Anda di halaman 1dari 23

April 02, 2017

MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN DEKOMPENSASI KORDIS
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah KMB 1 Semester 3

Disusun oleh :

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita bersama-sama sanjungkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah dan rahmat-Nya kita masih diberikan kesehatan biologi, psikologi, sosiologi, dan
kesehatan spiritual, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah KMB 1 Semester 3.
Semoga makalah yang kami susun ini bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran serta
masukan dari teman-teman sangat kami nantikan guna memperbaiki kesalahan kami, karena
kami hanya manusia biasa yang tak pernah luput dari salah dan khilaf.
Metro, September 2016

Penulis,

DAFTAR ISI

Halaman judul ............................................................................................................ 1


Kata Pengantar ........................................................................................................          2
Daftar Isi              ......................................................................................          3
BAB I PENDAHULUAN    ......................................................................................          4
1.1    Latar Belakang          ......................................................................................          4
1.2    Rumusan Masalah     ......................................................................................          4
1.3    Tujuan                       ......................................................................................          4
BAB II PEMBAHASAN      ......................................................................................          5
2.1     Pengertian                              ……………………………………………….           5
2.2     Etiologi                                  ……………………………………………….           5
2.3     Tanda Dan Gejala                  ……………………………………………….           7
2.4     Patofisiologi                          ……………………………………………….           7
2.5     Pathway                                 ……………………………………………….           9
2.6     Pemeriksaan Penunjang         ……………………………………………….           10
2.7     Penatalaksanaan Medis         ……………………………………………….           11
2.8     Pengkajian Fokus                  ………………………………………………            11
2.9     Diagnosa Keperawatan         ………………………………………………            14
BAB III PENUTUP              ......................................................................................          18
3.1 Kesimpulan                  ......................................................................................          18
3.2 Saran                            ………………………………………………………..          18
DAFTAR PUSTAKA          ......................................................................................          20

BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang


Dekompensasi kordis (DK) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu keadaan dimana jantung
tidak dapat mempertahankan sirkulasi yang adekuat yang ditandai oleh adanya suatu sindroma
klinis berupa dispnu (sesak nafas), fatik (saat istirahat atau aktivitas), dilatasi vena dan edema,
yang diakibatkan oleh adanya kelainan struktur atau fungsi jantung.
Insiden penyakit gagal jantung saat ini semakin meningkat. Dimana jenis penyakit gagal jantung
yang paling tinggi prevalensinya adalah Congestive Heart Failure (CHF). Di Eropa, tiap tahun
terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Sedang pada anak–anak yang
menderita kelainan jantung bawaan, komplikasi gagal jantung terjadi 90% sebelum umur 1
tahun, sedangkan sisanya terjadi antara umur 5 – 15 tahun. Perlu diketahui, bahwa dekompensasi
kordis pada bayi dan anak memiliki segi tersendiri dibandingkan pada orang dewasa, yaitu :
1.Sebagian besar penyebab gagal jantung pada bayi dan anak dapat diobati (potentially curable).
2.Dalam mengatasi gagal jantung tidak hanya berhenti sampai gejalanya hilang, melainkan harus
diteruskan sampai ditemukan penyebab dasarnya
3.Setelah ditemukan penyebabnya, bila masih dapat diperbaiki maka harus segera dilakukan
perbaikan.
4.Lebih mudah diatasi dan mempunyai prognosis yang lebih baik daripada gagal jantung pada
orang dewasa.
Menurut data yang diperoleh penulis hingga sekarang penyakit jantung merupakan pembunuh
nomor satu (Sampurno,1993). WHO menyebutkan rasio penderita gagal jantung di dunia adalah
satu sampai lima orang setiap 1000 penduduk. Penderita penyakit jantung di Indonesia kini
diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari jumlah penduduk di Nusantara
(www.depkes.go.id).
1.2       Rumusan Masalah
a         Apa yang dimaksud Dekompensasi kordis (DK)?
b        Bagaimana anatomi jantung dan patofisiologis Dekompensasi kordis (DK)?
c         Bagaimana etiologi dan manifestasi klinis Dekompensasi kordis (DK)?
d        Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Dekompensasi Kordis (DK)?

1.3       Tujuan Penulisan


Tujuan dari ditulisnya makalah ini adalah :
1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan dengan masalah penyakit
jantung dekompensasi kordis.
2. Tujuan Khusus
1.      Mampu menjetiologi elaskan definisi dari decompensasi cordis.
2.      Mampu menjelaskan etiologi dan patofisiologi dari decompensasi cordis.
3.      Mampu mengetahui manifestasi klinik dari decompensasi cordis.
4.      Mampu menjelaskan jenis-jenis pemeriksaan penunjang untuk penyakit decompensasi
cordis.
5.      Mampu membuat pengkajian, diagnosa, dan intervensi pada pasien dengan penyakit
decompensasi cordis.
1.3       Manfaat
1.Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan
bagi pembaca khususnya seorang perawat.
2.Manfaat Praktis
Hasil makalah ini dapat memberikan sumbangan dan masukan mengenai Asuhan
Keperawatan Perkemihan Infeksi Saluran Kemih.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Decompensasi cordis adalah keadaan patofisiologik dimana jantung pompa tidak mampu
memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan (Price, 1994: 583). Pengertian lain
menyebutkan bahwa dekompensasi  cordis adalah ketidakmampuan jantung memompakan darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan kebutuhan oksigen jaringan (Doenges, 2000: 48).
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dekompensasi cordis merupakan
keadaan jantung yang sudah tidak mampu lagi memompa darah sesuai dengan kebutuhan
tubuh.  
B.     Anatomi

(Brunner & Suddarth, 2002 : 721)

1. A. DEFINISI
2. Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan
peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr. Ahmad ramali.1994)
3. Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi
kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung ( Tabrani, 1998;
Price,1995).
4. Gagal jantung kongestif (decompensasi cordis) adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadp
oksigen dan nutrien.(Diane C. Baughman dan Jo Ann C. Hockley, 2000)
5.          Decompensasi cordis adalah suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian
tekanan pengisian ventrikel kiri (Braundwald, 2003 )
6. Berdasar definisi patofisiologik gagal jantung (decompensatio cordis) atau dalam bahasa
inggris Heart Failure adalah ketidakmampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan pada saat istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut akan
menyebabkan respon sistemik khusus yang bersifat patologik (sistem saraf, hormonal,
ginjal, dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang khas (Fathoni, 2007).
7.   B.    ETIOLOGI
8. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan
kontraktilitasmiokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi
aorta, dan cacat septumventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark miokard atau kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal
sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ),
gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade
jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada
setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam
sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil. ( Price. Sylvia A, 1995).
9. Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut
menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri :
penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta, penyakit
katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi
( tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal jantung kiri,
penyakit paru kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, penyakit jantung
kongenital (VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif. (Chandrasoma,
2006).
10. Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting
untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di Negara berkembang penyakit arteri
koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang
yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung
akibat malnutrisi.4 Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari
gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit
jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada
46% laki-laki dan 27% pada wanita.4 Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok
juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung.
Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga
dikatakan sebagai faktor risikoindependen perkembangan gagal jantung.
11. Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa
penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,
termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi
ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard,
serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia
ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat
dengan perkembangan gagal jantung.4 Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit
pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun
penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati
dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif
dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi
dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan.
Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE,
sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.
12. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan)
meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada
serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang
berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).
Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang
buruk, tidak membesar dandihubungkan dengan kelainan fungsi diastolic(relaksasi) yang
menghambat pengisian ventrikel.4,5 Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit
jantung rematik, walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume
(peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan
(peningkatan afterload).
13. Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan
kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial
fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan. Alkohol dapat berefek secara
langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat
aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal
jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan
defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal
jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung. (Santosa, A 2007)
14. Grade gagal jantung menurut new York heart association
15. Terbagi menjadi empat kelainan fungsional :
16. Timbul gejala sesak pada aktifitas fisik berat.
17. Timbul gejala sesak pada aktifitas sedang.
18. Timbul gejala sesak pada aktifitas ringan.
19. Timbul gejala sesak pada aktifitas sangat ringan/ istirahat.
20. C.   PATOFISIOLOGI
21. Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer yang dapat dilihat : (1)
meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal akibat aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron, (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga respon
kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.
Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada awal
perjalanan gagal jantung. Namun, dengan berlanjutnya gagal jantung kompensasi
menjadi kurang efektif (Price dan Wilson, 2006).
22. Sekresi neurohormonal sebagai respon terhadap gagal jantung antara lain : (1)
norepinephrine menyebabkan vasokontriksi, meningkatkan denyut jantung, dan toksisitas
myocite, (2) angiotensin II menyebabkan vasokontriksi, stimulasi aldosteron, dan
mengaktifkan saraf simpatis, (3) aldosteron menyebabkan retensi air dan sodium, (4)
endothelin menyebabkan vasokontriksi dan toksisitas myocite, (5) vasopresin
menyebabkan vasokontrikso dan resorbsi air, (6) TNF α merupakan toksisitas langsung
myosite, (7) ANP menyebabkan vasodilatasi, ekresi sodium, dan efek antiproliferatif
pada myocite, (8) IL 1 dan IL 6 toksisitas myocite (Nugroho, 2009).
23. Berdasar hukum Fank-Starling, semakin teregang serabut otot jantung pada saat
pengisian diastolik, maka semakin kuat kontraksinya dan akibatnya isi sekuncup
bertambah besar. Oleh karena itu pada gagal jantung, terjadi penambahan volum aliran
balik vena sebagai kompensasi sehingga dapat meningkatkan curah jantung (Masud,
1992).
24. D.   MANIFESTASI KLINIS
25. Tanda dominan :Meningkatnya volume intravaskuler Kongestif jaringan akibat tekanan
arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah jantungManifestasi kongesti dapat
berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi .
26. Gagal jantung kiri :
27. Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri krn ventrikel kiri tak mampu memompa
darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
28. Dispnoe
29. Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran gas. Dapat
terjadi ortopnu.Bebrapa pasien dapat mengalami ortopnu pda malam hari yang
dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea ( PND)
30. Mudah lelah
31. Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi
normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme, juga terjadi
karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi
karena distress pernafasan dan batuk.
32. Kegelisahan dan kecemasan
33. Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan
pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
34. Batuk
35. Gagal jantung kanan :
36. Kongestif jaringan perifer dan viseral.
37. Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting, penambahan berat
badan.
38. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar.
39. Anorexia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga
abdomen.
40. Nokturia
41. Kelemahan.
42.  E. PEMERIKSAAN DIAGNISTIK
43. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola
mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T
persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime
ventricular.
44. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
45. Scan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.
46. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan
gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji
potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran
bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas. (Wilson Lorraine M, 2001)
47. Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau efusi fleura
yang menegaskan diagnisa CHF.
48. EKG dapat mengungkapkan adanya takikardi, hipertrofi bilik jantung dan iskemik( jika
disebabkan oleh AMI)
49. Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil
hemodilusi darah dari adanya kelebihan retensi air. (Nursalam M, 2002)
50. F. PENATALAKSANAAN MEDIS
51. Tujuan pengobatan adalah :
52. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
53. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokarium dengan preparat
farmakologi, dan
54. Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara memberikan terapi
antidiuretik, diit dan istirahat.
55. Terapi Farmakologis :
56. Glikosida jantung.
57. Digitalis , meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat frekuensi
jantung.Efek yang dihasilkan : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan
volume darah dan peningkatan diuresisidan mengurangi edema.
58. Terapi diuretik.
59. Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal.Penggunaan hrs hati –
hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia.
60. Terapi vasodilator.
61. Obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadansi tekanan terhadap
penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan
peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan engisian ventrikel kiri dapat dituruinkan
62. Obat –obat yang digunakan antara lain :
63. Antagonis kalsium, untuk memperbaiki relaksasi miokard dan menimbulkan vasodilatasi
koroner.
64. Beta bloker, untuk mengatasi takikardia dan memperbaiki pengisian ventrikel.
65. Diuretika, untuk gagal jantung disertai udem paru akibat disfungsi diastolik.  Bila tanda
udem paru sudah hilang, maka pemberian diuretika harus hati-hati agar jangan sampai
terjadi hipovolemia dimana pengisian ventrikel berkurang sehingga curah jantung dan
tekanan darah menurun.
66. Pemberian antagonis kalsium dan beta bloker harus diperhatikan karena keduanya dapat
menurunkan kontraktilitas miokard sehingga memperberat kegagalan jantung.
67. Dukungan diet:
68. Pembatasan Natrium untuk mencegah, mengontrol, atau menghilangkan edema.
69. G.  ASUHAN KEPERAWATAN
70. 1.     Pengkajian
71. Gagal serambi kiri/kanan dari jantung mengakibtkan ketidakmampuan memberikan
keluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan menyebabkan terjadinya
kongesti pulmonal dan sistemik . Karenanya diagnostik dan teraupetik berlnjut . GJK
selanjutnya dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas.
72. Aktivitas/istirahat
73. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari,    insomnia, nyeri dada
dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
74. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi,  tanda vital berubah pad aktivitas.
75. Sirkulasi
76. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit jantung , bedah
jantung , endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
77. Tanda :
78. a. TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
79. b. Tekanan Nadi ; mungkin sempit.
80. c. Irama Jantung ; Disritmia
81. d.Frekuensi jantung ; Takikardia.
82. e. Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah posisi secara inferior ke kiri.
83. f. Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat
84. g. terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah.
85. h. Murmur sistolik dan diastolic.
86. i. Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
87. j. Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian
88. k. kapiler lambat.
89. l. Hepar ; pembesaran/dapat teraba.
90. m. Bunyi napas ; krekels, ronkhi.
91. n. Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting
92. o. khususnya pada ekstremitas.
93. Integritas ego
94. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
95. Tanda      : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan mudah
tersinggung.
96. Eliminasi
97. Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari (nokturia),
diare/konstipasi.
98. Makanan/cairan
99. Gejala      : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan signifikan,
pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi
garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan diuretic.
100. Tanda      : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta
edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
101. Higiene
102. Gejala      : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
103. Tanda      : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
104. Neurosensori
105. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
106. Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah
tersinggung.
107. Nyeri/Kenyamanan
108. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan sakit
pada otot.
109. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi diri.
110. Pernapasan
111. Gejala      : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa
bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan
bantuan pernapasan.
112. Tanda      :
113. 1)     Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori pernpasan.
114. 2)     Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus menerus
dengan/tanpa pemebentukan sputum.
115. 3)     Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema pulmonal)
116. 4)     Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
117. 5)     Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
118. 6)     Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
119. Keamanan
120. Gejala  : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangankekuatan/tonus otot, kulit
lecet.
121. Interaksi sosial
122. Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
123. Pembelajaran/pengajaran
124. Gejala      : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya :
penyekat saluran kalsium.
Tanda      : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan.
125. 2.     Diagnosa Keperawatan
126. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik,  Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, 
Perubahan structural, ditandai dengan ;
127. Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan gambaran pola
EKG
128. Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).
129. Bunyi ekstra (S3 & S4)
130.  Penurunan keluaran urin
131. Nadi perifer tidak teraba
132. Kulit dingin kusam
133. Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada.
134. Tujuan:
135. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
dapat menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia   terkontrol
atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung , melaporkan penurunan epiode dispnea,
angina, ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
136. Intervensi:
137. Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi, iram jantung
138. Rasional : Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk
mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.
139. Catat bunyi jantung
140. Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama
Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah kesermbi yang disteni. Murmur
dapat menunjukkan Inkompetensi/stenosis katup.
141. Palpasi nadi perifer
142. Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial,
popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur
untuk dipalpasi dan pulse alternan.
143. Pantau TD
144. Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat meningkat. Pada
HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi danhipotensi tidak dapat norml
lagi.
145. Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis
146. Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder terhadap tidak
dekutnya curh jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai refrakstori
GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atu belang karena peningkatan kongesti vena.
147. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat  sesuai indikasi 
(kolaborasi)
148. Rasional : Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk
melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan
volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.
149. 2. Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai
okigen. Kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan :
Kelemahan, kelelahan,  Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat,
berkeringat.
150. Tujuan /kriteria  evaluasi :
151. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klin dapat
berpartisipasi padaaktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan diri sendiri,  mencapai
peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya
kelemahan dan kelelahan.
152. Intervensi:
153. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila klien
menggunakan vasodilator,diuretic dan penyekat beta.
154. Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat
(vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung.
155. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia, dispnea
berkeringat dan pucat.
156. Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume
sekuncup selama aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan
kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.
157. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
158. Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung  daripada
kelebihan aktivitas.
159. Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)
160. Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja
jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah
stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali,
161. 3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi
glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi
natrium/air. ditandai dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3,  Oliguria, edema, 
Peningkatan berat badan, hipertensi,  Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal.
162. Tujuan /kriteria  evaluasi:
163. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan pasien
mampu mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan
danpengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima,
berat badan stabil dan tidak ada edema. Menyatakan pemahaman tentang pembatasan
cairan individual.
164. Intervensi :
165. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
166. Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi
ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat
ditingkatkan selama tirah baring.
167. Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran selama 24 jam
168. Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-
tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.
169. Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.
170. Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi
ADH sehingga meningkatkan diuresis.
171. Pantau TD dan CVP (bila ada)
172. Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan
dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.
173. Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan
konstipasi.
174. Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi
gaster/intestinal
175. Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi)
176. Konsul dengan ahli diet.
177. Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang  memenuhi
kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.
178. 4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan
menbran kapiler-alveolus.
179. Tujuan /kriteria  evaluasi:
180. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
dapat mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi dekuat pada jaringan ditunjukkan
oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan., berpartisipasi
dalam program pengobatan dalam batas kemampuan/situasi.
181. Intervensi :
182. Pantau bunyi nafas, catat krekles
183. Rasional : menyatakan adnya kongesti paru/pengumpulan secret  menunjukkan
kebutuhan untuk intervensi lanjut.
184. Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.
185. Rasional : membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.
186. Dorong perubahan posisi.
187. Rasional : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.
188. Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri.
189. Rasional : Hipoksemia dapat terjadi berat selama edema paru.
190. Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi
191. 5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah
baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.
192. Tujuan/kriteria  evaluasi:
193. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan pasien
dapat mempertahankan integritas kulit,  mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah
kerusakan kulit.
194. Intervensi:
195. Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area sirkulasinya
terganggu/pigmentasi atau kegemukan/kurus.
196. Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi fisik dan
gangguan status nutrisi.
197. Pijat area kemerahan atau yang memutih
198. Rasional : meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan.
199. Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak pasif/aktif.
200. Rasional : Memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu aliran darah.
201. Berikan perawtan kulit, minimalkan dengan kelembaban/ekskresi.
202. Rasional : Terlalu kering atau lembab merusak kulit/mempercepat  kerusakan.
203. Hindari obat intramuskuler
204. Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbsi obat
dan predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya infeksi..
205. 6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program
pengobatan berhubungan dengan  kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang
hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal, ditandai dengan : Pertanyaan masalah/kesalahan
persepsi, terulangnya episode GJK yang dapat dicegah.
206. Tujuan/kriteria  evaluasi:
207. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan klien
dapat:
208. Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan episode berulang dan
mencegah komplikasi.
209. Mengidentifikasi stress pribadi/faktor resiko dan beberapa teknik untuk
menangani.
210. Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu.
211. Intervensi:
212. Diskusikan fungsi jantung normal

213. Rasional : Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan
pada program pengobatan.
214. Kuatkan rasional pengobatan.
215. Rasional : Klien percaya bahwa perubahan program pasca pulang dibolehkan bila
merasa baik dan bebas gejala atau merasa lebih sehat yang dapat meningkatkan resiko
eksaserbasi gejala.
216. Anjurkan makanan diet pada pagi hari.
217. Rasional : Memberikan waktu adequate untuk efek obat sebelum waktu tidur
untuk mencegah/membatasi menghentikan tidur.
218. Rujuk pada sumber di masyarakat/kelompok pendukung suatu indikasi
219. Rasional : dapat menambahkan bantuan dengan pemantauan
sendiri/penatalaksanaan dirumah
220. H. Evaluasi
221. Pasien dapat melakukan aktifitas tanpa disertai gejala gagal jantung seperti  rasa
nyeri pada dada.
222. Pasien dapat berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan
diri sendiri,  Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh
menurunnya kelemahan dan kelelahan.
223. Tidak adanaya edema pada bagian tubuh pasien serta dapat menyatakan
pemahaman tentang pembatasan cairan individual.
224. Pernapasan pasien terlihat normal serta tidak adanya tanda-tanda sesak nafas.
225. Tidak adanya keruasakan integritas kulit pada tubuh pasien.
226. Pengetahuan klien tentang penyakitnya meningkat dan dapat melakukan
perubahan perilaku yang benar tentang pencegahan penyakitnya.
227. DAFTAR PUSTAKA
228. Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK
Padjajaran Bandung, September 2005, Hal. 443 – 450
229. Doenges Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3, Penerbit Buku
Kedikteran EGC, Tahun 2002, Hal ; 52 – 64 & 240 – 249.
230. Gallo & Hudak,  Keperawatan Kritis, edisi VI, 2000, EGC, Jakarta
231. Junadi P, Atiek S, Husna A, Kapita selekta  Kedokteran (Efusi Pleura), Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 2001, Hal.206 – 208
232. Nursalam. M. Nurs, Managemen keperawatan ; aplikasi dalam  praktik
keperawatan professional, 2002, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
233. Russel C Swanburg, Pengantar keperawatan, 2000, ECG, Jakarta.
234. Wilson Lorraine M, Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Buku
2,  Edisi 4, Tahun 2003, Hal ; 704 – 705 & 753 – 763.
235.

236. BAB IV
PENUTUP
4.1Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita ketahui, bahwa penyakit dekompensasi kordis masih
merupakan masalah yang memiliki tingkat mortalitas yang tinggi terutama pada bayi dan
anak, jika tidak ditangani dengan baik.
Gagal jantung adalah kelainan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan akibat dari
meningkatnya beban awal atau beban akhir atau menurunnya kontraktilitas miokard.
Penanganan dari gagal jantung memerlukan perhitungan serta pertimbangan yang tepat
agar tidak memperburuk keadaan jantung dari penderita. Selain itu edukasi mengenai
gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan dan
dasar pengobatan sangatlah penting terutama bagi orang tua dan keluarga pasien agar
dapat membantu memaksimalkan proses penyembuhan dan menurunkan angka
mortalitas. Istirahat serta rehabilitasi, pola diet, kontrol asupan garam, air, monitor berat
badan adalah cara–cara yang praktis untuk menghambat progresifitas dari penyakit ini.
237. 4.2Saran
Saran sesuai dengan masalah yang telah disimpulkan oleh penulis, pada akhir makalah
penulis memberikan saran bahwa untuk penaggulangan penyakit decompensatio cordis,
masyarakat harus mengurangi kebiasaan merokok, pengurangan makanan berkolesterol
tinggi, makanan berlebih yang menyebabkan obesitas, perbanyak makan sayur dan buah,
kurangi stress dan lainnya yang telah tertulis dalam makalah guna memperkecil resiko
decompensatio cordis.

238. DAFTAR PUSTAKA


http://khakarangga.blogspot.com/2013/05/laporan-pendahuluan-pada-
decompensatio.html
http://download-askep-askeb.blogspot.com/2013/05/askep-pada-klien-dengan-
decompensasi.html
Hendra, Arjatmo. 1996. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM JILID I. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
239.  
240.
Tindakan
o Pertahankan pasien untuk tirah baring
o Ukur parameter hemodinamik
o Pantau EKG terutama frekwensi dan irama.
o Pantau bunyi jantung S-3 dan S-4
o Periksa BGA dan saO2
o Pertahankan akses IV
o Batasi Natrium dan air
o Kolaborasi :
 ISDN 3 X1 tab
 Spironelaton 50 –0-0

Rasional

213.
1. Mengurangi beban jantung
2. Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui PCWP,
CVP sebagai indikator peningkatan beban kerja jantung.
3. Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat mempengaruhi
curah jantung.
4. Untuk mengetahui tingkat gangguan pengisisna sistole ataupun diastole.
5. Untuk mengetahui perfusi jaringan di perifer.
6. Untuk maintenance jika sewaktu terjadi kegawatan vaskuler.
7. Mencegah peningkatan beban jantung
8. Meningkatkan perfisu ke jaringan
9. Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat
menyebabkan timbulnya kontraksi otot jantung.

Anda mungkin juga menyukai