Sekarang ini banyak sekali kebijakan pemerintah yang mendapat kritik atau
ditentang masyarakat! Berikan contoh dan pendapat Anda mengapa ada
kebijakan pemerintah yang ditentang oleh masyarakat?
Dalam Hal ini saya akan mengangkat topik pembahasan perihal kebijakan
pemerintah yang mendapat kritik atau ditentang masyarakat adalah perihal :
Berikut penjelasannya :
UU Cipta Kerja berawal dari keinginan Presiden Jokowi yang ingin membabat
peraturan dan kebijakan yang tumpang tindih dan saling bertubrukan melalui
satu jurus yang disebut Omnibus Law. Namun ketika ide ini bergulir dan mulai
menjadi pembahasan yang menimbulkan polemik. Penolakan terjadi paling
besar di kalangan buruh. Apa lagi ketika draft RUU Cipta Kerja berseliweran.
Mereka menuding pemerintah menghilangan banyak hak dari para pekerja
demi memuaskan para perusahaan.
Pada tanggal 5 Oktober 2020 publik dibuat terkejut. Pemerintah dan DPR hari
itu resmi mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Sejumlah aksi massa pun kembali terjadi. Para buruh menilai ada sederet hal
yang dianggap cacat formil dalam pembuatan UU Cipta Kerja. Pihak buruh
pun memutuskan untuk melayangkan gugatan ke MK melalui judicial review
(JR).
Mereka menilai UU Ciptaker yang disahkan tidak memuat aspirasi buruh yang
kata dia sudah disepakati sebelumnya. Hal itu dinilai sebagai cacat formil.
Misalnya pesangon yang sebelumnya disepakati tetap 32 bulan upah ternyata
menjadi hanya 25 kali upah.
Oleh karena itu, pada 2018 pemerintahan Presiden Joko Widodo di bawah
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengeluarkan
16 paket kebijakan ekonomi. Salah satu inti dari dikeluarkannya paket
kebijakan ekonomi itu adalah untuk mempermudah investor masuk.Dalam
paket 16 paket kebijakan ekonomi ini, ada beberapa hal yang menghambat
investasi. Seperti misalnya penyederhanaan perizinan pertanahan untuk
kegiatan penanaman modal hingga menetapkan formulasi Upah Minimum
Provinsi (UMP).
Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pada tahun 2018 lalu dinilai tidak
efektif. Karena investasi yang masuk ke Indonesia belum ada perubahan yang
signifikan.
Karena para investor pun masih mengeluhkan hal yang sama khususnya yang
berkaitan dengan perizinan. Meskipun sudah online single submission (OSS)
atau perizinan satu pintu masih banyak yang mengeluhkan perizinan yang
berbelit khususnya di daerah.
Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) untuk Siapa?
Tak hanya terkait dengan persoalan lingkungan, kritik juga datang dari
berbagai pihak seperti persoalan regulasi yang dinilai bertentangan dengan
asas pembentukan perundang-undangan serta konstitusi, sebagaimana
dituangkan dalam rilis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), persoalan
paten yang dinilai merugikan pemilik paten non investor.
Tentu lazim dalam suatu kebijakan banyak pro dan kontra. Namun demikian,
apabila suatu kebijakan mengatur berbagai aspek kehidupan dan
mempengaruhi berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda,
tentunya Pemerintah layak mendengar aspirasi dari berbagai kelompok
tersebut, bukan hanya sekelompok mayoritas saja. Pertanyaannya, sudahkah
Pemerintah mendengar? Sudahkah ada ruang untuk bersuara dalam diskusi-
diskusi perumusan RUU Cipta Kerja (dan mungkin Omnibus Law lain yang
akan berdampak pada berbagai sektor)?
Masih hangat dalam ingatan saat protes terhadap Omnibus Law direspons
oleh Ibu Puan Maharani yang menyatakan bahwa RUU yang tengah beredar
tidak valid karena bukan merupakan draf resmi. Lalu, di mana draf resminya?
Pemerintah pada waktu itu menyatakan draf akan dibuka kepada publik saat
sudah resmi disampaikan ke DPR. Namun demikian, draf resmi yang dirilis
oleh Pemerintah si pemberi naskah ataupun oleh DPR si penerima naskah tak
kunjung muncul. Lantas, dari mana kritikus bisa mengkritik apabila draf
resminya belum ada? Ya, sama dengan kejadian seperti akhir tahun 2019
silam, tentunya draf-draf yang diklaim sebagai draf resmi bermunculan di
media sosial dan whatsapp group. Entah siapa yang mengedarkan pertama
kalinya. Pejuang anonim yang berusaha memberikan akses kepada publik atau
bisa jadi pula pihak yang memiliki niat terselubung lainnya.
Naskah RUU yang ditargetkan selesai dalam waktu 100 hari kerja tersebut pun
kemudian baru muncul pasca protes dari masyarakat sipil. Itu pun baru
tersedia di laman website Kemenko Perekonomian tertanggal 15 Februari
2019. Sementara itu, hingga tulisan ini dimuat, Penulis belum menemukan
naskah tersebut di laman website DPR yang menerima naskah pada tanggal
13 Februari. Padahal, UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(UU KIP) mengatur bahwa yang dimaksud dengan informasi publik bukan
hanya informasi yang dihasilkan oleh Badan Publik, melainkan juga informasi
yang diterima oleh Badan Publik. (Pasal 1 angka 2 UU KIP)
Apakah Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) juga untuk kepentingan seluruh
lapisan masyarakat? Jika ya, maka izinkanlah masyarakat bersuara di ruang-
ruang terbuka. Meski lelah, tentunya masyarakat masih menaruh harap tinggi
kepada DPR untuk mau mendengar dan memberi ruang yang lebih untuk
menyuarakan kepentingan-kepentingan masyarakat, karena masyarakat bukan
hanya pengusaha
Produk Kebijakan
Omnibus Law adalah salah satu produk kebijakan dalam bentuk undang-
undang (hukum publik) yang mengatur berbagai subjek yang kompleks, lalu
disatukan dalam sebuah wadah hukum. Omnibus Law pada umumnya
mengambil alih peraturan-peraturan yang ada sebelumnya karena
menganggap harus diperbaiki dan disempurnakan. Inilah yang membuat RUU
Cipta Kerja seringkali disebut UU raksasa karena berisi 812 halaman, terdiri
dari 15 bab dan 816 pasal.
Masalahnya, tidak semua orang telah siap menerima kenyataan baru yang
dianggap merugikan bagi mereka. Sementara, tidak semua pemerintah cukup
waktu untuk memberikan penjelasan yang bisa diterima oleh publik. Semua
fokus untuk mengejar target memperbaiki indeks dan indikator global.
Kelompok yang kecewa adalah serikat buruh yang sejak awal berniat baik
untuk ikut berunding memberi masukan kepada pemerintah dan DPR, karena
ada serikat buruh lain yang sejak awal menolak dan tidak mau berunding.
Namun usulan perwakilan serikat buruh ini berakhir dengan demokrasi
prosedural, banyak masukan perwakilan buruh yang tidak terakomodasi.
Proses Kebijakan
Beberapa tuntutan serikat buruh yang masih belum menemukan jalan tengah
antara lain adalah hilangnya upah minimum sektoral, menurunnya jumlah
pesangon dari 32 menjadi 25 kali, masalah pekerja kontrak yang
berkepanjangan, pekerja alih daya (outsourcing) bisa ke semua jenis kegiatan,
penggunaan tenaga kerja asing, soal pembayaran upah, serta pemberhentian
karyawan dengan alasan untuk efisiensi dan buruh mangkir. Dalam praktiknya
RUU Cipta Kerja adalah salah satu produk kebijakan publik yang sifatnya
inkremental, yaitu memperbaiki dan menyempurnakan aturan-aturan yang
sudah ada sebelumnya. Model ini merekomendasikan pembuat kebijakan
yang dalam kelangkaan waktu dan anggaran yang tidak memadai mereka
harus membuat kebijakan yang rasional. Bagaimanapun, model ini memiliki
beberapa kelemahan. Pertama, model ini menyebabkan pembuat kebijakan
menjadi tidak profesional karena mereka hanya mempunyai sedikit niat untuk
mengembangkan kebijakan yang inovatif yang mungkin efektif memecahkan
masalah kebijakan untuk mencapai visi bangsa. Kedua, pembuat kebijakan
akan mudah didikte oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan
dengan kebijakan, karena mungkin menciptakan manfaat sebelumnya bagi
mereka. Kebijakan yang muncul akan lebih mencerminkan kepentingan
kelompok tertentu, dan bukan untuk kepentingan rakyat.
Kesimpulan: