Anda di halaman 1dari 34

Makalah Komunikasi Terapeutik Keperawatan

“komunikasi pada klien dengan kondisi khusus : penyakit


kronis, terminal, dan menjelang ajal”

Oleh kelompok 1
Wenni Mardiati (2111316008)
Betriance (2111316026)
Mardiana Fari Dani (2111316010)
Rahmadia Sari ( 2111316034)
Delvi Rosmita (2111316032)
Dora Maria (2111316035)
Fitrawati (2111316021)
Desmalinda Ali (2111316024)

INTAKE DIII KHUSUS KELAS KERJASAMA


RSUP DR.M.DJAMIL
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, TAHUN 2021
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.........................................................................................1
C. Manfaat ......................................................................................................2

BAB II KERANGKA TEORI


A. komunikasi klien dengan penyakit kronis...................................................3
B. Komunikasi Klien Terminal........................................................................3
C. Komunikasi Klien Menjelang Ajal...............................................................
D.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................12
B. Saran..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
       Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara
sadar, bertujuan dan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi
terapeutik mengarah pada bentuk komunikasi interpersonal.Suatu bentuk
pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang
didasarkan pada pencapaian kebutuhan dasar manusia. Dalam hal ini
asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien bersifat komprehensif,
ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat, baik dalam kondisi sehat dan
sakit yang mencakup seluruh kehidupan manusia. Sedangkan asuhan
yang diberikan berupa bantuian-bantuan kepada pasien karena adanya kelemahan
fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemampuan dan atau
kemauan dalam  melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari secara
mandiri. Maka kebutuhan pasien yang memiliki penyakit kronis tidak hanya
pemenuhan/pengobatani gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan
interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif atau palliative care.
1.2   Tujuan
1. Menjelaskan tentang pengertian penyakit kronis
2. Menjelaskan penyebab dari timbulnya penyakit kronis
3. Memberikan pemaparan secara jelas mengenai penyampaian berita buruk
terhadap pasien kronis.
4. Menjelaskan bagaimana berkomunikasi dengan penderita penyakit kronis
dengan benar.
5. Menjelaskan tentang pengertian menjelang ajal
6. Menjelaskan tentang elemen dan prinsip menjelang ajal
7. Menjelaskan tentang pengertian penyakit terminal
8. Menjelaskan tentang perawatan pasien penyakit terminal
9. Menjelaskan tentang komunikasi pada pasien penyakit terminal
1.3   Manfaat
1. Mampu menjelaskan tentang pengertian penyakit kronis
2. Mampu menjelaskan penyebab dari timbulnya penyakit kronis
3. Mampu memberikan pemaparan secara jelas mengenai penyampaian berita
buruk terhadap pasien kronis.
4. Mampu menjelaskan bagaimana berkomunikasi dengan penderita penyakit
kronis dengan benar.
5. Mampu menjelaskan tentang pengertian menjelang ajal
6. Mampu menjelaskan tentang elemen dan prinsip menjelang ajal
7. Mampu menjelaskan tentang pengertian penyakit terminal
8. Mampu menjelaskan tentang perawatan pasien penyakit terminal
9. Mampu menjelaskan tentang komunikasi pada pasien penyakit terminal
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 KOMUNIKASI KLIEN PENYAKIT KRONIS


2.1.1 Pengertian Penyakit Kronis
Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit berlangsung
lama sampai bertahun-tahun, bertambah berat, menetap dan sering kambuh.
(Purwaningsih dan Karbina, 2009)
Ketidakmampuan/ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa
segala tindakannya tidak akan mendapatkan hasil atau suatu keadaan dimana
individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatAn yang baru
dirasakan. (Purwaningsih dan Karbina, 2009).
Berdasarkan pengertian diatas kelompok menyimpulkan bahwa penyakit
kronik yang dialami oleh seorang pasien dengan jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan seorang klien mengalami ketidakmampuan contohnya saja kurang
dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan. Contoh :
penyakit diabetes militus, penyakit cord pulmonal deases, penyakit arthritis
2.1.2 Sifat penyakit kronik
Menurut Wristht Le (1987) mengatakan bahwa penyakit kronik
mempunyai beberapa sifat diantaranya adalah :
a.   Progresif
Penyakit kronik yang semakin lama semakin bertambah parah. Contoh
penyakit       jantung.
b.  Menetap
Setelah seseorang terserang penyakit, maka penyakit tersebut akan menetap
pada individu. Contoh penyakit diabetes mellitus.
c. Kambuh
Penyakit kronik yang dapat hilang timbul sewaktu-waktu  dengan kondisi
yang sama atau berbeda. Contoh penyakit arthritis
2.1.3 Dampak penyakit kronis terhadap klien
Dampak yang dapat ditimbulkan dari penyakit kronik terhadap klien
diantaranya (Purwaningsih dan kartina, 2009) adalah :
a. Dampak psikologis
Dampak ini dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, yaitu :
1. Klien menjadi pasif
2. Tergantung
3. Kekanak-kanakan
4. Merasa tidak nyaman
5. Bingung
6. Merasa menderita
b.   Dampak somatik
Dampak somatic adalah dampak yang ditimbulkan oleh tubuh karena
keadaan penyakitnya. Keluhan somatic sesuai dengan keadaan  penyakitnya.
Contoh : DM adanya Trias P
1. Dampak terhadap gangguan seksual
Merupakan akibat dari perubahan fungsi secara fisik (kerusakan organ)
dan perubahan secara psikologis (persepsi klien terhadap fungsi
seksual).
2. Dampak gangguan aktivitas
Dampak ini akan mempengaruhi hubungan sosial sehingga hubungan
social dapat terganggu baik secara total maupun sebagian.
2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit kronik
a. Persepsi klien terhadap situasi
b. Beratnya penyakit
c. Tersedianya support social
d. Temperamen dan kepribadian
e. Sikap dan tindakan lingkungan
f. Tersedianya fasilitas kesehatan
g. 5. Respon Klien Terhadap Penyakit Kronik
2.1.5 Prinsip Komunikasi Terapeutik Pada Klien Penyakit Kronik
Seseorang dengan penyakit kronis atau dengan penyakit terminal akan
mengalami rasa berduka dan kehilangan. Sebagai seorang perawat kita harus
mampu memahami hal tersebut. Komunikasi dengan klien penyakit terminal
dan kronis merupakan komunikasi yang tidak mudah. Perawat harus
memiliki pengethauan tentang penyakit yang mereka alami serta pengetahuan
tentang proses berduka dan kehilangan. Dalam berkomunikasi perawat
menggunakan konsep komunikasi terapeutik. Saat berkomunikasi dengan
klien dengan kondisi seperti itu bisa jadi akan timbul penolakan dari klien.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, perawat menggunakan komunikasi
terapetik. Membangun hubungan saling percaya dan caring dengan klien dan
keluarga melaui penggunaan komunikasi terapeutik membentuk dasar bagi
intervensi pelayanan paliatif (Mok dan Chiu, 2004 dikutip dari Potter dan
Perry 2010).
Dalam berkomunikasi, gunakan komunikasi terbuka dan jujur,
tunjukkan rasa empati. Dengarkan dengan baik, tetap berpikiran terbuka,
serta amati respon verbal an nonverbal klien dan keluarga. Saat
berkomunikasi mungkin saja klien akan menghindari topic pembicaraan,
diam, atau mungkin saja menolak untuk berbicara. Hal tersebut adalah respon
umum yang mungkin terjadi. Respon berduka yang normal seperti kesedihan,
mati rasa, penyangkalan,marah, membuat komunikasi menjadi sulit. Jika
klien memilih untuk tidak mendiskusikan penyakitnya saat ini, perawat harus
mengizinkan dan katakan bahwa klien bisa kapan saja mengungkapkannya.
Beberapa klien tidak akan mendiskusikan emosi karena alasan pribadi atau
budaya, dan klien lain ragu – ragu untuk mengungkapkan emosi mereka
karena orang lain akan meninggalkan mereka (Buckley dan Herth, 2004
dikutip dari potter dan perry 2010).
Memberi kebebasan klien memilih dan menghormati keputusannya
akan membuat hubungan terapeutik dengan klien berkembang. Terkadang
klienperlu mengatasi berduka mereka sendirian sebelum mendiskusikannya
dengan orang lain. Ketika klien ingin membicarakan tentang sesuatu, susun
kontrak waktu dan tempat yang tepat.

2.1.6 Reaksi Klien dan Keluarga Terhadap Penyakit Kronik


Penyakit kronik dan keadaan terminal dapat menimbulkan respon Bio-
Psiko-Sosial-Spritual ini akan meliputi respon kehilangan :
a. Kehilangan kesehatan
b. Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kesehatan dapat berupa klien
merasa takut , cemas dan pandangan tidak realistic, aktivitas terbatas.
c. Kehilangan kemandirian
d. Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kemandirian dapat ditunjukan
melalui berbagai perilaku, bersifat kekanak-kanakan,ketergantungan.
e. Kehilangan situasi
f. Klien merasa kehilangan situasi yang dinikmati sehari-hari Bersama
keluarga kelompoknya.
g. Kehilangan rasa nyaman
h. Gangguan rasa nyaman muncul sebagai akibat gangguan fungsi tubuh
seperti panas, nyeri, dll
i. Kehilangan fungsi fisik
j. Contoh dampak kehilangan fungsi organ tubuh seperti klien dengan gagal
ginjal harus dibantu melalui hemodialisa
k. Kehilangan fungsi mental
l. Dampak yang dapat ditimbulkan dari kehilangan fungsi mental seperti
klien mengalami kecemasan dan depresi, tidak dapat berkonsentrasi dan
berpikir efisien sehingga klien tidak dapat berpikir secara rasional.
m. Kehilangan konsep diri Klien dengan penyakit kronik merasa dirinya
berubah mencakup bentuk dan fungsi sehingga klien tidak dapat berpikir
secara rasional (body image) peran serta identitasnya. Hal ini dapat akan
mempengaruhi idealism diri dan harga diri rendah.
n. Kehilangan peran dalam kelompok dan keluarga.

2. 1.7 Langkah-langkah Menyampaikan Berita Buruk


a. Persiapan
Pahami anda sendiri sebagai perawat dan siapkan diri anda dengan
berbagai macam informasi Yang paling baik dalam menyampaikan berita
buruk adalah dengan bertemu langsung dengan orang yang kita tuju.
Menyampaikan dengan tidak jelas dan menakutkan hendaknya di hindari
seperti : “Ibu,datanglah segera, saya mempunyai sesuatu yang harus saya
katakan kepada anda”.
Selain itu alangkah lebih baiknya jika perawat menyediakan tempat
duduk bagi perawat, dokter dan orang yang akan di ajak bicara, duduk dan
tampakkan bahwa anda memberikan perhatian dan tidak dalam keadaan
tergesa gesa. Cegah berbicara sambil berlari atau di tempat yang tidak
semestinya misal : koridor rumah sakit yang banyak orang. Beritahukan
rekan anda bahwa anda tidak bisa di ganggu selagi anda menyampaikan
berita kepada pasien. Atur suara agar anda terlihat normal, tidak grogi,
atau bergetar.
b. Membuat hubungan
Buatlah percakapan awal, walaupun anda mengira bahwa orang yang
akan anda ajak bicara sudah memiliki firasat apa yang akan anda
sampaikan.

Beberapa tugas penting di awal :


a. Percakapan awal perkenalkan diri anda dan orang-orang bersama
anda, jika di sana terdapat orang yang elum di ketahui oleh perawat
maka cari tahu siapa dia.
b. Kaji status resipien (orang yang anda tuju untuk dikabarkan dengan
kabar buruk) Tanyakan kabar atau kenyamanan dan kebutuhannya.
Anda harus mengkaji tentang pemahaman resipien terhadap situasi.
Hal ini akan membantu perawat dalam membuat transisi dalam
menyampaikan kabar buruk dan akan membantu perawat dalam
mengkaji persepsi pasien terhadap keadaan. Perawat dapat
mengutarakan pertanyaan seperti “mengapa tes itu di lakukan?”
c. Berbagi cerita
Ada kiasan bahwa kabar buruk adalah seperti bom. Yang radiasinya
akan mengenai semua yang ada lingkungannya.Bicara pelan Berikan
peringatan awal “saya takut saya mempunyai kabar yang kurang baik
untuk anda.... Kalimat hendaknya singkat dan beberapa kalimat pendek
saja.
d. Akibat dari berita
1) Tunggu reaksi dan tenang, misal : menangis, pingsan dll
2) Lihat dan berikan respon sebagai tanda empati. Perawat bisa
menyampaikan “Saya paham, hal ini sulit bagi anda. Apa yang ada
dalam pikiran anda saat ini”
3) Ikuti dan perhatikan resipien selanjutnya. Anda dapat membantu
resipien agar dapat menguasai kontrol dengan menanyakan
“Apakah anda membutuhkan informasi baru atau kita bisa bicara di
kemudian?”
4) Berikan perhatian dan hormati perasaan dan kebutuhan diri
Perawat sering kali perawat merasa berat hati dan merasa stres ketika
menyampikan berita buruk. Oleh karna itu berbagi pengalaman dan
perasaan terhadap teman sejawat sangat di perlukan dan bisa sebagai
support system bagi diri anda sendiri.
2.1.8 Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Pada Klien Penyakit
Kronik
Fase kehilangan dan teknik komunikasi terapeutik :Tiap fase yang dialami
oleh klien kronis memiliki karakteristik yang berbeda sehingga perawat
diharapkan juga memberikan respon berbeda yang sesuai. Dalam berkomunikasi,
perawat harus memperhatikan fase mana yang sedang dihadapi klien sehingga
mudah bagi perawat menyesuaikan diri dengan fase kehilangan yang dialami
klien.
a. Fase Denial (Pengingkaran)
Reaksi pertama yang dialami individu saat kehilangan adalah syok,
tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi
dengan mengatakan, “Tidak,saya tidak percaya itu terjadi”. Bagi klien
atau keluarga yang mengalami penyakit kronis akan terus menerus
mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase
pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, tidak tahu harus
berbuat apa. Reaksi tersebut dapat berlangsung beberapa menit sampai
dengan beberapa tahun.
Teknik komunikasi yang digunakan:
1) Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang
konstruktif dalam menghadapi kehilangan
2) Selalu berada di dekat klien dan keluarga
3) Pertahankan kontak mata
b. Fase Anger (Marah)
Fase ini dimulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya
kehilangan. Individu menunjukkan perasaan emosi yang meningkat, yang
sering diproyeksikan kepada orang yang ada di sekitanya atau pada diri
sendiri. Tidak jarang klien/ keluarga menunjukkan perilaku agresif, bicara
kasar, menolak pengobatan, atau menyalahkan dokter atau perawat yang
merawatnya.Respon fisik yang sering terjadi seperti muka merah,nadi
cepat, gelisah,susah tidur.
Teknik komunikasi yang digunakan:
1) Memberikan kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya
2) Mendengarkan aktif
3) Menggunakan teknik respek
c. Fase Bargaining (Tawar-Menawar)
Apabila individu sudah mampu memgungkapkan rasa marahnya secara
intensif, maka ia akan maju pada fase tawar-menawar dengan memohon
kemurahan hati Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata:
“Kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan selalu berdoa”.
Apabila proses ini dialami oleh keluarga, maka pernyataan yang sering
dijumpai seperti, “Kalau saja yang sakit bukan anak saya..”
Teknik komunikas yang digunakan:
1) Mmberikan kesempatan untuk menawar
2) Menanyakan apa yang klien/keluarga inginkan
d. Fase Depression
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri,
tidak mau berbicara, kadang bersikap sebagai pasien yang baik dan
penurut atau dengan ungkapan keputusasaan, perasaan tidak
berharga.Gejala fisik yang sering diperlihatkan seperti menolak makan,
susah tidur,letih, dorongan libido menurun.
Teknik komunikasi yang digunakan:
1) Biarkan klien/ keluarga mengekspresikan kesedihannya
2) Memberikan support pada klien/ keluarga
e. Fase Acceptance (Penerimaan)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase
menerima biasanya dinyatakan dengan kata-kata, “Apa yang dapat saya
lakukan agar saya cepat sembuh?”. Apabila individu dapat menyelesaikan
fase-fase sebelumnya dan sampai pada fase damai atau penerimaan, maka
akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan
kehilangannya secara tuntas. Akan tetapi, bila individu tetap berada pada
salah satu fase, akan sulit baginya untuk sampai menerima suatu
kehilangan. Teknik komunikasi yang dapat digunakan perawat: Sediakan
waktu untuk mendiskusikan perasaan klien/keluarga terhadap kejadian
kehilangan.

2.1.9 Respon Klien Terhadap Penyakit Kronik


Penyakit kronik dan keadaan terminal dapat menimbulkan respon Bio-
Psiko-Sosial-Spritual ini akan meliputi respon kehilangan.
a. Kehilangan kesehatan
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kesehatan dapat berupa klien
merasa takut , cemas dan pandangan tidak realistic, aktivitas terbatas.
b. Kehilangan kemandirian
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kemandirian dapat ditunjukan
melalui berbagai      perilaku, bersifat kekanak-kanakan, ketergantungan
c.Kehilangan situasi
Klien merasa kehilangan  situasi yang dinikmati sehari-hari bersama
keluarga kelompoknya
d.Kehilangan rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman muncul sebagai akibat gangguan fungsi tubuh
seperti panas, nyeri, dll
e. Kehilangan fungsi fisik
Contoh dampak kehilangan fungsi organ tubuh seperti klien dengan
gagal ginjal harus dibantu melalui hemodialisa
f. Kehilangan fungsi mental
Dampak yang dapat ditimbulkan dari kehilangan fungsi mental seperti
klien mengalami kecemasan dan depresi, tidak dapat berkonsentrasi dan
berpikir efisien sehingga klien tidak dapat berpikir secara rasional
g. Kehilangan konsep diri
Klien dengan penyakit kronik merasa dirinya berubah mencakup bentuk
dan fungsi sehingga klien tidak dapat berpikir secara rasional (bodi
image) peran serta identitasnya. Hal ini dapat  akan mempengaruhi
idealism diri dan harga diri rendah.
h. Kehilangan peran dalam kelompok dan keluarga
2.2 KOMUNIKASI KLIEN PALLIATIVE CARE / MENJELANG
AJAL

2.2.1 Defenisi

Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif


pada penderita yang sedang sekarat atau dalam fase terminal akibat
penyakit yang dideritanya. Pasien sudah tidak memiliki respon
terhadap terapi kuratif yang disebabkan oleh keganasan ginekologis.
Perawatan ini mencakup penderita serta melibatkan keluarganya (Aziz,
Witjaksono, & Rasjidi, 2008).

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan


kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini,
pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah
lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health
Organization (WHO) 2016).

Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada


pasien dan keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan
mengantisipasi, mencegah, dan menghilangkan penderitaan.Perawatan
paliatif mencangkup seluruh rangkaian penyakit termasuk fisik,
intelektual, emosional, sosial, dan kebutuhan spiritual serta untuk
memfasilitasi otonomi pasien, mengakses informasi, dan pilihan
(National Consensus Project for Quality Palliative Care, 2013). Pada
perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap sebagai sesuatu yang
harus di hindari tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus
dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang
bernyawa (Nurwijaya dkk, 2010).

Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien


dengan perawatan paliatif meliputi masalah psikologi, masalah
hubungan sosial, konsep diri, masalah dukungan keluarga serta
masalah pada aspek spiritual (Campbell, 2013). Perawatan paliatif ini
bertujuan untuk membantu pasien yang sudah mendekati ajalnya, agar
pasien aktif dan dapat bertahan hidup selama mungkin. Perawatan
paliatif ini meliputi mengurangi rasa sakit dan gejala lainnya, membuat
pasien menganggap kematian sebagai proses yang normal,
mengintegrasikan aspek-aspek spikokologis dan spritual (Hartati &
Suheimi, 2010). Selain itu perawatan paliatif juga bertujuan agar
pasien terminal tetap dalam keadaan nyaman dan dapat meninggal
dunia dengan baik dan tenang (Bertens, 2009).

Diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat. Artinya tidak


memperdulikan pada stadium dini atau lanjut, masih bisa disembuhkan
atau tidak, mutlak Palliative Care harus diberikan kepada penderita itu.
Palliative Care tidak berhenti setelah penderita meninggal, tetapi masih
diteruskan dengan memberikan dukungan kepada anggota keluarga
yang berduka. Palliative Care tidak hanya sebatas aspek fisik dari
penderita itu yang ditangani, tetapi juga aspek lain seperti psikologis,
sosial dan spiritual.

Titik pusat dari perawatan adalah pasien sebagai manusia


seutuhnya, bukan hanya penyakit yang dideritanya. Dan perhatian ini
tidak dibatasi pada pasien secara individu, namun diperluas sampai
mencakup keluarganya. Untuk itu metode pendekatan yang terbaik
adalah melalui pendekatan terintegrasi dengan mengikutsertakan
beberapa profesi terkait. Dengan demikian, pelayanan pada pasien
diberikan secara paripurna, hingga meliputi segi fisik, mental, social,
dan spiritual. Maka timbullah pelayanan palliative care atau perawatan
paliatif yang mencakup pelayanan terintegrasi antara dokter, perawat,
terapis, petugas social-medis, psikolog, rohaniwan, relawan, dan
profesi lain yang diperlukan.

Lebih lanjut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan lagi bahwa


pelayanan paliatif berpijak pada pola dasar berikut ini :

1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses


yang normal.
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian.
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6. Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari Palliative Care adalah
untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya,
meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support kepada
keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum
meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres
menghadapi penyakit yang dideritanya.

2.2.2 Elemen dan Prinsip Palliative Care


Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES,
2013)dan Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008) priinsip pelayanan perawatan
paliatif yaitu menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta
keluhan fisik lainnya, penanggulangan nyeri, menghargai kehidupan dan
menganggap kematian sebagai proses normal , tidak bertujuan mempercepat
atau menghambat kematian, memberikan dukungan psikologis, sosial dan
spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin,
memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita, serta
menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya
1. Mampu menguuraikan teknik berkomunikasi pada pasien paliatif yang
menjelang ajal

 Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang kontruktif


dalam menghadapi kehilangan dan kematian.

 Selalu berada di dekat klien.

 Pertahankan kontak mata

2. Mampu menyebutkan tanda-tanda mendekati kematian

  Fase Denial ( pengikraran )

Reaksi pertama individu ketika mengalami kehilangan adalah syok.


Tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehlangn itu terjadi
dengan mengatakan “ Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi “.
Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit kronis, akan
terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi
pada fase pengikraran adalah letih,lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tau harus
berbuat apa. Reaksi tersebut di atas cepat berakhir dlam waktu beberapa
menit sampai beberapa tahun.

  Fase anger ( marah )

Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang


terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat
yang sering di proyeksikan kepada orang yang ada di sekitarnya, orang
–orang tertentu atau di tunjukkan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia
menunjukkan prilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan, dan
menuduh perawat ataupun dokter tidak becus. Respon fisik yang sering
terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah
tidur, tangan menggepai.
 Fase bargening ( tawar menawar )

Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara


intensif, maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon
kemurahan tuhan. Respon ini sering di nyataka dengan kata kata “ kalau
saja kejadian ini bisa di tunda, maka saya akan selalu berdoa “ . apabila
proses berduka ini di alami keluarga, maka pernyataan seperti ini sering
di jumpai “ kalau saja yang sakit bukan anak saya.

 Fase depression

Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri,
tidak mau berbicara, kadang kadang bersikap sebagai pasien yang
sangat baik dan menurut atau dengan ungkapAn yang menyatakan
keputus asaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering di
perlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libugo
menurun

 Fase acceptance ( penerimaan )

Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase


menerima ini biasanya di nyatakan dengan kata kata ini “ apa yang
dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh?” Apabila individu dapat
memulai fase fase tersebut dan masuk pada fase damai atau
penerimaan, maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan
mengatasi perasaan kehilnagannya secara tuntas. Tapi apabila individu
tetep berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase
penerimaan Jika mengalami kehilangan lagi sulit baginya masuk pada
fase penerimaan.

3. Mampu menjelaskan bagaimana cara mengkonfirmasi kematian

 Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang kontruktif


dalam menghadapi kehilangan dan kematian
 Selalu berada di dekat klien

 Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan


perasaannya, hearing dan menggunakan teknik respek

 Pertahankan kontak mata

 Memberi kesempatan kepada pasien untuk menawar dan imenanyakan


kepada pasien apa yang di inginkan

 Jangan mencoba menenangkan klien dan biarkan klien dan keluarga


mengekspresikan kesedihannya.

 Meluangkan waktu untuk klien dan sediakan waktu untuk mendiskusikan


perasaan keluarga terhadap kematian pasien

4. Mampu menentukan cara mengelola barang-barang berharga pada pasien


paliatif

 Menanyakan kepada pasien tentang harta benda yang berharga yang


dimiliki pasien mau diserahkan atau dipercayakan kepada siapa.

  Tanyakan kepada pasien apakah benda berharganya dapat digunakan


untuk membantu atau menolong orang lain yang mengalami kesulitan.

 Menanyakan kepada pasien dimana saja dia menyimpan harta bendanya


yang berharga.

2.3 PENYAKIT TERMINAL

2.3.1 Defenisi

Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian


berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan
spiritual bagi individu. (Carpenito, 2004) Penyakit terminal merupakan
penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju kearah kematian contohnya
seperti penyakit jantung, dan kanker atau penyakit terminal ini dapat
dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis
sudah give up (menyerah) dan seperti yang dikatakan di atas tadi penyakit
terminal ini mengarah kearah kematian. (Nursedarsana, 2010) Penyakit
yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian tidak dapat
dihindari dalam waktu bervariasi. ( Stuart & Sundeen, 2009) Penyakit pada
stadium lanjut, penyakit utama tidak dapat diobati, bersifat progresif,
pengobatan hanya bersifat paliatif (mengurangi gejala dan keluhan,
memperbaiki kualitas hidup. (Heelya, 2009) Pasien penyakit terminal adalah
pasien yang sedang menderita sakit dimana tingkat sakitnya telah mencapai
stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah tidak mungkin dapat
menyembuhkan lagi. Oleh karena itu, pasien penyakit terminal harus
mendapatkan perawatan paliatif yang bersifat meredakan gejala penyakit,
namun tidak lagi berfungsi untuk menyembuhkan. Jadi keadaan terminal
adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi
bagi yang sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh
suatu penyakit atau suatu kecelakaan.

1. Kriteria Penyakit Terminal

Adapun kriteria penyakit terminal menurut Stuart & Sundeen (2009),


adalah sebagai berikut:

 Penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi

 Mengarah pada kematian

 Diagnosa medis sudah jelas

 Tidak ada obat untuk menyembuhkan

 Prognosis jelek

 Bersifat progresif
2. Jenis-Jenis Penyakit Terminal

Adapun yang dapat dikategorikan sebagai penyakit terminal menurut


Stuart & Sundeen (2009) adalah :

a. Penyakit-penyakit kanker

Kanker merupakan salah satu penyakit berbahaya yang ada. Diantara


beberapa jenis kanker, kanker payudara adalah jenis kanker yang paling
berbahaya dan paling sering terjadi. Kanker payudara sangat berbahaya
dikarenakan kanker jenis ini menyerang organ reproduksi luar yaitu
payudara dan dapat menyebar ke bagian tubuh lain. Kanker payudara
juga dapat menyebabkan kematian. Kanker payudara yang dapat
menyebabkan kematian adalah kanker payudara stadium IV.

Pada kanker payudara stadium IV seseorang sudah menderita kanker


payudara yang sangat parah atau bahkan tidak memiliki harapan hidup
(terminal). Kondisi terminal pada penderita kanker payudara stadium
IV tidak dapat dihindari dan ini pasti akan dialami oleh setiap penderita
yang akan menjelang ajal. Pada kondisi terminal perubahan utama yang
terjadi adalah perubahan psikologis yang menyertai pasien. Perubahan
psikologis tersebut biasanya mengarah ke arah yang lebih buruk dan
membuat pasien menjadi tidak koperatif. Disini peran perawat sangat
dibutuhkan dan menjadi hal yang penting, dan untuk membuat klien
merasa lebih nyaman dan mampu membuat klien menjadi tenang pada
saat menjelang ajal.

b. Penyakit-penyakit infeksi Meningitis merupakan infeksi pada selaput


otak yang di sertai radang membran pelindung yang menyelubungi otak
dan sumsum tulang belakang, yang mana keseluruhan tersebut di sebut
meningen. Bahayanya adalah Apabila Meningitis telah masuk stadium
terminal dan tidak ditangani segera, maka adanya resiko kematianlah
yang akan terjadi dalam waktu kurang lebih 3 pekan.
c. Congestif Renal Falure (CRF)

Chronic Renal Failure (CRF) merupakan gangguan fungsi ginjal yang


berlangsung secara progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit menyebabkan uremia (retensi urin dan sampah nitrogen lain
dalam tubuh).
Stroke Multiple Sklerosis Multiple sclerosis (MS) adalah suatu penyakit
dimana syaraf-syaraf dari sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang atau spinal cord) memburuk atau degenerasi. Myelin, yang
menyediakan suatu penutup atau isolasi untuk syaraf-syaraf,
memperbaiki pengantaran (konduksi) dari impuls-impuls sepanjang
syaraf-syaraf dan juga adalah penting untuk memelihara kesehatan dari
syaraf-syaraf.Akibat kecelakaan fatal Cedera kepala telah menyebabkan
banyak kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun. Otak bisa
mengalami cedera meskipun tidak terdapat luka yang menembus tulang
tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak
yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan
mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak.

d. AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome)Adalah sekumpulan


gejala dan infeksi (atau : sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-
virus lain. Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus
(atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada
tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun
penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan
virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

Tujuan Keperawatan Pasien Dengan Kondisi Terminal


1. Perawatan Penyakit Terminal Tujuan keperawatan pasien dengan kondisi
terminal secara umum menurut Stuart & Sundeen (2009) adalah sebagai
berikut :

1. Menghilangkan atau mengurangi rasa kesendirian, takut dan


depresi

2. Mempertahankan rasa aman, harkat dan rasa berguna

3. Membantu pasien menerima rasa kehilangan

4. Membantu kenyamanan fisik

5. Mempertahankan harapan (faith and hope)

2. Masalah Yang Berkaitan Dengan Penyakit Terminal Menurut Stuart &


Sundeen (2009), adalah sebagai berikut :

1. Problem fisik Berkaitan dengan kondisi (penyakit terminalnya) :


nyeri, perubahan berbagai fungsi sistem tubuh, perubahan tampilan
fisik.

2. Problem psikologis (ketidakberdayaan) Kehilangan kontrol,


ketergantungan, kehilangan diri dan harapan.

3. Problem sosial Isolasi dan keterasingan, perpisahan.

4. Problem spiritual. Kehilangan harapan dan perencanaan saat ajal


tiba

5. Ketidak-sesuaian Antara kebutuhan dan harapan dengan perlakuan


yang didapat (dokter, perawat, keluarga, dsb).

2.3.2 Perawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Terminal

1. Kebutuhan Seseorang dengan Penyakit Terminal


Seseorang dengan penyakit terminal akan mengalami rasa berduka dan
kehilangan. Sebagai seorang perawat kita harus mampu memahami hal
tersebut. Komunikasi dengan pasien penyakit terminal merupakan komunikasi
yang tidak mudah. Perawat harus memiliki pengethauan tentang penyakit yang
mereka alami serta pengetahuan tentang proses berduka dan kehilangan. Dalam
berkomunikasi perawat menggunakan konsep komunikasi terapeutik. Saat
berkomunikasi dengan pasien dengan kondisi seperti itu bisa jadi akan timbul
penolakan dari pasien. Dalam menghadapi kondisi tersebut, perawat
menggunakan komunikasi terapeutik. Membangun hubungan saling percaya
dan caring dengan pasien dan keluarga melaui penggunaan komunikasi
terapeutik membentuk dasar bagi intervensi pelayanan paliatif. (Potter & Perry,
2009) Dalam berkomunikasi, gunakan komunikasi terbuka dan jujur, tunjukkan
rasa empati. Dengarkan dengan baik, tetap berpikiran terbuka, serta amati
respon verbal dan nonverbal pasien dan keluarga. Saat berkomunikasi mungkin
saja pasien akan menghindari topik pembicaraan, diam, atau mungkin saja
menolak untuk berbicara. Hal tersebut adalah respon umum yang mungkin
terjadi. Respon berduka yang normal seperti kesedihan, mati rasa,
penyangkalan, marah, membuat komunikasi menjadi sulit. Jika pasien memilih
untuk tidak mendiskusikan penyakitnya saat ini, perawat harus mengizinkan
dan katakana bahwa pasien bisa kapan saja mengungkapkannya. Beberapa
pasien tidak akan mendiskusikan emosi karena alasan pribadi atau budaya, dan
pasien lain ragu - ragu untuk mengungkapkan emosi mereka karena orang lain
akan meninggalkan mereka. (Potter & Perry, 2009) Memberi kebebasan klien
memilih dan menghormati keputusannya akan membuat hubungan terapeutik
dengan pasien berkembang. Terkadang pasien perlu mengatasi berduka mereka
sendirian sebelum mendiskusikannya dengan orang lain. Ketika pasien ingin
membicarakan tentang sesuatu, susun kontrak waktu dan tempat yang tepat.

2.Tingkat Kesadaran Terhadap Kondisi Penyakit Terminal

Tingkat kesadaran terhadap kondisi penyakit terminal menurut Stuart & Sundeen
(2009), adalah sebagai berikut :
a. Closed Awareness

Dalam hal ini pasien dan keluarga tidak menyadari datangnya kematian, tidak
tahu mengapa sakit dan percaya akan sembuh.

b. Mutual Pretense

Dalam hal ini pasien, keluarga, team kesehatan tahu bahwa kondisinya
terminal tetapi merasa tidak nyaman untuk dan menghindari membicarakan
kondisi yang dihadapi pasien. Ini berat bagi pasien karena tidak dapat
mengekspresikan kekuatannya.

c.Open Awareness Pada kondisi ini pasien dan orang disekitarnya tahu bahwa
dia berada diambang kematian sehingga tidak ada kesulitan untuk
membicarakannya. Pada tahap ini pasien dapat dilibatkan untuk proses
intervensi keperawatan.

2.3.3 Peran Perawat Dalam Melakukan Komunikasi Terapeutik Pada Pasien


Terminal

1. Respon Pasien Terhadap Penyakit Terminal

a. Menurut Stuart & Sundeen (2009) keadaan terminal dapat menimbulkan


respon Bio-Psiko-Sosial-Spritual ini akan meliputi respon kehilangan
diantaranya adalah: Kehilangan kesehatan Respon yang ditimbulkan
dari kehilangan kesehatan dapat berupa : pasien merasa takut, cemas,
pandangan tidak realistis dan aktivitas terbatas.

b. Kehilangan kemandirian Respon yang ditimbulkan dari kehilangan


kemandirian dapat ditunjukan melalui berbagai perilaku, bersifat
kekanak-kanakan dan ketergantungan

c. Kehilangan situasi Pasien merasa kehilangan situasi yang dinikmati


sehari-hari bersama keluarga dan kelompoknya.
d. Kehilangan rasa nyaman Gangguan rasa nyaman muncul sebagai akibat
gangguan fungsi tubuh seperti panas, nyeri, dll

e. Kehilangan fungsi fisik Contoh dampak kehilangan fungsi organ tubuh


seperti pasien dengan gagal ginjal harus dibantu melalui hemodialisa

f. Kehilangan fungsi mental Dampak yang dapat ditimbulkan dari


kehilangan fungsi mental seperti pasien mengalami kecemasan dan
depresi, tidak dapat berkonsentrasi dan berpikir efisien sehingga pasien
tidak dapat berpikir secara rasional

g. Kehilangan konsep diri Pasien dengan penyakit terminal merasa dirinya


berubah mencakup bentuk dan fungsi sehingga pasien tidak dapat
berpikir secara rasional (bodi image) peran serta identitasnya. Hal ini
dapat mempengaruhi idealisme diri dan harga diri rendah.

h. Kehilangan peran dalam kelompok dan keluarga Contohnya : seorang


ayah yang memiliki peran dalam keluarga mencari nafkah akibat
penyakit teminalnya, ayah tesebut tidak dapat menjalankan peranya
tersebut.

2. Adaptasi Dengan Penyakit Terminal

Bagaimana cara seseorang beradaptasi dengan penyakit terminal sesuai


dengan umurnya menurut Stuart & Sundeen (2009), sebagai berikut :

a. Anak

Konsep kematian masih abstrak dan tidak dimengerti dengan baik oleh
anak-anak. Sampai umur 5 tahun, anak masih berpikir bahwa kematian
adalah hidup di tempat lain dan orang dapat datang kembali. Mereka juga
percaya bahwa kematian bisa dihindari. Kematian adalah topik yang tidak
mudah bagi orang dewasa untuk didiskusikan dan mereka biasanya
menghindarkan anaknya dari realita akan kematian dengan mengatakan
bahwa orang mati akan “pergi” atau “berada di surga” atau hanya tidur.
Pada anak yang mengalami penyakit terminal kesadaran mereka akan
muncul secara bertahap. Pertama, anak akan menyadari bahwa mereka
sangat sakit tetapi akan sembuh. Kemudian mereka menyadari penyakitnya
tidak bertambah baik dan belajar mengenai kematian dari teman seumurnya
terutama orang yang memiliki penyakit mirip, lalu mereka menyimpulkan
bahwa mereka juga sekarat.

Saat ini, para ahli percaya bahwa anak-anak seharusya mengetahui


sebanyak mungkin mengenai penyakitnya agar mereka mengerti dan dapat
mendiskusikannya terutama mengenai perpisahan dengan orang tua. Ketika
anak mengalami terminal illness biasanya orang tua akan
menyembunyikannya, sehingga emosi anak tidak terganggu. Untuk anak
yang lebih tua, pendekatan yang hangat, jujur, terbuka, dan sensitif
mengurangi kecemasan dan mempertahankan hubungan saling percaya
dengan orang tuanya.

b. Remaja atau Dewasa muda

Walaupun remaja dan dewasa muda berpikir bahwa kematian pada usia
muda cukup tinggi, mereka memimpikan kematian yang tiba-tiba dan
kekerasan. Jika mereka mengalami terminal illness, mereka menyadari
bahwa kematian tidak terjadi semestinya dan merasa marah dengan
“ketidakberdayaannya” dan “ketidakadilan” serta tidak adanya kesempatan
untuk mengembangkan kehidupannya. Pada saat seperti ini, hubungan
dengan ibunya akan menjadi lebih dekat. Menderita penyakit terminal
terutama pada pasien yang memiliki anak akan membuat pasien merasa
bersalah tidak dapat merawat anaknya dan seolah-olah merasa bahagia
melihat anaknya tumbuh. Karena kematian pada saat itu terasa tidak
semestinya, dewasa muda menjadi lebih marah dan mengalami tekanan
emosi ketika hidupnya diancam terminal illness.

c. Dewasa madya dan dewasa tua


Penelitian membuktikan bahwa dewasa muda menjadi semakin tidak
takut dengan kematian ketika mereka bertambah tua. Mereka menyadari
bahwa mereka mungkin akan mati karena penyakit kronis. Mereka juga
memiliki masa lalu yang lebih panjang dibandingkan orang dewasa muda
dan memberikan kesempatan pada mereka untuk menerima lebih banyak.
Orang- orang yang melihat masa lalunya dan percaya bahwa mereka telah
memenuhi hal-hal penting dan hidup dengan baik tidak begitu kesulitan
beradaptasi dengan penyakit terminal.

2.3.4Teknik-Teknik Komunikasi Pada Pasien Dengan Penyakit Terminal

1. Tahap-Tahap Berduka

Tahap-tahap berduka menurut Kubler-Ross, (1969) dalam Purwanto, (2011)


yaitu :

1. Menolak (Denial) Pada tahap ini pasien tidak siap menerima keadaan yang

sebenarnya terjadi dan menunjukkan reaksi menolak.

2. Marah (Anger) Kemarahan terjadi karena kondisi pasien mengancam

kehidupannya dengan segala hal yang telah diperbuatnya sehingga

menggagalkan cita-citanya.

3. Menawar (Bargaining) Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan


pasien

dapat menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan

dirinya.

4. Kemurungan (Depresi) Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak


banyak
bicara dan mungkin banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk
duduk dengan tenang disamping pasien yang sedangan melalui masa
sedihnya sebelum meninggal.

5. Menerima atau Pasrah (Acceptance) Pada fase ini terjadi proses


penerimaan secara sadar oleh pasien dan keluarga tentang kondisi yang
terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat
membantu apabila pasien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-
rencana yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu
dengan keluarga terdekat, menulis surat wasiat.

2.Teknik Komunikasi Pada Pasien Dengan Penyakit Terminal

Teknik komunikasi pada pasien dengan penyakit terminal menurut Stuart &
Sundeen (2009), adalah sebagai berikut :

a. Denial

Pada tahap ini kita dapat mempergunakan teknik komunikasi :

1) Listening

a. Dengarkan apa yang diungkapkan pasien, pertahankan kontak mata


dan observasi komunikasi non verbal.

b. Beri keamanan emosional yaitu dengan memberikan sentuhan dan


ciptakan suasana tenang.

2) Silent
a) Duduk bersama pasien dan mengkomunikasikan minat perawat pada
pasien secara non verbal.
b) Menganjurkan pasien untuk tetap dalam pertahanan dengan tidak
menghindar dari situasi sesungguhnya.

3) Broadopening
a. Mengkomunikasikantopik/pikiranyangsedangdipikirkanpasien.

b. Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaannya.

b.Angger

Pada tahap ini kita dapat mempergunakan tehnik komunikasi listening : perawat
berusaha dengan sabar mendengarkan apapun yang dikatakan pasien lalu
diklarifikasikan.

1)  Membiarkan pasien untuk mengekspresikan keinginan, menggambarkan


apa yang akan dan sedang terjadi pada mereka.

2)  Beri perhatian dan lingkungan yang nyaman dan cegah injuri.

3)  Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya


yang marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa marah
merupakan hal yang normal dalam merespon perasaan kehilangan
menjelang kamatian. Akan lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada
perawat sebagai orang yang dapat dipercaya, memberikan rasa aman dan
akan menerima kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga
membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.

c. Bargaining

1) Focusing

a. Bantu pasien mengembangkan topik atau hal yang penting

b. Ajarkan pasien agar dapat membuat keputusan dalam hidupnya yang


bermakna.

2) Sharing perception
a. Menyampaikan pengertian perawat dan mempunyai kemampuan untuk
meluruskan kerancuan.
b. Dengarkan pasien pada saat bercerita tentang hidupnya.

d. Depresi

1)  Perlakukan pasien dengan sabar, penuh perhatian dan tetap realitas.

2)  Kaji pikiran dan perasaan serta persepsi pasien jika ada asal pengertian
harusnya diklarifikasi.

3) Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa
yang dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi
secara non verbal yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan
mengamati reaksi-reaksi non verbal dari pasien sehingga menumbuhkan
rasa aman bagi pasien.

e. Acceptance

1)  Informing

2)  Membantu dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang aspek


yang sesuai dengan kesejahteraan atau kemandirian pasien.

3)  Broad opening

4) Komunikasikan kepada pasien tentang apa yang dipikirkannya dan


harapan harapannya.

3) Focusing

Membantu pasien mendiskusikan hal yang mencapai topik utama dan


menjaga agar tujuan komunikasi tercapai. Fase ini ditandai pasien dengan
perasaan tenang dan damai. Kepada keluarga dan teman-temannya dibutuhkan
pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya dan perlu dilibatkan
seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk menolong
dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Hubungan perawat – klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar
bersama dan pengalaman perbaikan emosi klien. Dalam hal ini perawat memakai
dirinya secara terapeutik dengan menggunakan berbagai teknik komunikasi agar
perilaku klien berubah kea rah yang positif secara optimal. Agar perawat dapat
berperan efektif dan terapeutik, ia harus menganalisa dirinya dari kesadaran diri,
klarifikasi nilai, perasaan dan mampu menjadi model yang bertanggungjawab.
Seluruh perilaku dan pesan yang disampaikan perawat (verbal atau non verbal)
hendaknya bertujuan terapeutik untuk klien.
Seseorang dengan penyakit kronis atau dengan penyakit terminal akan
mengalami rasa berduka dan kehilangan. Sebagai seorang perawat kita harus
mampu memahami hal tersebut. Komunikasi dengan klien penyakit terminal dan
kronis merupakan komunikasi yang tidak mudah. Perawat harus memiliki
pengethauan tentang penyakit yang mereka alami serta pengetahuan tentang
proses berduka dan kehilangan. Dalam berkomunikasi perawat menggunakan
konsep komunikasi terapeutik. Saat berkomunikasi dengan klien dengan kondisi
seperti itu bisa jadi akan timbul penolakan dari klien. Dalam menghadapi kondisi
tersebut, perawat menggunakan komunikasi terapetik. Membangun hubungan
saling percaya dan caring dengan klien dan keluarga melaui penggunaan
komunikasi terapeutik membentuk dasar bagi intervensi pelayanan paliatif ( Mok
dan Chiu, 2004 dikutip dari Potter dan Perry 2010).

Dalam berkomunikasi, gunakan komunikasi terbuka dan jujur, tunjukkan


rasa empati. Dengarkan dengan baik, tetap berpikiran terbuka, serta amati respon
verbal an nonverbal klien dan keluarga. Saat berkomunikasi mungkin saja klien
akan menghindari topic pembicaraan, diam, atau mungkin saja menolak untuk
berbicara. Hal tersebut adalah respon umum yang mungkin terjadi. Respon
berduka yang normal seperti kesedihan, mati rasa, penyangkalan, marah, membuat
komunikasi menjadi sulit. Jika klien memilih untuk tidak mendiskusikan
penyakitnya saat ini, perawat harus mengizinkan dan katakana bahwa klien bisa
kapan saja mengungkapkannya. Beberapa klien tidak akan mendiskusikan emosi
karena alasan pribadi atau budaya, dan klien lain ragu – ragu untuk
mengungkapkan emosi mereka karena orang lain akan meninggalkan mereka
(Buckley dan Herth, 2004 dikutip dari potter dan perry 2010).
Memberi kebebasan klien memilih dan menghormati keputusannya akan
membuat hubungan terapeutik dengan klien berkembang. Terkadang klien perlu
mengatasi berduka mereka sendirian sebelum mendiskusikannya dengan orang
lain. Ketika klien ingin membicarakan tentang sesuatu, susun kontrak waktu dan
tempat yang tepat.
Analisa hubungan intim yang terapeutik perlu dilakukan untuk evaluasi
perkembangan hubungan dan menentukan teknik dan keterampilan yang tepat
dalam setiap tahap untuk mengatasi masalah klien dengan prinsip di sini dan saat
ini(here and now). Rasa aman merupakan hal utama yang harus diberikan pada
anak agar anak bebas mengemukakan perasaannya tanpa kritik dan hukuman.

3.2.Saran
Seorang perawat haruslah bisa mengekspresikan perasaan yang sebenarnya
secara spontan. Di samping itu perawat juga harus mampu menghargai klien
dengan menerima klien apa adanya. Menghargai dapat dikomunikasikan melalui
duduk bersama klien yang menangis,minta maaf atas hal yang tidak disukai
klien,dan menerima permintaan klien untuk tidak menanyakan pengalaman
tertentu . Memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada
fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan dengan klien,terutama pada
pasien kronis yang klien itu sendiri sudah tidak merasa hidupnya berguna lagi.
Perawat perlu menganalisa teknik komunikasi yang tepat setiapkali ia
berhubungan dengan klien. Melalui  komunikasi verbal dapat diungkapkan
informasi yang akurat tetapi aspek emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan
seluruhnya secara verbal. Dengan mengerti proses komunikasi dan menguasai
berbagai keterampilan berkomunikasi, diharapkan perawat dapat memakai dirinya
secara utuh (verbal dan non verbal) untuk memberi efek terapeutik kepada klien.
DAFTAR PUSTAKA

Ferrell, B.R. & Coyle, N. (2010). Oxford Textbook of palliative nursing


3nd ed. New York : Oxford University Press Nugroho, Agung.(2011).
Perawatan Paliatif Pasien Hiv / Aids.
http://www.healthefoundation.eu/blobs/hiv/73758/2011/27/palliative_care.
p df. Diakses tanggal 9 sep 2017.

Menkes RI. (2007). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor : 812/Menkes/Sk/Vii/2007. Tentang Kebijakan Perawatan Paliatif
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Di akses pada 21 Maret 2018 dari
http://spiritia.or.id/Dok/skmenkes812707.pdf.

“Komunikasi teraupetik pada pasien tidak sadar” di akses pada 23 Maret


2018 dari http://nurse3030.blogspot.co.id/2014/02/komunikasi-terapeutik-
pada-pasien-tak.html

“konsep dasar keperawatn palliative” di akses pada 22 Maret 2018 dari


http://ukhtihuda.blogspot.co.id/2012/07/konsep-dasar-keperawatan-
palliatif.html

“Komunikasi dalam keperawatan” di akses pada 22 Maret 2018 dari


http://dwicheeprutezz.blogspot.co.id/2013/07/makalah-komunikasi-
keperawatan.html

Anda mungkin juga menyukai