Anda di halaman 1dari 8

DISKUSI I

Sekarang ini banyak sekali kebijakan pemerintah yang mendapat kritik atau
ditentang masyarakat! Berikan contoh dan pendapat Anda mengapa ada
kebijakan pemerintah yang ditentang oleh masyarakat?

Secara singkat rumuskan masalah kebijakan tersebut dan analisislah dengan


suatu paradigma yang telah Anda pelajari pada KB 1. Diskusikan dan berikan
komentar.

Selamat Malam Buat Kita Semua


Semoga Kita Sehat Selalu dan Senantiasa dalam Lindungan-Nya,

Berikut Tanggapan saya terhadap materi diskusi 1 berikut,

Dalam Hal ini saya akan mengangkat topik pembahasan perihal kebijakan
pemerintah yang mendapat kritik atau ditentang masyarakat adalah perihal :

“Pemerintah dan DPR Mengesahkan UU Cipta Kerja (Omnibus Law)

Berikut penjelasannya :

UU Cipta Kerja berawal dari keinginan Presiden Jokowi yang ingin membabat
peraturan dan kebijakan yang tumpang tindih dan saling bertubrukan melalui
satu jurus yang disebut Omnibus Law. Namun ketika ide ini bergulir dan mulai
menjadi pembahasan yang menimbulkan polemik. Penolakan terjadi paling
besar di kalangan buruh. Apa lagi ketika draft RUU Cipta Kerja berseliweran.
Mereka menuding pemerintah menghilangan banyak hak dari para pekerja
demi memuaskan para perusahaan.

Gelombangan penolakan semakin besar, rentetan aksi demo terus digelar


oleh kaum buruh. Presiden Jokowi sempat menginstruksikan agar
pembahasan klaster ketenagakerjaan ditunda pada 24 April 2020. Alasannya
untuk mengakomodir kembali usulan dari kalangan pekerja. Tapi ternyata
pemerintah dan DPR bergerak begitu gesit untuk menggodok produk hukum
ini. Bahkan masa reses dan pandemi COVID-19 tak memperlambat
pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja.

Pada tanggal 5 Oktober 2020 publik dibuat terkejut. Pemerintah dan DPR hari
itu resmi mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Sejumlah aksi massa pun kembali terjadi. Para buruh menilai ada sederet hal
yang dianggap cacat formil dalam pembuatan UU Cipta Kerja. Pihak buruh
pun memutuskan untuk melayangkan gugatan ke MK melalui judicial review
(JR).

Mereka menilai UU Ciptaker yang disahkan tidak memuat aspirasi buruh yang
kata dia sudah disepakati sebelumnya. Hal itu dinilai sebagai cacat formil.
Misalnya pesangon yang sebelumnya disepakati tetap 32 bulan upah ternyata
menjadi hanya 25 kali upah.

Latar Belakang Pembentukan UU Cipta Kerja


Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI) menimbulkan kontroversi. Karena ada beberapa
penolakan berkait UU Cipta Kerja oleh para pekerja dan buruh khususnya
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. UU Cipta Kerja ini sudah pasti sangat
menarik bagi investor. Karena semua kepentingan investor sudah
diakomodasi dalam UU Cipta Kerja ini.ujuan awal untuk pembentukan
Undang-Undang Cipta Kerja ini adalah untuk menarik investasi sebanyak-
banyaknya. Kebijakan ini pun sudah mempelajari dari kejadian sebelum-
sebelumnya.Peristiwa awal reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Presiden
Joko Widodo adalah ketika pada awal pemerintahannya investasi masih relatif
rendah. Meskipun setiap tahunnya selalu mengalami pertumbuhan tapi tidak
membuat pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla pada saat itu tidak puas.

Oleh karena itu, pada 2018 pemerintahan Presiden Joko Widodo di bawah
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengeluarkan
16 paket kebijakan ekonomi. Salah satu inti dari dikeluarkannya paket
kebijakan ekonomi itu adalah untuk mempermudah investor masuk.Dalam
paket 16 paket kebijakan ekonomi ini, ada beberapa hal yang menghambat
investasi. Seperti misalnya penyederhanaan perizinan pertanahan untuk
kegiatan penanaman modal hingga menetapkan formulasi Upah Minimum
Provinsi (UMP).

Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pada tahun 2018 lalu dinilai tidak
efektif. Karena investasi yang masuk ke Indonesia belum ada perubahan yang
signifikan.
Karena para investor pun masih mengeluhkan hal yang sama khususnya yang
berkaitan dengan perizinan. Meskipun sudah online single submission (OSS)
atau perizinan satu pintu masih banyak yang mengeluhkan perizinan yang
berbelit khususnya di daerah.
 
Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) untuk Siapa?

Riuh penolakan terhadap RUU Cipta Kerja,sebelumnya beredar dengan judul


RUU Cipta Lapangan Kerja saat ini masih bergema. Pasca informasi
penyerahan draf resmi dari pihak eksekutif ke legislatif (DPR) pada 13 Februari
lalu, beredar draf UU yang segera dikritisi oleh berbagai elemen masyarakat
sipil sesuai pengalaman dan keahlian masing-masing. Agaknya masyarakat
sipil tak mau kehilangan kesempatan untuk kesekian kalinya dalam
memberikan pendapat.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) misalnya langsung


menganalisa berbagai perubahan yang berdampak pada lingkungan hidup
dan sumber daya alam. Beberapa isu yang menjadi catatan penting antara lain
terkait perizinan berbasis risiko, isu kewenangan dalam perizinan
pertambangan dan pertanian (perkebunan), mekanisme penyelesaian timpang
tindih kawasan hutan, kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyediaan
ketenagalistrikan, dan kewenangan PP untuk mengubah ketentuan undang-
undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini.

Tak hanya terkait dengan persoalan lingkungan, kritik juga datang dari
berbagai pihak seperti persoalan regulasi yang dinilai bertentangan dengan
asas pembentukan perundang-undangan serta konstitusi, sebagaimana
dituangkan dalam rilis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), persoalan
paten yang dinilai merugikan pemilik paten non investor.

Tentu lazim dalam suatu kebijakan banyak pro dan kontra. Namun demikian,
apabila suatu kebijakan mengatur berbagai aspek kehidupan dan
mempengaruhi berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda,
tentunya Pemerintah layak mendengar aspirasi dari berbagai kelompok
tersebut, bukan hanya sekelompok mayoritas saja. Pertanyaannya, sudahkah
Pemerintah mendengar? Sudahkah ada ruang untuk bersuara dalam diskusi-
diskusi perumusan RUU Cipta Kerja (dan mungkin Omnibus Law lain yang
akan berdampak pada berbagai sektor)?

Masih hangat dalam ingatan saat protes terhadap Omnibus Law direspons
oleh Ibu Puan Maharani yang menyatakan bahwa RUU yang tengah beredar
tidak valid karena bukan merupakan draf resmi. Lalu, di mana draf resminya?
Pemerintah pada waktu itu menyatakan draf akan dibuka kepada publik saat
sudah resmi disampaikan ke DPR. Namun demikian, draf resmi yang dirilis
oleh Pemerintah si pemberi naskah ataupun oleh DPR si penerima naskah tak
kunjung muncul. Lantas, dari mana kritikus bisa mengkritik apabila draf
resminya belum ada? Ya, sama dengan kejadian seperti akhir tahun 2019
silam, tentunya draf-draf yang diklaim sebagai draf resmi bermunculan di
media sosial dan whatsapp group. Entah siapa yang mengedarkan pertama
kalinya. Pejuang anonim yang berusaha memberikan akses kepada publik atau
bisa jadi pula pihak yang memiliki niat terselubung lainnya.

Semua yang merasa kepentingannya terusik bergegas memberikan catatan,


meskipun belum ada sinyal apakah RUU yang beredar sudah merupakan draf
final atau tidak. Tidakkah masyarakat trauma dengan respons dari pembuat
kebijakan beberapa waktu yang lalu? Satu-satunya alasan yang dapat
dipahami adalah masyarakat takut terlambat. Masyarakat khawatir haknya
untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan, sebagaimana dijamin dalam
Pasal 96 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Apalagi, ada wacana RUU ini ditargetkan harus selesai dalam 100
hari kerja. Pasal 96 ayat (4) UU 12 Tahun 2011 ini jelas-jelas mengatur bahwa
demi kemudahan masyarakat untuk memberikan masukan baik lisan maupun
tulisan, setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat
diakses dengan mudah oleh masyarakat. Adapun istilah “masyarakat” di sini
meliputi perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan, termasuk
kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya
masyarakat, dan masyarakat adat.

Harus diakui, pemerintah belakangan ini tampak semakin tertutup terutama


ketika berbicara soal Omnibus Law. Omnibus Law seperti RUU Cipta Kerja
diklaim demi kesejahteraan masyarakat. Regulasi yang dipangkas diharapkan
mampu mempermudah investasi yang akhirnya akan menguntungkan
masyarakat. Namun, jika dilihat dari proses yang sangat tertutup dan hanya
melibatkan segelintir pihak tentunya menjadi tanda tanya kembali, masyarakat
mana yang akan mendapatkan keuntungan dari Omnibus Law ini? Masyarakat
yang pro terhadap lingkungan jelas memberikan banyak catatan. Masyarakat
yang mengawal isu hukum dan kebijakan juga memiliki catatan mayor atas
kesalahpahaman yang muncul dari RUU yang disusun oleh tim terpilih.
Kelompok buruh, sudah jelas menentang dengan berbagai aksi demo yang
dilakukan. Masyarakat adat pun melayangkan protes. Demikian juga dengan
kelompok yang peduli dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jadi, sekali lagi
dapatkah pemerintah menyatakan masyarakat mana yang akan diuntungkan
oleh pembahasan ini?

Naskah RUU yang ditargetkan selesai dalam waktu 100 hari kerja tersebut pun
kemudian baru muncul pasca protes dari masyarakat sipil. Itu pun baru
tersedia di laman website Kemenko Perekonomian tertanggal 15 Februari
2019. Sementara itu, hingga tulisan ini dimuat, Penulis belum menemukan
naskah tersebut di laman website DPR yang menerima naskah pada tanggal
13 Februari. Padahal, UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(UU KIP) mengatur bahwa yang dimaksud dengan informasi publik bukan
hanya informasi yang dihasilkan oleh Badan Publik, melainkan juga informasi
yang diterima oleh Badan Publik. (Pasal 1 angka 2 UU KIP)

Tak berlebihan jika muncul anggapan jaminan hak masyarakat untuk


memperoleh informasi yang diamanatkan oleh Pasal 28 huruf f UUD 1945
yang kemudian diterjemahkan lebih lanjut dalam ketentuan-ketentuan di
dalam UU KIP masih jauh panggang dari api. Komisi Informasi Pusat
tampaknya lebih memilih menyelesaikan sengketa informasi yang ada
dibandingkan repot mengurus permasalahan minimnya informasi terkait
Omnibus Law. Inisiatif keterbukaan seperti Open Government Partnership pun
tampaknya belum memberikan dampak yang cukup positif bagi
perkembangan keterbukaan sehingga Pemerintah dan DPR memilih pasif
dalam merespons tuntutan-tuntutan masyarakat. Terbukti, DPR yang belum
lama meresmikan inisiatif Open Parliament (Keterbukaan Parlemen) pun
belum cukup pro aktif membuka informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Apakah Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) juga untuk kepentingan seluruh
lapisan masyarakat? Jika ya, maka izinkanlah masyarakat bersuara di ruang-
ruang terbuka. Meski lelah, tentunya masyarakat masih menaruh harap tinggi
kepada DPR untuk mau mendengar dan memberi ruang yang lebih untuk
menyuarakan kepentingan-kepentingan masyarakat, karena masyarakat bukan
hanya pengusaha

UU Cipta Kerja (Omnibus Law)  : Kebijakan Publik dan komunikasi

Kebijakan publik adalah kunci keberhasilan bagi negara-negara berkembang,


namun sudah begitu banyak yang mengabaikan prosesnya. Oleh karenanya
perkembangan politik menjadi semakin menarik dan proses politik kemudian
bertransformasi menjadi proses pembuatan hukum yang kering dan teknis.
Akibatnya para pemimpin serta institusi pembuat kebijakan seringkali menjadi
terperangkap ke dalam tawar-menawar kepentingan di kalangan elite. Di
ranah kebijakan publik, proses formulasi kebijakan merupakan tahap proses
kebijakan di mana sebuah isu yang menjadi agenda pemerintah diteruskan
dalam bentuk hukum publik. Hasil yang diharapkan adalah solusi terhadap
masalah publik. Tetapi perlu dicermati bahwa formulasi kebijakan merupakan
aktivitas kebijakan yang tidak netral dari politik. Sehingga kebijakan (hukum
publik) yang terbentuk merupakan resultan kompromi politik dari para aktor
yang berperan merumuskan kebijakan. Sekalipun demikian tidak semua hasil
kompromi politik tidak bersentuhan sama sekali dengan kepentingan publik.
Misalnya para aktor yang berhasil memproduksi kebijakan-kebijakan populis
yang pada hakikatnya merupakan hasil kompromi yang bisa sensitif terhadap
penyelesaian masalah publik. Kebijakan tentang pendidikan murah bahkan
gratis di Srilanka, serta pelayanan kesehatan gratis kepada rakyat, merupakan
contoh nyata kebijakan populis yang mendapat dukungan dari rakyat banyak
dan merupakan solusi kebijakan.

Produk Kebijakan

Lindblom (1986) menjelaskan bahwa produk kebijakan di setiap negara


berbeda satu sama lain, tergantung pada sistem politik masing-masing.
Sebagai contoh sistem otoriter, yang tidak memproduksi kebijakan yang
memberi jaminan kebebasan sipil, hak-hak konvensional, serta kekayaan
pribadi, sebagaimana lazimnya produk kebijakan negara demokrasi. Kebijakan
dalam sistem otoriter cenderung mengedepankan hak-hak pemerintah
dibandingkan dengan hak-hak rakyat.

Omnibus Law adalah salah satu produk kebijakan dalam bentuk undang-
undang (hukum publik) yang mengatur berbagai subjek yang kompleks, lalu
disatukan dalam sebuah wadah hukum. Omnibus Law pada umumnya
mengambil alih peraturan-peraturan yang ada sebelumnya karena
menganggap harus diperbaiki dan disempurnakan. Inilah yang membuat RUU
Cipta Kerja seringkali disebut UU raksasa karena berisi 812 halaman, terdiri
dari 15 bab dan 816 pasal.

Penggunaan Omnibus Law sebenarnya sudah dilakukan beberapa negara lain,


misalnya pada 1880 an di Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada. Sementara di
Asia Tenggara, diterapkan di Filipina pada 16 Juli 1987 yang disebut dengan
Omnibus Investment Code untuk memudahkan investasi di negeri itu.
Sedangkan di Vietnam, mereka menerapkan Omnibus Law untuk
mengimplementasikan kebijakan WTO.

Pada beberapa kasus, lahirnya UU Ketenagakerjaan baru di berbagai negara


pada umumnya tidak menyenangkan kaum buruh. Munculnya UU ini dilatari
karena kompetisi bisnis yang ketat sehingga memaksa pemerintah melakukan
beberapa perubahan agar tetap kompetitif untuk para investor. Dunia yang
kita tempati sekarang tak lagi sama dengan dunia lama, kenyamanan lama
sebagian akan tergerus akibat desakan kompetisi pasar.

Masalahnya, tidak semua orang telah siap menerima kenyataan baru yang
dianggap merugikan bagi mereka. Sementara, tidak semua pemerintah cukup
waktu untuk memberikan penjelasan yang bisa diterima oleh publik. Semua
fokus untuk mengejar target memperbaiki indeks dan indikator global.
Kelompok yang kecewa adalah serikat buruh yang sejak awal berniat baik
untuk ikut berunding memberi masukan kepada pemerintah dan DPR, karena
ada serikat buruh lain yang sejak awal menolak dan tidak mau berunding.
Namun usulan perwakilan serikat buruh ini berakhir dengan demokrasi
prosedural, banyak masukan perwakilan buruh yang tidak terakomodasi.

Proses Kebijakan

Mengelola masyarakat sebagai negara bangsa sejatinya adalah tentang


pilihan-pilihan lembaga politik agar dapat menjalankan negara sebagai suatu
entitas politik. Masyarakat yang percaya akan persamaan akan memegang
prinsip bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dan pelayanan yang
sama dalam hukum. Kemudian masyarakat akan mengembangkan mekanisme
dialog sebelum mengambil keputusan. Budaya dialog bertransformasi
menjadi suatu lembaga politik yang demokratis. Ada lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif yang berfungsi untuk mengakomodasi kebutuhan dan
aspirasi masyarakat. Siapapun tidak bisa memungkiri bahwa wakil rakyat di
DPR adalah personal yang diberi amanah untuk mengemban amanah rakyat.
Meski citra pemilihan umum tidak seluruhnya bebas dari noda-noda hitam
politik, dalam kesepakatan kita semua wakil rakyat seharusnya adalah orang-
orang yang paling bertanggung jawab, paling kenal, dan paling tahu
kebutuhan para pemilihnya. Tidak memandang mereka berasal dari mana,
suara publik tetap harus diperjuangkan.

Beberapa tuntutan serikat buruh yang masih belum menemukan jalan tengah
antara lain adalah hilangnya upah minimum sektoral, menurunnya jumlah
pesangon dari 32 menjadi 25 kali, masalah pekerja kontrak yang
berkepanjangan, pekerja alih daya (outsourcing) bisa ke semua jenis kegiatan,
penggunaan tenaga kerja asing, soal pembayaran upah, serta pemberhentian
karyawan dengan alasan untuk efisiensi dan buruh mangkir. Dalam praktiknya
RUU Cipta Kerja adalah salah satu produk kebijakan publik yang sifatnya
inkremental, yaitu memperbaiki dan menyempurnakan aturan-aturan yang
sudah ada sebelumnya. Model ini merekomendasikan pembuat kebijakan
yang dalam kelangkaan waktu dan anggaran yang tidak memadai mereka
harus membuat kebijakan yang rasional. Bagaimanapun, model ini memiliki
beberapa kelemahan. Pertama, model ini menyebabkan pembuat kebijakan
menjadi tidak profesional karena mereka hanya mempunyai sedikit niat untuk
mengembangkan kebijakan yang inovatif yang mungkin efektif memecahkan
masalah kebijakan untuk mencapai visi bangsa. Kedua, pembuat kebijakan
akan mudah didikte oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan
dengan kebijakan, karena mungkin menciptakan manfaat sebelumnya bagi
mereka. Kebijakan yang muncul akan lebih mencerminkan kepentingan
kelompok tertentu, dan bukan untuk kepentingan rakyat.

Kesimpulan:

Kebijakan publik memang merupakan domain dari negara, yang memegang


otoritas legal formal. Namun tak serta merta para elite politik menganggap
publik tidak pantas tahu untuk mengikuti proses pengambilan keputusan.
Publik tetaplah harus dihargai sebagai warga negara yang menyerahkan
sebagian hak-haknya kepada negara untuk menyelenggarakan aktivitas yang
menyejahterahkan. Komunikasi kepada publik terkait RUU Cipta Kerja perlu
dibenahi. Dengan demikian, publik akan bisa menerima RUU ini sebagai
bentuk ikhtiar membangun fondasi masa depan bangsa, bukan hanya sekadar
instrumen kebijakan untuk menjawab tantangan kekinian.
Sumber Referensi/Bacaan

1. Buku Modul Analisis Kebijakan Publik, Penerbit Universitas Terbuka, Sri


Suwitri Dkk
2. https://news.detik.com/kolom/d-5229357/kebijakan-publik-dan-
komunikasi
3. https://icel.or.id/isu/lain-lain/omnibus-law-ruu-cipta-kerja-untuk-siapa/
4. https://economy.okezone.com/read/2020/10/13/320/2292723/ternyata
-ini-latar-belakang-pembentukan-uu-cipta-kerja

Anda mungkin juga menyukai