PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan
masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan
kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati. Bagaimana peran
perawat dalam menangani pasien yang sedang menghadapi proses sakaratul maut?
Peran perawat sangat konprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat
adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk
pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-
sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat
kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ).
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO
yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari
pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter
dan terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran
perawat yang konfrehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan perawat dalam
tugas mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya sesuai dengan Sabda Rasulullah
yang menyatakan bahwa amalan yang terakhir sangat menentukan, sehingga
perawat dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien tetap
melakukan yang terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun
peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini
sangat penting terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan
sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.
Menurut Dadang Hawari (1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal dan
menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis
spiritual, dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien
menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus. Pasien terminal biasanya
mengalami rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan
keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien tersebut selalu berada di
samping perawat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat
meningkatkan semangat hidup klien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan
dapat mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi alam yang kekal.
B. Tujuan
1. Mendefinisikan bagaimana kondisi seseorang yang mendekati kematian.
2. Mengetahui konsep teori dari kebutuhan terminal atau menjelang ajal.
3. Mengkaji dan memaparkan diagnosa dari kebutuhan terminal.
4. Memberi intervensi serta mengevaluasi pada klien yang menjelang ajal.
C. Rumusan Masalah
1. Latar belakang permasalahan terminal pada klien.
2. Konsep materi tentang kebutuhan terminal pada klien.
3. Diagnosa keperawatan pada pasien terminal.
4. Intervensi masalah.
5. Evaluasi masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Masalah
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup
dan meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali
harapan dan dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur
harapan hidup semakin bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh
penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit
kronis seperti ini akan melalui suatu proses pengobatan dan perawatan yang
panjang. Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal
yang ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidak berdayaan, dan
akhirnya kematian.
Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis dan
terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah
menghadapi kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak
dipersiapkan dengan baik untuk berhadapan dengan ancaman kematian. Ditengah
keputusasaan, sering kali terdengar Kami sudah melakukan segalanya yang bisa
dilakukan........
Namun kini telah mulai disadari untuk pasien terminal pun profesi medis masih
dapat melakukan banyak hal. Jika upaya kuratif tidak dimunginkan lagi, masih luas
kesempatan untuk upaya paliatif. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit
kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas,
penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan
psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak
hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan
terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan
pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif atau palliative
care. Dalam perawatan paliatif maka peran perawat adalah memberikan Asuhan
Keperawatan pada Pasien Terminal untuk membantu pasien menjalani sisa hidupnya
dalam keadaan seoptimal mungkin.
B. Konsep Materi
a) Pengertian
1. Keadaan Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit
atau suatu kecelakaan.
2. Kematian
Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan
mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan
merupakan suatu kehilangan.
b) Tahap-tahap Menjelang Ajal
Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap menjelang
ajal (dying) dalam 5 tahap, yaitu:
1. Menolak/Denial
Pada fase ini , pasien/klien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi,
dan menunjukkan reaksi menolak.
2. Marah/Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala
hal yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.
3. Menawar/bargaining
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat
menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.
4. Kemurungan/Depresi
Selama tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin
banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping
pasien yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Menerima/Pasrah/Acceptance
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga
tentang kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini
sangat membantu apabila kien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-
rencana yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan
keluarga terdekat, menulis surat wasiat.
c) Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian
Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:
Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang
cepat dari fase akut ke kronik.
Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada
kondisi penyakit yang kronik.
Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi
pada pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit
kronik dan telah berjalan lama.
d) Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian
Kehilangan Tonus Otot, ditandai:
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi, dsbg.
d. Penurunan control spinkter urinari dan rectal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.
Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai:
a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Cyanosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital
a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
Gangguan Sensoria.
a. Penglihatan kabur.
b. Gangguan penciuman dan perabaan.
C. Asuhan Keperawatan
Tanda-tanda Kematian
1. Dini:
Pernafasan terhenti , penilaian > 10 menit (inspeksi, palpasi auskultasi)
Terhentinya sirkulasi, penilaian 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
Kulit pucat
Tonus otot menghilang dan relaksasi
Pembuluh darah retina bersegmentasi beberapa menit pasca kematian
Pengeringan kornea yang menimbulkan kekeruhan dalam 10 menit (hilang dengan
penyiraman air)
2. Lanjut (Tanda pasti kematian)
Lebam mayat (livor mortis)
Kaku mayat (rigor mortis)
Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Pembusukan (dekomposisi)
Adiposera (lilin mayat)
Mumifikasi
Gejala dan masalah yang sering dijumpai pada berbagai sistem organ
Sistem Gastrointestinal : Anorexia, konstipasi, mulut kering dan bau, kandidiasis
dan sariawan mulut.
Sistem Genitourinaria : Inkontinensia urin
Sistem Integumen : Kulit kering/pecah-pecah, dekubitus
Sistem Neurologis : Kejang
Perubahan Status Mental : Kecemasan, halusinasi, depresi
Pengkajian
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga
pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal
dengan tenang dan damai.
Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup
kedalam empat fase, yaitu :
1. Fase Prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko
penyakit.
2. Fase Akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian
keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.
3. Fase Kronis, klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya.
4. Fase Terminal, dalam kondisi ini kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi
pasti terjadi.
Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik,
psikologis, maupun social-spiritual. Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi
terminal antara lain :
Problem Oksigenisasi ; respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne
stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental; agitasi-gelisah, tekanan darah
menurun, hypoksia, akumulasi secret, nadi ireguler.
Problem Eliminasi; Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic,
kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi,
inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit(mis
Ca Colon), retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau
kondisi penyakit mis trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan
intake cairan atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.
Problem Nutrisi dan Cairan; asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic
menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan
cairan menurun.
Problem suhu; ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
Problem Sensori ; Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat
mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran
menurun, kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun.
penglihatan kabur,pendengaran berkurang, sensasi menurun.
Problem nyeri ; ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra
vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan
meningkatkan kenyamanan.
Problem Kulit dan Mobilitas ; seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah
pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
Masalah Psikologis ; klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak
respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem
psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang
control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi / barrier komunikasi.
Perubahan Sosial-Spiritual ; klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai
kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan
bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan
mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain
beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau
mengalami penderitaan sepanjang hidup
Faktor-Faktor yang perlu dikaji
1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai masalah
pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan,
pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien, klien
mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulansebelum terjadi
kematian. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien
terminal karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan
kemampuan klien dalam pemeliharaan diri.
2. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus
peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali
tahap-tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.
3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal,
karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak
ingin berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya.
Ketidakyakinan dan keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat
harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat
memberikan dukungan social bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat
untuk selalu menemani klien.
4. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,
bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin
mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat
juga harus mengetahui disaat- saat seperti ini apakah pasien mengharapkan
kehadiran tokoh agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.
Konsep dan Prinsip Etika, Norma, Budaya dalam Pengkajian Pasien Terminal
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural/budaya yang
mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi
individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi
kematian/menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi
pasien terminal berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi
menghakimi harus dihindari.
Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan. Perawat
harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual.
Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi
kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.
Diagnosa Keperawatan
I. Ansietas/ ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan dengan
situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut
akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
II. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang
dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
III. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres
( tempat perawatan )
IV. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari
system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam
menghadapi ancaman kematian.
Intervensi
Diagnosa I
1. Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
Berikan kepastian dan kenyamanan.
Tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empti, jangan menghindari
pertanyaan.
Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang
berhubungan dengan pengobtannya.
Identifikasi dan dukung mekaniosme koping efektif Klien yang cemas mempunbyai
penyempitan lapang persepsi denagn penurunan kemampuan untuk belajar.
Ansietas cendrung untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada lingkaran
peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik.
2. Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila tingkatnya rendah atau
sedang Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat
dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat
atauparah tidak menyerap pelajaran.
3. Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan
untuk memperbaiki konsep yang tidak benar.
4. Berika klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif Menghargai
klien untuk koping efektif dapat menguatkan renson koping positif yang akan
datang.
Diagnosa II
1. Berikan kesempatan pada klien da keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
didiskusikan kehilangan secara terbuka, dan gali makna pribadi dari
kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat
Pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa
kematian sedang menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak
berdayaan, marah dan kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya.
Diskusi terbuka dan jujur dapat membantu klien dan anggota keluarga menerima
dan mengatasi situasi dan respon mereka terhdap situasi tersebut.
2. Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang
memberikan keberhasilan pada masa lalu Stategi koping fositif membantu
penerimaan dan pemecahan masalah.
3. Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri yang positif
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan
penerimaan kematian yang terjadi.
4. Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab semua
pertanyaan dengan jujur Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat
dimulai sampai kematian yang akan terjadi di terima.
5. Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan ketidak
nyamanan dan dukungan Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling
menghargai tindakan keperawatan berikut :
a. Membantu berdandan
b. Mendukung fungsi kemandirian
c. Memberikan obat nyeri saat diperlukandan
d. meningkatkan kenyamanan fisik ( skoruka dan bonet 1982 )
Diagnosa III
1. Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan
pengertian yang empati Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan sikap perhatian
dan peduli dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan
pembelajaran.
2. Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan,
ketakutan dan kekawatiran. Saling berbagi memungkinkan perawat untuk
mengintifikasi ketakutan dan kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi
untuk mengatasinya.
3. Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU
Informasi ini dapat membantu mengurangi ansietas yang berkaitan dengan ketidak
takutan.
4. Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan
berikan informasi spesifik tentang kemajuan klien.
5. Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan perawan
Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi keluarga
berkelanjutan.
6. Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya
Keluarga denagan masalah-masalh seperti kebutuhan financial , koping yang tidak
berhasil atau konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan
untuk membantu mempertahankankan fungsi keluarga
Diagnosa IV
1. Gali apakah klien menginginkan untuk melaksanakan praktek atau ritual
keagamaan atau spiritual yang diinginkan bila yang memberi kesemptan pada klien
untuk melakukannya Bagi klien yang mendapatkan nilai tinggi pada do,a atau
praktek spiritual lainnya , praktek ini dapat memberikan arti dan tujuan dan dapat
menjadi sumber kenyamanan dan kekuatan.
2. Ekspesikan pengertrian dan penerimaan anda tentang pentingnya keyakinan dan
praktik religius atau spiritual klien Menunjukkan sikap tak menilai dapat membantu
mengurangi kesulitan klien dalam mengekspresikan keyakinan dan prakteknya.
3. Berikan prifasi dan ketenangan untuk ritual spiritual sesuai kebutuhan klien dapat
dilaksanakan Privasi dan ketenangan memberikan lingkungan yang memudahkan
refresi dan perenungan.
4. Bila anda menginginkan tawarkan untuk berdo,a bersama klien lainnya atau
membaca buku ke agamaan Perawat meskipun yang tidak menganut agama atau
keyakinan yang sama dengan klien dapat membantu klien memenuhi kebutuhan
spritualnya.
5. Tawarkan untuk menghubungkan pemimpin religius atau rohaniwan rumah sakit
untuk mengatur kunjungan. Jelaskan ketidak setiaan pelayanan ( kapel dan injil RS )
Tindakan ini dapat membantu klien mempertahankan ikatan spiritual dan
mempraktikkan ritual yang penting ( Carson 1989 )
Evaluasi
1. Klien merasa nyaman dan mengekpresikan perasaannya pada perawat.
2. Klien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan.
3. Klien selalu ingat kepada Allah dan selalu bertawakkal.
4. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Allah SWT akan kembali kepadanya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit/sakit
yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan
proses kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik,
psikologis, social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap
individu juga berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang
ditunjukan oleh pasien terminal. Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi
akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai
kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Atau sebagian
beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan
mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain
beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau
mengalami penderitaan sepanjang hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup,
merespon terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu
terjadi. Perhatian utama pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri
tetapi lebih pada kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang
menyakitkan atau tekanan psikologis yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan,
kehilangan orang yang dicintai.
B. Saran
1. Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga
pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal
dengan tenang dan damai.
2. Ketika merawat klien menjelang ajal/terminal, tanggung jawab perawat harus
mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang unik.
3. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak dengan
klien menjelang ajal, untuk mendengarkan klien mengekspresikan duka citanya dan
untuk mempertahankan kualitas hidup pasien.
4. Asuhan perawatan klien terminal tidaklah mudah. Perawat membantu klien untuk
meraih kembali martabatnya. Perawat dapat berbagi penderitaan klien menjelang
ajal dan melakukan intervensi yang dapat meningkatkan kualitas hidup, klien harus
dirawat dengan respek dan perhatian penuh. Dalam melakukan perawatan keluarga
dan orang terdekat klien harus dilibatkan, bimbingan dan konsultasi tentang
perawatan diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Smith, Sandra F, Smith Donna J with Barbara C Martin. Clinical Nursing Skills. Basic
to Advanced Skills, Fourth Ed, 1996. Appleton&Lange, USA.
Craven, Ruth F. Fundamentals of nursing : human healt and function.
Kozier, B. (1995). Fundamentals of nursing : Concept Procees and Practice, Ethics
and Values. California : Addison Wesley
http://nurse-smw.blogspot.com/2009/05/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
terminal_08.html
http://kikiyogi.blogspot.com/2009/12/terminal-dan-menjelang-ajal.html
http://keperawatanreligionmentariwardhani.wordpress.com/
ASKEP PADA PASIEN
MENJELANG AJAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat
sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal
dan kualitas hidup dari lahir sampai mati.
Bagaimana peran perawat dalam menangani pasien yang sedang menghadapi proses penyakit
terminal ?
Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat adalah
membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan
dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena
pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs,
Dadang Hawari, 1999 ).
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang
menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian
kesehataan seutuhnya (WHO, 1984).
Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual
pasien. Karena peran perawat yang komprehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan
perawat dalam tugas mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya sesuai dengan Sabda
Rasulullah yang menyatakan bahwa amalan yang terakhir sangat menentukan, sehingga perawat
dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien tetap melakukan yang terbaik
seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun peran spiritual ini sering kali diabaikan
oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting terutama untuk pasien terminal yang
didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.
B. Tujuan
1. Mendefinisikan bagaimana kondisi seseorang yang berada pada tahap terminal
2. Mengetahui konsep teori dari kebutuhan terminal atau menjelang ajal.
3. Mengkaji dan memaparkan diagnosa dari kebutuhan terminal.
4. Memberi intervensi serta mengevaluasi pada klien yang menjelang ajal.
BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Penyakit Terminal
Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu
kecelakaan. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan
melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Kubler-
Rosa, 1969).
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu
tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1999).
B. Jenis Penyakit Terminal
Beberapa jenis penyakit terminal
1. Penyakit-penyakit kanker.
2. Penyakit-penyakit infeksi.
3. Congestif Renal Falure (CRF).
4. Stroke Multiple Sklerosis.
5. Akibat kecelakaan fatal.
6. AIDS.
C. Manifestasi Klinik Fisik
1. Gerakan pengindaran menghilang secara berangsur-angsur dimulai dari ujung kaki dan ujung
jari.
2. Aktivitas dari GI berkurang.
3. Reflek mulai menghilang.
4. Suhu klien biasanya tinggi tapi merasa dingin dan lembab terutama pada kaki dan tangan
dan ujung-ujung ekstremitas.
5. Kulit kelihatan kebiruan dan pucat.
6. Denyut nadi tidak teratur dan lemah.
7. Nafas berbunyi, keras dan cepat ngorok.
8. Penglihatan mulai kabur.
9. Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri.
10. Klien dapat tidak sadarkan diri.
D. Tahap Berduka
Dr.Elisabeth Kublerr-Ross telah mengidentifikasi lima tahap berduka yang dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit terminal :
1. Denial ( pengingkaran )
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat menerima
informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin mengingkarinya.
2. Anger ( Marah )
Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia akan meninggal.
3. Bergaining ( tawar-menawar )
Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba menawar waktu untuk hidup.
4. Depetion ( depresi )
Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan segera mati.ia sangat sedih
karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama lagi bersama keluarga dan teman-teman.
5. Acceptance ( penerimaan)
Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan bahwa ia akan meninggal.
Ia akan berusaha keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan.
E.Rentang Respon Kehilangan
Denial> Anger> Bergaining> Depresi> Acceptance
1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi; itu tidak mungkin, saya tidak percaya itu terjadi .
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah.
2. Fase anger / marah
a. Mulai sadar akan kenyataan
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal
d. Perilaku agresif.
3. Fase bergaining / tawar- menawar.
a. Verbalisasi; kenapa harus terjadi pada saya ? kalau saja yang sakit bukan saya seandainya
saya hati-hati .
4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ; apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh, yah, akhirnya saya
harus operasi
F. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian
Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat dari
fase akut ke kronik.
2.Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi penyakit
yang kronik.
3.Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada pasien
dengan operasi radikal karena adanya kanker.
4.Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit kronik dan
telah berjalan lama.
G. Tanda-tanda Meninggal secara klinis Secara tradisional.
Tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan nadi, respirasi dan
tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan beberapa petunjuk
tentang indikasi kematian, yaitu:
1. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
2. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
3. Tidak ada reflek.
4. Gambaran mendatar pada EKG.
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit atau sakit yang
tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik, psikologis,
social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga berbeda. Hal ini
mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh pasien terminal.
Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita penyakit
kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Atau
sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan
mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut
akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang
hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup, merespon
terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu terjadi. Perhatian utama
pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada kehilangan kontrol
terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang menyakitkan atau tekanan psikologis yang
diakibatkan ketakutan akan perpisahan, kehilangan orang yang dicintai.
b. Saran
1. Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya
untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan
damai.
2. Ketika merawat klien menjelang ajal atau terminal, tanggung jawab perawat harus
mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang unik.
3. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak dengan klien
menjelang ajal, untuk mendengarkan klien mengekspresikan duka citanya dan untuk
mempertahankan kualitas hidup pasien
DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges E. Marilynn, Moorhouse Frances Mary, Geisster C Alice. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien jiwa Edisi
3. Jakarta: EGC.
2. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan jiwa Edisi 8. Jakarta: EGC
3..Depkes RI Pusdiknakes. 995. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan dan Penyakit
kronik dan terminal Jakarta: Depkes RI.
4.. www. Google.com
MATI / MENINGGAL
Berhentinya fungsi vital yang permanen, akhir penghidupan manusia
KEMATIAN BISA DATANG :
Tiba-tiba
Tanpa peringatan
Mengikuti periode panyakit yang panjang
Menyerang usia muda
Tetapi selalu menunggu usia tua
PERAWAT
Perawatan menjelang ajal
Perawatan posmorten
MEMPERSIAPKAN KEMATIAN :
1. Setiap pasien bereaksi dengan cara yang unik
2. Kepada siapa pasien ingin mengungkapkan perasaannya keputusan yang sangat
pribadi
3. Perawat harus bersedia mendengarkan, tetapi jangan memperbesar masalah
PERAN PERAWAT :
1. Respons harus konsisten
2. Harus terbuka dan bersikap menerima perasaan pasien dapat berubah-ubah
3. Eksplorasikan perasaan dengan jujur
4. Berikan asuhan keperawatan khususnya perawatan mulut dan masukan cairan
5. Empati dalam melaksanakan tugas dengan cara tenang dan efisien
6. Jika pasien dalam kondisi kritis persiapkansesuai dengan agamanya
INGAT
Peristiwa menjelang ajal adalah urusan yang bersifat pribadi, perjalanan yang harus
diselesaikan seorang diri
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai
usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Pada usia lanjut akan terjadi berbagai
kemunduran pada organ tubuh. Namun tidak perlu berkecil hati, harus selalu optimis, ceria dan
berusaha agar selalu tetap sehat di usia lanjut. Jadi walaupunb usia sudah lanjut, harus tetap
menjaga kesehatan
Proses menua manusia mengalami perubahan menuju ketergantungan fisik dan mental. Keluhan
yang menyertai proses menua menjadi tanda adanya penyakit, biasanya disertai dengan perasaan
cemas, depresi atau mengingkari penyakitnya.
Apalagi penyakit stadium terminal (tinggal menunggu ajal) dalam prediksi secara medis sering
diartikan penderita tidak lama lagi meninggal dunia. Keadaan ini menyebabkan lansia
mengalami kecemasan menghadapi kematian.
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban penderita,
terutama terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Yang dimaksud tindakan aktif antara lain
mengurangi/menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek psikologis,
sosial, dan spiritual.
Tujuan perawatan paliatif adalah mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut
usia) dan keluarganya. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan kepada lanjut usia yang
menjelang akhir hayatnya, tetapi juga diberikan segera setelah didiagnosisoleh dokter bahwa
lanjut usia tersebut menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh (mis., menderita
kanker). Sebagian pasien lanjut usia, pada suatu waktu akan menghadapi keadaan yang disebut
stadium paliatif, yaitu kondisi ketika pengobatan sudah tidak dapat menghasilkan kesembuhan.
Biasanya dokter memvonis pasien lanjut usia yang menderita penyakit yang mematikan (misal,
kanker, stroke, AIDS) juga mengalami penderitaan fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang medis dan keperawatan,
memungkinkan diupayakan berbagai tindakan dan pelayanan yang dapat mengurangi
penderitaan pasien lanjut usia, sehingga kualitas hidup di akhir kehidupannya tetap baik, tenang
dan mengakhiri hayatnya dalam keadaan iman dan kematian yang nyaman. Diperlukan
pendekatan holistik yang dapat memperbaiki kualitas hidup klien lanjut usia. Kualitas hidup
adalah bebas dari segala sesuatu yang menimbulkan gejala, nyeri, dan perasaan takut sehingga
lebih menekankan rehabilitasi dari pada pengobatan agar dapat menikmati kesenagngan selama
akhir hidupnya. Sesuai arti harfiahnya, paliatif bersifat meringankan, bukan menyembuhkan.
Jadi, perawatan paliatif diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan
semangat dan motivasi. Perawatan ini merupakan pelayanan yang aktif dan menyeluruh yang
dilakukan oleh satu tim dari berbagai disiplin ilmu.
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada pasien terminal
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu memahami pengertian hospice
b) Mahasiswa mampu memahami jenis-jenis penyakit terminal
c) Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinik
d) Mahasiswa mampu memahami fase-fase kehilangan
e) Mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Penyakit
Terminal.
BAB 2
PEMBAHASAN
Dalam perawatan ini, keluarga ikut dilibatkan sehingga dengan demikian diharapkan semua
kebingungan dan konflik dikemudian hari dapat dihindari. Proses ini perlu senantiasa dinilai
kembali dan di-up date secara reguler karena dalam perjalanannya tujuan perawatan dan
prioritasnya sering kali berubah-ubah tergantung pada situasi/kondisi yang dihadapi saat itu. Bila
pada awalnya tujuan kuratif dan menghindari kematian merupakan prioritas utama, pada stadium
terminal tujuan perawatan beralih ke usaha mempertahankan fungsi, meniadakan penderitaan
dan mengoptimalkan kualitas hidup penderita. Dengan demikian diharapkan penderita dapat
menghadapi akhir hayatnya secara damai, tenang dan bermartabat (with dignity). Peralihan ini
seharusnya terjadi secara gradual/tidak secara mendadak. Sering kali tujuan perawatan dan
prioritas di pihak penderita dan keluarganya tidak sejalan dengan tujuan dan prioritas dokternya.
Hal ini perlu dikomunikasikan dengan baik sehingga kedua belah pihak dapat memilih apa
yang terbaik bagi penderita. Disini dokter memegang peran kunci karena dialah yang lebih
banyak mengetahui tentang perjalanan penyakit yang senantiasa berubah serta alternatif
pengobatan yang mungkin diberikan pada penderita untuk mencapai tujuan perawatan tadi serta
bagaimana prognosisnya. Karena itu pengkajian secara teratur dan up-dating perlu selalu
diusahakan dan dikomunikasikan dengan penderita/ keluarganya. Untuk mencapai tujuan
tersebut diatas diperlukan kerjasama dari beberapa ahli yang bekerja bersama dalam sebuah team
yang multidisipliner dan bekerja secara interdisipliner sehingga perawatan penderita dapat
berjalan secara komprehensif.
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu
tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1995).
Perawatan terminal dapat dimulai pada minggu-minggu, hari-hari dan jaminan terakhir
kehidupan dimana bertujuan:
Mempertahankan hidup, Menurunkan stress, Meringankan dan mempertahankan kenyamanan
selama mungkin (Weisman). Secara umum kematian adalah sebagian proses dari kehidupan yang
dialami oleh siapa saja meskipun demikian, hal tersebut tetap saja menimbulkan perasaan nyeri
dan takut, tidak hanya pasien akan juga keluarganya bahkan pada mereka yang merawat dan
mengurusnya.
Penderita yang akan meninggal tidak akan kembali lagi ke tengah keluarga, kenyataan ini
sangat berat bagi keluarga yang akan ditinggalkannya Untuk menghindari hal diatas bukan hanya
keluarganya saja yang berduka bahkan klien lebih tertekan dengan penyakit yang dideritanya.
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban penderita, terutama
terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Yang dimaksud tindakan aktif antara lain
mengurangi/menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek psikologis,
sosial, dan spiritual.
Tujuan perawatan paliatif adalah mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut
usia) dan keluarganya. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan kepada lanjut usia yang
menjelang akhir hayatnya, tetapi juga diberikan segera setelah didiagnosisoleh dokter bahwa
lanjut usia tersebut menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh (mis., menderita
kanker). Sebagian pasien lanjut usia, pada suatu waktu akan menghadapi keadaan yang disebut
stadium paliatif, yaitu kondisi ketika pengobatan sudah tidak dapat menghasilkan kesembuhan.
Biasanya dokter memvonis pasien lanjut usia yang menderita penyakit yang mematikan (misal,
kanker, stroke, AIDS) juga mengalami penderitaan fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang medis dan keperawatan,
memungkinkan diupayakan berbagai tindakan dan pelayanan yang dapat mengurangi
penderitaan pasien lanjut usia, sehingga kualitas hidup di akhir kehidupannya tetap baik, tenang
dan mengakhiri hayatnya dalam keadaan iman dan kematian yang nyaman. Diperlukan
pendekatan holistik yang dapat memperbaiki kualitas hidup klien lanjut usia. Kualitas hidup
adalah bebas dari segala sesuatu yang menimbulkan gejala, nyeri, dan perasaan takut sehingga
lebih menekankan rehabilitasi dari pada pengobatan agar dapat menikmati kesenagngan selama
akhir hidupnya. Sesuai arti harfiahnya, paliatif bersifat meringankan, bukan menyembuhkan.
Jadi, perawatan paliatif diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan
semangat dan motivasi. Perawatan ini merupakan pelayanan yang aktif dan menyeluruh yang
dilakukan oleh satu tim dari berbagai disiplin ilmu.
Dalam memberi perawatan paliatif, tim tersebut harus berpijak pada pola dasar yang
digariskan oleh WHO, yaitu :
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal.
2. Tidak mempercepat dan menunda kematian lanjut usia.
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5. Berusaha agar lanjut usia yang sakit tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6. Berusaha membantu mengatasi suasana duka cita keluarga klien lanjut usia.
Pola dasar tersebut harus diterapkan langkah demi langkah dengan mengikut sertakan
keluarga pasien, pemuka agama (sesuai agama klien), relawan, pekerja sosial , dokter, psokolog,
ahli gizi, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasi, dan perawat. Prinsip pemberian perawatan paliatif
adalah membieri perawatan paripurna kepada klien lanjut usia dengan pengawasan dari tim
profesional.
Rohaniawan
Pekerja
Sosial
Ahli
Nutrisi
Pemberi Asuhan
Relawan
Fisioterapis
Perawat
PASIEN
Bagan kepemimpinan dalam perawatan paliatif
2.3.2 Psikososial
Sesuai dengan fase-fase kehilangan menurut seorang ahli E. Kuber Ross mempelajari respon-
respon atas menerima kematian dan maut secara mendalam dari hasil penyelidikan/penelitiannya
yaitu:
1. Respon kehilangan
a) Rasa takut diungkapkan dengan ekspresi wajah (air muka), ketakutan, cara tertentu untuk
mengulurkan tangan.
b) Cemas diungkapkan dengan cara menggerakkan otot rahang dan kemudian mengendor.
c) Rasa sedih diungkapkan dengan mata setengah terbuka atau menanggis.
2. Hubungan dengan orang lain
a) Kecemasan timbul akibat ketakutan akan ketidak mampuan untuk
b) berhubungan secara interpersonal serta akibat penolakan.
Breavement adalah respon subjektif dalam masa berduka yang dilalui selama reaksi berduka.
Biasanya berefek pada masalah psikis dan kesehatan . Sedangkan berkabung adalah periode
penirimaan terhadap kehilangan dan berduka yang terjadi selama individu dalam masa
kehilangan. Sering dipengaruhi oleh kebudayaan dan kebiasaan.
Berduka merupakan respo0n normal dan universal terhadap kehilangan yang dialami melalui
perasaan, perilaku, dan penderitaan emosional. Berduka adalah proses pergeeseran melewati
nyeri akibat kehilangan. Kehilangan kesehatan, teman , kerabat, pekerjaan , keamanan financial
merupakan sebagian dari kehilangan kumulatif yang menyebabkann berduka pada lansia.
Periode berduka adalah waktu penyembuhan , adaptasi, dan pertumbhan.
Asuhan keperwatan untuk pasien dan pemberi perawatan yang berduka memerluikan rasa
saling member yang sensitive, peduli dan empati. Berbagai pendapat, perasaan dan ketenangan
merupakan intervensi keperawatan yang paling tepat . Bimbingan adaptif dapat membantu
mereka mempersiapkan orang yang menjelang ajal untuk mengahadapi nyeri dan perasaan
alamiah mereka yang berhubungan dengan proses berduka .
Dalam proses ini perawat dapat menghindari asumsi yang salah tentang kematian, member
kesempatan klien untuk mengeksploitasi perasaan, mengkaji klien dan keluarga tentang makna
kehilangan mereka, dan gunakanlah komunikasi yang empati dan berduka.
Kaji reaksi klien selama berduka, kaji factor factor yang mempengaruhi kehilangan, kaji
karakteristik personal dan identitas klien , kaji bagaimana hubungan dengan subyek yang hilang ,
kaji karakteristik kehilangan, kaji keyakian spiritual dan sistem pendukung yang lain.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang bisa ditegakkan untuk klien klien berduka adalah :
a.Berduka disfungsional.
b.Berduka yang diantisipasi.
c.Penyesuaian diri yang terganggu.
Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi organ jelas tidak
bisa membaik dengan berbagai pengobatan, keadaan yang jelas tidak member harapan . Akan
tetapi apabila penderita masih dalam kesadaran penh , dan masih mampu bermobilisasi , dengan
berbagai fungsi organ yang masih berfungsi, mka persoalan etika hokum menjadi lebih rumit.
Dalam hal diatas yang menjadi masalah bagi praktek kedokteran di Indonesia adalah
bagaimana memberitahukan keadaan sebenarnya pada penerita yang sering kali member beban
psikologis sangat berat, sehingga keluarga kerapkali menyembunyikan kebenaran dari klien .
menurut hak azaz otonomi , seharusnya klien lah yang paling berhak tahu atas kondisi kesehatan
nya.
Amberton mengisolasi empat strategi koping utama yang digunakan oleh orang yang
menjelang ajal.: penyangkalan , ketergantungan , pemindahan , dan regresi. Teorinya
menekankan pada suatu pendekatan tim dalam merawat orang yang menjelang ajal, dengan focus
pada pendekatan asuhan paliatif daripada pendekatan kuratif. Dukungan yang konsisten oleh
pemberi perawatan diperlukan pada saat pasien yang menjelang ajal terombang-ambing diantara
berbagai bentuk ketergantungan dan kecukupan diri. Orang yang menjelang ajal perlu
mengetahui bahwa mereka tidak akan diabaikan atau ditinggal sendiri.
Pattison tidak menyetujui pembagian proses menjelang ajal menjadi tahapan-tahapan
kronologis yang tersusun. Ia mengindentifikasi berbagai mekanisme koping ego yang digunakan
oeh orang yang menjelang ajal pada berbagai titik yang berbeda selama siklus hidup. Lansia
menggunakan altruism, humor , supresi, pikiran , antisipasi, dan sublimasi untuk menghadapi
kebutuhan-kebutuhan terminal. Patrison merujuk pada fase-fase proses menjelang ajal : fase
akut, fase kehidupan kronis , fase menjelang ajal, fase akhir. Ia mengatakan bahwa persiapan
reaksi psikologis muncul selama interval hidup-mati. Pendekatan individual diperlukan untuk
menghadapi stress dan krisis yang dapat muncul kapan saja dalam proses menjelang ajal.
Pemberian askep pada lansia yang sedang menghadapi sekratul maut tidak selamanya
mudah. Klien lansia akan memberi reaksi yang berbeda-beda, bergantung pada kepribadian dan
cara klien lansia menghadapi hidup. Bagaimanapun keadaannya, perawat harus dapat menguasai
situasi, terutama anggota keluarga dalam keadaan kritis ini memerlukan perhatian perawat karna
kematian seorang dapat terjadi secara tiba-tiba dan dapat pula berlangsung sehari-hari. Kadang-
kadang sebelum ajal tiba, klien lansia kehilangan kesadarannya terlebih dahulu.
Pengertian sakit gawat adalah suatu keadaan sakit, yang klien lansia tidak dapat lagi atau
tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Pengertian kematian/mati adalah apabila seorang tidak lagi
teraba denyut nadinya, tidak bernapas selama beberapa menit, dan tidak menunjukan segala
refleks, serta tidak ada kegiatan otak.
Penyebab kematian diantara lain adalah sebagai berikut :
1. Penyakit
a. Keganasan (karsinoma hati, paru, mammae)
b. Penyakit kronis, misalnya:
CVD (cerebrovaskuler disease), CRF (chronic renal failure (gagal Ginjal), Diabetes Melitus
(gangguan endokrin), MCI (myocard infark (gangguan kardiovaskular), COPD (chronic
obstruction pulmonary disease).
Tanda-tanda kematian:
1. Pupil mata tetap membesar atau melebar dan tidak berubah.
2. Hilangnya semua refleks dan ketidaan kegiatan otak yang tampak jelas dalam hasil
pemeriksaan EEG dalam waktu 24jam.
4. Tahap depresi
Adalah ketiada usaha apapun untuk mengungkapkan perasaan atau reaksi kehilangan. Gambaran
pada tahap ini yaitu:
a) Klien tidak banyak bicara.
b) Sering menanggis.
c) Putus asa.
Tidak semua orang dapat melampaui kelima tahap tersebut dengan baik, dapat saja terjadi,
ketidakmampuan menggunakan adaptasi dan timbul bentuk-bentuk reaksi lain. Jangka waktu
periode tahap tersebut juga sangat individual. Penerimaan suatu prognosa penyakit terminal
memang berat bagi setiap individu. Ini merupakan suatu ancaman terhadap kehidupan dan
kesejahteraan pada individu tersebut. Dari ancaman tersebut timbul suatu rentang respon cemas
pada individu, cemas dapat dipandang suatu keadaan ketidakseimbangan atau ketegangan yang
cepat mengusahakan koping.
Rentang respon seseorang terhadap penyakit terminal dapat digambarkan dalam suatu rentang
yaitu harapan ketidakpastian dan putus asa.
1. Harapan
Mempunyai respon psikologis terhadap penyakit terminal. Dengan adanya harapan dapat
mengurangi stress sehingga klien dapat menggunakan koping yang adekuat.
2. Ketidakpastian
Penyakit terminal dapat mengakibatkan ketidakpastian yang disertai dengan rasa tidak aman dan
putus asa, meskipun secara medis sudah dapat dipastikan akhirnya prognosa dapat mempercepat
klien masuk dalam maladaptif.
3. Putus asa
Biasanya ditandai dengan kesedihan dan seolah-olah tidak ada lagi upaya yang dapat berhasil
untuk mengobati penyakitnya. Dalam kondisi ini dapat membawa klien merusak atau melukai
diri sendiri.
E: Emotional Reaction
Yaitu reaksi emosional yang ditunjukkan dengan klien.
Contoh yang positif:
Binggung tetapi mampu memfokuskan keadaan.
Contoh yang negatif:
Tidak berespon (menarik diri)
R: Respon to Stress
Yaitu respon klien terhadap situasi saat ini atau dimasa lalu.
Contoh yang positif:
1. Memahami masalah secara langsung dan mencari informasi.
2. Menggunakan perasaannya dengan sehat misalnya: latihan dan olah raga.
Contoh yang negatif:
1.Menyangkal masalah.
2.Pemakaian alkohol.
S: Support System
Yaitu: keluarga atau orang lain yang berarti.
Contoh yang positif:
1. Keluarga
2. Lembaga di masyarakat
Contoh yang negatif:
Tidak mempunyai keluarga
N: Nexsus
Yaitu: bagian dari bahasa tubuh mengontrol seseorang mempunyai penyakit atau mempunyai
gejala yang serius.
Contoh yang positif:
Melibatkan diri dalam perawatan dan pengobatan.
Contoh yang negatif:
1. Tidak berusaha melibatkan diri dalam perawatan.
2. Menunda keputusan.
Pengkajian yang perlu diperhatikan klien dengan penyakit terminal menggunakan pendekatan
meliputi.
1. Faktor predisposisi
Yaitu faktor yang mempengaruhi respon psikologis klien pada penyakit terminal, sistem
pendekatan bagi klien. Klas Kerud telah mengklasifikasikan pengkajian yang dilakukan yaitu:
a) Riwayat psikosisial, termasuk hubungan-hubungan interpersonal, penyalahgunaan zat,
perawatan psikiatri sebelumnya.
b) Banyaknya distress yang dialami dan respon terhadap krisis.
c) Kemampuan koping.
d) Sosial support sistem termasuk sumber-sumber yang ada dan dibutuhkan support tambahan.
e) Tingkat perkembangan
f) Fase penyakit cepat terdiagnosa, pengobatan dan post pengobatan.
g) Identitas kepercayaan diri, pendekatan nilai-nilai dan filosofi hidup.
h) Adanya reaksi sedih dan kehilangan
i) Pengetahuan klien tentang penyakit
j) Pengalaman masa lalu dengan penyakit
k) Persepsi dan wawasan hidup respon klien terhadap penyakit terminal, persepsi terhadap
dirinya, sikap, keluarga, lingkungan, tersedianya fasilitas kesehatan dan beratnya perjalanan
penyakit.
l) Kapasitas individu untuk membuat psikosial kembali dalam penderitaan.
2. Fokus Sosiokultural
Klien mengekpresikannya sesuai dengan tahap perkembangan, pola kultur atau latar belakang
budaya terhadap kesehatan, penyakit, penderitaan dan kematian yang dikomunikasikan baik
secara verbal maupun non verbal.
3. Faktor presipitasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya reaksi klien terminal, yaitu:
a) Prognosa akhir penyakit yang menyebabkan kematian.
b) Faktor transisi dari arti kehidupan menuju kematian.
c) Support dari keluarga dan orang terdekat.
d) Hilangnya harga diri, karena kebutuhan tidak terpenuhi sehingga klien menarik diri, cepat
tersinggung dan tidak ada semangat hidup.
Selain itu etiologi dari penyakit terminal dapat merupakan faktor presipitasi, diantaranya:
1) Penyakit kanker
2) Penyakit akibat infeksi yang parah/kronis
3) Congestif Renal Failure (CRF)
4) Stroke Multiple Sklerosis
5) Akibat kecelakaan yang fatal
4. Faktor perilaku
a) Respon terhadap klien
Bila klien terdiagnosa penyakit terminal maka klien akan mengalami krisis dan keadaan ini
mengakibatkan keadaan mental klien tersinggung sehingga secara langsung dapat menganggu
fungsi fisik/penurunan daya tahan tubuh.
b) Respon terhadap diagnosa
Biasanya terjadi pada klien yang terdiagnosa penyakit terminal adalah shock atau tidak percaya
perubahan konsep diri klien terancam, ekspresi klien dapat berupa emosi kesedihan dan
kemarahan.
c) Isolasi social
Pada klien terminal merupakan pengalaman yang sering dialami, klien kehilangan kontak dengan
orang lain dan tidak tahu dengan pasti bagaimana pendapat orang terhadap dirinya.
5. Mekanisme koping
Denial
Adalah mekanisme koping yang berhubungan dengan penyakit fisik yang berfungsi pelindung
kien untuk memahami penyakit secara bertahap, tahapan tersebut adalah:
1) Tahap awal (initial stage)
Yaitu tahap menghadapi ancaman terhadap kehilangan saya harus meninggal karena penyakit
ini
2) Tahap kronik (kronik stage)
Persetujuan dengan proses penyakit aku menyadari dengan sakit akan meninggal tetapi tidak
sekarang. Proses ini mendadak dan timbul perlahan-lahan.
3) Tahap akhir (finansial stage)
Menerima kehilangan saya akan meninggal kedamaian dalam kematiannya sesuai dengan
kepercayaan.
Regresi
Mekanisme klien untuk menerima ketergantungan terhadap fungsi perannya. Mekanisme ini juga
dapat memecahkan masalah pada peran sakit klien dalam masa penyembuhan.
Kompensasi
Suatu tindakan dimana klien tidak mampu mengatasi keterbatasannya karena penyakit yang
dialami.
Selain dari faktor-faktor yang mempengaruhi diatas, yang perlu dikaji saat pengkajian pada klien
terminal singkat kesadaran antara lain adalah:
1) Belum menyadari (closed awereness)
Yaitu klien dan keluarga tidak menyadari kemungkinan akan kematian, tidak mengerti mengapa
klien sakit, dan mereka yakin klien akan sembuh.
2) Berpura-pura (mutual pralensa)
Yaitu klien, keluarga, perawat dan tenaga kesehatan lainnya tahu prognosa penyakit terminal.
3) Menyadari (open awereness)
Yaitu klien dan keluarga menerima/mengetahui klien akan adanya kematian dan merasa tenang
mendiskusikan adanya kematian.
a. Perasaan Takut.
Kebanyakan pasien merasa takut terhadap rasa nyeri yang tidak terkendalikan yang begitu sering
di asosiakan dengan keadaan sakit terminal, terutama bila keadaan tersebut di sebbkan oleh
penyakit yang ganas. Perawat harus menggunakan pertimbnagan yang sehat apabila sedang
merawaat orang yang sakit terminal. Perawat harus mengendalikan rasa nyeri pasien dengan cara
yang tepat.
Perasaan takut yang muncul mungkin takut terhadap rasa nyeri, walaupun secara teori, nyeri
tersebut dapat diatasi dengan obat penghilang rasa nyeri,seperti aspirin,dehidrokodein dan
dektromororamid. Apabila orang berbicara tentang perasaan takut mereka terhadap maut, respons
mereka secara tipikal mencakup perasaan yang takut terhadap hal yang tidak jelas,takut
meninggalkan orang yang dicintai, kehilangan martabat, urusan yang belum selesai dan
sebagainya.
Kematian merupakan berhentinya kehidupan. Semua orang akan mengalami kematian
tersebut. Dalam menghadapi kematian ini, pada umumnya orang akan merasa takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan terhadap kematian ini dapat membuat pasien tegang dan stress.
b. Emosi.
Emosi pasien yang muncul pada tahap menjelang kematian ,antara lain mencela dan mudah
marah.
c. Tanda vital.
Perubahan fungsi tubuh sering tercermin pada suhu badan, denyut nadi, pernafasan, dan
tekanan darah. Mekanisme fisiologis yang mengaturnya berkaitan satu sam lain. Setiap
perubahan yang berlainan dengan keadaan yang normal dianggap sebagai indikasi yang penting
untuk mengenali keadaan kesehatan seseorang.
d. Kesadaran.
Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas waspada, yang merupakan ekspresi
tentang apa yang dilihat, didengar, dialami, dan perasaan keseimbangan, nyeri, suhu, raba, getar
gerak, gerak tekan dan sikap, bersifat adekuat yaitu tepat dan sesuai (mahar mardjono 1981).
e. Fungsi tubuh.
Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ. Setiap organ mempunyai fungsi khusus.
Tingkat Kesadaran
1. Komposmentis sadar sempurna
2. Apatis Tidak ada perasaan/kesadaran menurun
(masabodoh)
3. Somnolen Kelelahan (mengantuk berat)
4. Soporus Tidur lelap patologis (tidur pulas)
5. Subkoma Keadaan tidak sadar/hampir koma
6. Koma Keadaan pingsan lama disertai dengan penurunan
daya reaksi.
4.Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan
klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka
klien yang cemas
Tujuan :
Klien tidak cemas lagi dan klien memiliki suatu harapan serta semangat hidup
Intervensi :
a) Kaji tingkat kecemasan klien.
b) Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.
c) Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada klien agar tidak kehilangan harapan hidup dengan
tetap mengikuti dan mematuhi petunjuk perawatan dan pengobatan.
d) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
e) Datangkan seorang klien yang lain yang memiliki penyakit yang sama dengan klien.
f) Ajarkan kepada klien dalam melakukan teknik distraksi, misal dengan mendengarkan musik
kesukaan klien atau dengan teknik relaksasi, misal dengan menarik nafas dalam.
g) Beritahukan kepada klien mengenai perkembangan penyakitnya.
h) Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan dan pengobatan.
5.Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian,
ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan
atas penyakit yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah
terhadap orang lain maupun perawat
Tujuan :
Koping individu positif
Intervensi :
a) Gali koping individu yang positif yang pernah dilakukan oleh klien.
b) Jelaskan kepada klien bahwa setiap manusia itu pasti akan mengalami suatu kematian dan
itu telah ditentukan oleh Tuhan.
c) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
d) Perawat maupun keluarga haruslah tetap mendampingi klien dan mendengarkan segala
keluhan dengan rasa empati dan penuh perhatian.
e) Hindari barang barang yang mungkin dapat membahayakan klien.
f) Tetap memotivasi klien agar tidak kehilangan harapan untuk hidup.
g) Kaji keinginan klien mengenai harapa untuk hidup/keinginan sebelum menjelang ajal.
h) Bantu klien dalam mengekspresikan perasaannya.
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia, yang menjadi obyek adalah pasien
lanjut usia (core), disusul dengan aspek pengobatan medis (cure), dan yang terakhir, perawatan
dalam arti yang luas (care),. Core,cure,care merupakan tiga aspek yang saling berkaitan dan
saling berpengaruh. Kapanpun ajal menjemput, semua orang harus siap. Namun ternyata semua
orang termasuk lanjut usia akan merasa syok berat saat dokter memvonis bahwa penyakit yang
dideritanya tidak bisa disembuhkan.
BAB 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
A. Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap
penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa
tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual.
B. Jenis-Jenis Penyakit Terminal
Adapun yang dapat dikategorikan sebagai penyakit terminal adalah: Penyakit-penyakit kanker,
Penyakit-penyakit infeksi, Congestif Renal Falure (CRF), Stroke Multiple Sklerosis, Akibat
kecelakaan fatal, AIDS.
3. Elizabeth Kubbler Ross menggambarkan 5 tahap yang akan dilalui klien dalam menghadapi
bayangan akan kematian/kehilangan yang sangat bermanfaat untuk memahami kondisi klien
pada saat ini, yaitu: tahap peningkatan atau denial, tahap anger atau marah, tahap tawar menawar
atau bergaining, tahap depresi, tahap acceptance atau menerima
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini kelompok masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kelompok kami meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah
yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
A. Pengertian
1. Keadaan Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit
atau suatu kecelakaan.
2. Kematian
Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan
mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan
merupakan suatu kehilangan.
2. Marah/Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala
hal yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.
3. Menawar/bargaining
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat
menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.
4. Kemurungan/Depresi
Selama tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin
banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping
pasien yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Menerima/Pasrah/Acceptance
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga
tentang kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian.
Fase ini sangat membantu apabila kien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau
rencana-rencana yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu
dengan keluarga terdekat, menulis surat wasiat.
4. Gangguan Sensoria.
a. Penglihatan kabur.
b. Gangguan penciuman dan perabaan.
Variasi-variasi tingkat kesadaran dapat dilihat sebelum kematian, kadang-kadang
klien tetap sadar sampai meninggal. Pendengaran merupakan sensori terakhir yang
berfungsi sebelum meninggal.
E. Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal
1. Pupil mata melebar.
2. Tidak mampu untuk bergerak.
3. Kehilangan reflek.
4. Nadi cepat dan kecil.
5. Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
6. Tekanan darah sangat rendah
7. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
BAB I
PENDAHULUAN
B. Tujuan
1. Mendefinisikan bagaimana kondisi seseorang yang mendekati kematian.
2. Mengetahui konsep teori dari kebutuhan terminal atau menjelang ajal.
3. Mengkaji dan memaparkan diagnosa dari kebutuhan terminal.
4. Memberi intervensi serta mengevaluasi pada klien yang menjelang ajal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup dan
meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan dan
dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup semakin
bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit degeneratif
seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan melalui suatu proses
pengobatan dan perawatan yang panjang.
Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang
ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidak berdayaan, dan akhirnya
kematian. Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis dan
terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah menghadapi
kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik untuk
berhadapan dengan ancaman kematian.
Ditengah keputusasaan, sering kali terdengar Kami sudah melakukan segalanya yang
bisa dilakukan... Namun kini telah mulai disadari untuk pasien terminal pun profesi medis
masih dapat melakukan banyak hal. Jika upaya kuratif tidak dimunginkan lagi, masih luas
kesempatan untuk upaya paliatif. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak
hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan,
gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya.
Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan
atau pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan
psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal
sebagai perawatan paliatif atau palliative care. Dalam perawatan paliatif maka peran perawat
adalah memberikan Asuhan Keperawatan pada Pasien Terminal untuk membantu pasien
menjalani sisa hidupnya dalam keadaan seoptimal mungkin.
B. Konsep Materi
1. Pengertian
Keadaan Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit
atau suatu kecelakaan.
Kematian
Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan mengalami atau
menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan suatu
kehilangan.
2. Tahap-tahap Menjelang Ajal.
Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap menjelang ajal (dying)
dalam 5 tahap, yaitu :
a. Menolak (Denial)
Pada tahap ini klien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi dan
menunjukkan reaksi menolak.
b. Marah (Anger)
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal
yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.
c. Menawar (Bargaining)
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan
kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.
d. Kemurungan (Depresi)
Selama tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien
yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
e. Menerima atau Pasrah (Acceptance)
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga tentang
kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat
membantu apabila kien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana
yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga
terdekat, menulis surat wasiat.
3. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian.
Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu :
a. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang
cepat dari fase akut ke kronik.
b. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi
penyakit yang kronik.
c. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada
pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
d. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu, terjadi pada pasien dengan sakit
kronik dan telah berjalan lama.
4. Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian.
a. Kehilangan Tonus Otot, ditandai :
1) Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
2) Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
3) Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi dan sebagainya.
4) Penurunan control spinkter urinari dan rectal.
5) Gerakan tubuh yang terbatas.
b. Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai :
1) Kemunduran dalam sensasi.
2) Cyanosis pada daerah ekstermitas.
3) Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan
hidung.
c. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital :
1) Nadi lambat dan lemah.
2) Tekanan darah turun.
3) Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
d. Gangguan Sensoria : Penglihatan kabur.
e. Gangguan penciuman dan perabaan.
5. Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal :
a. Pupil mata melebar.
b. Tidak mampu untuk bergerak.
c. Kehilangan reflek.
d. Nadi cepat dan kecil.
e. Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
f. Tekanan darah sangat rendah.
g. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
6. Tanda-tanda Meninggal secara klinis.
Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan nadi,
respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan beberapa
petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu :
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
c. Tidak ada reflek.
d. Gambaran mendatar pada EKG.
7. Macam tingkat Kesadaran atau Pengertian dari Pasien dan Keluarganya terhadap Kematian.
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type :
a. Closed Awareness atau Tidak Mengerti.
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini
sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan
keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung,
kapan sembuh, kapan pulang dan sebagainya.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala
sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
c. Open Awareness atau Sadar akan keadaan dan Terbuka.
Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal
yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir.
Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam
merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal
tersebut.
8. Bantuan yang dapat Diberikan.
Bantuan Emosional:
a. Pada Fase Denial.
Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaannya.
b. Pada Fase Marah atau anger.
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang
marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal
yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan
lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat
dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta
meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
c. Pada Fase Menawar.
Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong
pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut
yang tidak masuk akal.
d. Pada Fase Depresi.
Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal
yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal
dari pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
e. Pada Fase Penerimaan.
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan
teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya
dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu
untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
9. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis :
a. Kebersihan Diri.
Kebersihan dilibatkan untuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan dan sebagainya.
b. Mengontrol Rasa Sakit.
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan sakit
terminal, seperti morphin, heroin, dsbg. Pemberian obat ini diberikan sesuai dengan
tingkat toleransi nyeri yang dirasakan klien. Obat-obatan lebih baik diberikan Intra
Vena dibandingkan melalui Intra Muskular atau Subcutan, karena kondisi system
sirkulasi sudah menurun.
c. Membebaskan Jalan Nafas.
Untuk klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan pengeluaran
sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi klien
yang tida sadar, posisi yang baik adalah posisi sim dengan dipasang drainase dari
mulut dan pemberian oksigen.
d. Bergerak.
Apabila kondisinya memungkinkan, klien dapat dibantu untuk bergerak, seperti: turun
dari tempat tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus dan dilakukan secara
periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk menyokong tubuh klien, karena
tonus otot sudah menurun
e. Nutrisi.
Klien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat
diberikan annti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta
pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin. Karena terjadi tonus otot
yang berkurang, terjadi dysphagia, perawat perlu menguji reflek menelan klien
sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau Intra Vena atau
Invus.
f. Eliminasi.
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinen urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi.
Klien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur atau dipasang
duk yang diganjti setiap saat atau dilakukan kateterisasi. Harus dijaga kebersihan
pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan salep.
g. Perubahan Sensori.
Klien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, klien biasanya menolak atau
menghadapkan kepala kearah lampu atau tempat terang. Klien masih dapat
mendengar, tetapi tidak dapat atau mampu merespon, perawat dan keluarga harus
bicara dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.
10. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial.
Klien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi kebutuhan kontak
sosialnya, perawat dapat melakukan:
a. Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan klien
dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau anggota
keluarga lain.
b. Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya dan perlu diisolasi.
c. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan teman-
teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan klien untuk membersihkan diri dan
merapikan diri.
d. Meminta saudara atau teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak
orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi klien apabila klien mampu
membacanya.
11. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual.
Menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana
klien selanjutnya menjelang kematian.
Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk
memenuhi kebutuhan spiritual.
Membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya.
C. Asuhan Keperawatan
Tanda-tanda Kematian :
1. Dini :
- Pernafasan terhenti, penilaian > 10 menit (inspeksi, palpasi auskultasi.
- Terhentinya sirkulasi, penilaian 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
- Kulit pucat.
- Tonus otot menghilang dan relaksasi.
- Pembuluh darah retina bersegmentasi beberapa menit pasca kematian.
- Pengeringan kornea yang menimbulkan kekeruhan dalam 10 menit (hilang
dengan penyiraman air.
2. Lanjut (Tanda pasti kematian)
- Lebam mayat (livor mortis).
- Kaku mayat (rigor mortis).
- Penurunan suhu tubuh (algor mortis).
- Pembusukan (dekomposisi).
- Adiposera (lilin mayat).
- Mumifikasi
Gejala dan masalah yang sering dijumpai pada berbagai sistem Organ.
- Sistem Gastrointestinal: Anorexia, konstipasi, mulut kering dan bau, kandidiasis dan
sariawan mulut.
- Sistem Genitourinaria : Inkontinensia urin.
- Sistem Integumen : Kulit kering (pecah-pecah) dan dekubitus.
- Sistem Neurologis : Kejang.
- Perubahan Status Mental : Kecemasan, halusinasi dan depresi.
1. Pengkajian :
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya untuk dapat
menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa
bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai. Doka (1993)
menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup kedalam empat fase, yaitu :
a. Fase Prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko penyakit.
b. Fase Akut : berpusat pada kondisi krisis.
Klien dihadapkan pada serangkaian keputusasaan, termasuk kondisi medis,
interpersonal, maupun psikologis.
c. Fase Kronis, klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya. pasti terjadi.
d. Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik, psikologis,
maupun social-spiritual.
Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain :
Problem Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne
stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah, tekanan darah
menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.
Problem Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic,
kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi, inkontinensia
fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (mis Ca Colon),
retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi
penyakit misalnya : Trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake
cairan atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.
Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic
menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan
cairan menurun.
Problem suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
Problem Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati
kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang, sensasi menurun.
Problem nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra
vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kenyamanan.
Problem Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah
pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak
respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem
psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang
control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi.
Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian
sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa
kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya
dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan
perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan
sepanjang hidup.
Faktor-faktor yang perlu dikaji :
1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai masalah
pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan,
pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien, klien
mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulansebelum terjadi kematian.
Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal
karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan klien
dalam pemeliharaan diri.
2. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus
peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali tahap-
tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.
3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal, karena
pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak ingin
berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya. Ketidakyakinan dan
keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat harus bisa mengenali
tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan dukungan social bisa
dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu menemani klien.
4. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian, bagaimana
sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin mendekatkan diri
pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat juga harus
mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran tokoh
agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.
Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian Pasien Terminal nilai,
sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang
mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi
individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi kematian atau
menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien terminal
berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus dihindari.
Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan. Perawat
harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual.
Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi
kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.
2. Diagnosa Keperawatan :
I. Ansietas (ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan
dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan
takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
II. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang
dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
III. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres
( tempat perawatan ).
IV. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari
system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam
menghadapi ancaman kematian.
3. Intervensi :
Diagnosa I :
1. Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
Berikan kepastian dan kenyamanan.
Tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empti, jangan menghindari
pertanyaan.
Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang
berhubungan dengan pengobtannya.
Identifikasi dan dukung mekaniosme koping efektif Klien yang cemas
mempunbyai penyempitan lapang persepsi denagn penurunan kemampuan untuk
belajar. Ansietas cendrung untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada
lingkaran peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik.
2. Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila tingkatnya rendah atau
sedang Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat
dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat
atauparah tidak menyerap pelajaran.
3. Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan
untuk memperbaiki konsep yang tidak benar.
4. Berika klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif Menghargai
klien untuk koping efektif dapat menguatkan renson koping positif yang akan datang.
Diagnosa II :
1. Berikan kesempatan pada klien da keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
didiskusikan kehilangan secara terbuka, dan gali makna pribadi dari
kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat Pengetahuan
bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa kematian sedang
menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak berdayaan, marah dan
kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya. Diskusi terbuka dan jujur
dapat membantu klien dan anggota keluarga menerima dan mengatasi situasi dan
respon mereka terhdap situasi tersebut.
2. Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang memberikan
keberhasilan pada masa lalu Stategi koping fositif membantu penerimaan dan
pemecahan masalah.
3. Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri yang positif
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan
penerimaan kematian yang terjadi.
4. Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab semua
pertanyaan dengan jujur Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat
dimulai sampai kematian yang akan terjadi di terima.
5. Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan ketidak
nyamanan dan dukungan Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling
menghargai tindakan keperawatan berikut :
Membantu berdandan.
Mendukung fungsi kemandirian.
Memberikan obat nyeri saat diperlukandan.
Meningkatkan kenyamanan fisik ( skoruka dan bonet 1982 ).
Diagnosa III :
1. Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan
pengertian yang empati Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan sikap perhatian
dan peduli dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pembelajaran.
2. Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan,
ketakutan dan kekawatiran. Saling berbagi memungkinkan perawat untuk
mengintifikasi ketakutan dan kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi untuk
mengatasinya.
3. Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU. Informasi ini dapat membantu mengurangi
ansietas yang berkaitan dengan ketidak takutan.
4. Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan
berikan informasi spesifik tentang kemajuan klien.
5. Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan perawan
Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi keluarga
berkelanjutan.
6. Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya
Keluarga denagan masalah-masalh seperti kebutuhan financial , koping yang tidak
berhasil atau konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan untuk
membantu mempertahankankan fungsi keluarga.
Diagnosa IV :
1. Gali apakah klien menginginkan untuk melaksanakan praktek atau ritual keagamaan
atau spiritual yang diinginkan bila yang memberi kesemptan pada klien untuk
melakukannya Bagi klien yang mendapatkan nilai tinggi pada doa atau praktek
spiritual lainnya , praktek ini dapat memberikan arti dan tujuan dan dapat menjadi
sumber kenyamanan dan kekuatan.
2. Ekspesikan pengertrian dan penerimaan anda tentang pentingnya keyakinan dan
praktik religius atau spiritual klien menunjukkan sikap tak menilai dapat membantu
mengurangi kesulitan klien dalam mengekspresikan keyakinan dan prakteknya.
3. Berikan privasi dan ketenangan untuk ritual spiritual sesuai kebutuhan klien dapat
dilaksanakan Privasi dan ketenangan memberikan lingkungan yang memudahkan
refresi dan perenungan.
4. Bila anda menginginkan tawarkan untuk berdo,a bersama klien lainnya atau
membaca buku ke agamaan Perawat meskipun yang tidak menganut agama atau
keyakinan yang sama dengan klien dapat membantu klien memenuhi kebutuhan
spritualnya.
5. Tawarkan untuk menghubungkan pemimpin religius atau rohaniwan rumah sakit
untuk mengatur kunjungan. Jelaskan ketidak setiaan pelayanan ( kapel dan injil RS )
Tindakan ini dapat membantu klien mempertahankan ikatan spiritual dan
mempraktikkan ritual yang penting ( Carson 1989 ).
4. Evaluasi :
1. Klien merasa nyaman dan mengekpresikan perasaannya pada perawat.
2. Klien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan.
3. Klien selalu ingat kepada Tuhan yang maha Esa dan selalu bertawakkal.
4. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Tuhan yang maha Esa akan kembali
kepadanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit atau
sakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses
kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik,
psikologis, social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga
berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh pasien
terminal.
Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita
penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap
penderitaan. Atau sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan
kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain
beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami
penderitaan sepanjang hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup,
merespon terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu terjadi.
Perhatian utama pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada
kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang menyakitkan atau tekanan
psikologis yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan, kehilangan orang yang dicintai.
B. Saran
1. Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya
untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan
damai.
2. Ketika merawat klien menjelang ajal atau terminal, tanggung jawab perawat harus
mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang unik.
3. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak dengan klien
menjelang ajal, untuk mendengarkan klien mengekspresikan duka citanya dan untuk
mempertahankan kualitas hidup pasien.
4. Asuhan perawatan klien terminal tidaklah mudah. Perawat membantu klien untuk meraih
kembali martabatnya. Perawat dapat berbagi penderitaan klien menjelang ajal dan
melakukan intervensi yang dapat meningkatkan kualitas hidup, klien harus dirawat
dengan respek dan perhatian penuh. Dalam melakukan perawatan keluarga dan orang
terdekat klien harus dilibatkan, bimbingan dan konsultasi tentang perawatan diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Smith, Sandra F, Smith Donna J with Barbara C Martin. Clinical Nursing Skills. Basic to
Advanced Skills, Fourth Ed, 1996. Appleton&Lange, USA.
Craven, Ruth F. Fundamentals of nursing : human healt and function.
Kozier, B. (1995). Fundamentals of nursing : Concept Procees and Practice, Ethics and Values.
California : Addison Wesley
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat
sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal
dan kualitas hidup dari lahir sampai mati. Bagaimana peran perawat dalam menangani pasien
yang sedang menghadapi proses sakaratul maut?
Peran perawat sangat konprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat adalah
membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan
dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-spritual ( APA, 1992 ), karena
pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs,
Dadang Hawari, 1999 ). Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi
ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur
dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan
terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran perawat yang
konfrehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan perawat dalam tugas mulia mengantarkan
pasien diakhir hayatnya sesuai dengan Sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa amalan yang
terakhir sangat menentukan, sehingga perawat dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi)
agar pasien tetap melakukan yang terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun
peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting
terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati
sakaratul maut. Menurut Dadang Hawari (1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal
dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan
krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan
perhatian khusus. Pasien terminal biasanya mengalami rasa depresi yang berat, perasaan marah
akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien tersebut
selalu berada di samping perawat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat
meningkatkan semangat hidup klien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan dapat
mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi alam yang kekal. Menurut konsep Islam, fase
akhir tersebut sangat menentukan baik atau tidaknya kematian seseorang dalam menuju
kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah
SWT karena upaya pemenuhan kebutuhan pasien di rumah sakit mutlak diperlukan. Perawat
hendaknya meyakini bahwa sesuai dengan ajaran islam dalam menjalani fase akhir dari
kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul maut. Fase sakaratul maut seringkali di
sebutkan oleh Rasulullah sebagai fase yang sangat berat dan menyakitkan sehingga kita
diajarkan doa untuk diringankan dalam fase sakaratul maut.
Sakratul maut juga dapat diakatakan sebagai warming up (pemanasan) kematian. Karena
kematian itu sulit, berat dan amat sakit maka diperlukan pemanasan. Di samping itu,
sebagaimana kehidupan pertama manusia memerlukan proses dan tahapan, Kematian Kedua pun
memerlukan proses dan tahapan agar bisa memasuki penginapan ke tiga yang bernama Barzakh,
sebuah penginapan yang jauh lebih besar dan sangat berbeda situasi, kondisi dan lingkungannya
dengan dua penginapan sebelumnya, yakni perut atau rahim ibu kita dan bumi untuk kehidupan
dunia.
Sakratul maut adalah sesuatu yang ditakuti manusia. Faktanya, berbagai riset dan upaya telah
dilakukan manusia untuk menghindarinya seperti, menciptakan obat-obatan untuk
memperpanjang umur. Hal tersebut digambarkan Allah dalam firman-Nya Dan datanglah
Sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. (Q.S. Qaf
(50): 19 )
Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang (HR Tirmidzi)
Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar
kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain
sutera yang tersobek ? (HR Bukhari)
Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut seseorang.
Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itupun membawa
semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa. (Kab al-
Ahbar, sahabat Rasulullah saw)
Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu
menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan
jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri. (Imam Ghozali mengutip atsar Al-
Hasan).
Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh
anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik dan
dicerabut dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit
kepala hingga kaki. ( Imam Ghozali)
Imam Ghozali juga mengutip suatu riwayat ketika sekelompok Bani Israil yang sedang melewati
sebuah pekuburan berdoa pada Allah SWT agar Ia menghidupkan satu mayat dari pekuburan itu
sehingga mereka bisa mengetahui gambaran sakaratul maut. Dengan izin Allah melalui suatu
cara tiba-tiba mereka dihadapkan pada seorang pria yang muncul dari salah satu kuburan.
Wahai manusia!, kata pria tersebut. Apa yang kalian kehendaki dariku? Limapuluh tahun
yang lalu aku mengalami kematian, namun hingga kini rasa perih bekas sakaratul maut itu belum
juga hilang dari hatiku.
Proses sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak dapat
dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita menyaksikan detik-detik
terakhir kematian seseorang. Rasa sakit sakaratul maut dialami setiap manusia, dengan berbagai
macam tingkat rasa sakit, ini tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang
selama ia hidup. Sebuah riwayat bahkan mengatakan bahwa rasa sakit selama kita hidup dan saat
sakaratul maut bisa jadi merupakan suatu proses pengurangan kadar siksaan akhirat kita kelak.
Kematian akan mengejar siapapun meskipun ia berlindung di balik benteng yang kokoh atau
berlindung di balik teknologi kedokteran yang canggih serta ratusan dokter terbaik yang ada di
muka bumi ini. Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu
di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka
mengatakan: Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka
mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad). Katakanlah: Semuanya (datang)
dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan sedikit pun? (QS An-Nisa 4:7 8) Dan Allah sekali-kali tidak akan
menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS, Al-Munafiqun, 63:11)
Sakaratul maut itu pedih seperti firman Allah SWT kepada Ibrahim AS adalah Seperti
panasnya besi dibakar pada kain sutera yang basah, lalu nyawapun ditarik, Selanjutnya Allah
berfirman kepada Nabi Musa rasanya seperti burung hidup yang digoreng dalam wajan.
Rasanya seperti domba yang hidup kemudian diikuti oleh penjagal. Rasanya lebih perih pedih
dibanding sayatan pedang, geretan gergaji, dan tusukan benda tajam. Seringan-ringannya
kematian seperti duri dalam kain. Bisakah duri keluar dari sutera tersebut tanpa robekan.
Seperti berada dalam selimut api panas dan seolah-olah bernafas dalam lubang jarum seakan-
akan berada dalam satu pohon yang berduri lalu ditarik dari ujung kaki sampai keubun-ubun.
Allah SWT memberikan gambaran khusus dalam Quran surat Al- Qiyamah:berbelit kepayahan
demi kepayahan, tindih bertindih kesengsaraan demi kesengsaraan. Penyesalan dengan
penyesalan dan kesakitan demi kesakitan (Bey, 1987: 339)
Melihat batapa sakitnya sakaratul maut maka perawat harus melakukan upaya upaya sebagai
berikut :
1. Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT.
Pada sakaratul maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah sebagaimana
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem Jangan sampai seorang dari kamu mati kecuali
dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi
Aku ada pada sangka-sangka hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan
sangkaaan yang baik, selanjutnya Ibnu Abas berkata Apabila kamu melihat seseorang
menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada Tuhannya dan akan berjumpa
dengan Tuhannya itu, selanjutnya Ibnu Masud berkata Demi Allah yang tak ada Tuhan selain
Dia, seseorang yang berbaik sangka kepada Allah maka Allah berikan sesuai dengan
persangkaannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa kebaikan apapun jua berada ditangannya.
2. Mentalkinkan dengan Kalimat Laailahaillallah.
Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien terminal
menjelang ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang terakhir. Wotf, Weitzel,
Fruerst memberikan gambaran ciri-ciri pokok Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan
nafasnya yang terakhir, yaitu :
1. penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada anggota
gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan
lembab,
2. kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat.
3. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat.
4. Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes.
5. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada
biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot
rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah
menerima.
Dalam keadaan yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi kebutuhan fisiknya juga
harus memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim agar diupayakan meninggal dalam keadaan
Husnul Khatimah. Perawat membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan
melafalkan secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist Riwayat
Muslim Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat Laailahaillallah
karena sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka
itulah bekalnya sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya
maka itulah bekalnya menuju surga Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata Hindarilah orang
yang mati diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka
sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa, kamu lihat. Para
ulama berpendapat, Apabila telah membimbing orang yang akan meninggal dengan satu
bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi. Kecuali apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan
atau materi pembicaraan lain. Setelah itu barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha
Illallha menjadi ucapan terakhir ketika menghadapi kematian. Para ulama mengarahkan pada
pentingnya menjenguk orang sakaratul maut, untuk mengingatkan, mengasihi, menutup kedua
matanya dan memberikan hak-haknya. (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim : 6/458)
3. Berbicara yang Baik dan Doa untuk jenazah ketika menutupkan matanya.
Di samping berusaha memberikan sentuhan perawat muslim perlu berkomunikasi terapeutik,
antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah SAW bersabda Bila kamu datang
mengunjungi orang sakit atau orang mati, hendaklah kami berbicara yang baik karena
sesungguhnya malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan, Selanjutnya
diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda apabila kamu menghadiri orang yang
meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena sesungguhnya mata itu
mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah dengan kata-kata yang baik karena malaikat
mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan. Berdasarkan hal diatas perawat harus
berupaya memberikan suport mental agar pasien merasa yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu
memberikan yang terbaik buat hambanya, mendoakan dan menutupkan kedua matanya yang
terbuka saat roh terlepas, dari jasadnya.
4. Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang
sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk
membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering
karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan
air dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang
mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan
dua kalimat syahadat. (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
5. Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke arah kiblat
Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut kearah kiblat.
Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits Rasulullah Saw., hanya saja
dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut.
Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua cara bagaimana menghadap kiblat :
1. Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya dihadapkan
kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit agar ia menghadap kearah
kiblat.
2. Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut menghadap ke kiblat.
Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara yang paling benar.
Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka biarkanlah orang tersebut berbaring
kearah manapun yang membuatnya selesai
A. Judul Penelitian
HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN
SPIRITUAL (TALQIN) PADA PASIEN MENJELANG AJAL
B. Abstrak
Setiap yang bernyawa pasti merasakan mati. Dan hanya pada hari kiyamat
sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia
hanyalah kesenangan yang memperdaya(Al Qur`an surat Al Imran ayat 185).
Sakaratul maut (dying) merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi
kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Saat-saat
seperti ini adalah saat-saat yang kritis, dimana seseorang yang sedang dalam sakaratul
maut masuk dalam proses atau tahapan kehilangan dan berdukan. Dalam keadaan ini
pasien mengalami penolakan, kemarahan, bargaining, depresi dan penerimaan. Selain
itu pasien juga mengalami ketakutan dan kebingungan yang amat sangat.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan perawat dengan
pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada pasien menjelang ajal. Hasil peneltian ini
diharapkan dapat menjadi data dasar dan bahan masukan bagi institusi pelayanan
keperawatan guna meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.
Penelitian ini merupakan peneltitian survey analitik dengan pendekatan cross
sectiona. Besar sampel ditentukan dengan pendekatan Remur Slovin. Teknik
pengambilan sample dilakukan dengan Aksidental sampling, derajat kesalahan yang
digunakan adalah 0.05. Analisa data dilakukan dengan uji Rank Chi Square.
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara
pengetahuan perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal. Shingga penulis memberi rekomendasi hendaknya perawat memiliki
komitmen kuat untuk memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) dalam melaksankan asuhan
keperawatan dan perlunya integrasi pembelajaran agama dengan teori keperawatan
khususnya pada asuhan keperawatan pasen menjelang ajal.
D. Perumusan Masalah
Karena sempitnya pemahaman peneliti terhadap seluruh agama yang ada dan diakui di
Indonesia, maka peneltian ini difokuskan pada perawat dan pasien yang beragama Islam.
Dan rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah kebutuhan spiritual pasien dipenuhi
oleh perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien yang menjelang ajal ?.
E. Tujuan Penelitian
F.
Kerangka Konsep, Hipotesis dan Definisi Operasional
Kerangka konsep:
Pemenuhan
Kebutuhan
spiritual (talqin)
Hipotesis
Terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan perawat dengan pemenuhan
kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen menjelang ajal.
Definisi Operasional
1. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah pengetahuan perawat tentang kebutuhan
spiritual khususnya tindakan talqin pada pasien menjelang ajal, yang
dikategorikan ke dalam pengetahuan :
1. Baik
2. Sedang
3. Buruk
Skala : Ordinal
dibatasi oleh waktu yaitu dari tanggal 2 Juli sampai 30 September 2008.
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian, maka
pengumpulan data akan menggunakan angket dan observasi mengenai pengetahuan
tentang kebutuhan spiritual (talqin) dan pelaksanaannnya. Selanjutnya setelah data
terkumpul akan dilakukan proses: editing, coding, cleaning dan kemudian dilakukan
analisa data dengan menggunakan SPSS versi 14. Analisis dilakukan untuk menguji
hubungan variabel dependen dan independent yang meliputi analisis univariat dengan
descriptip analysis, bivariat dengan Chi Squar TEst.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah didapatkannya data yang
menunjukkan hubungan antara pengetahuan perawat tentang kebutuhan spiritual (talqin)
terhadap pelaksananan talqin pada pasien menjelang ajal, sehingga hasilnya akan dapat
digunakan sebagai data dasar oleh institusi pelayanan kesehatan guna meningkatkan
kualitas pelayanan asuhan keperawatan khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan
spiritual pasien menjelang ajal.
H. Ethical Clearance
Penelitian ini bersifat descriptive analytic dimana untuk memperoleh data dari perawat
akan dilakukan melalui angket dan observasi yang mencakup pengetahuan dan
pelaksanaan talqin pada pasien menjelang ajal.
I. Hasil Penelitian
Dari tabel diatas dapat diinterpretasikan bahwa terdapat 71.9% perawat dengan
pengetahuan baik dan 28.1% perawat dengan pengetahuan sedang dari 32 orang
perawat yang melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien
menjelang ajal.
Pada variabel ini penulis membagi ke dalam tiga cara yang dilakukan perawat dalam
memenuhi kebutuhan spiritual (talqil) pasien menjelang ajal yang penulis jelaskan
sebagai berikut :
Tabel 2.
Tabel 3.
`1
Dari tebel di atas, dapat menjelaskan bahwa 53.1% perawat dari 32 orang yang
diteliti melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) dengan cara
meminta pasen untuk mengucapkan talqin, dan 46.9% tidak melakukan tindakan
tersebut.
Tabel 4.
Tabel di atas memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat lebih dari setengahnya
(56.3%) perawat tidak melakukan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) dengan cara
menuntun pasen mengucapkan talqin dengan membisikkannya ke telinga pasen dan
kurang dari setengahnya (43.8%) perawat yang melakukan tindakan itu, dari 32 orang
perawat yang diteliti.
B. Analisa Bivariat.
Analisa bivariat dilkukan untuk mencari hubungan antara pengetahuan perawat dengan
tindakannya dalam melakukan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal. Untuk analisa ini digunakan uji Chi Squar dengan pertimbangan karena
data penelitian adalah data nominal.
Uji pertama dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan perawat dengan
tindakannya dalam melakukan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal dengan cara meminta keluarga untuk menuntun pasen mengucapkan talqin,
dan hasil uji selengkapnya seperti di bawah ini :
Tabel 5.
Tabel silang diatas memperlihatkan bahwa 23 orang yang memiliki pengetahuan
baik, 60.9% melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) dengan
meminta keluarga menuntuntun pasen mengucapkan kalimat talqin *
Pengetahuan responden dan 39.1% tidak melakukannya. Selanjutnya dilakukan
uji statistic dengan Chi Suare dan diperoleh hasik sebagai berikut:
Tabel 6.
Dari uji statistic pada tabel di atas diperoleh hasil Chi Square test dengan nilai alpha sebesar
0.124 dan uji Fisher Exact tesr diperoleh alpha sebesar 0.210 dengan tingkat probabilitas
=0.05. Karena kedua uji di atas diperoleh nilai melebihi probabilitas =0.05, maka Ho
diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan
tindakan perawat dalam memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) dengan cara meminta
bantuan keluarga untuk melakukannya
Tabel 7.
Pengetahuan responden * Meminta pasen ucapkan talqin
Tabel silang di atas, memberikan informasi bahwa 23 perawat yang memiliki pengetahuan
baik, terdapat 56.5% tidak memenuhi kebutuhan spiritual pasen dengan meminta pasen
untuk mengucapkan talqin dan 43.5% melakukan tindakan tersebut. Dan dari sebagian kecil
perawat yang berpengetahuan sedang (9 orang), 77.8% melakukan tindakan pemenuhan
kebutuhan spiritual dengan cara meminta pasen untuk mengucapkan talqin dan sisanya
(22.2%) tidak melakukan.
Selanjutnya dilakukan uji Chi Square untuk melihat hubungan kedua variabel tersebut
dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 8.
Dari tebel di atas, diperoleh hasil uji chi square dua sisi sebesar 0.08 dan uji Fisher Exact
sebesar 0.122. kedua hasil uji tersebut berada di atas nilai probabilitas =0.05, maka Ho
diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan
perawat dengan tindakannya dalam memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal dengan cara meminta pasen untuk mengucapkan talqin.
Tabel 9.
Hubungan pengetahuan perawat dan tindakan menuntun pasen mengucapkan talqin dengan
membisikannya ke telinga pasen.
Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa dari 32 orang perawat yang
diteliti, terdapat 23 orang dengan pengetahuan baik dan ternyata 65.2% tidak
melakukan tindakan talqin dengan cara membisikan ke telinga pasen sementara
hanya 34.8% yang melakukannya. Dari 9 orang perawat dengan pengetahuan
sedang terdapat 66.7% melakukan tindakan talqin dengan membisikkan ke telinga
pasen dan hanya 33.3% yang tidak melakukannya.
Selanjutnya dilakukan uji statistic untuk mengetahui hubungan kedua
variabel tersebut dengan menggunakan uji Chi Squar test dan diperoleh hasil
sebagai berikut:
Tabel 10.
Dari hasil uji dua sisi dengan Chi Squar diperoleh nilai p sebesar 0.102 dan pada uji
Fisher Exact diperoleh nilai 0.132. dari kedua uji tersebur diperoleh nilai probabilitas di
atas = 0.05, sehingga Ho diterima, yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara
pengetahuan dan tindakan perawat dalam memenuhi kebutuhan spiritual pasen menjelang
ajal dengan cara menuntun pasen mengucapkan talqin dengan membisikannya ke telinga
pasen.
Setalah dilakukan uji statistic terhadap kedua variabel penelitian dan telah diperoleh
hasil yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
perawat dengan tindakannya dalam memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal, tidak adanya hubungan yang signifikan antar pengetahuan dengan tindakan
perawat dalam memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen menjelang ajal ini dapat
saja terjadi mengingat bahwa pengetahuan perawat tentang kebutuhan spiritual khusunya
talqin tidak saja diperoleh di bangku kuliah, tetapi juga didapatkan melalui pendidikan
agama baik secara formal maupun non formal. Sehingga mungkin saja perawat dengan
pengetahuan spiritual yang baik tetapi tidak melaksanakan tindakan itu, atau ada faktor-
faktor lain yang perlu diteliti lebih lanjut. Hal ini sangat bergantung pada komitmen
perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasen menjelang ajal.
Selain tindakan perawat yang diteliti, peneliti juga menggali motivasi perawat dalam
hal melakukan atau tidak melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual pasen
menjelang ajal. Hasil penggalian motivasi perawat kami uraikan seperti di bawah ini :
Tabel 11.
Melihat tabel di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa dari 32 orang yang diteliti,
hampir semua responden yaitu 84.4% menjawab agar pasen tenang sebagai motivasi
perawat dalam memenuhi kebutuhan talqin pada pasen menjelang ajal dan selebihnya
hanya 15.6% yang melakukannya dengan motivasi menjalankan perintah agama.
Tabel 12.
Dari data pada table di atas dapat penulis jelaskan bahwa responden menjawab lebih
bervariasi, dan dari 32 orang yang diteliti 46.9% memilih alasan ada perawat rohani islam
bila perawat tidak melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin), 34.4%
beralasan karena sibuk menolong jiwa pasen dan sisanya 18.8% karena telah menugaskan
kepada keluarga pasen.
Dari kedua table di atas (table 11 dan 12) terlihat bahwa motivasi perawat untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada
pasen menjelang ajal, tidak ada satu respondenpun yang memiliki motivasi sebagai tuntutan
profesi. Hal ini mungkin disebabkan karena perawat tidak memahami secara jelas tentang
tugas-tugas atau tidanakan yang harus dilakukan pada saat memeberikan asuhan
kepererawatan pada pasen mejelang ajal khususnya dalam memenuhi kebutuhan spiritual
(talqin). Dapat juga disebabkan karena penguasaan agama dari perawat yang kurang
sehingga tidak percaya diri, atau juga karena ada petugas lain yang melakukannya.
J. Kesimpulan :
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, penulis menarik kesimpulan
bahwa :
Tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan perawat dengan pemenuhan
kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen menjelang ajal.
K. Rekomendasi
1. Hendaknya perawat memiliki komitmen kuat untuk memenuhi kebutuhan spiritual
(talqin) dalam melaksankan asuhan keperawatan pada asuhan keperawatan pasen
menjelang ajal.
2. Perlunya integrasi pembelajaran agama dengan teori keperawatan khususnya pada
asuhan keperawatan pasen menjelang ajal.
3. Perlunya penambahan responden dalam penelitian ini.
L. Keterbatasan Penelitian
Selama proses penelitian berlangsung, hambatan dan kesulitan yang penulis alami, kami
jadikan sebagai keterbatasan dalam peneltian, diantaranya :
1. Waktu yang tersedia singkat, sementara kematian tidak dapat diprediksi , sehingga
observasi harus dilakukan selama 24 jam.
M. Daftar Rujukan
Dalam konsep Islam, fase sakaratul maut sangat menentukan baik atau
tidaknya seseorang terhadap kematiannya untuk menemui Allah dan bagi
perawat pun akan dimintai pertanggungjawabannya nanti untuk tugasnya dalam
merawat pasien di rumah sakit. Dan fase sakaratul maut adalah fase yang
sangat berat dan menyakitkan seperti yang disebutkan Rasulullah tetapi akan
sangat berbeda bagi orang yang mengerjakan amal sholeh yang bisa
menghadapinya dengan tenang dan senang hati. Ini adalah petikan Al-Quran
tentang sakaratul maut, Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-
benarnya.(QS.50:19). Alangkah dahsyatnya ketika orang-orang yang zalim
(berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut. (QS. 6:93). Dalam Al-hadits
tentang sakaratul maut. Al-Hasan berkata bahwa Rasulullah SAW pernah
mengingatkan mengenai rasa sakit dan duka akibat kematian. Beliau bertutur,
Rasanya sebanding dengan tiga ratus kali tebasan pedang. (HR.Ibn Abi ad-
Dunya)
Perlu diketahui oleh petugas kesehatan tentang moral dan etika dalam
pendampingan pasien sakaratul maut. Moral dan etika inilah yang dapat
membantu pasien, sehingga pasien akan lebih sabar dalam mengahadapi sakit
yang di deritanya.
1. Menghimbau pasien agar Ridlo kepada qadha dan qadarnya-Nya serta berbaik
sangka terhadap Allah Swt.
2. Menghimbau pasien agar tidak boleh putus asa dari rahmat Allah Swt.
9. Jika memiliki tanggungan hak yang harus pasien penuhi, baik hak Allah Swt
(zakat, puasa, haji, dll) atau hak manusia (hutang, ghibah, dll). Hendaklah
dipenuhi atau wasiat kepada kepada orang yang dapat memenuhi bagi dirinya.
Wasiat wajib atas orang yang mempunyai tanggungan atau hak kepada orang
lain.
a) Konsep empati
b) Konsep caring
Pasien yang dalam keadaan kritis dan sedang berjuang dengan penyakit-
penyakit terminasi seperti kanker, jantung, dan sebagainya biasanya semua
tenaga kesehatan sibuk dengan selang infus, ECG, selang cateter, selang
oksigen, selang transfusi, dan selang lain yang memberangus tubuh pasien.
Ketika ajal telah dekat dan sakaratul maut hampir tiba perhatian dan ingatan
para perawat adalah pada Resusitator, atau Doparnin atau obat lainnya yang
dianggap Dewa. Karena disamping sudah terbiasa konon perawat itu sudah
terlatih bertindak meskipun ia tahu bahwa akhirnya pasien itu akan meninggal
juga. Yang terpenting bagi mereka adalah telah melaksanakan tugas sesuai
dengan prosedur.
Menurut konsep agama Islam, fase akhir tersebut sangat menentukan baik
tidaknya kematian seseorang dalam menuju kehidupan alam kekal dan perawat
sendiri kelak akan diminta pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT.
Karenanya upaya pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di rumah sakit mutlak
diperlukan. Tenaga Kesehatan hendaknya menyakini bahwa sesuai ajaran agama
yang dianutnya menjelang fase akhir dari kehidupan manusia di dunia terdapat
fase sakaratul maut yang banyak digambarkan oleh Rasulullah tentang beratnya
fase tersebut, sehingga Rasulullah senantiasa mengajarkan doa untuk
diringankan dalam sakaratul maut.
Allah SWT memberikan gambaran khusus dalam Quran surat Al- Qiyamah:
berbelit kepayahan demi kepayahan, tindih bertindih kesengsaraan demi
kesengsaraan. Penyesalan dengan penyesalan dan kesakitan demi kesakitan.
(Bey, 1987: 339) Adapun upaya yang dapat dilakukan perawat.
Pertama membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT. Pada
sakaratul maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah
sebagaimana Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem. Jangan sampai
seorang dari kamu mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah,
selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi, Aku ada pada sangka-sangka
hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan sangkaaan yang baik .
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan
menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi
peredaan terhadap penderitaan.
3.2 Saran
Daftarpustaka
http://www.serambionline.or.id/29
http://nurse-smw.blogspot.com/2009/05/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
terminal_08.html
http://kikiyogi.blogspot.com/2009/12/terminal-dan-menjelang-ajal.html
http://keperawatanreligionmentariwardhani.wordpress.com
kebutuhan spiritual klien. Kita tahu bahwa konsep keperawatan Virginia Handerson menyatakan
bahwa salah satu peran perawat adalah membantu agar klien siap meninggal dengan tenang.
Agama dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu spiritual nourishment (gizi ruhani). Seseorang
yang dikatakan sehat secara sempurna tidak hanya cukup gizi makanan tetapi juga gizi rohaninya
harus terpenuhi. Menurut hasil Riset Psycho Spiritual For AIDS Patient, Cancepatients, and for
Terminal Illness Patient, menyatakan bahwa orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang
sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian
sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapat perhatian khusus (Dadang
Hawari, 1977, 53). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan, ada sekelompok pasien yang selalu
menunda operasinya sehingga jadwal operasi yang telah dibuat ditunda lagi. Setelah diselidiki
ternyata mereka mengalami ketakutan operasi dan takut mengahadapi kematian atau tidak bisa
bangun lagi, tetapi pada kelompok pasien yang komitmen agamanya baik, hal tersebut tidak menjadi
Pentingnya pemenuhan kebutuhan spiritual bagi pasien terminal, di samping untuk meningkatkan
semangat hidup klien yang sudah di diagnosa harapan sembuh tipis, juga mempersiapkan diri pasien
untuk menghadapi kematian, karena berdasarkan penelitian Kubbler and Ross bahwa pasien terminal
seringkali dihinggapi rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat ketidak berdayaan, dan putus
asa. Sedangkan pasien senantiasa berada di samping perawat dalam menjalani siklus atau fase akhir
dari kehidupannya.
Menurut konsep agama Islam, fase akhir tersebut sangat menentukan baik tidaknya kematian
seseorang dalam menuju kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak akan diminta pertanggung
jawabannya dihadapan Allah SWT. Karenanya upaya pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di rumah
sakit mutlak diperlukan. Tenaga Kesehatan hendaknya menyakini bahwa sesuai ajaran agama yang
dianutnya menjelang fase akhir dari kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul maut yang
banyak digambarkan oleh Rasulullah tentang beratnya fase tersebut, sehingga Rasulullah senantiasa
Add
caption
Istilah sakaratul maut berasal dari bahasa arab, yaitu sakarat dan maut.
Dengan demikian, sakaratul maut berarti orang yang sedang dimabuk dengan
masa-masa kematiannya.
kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal.
terhentinya aktivitas otak atau terhentinya fungsi jantung dan paru secara
menetap. Sakartul maut dan kematian merupakan dua istilah yang sulit untuk
yang sedang sakaratul maut, Usman bin Affan pernah berkata bahwa Nabi
Muhammad bersabda:
jika dia mendengar seperti orang yang sedang mendengkur (ngorok) atau
kasturi dan sejambak bunga yang wangi, kemudian roh orang Mukmin itu
pun dicabut dengan lemah lembut seperti mencabut rambut dari adonan
ridho dan diridhoi dan kembalilah kepada rahmat dan kasih sayang Allah.
hadist, diantaranya:
Artinya: Kalau sekiranya kamu dapat melihat malaikat mencabut nyawa orang-
orang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata rasakan
olehmu siksa neraka yang membakar (niscaya kamu akan merasa sangat nyeri)
Artinya: Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat
kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: Telah diwahyukan kepada saya,
padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata:
terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu
Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.
(HR Tirmidzi)
Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang
menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat
diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ? (HR
Bukhari)
pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai
Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan
nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala
Ciri-ciri pokok (secara medis) orang yang akan melepaskan nafasnya yang
yang dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung
dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat
pasrah menerima.
Menurut Dadang Hawari, orang yang mengalami penyakit terminal dan
hidup klien meskipun harapannya sangat tipis dan dapat mempersiapkan diri
Karena batapa sakitnya proses sakaratul maut itu, maka perawat muslim
Jangan sampai seorang dari kamu mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka
kepada Allah, selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi, Aku ada pada
sangkaaan yang baik . Selanjutnya Ibnu Abas berkata, Apabila kamu melihat
Tuhannya dan akan berjumpa dengan Tuhannya itu. Selanjutnya Ibnu Masud
berkata : Demi Allah yang tak ada Tuhan selain Dia, seseorang yang berbaik
sangka kepada Allah maka Allah berikan sesuai dengan persangkaannya itu.
orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman.
diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang
menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan
kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang
Qudamah).
3. Mengajarkannya atau mengingatkannya untuk mengucapkan kalimat
dapat dilakukan pada pasien terminal menjelang ajalnya terutama saat pasien
Riwayat Muslim.
Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata Hindarilah orang yang mati diantara
sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa,
kamu lihat .
4. Menghadapkannya ke arah kiblat
hadits Rasulullah Saw. Hanya saja dalam beberapa atsar yang shahih
disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut. Para Ulama
sebagai tata cara yang paling benar. Seandainya posisi ini menimbulkan
ruh.
Di samping berusaha memberikan sentuhan perawat muslim perlu
Bila kamu datang mengunjungi orang sakit atau orang mati, hendaklah
agar pasien merasa yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan yang
adanya kekurangan ATP (Adenosin Trypospat) yang tidak dapat disintesa akibat
kurangnya glikogen dalam tubuh. Proses rigor mortis dimulai dari organ-organ
b. Algor mortis (dingin), suhu tubuh perlahan-lahan turun 1 derajat celcius setiap
c. Post mortem decompotion, yaitu terjadi livor mortis (biru kehitaman) pada
banyak bakteri. Ini disebabkan karena sistem sirkulasi hilang, darah/sel-sel darah