Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN STROKE NON-HEMORAGIK

Oleh :

Ni Putu Ayu Mitha Pratama Dewi

18E10008

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

TAHUN 2021
A. Tinjauan Teori Kasus
1. Definisi
Stroke non hemoragik merupakan keadaan sementara atau temporer dari disfungsi
neurologik yang dimanifestasikan oleh kehilangan fungsi motorik, sesorik atau
visual secara tiba-tiba. Stroke iskemik atau stroke non hemoragik terjadi akibat
obstruksi atau bekuan (thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak
atau pembuluh organ distal (Price & Wilson, 2006). Tidak terjadi perdarahan
namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul
edema sekunder (Wijaya & Putri, 2013).
2. Klasifikasi
a. Stroke non hemoragik berdasarkan perjalanan klinis, yaitu :
1) TIA (Transient Ischemic Attack)
Pada TIA gejala neurologis timbul dan menghilang kurang dari 24 jam.
Disebabkan oleh gangguan akut fungsi fokal serebral, emboli maupun
trombosis.
2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Gejala neurologis pada RIND menghilang lebih dari 24 jam namun kurang
dari 21 hari.
3) Stroke in Evolution
Stroke yang sedang berjalan dan semakin parah dari waktu ke waktu.
4) Completed Stroke
Kelainan neurologisnya bersifat menetap dan tidak berkembang lagi. Stroke
non hemoragik terjadi akibat penutupan aliran darah ke sebagian otak
tertentu, maka terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemik.
Perubahan ini dimulai dari tingkat seluler berupa perubahan fungsi dan
bentuk sel yang diikuti dengan kerusakan fungsi dan integritas susunan sel
yang selanjutnya terjadi kematian neuron.
b. Stroke non hemoragik berdasarkan lokasi penggumpalan, yaitu:
1) Stroke Non Hemoragik Embolik
Pada tipe ini embolik tidak terjadi pada pembuluh darah otak, melainkan di
tempat lain seperti di jantung dan sistem vaskuler sistemik. Embolisasi
kardiogenik dapat terjadi pada penyakit jantung dengan shunt yang
menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau ventrikel.
Penyakit jantung rheumatoid akut 9 atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis, fibrilasi atrium, infark kordis akut dan
embolus yang berasal dari vena pulmonalis. Kelainan pada jantung ini
menyebabkan curah jantung berkurang dan serangan biasanya muncul disaat
penderita tengah beraktivitas fisik seperti berolahraga.
2) Stroke Non Hemoragik Trombus
Terjadi karena adanya penggumpalan pembuluh darah ke otak. Dapat dibagi
menjadi stroke pembuluh darah besar (termasuk sistem arteri karotis)
merupakan 70% kasus stroke non hemoragik trombus dan stroke pembuluh
darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Trombosis
pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran darah terhalang, biasanya ini
terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit atherosklerosis.
3. Patofisiologi
a. Etiologi
Penyebab stroke non hemoragik disebabkan oleh faktor yaitu hipertensi,
merokok, peningkatan kolesterol, dan obesitas (Muttaqin, 2014).
1) Peningkatan kolesterol
Peningkatan kolesterol tubuh dapat menyebabkan aterosklerosis dan
terbentuknya thrombus sehingga aliran darah menjadi lambat untuk
menuju ke otak, kemudian hal itu dapat menyebabkan perfusi otak
menurun.
2) Obesitas
Obesitas atau kegemukan merupakan seseorang yang memiliki berat
badan berlebih dengan IMT lebih besar daripada 27,8 kg/m².
3) Merokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin
sehingga memungkinkan penumpukan aterosklerosis dan kemudian
berakibat pada stroke.
b. Proses Terjadi
Stroke non hemoragik terjadi karena sumbatan yang diakibatkan oleh bekuan
di dalam arteri besar pada sirkulasi sereberum, sumbatan atau obstruksi ini
dapat disebabkan oleh emboli maupun thrombus (Robbins, 2007). Thrombus
terbentuk akibat plak dari arteosklerosis sehingga sering kali terjadi
penyumbatan pasokan darah ke organ di tempat terjadinya thrombosis.
Aterosklerosis merupakan insiator utama thrombosis yang berikatan dengan
kehilangan endotel dan aliran vascular abnormal, selain itu akan menimbulkan
obstruksi (Robbins, 2007). Potonganpotongan thrombus terutama thrombus
kecil yang biasanya disebut dengan emboli akan lepas dan berjalan mengikuti
aliran darah (Ganong, 2012). Trombus dan emboli di dalam pembuluh darah
akan terlepas dan terbawa hingga terperangkap dalam pembuluh darah distal,
sehingga hal itu menyebabkan aliran darah menuju ke otak menjadi berkurang.
Sel otak yang kekurangan oksigen dan glukosa dapat menyebabkan asidosis,
akibat asidosis natrium, klorida dan air masuk ke dalam sel otak dan kalium
meninggalkan sel otak. Hal tersebut dapat mengakibatkan edema setempat.
Kalsium akan masuk dan memicu serangkaian radikal bebas, kemudian terjadi
kerusakan membrane sel dan tubuh mengalami gangguan neuromuscular
(Esther, 2010).
c. Manifestasi Klinis
Menurut Indrawati, Sari, & Dewi (2016), gejala dan tanda stroke sering
muncul secara tiba-tiba dan cepat. Oleh karena itu penting mengenali tanda-
tanda atau gejala stroke. Beberapa gejala stroke antara lain sebagai berikut.
1) Nyeri kepala hebat secara tiba-tiba
2) Pusing, yakni merasa benda-benda disekitarnya berputar atau merasa
goyang bila bergerak atau biasanya disertai mual dan muntah
3) Bingung, terjadi gangguan orientasi ruang, waktu atau personal
4) Pengelihatan kabur atau ketajamanpengelihatan menurun, bisa pada salah
satu mata ataupun kedua mata
5) Kesulitan bicara secara tiba-tiba, mulut terlihat tertarik ke satu sisi atau
“perot”
6) Kehilangan keseimbangan, limbung, atau jatuh g. Rasa kebas, yakni mati
rasa, atau kesemutan pada satu sisi tubuh
7) Kelemahan otot-otot pada satu sisi tubuh.

Berdasarkan gejala dan tanda serta waktu terjadinya serangan, dapat


diperkirakan letak kerusakan jaringan otak serta jenis stroke yang menyerang
yakni :

1) Kesemutan atau kelemahan otot pada sisi kanan tubuh menunjukkan


terjadinya gangguan pada otak belahan kiri.
2) Kehilangan keseimbangan menunjukkan gangguan terjadi di pusat
keseimbangan, yakni antara lain daerah otak kecil (cerrebellum). Serangan
stroke yang terjadi saat penderita sedang istirahat atau tidur umumnya
adalah stroke iskemik. Gejala munculnya secara bertahap dan kesadaran
umum baik, kecuali iskemiknya terjadi karena sumbatan embolus yang
berasal dari jantung maka gejala muncul mendadak dan sering disertai nyeri
kepala.
d. Komplikasi
1) Berhubungan dengan imobilisasi : infeksi perpnafasan, nyeri pada daerah
tertekan dan konstipasi.
2) Berhubungan dengan paralise : nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas,
terjatuh.
3) Berhubungan dengan kerusakan otak : epilepsy, sakit kepala.
4) Hidrosefalus : Menumpuknya cairan di dalam rongga jauh di dalam otak.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Jenis Pemeriksaan Diagnostik
Pencitraan otak sangat penting untuk mengkonfirmasi diagnosis stroke non
hemoragik. Non contrast computed tomography (CT) scanning adalah
pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk evaluasi pasien dengan
stroke akut yang jelas. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk
menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan
adanya kelainan lain yang gejalanya mirip dengan stroke (hematoma,
neoplasma, abses). Kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset),
CT Scan biasanya tidak sensitif mengidentifikasi infark serebri karena
terlihat normal pada >50% pasien, tetapi cukup sensitif untuk
mengidentifikasi perdarahan intrakranial akut dan/atau lesi lain yang
merupakan kriteria eksklusi untuk pemberian terapi trombolitik. Teknik-
teknik pencitraan berikut ini juga sering digunakan:
1) CT Angiografi
2) CT Scan Perfusion
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pungsi lumbal terkadang
diperlukan untuk menyingkirkan meningitis atau perdarahan
subarachnoid ketika CT Scan negatif tetapi kecurigaan klinis tetap
menjadi acuan.
b. Parameter Yang Diperiksa
1) Kadar Glukosa Darah : untuk mendeteksi hipoglikemi maupun
hiperglikemi, karena pada kedua keadaan ini dapat dijumpai gejala
neurologis.
2) Elektrolit : untuk mendeteksi adanya gangguan pada elektrolit baik
untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat maupun pada magnesium
(Setyopranoto, 2011).
3) Analisa Gas Darah : analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk
mendeteksi asidosis metabolik.
4) Hematologi Lengkap : dapat diperoleh data tentang kadar hemoglobin,
nilai hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit serta morfologi
sel darah.
5) Kadar ureum
6) Kreatinin
7) Enzim Jantung
8) Prothrombin Time
9) Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) : digunakan untuk
menilai aktivasi koagulasi serta monitoring terapi.
c. Pemeriksaan Saraf Kranial
1) Saraf 1 (olfaktorius)
Teknik pemeriksaan dimulai dengan mata klien ditutup dan pada saat
yang sama satu lubang hidung ditutup, klien diminta membedakan zat
aromatis lemah seperti vanili, cologne dan cengkeh (Mutaqin, 2011).
2) Saraf II (optikus)
Pemeriksaan saraf optikus meliputi tes ketajaman penglihatan, tes lapang
pandang dan tes fundus (Mutaqin, 2011).
3) Saraf III (okulomotor), IV (troklearis), VI (abdusen)
Pemeriksaan saraf okulomotor, troklearis dan abdusen meliputi
pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil, observasi bentuk dan ukuran pupil,
perbandingan pupil kanan dan kiri, pemeriksaan refleks pupil,
pemeriksaan gerakan bolamata volunter dan involunter (Mutaqin, 2011).
4) Saraf V (trigeminus)
Pemeriksaan fungsi saraf trigeminus meliputi pemeriksaan fungsi
motorik saraf trigeminus, pemeriksaan fungsi saraf sensorik trigeminus
dan pemeriksaan refleks trigeminal (Mutaqin, 2011).
5) Saraf VII
Teknik pemeriksaan saraf fasialis adalah dengan menginspeksi adanya
asimetri wajah, kemudian lakukan tes kekuatan otot dengan meminta
klien memandang keatas dan mengerutkan dahi, selanjutnya klien
disuruh menutup kedua matanya dengan kuat dan bandingkan seberapa
dalam bulu mata terbenam dan kemudian mencoba memaksa kedua mata
klien untuk terbuka (Mutaqin, 2011).
6) Saraf VIII (vestibulokoklearis/saraf akustikus)
Perawat dapat memeriksa fungsi vestibular dimulai dengan mengkaji
adanya keluhan pusing, gangguan pendengaran. Pemeriksaan vestibular
dapat dengan pemeriksaan pendengaran dengan garputala (Mutaqin,
2011).
7) Saraf IX dan X (glosofaringeus dan vagus)
Langkah pertama evaluasi saraf glosofaringeus dan vagus adalah
pemeriksaan palatum mole. Palatum mole harus simetris dan tidak boleh
miring kesatu sisi. Kalau klien mengucapkan “ah”, palatum mole harus
terangkat secara simetris. Reflek menelan diperiksa dengan
memperhatikan reaksi wajah klien waktu minum segelas air (Mutaqin,
2011).
8) Saraf XI (asesorius)
Fungsi saraf asesorius dapat dinilai dengan memperhatikan adanya atrofi
sternokleidomastoideus dan trapezius dan dengan menilai kekuatan otot
tersebut. Untuk menguji kekuatan otot sternokleidomastoideus, klien
diminta untuk memutar kepala ke arah satu bahu dan berusaha melawan
usaha pemeriksa untuk menggerakkan kepala ke arah bahu yang
berlawanan. Kekuatan otot sternokleidomastoideus pada sisi yang
berlawanan dapat dievaluasi dengan mengulang tes ini pada sisi yang
berlawanan (Mutaqin, 2011).
9) Saraf XII (hipoglosus)
Pada pemeriksaan klien disuruh menjulurkan lidahnya yang mana yang
akan berdeviasi kearah sisi yang lemah (terkena) jika terdapat lesi upper
atau lower motor neuron unilateral. Lessi upper motor neuron dari saraf
hipoglosus biasanya bilateral dan menyebabkan imobil dan kecil.
Kombinasi lesi upper motor neuron bilateral dari saraf IX,X, XII disebut
kelumpuhan pseudobulber. Lesi lower motor neuron dari saraf XII
menyebabkan fasikulasi atrofi dan kelumpuhan serta disartria jika
lesinya bilateral (Mutaqin, 2011).
5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
Pasien stroke dengan kelemahan akan mengalami keterbatasan
mobilisasi. Pasien yang mengalami keterbatasan dalam mobilisasi akan
mengalami keterbatasan beberapa atau semua untuk melakukan rentang
gerak dengan mandiri. Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi
seseorang aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum, ketidakmampuan ada
dua macam yaitu ketidakmampuan primer dan ketidakmampuan sekunder.
Ketidakmampuan primer disebabkan oleh penyakit atau trauma (misal :
paralisis gangguan atau cedera pada medula spinalis), sedangkan
ketidakmampuan sekunder terjadi akibat dampak dari ketidakmampuan
primer (misal: kelemahan otot dan tirah baring) (Junaidi. 2011).
Terapi latihan adalah salah satu cara mempercepat pemulihan pasien
dari cedera dan penyakit yang dalam penatalaksanaannya menggunakan
gerakan aktif maupun pasif. Gerak pasif adalah gerakan yang digerakkan
oleh orang lain dan gerak aktif adalah gerak yang dihasilkan oleh
kontraksi otot sendiri. Terapi aktif yang dapat dilakukan (Irfan, 2010)
salah satunya adalah menggenggam bola karet bergerigi. Dalam
kehidupan sehari-hari, bahwa seorang penderita stroke yang diminta
latihan meremas-remas bola, baik itu bola karet berduri, bola Golf, bola
Pingpong sampai bola Tenis. Bahkan mereka begitu telaten dengan
membawa bola tersebut kemanapun mereka pergi. Namun banyak juga
penderita Stroke yang justru mengalami kekakuan pada jari jari tangan
yang dilatih dengan meremas-remas bola. Salah satu terapi gerak aktif
yang dapat dilakukan dengan cara latihan menggenggam bola. Untuk
membantu pemulihan bagian lengan atau bagian ekstremitas atas
diperlukan teknik untuk merangsang tangan seperti dengan latihan
spherical grip yang merupakan latihan fungsional tangan dengan cara
menggenggam sebuah benda berbentuk bulat seperti bola pada telapak
tangan.
b. Penatalaksanaan Operatif
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebri dengan :
1) Endoseterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu
dengan membuka arteri karotis dileher
2) Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh klien TIA
3) Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4) Ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma
(Mutaqin, 2011).
B. Tinjauan Teori Askep Gawat Darurat Stroke Non-Hemoragik
1. Pengkajian
a. Prinsip ABCDE
1) Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk.
2) Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi
/aspirasi.
3) Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
4) Disability
Adanya penurunan kesadaran, biasanya tingkat kesadaran klien stroke
berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.
5) Exposure
Rambut dan kulit kepala tampak bersih tidak terdapat hematoma, tidak
terdapat luka pada tubuh pasien.
b. Prinsip B1-B6
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat
kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos metris,
pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak
didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan
darah >200 mmHg).

3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi
otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain)
merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian
pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan
kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal
hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi
intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas
menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuhh
dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia
(paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuhh, adalah tanda yang
lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga
dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/
hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas
dan istirahat.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis.
b. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan sistem saraf pusat
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hemiparesis/ hemiplegia, tidak
ada mobilisasi fisik, gangguan sirkulasi, gangguan sensasi.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Prioritas diagnosa keperawatan
1) Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis.
2) Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan sistem saraf
pusat
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hemiparesis/ hemiplegia,
tidak ada mobilisasi fisik, gangguan sirkulasi, gangguan sensasi.
b. Rencana asuhan keperawatan
1) Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis.
a) Rencana tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8
jam, pasien menunjukkan penurunan kerusakan memori.
b) Kriteria hasil :
(1) Mampu untuk melakukan proses mental yang kompleks
(2) Orientasi kognitif
(3) Kondisi neurologis : kesadaran
(4) Kondisi neurologis : kemampuan sistem saraf perifer dan sistem
saraf pusat untuk menerima, memproses, dan memberi respon
terhadap stimuli internal dan eksterna.
c) Rencana Tindakan
(1) Memantau ukuran pupil, bentuk, simetri, dan reaktivitas.
Rasional : Masalah pada pupil menandakan adanya gangguan pada
nervus III.
(2) Memantau tingkat kesadaran.
Rasional : Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan GCS
(3) Memantau tingkat orientasi.
Rasional : Orientasi yang baik menandakan bahwa pasien tidak ada
masalah kognitif.
(4) Memonitor status pernapasan
Rasional : Status pernapasan menginditifikasi terjadi hipoksia otak.
2) Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan sistem saraf
pusat
a) Rencana tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8
jam, hambatan komunikasi verbal pasien mengalami penurunan.
b) Kriteria hasil :
(1) Komunikasi : penerimaan, interpretasi dan ekspresi pesan lisan,
tulisan, dan non verbal meningkat.
(2) Komunikasi ekspresif (kesulitan berbicara) : ekspresi pesan verbal
dan atau non verbal yang bermakna.
(3) Pengolahan informasi : pasien mampu untuk memperoleh,
mengatur, dan menggunakan informasi.
c) Rencana Tindakan
(1) Konsultasikan dengan dokter kebutuhan terapi wicara.
Rasional : Terapi wicara terbukti mampu mengembalikan cara
bicara pasien menjadi normal.
(2) Dorong pasien untuk berkomunikasi secara perlahan dan untuk
mengulangi permintaan.
Rasional : Untuk melatih komunikasi sehingga komunikasi menjadi
lancar.
(3)Ajarkan bicara dari esophagus, jika diperlukan.
Rasional : Memodifikasi komunikasi sehingga memudahkan pasien
untuk berkomunikasi.
(4)Anjurkan kunjungan keluarga secara teratur
Rasional : Kunjungan bertujuan agar memberikan stimulus
komunikasi.
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot

a) Rencana tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama


1x 8 jam gangguan mobilitas fisik teratasi.
b) Kriteria hasil :

(1) Pasien meningkat dalam aktivitas fisik


(2) Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
(3) Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan
dan kemampuan berpindah
(4) Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi
(walker)

c) Rencana Tindakan

(1) Monitoring tanda-tanda vital sebelum/sesudah latihan dan


lihat respon pasien saat latihan.
Rasional : Mengidentifikasi kelemahan/ kekuatan dan dapat
memberikan informasi bagi pemulihan.
(2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi
sesuai dengan kebutuhan.
Rasional : Berdasarkan penelitian intervensi untuk
peningkatan mobilitas ditentukan sebuah regimen dari
aktivitas fisik regular mencakup latihan aerobik dan aktivitas
penguatan otot adalah bermanfaat untuk pasien dengan
kerusakan mobilitas fisik (Yeom, Keller, & Fleury, 2009)
(3) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dan ROM
Rasional : Mengkaji kualitas mobilisasi pasien, kemampuan
berjalan dan berpindah dan kemampuan lainnya (Kneafsey,
2007)
(4) Latih pasien dalam pemenuhan ADLs secara mandiri sesuai
kemampuan.
Rasional : Membantu peningkatan kemampuan mobilisasi
pasien
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hemiparesis/
hemiplegia, tidak ada mobilisasi fisik, gangguan sirkulasi, gangguan
sensasi.
a) Rencana tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x30 menit, diharapkan integritas kulit pasien mengalami
perbaikan
b) Kriteria hasil :
(1) Luka pasien sudah tertutup dengan baik
(2) Pasien tidak mengeluhkan nyeri pada luka
(3) Kerusakan jaringan tertangani
c) Rencana Tindakan
(1) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar.
Rasional : Pakaian yang longgar berguna untuk mengurangi
rasa panas pada tubuh sehingga pasien tidak mudah
berkeringat.
(2) Hindari kerutan pada tempat tidur.
Rasional : Kerutan pada tempar tidur menyebabkan lecet pada
bagian kulit yang tertekan.
(3) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali.
Rasional :Ubah posisi pasien berguna agar kulit pasien tidak
lecet sehingga pasien tidak mengalami dekubitus.
(4) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien.
Rasional : Aktivitas dan mobilisasi pasien yang berat bisa
menyebabkan kerusakan kulit.

4. Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan dalam bentuk intervensi keperawatan guna
membantu pasien mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asmadi, 2008).
Implementasi keperawatan terdiri dari beberapa komponen:

a. Tanggal dan waktu dilakukan implementasi keperawatan


b. Diagnosis keperawatan

c. Tindakan keperawatan berdasarkan intervensi keperawatan

d. Tanda tangan perawat pelaksana


5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian terakhir keperawatan yang didasarkan
pada tujuan keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan
keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dan kriteria hasil yang telah
ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi ada individu (Nursalam, 2008). Evaluasi
keperawatan dilakukan dalam bentuk pendekatan SOAP. Evaluasi keperawatan
terdiri dari beberapa komponen yaitu:

a. Tanggal dan waktu dilakukan evaluasi keperawatan

b. Diagnosis keperawatan

c. Evaluasi keperawatan

Anda mungkin juga menyukai