Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGAAN
MASYARAKAT MADANI

Disusun oleh:

Zanira Althafani Putri (11180820000046)

Kelas: Akuntansi

Semester : 2-B

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HUDAYATULLAH JAKARTA

2019
Kata Pengantar

Puji syukur saya ucapkan atas kehadiran Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayahnya saya dapat menyelesaikan tugas makalah Pendidikan Kewarganegaraan ini
yang berjudul “Masyarakat Madani”. 

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan saya
menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun demi perbaikan  kearah yang lebih baik. Atas
perhatiannya saya mengucapkan terima kasih.

Tangerang, 2 april 2019


Daftar Isi

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan penulisan

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Masyarakat Madani


2.2. Sejarah Masyarakat Madani
2.2.1. Sejarah Masyarakat Madani di Dunia
2.2.2. Sejarah Masyarakat Madani di Indonesia
2.3. Karakteristik Masyarakat Madani

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
BAB 1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Wacana masyarakat madani lahir di masyarakat Barat modern yang muncul


bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadi transformasi dari
masyarakat feodal menuju masyarakat Barat modern. Masyarakat madani pada
mulanya merupakan sebuah konsep filsafat yang berkenaan dengan sistem kenegaraan.

Untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis diperlukan terciptanya


masyarakat madani. Kehidupan masyarakat madani ditandai dengan adanya
keterbukaan di bidang politik juga memiliki tingkat kemampuan dan kemajuan
masyarakat yang tinggi untuk bersikap kritis dan partisipatif dalam menghadapi berbagai
persoalan sosial.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian masyarakat madani?
2. Bagaimana sejarah pemikiran masyarakat madani?
3. Apakah karateristik masyarakat madani?

1.3. Tujuan penulisan


1. mengetahui dan dapat memahami definisi masyarakat madani
2. mengetahui sejarah masyarakat madani
3. mengetahui karakteristik masyarakat madani
BAB 2

Pembahasan

2.1. Pengertian Masyarakat Madani (Civil Society)

Menurut definisi Rumusan PBB, pengertian masyarakat madani ialah masyarakat


yang memiliki pola pikir tentang pentingnya menghargai human dignity atau hak-hak
yang menjadi tanggungjawab semua manusia.

Menurut Thomas Paine, definisi dari masyarakat madani ialah suatu tempat atau
lembaga khusus bagi warga untuk dapat mengembangkan lagi kepribadiannya, serta
lembaga ini memberikan peluang yang fleksibel untuk pemuasan kepentingan warga
secara bebas dan tanpa adanya unsur paksaan.

W.J.S Poerwadarminto menjelaskan bahwa pengertian masyarakat madani ialah


suatu sekelompok pergaulan manusia yang hidup bersama dalam suatu ikatan serta
aturan tertentu. madani ialah sebuah istilah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu
Madinah. Madinah ini memiliki arti sebuah kota.

Menurut Poerwadarminto, secara etimologis, masyarakat madani dapat diartikan


pula sebagai masyarakat kota. Dalam istilah dan arti kota tersebut tersimpan makna
bahwa hal ini merujuk ke karakter dan sifat tertentu dari sebuah penduduk kota.

Nucholish Madjid berpendapat bahwa pengertian masyarakat madani ialah


sebuah masyarakat yang menjalani hidupnya dan berpola pikir sesuai dengan ajaran
Nabi Muhammad Saw di Negara Madinah.

Menurut Gellner, masyarakat madani ialah sebuah lembaga, asosiasi, ataupun


sekelompok orang yang memiliki peranan cukup kuat untuk mencegah suatu tirani
politik, baik dari negara maupun komunitas.
Muhammad A.S. Hikam menjelaskan bahwa masyarakat madani ialah sebuah
wilayah kehidupan sosial yang sudah terorganisasi tentang kesukarelaan, keswadayaan,
kemandirian, keswasembadaan, dan semua yang berkaitan dengan norma dan nilai-nilai
hukum yang diikuti oleh wilayah tersebut.

Dawan Raharjo berpendaat bahwa masyarakat madani ialah sebuah proses yang
menciptakan sebuah peradaban yang mengacu pada sebuah paham tentang nilai-nilai
kebijakan bersama.

Menurut mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim masyarakat


madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.

Menurut azyumardi azra, masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan pro-
demokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan ber-
tamadun (civility).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat madani


adalah masyarakat beradab dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, serta ingin untuk
terus maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan tekonologi. Konsep masyarakat
madani tersebut merujuk pada sistem sosial yang berasaskan pada prinsip moral yang
menjamin keberlangsungan hak asasi manusia dan kestabilan masyarakat.

2.2. Sejarah Civil Society


2.2.1. Sejarah Civil Society di dunia

Fase pertama, konsep ini bermula dari pemikiran Aristoteles yang memandang
masyarakat madani sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia
politike, yaitu sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam
percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Kemudian dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero, seorong filosof Romawi Kuno
(106-43 SM) mengistilahkan masyarakat sipil dengan societies civilizes, yakni
menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang
terorganisasi. Rumusan ini lebih ditekankan pada konsep civility dan urbanity, yakni
budaya kota. Kota dalam pengertian bukan hanya konsentrasi penduduk, namun
sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.

Rumusan ini selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679M) dan John
Locke (1632-1704M). mereka memandangnya sebagai kelanjutan dari evolusi
masyarakat yang alamiah (natural society). Menurut Hobbes, civil society berperan
untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga memiliki kekuasaan mutlak yang
mampu mengontrol dan mengawasi perilaku politik setiap warga negara. Sedangkan
menurut John Locke, civil society adalah untuk melindung kebebasn dan hak milik setiap
warga negara.

Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana


masyarakat madani dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Ferguson,
menekankan visi etis dari masyarakat madani dalam kehidupan sosial. Pemahaman ini
digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang disebabkan oleh revolusi
industri dan munculnya kapitalisme, serta perbedaan mencolok antara individu.

Fase ketiga, pada tahun 1792 Thomas Paine mulai menafsirkan wacana


masyarakat madani sebagai sesuatu yang bertentangan dengan lembaga-lembaga
negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis dari negara. Menurut pandangan ini,
Negara tidak lain hanyalah kebutuhan buruk belaka. Konsep negara yang sah, menurut
aliran pemikiran ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh
masyarakat dalam rangka menciptakan sesuatu kesejahteraan bersama. Semakin
sempurna masyarakat sipil, semakin besar kemungkinan untuk mengatur kehidupan
warga negaranya sendiri . Menurut Paine civil society adalah ruang diaman warga dapat
mengembangkan kepribadian dan memberikan peluang bagi pemuasan kepentingan
secara bebas tanpa paksaan. Ruang gerak warga sipil adalah suatu ruang gerak
masyarakat tanpa intervensi negara.

Fase keempat, wacana masyarakat madani dikembangkan lebih lanjut oleh


Hegel (1770-1837 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1937 M).
Hegel menjelaskan struktur sosial civil society ada tiga yaitu, keluarga, masyarakat sipil
dan negara. Keluarga adalah ruang sosialisasi pribadi yang bercirikan keharmonisan,
sedangkan masyarakat sipil merupakan tempat percaturan kepentingan pribadi dan
golongan terutama kepentingan ekonomi. Menurutnya, Negara merupakan representasi
dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik dan warganya dan
mempunyai hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society. Ia juga
berpendapat, bahwa masyarakat sipil memiliki kelemahan yaitu tidak mampu mengatasi
kelemahannya sendiri dan tidak mampu mempertahankan keberadaannya tanpa
dukungan keteraturan politik dan tunduk pada institusi yang lebih tinggi yang beratas
nama negara.

Karl Marx memandang civil society sebagai masyarakat borjuis. Keberadaan civil
society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan
kela pemilik modal. Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat perebutan posisi
hegemoni untuk konsensus dalam masyarakat. ia memandang adanya sifat kemandirian
dan politis pada masyarakat sipil, sekalipun keberadaannya juga amat di pengaruhi oleh
material (ekonomi) sebagaimana pandangan Karl Marx.
Fase kelima, wacana masyarakat madani sebagai reaksi terhadap sekolah
Hegelian dari Alexis de Tocqueville dikembangkan (1805-1859 M). Pemikiran Tocqueville
pada masyarakat madani sebagai kelompok kekuatan menyeimbangkan negara.
Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madani merupakan kekuatan
utama yang membuat demokrasi Amerika memiliki daya tahan kuat dan warga negara
dimana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.

2.2.2. Sejarah Civil Society di Indonesia

Di Indonesia, masyarakat madani sebagai terjemahan civil society pertama kali


diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim, Menteri Keuangan dan Perdana Menteri Malaysia
saat itu, pada pidato Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah di Festival Istiqlal,
26 September 1995 di Jakarta. Istilah “masyarakat madani” diterjemahkan dari bahasa
Arab mujtama yaitu “madani”, yang diperkenalkan oleh prof. Naquib Attas, seorang
sejarawan dan peradaban Islam asal Malaysia, pendiri ISTAC. Kata "madani" dapat
diartikan sebagai sipil atau beradab. Madani juga berarti peradaban, seperti kata-kata
Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep masyarakat madani untuk
orang-orang Arab mengacu pada hal-hal ideal dalam kehidupan. Konsep masyarakat
madani itu universal dan membutuhkan adaptasi yang harus diwujudkan di Negara
Indonesia mengingat konsep dasar masyarakat yang tidak memiliki latar belakang yang
sama dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia.

Konsep Civil Society sangat baru di kalangan masyarakat Indonesia sehingga dibutuhkan
proses dalam perkembangannya. Ini bukan hal yang mudah, karena itu memerlukan
langkah-langkah yang efektif, sistematis, dan berkesinambungan untuk mengubah
paradigma dan pemikiran masyarakat Indonesia.
2.3. Karakteristik Civil Society

Masyarakat madani tidak muncul dengan sendrinya. Ia membutuhkan unsur-unsur


sosial yang menjadi prasyarat terwujudnya tatanan masyarakat madani. Berikut
karakteristik masyarakat madani

2.3.1. Wilayah publik yang bebas

Free public sphere adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk
mengemukakan pendapat warga masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua warga
negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik
tanpa ras takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar civil society. Mengacu
pada Arendi dan Habermas, ruang publik dapat diartikan sebagai wilayah bebas dimana
semua warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang bersifat public. Sebagai
prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesungguhnya, ketiadaan wilayah publik
bebas ini pada suatu negara dapat menjadi suasana yang tidak bebas di mana Negara
mengontrol warga negara menyalurkan pandangan sosial politiknya.

2.3.2. Demokrasi

Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang
murni (genuine). Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara
umum demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan
oleh, dari, dan untuk warga negara.
2.3.3. Toleransi

Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.


Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu
pandangan Nurcholish Madjid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban malaksanakan
ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan
antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai
hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. Dalam perspektif ini, toleransi
bukan sekedar tuntutan sosial masyarakat majemuk belaka, tetapi sudah menjadi
bagian penting dari pelaksanaan ajaran moral agama.

Senada dengan Madjid, Azra menyatakan bahwa dalam kerangka menciptakan


kehidupan yang berkualitas dan berkeadaban (tamaddun/civility), masyarakat madani
(civil society) menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-individu
untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik di kalangan warga bangsa.

2.3.4. Pluralisme

Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil society.


Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima
kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk
menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Allah yang
bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.

Menurut Madjid, pluralisme adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan


keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan
menurutnya pula, pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat
manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and
balance).
Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya dengan sikap penuh pengertian
(toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam masyarakat yang
majemuk. Secara teologis, tegas Madjid, kemajemukan sosial merupakan dekrit Allah
untuk umat manusia.

2.3.5. Keadialan sosial

Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proposional


atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan;
ekonomi, politik, pengetahuan dan kesempatan. Dengan pengertian lain, keadilan sosial
adalah hilangnya monopoi yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tersebut.
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kemungkinan akan adanya kekuatan civic sebagai bagian dari komunitas bangsa
ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni
masyarakat madani. Dalam mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat
bergantung pada kondisi sosio kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep
masyarakat madani merupakan bangunan terma terakhir dari sejarah pergulatan bangsa
Eropa Barat. Menurut Aristoteles (384-322) masyarakat madani dipahami sebagai
sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah kolonia politik (sebuah komunitas
politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi politik
dan pengambilan keputusan). Karakteristik masyarakat madani diperlukan persyaratan-
persyaratan yang menjadi nilai universal dalam penegakkan masyarakat madani. Dan
masyarakat madani juga harus mempunyai pilar-pilar penegak, karena berfungsi sebagai
mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokratis menurut Dawam bagaikan
dua sisi mata uang yang keduanya bersifat ko-eksistensi. Berkembangnya masyarakat
madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan
kebebasan berpendapat, berserikat, dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat
dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non
pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial Kontrol.
3.2. Saran

Sebaiknya penerapan masyarakat madani di Indonesia dapat lebih dikembangkan


dalam aspek pendidikan, politik, sosial, dan budaya danmasyarakat madani perlu segera
diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam
negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri sehingga dapat
tecapainya cita-cita sesuai dengan harapan masyarakat madani.

Masyarakat Madani yang diidamkan bukan semata-mata milik suatu komunitas


tertentu, tetapi itu merupakan pemaknaan dari sebuah pemahaman tentang civil
society. Terbangunnya daya serta pola pikirdengan nilai-nilai interensiknya akan
merupakan jalan lapang menuju masyarakat madani yaitu masyarakat berperadaban
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang demokratis dan
masyarakat sejahtera yang cinta damai. Dengan demikian, di
Indonesia diharapkan dapat menegakkan hukum yang sehat dan demokrasi. Masyarakat
juga harus mengontrol kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar tidak bertentangan
dengan kehendak masyarakat madani. Baik menjadi anggota masyarakat madani
maupun perangkat negara hendaknya dapat mewujudkan demokrasi.
Daftar Pustaka

BUKU :

A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) DEMOKRASI,


Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Edisi Ketiga, ICCE UIN syarif Hidyatullah,
Jakarta, 2008

INTERNET :

http://andriprasetyo91.blogspot.com/2011/05/latar-belakang-masyarakat-madani.html

https://www.ahlipengertian.com/masyarakat-madani/

https://dosen-ppkn.blogspot.com/2018/01/sejarah-perkembangan-masyarakat-
madani.html

https://www.dosenpendidikan.com/pengertian-dan-sejarah-masyarakat-madani-
menurut-para-ahli/

https://www.ahlipengertian.com/masyarakat-madani/

Anda mungkin juga menyukai