Anda di halaman 1dari 30

CRITICAL JURNAL REVIEW

EKSPERIMENTASI POLITIK PILKADA LANGSUNG


DAN MASA DEPAN DEMOKRASI

D
I
S
U
S
U
N
OLEH

AGINTA LUKAS PERSADANTA BANGUN


180902017

ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TAHUN AJARAN 2018/2019
Kata Pengantar

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat NYA saya dapat menyelesaikan tugas
CJR ( Critical Jurnal Review ) yang telah diberikan kepada saya.

Dalam menyelesaikan tugas ini tentu nya ada banyak pihak yang
terlibat, terkhususnya Bapak Drs. Zakaria , M.SP selaku dosen
pengantar ilmu politik atas arahan nya dan bimbingan nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas ini, tak lupa juga saya ucapkan
banyak terima kasih kepada orang tua dan teman – teman saya yang
selalu memberi semangat kepada saya.

Akhirkata , semoga tugas ini dapat memberikan wawasan kepada


kita semua ,dan mohon maaf apabila ada kesalahan kata dalam
penulisan tugas ini karena saya masih dalam masa pembelajaran dan
masih jauh dari kata sempurna.

Medan , 04 oktober 2018

PENULIS
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................ i

Daftar isi........................................................................................................................... ii

Daftar Tabel......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG........................................................................................................ 1

B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................... 1

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN ...................................................................... .2

D. IDENTITAS JURNAL YANG DIREVIEW .............................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PEMBAHASAN JURNAL PERTAMA.............................................................................. 4

2.2 PEMBASAHAN JURNAL KEDUA................................................................................ 13

2.3 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURNAL PERTAMA DAN KEDUA ........................... 24

2.4 PERBANDINGAN JURNAL PERTAMA DAN KEDUA................................................... 26

BAB III

3.1 KESIMPULAN............................................................................................................ 27

3.2 KRITIK DAN SARAN ................................................................................................ .28

PENUTUP...........................................................................................................iv

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................v

LAMPIRAN....................................................................................................................vi
Daftar Tabel

Tabel 01..................................................................................................... 20
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seperti yang kita ketahui Pemerintah telah mengesahkan UU


Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah sebagai pengganti
UU Nomor 22 Tahun 1999. Untuk mengimplementasikan undang-
undang tersebut , pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 6
Tahun 2005 tentang pemilihan , pengesahan pengangkatan, dan
pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Salah satu isu
penting dalam undang –undang dan PP tersebut adalah berkaitan
dengan peraturan pemilihan kepala daerah langsung. Dengan
pemilihan kepala daerah langsung , nantinya kepala daerah seperti
gubernur ,bupati , walikota akan dipilih oleh rakyat.Pasal 56 ayat ( 1 )
UU Nomor 32 tahun2004 menyebutkan , “ kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih dalam suatu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis, langsung , umum , bebas , rahasia, jujur dan adil “.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa pemilihan kepala daerah langsung


ini adalah suatu yang baru,tentunya banyak masalah-masalah yang
muncul dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah
langsung ini, karena adanya masalah itu Maka dari itu saya akan
membahas mengenai apa- apa saja masalah yang ada dan antisipasi
apa yang perlu kita lakukan agar masalah tersebut tidak terjadi dan
jika masalah itu terjadi , solusi apa yang harus kita buat.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kelebihan dan kekurangan antara kedua jurnal ?

2. Bagaimana perbandingan antara kedua jurnal ?


C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN .

1. Membantu pembaca mengetahui gambaran dan penilaian


umum dari sebuah jurnal secara ringkas
2. Mengetaui kelebihan dan kekurangan jurnal yang diresensi
3. Mengetahui latar belakang dan alasan jurnal tersebut di
terbitkan
4. Menguji kualitas jurnal dengan membandingkan terhadap
karya dari penulis yang lain.
5. Memberi masukan kepada penulis jurnal berupa kritik dan
saran terhadap cara penulisan isi jurnal.
6. Menambah wawasan pembaca dan saya selaku reviewer
7. Untuk memenuhi tugas dari dosen pengantar ilmu politik
Bapak Drs. ZAKARIA M.SP
D. IDENTITAS JURNAL YANG DIREVIEW
IDENTITAS JURNAL PERTAMA :

JUDUL JURNAL : EKSPERIMENTASI POLITIK PILKADA

LANGSUNG DAN MASA DEPAN DEMOKRASI

JURNAL : SISTEM PILKADA LANGSUNG :

BEBERAPA PROBLEM , IMPLIKASI POLITIK DAN SOLUSINYA

VOLUME PENERBITAN : VOL. 1 NO. 1 TAHUN 2005

TAHUN TERBIT : 2005

EDISI :1

PENULIS : MUHAMMAD ASFAR

ISSN : 0216-9193

HALAMAN : 37 - 56

REVIEWER : AGINTA LUKAS PERSADANTA BANGUN

IDENTITAS JURNAL KEDUA :

JUDUL JURNAL : EKSPERIMENTASI POLITIK PILKADA

LANGSUNG DAN MASA DEPAN DEMOKRASI

JURNAL : ANTISIPASI MASALAH-MASALAH DALAM

PENYELENGGARAAN PILKADA LANGSUNG

VOLUME PENERBITAN : VOL. 1 NO 1 TAHUN 2005

TAHUN TERBIT : 2005

EDISI :1

PENULIS : ANAS URBANINGRUM

ISSN : 0216-9193

HALAMAN : 57 - 66

REVIEWER :AGINTA LUKAS PERSADANTA BANGUN


BAB II

RINGKASAN ISI JURNAL


JURNAL PERTAMA

Sistem pemilihan umum

Kepala daerah langsung :

Beberapa Problem , Implikasi Politik Dan Solusinya

OLEH : MUHAMMAD ASFAR

A. Pengantar

Pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004


tentang Pemerintah daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun
1999. Untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut ,
pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 6 Tahun 2005
tentang pemilihan , pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Salah satu isu penting dalam
undang –undang dan PP tersebut adalah berkaitan dengan peraturan
pemilihan kepala daerah langsung. Dengan pemilihan kepala daerah
langsung , nantinya kepala daerah seperti gubernur ,bupati , walikota
akan dipilih oleh rakyat.Pasal 56 ayat ( 1 ) UU Nomor 32 tahun2004
menyebutkan , “ kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
dalam suatu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis,
langsung , umum , bebas , rahasia, jujur dan adil “.
Sebagai sesuatu yang baru , ada banyak hal baru sekaligus
implilasinya sosial politiknya yang perlu didiskusiakn secara intensif
baik oleh para penyelenggara khususnya stakeholder pilkada,seperti
KPUD , pemerintah daerah , partai politik , dan kelompok kelompok
strategis maupun kalangan intelekual.misalnya,dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 menggunakan sistem pemilihan “ plurality majority
system “. Artinya ,jika tidak dicapai pemenang berdasarkan suara 25
% lebih , dilakukan putaran kedua.Dengan begitu , jika suatu daerah
hanya ada empat calon , tidak perlu harus ada dua
putaran.Problemnya , banyak KPUD beserta pemerintah
( Bakesbang ) yang menganggarkan dua kali putaran padahal di
daerah tersebut , pilkada bisa diselesaikan dalam satu putaran.
Persoalan lain , dibanding RUU yang diajukan pemerintah , UU
Nomor 32 tahun 2004 jauh mengalami kemunduran. Dalam RUU
yang diajukan pemerintah , calon kepala daearah dan wakil kepala
daerah bukan hanya berasal dari partai politik, tetapi juga diajukan
oleh perseorangan,organisasi kemasyarakatan atau keagaman ,dan
organisasi profesi.jadi ada kesempatan untuk calon independen
mencalonkan sebagai kepala daerah.Namun ,ayat ( 2 ) pasal 56
menegaskan “pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat
( 1 ) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”
.Artinya , UU No . 32 tahun 2004 menutup peluang bagi calon
independen untuk mencalomka diri menjadi kepala daerah.
Problem lain adalah beratnya syarat pengajuan calon . Dalam UU
nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa, hanya partai politik yang
memperoleh suara 15 % kursi DPRD atau 15% suara pileg dapat
mengajukan calon. Persoalan di beberapa daerah , karena besarnya
perolehan suara partai tertentu , tidak memungkinkan adanya calon
lebih dari satu partai. Padahal , semua perundang undangan pemilu
berisi dua calon kepala daerah.

B. Sistem Pilkada Yang Bukan-Bukan

Jika menyimak UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemilihan


daerah , yang didalam nya mengatur penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah secara langsung , sistem pilkada yang kita anut
menggunakan sisten pemilihan dua putaran. Artinya, jika pasangan
calon tidak berhasil mengumpulkan 50% + 1 suara atau lebih dari
25% suara, maka akan diadakan pilkada putaran kedua. Dalam
konsep politik , sistem pemilihan diatas dikempokkan dalam sistem
pemilihan mayoritarian.
Formula mayoritarian pada dasarnya terdiri dari dua bentuk.
Pertama , formula prulalitas.berdasarkan aturan formula pluralitas ,
para kandidat atau parpol akan dinyatakan menang apabila berhasil
mengumpulkan suara terbanyak dari pemilih yang menggunakan hak
pilihnya.Oleh karena itu, dalam formula ini, sangat memungkinkan
seorang kandidat atau partai politik dapat memenangkan pemilihan
tanpa harus mengeluarkan suara mayoritas.
Formula kedua adalah formula mayoritas absolut.pada formula ini
seorang kandidat dinyatakan menang apabila berhasil
mengumpulkan suara separuh lebih dari pemilih ditambah satu
( 50 % + 1 ). Persoalannya ialah bagaimana jika dalam pemilihan
tersebut tidak ada satu pun kandidat yang berhasil menggumpulkan
separuh lebih satu suara.hal ini bisa disebabkan oleh dua hal :
1. Banyak nya jumlah kandidat yang bertarung
2. Relatif meratanya kekuatan politik yang ikut bertarung.

Untuk mengatasi persoalan diatas , LIPJPHART mengajukan dua cara ,


pertama melalui apa yang ia sebut sebagai campuran pluralitas-
mayoritas ( mixed majority formula ). Kedua dengan formula
mayoritas pada pemilihan kedua ( majority runoff formula ).tiga
alasan sistem pluralitas majority dapat bekerja adalah :

1. Para pemilih yang tidak ingin suaranya hilang ( wasted ) maka


akancenderung menggunakan suaranya untuk memberikan
kepada kandidat yang telah mempunyai dukungan besar
2. Kandidat yang relatif lemah pada pemberian suara pertama
biasanya akan menaruk diri pada pemberian suara kedua , yang
umumnya akan diikuti kandidat kuat yang disukainya
3. Suara sistem threshold biasanya mampu mengeluarkan peserta
pilkada yang dukungan massanya lemah.

Sementara itu , formula majority runoof adalah pemilihan yang


diikuti oleh hanya dua kandidat yang memperoleh suara terbesar
pada pemilihan putaran pertama.formula ini dapatmenjamin
pemenang berdasarkan suara mayoritas.

C. BEBERAPA PROBLEM DAN SOLUSINYA

Jika memperhatikan sistem pemilihan kepala daerah dan berbagai


aturan yang mengikutinya, ada beberapa problem, dan problemini
merupakan titik rawan dalam mengimplementasikan, dari system
pemilihan kepala dearha yang kita anut.

Pertama , seperti yang disinggung pada pengantar sebelumnya,


akibat aturan dan mekanisme proses pencalonan kepla daerah yang
begitu berat persyaratannya, kemungkinan hanya akan ada satu
calon kepala daerah.persyaratan itu lah yang terlalu memberatkan.
Sebab, dengan ketentuan semacam ini , daerah –daerah dimana tidak
ada satu pun gabungan partai politik yang bisa mencalonkan diri
sebagai pasangan calon. Di beberpa daerah di bali, perolehan PDIP
sekitar 80% suara ,sehingga di daerah itu sulit mendapat kan dua
pasang calon.sebab dengan besarnya biaya pilkada yang harus
dikeluarkan oleh parpol dan calon,kalau peluang menangnya kecil ,
bukan tidak mungkin partai yang memenuhi syarat mengajukan calon
pun akhirnya tidak jadi mengajukan calon.belum lagi , kalau ada
partai kecil yang melakukan boikot,tentu saja membuat persoalan
nya menjadi lebih rumit.
Untuk itu solusinya yang bisa ditwarkan adalah membuat perpu
yang mengatur tentang hal ini.setidaknya ada dua hal yang perlu
diatur dalam perpu ini
1. Perpu harus membuat bahwa untuk daerah-daerah dimana hanya
ada satu pasangan calon,maka partai politik peserta pemilu 2004
mempunyai hak untuk mengajukan calonnya
2. Perpu harus membuat mekanisme munculnya calon-calon
independen di daerah ini
Kedua ,sistem pemilu dua putaran yang dianut ternyata
dijadikan sarana bagi beberapa daerah ( baik melalui KPUD maupun
BAKESBANG ) untuk mengajukan anggaran pilkada secara besar
besaran.Untuk itu, perlu ada aturan yang membatasi, pertama,
daerah –daerah yang hanya ada empat pasangan calon untuk
mengajukan anggaran pilkada satu putaran dan kedua kalau ada
suara sama mekanismenya terakhirnya adalah dengan mengundi

Ketiga, adanya PP yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatur


penyelenggaraan pilkada mendorong KPUD untuk bersikap tidak
independen . dalam kelaziman demokrasi, pemilu ( termasuk di
dalamnya pilkada ) mestinya dialakukan oleh lembaga independent.
Ada satu lembaga yang mestinya diharamkan terlibat dalam proses
pemilihan, yaitu lembaga-lembaga yang pejabat nya di hasilkan oleh
proses pemilihan umum tersebut.dengan dibentuk nya desk pilkada
di departeman dalam negeri, bahkan mendagri telah
menginstruksikan agar setiap provinsi dan kabupaten/kota juga
membentuk desk pilkada yang sama. Desk pilkada ini memiliki tugas
untuk melakukan monitioring dan pemantauan pelaksanaan pilkada.

Keempat , berkaitan dengan keputusan MA yang bersikap final .


hal ini menimbulkan persoalan baik dari sisi hukum maupun
pengalaman masa lalu, dari sisi hukum , ada ketidakpercayaan yang
cukup besar dari kalangan masyarakat atas kinerja dari hakim hakim
di tingkat pengadilan tinggi. Dan berdasarkan pengalaman pada
pemilu tahun 2004 , tidak sedikit KPUD yang berlaku curang dengan
memanipulasi suara, ironisnya, manipulasi ini baru diketahui
belakangan, setekah keputusan MK keluar dan bersifat final.
Kelima, berkaitan dengan pengaturan jumlah pemilih per TPS,
dalam UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 90 ( 1 ) desebutkan, bahwa
jumlah pemilih di suatu TPS sebanyak –banyak nya 300
orang.ketentuan yang sama juga juga diatur dalam PP Nomor 6 tahun
2005 pasal 78 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ). Pesrsoalan nya dalam PP tahun
2005 ini dimana disebutkan bahwa “ dalam hal tertentu sesuai
dengan kondisi dan kemampuan keuangan daerah, jumlah pemilih di
setuap TPS KPUD dapat menetapkan lebih dari ketentuanatas
persetujuan DPRD “

D. BEBERAPA IMPLIKASI SOSIAL POLTIK DAN SOLUSINYA

Berikut beberapa implikasi sistem pilkada yang berhubungan


langsung dengan proses penyelenggaraan .

Pertama , besarnya daerah pemilihan , yaitu seluruh wilayah


kabupaten menyebabkan proses kampanye sulit di kendalikan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan rekayasa politik dalam pengelolaaan
kampanye.Misalnya, pengerahan massa kampanye pemilihan kepala
daerah dibatasi seluas wilayah kecamatan.

Kedua, cara pemilihan kepala daerah dengan memilih orang


menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan
pilihan kepala daerah.konsekuensi dari cara memilih seperti ini
adalah memungkinkan meningkatnya tensi hubungan antar
pendukung pasangan calon.Untuk itu salah saru solusinya yang harus
dilakukan oleh para penyelengara pilkada adalah membuat aturan
kampanye seketat mungkin.

Ketiga, sebagai komsekuensi memilih orang,bentuk-bentuk BLACK


PROPAGANDA akan banyak mewarnai kampanye kepala daerah
kertimbang kampanye yang berupaya membangun image positif
masing –masing pasangan calon.Untuk itu , para penyelenggara
pilkada perlu membatasi munculnya BLACK PROPAGANDA , baik
melalui rapat tertutup, kampanye terbuka , leaflet, internet , sms dan
sebagainya.

Keempat, ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon


pendukungnya akibat sistem pemilihan dua tahap yang
memungkinkan calon terbesar kedua keluar sebagai
pemenangnya.untuk itu perlu dilakukan sosialisasi secara intensif dan
masif kepada para pemilih atas implikasi-implikasi sistem pemilihan
semacam ini kepada para pemilih. Dengan begitu, jika pasangan yang
didukung pemilih kalah pada putaran kedua, meskipun pada putaran
pertama memperoleh suara terbanyak, bisa menerima kekalahan
tersebut dengan lapang dada.

Kelima, sebagai konsejuensi memilih orang, akan ada SPLIT VOTING


pada pemilihan presiden. Maksudnya akan banyak pendukung partai
yang memberikan dukungan secara menyilang. Dengan begitu,
betapapu partai golkar mengajukan calon A , para partai golkar bisa
saja terbelah dukungannya ke pasangan lain seperti B dan C. Oleh
karena itu, perlu antisipasi dari semua pihak terkhususnya para
penyelenggara pilkada agar konflik- konflik seperti ini dapat
dieliminasi, denganadanya rekayasa sistem pilkada : membuat aturan
dan penegakan aturan itu secara tegas.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Nizam U. (1995 ). “ Party Politics in Bangladesh’s Local


Goveemennt”. Asian Survey XXXV ( II )

Blaiss, Andre and Maisscote , Louis. (1996 ) . “ Electrocal System “,


dalam LeDuc Lawrence et.al. (eds.) Comparing Democracies,
Election ,and Voting in global Perspective. New york :Sage
Publications.

Bratton,Michael. (1998 ). “ second elections in africa”. Journal of


democracy 9 ( 3 ).

Lawson,Chappel ( 1997 ). “ Mexico’s new politics: the elections of


1997 “. Journal of democracy 8 ( 4)

Lijhart,Arend. ( 1995a ). “ Electoral system “ dalam seymour martin


lipset ( ed . ) the encylopedia of democracy II. Washington D>C.:
congressional quarterly Inc

. (1995 ). “ proportional reprentional “, dalam seymour


martin lipset ( ed . ) the encylopedia of democracy II. Washington
D>C.: congressional quarterly Inc.

Moon , david. ( 1992 ) . “ the determinants of turnout in presidential


elections : an intergrative model accounting for information “.
Southeastern political behavior 14 (2 ).

Richardson Jr.,Lilliard E. And Grant W, Neeley. ( 1995 ). “ turnot


differences among registered voters”. Southeastern political review
32 ( 4 )

Reilly, Ben . ( 1997 ). “ The alternative vote and athnic accomodation:


new evidence from papua new guninea “, dalam electoral studies ,
nomor 16.
Reynolds, Andrew and Ben Reilly. (1997. Electoral system
design.stockholm, international idea

Strom,Kaare. ( 1995 ). “ party system “,dalam seymour martin lipset


( ed . ) the encylopedia of democracy II. Washington D>C.:
congressional quarterly Inc.

Wiseman, John A. ( 1998 ). “ The Gambia : From Coup to Elections “,


dalam journal of Democracy 2 ( 9 )
JURNAL KEDUA

ANTISIPASI MASALAH-MASALAH DALAM


PENYELENGGARAAN PILKADA LANGSUNG

OLEH : ANAS URBANINGRUM

Penyelenggaraan Pilkada langsung ( pilkadal ) mulai tahun 2005


adalah kelanjutan dari proyek demokratisasi , khususnya di tingkat
lokal.Semangatnya adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak
langsung ( perwakilan ), dimana kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demkrasi yang berakar langsumg
pada pilihan rakyat ( memilih ). Oleh karena itu,keputusan politik
untuk menyelenggarakan Pilkada langsung adalah langkah strategis
dalam rangka memperluas,memperdalam dan meningkatkan kualitas
demokrasi di tingkat lokal.

Dalam kaitan dengan penyelenggaraan PILKADAL tersebut,


sekurang-kurangnya ada dua hal besar yang harus dilihat sebagai
konteks.PERTAMA , bahwa lahirnya UU Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, khususnya yang menyangkut pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah telah melahirkan kontroversi yang
cukup serius . Banyak yang menilai bahwa berbagai ketentuan
tentang penyelenggaraan PILKADAL tersebut kurang didukung oleh
kerangka berpikir yang tepat.Buntutnya adalah pengajuan JUDICIAL
RIVIEW oleh beberapa LSM peduli pemilu dan beberapa KPU
provinsi .Tentu berbagai kontroversi ini akan mempengaruhi
kesiapan KPU daearah dakam persiapan penyelenggaraannya.
KEDUA , Bahwa pada tahun2005 saja , jumlah daerah yang harus
menyelenggrarakan pilkadal mencapai hampir seluruh wilayah
Indonesia.Berdasarkan latar kedua hal tersebut , sebaiknya kita
lantas melihat lebh jauh dan cermat, hal-hal apa saja yang menjadi
RANJAU di dalam penyelenggaraan pilkadal.Pemetaan ini bukan
untuk mengundang pesimisme , melainkan melahirkan sifat antisifatif
, sehingga resiko-resiko buruk yang mungkin muncul akan mampu
ditekan sedemikian rupa.Pemetaan ini juga mengundang kita ujtuk
tidak bersikap optimisme secara membabi buta ( apriori ), bahwa
penyelenggaraa pilkadal pasti akan berjlan sukses , semata mata
karena referensi keberhasilan penyelenggaraaan pemilu presiden dan
wakil presiden.

Hal yang PERTAMA adalah kontruksi kewenangan penyelenggaraan.

UU Nomor 32 tahun 2004 membagi kewenangan penyelenggaraan


pilkadal kepada rita institusi, yakni pemerintah , KPUD dan DPRD ,
dengam porsi masing masing diatur oleh UU.Kontruksi kewenangan
penyelenggaraan yang tersebar dalam bentuk segitiga kewenangan
ini membutuhkan rincian yang jelas dan tegas tentang kewenangan
itu sendiri ada batas-batas nya. Batasan-batasan ini menjadi sengat
penting untuk menghindarkan dari terjadinya lintas batas
kewenangan.

Hal yang KEDUA adalah pemisah ranjangan antara KPUD dan KPU.

Pola relasi antara KPUD dengan KPU yang abu abu ini bisa
memunculkan soal di dalam penyelenggaraan pilkadal.bukan karena
KPUD tidak mampu.karena hubungan yang kurang jelas bisa menjadi
celah bagi pihak-pihan yang kurang beruntung untuk
mempersoalkan proses penyelenggaraannya, dan tentu juga
hasilnya.jika demikian terjadi, berbagai ketidakpastian akan mungkin
terjadi. Tentu kita bisa membayangkan apa konsekuensi bagi proses,
hasil dan kondisi pasca pilkadal.
Hal yang KETIGA adalah lokasi KPUD berkonsultasi terhadap hal-hal
yang harus diambil keputusan secara tepat.

Benar bahwa berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2005 , KPU dapat


memberikan bimbingan teknis dan supervisi kepada
KPUD.Bagaimana halnya dengan masalah masalah
mendesak,spontan dan juga mungkin bersifat lokal, yang
membutuhkan keputusan tepat dan cepat,dimana KPUD tidak
mampu mengambil leputusan oleh sebab-sebab tertentu ?

Berdasarkan kontruksi UU, tentu KPUD harus bertanya kepada


pemerintah , bukankah pemerintah yang menerbitkan PP ? lalu
bagaimana dengan kecepatan jawaban ( pendapat umum , fatwa,
arah keputusan ) pemerintah ? jika berhasil dijawab dengan cepat
dan tepat , lalu bagaimana dengan pernyataan mengenai
kemandirian KPUD sebagai penyelenggara teknis ? oleh sebab itu
sebaiknya pemerintah yang ditugasi UU untuk menerbitkan PP juga
bersiap-siap menghadapi kemungkinan munculnya masalah-masalah
seperti itu.Artinya pemerintah sebaik nya tidak beranggapan bahwa
tugas nya sudah selesai ketika PP sudah terbit, karena tidak seluruh
kebutuhan KPUD tentang dasar dasar atruran tentang persiapan dan
pelaksanaan pilkadal tersedia tuntas di dalam PP.

Hal yang KEEMPAT adalah pola relasi KPUD dengan DPRD.Untuk


undang-undang menjelaskan Bahwa pertanggung jawaban kepada
DPRD.

PP Nomor 6 Tahun 2005 menjelaskan bahwa pertanggung jawaban


adalah dalam hal anggaran yang berasal dari APBD , setelah dilakukan
audit oleh BPK atau lembaga fungsional lainnya. Selebihnya adalah
laporan pelaksanaan kegiatan pilkadal kepada DPRD. Oleh karena itu
hal ini memerlika pengawasan soalnya panitia pengawal pilkadal
juga dibentuk dan bertanggung jawab kepada DPRD . Hraus diakui
pula bawa kapsitas KPUD untuk kedap pengaruh dari DPRD terhadap
penyelenggaraan pilkadal juga berbeda beda. Hal demikian jyga
harus mendapatkan perhatian.
Hal yang KELIMA adalah pendanaan pilkadal.

Sejauh ini pemerintah belum menetapkan format yang baku tentang


pos-pos apa saja dan yang harus di tanggung APBN dan apa yang
harus diambil dari APBD.Belum jelasnya mengenai poin ini saja sudah
jelas agak menyulitkan KPUD erta PEMDA dan DPRD di dalam
menyusun anggran penyelenggraan pilkadal secara langsung.

Hal yang KEENAM adalah proses pencalonan.

Kalau dibaca syarat –syarat tentang calin kepala daerah dan


wakilnya , akan tamopak bahwa pada dasarnya hampir sama denga
syarat capres dengan wapres, kecuali beberapa hal , misalnya : umur,
konspe kesehatan, posisi pejabt, dan konsep mengenal daerah dan
dikenal oleh masyarkat di daerahnya.Harap diketahui juga bahwa
kempuan rohani dan jasmani adalah konsep yang digunakan UU
tentang pemiluhan umum presiden dan wakil presidan.sedangka
konsep di dalam UU tentang pemerintahan daerah adalah sehat
jasmani dan rohani, sama dengan konsep yang dipakai dalam
pemilihan pemilu legislatif.di dalam konsep ini juga bisa menjadi soal
bagi KPUD dengan pasangan calon yang diajukan.

Belum lagi dengan kemungkinan munculnya calon tunggal , karena


peta politik tertentu.ketentuan di dalam UU yang menegaskan
bahawa pasangam calon yang mengikuti pilkadal sekurang-kurangnya
2 pasangan calon.PP Nomor 6 tahun 2005 juga tidak mmberikan jalan
keluar. UU dan PP hanya mengatur tentang penundaan selama 30
hari jika ada pasangan calon yang berhalangan tetap dan
mengakibatka jumlah nya kurang dari dua pasangan calon. Untuk
menjawab semua persoalan itu, kitabisa menggunakan logika . tetapi
logika saja buka jawban yang teoat untuk mengatasi kemungkinan
munculnya maslaah tersebut . selau dibutuhkan aturan yang jelas
dan berdasar untuk menjadi jalan keluar dan aturan dikeluarkan oleh
intitusi Yang berwenang. Lalu siapa dan kapan ?
Hal yang KETUJUH adalah jumlah pemilih untuk setiap tps.

UU NOMOR 32 tahun2004 mengtur bahawa jumlah pemilih pada


setiap TPS sebanyak banyak nya 300 orang.tetapi PP nomor 6 tahun
2005 menetapkan aturan yang berbeda dengan yang ditetapkan oleh
UU, yakni bahwa karena kondisi khusus yang berkaitan dengan
kondisi keuanga, KPUD bisa menetapkan jumlah pemilih setiap tps
lebih dari 300 orang , dengan persetujuan DPRD.demikian hal nya
dengan pemberian wewenang kepada DPRD untuk memberikan
persetujuan kepada KPUD tentang penambahan jumlah pemilih
untuk setiap TPS,juga tidak mempunyai dasar yang kokoh.

Ketentuan baru di dalam PP tentang jumlah pemilih di tps tersebut


sangat potensial menjadi lahan sengketa dan konflik di dalam
pilkadak.tentu hal demikian harys diabtisipasi oleh para
penyelenggara pilkadal, dan terutama kepada pemerintah selaku
penerbit PP.

Hal yang KEDELAPAN adalah standarisasi kebutuhan barang dan


jasa.

Kalau kita baca PP lebih jauh , misalnya tentang kartu pemilih, jelas
bahwa format dan spesifikasi tenisnya telah ditetapkan dan tidak
terpisahkan dari lam;pitan PP tersebut.Masalahnya adalah apkah PP
tepat langsung mentetapkan format dan spesifikasi teknis kartu
pemilih ?jika patokan nya adalah UU nomor 32 tahun 2004, jelas
yang bekewajiban untuk mentepkan hal tersebut adalah KPUD.dari
sudut aturan tentang kewenangan menetapkan standarisasi , apa
yang telah ditetapkan oleh PP tersebut jelas melampaui kewenangan
apa yang diberikan oleh UU.

Hal ini bisa menjadi salah satu lobang bagi munculnya masalah.pihak-
pihak yang tidsak sepakat dengan hal ini bisa melakukan pengujian ke
mahkamah agung , jika hal ini terjadi secara faktual akan memecah
konsentrasi KPUD di dalam penyeknggaraan pilkadal.
Hal yang KESEMBILAN adalah waktu perhitungan suara.

UU nomor 32 tahun 2004 tidak mengtur dengan jelas kapan


selambat-lambatnya KPUD harus mentepkan hasil pilkadal.dengan
pola yang agak lentur, daerah –daerah yang memungkinkan
dilakukan perhitungan dengan cepat,bisa memnfaatkan jalur ceoat,
2-3 hari. Tetapi daerah-daerah yang kondisinya sulit, bisa
memanfaatkan jalur yang agak lambat 4-5 hari. Dengan demikian ,
semua kondisi terakomodasi. Kemungkinan PPs, PPK dan KPU
kabupaten/kota untuk melanggar jadwal waktu sangat kecil.

Hal yang KESEPULUH adalah tentang konsep pemenang.

Pilkadal menggunakan konsep mayoritas sederhana bersyarat


minimal 25%. Pasangan calon terpilih cukup dengan mendapatkan
suara terbanyak , dan perolehan suara terbanyak itu tidak kurang dari
25 %.konsep mayoritas sederhana bersyarat 25% ini memang busa
menghemat biaya pilkadal.Juga lebih memudahkan kerja KPUD di
dalam penyelenggaraannya.namun demikian , pada kondisi tertentu,
dimana pasangan calon jumlah nya banyak, akan sangat mungkin
ditemukan adalah pasangan calon terpilih yang legitimasi faktualnya
terbatas.Daam hal terjadi kasus seperti ini kemenangan formal
pasangan calon terpilih, sangat menghajatkan insfratruktur budaya:
kematangan dan kedewasaan politik di daerah tersebut, baik pada
tingkat elite maupun massa oendukung dari para pasangan calon
yang kalahtanpa ditopang oleh kematangan dan kedewasaan politik
untuk menerima dengan wajatr siapaun yang menjadi pemengang
dan berapapun angka kemenangannya,tujuan dasar dari pilkadal agar
terciptanya pemerintahan daerah yang kuat, stabil dan produktif,
tidak akan tercapai.

Berbagai masalah dan kemungkinan masalah yang akan mucul


perlu diantisipasi dengan cepat dan cermat.Dengan ketepatan dan
kecermatan itu , kalau perlu dengan koreksi, digarapkan
penyelenggraan pilkadal akan mencapai tujuan sebagaimana
diharapkan , yakni meningkatkan kualitas demokrasi yang semakin
kokoh dan produktif di tingkat lokal .

Hemat saya, tidak ada yang tidak berharap dan berkomitmen


terhadap kesuksesan penyelenggaraaan pilkadal. Hanya saja,
kadangkala cara berpikirnya kurang tertib dan cara nya kurang patut
dalam ukuran demokrasi.sebaiknya kita belajar dari berbagai
keberhasilan dan kekurangan penyelenggaraan pemilu legislatif dan
pemilu presiden dan wakil presiden, sembari tetep berkomitmen
pada kontitusi, baik yang sudah jelas tersurat maupun yang masih
membutuhkan penafsiran lebih lanjut. Dalam konteks itu pula,
penyelenggaraan pilkadal yang akan dimulai tahun 2005 ini dan
selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 dan PP Nomor 6
tahun 2005 akan menjadi bukti sejarah tentang apakah cara berpikir
bangsa kita tertib dan konsisten, serta apakah cara-cara
penyekenggaraan sejalan dengan ukuran kompetisi politik
demokrasi ? wallahu a’lam.
KELEBIHAN JURNAL PERTAMA.

1. Banyak mencantumkan UU dan PP


2. Penjelasan disertai contoh-contoh dan ilustrasi sehingga
penjelasanya mudah dipahami
3. Banyak kata-kata baru yang di dapat pembaca, sehingga
menambah wawasan pembaca itu
4. Dilengkapi dengan kata pengantar ,sehingga membuat
pembaca mengerti maksud dari jurnal tersebut
5. Dilengkapi dengan daftar isi

KEKURANGAN JURNAL PERTAMA.

1. Banyak mencantumkan UU dan PP tapi sedikit memberikan


penjelasan mengenai UU dan PP tersebut
2. Kata-kata terlalu baku sehingga membuat pembaca sedikit
jenuh
3. Penjelasannya terlalu berbelit-belit
4. Banyak penjelasan terus diulang di penelasan selanjutnya
5. Tidak dilengkapi oleh tabel dan gambar

KELEBIHAN JURNAL PERTAMA.

1. Bahasa dan kata-kata yang dipakai penulis mudah


dimengerti
2. Banyak mencantumkan UU dan PP beserta penjelasannya
3. Kata-kata nya tidak terlalu baku, dan menggunakan kata-
kata milenial yang membuat anak muda antusias
membacanya
4. Penjelasanya tidak berbelit-belit
KEKURANGAN JURNAL KEDUA.

1. Kurang banyak mencantumkan contoh-contoh dan ilustrasi


sehingga membuat pembaca sedikit susah memahami
penjelasan

2. Tidak dilengkapi dengan kata pengantar

3. Terdapat beberapa penjelasan yang sulit dimengerti

4. Tidak dilengkapi dengan tabel dan gambar

5. Tidak ada daftar isi

PERBANDINGAN ANTARA JURNAL PERTAMA DENGAN


KEDUA
Tabel 01. Perbandingan antara jurnal pertama dan kedua
JURNAL PERTAMA JURNAL KEDUA

Sistem Pemilihan kepala daerah Antisipasi Masalah-Masalah


Langsung: Dalam Penyelenggaraan Pilkada
Beberapa Problem, Implikasi Langsung
politik Dan solusinya
( MUHAMMAD ASFAR ) ( ANAS URBANINGRUM )
 Dilengkapi pengantar  Tidak dilengkapi dengan
pengantar

 Jurnal yang di tulis oleh  Jurnal yang ditulis oleh


muhammd asfar anas urbaningrum
membahas mengenai membahas mengenai
beberapa antisipasi masalah-
problem,implikasi politik masalah dalam
dan solusinya dalam pentelenggaraan pilkada
penyelenggaraan pilkada langsung
langsung

 Penjelasannya banyak  Penjelasannya sedikit


disertai contoh-contoh menyertakan contoh-
dan ilustrasi contoh dan ilustrasi

 Bahasa dan kata-kata  Bahasa dan kata-kata


penulis sedikit sulit penulis mudah dipahami
dipahami

 Dilengkapi daftar isi  Tidak ada daftar isi

BAB 3
Kesimpulan
Dalam penyelenggaran pemilihan kepala daerah langsung atau
yang disebut Bapak anas urbaningrum PILKADAL,tentunya banyak
masalah-masalah yang mucul dalam penyelenggaraan pemilihan
umum kepala daerah langsung ini.Karena seperti yang kita tahu
bahwa Penyelenggaraan Pilkada langsung ( pilkadal ) mulai tahun
2005 adalah kelanjutan dari proyek demokratisasi , khususnya di
tingkat lokal.Semangatnya adalah koreksi terhadap sistem demokrasi
tidak langsung ( perwakilan ), dimana kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsumg
pada pilihan rakyat ( memilih ). Oleh karena itu,keputusan politik
untuk menyelenggarakan Pilkada langsung adalah langkah strategis
dalam rangka memperluas,memperdalam dan meningkatkan kualitas
demokrasi di tingkat lokal.

Hemat saya, tidak ada yang tidak berharap dan berkomitmen


terhadap kesuksesan penyelenggaraaan pilkadal. Hanya saja,
kadangkala cara berpikirnya kurang tertib dan cara nya kurang patut
dalam ukuran demokrasi.sebaiknya kita belajar dari berbagai
keberhasilan dan kekurangan penyelenggaraan pemilu legislatif dan
pemilu presiden dan wakil presiden, sembari tetep berkomitmen
pada kontitusi, baik yang sudah jelas tersurat maupun yang masih
membutuhkan penafsiran lebih lanjut. Dalam konteks itu pula,
penyelenggaraan pilkadal yang akan dimulai tahun 2005 ini dan
selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 dan PP Nomor 6
tahun 2005 akan menjadi bukti sejarah tentang apakah cara berpikir
bangsa kita tertib dan konsisten

KRITIK DAN SARAN


Saya harap dengan adanya critical jurnal review ini tentang
sistem pemilihan kepala daerah langsung mengenai masalah-
masalah dan upaya antisipasi dan solusinya , pembaca lebih
mengerti mengenai sistem pemilihan kepala daerah langsung dan
apa-apa saja masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah langsung tersebut, dan upaya apa yang
harus dilakukan untuk mengantisipasi masalah-masalah itu
terjadi dan jika masalah-masalah itu telah terjadi, solusi apa yang
tepat untuk menyelesikan masalah itu demi kepentingan
bersama.Begitu juga saya sebagai penulis tidak Cuma hanya
berkata – kata tapi saya juga akan terus memahami mengenai
sistem pemilihan kepala daerah langsung ini.Oleh karena itu
dalam perkembangan tulisan saya ini, saya harap kritik dari
pembaca, agar saya bisa berbenah lagi.

PENUTUP
Demikian lah yang dapat saya sampaikan mengenai jurnal sistem
pemilihan kepala derah langsung semoga dengan adanya critical
jurnal review ini, pembaca dan saya terkhususnya lebih bisa
memahami mengenai sistem pemilihan kepala daerah langsung.

Tentunya masih banyak kekurangan dalam critical jurnal riview


mengenai sistem pemilihan kepala daerahlangsung ,karena saya
juga dalam masa pembelajaran dan masih mencoba untuk
menjadi lebih baik lagi

Akhirkata saya ucapkan terima kasih kepada orang tua dan teman
teman saya yang selalu membantu dan memberi semangat kepada
saya, dan tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada bapak Drs,
zakaria m,sp selaku dosen pengantar ilmu politik yang telah
mengajari dan membimbing saya dalam menyelesaikan tugar
critical journal riview ini.dan juga saya berterima kasih kepada
orang tua dan teman teman saya yang selalu membantu dan
memberi semangat kepada saya.
DAFTAR PUSTAKA

MUHAMMAD ASFAR,EKSPERIMENTASI POLITIK PILKADA


LANGSUNG DAN MASA DEPAN DEMOKRASI, PT MANDIRI
SEJAHTERA HUTAMA, JAKARTA,2005

ANAS URBANINGRUM, EKSPERIMENTASI POLITIK PILKADA


LANGSUNG DAN MASA DEPAN DEMOKRASI,PT MANDIRI
SEJAHTERA HUTAMA,JAKARTA , 2005
LAMPIRAN

IDENTITAS JURNAL :

 JUDUL : EKSPERIMENTASI POLITIK


PILKADA LANGSUNG DAN MASA DEPAN
DEMOKRASI
 VOLUME : 1 NO 1 TAHUN 2005
 TAHUN TERBIT : 2005
 ISSN : 0216-9193

Anda mungkin juga menyukai