan (Gani, ).
Secara internasional sunat perempuan dikenal dengan istilah
female genital cutting (FGC) atau genital mutilation. Genital cutting
adalah pemotongan alat kelamin sedangkan genital mutilation identik
dengan perusakan alat kelamin. FGC merupakan segala prosedur
menghilangkan sebagian atau seluruh bagian alat kelamin luar
perempuan atau perlukaan organ genital perempuan baik karena
didasari oleh alasan kebudayaan atau alasan nonmedis lainnya (Juli,
2006) Aide Medicale Internationale, hal 39.
b. Tipe-tipe Sunat Perempuan
WHO mengklasifikasikan bentuk FGC dalam 4 tipe, yaitu :
1) Tipe I : Clitoridotomy, yaitu eksisi dari permukaan (prepuce)
klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris.
Dikenal juga dengan istilah hoodectomy.
2) Tipe II : Clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia
minora. Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara,
Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula.
3) Tipe III: Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan ala Firaun, yaitu
eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan
untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan
dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar
darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar.

15
4) Tipe IV: Tidak terklarifikasi, termasuk di sini adalah menusuk
dengan jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus,
atau insisi klitoris dan atau labia; meregangkan (stretching) klitoris
dan atau vagina; kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya;
menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau
memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif atau
tumbuhtumbuhan agar vagina mengeluarkan darah, menipis, dan
menyempit.
Tipe I dan III adalah tipe yang paling sering dilakukan di berbagai
negara. Di Indonesia, berdasarkan penelitian Pusat Studi Kependudukan
dan Kebijakan UGM di Madura dan Yogyakarta 2002, prosedur yang
paling sering dilakukan adalah tipe II dan tindakan yang sering
dilakukan oleh tenaga medis adalah tipe IV (Juli, 2006) Aide Medicale
Internationale, hal 39.
c. Prosedur penyunatan yang umum dilakukan dalam praktek sunat
perempuan
Di antaranya :
1) Memotong sedikit puncak klitoris
2) Mencongkel atau melukai klitoris
3) Mengorek lender atau selaput kulit klitoris
4) Menusuk dengan jarum atau ujung pisau untuk mengeluarkan
setetes darah (Jendrius, 2005).
d. Pelaksanaan Sunat Perempuan
Pelaksaan sunat perempuan sangat bervariasi, mulai dilakukan oleh
tenaga medis (perawat, bidan, maupun dokter), dukun bayi dan
dukun/tukang sunat dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti
pisau, sembilu, bambu, kaca dan kuku, hingga alat modern seperti
gunting dan skapula, pelaksanaannya dengan atau tanpa anastesi. Usia
pelaksanaannya juga bervariasi mulai dari neonatus, anak usia 6-10
tahun, remaja, hingga dewasa. Masyarakat di Indonesia melakukan
sunat perempuan pada usia anak 0-18 tahun, tergantung budaya

16
setempat. Namun pada umumnya sunat perempuan dilakukan pada bayi
setelah dilahirkan. Di Jawa dan Madura, sunat perempuan 70%
dilaksanakan pada anak usia kurang dari satu tahun (Juliansyah, 2009).
e. Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan
Sunat perempuan merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang
timbul sejak dahulu dari berbagai nilai, khususnya nilai agama dan nilai
budaya. Alasan- alasan yang menyebabkan terpelihara dan tetap
berlangsungnya sunat perempuan yaitu agama, adat, mengurangi hasrat
seksual, kesehatan, keindahan dan kesuburan. Secara umum perempuan
yang masih memelihara praktek sunat pada perempuan adalah
perempuan yang hidup dalam masyarakat tradisional di wilayah
pedalaman (Coomaraswamy, 2000).
1) Psikoseksual
Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek
badaniah, psikologik dan kebudayaan yang berhubungan langsung
dengan seks dan hubungan seks manusia (Rosidi dkk, 2008).
Klitoris adalah organ yang sangat sensitif seperti ujung
zakar. Organ ini juga bisa ereksi, mampu meningkatkan libido dan
nafsu birahi. Khitan yang dilakukan pada perempuan diyakini dapat
mengendalikan gejolak nafsu seksual, terutama pada masa pubertas
yang merupakan fase usia paling berbahaya dalam kehidupan anak
gadis (Hindi, 2008).
Sunat pada perempuan berawal dari keinginan laki- laki
untuk mengendalikan seksual wanita. Dalam tradisi masyarakat,
laki- laki tidak akan menikahi wanita yang belum disunat dan
menganggap wanita tersebut akan gemar bersetubuh dengan siapa
saja, tidak bersih dan tidak layak dipercaya secara seksual
(Koblinsky, 1997).
Female Genital Mutilation (FGM) dipercaya dapat
mengurangi hasrat sksual seorang peempuan sehingga dapat
mengurangi terjadinya praktek seksual diluar nikah. Dalam

17
masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan, seorang
perempuan yang tidak disunat tidak akan mendapatkan jodoh dan
kesetiaan perempuan yang tidak disunat sangat diragukan oleh
masyarakat (Ana, 2009).
Ada beberapa anggapan yang dipercayai masyarakat
tentang manfaat khitan perempuan yaitu: Mengurangi dan
menghilangkan jaringan sensitif dibagian luar kelamin terutama
klitoris agar dapat menahan keinginan seksualitas perempuan,
memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum menikah,
kesetiaaan di dalam pernikahan, dan menambah kenikmatan seksual
laki- laki. Namun, manfaat tersebut tidak didasari fakta ilmiah
( Gani, 2007).
Perilaku seksualitas yang normal ialah yang dapat
menyesuaikan diri bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi
dengan kebutuhan individu mengenai kebahagiaan dan
pertumbuhan yaitu perwujudan diri sendiri atau peningkatan
kemampuan individu untuk mengembangkan kepribadian menjadi
lebih baik (Rosidi dkk, 2008).
Menurut Ilyas (2009) dorongan seksual seorang perempuan
tidak ditentukan oleh sunat atau tidaknya seorang perempuan, tetapi
karena faktor- faktor psikologis dan hormonal.
2) Sosiologi
Allan Jahnson (Herlinawati, 2010) mengatakan Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku,terutama
dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagai mana sisten
tersebut mempengaruhi individu dan bagai mana pula orang yang
terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Secara
sosiologis khitan pada perempuan merupakan bagian dari
identifikasi warisan budaya, tahapan anak perempuan memasuki
masa kedewasaan, integrasi sosial dan memeliharaan kohesi sosial
(Gani, 2007 hal.4).

18
Budaya dan tradisi merupakan alasan utama dilakukannya
sunat perempuan. Sunat menentukan siapa saja yang dapat dianggap
sebagai bagian dari masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap
inisiasi bagi perempuan untuk memasuki tahap dewasa. Dalam
masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan tindakan sunat
dianggap sebagai hal yang biasa dan seorang perempuan tidak akan
dianggap dewasa sebelum melakukan sunat (Heitman, 2003).
Saadawi (2001) berpendapat Seorang gadis yang tidak
disunat akan menjadi bahan gunjingan oleh masyarakat, mendapat
anggapan negative sebagai perempuan yang memiliki tingkah laku
buruk, dan akan mengejar laki- laki. Bila datang saatnya menikah,
tidak ada laki- laki yang datang untuk meminang Saat ini khitan
perempuan sebagai suatu kegitan yang menjadi tradisi di
masyarakat tentunya harus memiliki dasar yang kuat, bukan sekedar
tradisi masa lalu. Sebagian masyarakat sejak jaman Nabi Ibrahim
hingga saat ini masih melakukan tradisi sunat perempuan dengan
berlandaskan keagamaan dan taqwa kepada sang khaliq ( Gani,
2007).
3) Hygiene Menurut Kamus
Hygiene Menurut kamus keperawatan hygiene merupakan
ilmu pengetahuan mengenai cara-cara mempertahankan dan
melestarikan kesehatan, khususnya melalui upaya menggalakkan
kebersihan (Hinchuff, 1999).
Alasan kebersihan, kesehatan dan keindahan merupakan
dalih pembenaran yang diakui oleh masyarakat untuk melakukan
sunat perempuan. Pemotongan klitoris dikaitkan dengan tindakan
penyucian dan pembersihan oleh masyarakat yang mempraktekkan
sunat perempuan. Seorang perempuan yang tidak disunat dianggap
tidak bersih dan tidak diperkenankan menyentuh makanan atau air
(Lubis, Hal 499).
Dalam beberapa budaya menganggap alat kelamin

19
perempuan yang tidak disunat di pandang jelek dan najis. Sunat
diyakini sebagai prosedur membersihkan alat kelamin perempuan
dan meningkatkan kondisi estetikanya.
Sunat perempuan juga menjadi alasan kesehatan,
kebersihan, dan keindahan alat kelamin perempuan. Sunat
perempuan melahirkan kebersihan dan kesucian. Kebersihan dan
kesucian di balik sunat, mencegah menumpuknya cairan lemak
yang menjadi penyebab peradangan pada daerah sensitive, uretra
dan pada sistem reproduksi, juga dapat menyebabkan timbulnya
penyakit- penyakit mematikan (Hindi, 2008).
4) Mitos
Masalah lain dalam sunat perempuan yang perlu mendapat
perhatian adalah mitos- mitos yang mendasari pelaksaan sunat
perempuan. Masyarakat menyakini bahwa bila anak perempuan
yang tidak disunat kan menjadi nakal dan genit. Mitos lain yang
berkembang dimasyrakat yaitu sunat perempuan akan menjadikan
perempuan lebih feminin, mengontrol kegiatan seksual perempuan
dan menjadikan perempuan selalu tunduk kepada laki-laki (Aida,
2009).
Terdapat pula beberapa mitos yang menguatkan keberadaan
sunat perempuan. Mitos tersebut menempatkan perempuan sebagai
makhluk nomor dua yang yang tidak pantas mengapresiasikan
kebutuhan seksualnya, perempuan hanya sebagai pelengkap
kepuasan seksual laki- laki. Untuk alsan tersebut praktek sunat
perempuan yang memotong organ seks yang paling sensitive pada
perempuan dibenarkan ( Prafitri, 2008 hal. 78).
Tindakan Famale Genital Mutilation (FGM) atau sunat
perempuan dipromosikan dapat meningkatkan kesehatan perempuan
serta anak yang dilahirkannya, dikatakan bahwa perempuan yang
disunat akan lebih subur dan mudah melahirkan. Pendapat ini
merupakan mitos yang dipercaya masyarakat dan tidak memiliki

20
bukti medis (Ana, 2009).
5) Agama
Dalam Islam khitan perempuan lazim menggunakan bahasa
khitan yang diambil dari kata khatana yang berarti memotong,
maksudnya adalah memotong kulit yang menutup bagian ujung
kemaluan dengan tujuan bersih dari najis atau disebut dengan thahur
yang artinya membersihkan (Umar, Hal. 51).
Masyarakat mengganggap bahwa sunat pada repempuan
adalah bagian dari ajaran Islam, sama seperti laki- laki. Dalam Al-
Quran tidak ada ketegasan hukum mengenai sunat perempuan,
tetapi terdapat dalam hadits. Beberapa kitab hadits dan fiqih
memuat hadits- hadits yang berkaitan dengan sunat perempuan,
diantara lain yang diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hanbal: Khitan itu
dianjurkan untuk laki- laki (sunnah), dan kehormatan bagi
perempuan(makromah).
f. Resiko Sunat Perempuan
Menurut Koblinsky (1997) Resiko yang timbul akibat sirkumsisi
pada wanita dapat berupa perdarahan, tetanus, infeksi yang disebabkan
oleh alat yang digunakan tidak steril, dan syok karena rasa nyeri saat
dilakukan tindakan tanpa anastesi.
Dalam pandangan medis kegiatan sunat pada perempuan dapat
membahayakan, karena menyangkut menghilangkan alat vital pada
perempuan. Dari tindakan sunat perempuan dapat mengakibatkan
komplikasi yang bersifat jangka panjang pada perempuan seperti:
Kesulitan menstruasi, infeksi saluran kemih kronis, kemandulan,
disfungsi seksual, kesulitan saat hamil dan persalinan, dan
meningkatkan resiko tertular HIV. Selain berdampak secara medis,
sunat perempuan juga dapat menimbulkan dampak yang bersifat
psikoseksual, psikologis, dan sosial (Gani, 2007).
Ditinjau dari segi medis dan kesehatan, sunat perempuan tidak
ada manfaat dan kegunaan. Berbeda dengan dengan sunat yang

21
dilakukan pada laki- laki yaitu berguna untuk menjaga kebersihan dari
alat kelamin luar (Juli, 2006) Aide Medicale Internationale, hal 39.
Sehubungan dengan masalah tersebut, sebaiknya dilakukan program
edukasi tentang sunat pada anak perempuan di masyarakat. Namun,
tentu harus mempertimbangkan faktor budaya dari masyarakat
setempat.
6. Kekerasan Terhadap Perempuan
a. Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan
Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah
penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan
terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau
masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak. Secara filosofis, fenomena
kekerasan merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan
antarpribadi, di mana orang tidak lagi bisa duduk bersama untuk
memecahkan masalah. Hubungan yang ada hanya diwarnai dengan
ketertutupan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan
seperti ini, tidak ada dialog, apalagi kasih. Semangat mematikan lebih
besar daripada semangat menghidupkan, semangat mencelakakan lebih
besar daripada semangat melindungi. Memahami tindak-tindak
kekerasan di Indonesia yang dilakukan orang satu sama lain atau
golongan satu sama lain dari perspektif ini, terlihat betapa masyarakat
kita sekarang semakin jauh dari menghargai dialog dan keterbukaan.
Permasalahan sosial biasa bisa meluas kepada penganiayaan dan
pembunuhan. Toko, rumah ibadah, kendaraan yang tidak ada sangkut
pautnya dengan munculnya masalah, bisa begitu saja menjadi sasaran
amuk massa. Secara teologis, kekerasan di antara sesama manusia
merupakan akibat dari dosa dan pemberontakan manusia. Kita tinggal
dalam suatu dunia yang bukan saja tidak sempurna, tapi lebih
menakutkan, dunia yang berbahaya. Orang bisa menjadi berbahaya bagi

22
sesamanya. Mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan,
pemerkosaan, penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan.
Menghadapi kenyataan ini, ada dua bentuk perlawanan yang dilakukan
sejauh ini dengan bernafaskan ajaran cinta damai.
1) Aspek Budaya :
a) Kuatnya pengertian yang bersumber pada nilai-nilai budaya yang
memisahkan peran dan sifat gender laki-laki dan perempuan
secara tajam dan tidak setara.
b) Sosialisasi pengertian tersebut melalui keluarga, lembaga
pendidikan, agama, dan media massa, menyebabkan berlakunya
keyakinan dan tuntutan.
c) Laki-laki dan perempuan punya tempat dan perannya sendiri-
sendiri yang khas dalam keluarga/perkawinan/berpacaran.
d) Laki-laki lebih superior daripada perem-puan, dan mempunyai
hak penuh untuk memperlakukan perempuan seperti barang
miliknya.
e) Keluarga adalah wilayah pribadi, tertutup dari pihak luar, dan
berada di bawah kendali laki-laki.
f) Diterimanya kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik.
2) Aspek Ekonomi :
a) Ketergantungan perempuan secara ekonomi pada laki-laki;
b) perempuan lebih sulit untuk mendapatkan kredit, kesempatan
kerja di lingkup formal dan informal, dan kesempatan
mendapat-kan pendidikan dan pelatihan.
3) Aspek Hukum :
a) Status hukum perempuan yang lebih lemah dalam peraturan
perundang-undangan maupun dalam praktek penegakan
hukum;

23
b) Pengertian tentang perkosaan dan KDRT yang belum
menjawab sepenuhnya kebutuhan perlindungan bagi korban
dan penanganan pada pelaku;

c) Rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki perempuan


tentang hukum,

d) Perlakuan aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya peka


pada perempuan dan anak perempuan korban kekerasan. Aspek
Politik :

e) Rendahnya keterwakilan kepentingan perempuan dalam proses


pengambilan keputusan di bidang politik, hukum, kesehatan,
maupun media.

f) Kekerasan terhadap Perempuan masih belum sepenuhnya


dianggap sebagai persoalan yang berdampak serius bagi negara,

g) Adanya resiko yang besar bila memperta-nyakan aturan agama,

h) Terbatasnya partisipasi perempuan di organisasi politik.

b. Risiko Yang Ditimbulkan Terhadap Kekerasan Pada Perempuan


Risiko yang ditimbulkan terhadap kekerasan pada perempuan meliputi :
1) HIV dan Infeksi Menular Seksual Lainnya.
Selama satu dekade terakhir, ada telah berkembang bahwa
kekerasan pasangan intim merupakan kontributor penting dalam
kerentanan perempuan terhadap HIV dan IMS Mekanisme yang
mendasari kerentanan wanita terhadap HIV atau IMS adalah
hubungan seksual secara paksa. Perempuan dalam hubungan
kekerasan, atau yang hidup dalam ketakutan kekerasan, juga
mungkin memiliki kontrol terbatas atas waktu atau keadaan dari

24
hubungan seksual, atau kemampuan mereka untuk menegosiasikan
penggunaan kondom.
2) ABORSI
Perilaku kekerasan terhadap perempuan berdampak besar
pada kesehatan seksual dan reproduksi perempuan serta penggunaan
kontrasepsi seperti kondom ketidakmampuan perempuan untuk
menolak paksaan laki-laki dalam penggunaan kondom
mengakibatkan kelahiran yang tidak diinginkan, diperkirakan dari
80 juta kehamilan yang tidak diinginkan setiap tahun, setidaknya
setengah dihentikan melalui aborsi dan hampir setengah dari mereka
berlangsung dalam kondisi aborsi yang tidak aman. kehamilan yang
tidak diinginkan dilakukan dengan risiko bagi ibu dan bayi karena
aborsi ilegal dan risiko kematian akan mengacam
3) Berat Badan Lahir Rendah Dan Prematur Berat
Badan lahir rendah dan kelahiran prematur atau pembatasan
pertumbuhan dalam rahim sangat berhubungan dengan stres dan
lingkungan yang tidak mendukung yang berakibat pada tingkat stres
kronis menjadi faktor risiko utama kesehatan ibu dan akan
mempengaruhi janin, studi observasional yang yang dilakuakan
untuk menyelidiki kekerasan pada pasangan intim berpotensial
mengakibatkan bayi lahir berat rendah serta lahir prematur.
4) Penggunaan Alkohol yang Obat Berbahaya
Berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur atau
pembatasan pertumbuhan dalam rahim sangat berhubungan dengan
stres dan lingkungan yang tidak mendukung yang berakibat pada
tingkat stres kronis menjadi faktor risiko utama kesehatan ibu dan
akan mempengaruhi janin, studi observasional yang yang
dilakuakan untuk menyelidiki kekerasan pada pasangan intim
berpotensial mengakibatkan bayi lahir berat rendah serta lahir
prematur.
5) Depresi dan Bunuh Diri

25
Kekerasan pasangan intim dapat menyebabkan depresi dan
usaha bunuh diri serta peristiwa traumatis karena kekersan seksual
sehingga perempuan akan menjadi deprsi memungkinkan terjadi
perilaku bunuh diri. penelitian lain menunjukkan bahwa wanita
dengan masalah kesehatan mental akibat kekerasan seksual sering
akan mengakhiri hidupnya.
6) Luka Non-Fatal
Kekerasan pasangan intim dikaitkan dengan banyak
konsekuensi kesehatan, tetapi efek yang langsung cedera adalah
fatal dan non-fatal.diperkirakan bahwa sekitar setengah dari wanita
di Amerika Serikat yang terluka secara fisik dengan pasangan
mereka, sebagian besar dari mereka masih terlihat bekas luka di
bagian Kepala, leher dan wajah akibat kekerasan pasangan mereka,
diikuti oleh cedera otot dan cedera genital. Pengukuran cedera
akibat kekerasan pasangan intim tetap menantang karena berbagai
alasan.
7) Cedera Fatal (Kasus Pembunuhan Pasangan Intim)
Pembunuhan baik pria atau wanita lebih banyak disebabkn
karena pasangan intim mereka, dalam hal ini pasangan intim
wanita yang paling banyak dibunuh. di Indonesia data dari Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang terkumpul
tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol
sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP yang mencapai
angka 11.207 kasus (69%). Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang
paling menonjol adalah kekerasan fisik 4.304 kasus (38%),
menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual 3.325
kasus (30%), psikis 2.607 kasus (23%) dan ekonomi 971 kasus
(9%).Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 5.002 kasus
(31%), di mana kekerasan seksual menempati peringkat pertama
sebanyak 3.174 kasus (63%), diikuti kekerasan fisik 1.117 kasus
(22%) dan kekerasan lain di bawah angka 10%; yaitu kekerasan

26
psikis 176 kasus (4%), kekerasan ekonomi 64 kasus (1%), buruh
migran 93 kasus (2%); dan trafiking 378 kasus (8%).
7. Seksualitas pada Remaja
a. Pengertian
Istilah seks dan seksualitas adalah suatu hal yang berbeda. Kata
seks sering digunakan dalam dua cara. Paling umum seks digunakan
untuk mengacu pada bagian fisik dari berhubungan, yaitu aktivitas
seksual genital. Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik
seseorang itu pria atau wanita (Zawid, 1994; Perry & Potter 2005).
Seksualitas adalah istilah yang lebih luas. Seksualitas
diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari
jenis kelamin yang berbeda dan mencakup pikiran, pengalaman,
pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi. Seksualitas berhubungan
dengan bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan
bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada
lawan jenis melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan,
ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan melalui perilaku yang
lebih halus, seperti isyarat gerakan tubuh, etiket, berpakaian, dan
perbendaharaan kata (Denny & Quadagno, 1992; Zawid, 1994; Perry
& Potter, 2005).
Masa remaja pekembangan seksualitas diawali ketika
terjalinnya interaksi antar lawan jenis, baik itu interaksi antar teman
atau interaksi ketika berkencan. Dalam berkencan dengan
pasangannya, remaja melibatkan aspek emosi yang diekspresikan
dalam berbagai cara, seperti memberikan bunga, tanda mata, mengirim
surat, bergandengan tangan, berciuman dan lain sebagainya. Atas dasar
dorongan-dorongan seksual dan rasa ketertarikan terhadap lawan
jenisnya, perilaku remaja mulai diarahkan untuk menarik perhatian
lawan jenis. Dalam rangka mencari pengetahuan tentang seks, ada
remaja yang melakukan secara terbuka mengadakan percobaan dalam
kehidupan seksual. Misalnya, dalam berpacaran mereka

27
mengekspesikan perasaannya dalam bentuk perilaku yang menuntut
keintiman secara fisik dengan pasangannya, seperti berpelukan,
berciuman hingga melakukan hubungan seksual (Saifuddin, 1999).
Seksualitas dan aktivitas seksual merupakan suatu area yang
harus dibicarakan dengan setiap remaja secara rahasia. Insidensi
aktivitas seksual pada remaja tinggi dan meningkat sesuai dengan
pertambahan usia. Kebanyakan remaja di bawah usia 15 tahun belum
pernah melakukan hubungan seksual, 8 dari 10 remaja putri dan 7 dari
10 remaja putra belum pernah melakukan hubungan seksual pada usia
15 tahun (Alan Guttmacher Institute, 1998; Wong, 2008).
Remaja terlibat dalam seksualitas karena berbagai alasan,
diantaranya yaitu: untuk memperoleh sensasi menyenangkan, untuk
memuaskan dorongan seksual, untuk memuaskan rasa keingintahuan,
sebagai tanda penaklukan, sebagai ekspresi rasa sayang, atau mereka
tidak mampu menahan tekanan untuk menyesuaikan diri. Keinginan
yang sangat mendesak untuk menjadi milik seseorang memicu
meningkatnya serangkaian kontak fisik yang intim dengan pasangan
yang diidolakan. Masa remaja pertengahan adalah waktu ketika remaja
mulai mengembangkan hubungan romantis dan ketika kebanyakan
remaja ingin memulai percobaan seksual (Wong, 2008).
b. Dimensi Seksualitas
Seksualitas memiliki dimensi dimensi sosiokultural, dimensi
agama dan etik, dimensi psikologis dan dimensi biologis (Perry &
Potter, 2005). Masing-masing dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut :
1) Dimensi Sosiokultural
Seksualitas dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural
yang menentukan apakah perilaku yang diterima di dalam kultur.
Keragaman kultural secara global menciptakan variabilitas yang
sangat luas dalam norma seksual dan menghadapi spektrum
tentang keyakinan dan nilai yang luas. Misalnya termasuk cara dan

28
perilaku yang diperbolehkan selama berpacaran, apa yang
dianggap merangsang, tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan
dalam perilaku seksual, dengan siapa seseorang menikah dan siapa
yang diizinkan untuk menikah. Setiap masyarakat memainkan
peran yang sangat kuat dalam membentuk nilai dan sikap seksual,
juga dalam membentuk atau menghambat perkembangan dan
ekspresi seksual anggotanya. Setiap kelompok sosial mempunyai
aturan dan norma sendiri yang memandu perilaku anggotanya.
Peraturan ini menjadi bagian integral dari cara berpikir individu
dan menggarisbawahi perilaku seksual, termasuk, misalnya saja,
bagaimana seseorang menemukan pasangan hidupnya, seberapa
sering mereka melakukan hubungan seks, dan apa yang mereka
lakukan ketika mereka melakukan hubungan seks.
2) Dimensi Agama dan etik
Seksualitas juga berkaitan dengan standar pelaksanaan
agama dan etik. Ide tentang pelaksanaan seksual etik dan emosi
yang berhubungan dengan seksualitas membentuk dasar untuk
pembuatan keputusan seksual. Spektrum sikap yang ditunjukan
pada seksualitas direntang dari pandangan tradisional tentang
hubungan seks yang hanya dalam perkawinan sampai sikap yang
memperbolehkan individu menentukan apa yang benar bagi
dirinya. Keputusan seksual yang melewati batas kode etik individu
dapat mengakibatkan konflik internal.
3) Dimensi Psikologis
Seksualitas bagaimana pun mengandung perilaku yang
dipelajari. Apa yang sesuai dan dihargai dipelajari sejak dini dalam
kehidupan dengan mengamati perilaku orangtua. Orangtua
biasanya mempunyai pengaruh signifikan pertama pada anak-
anaknya. Mereka sering mengajarkan tentang seksualitas melalui
komunikasi yang halus dan nonverbal. Seseorang memandang diri
mereka sebagai makhluk seksual berhubungan dengan apa yang

29
telah orangtua mereka tunjukan kepada mereka tentang tubuh dan
tindakan mereka. Orangtua memperlakukan anak laki-laki da
perempuan secara berbeda berdasarkan jender.
4) Dimensi Biologis
Seksualitas berkaitan dengan pebedaan biologis antara laki-
laki dan perempuan yang ditentukan pada masa konsepsi. Material
genetic dalam telur yang telah dibuahi terorganisir dalam
kromosom yang menjadikan perbedaan seksual. Ketika hormon
seks mulai mempengaruhi jaringan janin, genitalia membentuk
karakteristik laki-laki dan perempuan. Hormon mempengaruhi
individu kembali saat pubertas, dimana anak perempuan
mengalami menstruasi dan perkembangan karakteristik seks
sekunder, dan anak laki-laki mengalami pembentukan spermatozoa
(sperma) yang relatif konstan dan perkembangan karakteristik seks
sekunder.
c. Perkembangan Seks
Pada Remaja Pada proses kematangan seks, sama halnya
seperti aspek perkembanagn lainnya akan terlihat juga adanya
perbedaan-perbedaan individu dalam hal saat permulaan mulainya
perubahan dan lamanya proses. Walaupun ada pengaruh-pengaruh
individu itu, akan tetapi prosesnya sama saja seperti perkembangan
fisik dan tinggi badan, dimana pada remaja putri akan dimulai rata-rata
2 tahun lebih dahulu daripada teman remaja prianya. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada tubuh remaja itu, sebenarnya merupakan
akibat dari berfungsinya kelenjar-kelenjar seks dalam dalam tubuh
yang disertai dengan kematangan alat-alat seks atau yang lazim dikenal
dengan sebutan organ reproduksi. Remaja pria seperti remaja putri
juga tidak akan mencapai kematangan seks secara bersamaan.
Menurut Gunarsa (2007), Surtiretna (2001), Perry & Potter
(2005) dan Kozier (2004) perkembangan seks pada remaja adalah
sebagai berikut :

30
1) Remaja Putri
Pada anak perempuan sekitar umur 9 sampai 11 tahun sudah
mulai timbul tanda-tanda pertama kematangan seks yakni
pembesaran payudara dan pinggul. Sesudah itu baru mulai
pertumbuhan rambut di daerah kemaluan bagian luar dan ketiak.
Suaranya berubah merdu, kulit bertambah bagus dan halus. Kadar
estrogen yang meningkat mempengaruhi genital. Uterus mulai
membesar, dan terjadi peningkatan lubrikasi vaginal. Menarche
atau kedatangan haid untuk pertama kalinya, pada umumnya akan
timbul setelah memuncaknya percepatan pertumbuhan. Umur
tercapainya menarche tidak sama bagi semua remaja putri.
Menarche dapat terjadi pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16
tahun atau lebih. Dengan timbulnya haid pertama belum berarti
bahwa perlengkapan alat berkembangbiak sudah sempurna.
2) Remaja Putra
Proses kematangan seks pada remaja putra mulai antara 11
dan 15 tahun, dengan umur rata-rata 13 dan 14 tahun. Proses ini
dimulai dengan pertumbuhan buah pelir dan zakar. Tumbuhnya
rambut di daerah alat kelamin luar lebih lambat. Percepatan
pertumbuhan buah pelir terjadi kira-kira bersamaan dengan
percepatan penambahan tinggi badan. Baru setahun kemudian
mulai penambahan panjang alat kelamin bagian luar atau penis,
testis, prostat, dan vesikula seminalis yang dipengaruhi oleh
peningkatan kadar testosterone dalam tubuh. Remaja putra mulai
mempunyai kumis dan jenggot, bulu-bulu mulai tumbuh di ketiak
dan daerah kelamin.
Dengan membesarnya tulang di leher bagian depan (jakun),
suara mereka berubah menjadi pecah dan parau, karena tali-tali
suara di kerongkongan mereka sedang mengalami penyesuaian
menjadi suara orang dewasa, demikian juga bidang bahunya
menjadi lebih besar ketimbang pinggangnya. Di samping

31
perubahan suara ada pula remaja pria yang mengalami
penumbuhan atau penebalan rambut di dada.
d. Dampak Seksualitas pada Remaja
Menurut Perry & Potter (2005), Wong (2008), Jusuf (2006)
beberapa dampak yang timbul dari remaja yang aktif secara seksual
adalah sebagai berikut :
1) Dampak Fisik
a) AIDS singkatan dari Aquired Immuno Deficiency Syndrome.
Penyakit ini adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya system kekebalan tubuh. Penyebabnya adalah
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Salah satu cara
penularannya adalah melalui hubungan seksual. Selain itu HIV
dapat menular melalui pemakaian jarum suntik bekas orang
yang terinfeksi virus HIV, menerim tranfusi darah yang
tercemar HIV atau dari ibu hamil yang terinfeksi virus HIV
kepada bayi yang dikandungannya. Di Indonesia penularan
HIV/AIDS paling banyak melalui hubungan seksual yang tidak
aman serta jarum suntik (bagi pecandu narkoba).
b) Penyakit kelamin (Penyakit Menular Seksual/ PMS) Remaja
yang aktif secara seksual memiliki risiko tinggi tertular PMS.
Secara fisiologis, serviks remaja putri memiliki ektropion
(eversi kanalis serviks uteri) yang besar, terdiri atas sel-sel
epithelial kolumnar yang jauh lebih rentan tertular PMS.
PMS adalah penyakit yang dapat ditularkan dari seseorang
kepada orang lain melalui hubungan seksual dan hubungan seksual
dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun
anal. Bila tidak diobati dengan benar penyakit ini dapat berakibat
serius bagi kesehatan reproduksi yaitu kemandulan dan kebutaan
pada bayi yang baru lahir bahkan kematian.
Penyakit menular seksual (PMS) dialami sekitar 10 juta
orang per tahun di bawah usia 25 tahun. Tingkat inseden tertinggi

32
mengharuskan adolesens yang aktif-seksual dilakukan skrining
terhadap PMS, meskipun mereka tidak menunjukan gejala.
Pemeriksaan fisik pada adolesens yang aktif secara seksual setiap
tahun harus meliputi pemeriksaan seksama genetalia sehingga
kondilomata akuminata (kutil genital), herpes, dan PMS yang lain
tidak terlewat. Uji yang direkomendasikan bagi wanita meliputi
pap smear, kultur serviks untuk jenis gonore dan uji sifilis. Jika
pria melakukan aktivitas homoseksual, kultur rektal dan faring
juga perlu dilakukan untuk memeriksa adanya gonore. Penyakit
kelamin yang dapat terjadi antara lain kencing nanah (Gonorrhoe),
raja singa (Sifilis), herpes genitalis, limfogranuloma venereum
(LGV), kandidiasis, trikomonas vaginalis, kutil kelamin.
Karena perilaku seksual dapat mencakup seluruh tubuh dan
tidak hanya genital, banyak bagian tubuh adalah tempat potensial
untuk PMS. Telinga, mulut, tenggorok, lidah, hidung dan kelopak
mata dapat digunakan untuk kesenangan seksual. Perineum, anus,
dan rektum juga sering digunakan dalam aktivitas seksual. Lebih
jauh lagi, setiap kontak dengan cairan tubuh orang lain sekitar
kepala atau suatu lesi terbuka pada kulit, anus, atau genitalia dapat
menularkan PMS.
Tanda-tanda penyakit kelamin (Pria), berupa: bintil-bintil berisi
cairan, lecet atau borok pada penis/alat kelamin, luka tidak sakit;
keras dan berwarna merah pada alat kelamin, adanya kutil atau
tumbuh daging seperti jengger ayam, rasa gatal yang hebat
sepanjang alat kelamin, rasa sakit yang hebat pada saat kencing,
kencing nanah atau darah yang berbau busuk, bengkak panas dan
nyeri pada pangkal paha yang kemudian berubah menjadi borok.
Tanda-tanda penyakit kelamin (Wanita), berupa: rasa
sakit/nyeri saat kencing/hubungan seksual, rasa nyeri pada perut
bagian bawah, pengeluaran lendir pada vagina/alat kelamin,
keputihan berwarna putih susu, bergumpal , rasa gatal dan

33
kemerahan pada alat kelamin atau sekitarnya , keputihan yang
berbusa, kehijauan, berbau busuk, dan gatal, timbul bercak-bercak
darah setelah berhubungan seksual, bintil-bintil berisi cairan, lecet
atau borok pada alat kelamin
2) Dampak Perilaku dan Kejiwaan
Dampak yang timbul akibat remaja yang aktif secara
seksual yaitu dampak perilaku dan kejiwaan antara lain: terjadinya
penyakit kelainan seksual, keinginan untuk selalu melakukan
hubungan seks. Selalu menyibukkan waktunya untuk berbagai
khayalankhayalan seksual, jima, ciuman, rangkulan, pelukan, dan
bayanganbayangan bentuk tubuh wanita luar dan dalam, pemalas,
sulit berkonsentrasi, sering lupa, bengong, ngelamun, badan jadi
kurus dan kejiwaan menjadi tidak stabil. Yang ada dipikirannya
hanyalah seks dan seks serta keinginan untuk melampiaskan nafsu
seksualnya, bila tidak mendapat teman untuk sex bebas, ia akan
pergi ke tempat pelacuran (prostitusi) dan menjadi pemerkosa.
Lebih ironis lagi bila ia tak menemukan orang dewasa sebagai
korbannya, ia tak segan-segan memerkosa anak-anak dibawah
umur bahkan nenek yang sudah uzur.
e. Faktor yang Berhubungan dengan Seksualitas Remaja
Beberapa faktor seorang remaja terlibat dalam seksualitas
menurut Kozier (2004), Dianawati (2003), Strasburger & Donnerstein
(1999) dalam Santrock (2007), Wong (2008), Hurlock (1999), dan
Hawari (2006) yaitu sebagai berikut :
1) Kultur atau budaya
Seksualitas diatur oleh budaya. Misalnya, budaya
mempengaruhi sifat seksual, aturan tentang pernikahan, harapan
peran perilaku, dan tanggung jawab sosial, dan praktik seks
tertentu. Sikap masyarakat sangat bervariasi. Sikap tentang masa
anak-anak dan remaja bermain seksual dengan diri sendiri atau dari
jenis kelamin yang sama atau lawan jenisnya mungkin akan

34
dibatasi. Koitus atau hubungan alat kelamin sebelum dan dilakukan
di luar nikah serta menyukai sesama jenis (homoseksual) mungkin
tidak dapat diterima atau ditoleransi dalam masyarakat.
2) Nilai Agama
Agama mempengaruhi remaja dalam mengekspresikan
seksual. Hal ini dapat memberikan pedoman bagi remaja untuk
mengontrol perilaku seksual dan perilaku tersebut dapat diterima,
serta perilaku seksual yang dilarang dan menerima akibat dari
melanggar aturan seksual. Aturan tentang perilaku seksual dibuat
secara rinci, tegas dan meluas. Sebagai contoh, beberapa agama
melihat bentuk ekspresi seksual hubungan laki-laki dan perempuan
sebagai keperawanan yang alami dan tidak melakukan hubungan
seksual sebelum menikah. Banyak nilai-nilai agama bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat yang telah berkembang
selama beberapa dekade terakhir, seperti penerimaan seks pra
nikah, ibu tidak menikah, homoseksualitas, dan aborsi. Konflik-
konflik ini menyebabkan kecemasan dan penyimpangan seksual
yang terjadi pada beberapa remaja.
3) Etika
Meskipun etika merupakan bagian tak terpisahkan dari
agama, pemikiran etis dan pendekatan etis tetapi seksualitas dapt
dilihat secara terpisah dari agama. Banyak individu dan kelompok
telah mengembangkan kode etik baik tertulis maupun tidak tertulis
berdasarkan berdasarkan prinsip-prinsip etika. Masyarakat
berpandangan bahwa masturbasi, hubungan oral atau anal,
hubungan seks di luar nikah sebagai suatu yang aneh, menyimpang
atau salah. Masyarakat menerima ungkapan seksual adalah bentuk
hubungan yang dilakukan orang dewasa yang dilakukan secara
pribadi dan tidak berbahaya bagi pasangan tersebut. Pasangan
perlu mencari dan berkomunikasi tentang berbagai
mengekspresikan seksual untuk mencegah pengambilan keputusan

35
seksual dari salah satu pasangan. Hal ini untuk menghindari adanya
pemaksaan dari pasangan dalam mengekspresikan seksual.
4) Tekanan Teman Pergaulan
Teman pergaulan atau sering juga disebut teman bermain.
Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok
yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh
dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman
bermain adalah pada masa remaja.
Remaja biasanya berpikir sosial, suka berteman, suka
bergaul, dan suka berkelompok. Pergaulan merupakan cara untuk
mengenal atau mencari teman baru, informasi, dan menambah
wawasan. Dengan demikian kelompok teman sebaya memiliki
pengaruh yang kuat pada evaluasi diri dan perilaku remaja.Untuk
memperoleh penerimaan kelompok, remaja berusaha
menyesuaikan diri secara total dalam berbagai hal seperti model
pakaian, gaya rambut, selera musik, dan tata bahasa, sering kali
mengorbankan individualitas dan tuntutan diri. Segala sesuatu pada
remaja diukur oleh reaksi teman sebayanya. Rasa memilki
merupakan hal yang paling penting. Oleh karena itu remaja akan
berperilaku dengan cara memperkuat keberadaan mereka di dalam
kelompok. Remaja sangat rentan terhadap persetujuan, penerimaan,
dan tuntutan sosial. Diabaikan dan dikritik oleh teman sebaya
menimbulkan perasaan inferioritas, tidak adekuat dan tidak
kompeten.
Lingkungan pergaulan yang telah dimasuki seorang remaja
dapat juga berpengaruh untuk menekan temannya yang belum
mengetahui tentang seksualitas atau yang belum melakukan
hubungan seks. Bagi remaja tersebut, tekanan dari teman-temannya
itu lebih kuat daripada tekanan yang didapat dari pacarnya sendiri.
Keinginan untuk dapat diterima oleh lingkungan pergaulannya
begitu besar, sehingga dapat mengalahkan semua nilai yang

36
didapat, baik dari orang tua maupun dari sekolahnya. Pada
umumnya, remaja tersebut melakukannya hanya sebatas ingin
membuktikan bahwa dirinya sama dengan temantemannya,
sehingga dapat diterima menjadi bagian dari kelompoknya seperti
yang dinginkannya.
Dalam pergaulan dengan teman sebaya tentunya jika ingin
diterima di lingkungan pergaulan, remaja akan mengikuti apa yang
dilakukan di lingkungan pergaulannya tersebut. Pengaruh teman
pergaulan yang sangat bermacam-macam, mulai dari suka dengan
hal yang pornografi dan seksualitas, membicarakan pornografi dan
seks, mengajak teman melihat video porno, mengajak ke tempat
prostitusi, menyuruh melakukan hubungan seks, dikucilkan,
dikritik dan dikatakan kuno. Jika remaja tidak bisa mengendalikan
diri maka remaja sangat mudah mengikuti lingkungan di
sekitarnya. Apalagi didorong dengan rasa ingin tahu tentang seks
yang besar dari diri remaja.
Berdasarkan data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja
Indonesia tahun 2007, remaja melakukan hubungan seks selain
karena rasa ingin tahu sebesar 45%, remaja melakukan hubungan
seks di luar nikah karena tekanan teman sebesar 5%
(Okezone.com).
5) Tekanan pacar
Pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Pacar diartikan
sebagai orang yang spesial dalam hati selain orangtua, keluarga,
dan sahabat. Makna pacaran seringkali disalahgunakan sebagai
ajang pelampiasan nafsu, ajang pertunjukan gengsi, dan ajang
meraup keuntungan pribadi. Pacaran merupakan salah satu upaya
untuk saling mengenal satu sama lain, saling mengerti dan
dimengerti, saling cinta dan saling setia (KBBI, 2002).
Karena kebutuhan seorang untuk mencintai dan dicintai,

37
seorang harus rela melakukan apa saja terhadap pasangannya,
seperti mengajak bercumbu saat berkencan sampai ingin
melakukan hubungan seks pra nikah, tanpa memikirkan risiko yang
nanti dihadapinya. Dalam hal ini yang berperan bukan saja nafsu
mereka, melainkan juga karena sikap memberontak terhadap orang
tuanya. Remaja lebih membutuhkan suatu bentuk hubungan,
penerimaan, rasa aman, dan harga diri sebagai layaknya manusia
dewasa. Jika di dalam lingkungan keluarga tidak dapat
membicarakan masalah yang dihadapinya, remaja tersebut akan
mencari solusinya di luar rumah. Adanya perhatian yang cukup
dari orang tuanya dan anggota keluarga terdekatnya memudahkan
remaja tersebut memasuki masa pubertas.
Dengan demikian, dia dapat melawan tekanan yang datang
dari lingkungan pergaulan dan pasangannya. Selain itu,
kemampuan dan kepercayaan diri untuk memegang teguh prinsip
hidupnya sangat penting. Pandangan ini tidak sebatas masalah
seksual, tetapi juga dalam segala hal, baik tentang apa yang
seharuanya dilakukan maupun tentang apa yang seharusnya tidak
boleh dilakukan.
6) Rasa penasaran
Rasa penasaran atau rasa ingin tahu merupakan salah satu
ciri dari manusia. Manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir
dan dengan akal pikiran tersebut maka dapat memuaskan rasa ingin
tahunya. Rasa ingin tahu di dorong dengan kebutuhan manusia itu
sendiri. Adanya rasa ingin tahu yang besar maka manusia akan
berpikir dan memulai mencari jawaban yang sebanyak-banyaknya
(Yuanita, 2011).
Masa remaja terjadi beberapa perkembangan, salah satunya
perkembangan seksual. Adanya perkembangan seksual tersebut
meningkatkan keingintahuan remaja tentang seks. Apalagi jika
teman-temannya mengatakan bahwa seks terasa nikmat, ditambah

38
lagi adanya segala informasi yang tidak terbatas masuknya. Maka,
rasa penasaran tersebut semakin mendorong mereka untuk lebih
jauh lagi melakukan berbagai macam percobaan sesuai dengan
yang diharapkannya (Dianawati, 2003).
Hal yang terkait dengan rasa penasaran remaja tentang
seksual antara lain tertarik terhadap seksualitas, menonton video
porno, mencari informasi tentang seks, ingin mencoba hubungan
seks, mengunjungi tempat prostitusi. Rasa penasaran yang kuat
dari diri remaja harus diimbangi dengan informasi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan agar remaja tidak terjerumus ke hal-
hal yang dapat merusak moral para remaja.
Perilaku penyimpangan seksualitas terhadap remaja di usia
15-24 tahun kebanyakan dilandasi oleh rasa penasaran.
Berdasarkan data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia
tahun 2007, alasan remaja melakukan hubungan seksual pranikah
yang pertama kali karena Rasa ingin tahu (45%). 5% yang lain
karena alasan tekanan dari teman (Okezone.com)
7) Lingkungan keluarga
Bagi seorang remaja, mungkin aturan yang diterapkan oleh
kedua orang tuanya tidak dibuat berdasarkan kepentingan kedua
pihak (orang tua dan anak). Akibatnya, remaja tersebut merasa
tertekan, sehingga ingin membebaskan diri dengan menunjukkan
sikap sebagai pemberontak, yang salah satunya dalam masalah
seksual. Remaja akan mulai tertarik dengan seksualitas.
8) Media informasi
Media informasi adalah suatu instrument perantara
informasi. Jaman sekarang media informasi sangat berkembang.
Berkembangnya media informasi dikarenakan adanya pengaruh
pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat.
Media informasi kini dengan mudah dapat diakses oleh remaja di
seluruh dunia seperti televisi, radio, internet, bahkan telepon

39
genggam pun telah masuk ke dalam bagian media informasi.
Perkembangan media informasi juga memudahkan remaja untuk
mengakses materi pornografi.
Dewasa ini remaja terus-menerus terpajan simbolisme
seksual dan stimulasi erotik dari media massa. Pada saat yang
sama, perkembangan karakteristik seks primer dan sekunder dan
peningkatan sensitivitas genital menghasilkan pikiran dan fantasi
tentang hubungan seksual. Aspek-aspek seksual pada hubungan
interpersonal menjadi sangat penting. Tuntutan sosial mendorong
remaja untuk melakukan kencan, dan dorongan seks dari dalam
dirinya mendesak mereka untuk melakukan hubungan seksual
tersebut.
Dorongan seksual pada remaja semakin meningkat jika
faktor dari luar ikut pula menunjang. Seperti diketahui, VCD-VCD
atau bacaanbacaan porno kini telah dijual bebas dan seorang akan
dengan sangat mudah mendapatkannya. Selain itu, maraknya
warung-warung internet semakin memudahkan untuk mengakses
gambar-gambar porno. Halhal inilah yang semakin memicu
timbulnya ke dalam hubungan seksual.
Dewasa ini sudah menjadi rahasia umum terdapat industri
untuk pornografi dan pornoaksi dalam bentuk VCD, DVD, tabloid,
majalah, layanan telepon dan lain sebagainya. Salah satu faktor
provokasi pergaulan bebas (hubungan seks di luar nikah) adalah
pornografi. Dan mengutip Ensiklopedia Hukum Islam (1997)
pornografi berarti bahan baik tulisan maupun gambaran yang
dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk tujuan
membangkitkan nafsu birahi (syahwat) dan seks. Dari segi
psikologi atau kejiwaan pornografi dan pornoaksi dapat berakibat
pada melemahnya fungsi pengendalian diri (self control) terutama
tehadap naluri agresivitas seksual.
Banyak remaja senang menonton acara televisi dengan

40
muatan seksual. Menonton potret seksual di televisi dapat
mempengaruhi sikap dan perilaku seksual remaja. Walaupun
demikian, seperti agresi yang ditampilkan di televisi, apakah seks
di televisi benar-benar mempengaruhi perilaku remaja bergantung
pada sejumlah faktor, meliputi kebutuhan remaja, minat,
kepedulian, dan kematangan. Media informasi yang berkaitan
dengan seksual sekarang sangat mudah didapatkan oleh semua
kalangan umur terutama remaja.
Media informasi tersebut antara lain media elektronik yang
meliputi televisi, radio, handpone, internet, vcd, film dan media
cetak seperti koran, majalah, buku cerita, komik, serta dari orang
lain pun juga bisa menjadi media informasi misalnya dari teman,
keluarga, guru, dan pacar.
Hasil survei “Perilaku Seks” siswi DKI Jakarta yang
diselenggarakan oleh produsen pembalut perempuan Laurier
dengan jumlah responden 1400 siswi se-DKI Jakarta dengan sistem
acak menunjukkan sumber informasi tentang seks diperoleh dari
Teman (69%), Orangtua (14%), Sekolah (13%), dan Pacar (4%)
(Andre, 2007).
8. Kehamilan pada Remaja
Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada usia yang
relatif muda yaitu usia kurang dari 20 tahun. Kurangnya pengetahuan
tentang waktu yang aman untuk melakukan hubungan seksual
mengakibatkan terjadi kehamilan remaja, yang sebagian besar tidak
dikehendaki. Kehamilan telah menimbulkan posisi remaja dalam situasi
yang serba salah dan memberikan tekanan batin (stres) yang disebabkan
oleh beberapa faktor (Rohan dan Siyoto (2013).
a. Faktor Penyebab Kehamilan Usia Dini pada Remaja
Faktor penyebab terjadinya kehamilan remaja (Mutanana dan
Mutara, 2015) antara lain :
1) Latar belakang sosial-ekonomi yang buruk, karena beberapa anak

41
terkena aktivitas seksual karena orang tua atau wali gagal merawat
mereka.
2) Pengaruh teman sebaya dalam beberapa anak dipengaruhi oleh
teman-teman sesama, beberapa yang mungkin dari lawan jenis.
3) Pendidikan seks, karena mayoritas anak-anak tidak menerima
pendidikan tentang seks.
4) Tidak menggunakan kontrasepsi karena anak-anak tidak
diperbolehkan menggunakan kontrasepsi.
5) Harga diri yang rendah di antara anak-anak juga membuat mereka
melakukan hubungan seksual yang mengarah ke awal pernikahan.
6) Tingkat pendidikan yang rendah, terutama tingkat pendidikan ibu
yang gagal berperan dalam mengasuh anak-anak mereka
Penelitian Aziza dan Amperaningsih (2014) menyatakan faktor
penyebab terjadinya kehamilan pada remaja diantaranya yaitu
kurangnya pengetahuan mengenai kehamilan remaja, kurangnya peran
orangtua dalam memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
remaja khususnya tentang kehamilan remaja, kurangnya pendidikan
penyuluhan kesehatan reproduksi remaja, kurangnya penerapan ajaran
agama dan iman dalam diri remaja, perkembangan IPTEK, sosial
budaya.
b. Dampak Kehamilan Usia Dini pada Remaja
Rohan dan Siyoto (2013) menyatakan dampak kehamilan di usia
muda yaitu :
1) Keguguran
Keguguran pada usia muda dapat terjadi secara tidak disengaja.
misalnya : karena terkejut, cemas, stres. Tetapi ada juga keguguran
yang sengaja dilakukan oleh tenaga non profesional sehingga dapat
menimbulkan akibat efek samping yang serius seperti tingginya
angka kematian dan infeksi alat reproduksi yang pada akhirnya
dapat menimbulkan kemandulan
2) Persalinan Prematur, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan

42
Kelainan Bawaan
Prematuritas terjadi karena kurang matangnya alat reproduksi
terutama rahim yang belum siap dalam suatu proses kehamilan,
berat badan lahir rendah (BBLR) juga dipengaruhi gizi saat hamil
kurang dan juga umur ibu yang belum menginjak 20 tahun. cacat
bawaan dipengaruhi kurangnya pengetahuan ibu tentang kehamilan,
pengetahuan akan asupan gizi rendah, pemeriksaan kehamilan
(ANC) kurang, keadaan psikologi ibu kurang stabil. selain itu cacat
bawaan juga di sebabkan karena keturunan (genetik) proses
pengguguran sendiri yang gagal, seperti dengan minum obat-obatan
(gynecosit sytotec) atau dengan loncat-loncat dan memijat perutnya
sendiri.
3) Mudah terjadi Infeksi
Keadaan gizi buruk, tingkat sosial ekonomi rendah, dan stress
memudahkan terjadi infeksi saat hamil terlebih pada kala nifas.
4) Anemia Kehamilan atau Kekurangan Zat Besi
Penyebab anemia pada saat hamil di usia muda disebabkan kurang
pengetahuan akan pentingnya gizi pada saat hamil di usia
muda.karena pada saat hamil mayoritas seorang ibu mengalami
anemia. tambahan zat besi dalam tubuh fungsinya untuk
meningkatkan jumlah sel darah merah, membentuk sel darah merah
janin dan plasenta.lama kelamaan seorang yang kehilangan sel
darah merah akan menjadi anemia.
5) Keracunan kehamilan (Gestosis)
Kombinasi keadaan alat reproduksi yang belum siap hamil dan
anemia, makin meningkatkan terjadinya keracunan hamil dalam
bentuk pre-eklampsia atau eklampsia. Pre-eklampsia dan eklampsia
memerlukan perhatian serius karena dapat menyebabkan kematian.
6) Kematian Ibu yang Tinggi
Kematian ibu pada saat melahirkan banyak disebabkan karena
perdarahan dan infeksi. Selain itu angka kematian ibu karena gugur

43
kandung juga cukup tinggi.yang kebanyakan dilakukan oleh tenaga
non profesional (dukun). Angka kematian karena gugur kandung
yang dilakukan dukun cukup tinggi, tetapi angka pasti tidak
diketahui. Kematian ibu terutama karena perdarahan dan infeksi.
c. Upaya Mencegah Terjadinya Kehamilan Usia Dini
Program pencegahan kehamilan remaja mencakup hal-hal berikut
(Papri, Zubaida, Sarwat dan Marsheda 2016) yaitu :
1) Remaja harus didorong untuk menunda aktivitas seks dini.
Pentingnya pemberian konseling dan informasi tentang pencegahan
kehamilan, jika mereka menjadi seksual yang aktif.
2) Tenaga kesehatan harus peka terhadap masalah yang berkaitan
dengan seksualitas remaja dan mempunyai riwayat perkembangan
seksual yang tepat pada semua pasien remaja.
3) Harus dipastikan bahwa semua remaja yang melakukan hubungan
seksual aktif memiliki pengetahuan tentang alat kontrasepsi.
Upaya pencegahan kehamilan pada remaja yaitu pentingnya
pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada remaja. Hal ini
terutama terkait dengan persebaran informasi mengenai kehamilan.
Remaja memiliki kecenderungan untuk memilih temannya sebagai
sumber informasi dalam hal apapun, termasuk didalamnya informasi
mengenai kehamilan. Sumber informasi dari teman biasanya digunakan
oleh remaja sebagai dasar dalam pengambilan keputusan terkait
kehamilan. Tingginya risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan
perceraian awal mendorong perlunya program pendidikan dan pelatihan
yang melibatkan teman sebaya untuk berbagi informasi (Mediastuti,
2014).
Banyak strategi telah dilakukan untuk merespon masalah remaja
antara lain melalui program di sekolah, masyarakat, keluarga dan
kelompok sebaya. Dari berbagai upaya tersebut, keluarga terutama pola
asuh orangtua, telah diidentifikasi sebagai pengaruh yang sangat
penting dalam membentuk perilaku seksual remaja. Proses pola asuh

44
orangtua meliputi kedekatan orangtua-remaja, dukungan orangtua,
komunikasi orangtua-remaja dan pengawasan orangtua termasuk
seksualitas Diantara proses pola asuh tersebut, komunikasi
orangtuaremaja tentang seksualitas telah diketahui merupakan pengaruh
yang paling penting dan signifikan terhadap sikap dan perilaku seksual
remaja (Gustina, 2017).
9. Menjadi Orang Tua Pada Masa Remaja
a. Pengertian
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2005: 802) pengertian
orang tua adalah ayah ibu kandung; orang yang dianggap tua (cerdik
pandai, ahli, dsb). Sejalan dengan pendapat tersebut, Soelaeman
(1994:179) menganggap bahwa“...istilah orang tua hendaknya tidak
pertama-tama diartikan sebagai orang yang tua, melainkan sebagai
orang yang dituakan, karenanya diberi tanggung jawab untuk
merawat dan mendidik anaknya menjadi manusia dewasa”.
Remaja atau adolescere yang berarti tumbuh kearah
kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah bukan hanya
kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan sosial dan psikologis
(Yani Widyastuti,2009).
Remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik, yaitu
masa alat-alat kelamin manusia mencapai kemantangannya.Secara
anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadan tubuh pada
umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna dan alat-alat
kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula.pada akhir
dari peran perkembangan fisik ini aknan terjadi seorang pria yang
berotot dan berkumis /berjanggut yang mampu menghasilkan
beberapa ratus juta sel mani (spermatozoa) setiap kali berejakulasi
(memancarkan air mani), atau seorang wanita yang berpayudara dan
berpinggul besar yang setiap bulannya mengeluarkan sebuah sel telur
dari indung telurnya (Sarlito W. Sarwono, 2010).
b. Faktor Faktor yang Menyebabkan Menjadi Orang Tua pada

45
Masa Remaja
Selama ini perkawinan di bawah umur terjadi  dari dua aspek:
1) Sebab dari Anak
a) Faktor Pendidikan
Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran
yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib
sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini
anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa
mampu untuk menghidupi diri sendiri. Hal yang sama juga jika
anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam
kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya
melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah
menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol
membuat kehamilan di luar nikah.
b) Faktor Telah Melakukan Hubungan Biologis
Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena
anak-anak  telah melakukan hubungan biologis layaknya suami
istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan
cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang
tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan
hal ini menjadi aib.
Tanpa mengenyampingkan perasaan dan kegalauan
orang tua, saya menganggap ini sebuah  solusi yang
kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak.
Ibarat anak kita sudah melakukan suatu kesalahan yang besar, 
bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru
membawa anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap
masalah.  Karena sangat besar di kemudian hari perkawinan
anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.
c) Hamil sebelum Menikah
Ini saya pisahkan dari faktor penyebab di atas, karena

46
jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil,
maka orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut.
Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua
anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi
karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang
tua menikahkan anak gadis tersebut.
Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada
dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur
hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan
dispensasi kawin. Ini semua tentu menjadi hal yang sangat
dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang
menyidangkan.
Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas
perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana
perkawinan sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama.
Karena sudah terbayang di hadapan mata, kelak rona
perkawinan anak gadis ini kelak. Perkawinan yang
dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di
kemudian hari bias goyah,apalagi jika perkawinan tersebut
didasarkan keterpaksaan.
2) Sebab dari Luar Anak
a) Faktor Pemahaman Agama
Saya menyebutkan ini sebagai pemahaman agama,
karena ini bukanlah sebagai doktrin. Ada sebagian dari
masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin
hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama.
Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya
dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.
Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan
bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis
merupakan satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang

47
tua harus mencegah hal tersebut  dengan segera menikahkan.
Saat mejelishakim menanyakan anak wanita yang belum
berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak
keberatan jika menunggu dampai usia 16 tahun yang tinggal
beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap bersikukuh
bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka. Bahwa perbuatan
anak yang saling sms dengan anak laki-laki adalah merupakan
“zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan azab
membiarkan anak tetap berzina.
b) Faktor Ekonomi
Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang
tua terlilit hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan. Dan
jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak
gadis, maka anak gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat
pembayaran”  kepada si piutang. Dan setelah anak tersebut
dikawini, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua
si anak.
Kasus ini baru-baru ini mencuat terjadi di Maros
(Sulawesi Selatan). Dimana seorang kakek erusia 60 tahun
menikah dengan anak berusia 12 tahun. Orang tua anak
tersebut sudah cuup senang, karena selain hutang-hutangnya
bisa terbayarkan juga karena anaknya tersebut telah diberikan
HP. Sebuah kisah yang sangat ironis.
c) Faktor Adat dan Budaya
Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih
terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana
anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan
akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami
masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan
mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak
tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah

48
batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU.
Dari kedua penyebab pernikahan dini, maka pernikahan
dini yang terjadi bukan karena n si anak, yang menjadi korban
adalah anak-anak perempuan.  Budaya ini harus kita kikis,
demi terwujudnya kesaaan hak antara anak laki-laki dan
anambangan Remaja dk perempuan. Dan wajib kita syukuri
juga, budaya ini terjadi di daerah, bukan di daerah yang sudah
maju.
Perkembangan Remaja dan Tugasnya sesuai dengan
tumbuh dan berkembangnya suatu individu, dari masa anak-
anak sampai dewasa, individu memiliki tugas masing-masing
pada setiap tahap perkembangannya. Yang dimaksud tugas
pada setiap tahap perkembangan adalah bahwa setiap tahapan
usia, individu tersebut mempunyai tujuan untuk mencapai suatu
kepandaian.
c. Dampak yang muncul menjadi orang tua pada masa remaja
1) Rusaknya Organ Reproduksi
Banyak pihak medis mengatakan bahwa organ reproduksi
terutama organ reproduksi anak gadis remaja belum siap untuk
melakukan hubungan intim dan juga belum siap untuk
mengandung. Jika hal itu terjadi, medis mengatakan kemungkinan
buruknya adalah bisa terjadi keguguran secara berulang-ulang
karena kondisi rahim yang belum siap. Tidak hanya itu saja,
keguguran yang berulang bisa menyebabkan rusaknya organ
reproduksi wanita sehingga kemungkinan untuk bisa menggandung
kembali sangat nihil.
2) Keguguran
Hal nyata yang bisa dialami oleh wanita yang hamil di usia
muda adalah akan mengalami keguguran. Penyebab keguguran
hamil muda adalah rahim wanita yang masih muda belum siap dan
belum matang untuk menerima kehamilan. Akibatnya adalah

49
keguguran akan dialami oleh wanita tersebut.
3) Cacat Fisik
Salah satu hal yang menjadi bahaya hamil di usia muda adalah
bayi yang dilahirkannya akan mengalami cacat fisik. Alasannya
adalah sel telur wanita muda di usia bawah 20 tahun belum
terbentuk dengan sempurna sehingga ketika sel telur dibuahi akan
menimbulkan kecacatan terutama cacat fisik bagi janinnya kelak.
4) Kanker Serviks
Salah satu bahaya akibat hamil muda adalah bisa terkena kanker
serviks. Hal itu dikarenakan berhubungan seksual saat masih muda
bisa menyebabkan leher rahim terkena virus. Virus tersebut bisa
berubah menjadi kanker serviks terutama virus yang tidak segera
diobati.
5) Mudah Terkena Infeksi
Organ reproduksi yang masih belum siap untuk melakukan
hubungan seksual bisa menyebabkan organ reproduksi tersebut
mudah terkena infeksi. Terlebih lagi ditunjang dengan faktor
rendahnya ekonomi, stress dan perawatan organ reproduksi yang
belum banyak dipahami bisa menyebabkan wanita mudah terkena
infeksi apalagi saat wanita tersebut terkena nifas. Banyak bakteri
bisa masuk ke dalam organ reproduksinya dan menimbulkan
infeksi.
6) Kurangnya Perawatan Kehamilan
Tingkat pendidikan yang rendah bisa menyebabkan gadis
muda yang sedang hamil kurang dalam merawat kehamilannya.
Tidak hanya itu saja, masyarakat terpencil juga belum tahu
bagaimana caranya merawat kehamilan dengan benar, hal itu
semakin memperparah kondisi ibu muda yang sedang hamil.
Kehamilan pun menjadi rawan terutama di saat awal-awal
kehamilannya.
7) Hipertensi

50
Wanita muda yang hamil akan memiliki terkena hipertensi
dalam kehamilan lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang
hamil di usia cukup. Kondisi itu dalam dunia medis dikenal dengan
pregnancy induced hypertension. Tekanan darah tinggi adalah
pemicu timbulnya pre eklamsia, sehingga remaja muda yang hamil
sangat rentan untuk bisa terkena pre eklamsia. Pre eklamsia bisa
disebut kombinasi dari penyakit darah tinggi,darah tinggi juga bisa
menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan. Misalnya saja ibu
muda mengalami gangguan jantung, kolesterol dan masih banyak
lagi penyakit lainnya.
8) Prematur
Remaja yang mengalami kehamilan di usia muda bisa
membuat remaja tersebut mengalami kelahiran prematur. Usia
kehamilan yang matang adalah antara 38 minggu sampai dengan
40 minggu, sedangkan remaja yang mengalami kehamilan sangat
rentan untuk melahirkan di usia sebelum 37 minggu. Penyebabnya
adalah kondisi rahim yang masih belum siap untuk mengandung
membuat bayi tersebut dilahirkan premature.
Bayi yang dilahirkan secara prematur akan memiliki
berbagai macam masalah kesehatan diantaranya adalah masalah di
sistem pencernaan, masalah di pernafasan karena paru-paru yang
belum berkembang, syaraf mata yang belum berkembang secara
sempurna sehingga penglihatan tergenggu juga masalah kesehatan
yang lainnya.
9) Bayi Memiliki Berat Badan Rendah
Bahaya kehamilan di usia muda adalah ibu bisa melahirkan
bayi dengan berat badan yang rendah. Alasannya adalah bayi tidak
bisa mendapatkan energi dan gizi yang cukup selama di dalam
rahim. Kelahiran prematur juga bisa menyebabkan bayi yang
dilahirkan memiliki berat badan yang rendah. Bayi yang dilahirkan
kurang dari usia 37 minggu bisa membuat berat badan bayi kurang

51
dari 2.500 gram.
10) Terkena PMS
Hamil dengan usia yang masih sangat muda bisa menyebabkan
ibu dan bayinya terkena PMS. Penyakit yang akan mengintai
remaja adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh bakteri
klamidia dan juga HIV. PMS ini bisa menular melalui mulut rahim
setelah virus itu sampai ke dalam rahim, bakteri atau virus tersebut
akan menganggu pertumbuhan dan juga kesehatan bayi yang ada di
dalam rahim.
11) Depresi
Remaja yang belum siap mental dan belum siap fisik untuk
hamil bisa mengalami depresi. Depresi itu bisa menyerang remaja
sehabis melahirkan bayinya. Depresi itu ditandai dengan perasaan
rendah diri, sedih dan juga tidak mau mengurus bayinya setelah
dilahirkan. Depresi tersebut bisa berubah menjadi sindrom baby
blues. Jika sudah terkena baby blues maka diperlukan perawatan
khusus dari pihak medis terutama untuk mengobati psikologis
remaja tersebut.
12) Tekanan Psikologis
Remaja yang mengalami hamil di usia muda bisa
menyebabkan dirinya terkena anemia atau kekurangan darah.
Kurangnya pengetahuan remaja dan keluarga akan kebutuhan zat
besi / gizi saat kehamilan bisa menyebabkan remaja tersebut
terkena anemia. Anemia sangat berbahaya bagi ibu hamil karena
bisa menyebabkan pendarahan saat kehamilan.
13) Anemia
Remaja yang mengalami hamil di usia muda bisa
menyebabkan dirinya terkena anemia atau kekurangan darah.
Kurangnya pengetahuan remaja dan keluarga akan kebutuhan zat
besi / gizi saat kehamilan bisa menyebabkan remaja tersebut
terkena anemia. Anemia sangat berbahaya bagi ibu hamil karena

52
bisa menyebabkan pendarahan saat kehamilan.
14) Keracunan Kehamilan
Gangguan kehamilan seperti keracunan mungkin saja bisa
terjadi. Gabungan antara organ reproduksi yang belum matang dan
juga resiko terkena anemia bisa menyebabkan remaja tersebut
terkena keracunan kehamilan.
d. Peran Perawat dalam Menghadapi Bahaya Pasien Yang Menjadi
Orang Tua Pada Masa Remaja
1) Conselor
Membantu klien untuk menyadari dan mengatasi tekanan
psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan
interpersonal yang baik antar keluarga.Sehingga pasien
mempunyai panadangan yang lebih baik dari sebelumnya dan
dapat menerima peran sebagai orang tua diusia remaja.
2) Client Advocate (Pembela Klien)
a) membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan
informasi dari berbagai pemberi pelayanan kesehatan.
b) Pembelaan termasuk didalamnya peningkatan apa yang terbaik
untuk klien, memastikan kebutuhan klien terpenuhi dan
melindungi hak-hak klien.
3) Care Giver
Memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien mengenai
hal-hal yang dibutuhkan pasien dan juga memberikan dorongan
semangat untuk menjalani peran sebagai orang tua diusia remaja.
4) Perawat
Perawat memberikan eduksi tentang dampak menjadi orang
tua diusia remaja,sehingga klien dapat mempunyai wawasan
tentang bahanya menjadi orang tua diusia remaja misalnya tentang
belum matangnya sistem reproduksi.

e. Penanganan yang Dilakukan untuk Mengadapi Dampak menjadi

53
Orang Tua pada Usia Remaja
1) Memberikan penyuluhan atau bimbingan kepada remaja mengenai
berbagai permasalahan sosial terutama tentang risiko pernikahan di
usia muda melalui pendidikan seks dini, konseling kesehatan
reproduksi juga memberikan kesadaran kepada para remaja untuk
menghindari seks pranikah yang bisa mengakibatkan kehamilan.
2) Upaya meningkatkan kualitas pendidikan pada dan pengembangan
potensi dan skill yang lebih baik.
3) Keluarga harus mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai yang
baik sejak dini kepada remaja, serta memberikan bimbingan,
perlindungan, dan pengawasan agar remaja tidak terjerumus dalam
pergaulan bebas yang dapat mengarah pada menjadi orang tua pada
masa remaja.
4) Pemerintah maupun kalangan masyarakat harus terus
mengembangkan pendidikan dan membuka lapangan kerja agar
perempuan dan laki-laki mempunyai alternatif kegiatan lain
sehingga menikah muda bukan satu-satunya pilihan hidup.
Misalnya mengembangkan program pemberdayaan orang muda
agar meneruskan sekolah, dan bagi yang terpaksa putus sekolah
diberikan pendidikan keterampikan agar tidak segera memasuki
jenjang pernikahan.
5) mengupayakan sosialisasi kepada keluarga untuk menyekolahkan
anak-anak mereka hingga tamat SMA /SMK.

B. Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan : Otonomi, Beneficience, Justice, Non


Maleficience, Moral Right, Nilai Dan Norma Masyarakat Nursing Advocacy
1. Pengertian
Etika keperawatan adalah ungkapan bagaimana perawat bertingkah
laku, serta merujuk pada tindakan prakteknya sehari-hari, Etika
mempunyai maksud untuk mengidentifikasi apakah tindakan-tindakan
tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Kode

54
etik perawat adalah suatu pernyataan atau keyakinan yang menunjukkan
kepedulian moral, nilai dan tujuan tindakan keperawatan mampu berfikir
kritis untuk memberikan pelayanan asuhan keperawatan sesuai prosedur
yang benar tanpa ada kelalaian. Dalam ilmu keperawatan terdapat suatu
standar yang akan menjadi pedoman bagi perawat dalam melakukan
tindakan atau praktik keperawatan professional. Kode etik keperawatan
dengan kode etik tersebut perawat dapat bertindak sesuai hukum atau
aspek legal perawat, kode etik juga dapat membantu perawat ketika
mengalami masalah yang tidak adil, karena kode etik adalah peryataan
standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku yang
menjadi kerangka kerja dalam membuat keputusan. Kode etik memberikan
pemahaman kepada perawat untuk melakukan tindakan sesuai etika dan
moral serta akan menghindari dari tindakan kelalaian yang akan
menyebabkan nyawa pasien terancam.
Etika keperawatan sebagai acuan dasar bagi perawat dalam
menjalankan profesinya, baik yang berkitan dengan pemakaian teknologi
keperawatan maupun pengetahuan keperawatan. Faktor teknologi yang
meningkat, ilmu pengetahuan yang berkembang memerlukan prinsip dan
etika keperawatan, yaitu pertimbangan yang menyangkut nilai, hak-hak
asasi, dan tanggung jawab profesi. Seorang perawat tentu saja harus
mampu memelihara dan menghargai, mengamalkan, dan mengembangkan
nilai tersebut melalui kode etik keperawatan. Yang menjadi titik tekan dari
adanya prinsip kode etik keperawatan adalah pelayanan berdasarkan
kepercayaan bahwa perawat akan berbuat hal yang benar, diperlukan, dan
menguntungkan pasien dan kesehatannya.
Jadi dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien,
perawat harus didasari prinsip-prinsip seorang perawat mengabdikan
dirinya untuk menjaga dan merawat pasien tanpa membeda-bedakan,
setiap tindakan yang dilakukan dengan tepat oleh perawat juga perperan
sangat penting dalam mengemban fungsi dan peran yang sangat penting
dalam memberikan asuhan keperawatan sebagai mana dimaksud agar

55
dalam setiap pelayanan kesehatan yang diberikan dapat memberikan
kepuasan kepada pasien.
Prinsip bahwa dasar kode etik adalah menghargai hak dan martabat
manusia, tidakakan pernah berubah. Prinsip ini juga diterapkan baik dalam
bidang pendidikan maupun pekerjaan. Juga dalam hak-haknya
memperoleh pelayanan kesehatan (Suhami,2010).
2. Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan
a. Menurut Nasrullah (2014), prinsip etik keperawatan adalah
menghargai hak dan martabat manusia, tidak akan berubah. Prinsip
dasar keperawatan antara lain :
1) Autonomy (otonomi) adalah suatu bentuk respek terhadap seseorang
dan sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara
rasional.Otonomi juga diartikan sebagai kemandirian dan kebebasan
individu untuk menuntut perbedaan diri.
2) Beneficience (berbuat baik) adalah suatu bentuk wujud
kemanusiawian dan juga memerlukan pencegahan dari kesalahan
atau kejadian yang disebabkan oeh diri sendiri dan orang lain.
3) Justice (keadilan) adalah suatu bentuk terapi adil terhadap orang
lain yang menjunjung tinggi prinsip moral, legal dan kemanusiaan,
prinsip keadilan juga diterapkan pada pancasila Negara Indonesia
pada sila ke 5 yakni keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. Dengan ini
menunjukkan bahwa prinsip keadilan merupakan suatu bentuk prinsip
yang dapat menyeimbangkan dunia.
4) Non maleficience (tidak merugikan) adalah sebuah prinsip yang
mempunyai arti bahwa setiap tindakan yang dilakukan pada
seseorang tidak menimbulkan secara fisik maupun mental.
5) Moral Right dalam keperawatan menjurus kepada acuan bagi
perilaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik yang
dilakukan seseorang dan merupakan kewajiban dan tanggung jawab
moral sesuai prosedur. Karena moral right hamper sama dengan
etika dalam keperawatan, hanya saja moral right menjurus pada

56
tindakan yang baik yang dilakukan seseorang, sedangkan etika
mengacu pada tindakan yang baik dan buruk merupakan kewajiban
dan tanggung jawab moral. Standar moral dipengaruhi oleh ajaran,
agama, tradisi, norma kelompok atau masyarakat. Berikut beberapa
cara yang bisa dilakukan oleh perawat dalam etika “ Moral Right ”:
a) Advokasi, adalah memberikan saran dalam upaya melindungi
dan mendukung hak-hak pasien. Hal tersebut merupakan suatu
kewajiban moral bagi perawat dalam mempraktekkan
keperawatan professional.
b) Responsibilitas (tanggung jawab), adalah eksekusi terhadap
tugas-tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari
perawat. Misalnya pada saat memberikan obat, perawat
bertanggung jawab untuk mengkaji kebutuhan klien dengan
memberikannya dengan aman dan benar.
c) Loyalitas, adalah suatu konsep yang melewati simpati, peduli,
dan hubungan timbal balik terhadap pihak yang secara
profesional berhubungan dengan perawat (Anonim, 2014)
6) Nilai dan Norma Masyarakat
Nilai-nilai adalah suatu keyakinan seseorang tentang
penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah
pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi
adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering
diartikan sebagai perilaku personal. Values (nilai-nilai) yang ideals
atau idaman, konsep yang sangat berharga bagi seseorang yang
dapat memberikan arti dalam hidupnya. values merupakan sesuatu
yang berharga bagi seseorang, dan bisa mempengaruhi
persepsi,motivasi,pilihan dan keputusannya. Salary dan McDonnel
(1989), values yang di sadari menjadi pengendali internal seseorang
adn bertingkah, membuat pilihan dan keputusan.
Norma Masyarakat adalah kebiasaan umum yang menjadi
patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan

57
wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan
kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut
dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang
pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan
norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu
kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah
terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara
manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana
yang diharapkan.
Nilai dan norma masyarakat dapat memberi keputusan
tentang tindakan yang diharapkan benar-tepat atau bermoral,
terlebih dalam profesi keperawatan. Dimana pelayanan kepada umat
manusia merupakan fungsi utama perawat dan dasar adanya profesi
keperawatan, oleh karena itu Nilai dan norma keperawatan dalam
penjalanan pelayanan keperawatan sangat diperlukan. Dan dapat
sebagai alat untuk mengukur perilaku moral dalam keperawatan.,
atau dengan kata lain merupakan suatu ungkapan tentang
bagaimana perawat wajib bertingkah laku.
7) Nursing advocacy
a) Definisi
Perawat sebagai advocacy yaitu sebagai penghubung antara
klien-tim kesehatan lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan
klien. Membala kepentingan klien dan membantu klien
memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang
diberikan tim kesehatan.
Advocacy adalah mendukung pasien, biacara melewati
individu pasien, dan menengahi bila perlu. Advocacy ini bagian
dari perawatan perawat dan bagian dari kedekatan dan
kepercayaan antara perawat dan pasien yang memberi
perawatan sebuah tempat yang sangat khusus dalam pelayanan
kesehatan. Konsep advocacy memiliki tiga pengertian:

58
a) Model perlindungan terhadap hak
Model ini menekankan kepada perawat untuk
melindungi hak klien agar tidak ada tindakan tenaga
kesehatan yang akan merugikan pasien selama di rawat. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara menginformasikan kepada
pasien tentang semua hak yang dimilikinya, memastikan
pasien memahami yang dimilikinya, melaporkan
pelanggaran terhadap hak pasien dan mencegah pelanggaran
hak pasien.
b) Model pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai yang
dianut pasien
Model ini menekankan pada perawat untuk
menyerahkan segala keputusan tentang perawatan yang akan
dijalankan oleh pasien pada pasien itu sendiri, sesuai dengan
nilai-nilai yang dianut pasien. Perawat tidak diperbolehkan
memaksakan nilai-nilai pribadinya untuk membuat
keputusan pada pasien, melainkan hanya membantu pasien
mengeksplorasi keuntungan dan kerugian dari semua
alternatif pilihan atau keputusan.
c) Model penghargaan terhadap orang lain
Model ini menekankan pada perawat untuk
menghargai pasaien sebagai manusia yang unik, perawat
harus menyadari bahwa sebagai manusia yang unik, pasien
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda satu sama lain.
Perawat harus mempunyai semua yang terbaik bagi pasien
sesuai dengan kebutuhannya saat itu.
b) Peran perawat sebagai advocad pasien
Sebagai pelindung perawat membantu mempertahankan
lingkungan yang aman bagi klien dan mengambil tindakan
untuk mencegah terjadinya kecelakaan serta melindungi klien
dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu

59
tindakan diagnostik atau pengobatan. Contoh: Memastikan
bahwa klien tidak memiliki alergi terhadap obat dan
memberikan imunisasi melewat penyakit di komunitas.
Sedangkan peran perawat sebagai advocat, perawat
melindungi hak klien sebagai manusia dan secara hukum, serta
membantu klien dalam menyatakan hak-haknya bila
dibutuhkan. Contoh: perawat memberi informasi tambahan bagi
klien yang sedang berusaha memutuskan tindakan yang terbaik
baginya. Selain itu perawat juga melindungi hak-hak klien
melalui cara-cara yang umum dengan menolak aturan atau
tindakan yang mungkin membahayakan kesehatan klien atau
menentang hak-hak klien.
c) Tanggung jawab perawat advocat
Sebagai pendukung pasien dalam proses pembuatan keputusan,
dengan cara memastikan informasi yang diberikan pada pasien
dipahami dan berguna bagi pasien dalam pengambilan
keputusan, memberikan berbagai alternatif pilihan disertai
penjelasan keuntungan dan kerugian dari setiap keputusan, dan
menerima semua keputusan pasien.
Sebagai moderator penghubung antara pasien dan orang-orang
disekeliling pasien, dengan cara:
(1) Mengatur pelayanan keperawatan yang dibutuhkan pasien
dengan tenaga kesehatan lain.
(2) Mengklasifikasi komunikasi antara pasien, kleuarga, dan
tenaga kesehatan lain, agar setiap individu memiliki
pemahaman yang sama.
(3) Menjelaskan kepada pasien peran tenaga kesehatan yang
merawatnya.
d) Nilai-nilai yang harus dimiliki oleh perawat advocat
Pasien adalah makhluk holistik dan otonom yang
mempunyai hak untuk menentukan pilihan dan mengambil

60
keputusan. Pasien berhak mempunyai hubungan perawat-pasien
yang didasarkan atas dasar saling menghargai, percaya,
bekerjasama, dalam menyelesaikan masalah kesehatan dan
kebutuhan perawatan kesehatan, dan saling bebas dalam
berpikir dan berperasaan. Perawat bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa pasien telah mengetahui cara memelihara
kesehatan.
Selain harus memiliki nilai-nilai dasar di atas, perawat
harus memiliki sikap yang baik agar perannya sebagai advocat
pasien lebih efektif. Bersikap efektif berarti mampu memandang
maslah pasien dari sudut pandang yang positif, aseftif meliputi
komunikasi yang jelas dan langsung berhadapan dengan pasien.
Mengakui bahwa hak-hak dan kepentingan pasien dan keluarga
lebih utama walaupun ada konflik dengan tenaga kesehatan
yang lain. Sadar bahwa konflik dapat terjadi sehingga
membutuhkan konsultasi atau negosiasi antara perawat dan
bagian administrasi atau antara perawat dan dokter, dapat
bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya.
e) Tujuan dan hasil yang diharapkan dari peran advocat pasien
Tujuan dari peran advocat berhubungan dengan keberdayaan
kemampuan pasien dan keluarga dalam mengambil keputusan
saat berperan sebagai advocat bagi pasien, perawat perlu
meninjau kembali tujuan peran tersebut untuk menentukan hasil
yang diharapkan bagi pasien. Menjamin bahwa pasien keluarga
dan tenaga ksehatan lain adalah partner dalam parawatan pasien.
Pasien bukanlah objek tetapi partner perawat dalam
meningkatkan derajat kesehatannya. Sebagai parner pasien
diharapkan bekerjasama dengan perawat dalam perawatannya.
(1) Memiliki saran untuk alternatif pilihan

61
(2) Perawat perlu untuk memberikan alternatif pilihan pada
pasien dan tetap memberi kesempatan pada pasien untuk
memilih suatu keinginan.
(3) Membantu pasien melakukan yang mereka ingin lakukan.
(4) Saat ada di rumah sakit, pasien memiliki banyak
keterbatasan dalam melakukan berbagai hal. Perawat
berperan sebagai advocat untuk membantu dan memenuhi
kebutuhan pasien selama dirawat di rumah sakit.
(5) Membantu pasien beradaptasi dengan sistem pelayanan
kesehatan.
(6) Saat pasien memasuki lingkungan rumah sakit, pasien akan
merasa asing dengan lingkungan sekitarnya. Perawat
bertanggung jawab untuk mengorientasikan pasien dengan
lingkungan rumah sakit sehingga pasien dapat beradaptasi
dengan baik.
(7) Memberikan perawatan yang berkualitas kepada pasien.
(8) Dalam memberi asuhan keperawatan harus sesuai dengan
ptotap sehingga pelayanan lebih maksimal hasilnya.
Mendukung pasien dalam perawatan sebagai advocat bagi
pasien perawat menjadi pedamping selama dalam perawatan
dan mengidentisifikasi setiap kebuthan-kebutuhan serta
mendukung setiap keputusan pasien.
(9) Meningkatkan rasa nyaman pada pasien dengan sakit
terminal.
(10) Perawat akan membantu pasien melewati rasa tidak
nyaman dengan mendampinginya dan bila perlu bertindak
atas nama pasien menganjurkan dokter untuk memberikan
obat penghilang nyeri.
(11) Menghargai pasien.

62
(12) Saat perawat berperan sebagai advocat bagi pasien, perawat
akan lebih mengerti dan menghargai pasien dan hak-haknya
sebagai pasien.
(13) Mencegah pelanggaran terhadap hak-hak pasien.
(14) Perawat berperan melindungi hak-hak pasien sehingga
pasien terhindar dari tindakan-tindakan yang merugikan dan
membahayakan pasien.
(15) Memberi kekuatan pada pasien.
(16) Perawat yang berperan sebagai advocat merupakan sumber
kekuatan bagi pasien yang mendukung dan membantunya
dalam mengekspresikan ketakutan, kecemasan dan harapan-
harapannya.
(17) Hasil yang diharapkan dari pasien saat melakukan peran
advocat:
(18) Mengerti hak-haknya sebagai pasien.
(19) Mendapatkan informasi tentang diagnosa, pengobatan,
prognosis, dan pilihan-pilihan lainnya.
(20) Bertanggung jawab atas keputusan yang di ambil.
(21) Memiliki otonomi, kekuatan, dan kemampuan memutuskan
diri.
(22) Perasaan cemas, frustasi, dan marah akan berkurang.
(23) Mendapatkan pengobatan yang optimal.
(24) Memiliki kesempatan yang sama dengan pasien lain.
(25) Mendapatkan perawatan yang berkesinambungan.
(26) Mendapatkan perawatan yang efektif dan efisien.

63
64
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang
menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja.
Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas
dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (Fauzi.,
2008).
Prevalensi infeksi saluran reproduksi diperkirakan juga cukup tinggi
karena rendahnya hygiene perorangan dan paparan penyakit menular seksual
(PMS) yang meningkat. Kejadian kematian ibu juga berkaitan erat dengan
masalah sosial-budaya, ekonomi, tradisi dan kepercayaan masyarakat.
Istilah seks dan seksualitas adalah suatu hal yang berbeda. Kata seks
sering digunakan dalam dua cara. Paling umum seks digunakan untuk
mengacu pada bagian fisik dari berhubungan, yaitu aktivitas seksual genital.
Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau
wanita (Zawid, 1994; Perry & Potter 2005).
Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada usia yang relatif
muda yaitu usia kurang dari 20 tahun. Kurangnya pengetahuan tentang waktu
yang aman untuk melakukan hubungan seksual mengakibatkan terjadi
kehamilan remaja, yang sebagian besar tidak dikehendaki.
Menurut Nasrullah (2014), prinsip etik keperawatan adalah
menghargai hak dan martabat manusia, tidak akan berubah. Prinsip dasar
keperawatan antara lain : Otonomi, Beneficience, Justice, Non Maleficience,
Moral Right, Nilai Dan Norma Masyarakat Nursing Advocacy. Sedangkan
Menurut Nasrullah (2014), prinsip etik keperawatan adalah menghargai hak
dan martabat manusia, tidak akan berubah. Prinsip dasar keperawatan antara
lain : otonomy, berbuat baik, keadilan, tidak merugikan, kejujuran, menepati
janji, kerahasian, akuntabilitas.

65
66
DAFTAR PUSTAKA

Aisyaroh, Noveri. Kesehatan Reproduksi Remaja. FIK Unissula. Di unduh


melalui jurnal : file:///C:/Users/Acer-GK/AppData/Local/Temp/10768-
Article%20Text-27763-1-10-20191024.pdf
Anonim. 2014. Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan. Di unduh melalui web :
https://jayasaputram.wordpress.com/2014/10/10/prinsip-prinsip-etika-
keperawatan/
Atika, Andini, dkk. 2017. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Remaja dan Lansia.
Surabaya. Airlangga University Press. Di unduh melalui web :
http://kesmas.ulm.ac.id/id/wp-content/uploads/2019/02/BUKU-AJAR-
KESEHATAN-REPRODUKSI-REMAJA-DAN-LANSIA.pdf
Ida Pri atni, Sri Rahay. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Kebidanan Kesehatan
Reproduksi Dan Keluarga Berencana. Di unduh melalui web :
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Kespro-dan-KB-Komprehensif.pdf
Irianto, K. 2014. Seksologi Kesehatan. Bandung : Alfabeta. Di unduh melalui web
:
http://repository.unmuha.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/165/7.%
20BAB%20II.pdf?sequence=10&isAllowed=y
Lubis, Namora L. 2013. Psikologi Kespro Wanita dan Perkembangan
Reproduksinya. Jakarta: Kencana. diunduh melalui web :
http://eprints.ums.ac.id/30953/11/DAFTAR_PUSTAKA.pdf

67

Anda mungkin juga menyukai