Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT KRONIS DAN TERMINAL

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Elektif/Konseling

OLEH :
Kelompok 1
I Gusti Ayu Agung Wira Roheni (NIM. 2214201135)
Aloysia Juniarti Ritassi (NIM. 2214201137)
I Gede Adi Aprileo Suardika (NIM. 2214201146)
Eusebio Aparacio Freitas de Fatima Guteres (NIM. 2214201150)

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN (ITEKES BALI)
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
PENYAKIT KRONIS DAN TERMINAL

A. Pengertian Penyakit Kronis Dan Terminal


Penyakit kronis merupakan masalah kesehatan serius yang memerlukan penanganan jangka
Panjang. Hal ini terjadi karena faktor genetik, fisiologis, lingkungan dan perilaku jangka
panjang yang dapat menimbulkan masalah fisik dan psikologis bagi penderita dan
keluarganya (Kusnadi et al.,2023).
Penyakit terminal merupakan penyakit progresif, yang menuju ke arah kematian. Ada banyak
sekali penyakit yang dapat mengarah pada kondisi terminal contohnya seperti penyakit
kanker, penyakit paru obstruktif kronis, gagal jantung, HIV/AIDS, dan lain sebagainya
(Ahsani, 2020).
B. Klasifikasi
1. Penyakit Kronis
Penyakit kronis diklasifikasikan menjadi 2 yaitu : penyakit menular (communicable
disease) yang menjadi trend issue di negara berkembang adalah penyakit tuberkulosis, dan
non communicable disease adalah penyakit degeneratif yang berkaitan dengan gaya hidup
seperti hipertensi, stroke, gagal jantung, gagal ginjal maupun diabetes mellitus tipe 2
(Kusnadi et al., 2023).
2. Penyakit Terminal
a. Penyakit Kanker/ CA
b. Penyakit Infeksi
c. Congestif Renal Failure (CRF)
d. Mati Batang Otak
e. Stroke Multiple Sklerosis
f. Akibat Kecelakaan Fatal
g. AIDS
C. Kriteria Penyakit
a. Penyakit Kronis

2
Proses pengobatan penyakit yang berlangsung lama pada pasien dengan penyakit kronis
menyebabkan pasien dengan penyakit kronis memiliki beberapa masalah psikologis
berupa perasaan bosan, putus asa, tidak berdaya, depresi, dan stres.
b. Penyakit Terminal
1) Penyakit tidak dapat disembuhkan.
2) Stase akhir kehidupan dan penyakit mengarah pada kematian.
3) Prognosis jelek, kemungkinan untuk sembuh sangat kecil yang artinya kemungkinan
terjadinya kematian tinggi.
4) Bersifat progresif yaitu peningkatan menjadi parah sangat cepat dan tidak ada
kemajuan untuk bisa sembuh kembali.
5) Tubuh sudah tidak cukup untuk menerima obat.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup,
merespon terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu
terjadi. Perhatian utama pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi
lebih pada kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang
menyakitkan atau tekanan psikologis yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan,
kehilangan orang yang dicintai. Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian
sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Atau sebagian beranggapan bahwa
kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya dengan
orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan,
dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.
D. Fase Respon Terhadap Penyakit
Terdapat 4 fase yaitu :
1. Fase Prediagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko penyakit.
2. Fase Akut; berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian keputusasaan,
termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.
3. Fase Kronis, pada fase ini pasien berjuang dengan penyakit dan pengobatannya.
4. Fase Terminal, dalam kondisi ini kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi pasti
terjadi. Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik,
psikologis, maupun sosial-spiritual.

3
Gambaran masalah yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain :
1. Masalah Oksigenisasi ; respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne stokes,
sirkulasi perifer menurun, perubahan mental; agitasi-gelisah, tekanan darah menurun,
hypoksia, akumulasi secret, nadi ireguler.
2. Masalah Eliminasi; Konstipasi, medikasi dan imobilitas memperlambat peristaltik, kurang
asupan makanan berserat juga mempengaruhi mempengaruhi konstipasi, inkontinensia
fekal bisa terjadi karena pengobatan atau kondisi penyakit(misalnya Ca Colon)
3. Masalah Nutrisi dan Cairan; asupan makanan dan cairan menurun, peristaltik menurun,
distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan
membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.
4. Masalah suhu; ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
5. Masalah Sensori ; Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati
kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun.
6. Masalah nyeri ; ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra vena,
klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kenyamanan.
7. Masalah Kulit dan Mobilitas ; seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah pada
kulit masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang
sering.
8. Masalah Psikologis ; klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak respon
emosi, perasaaan marah dan putus emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali
ditunjukan. Masalah psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan
harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi / barrier komunikasi.
9. Perubahan Sosial-Spiritual, klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi
terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai
kondisi peredaan terhadap penderitaan.
E. Penatalaksanaan
1. Bimbingan Dan Konseling untuk pasien dengan penyakit kronis

4
Konseling yang digunakan untuk pasien dengan penyakit kronis yaitu konseling berpusat
pada klien (client centered ).
a. Defenisi konseling berpusat pada klien
Carl. R. Rogers mengembangkan terapi yang berpusat pada klien (client centered)
sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari
psikoanalisis. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada
kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.
Menurut Carl R. Rogers (dalam Lubis, 2011:155) pendekatan client-centered
memandang kepribadian manusia secara positif. Rogers bahkan menekankan bahwa
setiap individu memiliki kemampuan menuju keadaan psikologis yang sehat secara
sadar dan terarah dari dalam dirinya.
b. Tujuan konseling berpusat pada klien
1) Menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk mengeksplorasi diri sehingga
dapat mengenal hambatan pertumbuhannya .
2) Membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan, kepercayaan yang lebih
besar kepada dirinya, keinginan untuk menjadi pribadi yang mandiri dan
meningkatkan spontanitas hidupnya.
3) Menyediakan iklim yang aman dan percaya dalam pengaturan konseling sedemikian
sehingga konseli dengan menggunakan hubungan konseling untuk self-exploration,
menjadi sadar akan blok/hambatan ke pertumbuhan.
c. Teknik konseling berpusat pada klien
Client centered sebagai sebuah teknik dalam konseling, merupakan suatu cara yang
menekankan pada hal filosofis dan sikap konselor, serta mengutamakan hubungan
konseling ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Implementasi teknik konseling
didasari oleh paham filsafat dan sikap konselor tersebut. Karena itu teknik konseling
Rogers berkisar antara lain pada cara-cara penerimaan pernyataan dan komunikasi,
menghargai orang lain dan memahami klien. Karena itu dalam teknik dapat digunakan
sifat-sifat konselor sebagai berikut:
1) Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan segala
masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.

5
2) Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai antara perkataan
dengan perbuatan serta konsisten.
3) Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat memahami secara empati
dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam diri klien itu.
4) Non-judgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi
konselor selalu objektif.
d. Proses konseling berpusat pada klien
Winkel dan Hastuti (2006) menambahkan terdapat lima fase proses konseling yang
meliputi:
1) Pembukaan, dimana diletakkan dasar bagi pengembangan hubungan antarpribadi
(working relationship) yang baik, yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan
terarah pada penyelesaian masalah.
2) Penjelasan masalah, dimana masing-masing konseli mengutarakan masalah yang
dihadapi berkaitan dengan masalah diskusi, sambil mengungkapkan fikiran dan
perasaaannya secara bebas.
3) Penggalian latar belakang masalah, dimana karena para konseli pada fase dua
biasanya belum menyajikan gambaran lengkap mengenai kedudukan masalah dalam
keseluruhan situasi hidup masing-masing, diperlukan penjelasan lebih mendetail dan
mendalam.
4) Penyelesaian masalah, diakukan berdasarkan apa yang telah digali dalam fase
analisis kasus, konselor dan para konseli membahas bagaimana persoalan dapat
diatasi.
5) Penutup, bilamana kelompok sudah siap untuk melaksanakan apa yang telah
diputuskan bersama. Proses konseling dapat diakhiri dan kelompok dapat dibubarkan
pada pertemuan terakhir.
2. Bimbingan dan Konseling untuk pasien dengan penyakit terminal
a. Konsep Bimbingan dan Konseling Pada Pasien Terminal
Perawat membantu klien untuk meraih kembali martabatnya. Hal-hal penting dalam
memberikan bimbingan dan konseling dalam perawatan pasien terminal yaitu :
1) Peningkatan kenyamanan

6
Ketakutan terhadap nyeri umum terjadi pada klien kanker. Pemberian kenyamanan
bagi klien terminal juga mencakup pengendalian gejala penyakit dan pemberian
terapi. Klien mungkin akan bergantung pada perawat dan keluarganya untuk
pemenuhan kebutuhan dasarnya, sehingga perawat bisa memberikan bimbingan dan
konseling bagi keluarga tentang bagaimana cara memberikan kenyamanan pada
klien.
2) Pemeliharaan Kemandirian
Tempat perawatan yang tepat untuk pasien terminal adalah perawatan intensif.
Pilihan lain adalah perawatan hospice yang memungkinkan perawatan komprehensif
di rumah. Perawat harus memberikan informasi tentang pilihan ini kepada keluarga
dan klien. Sebagian besar klien terminal ingin mandiri dalam melakukan aktifitasnya.
Mengizinkan pasien untuk melakukan tugas sederhana seperti mandi, makan,
membaca, akan meningkatkan martabat klien. Perawat tidak boleh memaksakan
partisipasi klien terutama jika ketidakmampuan secara fisik membuat partisipasi
tersebut menjadi sulit. Perawat bisa membeikan dorongan kepada keluarga untuk
membiarkan klien membuat keputusan.
3) Pencegahan Kesepian dan Isolasi
Untuk mencegah kespeian dan penyimpangan sensori, perawat mengintervensi untuk
meningkatkan kualitas lingkungan. Lingkungan harus diberi pencahayaan yang baik,
keterlibatan anggota keluarga, teman dekat dapat mencegah kesepian.
4) Peningkatan Ketenangan Spiritual
Peningkatan ketenangan spiritual mempunyai arti lebih besar dari sekedar meminta
rohaniwan. Ketika kematian mendekat, klien sering mencari ketenangan. Perawat
dan keluarga dapat membantu klien mengekspresikan nilai dan keyakinannya. Klien
terminal mungkin mencari untuk menemukan tujuan dan makna hidup sebelum
menyerahkan diri kepada kematian. Klien mungkin minta pengampunan baik dari
yang maha kuasa atau dari anggota keluarga. Selain kebutuhan spiritual ada juga
harapan dan cinta, cinta dapat diekspresikan dengan baik melalui perawatan yang
tulus dan penuh simpati dari perawat dan keluarga. Perawat dan keluarga
memberikan ketenangan spiritual dengan menggunakan ketrampilan komunikasi,
empati, berdoa dengan klien, membaca kitab suci atau mendengarkan musik.

7
5) Dukungan Untuk Keluarga yang Berduka
Anggota keluarga harus didukung melewati waktu menjelang ajal dan kematian dari
orang yang mereka cintai. Semua tindakan medis, peralatan yang digunakan pada
klien harus diberikan penjelasan, seperti alat bantu nafas atau alat pacu jantung.
Kemungkinan yang terjadi selama fase kritis pasien terminal harus dijelaskan pada
keluarga.
b. Prosedur Bimbingan dan Konseling Pada Pasien Terminal
Dalam memberikan bimbingan dan konseling kepada pasien terminal atau keluarganya,
harus ditetapkan tujuan bersama. Hal ini menjadi dasar untuk evaluasi tindakan
perawatan. Bimbingan yang diberikan harus berfokus pada peningkatan kenyamanan
dan perbaikan sisa kualitas hidup, hal ini berarti memberikan bimbingan pada aspek
perbaikan fisik, psikologis, sosial dan spiritual.
3. Pelaksanaan Perawatan Lanjutan di Rumah
a. Batasan perawatan lanjut di rumah
Penyakit terminal menempatkan tuntutan yang besar pada sumber sosial dan finansial.
Keluarga mungkin takut berkomunikasi dengan klien, banyak hal sulit yang dialami
keluarga untuk mengatasi kondisi anggota keluarganya yang mengalami penyakit
terminal. Hal ini mencakup lamanya periode menjelang ajal, gejala yang sulit dikontrol,
penampilan dan bau yang tidak menyenangkan, sumber koping yang terbatas, dan
buruknya hubungan dengan pemberi perawatan. Alternatif perawatan bisa dilaksanakan
di rumah, dikenal dengan perawatan hospice. Perawatan hospice adalah program
perawatan yang berpusat pada keluarga yang dirancang untuk membantu klien terminal
dapat hidup nyaman dan mempertahankan gaya hidup senormal mungkin sepanjang
proses menjelang ajal. Sebagian besar klien dalam program hospice mempunyai waktu
hidup 6 bulan atau kurang. Komponen perawatan Hospice, yaitu :
1) Perawatan di rumah yang terkoordinasi dengan pelayanan rawat jalan dibawah
administrasi Rumah Sakit.
2) Kontrol gejala ( fisik, fisiologis, sosio-spiritual)
3) Pelayanan yang diarahkan dokter.
4) Ketentuan tim perawatan interdisiplin ilmu yang terdiri dari dokter, perawat,
rohaniwan, pekerja sosial, dan konselor.

8
5) Pelayanan medis dan keperawatan tersedia sepanjang waktu.
6) Klien dan keluarga sebagai unit perawatan.
7) Tindak lanjut kehilangan karena kematian setelah kematian klien.
8) Penggunaan tenaga sukarela terlatih sebagai bagian dari tim.
9) Penerimaan kedalam program didasarkan pada kebutuhan perawatan kesehatan
ketimbang pada kemampuan untuk membayar.
Program hospice menekankan pengobatan paliatif yang mengontrol gejala ketimbang
pengobatan penyakit. Klien dan keluarga berpartisipasi dalam perawatan, perawatan
klien dikoordinasikan antara lingkungan rumah dan klien. Upaya diarahkan untuk tetap
merawat klien di rumah selama mungkin. Keluarga menjadi pemberi perawatan primer,
pemberian medikasi dan pengobatan, tim interdisiplin memberikan dukungan sumber
psikologis dan fisik yang diperlukan untuk mendukung keluarga.
b. Sistem rujukan
Dalam pelayanan rujukan, rujukan pasien harus dibuat oleh penanggungjawab
perawatan. Di luar negri Registered Nurse (RN) mempunyai kewenangan untuk
merujuk pasien ke sistem pelayanan yang lebih tinggi lagi. Dalam perawatan pasien di
rumah, sistem rujukan bisa dibuat, dimana perawatan klien oleh perawat home care
dibawah yurisdiksi Registered Nurse. RN membuat delegasi tugas-tugas perawatan
yang harus dilaksanakan oleh perawat pelaksana yang telah mempunyai izin dari
lembaga berwenang.
Prinsip delegasi rujukan :
1) Perawat pelaksana secara hukum bertanggungjawab langsung untuk merawat klien.
2) Perawat pelaksana bertanggungjawab untuk merujuk pasien, mengevaluasi asuhan
yang diberikan, bimbingan dan konseling pasien terminal.
3) Pemberian terapi intravena tergantung peraturan pemerintah setempat, ada yang
memberi kewenangan untuk melakukan terapi intravena oleh pelaksana perawat, ada
juga yang tidak.
4) Lembaga berwenang (Rumah Sakit, Dinas kesehatan) memberikan izin kepada
perawat pelaksana untuk merawat dan membuat rujukan berdasarkan standar asuhan
keperawatan.
c. Langkah perawatan lanjut di rumah

9
Perawatan lanjut di rumah ditujukan untuk memberikan perawatan fisik berupa
perawatan kebersihan diri, perawatan kulit, ambulasi, latihan mobilisasi, berpakaian,
kemampuan eliminasi dan lainnya. Selama perawatan perlu diperhatikan memberikan
lingkungan yang bersih, keamanan, kenyamanan dan lingkungan yang tenang. Inti dari
perawatan adalah harus bisa memberikan kenyamanan serta meningkatkan
kemandiriran, pencegahan kesepian dan isolasi serta peningkatan ketenangan spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

Ahsani, A. (2020). PERAN PERAWAT DALAM PEMBERIAN PALLIATIVE CARE UNTUK


MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP PASIEN TERMINAL.
https://doi.org/10.31219/osf.io/h7qgn
Baron, Robert, A., & Byrne. D. (2012). Psikologi Sosial jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Corey, Geral. (2015). Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi(dialih bahasakan oleh E.
Koswara). Bandung : PT. Refika Aditama.
Guyton, A. C., & Hall, J. (2010). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology (12th Edition
ed.). New York, USA: Elsevier.
Kusnadi, R. ., Hamid, A. Y. S. ., Susanti, H., & Hargiana, G. (2023). Studi Kasus: Psikoedukasi
Keluarga untuk mengurangi beban perawatan pada keluarga pasien penyakit kronik
dengan latar belakang budaya sunda. Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Husada: Health
Sciences Journal, 14(01), 1–8. https://doi.org/10.34305/jikbh.v14i01.700

10

Anda mungkin juga menyukai