Anda di halaman 1dari 128

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan
masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan
kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati. Bagaimana peran
perawat dalam menangani pasien yang sedang menghadapi proses sakaratul maut?
Peran perawat sangat konprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat
adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk
pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-
sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat
kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ).
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO
yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari
pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter
dan terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran
perawat yang konfrehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan perawat dalam
tugas mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya sesuai dengan Sabda Rasulullah
yang menyatakan bahwa amalan yang terakhir sangat menentukan, sehingga
perawat dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien tetap
melakukan yang terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun
peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini
sangat penting terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan
sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.
Menurut Dadang Hawari (1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal dan
menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis
spiritual, dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien
menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus. Pasien terminal biasanya
mengalami rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan
keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien tersebut selalu berada di
samping perawat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat
meningkatkan semangat hidup klien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan
dapat mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi alam yang kekal.
B. Tujuan
1. Mendefinisikan bagaimana kondisi seseorang yang mendekati kematian.
2. Mengetahui konsep teori dari kebutuhan terminal atau menjelang ajal.
3. Mengkaji dan memaparkan diagnosa dari kebutuhan terminal.
4. Memberi intervensi serta mengevaluasi pada klien yang menjelang ajal.
C. Rumusan Masalah
1. Latar belakang permasalahan terminal pada klien.
2. Konsep materi tentang kebutuhan terminal pada klien.
3. Diagnosa keperawatan pada pasien terminal.
4. Intervensi masalah.
5. Evaluasi masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Masalah
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup
dan meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali
harapan dan dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur
harapan hidup semakin bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh
penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit
kronis seperti ini akan melalui suatu proses pengobatan dan perawatan yang
panjang. Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal
yang ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidak berdayaan, dan
akhirnya kematian.
Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis dan
terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah
menghadapi kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak
dipersiapkan dengan baik untuk berhadapan dengan ancaman kematian. Ditengah
keputusasaan, sering kali terdengar Kami sudah melakukan segalanya yang bisa
dilakukan........
Namun kini telah mulai disadari untuk pasien terminal pun profesi medis masih
dapat melakukan banyak hal. Jika upaya kuratif tidak dimunginkan lagi, masih luas
kesempatan untuk upaya paliatif. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit
kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas,
penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan
psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak
hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan
terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan
pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif atau palliative
care. Dalam perawatan paliatif maka peran perawat adalah memberikan Asuhan
Keperawatan pada Pasien Terminal untuk membantu pasien menjalani sisa hidupnya
dalam keadaan seoptimal mungkin.
B. Konsep Materi
a) Pengertian
1. Keadaan Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit
atau suatu kecelakaan.
2. Kematian
Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan
mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan
merupakan suatu kehilangan.
b) Tahap-tahap Menjelang Ajal
Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap menjelang
ajal (dying) dalam 5 tahap, yaitu:
1. Menolak/Denial
Pada fase ini , pasien/klien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi,
dan menunjukkan reaksi menolak.
2. Marah/Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala
hal yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.
3. Menawar/bargaining
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat
menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.
4. Kemurungan/Depresi
Selama tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin
banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping
pasien yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Menerima/Pasrah/Acceptance
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga
tentang kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini
sangat membantu apabila kien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-
rencana yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan
keluarga terdekat, menulis surat wasiat.
c) Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian
Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:
Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang
cepat dari fase akut ke kronik.
Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada
kondisi penyakit yang kronik.
Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi
pada pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit
kronik dan telah berjalan lama.
d) Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian
Kehilangan Tonus Otot, ditandai:
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi, dsbg.
d. Penurunan control spinkter urinari dan rectal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.
Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai:
a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Cyanosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital
a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
Gangguan Sensoria.
a. Penglihatan kabur.
b. Gangguan penciuman dan perabaan.

e) Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal


1) Pupil mata melebar.
2) Tidak mampu untuk bergerak.
3) Kehilangan reflek.
4) Nadi cepat dan kecil.
5) Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
6) Tekanan darah sangat rendah.
7) Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
f) Tanda-tanda Meninggal secara klinis
Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-
perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical
Assembly, menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu:
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
c. Tidak ada reflek.
d. Gambaran mendatar pada EKG.
g) Macam Tingkat Kesadaran/Pengertian Pasien dan Keluarganya Terhadap
Kematian.
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type:
a. Closed Awareness/Tidak Mengerti
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan
tentang diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi
perawat hal ini sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering
kepada pasien dan keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-
pertanyaan langsung, kapan sembuh, kapan pulang, dsbg.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala
sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
c. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka
Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal
yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir.
Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam
merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal
tersebut.

h) Bantuan yang dapat Diberikan


Bantuan Emosional
1) Pada Fase Denial
Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaannya.
2) Pada Fase Marah
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang
marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal
yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan lebih
baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat
dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta
meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
3) Pada Fase Menawar
Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong
pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut
yang tidak masuk akal.
4) Pada Fase Depresi
Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu
duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari
pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
5) Pada Fase Penerimaan
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan
teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya
dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu
untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
1. Kebersihan Diri
Kebersihan dilibatkan unjtuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan, dsbg.
2. Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan sakit
terminal, seperti morphin, heroin, dsbg. Pemberian obat ini diberikan sesuai dengan
tingkat toleransi nyeri yang dirasakan klien. Obat-obatan lebih baik diberikan Intra
Vena dibandingkan melalui Intra Muskular/Subcutan, karena kondisi system sirkulasi
sudah menurun.
3. Membebaskan Jalan Nafas
Untuk klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan pengeluaran
sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi
klien yang tida sadar, posisi yang baik adalah posisi sim dengan dipasang drainase
dari mulut dan pemberian oksigen.
4. Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, klien dapat dibantu untuk bergerak, seperti:
turun dari tempat tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus dan dilakukan
secara periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk menyokong tubuh klien,
karena tonus otot sudah menurun.
5. Nutrisi
Klien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat
diberikan annti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan
serta pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin. Karena terjadi
tonus otot yang berkurang, terjadi dysphagia, perawat perlu menguji reflek menelan
klien sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau Intra
Vena/Invus.
6. Eliminasi
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinen urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi.
Klien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur atau
dipasang duk yang diganjti setiap saat atau dilakukan kateterisasi. Harus dijaga
kebersihan pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan
salep.
7. Perubahan Sensori
Klien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, klien biasanya
menolak/menghadapkan kepala kearah lampu/tempat terang. Klien masih dapat
mendengar, tetapi tidak dapat/mampu merespon, perawat dan keluarga harus
bicara dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.
Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial
Klien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi
kebutuhan kontak sosialnya, perawat dapat melakukan:
a. Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan
klien dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau
anggota keluarga lain.
b. Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya dan perlu
diisolasi.
c. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan
teman-teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan klien untuk membersihkan
diri dan merapikan diri.
d. Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak
orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi klien apabila klien mampu
membacanya.
Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual
Menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-
rencana klien selanjutnya menjelang kematian.
Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk
memenuhi kebutuhan spiritual.
Membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya.

C. Asuhan Keperawatan
Tanda-tanda Kematian
1. Dini:
Pernafasan terhenti , penilaian > 10 menit (inspeksi, palpasi auskultasi)
Terhentinya sirkulasi, penilaian 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
Kulit pucat
Tonus otot menghilang dan relaksasi
Pembuluh darah retina bersegmentasi beberapa menit pasca kematian
Pengeringan kornea yang menimbulkan kekeruhan dalam 10 menit (hilang dengan
penyiraman air)
2. Lanjut (Tanda pasti kematian)
Lebam mayat (livor mortis)
Kaku mayat (rigor mortis)
Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Pembusukan (dekomposisi)
Adiposera (lilin mayat)
Mumifikasi
Gejala dan masalah yang sering dijumpai pada berbagai sistem organ
Sistem Gastrointestinal : Anorexia, konstipasi, mulut kering dan bau, kandidiasis
dan sariawan mulut.
Sistem Genitourinaria : Inkontinensia urin
Sistem Integumen : Kulit kering/pecah-pecah, dekubitus
Sistem Neurologis : Kejang
Perubahan Status Mental : Kecemasan, halusinasi, depresi
Pengkajian
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga
pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal
dengan tenang dan damai.
Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup
kedalam empat fase, yaitu :
1. Fase Prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko
penyakit.
2. Fase Akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian
keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.
3. Fase Kronis, klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya.
4. Fase Terminal, dalam kondisi ini kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi
pasti terjadi.
Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik,
psikologis, maupun social-spiritual. Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi
terminal antara lain :
Problem Oksigenisasi ; respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne
stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental; agitasi-gelisah, tekanan darah
menurun, hypoksia, akumulasi secret, nadi ireguler.
Problem Eliminasi; Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic,
kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi,
inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit(mis
Ca Colon), retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau
kondisi penyakit mis trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan
intake cairan atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.
Problem Nutrisi dan Cairan; asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic
menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan
cairan menurun.
Problem suhu; ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
Problem Sensori ; Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat
mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran
menurun, kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun.
penglihatan kabur,pendengaran berkurang, sensasi menurun.
Problem nyeri ; ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra
vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan
meningkatkan kenyamanan.
Problem Kulit dan Mobilitas ; seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah
pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
Masalah Psikologis ; klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak
respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem
psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang
control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi / barrier komunikasi.
Perubahan Sosial-Spiritual ; klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai
kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan
bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan
mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain
beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau
mengalami penderitaan sepanjang hidup
Faktor-Faktor yang perlu dikaji
1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai masalah
pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan,
pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien, klien
mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulansebelum terjadi
kematian. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien
terminal karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan
kemampuan klien dalam pemeliharaan diri.
2. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus
peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali
tahap-tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.
3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal,
karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak
ingin berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya.
Ketidakyakinan dan keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat
harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat
memberikan dukungan social bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat
untuk selalu menemani klien.

4. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,
bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin
mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat
juga harus mengetahui disaat- saat seperti ini apakah pasien mengharapkan
kehadiran tokoh agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.
Konsep dan Prinsip Etika, Norma, Budaya dalam Pengkajian Pasien Terminal
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural/budaya yang
mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi
individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi
kematian/menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi
pasien terminal berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi
menghakimi harus dihindari.
Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan. Perawat
harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual.
Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi
kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.
Diagnosa Keperawatan
I. Ansietas/ ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan dengan
situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut
akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
II. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang
dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
III. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres
( tempat perawatan )
IV. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari
system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam
menghadapi ancaman kematian.
Intervensi
Diagnosa I
1. Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
Berikan kepastian dan kenyamanan.
Tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empti, jangan menghindari
pertanyaan.
Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang
berhubungan dengan pengobtannya.
Identifikasi dan dukung mekaniosme koping efektif Klien yang cemas mempunbyai
penyempitan lapang persepsi denagn penurunan kemampuan untuk belajar.
Ansietas cendrung untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada lingkaran
peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik.
2. Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila tingkatnya rendah atau
sedang Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat
dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat
atauparah tidak menyerap pelajaran.
3. Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan
untuk memperbaiki konsep yang tidak benar.
4. Berika klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif Menghargai
klien untuk koping efektif dapat menguatkan renson koping positif yang akan
datang.
Diagnosa II
1. Berikan kesempatan pada klien da keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
didiskusikan kehilangan secara terbuka, dan gali makna pribadi dari
kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat
Pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa
kematian sedang menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak
berdayaan, marah dan kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya.
Diskusi terbuka dan jujur dapat membantu klien dan anggota keluarga menerima
dan mengatasi situasi dan respon mereka terhdap situasi tersebut.
2. Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang
memberikan keberhasilan pada masa lalu Stategi koping fositif membantu
penerimaan dan pemecahan masalah.
3. Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri yang positif
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan
penerimaan kematian yang terjadi.
4. Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab semua
pertanyaan dengan jujur Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat
dimulai sampai kematian yang akan terjadi di terima.
5. Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan ketidak
nyamanan dan dukungan Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling
menghargai tindakan keperawatan berikut :
a. Membantu berdandan
b. Mendukung fungsi kemandirian
c. Memberikan obat nyeri saat diperlukandan
d. meningkatkan kenyamanan fisik ( skoruka dan bonet 1982 )
Diagnosa III
1. Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan
pengertian yang empati Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan sikap perhatian
dan peduli dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan
pembelajaran.
2. Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan,
ketakutan dan kekawatiran. Saling berbagi memungkinkan perawat untuk
mengintifikasi ketakutan dan kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi
untuk mengatasinya.
3. Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU
Informasi ini dapat membantu mengurangi ansietas yang berkaitan dengan ketidak
takutan.
4. Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan
berikan informasi spesifik tentang kemajuan klien.
5. Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan perawan
Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi keluarga
berkelanjutan.
6. Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya
Keluarga denagan masalah-masalh seperti kebutuhan financial , koping yang tidak
berhasil atau konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan
untuk membantu mempertahankankan fungsi keluarga
Diagnosa IV
1. Gali apakah klien menginginkan untuk melaksanakan praktek atau ritual
keagamaan atau spiritual yang diinginkan bila yang memberi kesemptan pada klien
untuk melakukannya Bagi klien yang mendapatkan nilai tinggi pada do,a atau
praktek spiritual lainnya , praktek ini dapat memberikan arti dan tujuan dan dapat
menjadi sumber kenyamanan dan kekuatan.
2. Ekspesikan pengertrian dan penerimaan anda tentang pentingnya keyakinan dan
praktik religius atau spiritual klien Menunjukkan sikap tak menilai dapat membantu
mengurangi kesulitan klien dalam mengekspresikan keyakinan dan prakteknya.
3. Berikan prifasi dan ketenangan untuk ritual spiritual sesuai kebutuhan klien dapat
dilaksanakan Privasi dan ketenangan memberikan lingkungan yang memudahkan
refresi dan perenungan.
4. Bila anda menginginkan tawarkan untuk berdo,a bersama klien lainnya atau
membaca buku ke agamaan Perawat meskipun yang tidak menganut agama atau
keyakinan yang sama dengan klien dapat membantu klien memenuhi kebutuhan
spritualnya.
5. Tawarkan untuk menghubungkan pemimpin religius atau rohaniwan rumah sakit
untuk mengatur kunjungan. Jelaskan ketidak setiaan pelayanan ( kapel dan injil RS )
Tindakan ini dapat membantu klien mempertahankan ikatan spiritual dan
mempraktikkan ritual yang penting ( Carson 1989 )
Evaluasi
1. Klien merasa nyaman dan mengekpresikan perasaannya pada perawat.
2. Klien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan.
3. Klien selalu ingat kepada Allah dan selalu bertawakkal.
4. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Allah SWT akan kembali kepadanya

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit/sakit
yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan
proses kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik,
psikologis, social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap
individu juga berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang
ditunjukan oleh pasien terminal. Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi
akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai
kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Atau sebagian
beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan
mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain
beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau
mengalami penderitaan sepanjang hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup,
merespon terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu
terjadi. Perhatian utama pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri
tetapi lebih pada kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang
menyakitkan atau tekanan psikologis yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan,
kehilangan orang yang dicintai.
B. Saran
1. Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga
pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal
dengan tenang dan damai.
2. Ketika merawat klien menjelang ajal/terminal, tanggung jawab perawat harus
mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang unik.
3. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak dengan
klien menjelang ajal, untuk mendengarkan klien mengekspresikan duka citanya dan
untuk mempertahankan kualitas hidup pasien.
4. Asuhan perawatan klien terminal tidaklah mudah. Perawat membantu klien untuk
meraih kembali martabatnya. Perawat dapat berbagi penderitaan klien menjelang
ajal dan melakukan intervensi yang dapat meningkatkan kualitas hidup, klien harus
dirawat dengan respek dan perhatian penuh. Dalam melakukan perawatan keluarga
dan orang terdekat klien harus dilibatkan, bimbingan dan konsultasi tentang
perawatan diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Smith, Sandra F, Smith Donna J with Barbara C Martin. Clinical Nursing Skills. Basic
to Advanced Skills, Fourth Ed, 1996. Appleton&Lange, USA.
Craven, Ruth F. Fundamentals of nursing : human healt and function.
Kozier, B. (1995). Fundamentals of nursing : Concept Procees and Practice, Ethics
and Values. California : Addison Wesley
http://nurse-smw.blogspot.com/2009/05/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
terminal_08.html
http://kikiyogi.blogspot.com/2009/12/terminal-dan-menjelang-ajal.html
http://keperawatanreligionmentariwardhani.wordpress.com/
ASKEP PADA PASIEN
MENJELANG AJAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat
sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal
dan kualitas hidup dari lahir sampai mati.
Bagaimana peran perawat dalam menangani pasien yang sedang menghadapi proses penyakit
terminal ?
Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat adalah
membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan
dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena
pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs,
Dadang Hawari, 1999 ).
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang
menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian
kesehataan seutuhnya (WHO, 1984).
Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual
pasien. Karena peran perawat yang komprehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan
perawat dalam tugas mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya sesuai dengan Sabda
Rasulullah yang menyatakan bahwa amalan yang terakhir sangat menentukan, sehingga perawat
dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien tetap melakukan yang terbaik
seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun peran spiritual ini sering kali diabaikan
oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting terutama untuk pasien terminal yang
didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.
B. Tujuan
1. Mendefinisikan bagaimana kondisi seseorang yang berada pada tahap terminal
2. Mengetahui konsep teori dari kebutuhan terminal atau menjelang ajal.
3. Mengkaji dan memaparkan diagnosa dari kebutuhan terminal.
4. Memberi intervensi serta mengevaluasi pada klien yang menjelang ajal.

BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Penyakit Terminal
Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu
kecelakaan. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan
melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Kubler-
Rosa, 1969).
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu
tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1999).
B. Jenis Penyakit Terminal
Beberapa jenis penyakit terminal
1. Penyakit-penyakit kanker.
2. Penyakit-penyakit infeksi.
3. Congestif Renal Falure (CRF).
4. Stroke Multiple Sklerosis.
5. Akibat kecelakaan fatal.
6. AIDS.
C. Manifestasi Klinik Fisik
1. Gerakan pengindaran menghilang secara berangsur-angsur dimulai dari ujung kaki dan ujung
jari.
2. Aktivitas dari GI berkurang.
3. Reflek mulai menghilang.
4. Suhu klien biasanya tinggi tapi merasa dingin dan lembab terutama pada kaki dan tangan
dan ujung-ujung ekstremitas.
5. Kulit kelihatan kebiruan dan pucat.
6. Denyut nadi tidak teratur dan lemah.
7. Nafas berbunyi, keras dan cepat ngorok.
8. Penglihatan mulai kabur.
9. Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri.
10. Klien dapat tidak sadarkan diri.
D. Tahap Berduka
Dr.Elisabeth Kublerr-Ross telah mengidentifikasi lima tahap berduka yang dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit terminal :
1. Denial ( pengingkaran )
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat menerima
informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin mengingkarinya.
2. Anger ( Marah )
Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia akan meninggal.
3. Bergaining ( tawar-menawar )
Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba menawar waktu untuk hidup.
4. Depetion ( depresi )
Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan segera mati.ia sangat sedih
karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama lagi bersama keluarga dan teman-teman.
5. Acceptance ( penerimaan)
Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan bahwa ia akan meninggal.
Ia akan berusaha keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan.
E.Rentang Respon Kehilangan
Denial> Anger> Bergaining> Depresi> Acceptance
1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi; itu tidak mungkin, saya tidak percaya itu terjadi .
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah.
2. Fase anger / marah
a. Mulai sadar akan kenyataan
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal
d. Perilaku agresif.
3. Fase bergaining / tawar- menawar.
a. Verbalisasi; kenapa harus terjadi pada saya ? kalau saja yang sakit bukan saya seandainya
saya hati-hati .
4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ; apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh, yah, akhirnya saya
harus operasi
F. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian
Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat dari
fase akut ke kronik.
2.Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi penyakit
yang kronik.
3.Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada pasien
dengan operasi radikal karena adanya kanker.
4.Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit kronik dan
telah berjalan lama.
G. Tanda-tanda Meninggal secara klinis Secara tradisional.
Tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan nadi, respirasi dan
tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan beberapa petunjuk
tentang indikasi kematian, yaitu:
1. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
2. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
3. Tidak ada reflek.
4. Gambaran mendatar pada EKG.

H.Macam Tingkat Kesadaran atau Pengertian Pasien dan Keluarganya Terhadap


Kematian.
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type:
1. Closed Awareness/Tidak Mengerti.
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang diagnosa
dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini sangat menyulitkan
karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan keluarganya. Perawat sering kal
dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung, kapan sembuh, kapan pulang, dan
sebagainya.
2. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala sesuatu yang
bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
3. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka.
Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang menjelang
dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. Keadaan ini memberikan
kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi
tidak semua orang dapat melaksanaan hal tersebut.

I. Bantuan yang Dapat Diberikan Saat Tahap Berduka


Bantuan terpenting berupa emosional.
a. Pada Fase Denial
Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara mananyakan tentang
kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat mengekspresikan perasaan-perasaannya.
b. Pada Fase Marah
Biasansya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang marah. Perawat
perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal yang normal dalam merespon
perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada
perawat sebagai orang yang dapat dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima
kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan
rasa aman.
c. Pada Fase Menawar
Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong pasien untuk dapat
berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang tidak masuk akal.

d. Pada Fase Depresi


Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh
pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu duduk dengan tenang
disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari pasien sehingga menumbuhkan rasa
aman bagi pasien.
e. Pada Fase Penerimaan
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan teman-temannya
dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya dan perlu dilibatkan seoptimal
mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya sendiri sebatas
kemampuannya.

BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit atau sakit yang
tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik, psikologis,
social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga berbeda. Hal ini
mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh pasien terminal.
Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita penyakit
kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Atau
sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan
mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut
akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang
hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup, merespon
terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu terjadi. Perhatian utama
pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada kehilangan kontrol
terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang menyakitkan atau tekanan psikologis yang
diakibatkan ketakutan akan perpisahan, kehilangan orang yang dicintai.
b. Saran
1. Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya
untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan
damai.
2. Ketika merawat klien menjelang ajal atau terminal, tanggung jawab perawat harus
mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang unik.
3. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak dengan klien
menjelang ajal, untuk mendengarkan klien mengekspresikan duka citanya dan untuk
mempertahankan kualitas hidup pasien
DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges E. Marilynn, Moorhouse Frances Mary, Geisster C Alice. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien jiwa Edisi
3. Jakarta: EGC.
2. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan jiwa Edisi 8. Jakarta: EGC
3..Depkes RI Pusdiknakes. 995. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan dan Penyakit
kronik dan terminal Jakarta: Depkes RI.
4.. www. Google.com

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN


MENJELANG AJAL
Juniartha Semara Putra
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN MENJELANG
AJAL
KEMATIAN MERUPAKAN BAGIAN YANG ALAMI DARI KEHIDUPAN
Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang bersifat
universal dan unik secara individual. Manusia dapat mengantisipasi kematian. Hal ini dapat
menyebabkan banyak reaksi termasuk ansietas, perencanaan, menyangkal, mencintai, kesepian,
pencapaian, dan kurang pencapaian. Kematian dapat merupakan suatu pengalaman yang luar
biasa sehingga dapat mempengaruhi seseorang menjelang ajal dan keluarga, teman serta pemberi
asuhan mereka. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam
konteks kultur mereka sehingga kehidupan klien dapat berlanjut.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami
kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita.
TUJUAN :
Membantu pasien meninggal dengan tenang, terhormat, bebas dari rasa cemas
dan nyeri
SAKRATUL MAUT
Bagian dari hidup
Proses dari kelahiran sampai meninggal
BEBERAPA REAKSI TERHADAP PENYAKIT TERMINAL
Beberapa pasien mungkin masih punya waktu untuk kematian psikologis,
mereka mungkin akan menyerah pada keadaan
Beberapa orang mencari cara untuk mengurangi nyeri dan gangguan
emosional dari penyakit yang lama serta menunggu kematian dengan
tenang
Sebagian lagi menjadi takut atau marah dan menunjukkan suasana hati
yang bergeser dari menolak sampai depresi
Sebagian yang lain mencoba mencapainya, mencoba mengungkapkan
perasaannya dan pikirannya tentang masa depan yang tidak pasti
Yang lain putus asa dan cemas atau periode mencari, pertanyaan yang
masih kabur

PERAWAT HARUS MENERIMA PERILAKU


PASIEN DENGAN PENGERTIAN DAN
INTERPRETASIKAN KEBUTUHAN YANG
SEBENARNYA

KEHILANGAN, BERDUKA, dan KEMATIAN


KEHILANGAN
Kehilangan tidakselalu oleh kematian tetapi semua kehilangan disertai putus hubungan
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada
menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
TIPE KEHILANGAN :
1. Kehilangan cinta seseorang / orang yang dicintai
2. Kehilangan diri sendiri ( bodi, kepribadian yang dimiliki seseorang, gambaran mental,
dll)
3. Kehilangan obyek ( mobil, rumah, dll)
Kehilangan Obyek Eksternal
Mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri atau
rusak karena bencana alam. Bagi anak-anak kehilangan boneka, selimut, dll. Sedangkan orang
dewasa mungkin kehilangan perhiasan, motor, hap, dll. Kedalaman berduka yang dirasakan
seseorang tergantung pada nilai dan kegunaan yang dimiliki benda tersebut.
Kehilangan Lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan, yang mencakup meninggalkan lingkungan
tersebut atau kepindahan permanen. Misalnya pindah ke kota baru, mendapatkan pekerjaan baru,
atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dengan lingkungan yang telah
dikenal dapat melalui situasi :
Maturasional ( seorang lansia pindah ke panti werda, rumah perawatan)
Situasional ( mengalami cedera / penyakit, kehilangan rumah karena bencana alam )
Perawatan mengakibatkan seseorang merasa di isolasi dari kejadian rutin. Peraturan rumah sakit
membuat suatu lingkungan yang impersonal dan demoralisasi. Kesepian akibat lingkungan yang
tidak dikenal mengancam harga diri dan membuat berduka menjadi lebih sulit.
Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara kandung, guru,
pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja, bahkan mungkin hewan peliharaan, dan mungkin juga
artis atau atlet idolanya. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri,
promosi di tempat kerja, dan kematian.
Kehilangan Aspek Diri :
Dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan bagian
tubuh seperti anggota gerak, mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fisiologis mencakup
kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan, atau fungsi sensoris.
Kehilangan fungsi psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri,
kekuatan respeks, atau cinta. Kehilangan ini dapat terjadi akibat penyakit, cedera, atau perubahan
perkembangan atau situasi. Kehilangan ini dapat menurunkan kesejahteraan individu. Orang
tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami
perubahan permanen dalam citra tubuh dan harga diri.
Kehilangan Hidup :
Perhatian utama sering bukan pada kematian tetapi mengenai nyeri dan kehilangan
kontrol. Sebagian besar orang takut akan kematian dan gelisah mengenai kematian. Setiap orang
berespons berbeda terhadap kematian :
Orang yang menderita penyakit kronis lama dapat mengalami kematian sebagai
peredaan
Sebagian menganggap kematian jalan menuju bersatu di surga dg orang yang dicintai
Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan, kesepian, atau cedera. Ketakutan akan
kematian sering menyebabkan individu menjadi ketergantungan.
Dalam menghadapi kehilangan, individu dipengaruhi oleh :
Bagaimana persepsi individu terhadap kehilangan
Tahap perkembangan
Kekuatan/koping mekanisme
Support system
RESPONS FISIK YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEHILANGAN :
1. Sakit kepala
2. Nafsu makan menurun atau meningkat
3. Perubahan kebiasaan BAB dan BAK
4. Perubahan pola tidur dan mimpi
5. Sesak nafas dan mulut kering
6. Tercekik pada tenggorokan dan / dada
7. Kelemahan otot
8. Tidak enak badan
9. Marah dan permusuhan
10. Kesalahan dan menyalahkan diri sendiri
PERAWAT
1. Menganjurkan pasien bicara tentang perasaan dan kehilangannya : ijinkan
Expresi feeling (menangis, marah )
2. Dengarkan pasien
3. Memberi bantuan dan informasi yang diperluksn
4. Menenangkan pasien bahwa berduka adalah proses normal
5. Menghormati agama, kultur. dan sosial pasien

BERDUKA, BERKABUNG dan KEHILANGAN KARENA KEMATIAN


Istilahberduka, berkabung dan kehilangan karena kematian sering digunakan
tumpang tindih. Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan dan
aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup berduka dan berkabung. Berduka
merupakan reaksi bio- psiko- sosial terhadap persepsi dari kehilangan. Berduka adalah proses
mengalami reaksi psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respons
tersebut yang diekspresikan terhadap kehilangan dimanifestasikan adanya perasaan sedih,
gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, keputusasaan, kesepian ketidakberdayaan, rasa bersalah,
marah, dan lain-lain. Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup
berupaya untuk melewati berduka/dukacita. Proses berduka/dukacita dan berkabung bersifat
mendalam, internal, menyedihkan , dan berkepanjangan.
A. Teori Engel (1964)
Proses berduka mempunyai 3 fase yang dapat diterapkan pada seseorang yang berduka
dan menjelang kematian, yaitu :
Fase pertama, individu menyangkal realitas kehidupan dan mungkin menarik diri, duduk
tidak bergerak, atau menerawang tanpa tujuan. Reaksi fisik dapat seperti pingsan,
berkeringat, mual, diare, frekuensi jantung cepat, gelisah, insomnia, dan keletihan.
Fase kedua, individu mulai merasa kehilangan tiba-tiba dan mungkin mengalami
keputusasaan. Secara mendadak menjadi marah, rasa bersalah, frustrasi, depresi, dan
kehampaan. Menangis adalah khas individu menerima kehilangan.
Fase ketiga, Marah dan deoresi tidak lagi terjadi. Kehilangan telah jelas bagi individu
yang mulai mengenali hidup. Dengan mengalami fase ini seseorang telah berkembang
kesadaran dirinya [fungsi emosi dan intelektual menjadi lebih tinggi].
B. Teori Kubler Ross (1969)
Tahapan menjelang ajal ( Dr. E. Kubler Ross )
1. DENIAL( Mengingkari /menyangkal )Z
Perasaan tidak percaya, syok, biasanya ditandai dengan menangis, gelisah, lemah, letih,
dan pucat. Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal. Ia mungkin tidak
menerima informasi ini sebagai kebenaran, dan bahkan mungkin mengingkarinya.
Saya? Tidak, tak mungkin
Hal ini tidak terjadi pada saya
Saya terlalu muda untuk mati
Perawat :
Cobalah untuk tidak mempertegas atau mengingkari kenyataan bahwa pasien menjelang
kematian
Contoh :
Hasil lab ini tidak benar, saya tidak menderita ca
Pasti sulit bagi anda untuk memahami hasil pemeriksaan tersebut
2. ANGER ( marah )
Individu melawan kehilangan dan dapat bertindak pada seseorang dan segala sesuatu di
lingkungan sekitarnya. Perasaan marah dapat diproyeksikan pada orang atau benda yang
ditandai dengan muka merah, suara keras, tangan mengepal, nadi cepat, gelisah, dan
perilaku agresif.
Terjadi ketika pasien tidak lagi dapat mengingkari kenyataan bahwa ia akan meninggal.
Pasien mungkin menyalahkan orang disekelilingnya termasuk perawat
Mengapa saya?
: Semua ini adalah kesalahanmu. Saya seharusnya tidak datang ke RS ini
Perawat:
Pahami penyebab marah pasien. Berikan pengertian dan dukungan. Dengarkan.
Cobalah memenuhi dengan cepat kebutuhan dan tututannya yang masuk akal.
Contoh :
Makanan ini tidak enak, tidak cocok untuk dimakan
Coba saya cari dulu, apakah ada makanan lain yang dapat meningkatkan selera
anda
3. BARGAINING ( Tawar-menawar )
Terdapat penundaan realitas kehilangan. Individu mampu mengungkapkan rasa marah
atau kehilangan, ia akan mengekspresikan rasa bersalah, takut dan rasa berdosa. Pada
tahapan ini pasien seringkali mencari pendapat orang lain. Kemarahan biasanya mereda
dan pasien menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang sedang terjadi pada
dirinya. Pasien mencoba menawar waktu untuk hidup. Ia seringkali akan berjanji kepada
Tuhan.
Jika Engkau mengijinkan saya hidup 2 bulan lagi, saya berjanji akan menjadi orang
baik
Saya tahu, saya akan mati dan saya siap untuk mati tetapi tidak sekarang
Perawat :
Sebanyak mungkin permohonan pasien dapat dipenuhi. Dengarkan penuh perhatian.
Contoh :
Jika Tuhan dapat menundanya, saya akan ke gereja setiap minggu
Apa anda ingin dikunjungi rohaniawan
4. DEPRESSION( Depresi )
Terjadi ketika ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan
tersebut. Individu menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau bicara, dan putus asa.
Perilaku yang muncul seperti menolak makan, susah tidur, dan dorongan libido menurun,
serta merasa terlalu kesepian. Pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan
segera mati.
Ya, benar aku
Saya selalu berjanji pada suami saya bahwa kita akan ke Eropa dan sekarang kita tidak
akan pernah pergi lagi
Ini biasanya merupakan satu waktu yang sedih. Pasien cenderung tidak banyak bicara dan
mungkin sering menangis.
Perawat :
Perawat duduk dengan tenang di samping pasien. Hindari kata klise yang memperberat
depresi pasien. Bersikaplah mengasihi dan mendukung. Biarkan pasien tahu bahwa ia
boleh depresi.
Contoh :
Semua yang terjadi benar-benar tidak masuk akal
Saya mengerti anda sangat tertekan
5. ACCEPTANCE (Menerima )
Reaksi fisiologis menurun dan interaksi sosial berlanjut. Fase ini berkaitan dengan
reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran yang berpusat pada obyek kehilangan mulai
berkurang. K-R mendefinisikan penerimaan lebih sebagai menghadapi situasi
ketimbang menyerah untuk pasrah atau putus asa. Pada tahap ini ditandai oleh sikap
menerima kematian. Pasien berusaha menyelesaikan urusan-urusan /tugasnya yang belum
selesai dan mungkin tak ingin bicara lagi. K-R menyatakan : mencapai tahap ini tidak
selalu berarti maut sudah dekat. Tahap ini bukanlah tahap pasrah berarti kekalahan.
Biarlah maut cepat-cepat mengambil aku, karena aku sudah siap
Perawat :
Jangan menganggap bahwa hanya karena pasien telah menerima kenyataannya, bukan
berarti ia tidak merasa takut atau tidakmemerlukan dukungan emosional. Dengarkan
dengan penuh perhatian, dukung dan rawatlah.
Contoh :
Saya sangat kesepian
Saya disini menemani anda. Apa anda ingin membicarakan sesuatu
C. Fase Berduka menurut Rando [1993]
Respons berduka dibagi menjadi 3 katagori, yaitu :
Penghindaran, dimana terjadi syok, menyangkal dan ketidakpercayaan.
Konfrontasi, terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang melawan kehilangan dan kedukaan mereka yang dirakan paling dalam
dan dirasakan paling akut.
Akomodasi, secara bertahap terjadi penurunan kedukaan akut. Klien belajar
menjalani hidup dengan kehilangan mereka.
PERAN PERAWAT adalah
Mengamati perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku, dan
memberikan dukungan yang empatik.

MATI / MENINGGAL
Berhentinya fungsi vital yang permanen, akhir penghidupan manusia
KEMATIAN BISA DATANG :
Tiba-tiba
Tanpa peringatan
Mengikuti periode panyakit yang panjang
Menyerang usia muda
Tetapi selalu menunggu usia tua
PERAWAT
Perawatan menjelang ajal
Perawatan posmorten
MEMPERSIAPKAN KEMATIAN :
1. Setiap pasien bereaksi dengan cara yang unik
2. Kepada siapa pasien ingin mengungkapkan perasaannya keputusan yang sangat
pribadi
3. Perawat harus bersedia mendengarkan, tetapi jangan memperbesar masalah
PERAN PERAWAT :
1. Respons harus konsisten
2. Harus terbuka dan bersikap menerima perasaan pasien dapat berubah-ubah
3. Eksplorasikan perasaan dengan jujur
4. Berikan asuhan keperawatan khususnya perawatan mulut dan masukan cairan
5. Empati dalam melaksanakan tugas dengan cara tenang dan efisien
6. Jika pasien dalam kondisi kritis persiapkansesuai dengan agamanya
INGAT
Peristiwa menjelang ajal adalah urusan yang bersifat pribadi, perjalanan yang harus
diselesaikan seorang diri

PERUBAHAN FISIK SAAT KEMATIAN MENDEKAT


1. Pasien kurang responsive
2. Fungsi tubuh melambat
3. Pasien kehilangan control otot volunteer dan involunter
4. Gerakan dan penginderaan menghilang secara berangsur-angsur (dari kaki ujung
kaki, pasien tampak menggembung)
5. Pasien berkemih dan defekasi tidak sengaja ( pengosongan kandung kemih dan
anus sfingter relaksasi
6. Rahang cenderung jatuh, otot-otot rahang dan muka mengendor dan wajah tampak
damai
7. Pernafasan tidak teratur (irregular) dan dangkal serta mungkin berbunyi keras
(ngorok/ death rattle), nafas CHEYNE-STOKES
8. Sirkulasi melambat : suhu biasanyan tinggi tapi pasien terasa dingan dan lembab
(ekstremitas dingin, ujung hidung dingin dan kuping )
9. Kulit tampak kebiru-biruan terutama tangan dan kaki, lemah dan pucat
10. Denyut nadi mulai tidak teratur dan cepat serta melemah secara progresif
11. Mata membelalak dan tidak berespons terhadap cahaya,setengah terbuka,dilatasi
pupil
12. Tekanan darah menurun, peredaran darah perifer terhenti
13. Rasa nyeri hilang
14. Kesulitan menelan
15. Nausea dan pelan-pelan menolak makanan dan minuman
16. Tidur bertambah lama dalam satu periode
17. Pasien mungkin tidak sadar atau tetap sadar sesuai tingkat kekuatan
ingatan
18. Pendengaran adalah indera terakhir yang hilang
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas
(Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh akan
menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang
menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono,
1999;4). Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok
yakni :
1. Kelompok lansia dini (55 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia.
2. Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
3. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.

Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai
usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Pada usia lanjut akan terjadi berbagai
kemunduran pada organ tubuh. Namun tidak perlu berkecil hati, harus selalu optimis, ceria dan
berusaha agar selalu tetap sehat di usia lanjut. Jadi walaupunb usia sudah lanjut, harus tetap
menjaga kesehatan
Proses menua manusia mengalami perubahan menuju ketergantungan fisik dan mental. Keluhan
yang menyertai proses menua menjadi tanda adanya penyakit, biasanya disertai dengan perasaan
cemas, depresi atau mengingkari penyakitnya.
Apalagi penyakit stadium terminal (tinggal menunggu ajal) dalam prediksi secara medis sering
diartikan penderita tidak lama lagi meninggal dunia. Keadaan ini menyebabkan lansia
mengalami kecemasan menghadapi kematian.

Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban penderita,
terutama terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Yang dimaksud tindakan aktif antara lain
mengurangi/menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek psikologis,
sosial, dan spiritual.

Tujuan perawatan paliatif adalah mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut
usia) dan keluarganya. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan kepada lanjut usia yang
menjelang akhir hayatnya, tetapi juga diberikan segera setelah didiagnosisoleh dokter bahwa
lanjut usia tersebut menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh (mis., menderita
kanker). Sebagian pasien lanjut usia, pada suatu waktu akan menghadapi keadaan yang disebut
stadium paliatif, yaitu kondisi ketika pengobatan sudah tidak dapat menghasilkan kesembuhan.
Biasanya dokter memvonis pasien lanjut usia yang menderita penyakit yang mematikan (misal,
kanker, stroke, AIDS) juga mengalami penderitaan fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang medis dan keperawatan,
memungkinkan diupayakan berbagai tindakan dan pelayanan yang dapat mengurangi
penderitaan pasien lanjut usia, sehingga kualitas hidup di akhir kehidupannya tetap baik, tenang
dan mengakhiri hayatnya dalam keadaan iman dan kematian yang nyaman. Diperlukan
pendekatan holistik yang dapat memperbaiki kualitas hidup klien lanjut usia. Kualitas hidup
adalah bebas dari segala sesuatu yang menimbulkan gejala, nyeri, dan perasaan takut sehingga
lebih menekankan rehabilitasi dari pada pengobatan agar dapat menikmati kesenagngan selama
akhir hidupnya. Sesuai arti harfiahnya, paliatif bersifat meringankan, bukan menyembuhkan.
Jadi, perawatan paliatif diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan
semangat dan motivasi. Perawatan ini merupakan pelayanan yang aktif dan menyeluruh yang
dilakukan oleh satu tim dari berbagai disiplin ilmu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud keadaan paliatif/terminal ?
2. Apa saja penyakit terminal?
3. Apa saja Manifestasi klinis dari pasien menjelang ajal ?
4. Bagaimana fase fase kehilangan?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia menjelang ajal ?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada pasien terminal
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu memahami pengertian hospice
b) Mahasiswa mampu memahami jenis-jenis penyakit terminal
c) Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinik
d) Mahasiswa mampu memahami fase-fase kehilangan
e) Mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Penyakit
Terminal.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hospice dan Perawatan Paliatif


Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap
penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa
tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual. Perawatan akhir
hayat/perawatan terminal adalah suatu proses perawatan medis lanjutan yang terencana melalui
diskusi yang terstuktur dan didokumentasikan dengan baik, dan proses ini terjalin sejak awal
dalam proses perawatan yang umum/biasa. Dikatakan sebagai perawatan medis lanjutan karena
penderita biasanya sudah masuk ke tahap yang tidak dapat disembuhkan (incurable). Melalui
proses perawatan ini diharapkan penderita dapat meng-identifikasi dan meng-klarifikasi nilai-
nilai dan tujuan hidupnya serta upaya kesehatan dan pengobatan yang diinginkannya seandainya
kelak ia tidak lagi mampu untuk memutuskan sesuatu bagi dirinya sendiri. Atau, penderita dapat
pula menunjuk seseorang yang akan membuat keputusan baginya sekiranya hal itu terjadi.

Dalam perawatan ini, keluarga ikut dilibatkan sehingga dengan demikian diharapkan semua
kebingungan dan konflik dikemudian hari dapat dihindari. Proses ini perlu senantiasa dinilai
kembali dan di-up date secara reguler karena dalam perjalanannya tujuan perawatan dan
prioritasnya sering kali berubah-ubah tergantung pada situasi/kondisi yang dihadapi saat itu. Bila
pada awalnya tujuan kuratif dan menghindari kematian merupakan prioritas utama, pada stadium
terminal tujuan perawatan beralih ke usaha mempertahankan fungsi, meniadakan penderitaan
dan mengoptimalkan kualitas hidup penderita. Dengan demikian diharapkan penderita dapat
menghadapi akhir hayatnya secara damai, tenang dan bermartabat (with dignity). Peralihan ini
seharusnya terjadi secara gradual/tidak secara mendadak. Sering kali tujuan perawatan dan
prioritas di pihak penderita dan keluarganya tidak sejalan dengan tujuan dan prioritas dokternya.

Hal ini perlu dikomunikasikan dengan baik sehingga kedua belah pihak dapat memilih apa
yang terbaik bagi penderita. Disini dokter memegang peran kunci karena dialah yang lebih
banyak mengetahui tentang perjalanan penyakit yang senantiasa berubah serta alternatif
pengobatan yang mungkin diberikan pada penderita untuk mencapai tujuan perawatan tadi serta
bagaimana prognosisnya. Karena itu pengkajian secara teratur dan up-dating perlu selalu
diusahakan dan dikomunikasikan dengan penderita/ keluarganya. Untuk mencapai tujuan
tersebut diatas diperlukan kerjasama dari beberapa ahli yang bekerja bersama dalam sebuah team
yang multidisipliner dan bekerja secara interdisipliner sehingga perawatan penderita dapat
berjalan secara komprehensif.

Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu
tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1995).
Perawatan terminal dapat dimulai pada minggu-minggu, hari-hari dan jaminan terakhir
kehidupan dimana bertujuan:
Mempertahankan hidup, Menurunkan stress, Meringankan dan mempertahankan kenyamanan
selama mungkin (Weisman). Secara umum kematian adalah sebagian proses dari kehidupan yang
dialami oleh siapa saja meskipun demikian, hal tersebut tetap saja menimbulkan perasaan nyeri
dan takut, tidak hanya pasien akan juga keluarganya bahkan pada mereka yang merawat dan
mengurusnya.
Penderita yang akan meninggal tidak akan kembali lagi ke tengah keluarga, kenyataan ini
sangat berat bagi keluarga yang akan ditinggalkannya Untuk menghindari hal diatas bukan hanya
keluarganya saja yang berduka bahkan klien lebih tertekan dengan penyakit yang dideritanya.
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban penderita, terutama
terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Yang dimaksud tindakan aktif antara lain
mengurangi/menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek psikologis,
sosial, dan spiritual.

Tujuan perawatan paliatif adalah mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut
usia) dan keluarganya. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan kepada lanjut usia yang
menjelang akhir hayatnya, tetapi juga diberikan segera setelah didiagnosisoleh dokter bahwa
lanjut usia tersebut menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh (mis., menderita
kanker). Sebagian pasien lanjut usia, pada suatu waktu akan menghadapi keadaan yang disebut
stadium paliatif, yaitu kondisi ketika pengobatan sudah tidak dapat menghasilkan kesembuhan.
Biasanya dokter memvonis pasien lanjut usia yang menderita penyakit yang mematikan (misal,
kanker, stroke, AIDS) juga mengalami penderitaan fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang medis dan keperawatan,
memungkinkan diupayakan berbagai tindakan dan pelayanan yang dapat mengurangi
penderitaan pasien lanjut usia, sehingga kualitas hidup di akhir kehidupannya tetap baik, tenang
dan mengakhiri hayatnya dalam keadaan iman dan kematian yang nyaman. Diperlukan
pendekatan holistik yang dapat memperbaiki kualitas hidup klien lanjut usia. Kualitas hidup
adalah bebas dari segala sesuatu yang menimbulkan gejala, nyeri, dan perasaan takut sehingga
lebih menekankan rehabilitasi dari pada pengobatan agar dapat menikmati kesenagngan selama
akhir hidupnya. Sesuai arti harfiahnya, paliatif bersifat meringankan, bukan menyembuhkan.
Jadi, perawatan paliatif diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan
semangat dan motivasi. Perawatan ini merupakan pelayanan yang aktif dan menyeluruh yang
dilakukan oleh satu tim dari berbagai disiplin ilmu.
Dalam memberi perawatan paliatif, tim tersebut harus berpijak pada pola dasar yang
digariskan oleh WHO, yaitu :
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal.
2. Tidak mempercepat dan menunda kematian lanjut usia.
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5. Berusaha agar lanjut usia yang sakit tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6. Berusaha membantu mengatasi suasana duka cita keluarga klien lanjut usia.

Pola dasar tersebut harus diterapkan langkah demi langkah dengan mengikut sertakan
keluarga pasien, pemuka agama (sesuai agama klien), relawan, pekerja sosial , dokter, psokolog,
ahli gizi, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasi, dan perawat. Prinsip pemberian perawatan paliatif
adalah membieri perawatan paripurna kepada klien lanjut usia dengan pengawasan dari tim
profesional.

Tim Perawatan Paliatif


Tim perawatan paliatif terdiri atas tim terintegrasi, antara lain dokter, perawat, psikolog, ahli
fisioterapi, pekerja sosial medis, ahli gizi, rohaniawan, dan relawan.
Perlu diingat bahwa tujuan perawatan paliatif adalah mengurangi penderitaan lanjut usia.
Penderitaan terjadibila ada salah satu aspek yang tidak selaras, baik aspek fisik maupun psikis,
peran dalam keluarga, masa depan yang tidak jelas, gangguan kemampuan untuk menolong diri,
dan sebagainya.untuk memahami dan mengatasi hal tersebut, peran tim interdisiplin menjadi
sangat penting/dominant. Keberhasilan perawatan paliatif bergantung pada kerja samayang
efektif dan pendekatan interdisiplin antara dokter, perawat, pekerja sosial medis,
rohaniawan/pemuka agama, relawan, dan anggota pelayanan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Setiap anggota tim harus memahami dan menguasai prinsip perawatan paliatif yang selama ini
belum dapat dipelajari dengan seksama. Tim harus mampu mengupayakan dan menjamin agar
pasien lanjut usia mendapat pelayanan perawatan seutuhnya yang mencakup bio-psiko-kultural
dan spiritual.
Artinya, tidak ada anggota tim yang menjadi primadona. Pemimpin tim dan dibantu
anggotanya harus berusaha keras untuk mencapai tujuan perawatan.
Tentu saja kerja tim ini tidak mudah tanpa adanya semangat kebersamaan dalam memberi
bantuan kepada pasien lanjut usia. Pemberian asukan keperawatan pada pasien harus bekerja
sama secara profesional, ikhlas, dan dengan hati yang bersih. Perawatan paliatif untuk lanjut usia
bukan suatu intervensi yang bersifat kritis. Perawatan paliatif adalah perawatan yang terencana.
Walaupun dapat terjadi kondisi kritis dan kedaruratan medis yang tidak terduga, hal ini dapat
diantisipasai, bahkan dapat dicegah melalui ikatan kerja tim yang solid dan kuat. Kekhususan tim
paliatif antara lain:
1. Profesi setiap anggota tim telah dikenal cakupan dan lingkup kerjanya.
2. Para profesional ini bergabung dalam satu kelompok kerja.
3. Secara bersama, mereka menyusun dan merancang tujuan akhir perawatan, melakukan
langkah tujuan pendek.
4. Bila perlu, kepemimpinan dapat terbagi di antara anggota tim, bergantung pada kondisi yang
paling diperlukan oleh pasien lanjut usia.
5. Tim adalah motor penggerak semua kegiatan pasien.
6. Proses interaksi adalah kunci keberhasilan.
Bagan kepemimpinan pada perawatan paliatif tidak berbentuk kerucut, melainkan lebih
berbentuk lingkaran dengan pasien sebagai titik sentral. Kunci keberhasilan juga interdisiplin
bergantung pada tanggung jawab seiap anggota tim, sesuai dengan kemahiran dan
spesialisasinya, sehingga setiap kali pimpinan berganti, tugas profesi masing-masing tidak akan
terganggu. Keberhasilan keperawatan paliatif pada pasien lanjut usia yang satu akan menjadi
pengalaman dan akan meningkatkan kekuatan tim untuk upaya penanggulangan gejala yang
samapada pasien yang lain.
Dokter

Rohaniawan

Pekerja
Sosial

Ahli
Nutrisi

Pemberi Asuhan

Relawan

Ahli Terapi Okupasi


Psikolog

Fisioterapis

Perawat

PASIEN
Bagan kepemimpinan dalam perawatan paliatif

2.2 Jenis-Jenis Penyakit Terminal


Adapun yang dapat dikategorikan sebagai penyakit terminal adalah:
1. Penyakit-penyakit kanker.
2. Penyakit-penyakit infeksi.
3. Congestif Renal Falure (CRF)
4. Stroke Multiple Sklerosis.
5. Akibat kecelakaan fatal.
6. AIDS.

2.3 Manifestasi Klinik


2.3.1 Fisik
a) Gerakan pengindaran menghilang secara berangsur-angsur dimulai dari ujung kaki dan
ujung jari.
b) Aktivitas dari GI berkurang.
c) Reflek mulai menghilang.
d) Suhu klien biasanya tinggi tapi merasa dingin dan lembab terutama pada kaki dan tangan
dan ujung-ujung ekstremitas.
e) Kulit kelihatan kebiruan dan pucat.
f) Denyut nadi tidak teratur dan lemah.
g) Nafas berbunyi, keras dan cepat ngorok.
h) Penglihatan mulai kabur.
i) Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri.
j) Klien dapat tidak sadarkan diri.

2.3.2 Psikososial
Sesuai dengan fase-fase kehilangan menurut seorang ahli E. Kuber Ross mempelajari respon-
respon atas menerima kematian dan maut secara mendalam dari hasil penyelidikan/penelitiannya
yaitu:
1. Respon kehilangan
a) Rasa takut diungkapkan dengan ekspresi wajah (air muka), ketakutan, cara tertentu untuk
mengulurkan tangan.
b) Cemas diungkapkan dengan cara menggerakkan otot rahang dan kemudian mengendor.
c) Rasa sedih diungkapkan dengan mata setengah terbuka atau menanggis.
2. Hubungan dengan orang lain
a) Kecemasan timbul akibat ketakutan akan ketidak mampuan untuk
b) berhubungan secara interpersonal serta akibat penolakan.

2.4 Grieving (Berduka)


Berduka merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan , biasanya akibat perpisahan .
Dimanifestasikan dalam perilaku, perasaan dan pemikiran . Berduka juga merupakan proses
mengalami reaksi psikologis, fisik, dan sosial terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respon
yang ada dalam berduka yaitu keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa
bersalah dan marah . Berduka juga mencakup pikiran, perasaan dan perilaku.

Breavement adalah respon subjektif dalam masa berduka yang dilalui selama reaksi berduka.
Biasanya berefek pada masalah psikis dan kesehatan . Sedangkan berkabung adalah periode
penirimaan terhadap kehilangan dan berduka yang terjadi selama individu dalam masa
kehilangan. Sering dipengaruhi oleh kebudayaan dan kebiasaan.

2.4.1 Reaksi Berduka


A. Menolak dan Isolasi
Tidak percaya terhadap hal tersebut.
Tidak siap menghadapi masalah.
Memperhatikan kegembiraan yang dibuat-buat (menolak berkepanjangan).
B. Marah (Anger)
Marah terhadap orang lain untuk hal-hal sepele: iritabel/sensitive.
C. Bargaining/tawar menawar
Mulai tawar menawar terhadap loss.
Mengekspresikan rasa bersalah , takut , putisment terhadap rasa berdosa, baik nyata maupun
imajinasi
D. Depresi
Rasa berduka terhadap apa yang terjadi.
Kadang bicara bebas atau menarik diri.
E. Acceptane/penermaan
Penurunan interest lingkungan sekitar.
Berkeinginan untuk membuat rencana rencana .
2.4.2 Konsep Teori Berduka
A. Teori Engel ( 1964)
Teori ini memiliki cirri cirri bahwa berduka terdiri dari syok , tidak percaya, mengembalikan
kesadaran , mengenali dan restitusi .
B. Teori Kubler Ross ( 1969)
Konsep berduka terdiri atqs lima tahap diantara lain mengingkari, marah, fase tawar-
menawar, fase sedih yang mendalam dan penerimaan.
C. Teori Rando (1991)
Pada teori rando terdiri dari penghindaran, konfrontasi, dan akomodasi. Meskipun tidak ada
dua orang yang bereaski sama terhadap kematian dan ajal, namun respon fisiologis dan
psikologis terhadap kemkatian, yang dikenal sebagi berduka telah digambarkan dalam tahapan
tahapan oleh orang orang terkenal seperti engel, linderman, Parkes, Bolbley, dan Kubler Ross.

Berduka merupakan respo0n normal dan universal terhadap kehilangan yang dialami melalui
perasaan, perilaku, dan penderitaan emosional. Berduka adalah proses pergeeseran melewati
nyeri akibat kehilangan. Kehilangan kesehatan, teman , kerabat, pekerjaan , keamanan financial
merupakan sebagian dari kehilangan kumulatif yang menyebabkann berduka pada lansia.
Periode berduka adalah waktu penyembuhan , adaptasi, dan pertumbhan.

Asuhan keperwatan untuk pasien dan pemberi perawatan yang berduka memerluikan rasa
saling member yang sensitive, peduli dan empati. Berbagai pendapat, perasaan dan ketenangan
merupakan intervensi keperawatan yang paling tepat . Bimbingan adaptif dapat membantu
mereka mempersiapkan orang yang menjelang ajal untuk mengahadapi nyeri dan perasaan
alamiah mereka yang berhubungan dengan proses berduka .

2.4.3 Berduka dan Proses Keperawatan Berduka


1. Pengkajian

Dalam proses ini perawat dapat menghindari asumsi yang salah tentang kematian, member
kesempatan klien untuk mengeksploitasi perasaan, mengkaji klien dan keluarga tentang makna
kehilangan mereka, dan gunakanlah komunikasi yang empati dan berduka.
Kaji reaksi klien selama berduka, kaji factor factor yang mempengaruhi kehilangan, kaji
karakteristik personal dan identitas klien , kaji bagaimana hubungan dengan subyek yang hilang ,
kaji karakteristik kehilangan, kaji keyakian spiritual dan sistem pendukung yang lain.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang bisa ditegakkan untuk klien klien berduka adalah :

a.Berduka disfungsional.
b.Berduka yang diantisipasi.
c.Penyesuaian diri yang terganggu.

3. Perencanaan dan Implementasi

a.Lakukan lah komunikasi yang baik dengan klien.


b.Pertahankan harga diri klien.
c.Tingkatkan aktivitas yang mungkin bisa dilakukan oleh klien.
d.Tingkatkan kenyamanan spiritual.
e.Tingkatkan dukungan keluarga klien.
f.Beri perhatian yang cukup.

2.5 Dying (Sekarat/Menjelang Ajal)


Sekarat adalah bagian dari kehidupan yang merupakan proses menuju kematian. Dengan
makin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut, meningkat pula jumlah penderita penyakit
kronis, yang pada suatu saat mengalami keadaan dimana tidak ada sesuatu yang dapat dikerjakan
untuk memperbaiki kemampuan melakukan aktivitas sehari hari .

Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi organ jelas tidak
bisa membaik dengan berbagai pengobatan, keadaan yang jelas tidak member harapan . Akan
tetapi apabila penderita masih dalam kesadaran penh , dan masih mampu bermobilisasi , dengan
berbagai fungsi organ yang masih berfungsi, mka persoalan etika hokum menjadi lebih rumit.
Dalam hal diatas yang menjadi masalah bagi praktek kedokteran di Indonesia adalah
bagaimana memberitahukan keadaan sebenarnya pada penerita yang sering kali member beban
psikologis sangat berat, sehingga keluarga kerapkali menyembunyikan kebenaran dari klien .
menurut hak azaz otonomi , seharusnya klien lah yang paling berhak tahu atas kondisi kesehatan
nya.

2.5.1 Teori Teori Dying (Menjelang Ajal / Sekarat )


penulis yang paling dikenal dalam bidang kematian dan menjelang ajal adalah Elizabeth
KublerRoss. Hasil kerjanya membuat peka perawat , professional layanan kesehatan dan
konsumen terhadap proses menjelang ajal dan kebutuhan-kebutuhan yang melekat pada orang
yang menjelang ajal. Teorinya mengatakan bahwa orang yang menjelang ajal mengalami lima
tahap, dimulai dengan penyingkapan awal terminalitas dan berakhir dengan momeng akhir
kehidupan. Tahap l, penyangkalan dan isolasi, biasanya mewakili pertahanan temporer yang
digantikan dengan penerimaan parsial. Penyangkalan ini tidak boleh diinterpretasikansebagai
adaptasi yang negative atau merendahkan. Sebagai pertahanan awal, penyangkalan membantu
seseorang dengan melindunginya dari ansietas dan ketakutan. Pada Tahap II, kemarahan dan
penyangkalan digantikan dengan perasaan marah , gusar , iri , kebencian,. Hal ini dianggap
sebagai salah satu tahap yang paling sulit bagi keluarga dan pemberi perawatan karena perasaan
ini sering diarahkan pada mereka. Selama Tahap III, tawar menawar, orang sering berupa
negosiasi dengan Tuhan untuk mendapatkan tambahan waktu. Tahap IV, depresi , meliputi 2 jenis
kehilangan : kehilangan yang terjadi di masalalu dan kehilangan hidup yang akan terjadi. Yang
disebut sebagai persiapan berduka oleh Kubler Ross. Tahap V , penerimaan , merupakan fase
akhir dari proses menjelang ajal.

Amberton mengisolasi empat strategi koping utama yang digunakan oleh orang yang
menjelang ajal.: penyangkalan , ketergantungan , pemindahan , dan regresi. Teorinya
menekankan pada suatu pendekatan tim dalam merawat orang yang menjelang ajal, dengan focus
pada pendekatan asuhan paliatif daripada pendekatan kuratif. Dukungan yang konsisten oleh
pemberi perawatan diperlukan pada saat pasien yang menjelang ajal terombang-ambing diantara
berbagai bentuk ketergantungan dan kecukupan diri. Orang yang menjelang ajal perlu
mengetahui bahwa mereka tidak akan diabaikan atau ditinggal sendiri.
Pattison tidak menyetujui pembagian proses menjelang ajal menjadi tahapan-tahapan
kronologis yang tersusun. Ia mengindentifikasi berbagai mekanisme koping ego yang digunakan
oeh orang yang menjelang ajal pada berbagai titik yang berbeda selama siklus hidup. Lansia
menggunakan altruism, humor , supresi, pikiran , antisipasi, dan sublimasi untuk menghadapi
kebutuhan-kebutuhan terminal. Patrison merujuk pada fase-fase proses menjelang ajal : fase
akut, fase kehidupan kronis , fase menjelang ajal, fase akhir. Ia mengatakan bahwa persiapan
reaksi psikologis muncul selama interval hidup-mati. Pendekatan individual diperlukan untuk
menghadapi stress dan krisis yang dapat muncul kapan saja dalam proses menjelang ajal.

Wiesman mengemukakan adanya kemungkinan fase-fase pada ekspresi respons emosional


yang continue dan berubah-ubah selama proses menjelang ajal. Ia menekankan pada
individualitas seseorang daripada member label berdasarkan urutan munculnya reaksi emosional.

2.6 Death (Kematian)


Kematian adalah kondisi berhentinya fungsi organ tubuh secara menetap atau terhentinya
kerja otak secara menetap. Meninggal dunia adalah keadaan insane yang diyakini oleh ahli
kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah
terhenti . Kematian adalah satu fase kehidupan yang terakhir bagi manusia. Persepsi seseorang
tentang kematian berbeda-beda. Dalam merawat lansia yang tidak ada harapan untuk sembuh,
seorang perawat profesional harus mempunyai ketrampilan yang multikompleks. Sesuai dengan
peran yang dimiliki, perawat harus mampu memberi pelayanan keperawatan dalam memenuhi
kebutuhan fisik, mental, sosial dan spiritual. Perawat juga dituntut untuk membantu anggota
keluarganya dalam memenuhi kebutuhan klien lanjut usia dan harus menyelami perasaan hidup
dan mati.

Pemberian askep pada lansia yang sedang menghadapi sekratul maut tidak selamanya
mudah. Klien lansia akan memberi reaksi yang berbeda-beda, bergantung pada kepribadian dan
cara klien lansia menghadapi hidup. Bagaimanapun keadaannya, perawat harus dapat menguasai
situasi, terutama anggota keluarga dalam keadaan kritis ini memerlukan perhatian perawat karna
kematian seorang dapat terjadi secara tiba-tiba dan dapat pula berlangsung sehari-hari. Kadang-
kadang sebelum ajal tiba, klien lansia kehilangan kesadarannya terlebih dahulu.

Pengertian sakit gawat adalah suatu keadaan sakit, yang klien lansia tidak dapat lagi atau
tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Pengertian kematian/mati adalah apabila seorang tidak lagi
teraba denyut nadinya, tidak bernapas selama beberapa menit, dan tidak menunjukan segala
refleks, serta tidak ada kegiatan otak.
Penyebab kematian diantara lain adalah sebagai berikut :
1. Penyakit
a. Keganasan (karsinoma hati, paru, mammae)
b. Penyakit kronis, misalnya:
CVD (cerebrovaskuler disease), CRF (chronic renal failure (gagal Ginjal), Diabetes Melitus
(gangguan endokrin), MCI (myocard infark (gangguan kardiovaskular), COPD (chronic
obstruction pulmonary disease).

2. Kecelakaan (hematoma epidural)


Ciri/tanda klien lansia menjelang kematian:
1. Gerakan dan penginderaan menghilang secara berangsur-angsur. Biasanya dimulai pada
anggota badan, khususnya kaki dan ujung kaki.
2. Gerakan peristaltik usus menurun.
3. Tubuh klien tampak mengembung.
4. Badan dingin dan lembab, terutama pada kaki, tangan dan ujung hidungnya.
5. Klien tampak pucat, berwarna kebiruan/kelabu.
6. Denyut nadi mulai tidak beraturan.
7. Napas mendengkur berbunyi keras (stridor) yang disebabkan oleh adanya lendir pada
saluran pernapasan yang tidak dapat dikeluarkan oleh lansia.
8. Tekanan darah menurun.
9. Terjadi gangguan kessadaran (ingatan menjadi kabur)

Tanda-tanda kematian:
1. Pupil mata tetap membesar atau melebar dan tidak berubah.
2. Hilangnya semua refleks dan ketidaan kegiatan otak yang tampak jelas dalam hasil
pemeriksaan EEG dalam waktu 24jam.

2.7 Fase-Fase Kehilangan


Masuknya klien ke dalam ancaman peran sakit pada rentang hidup-mati mengamcam dan
mengubah hemostatis. Lebih dari rasa takut yang nyata tentang kematian dan pengaruh terhadap
anggota keluarga yang dirawat dirasakan oleh keluarga. Banyak faktor yang mempengaruhi klien
dalam perawatan penyakit terminal, apabila seseorang sudah divonis/prognosa jelek, ia tiak akan
bisa menerima begitu saja tentang apa yang ia hadapi sekarang.
Elizabeth Kubbler Ross menggambarkan 5 tahap yang akan dilalui klien dalam menghadapi
bayangan akan kematian/kehilangan yang sangat bermanfaat untuk memahami kondisi klien
pada saat ini, yaitu:
1. Tahap peningkatan atau denial
Adalah ketidakmampuan menerima, kehilangan untuk membatasi atau mengontrol nyeri dan
dystress dalam menghadapinya. Gambaran pada tahap denial yaitu:
a) Tidak percaya diri
b) Shock
c) Mengingkari kenyataan akan kehilangan
d) Selalu membantah dengan perkataan baik
e) Diam terpaku
f) Binggung, gelisah
g) Lemah, letih, pernafasan, nadi cepat dan berdebar-debar
h) Nyeri tubuh, mual

2. Tahap anger atau marah


Adalah kekesalan terhadap kehilangan. Gambaran pada tahap anger yaitu:
a) Klien marah-marah
b) Nada bicara kasar
c) Suara tinggi

3. Tahap tawar menawar atau bergaining


Adalah cara coping dengan hasil-hasil yang mungkin dari penyakit dan menciptakan kembali
tingkat kontrol. Gambaran pada tahap ini yaitu:
a) Sering mengungkapkan kata-kata kalau, andai.
b) Seirng berjanji pada Tuhan.
c) Mempunyai kesan mengulur-ulur waktu.
d) Merasa bersalah terus menerus.
e) Kemarahan mereda.

4. Tahap depresi
Adalah ketiada usaha apapun untuk mengungkapkan perasaan atau reaksi kehilangan. Gambaran
pada tahap ini yaitu:
a) Klien tidak banyak bicara.
b) Sering menanggis.
c) Putus asa.

5. Tahap acceptance atau menerima


Adalah akhir klien dapat menerima kenyataan dengan kesiapan. Gambaran pada tahap ini yaitu:
a) Tenang/damai.
b) Mulai ada perhatian terhadap suatu objek yang baru.
c) Berpartisipasi aktif.
d) Tidak mau banyak bicara.
e) Siap menerima maut.

Tidak semua orang dapat melampaui kelima tahap tersebut dengan baik, dapat saja terjadi,
ketidakmampuan menggunakan adaptasi dan timbul bentuk-bentuk reaksi lain. Jangka waktu
periode tahap tersebut juga sangat individual. Penerimaan suatu prognosa penyakit terminal
memang berat bagi setiap individu. Ini merupakan suatu ancaman terhadap kehidupan dan
kesejahteraan pada individu tersebut. Dari ancaman tersebut timbul suatu rentang respon cemas
pada individu, cemas dapat dipandang suatu keadaan ketidakseimbangan atau ketegangan yang
cepat mengusahakan koping.
Rentang respon seseorang terhadap penyakit terminal dapat digambarkan dalam suatu rentang
yaitu harapan ketidakpastian dan putus asa.

1. Harapan
Mempunyai respon psikologis terhadap penyakit terminal. Dengan adanya harapan dapat
mengurangi stress sehingga klien dapat menggunakan koping yang adekuat.
2. Ketidakpastian
Penyakit terminal dapat mengakibatkan ketidakpastian yang disertai dengan rasa tidak aman dan
putus asa, meskipun secara medis sudah dapat dipastikan akhirnya prognosa dapat mempercepat
klien masuk dalam maladaptif.

3. Putus asa
Biasanya ditandai dengan kesedihan dan seolah-olah tidak ada lagi upaya yang dapat berhasil
untuk mengobati penyakitnya. Dalam kondisi ini dapat membawa klien merusak atau melukai
diri sendiri.

2.8 Asuhan Keperawatan Pada Lansia Menjelang Ajal-Keadaan Terminal


2.8.1 Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan pendekatan holistik yaitu
suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien bukan hanya pada penyakit dan aspek
pengobatan dan penyembuhan saja akan tetapi juga aspek psikososial lainnya.
Salah satu metode untuk membantu perawat dalam mengkaji data psikososial pada klien terminal
yaitu dengan menggunakan metode PERSON.
P: Personal Strenghat
Yaitu: kekuatan seseorang ditunjukkan melalui gaya hidup, kegiatannya atau pekerjaan.
Contoh yang positif:
Bekerja ditempat yang menyenangkan bertanggung jawab penuh dan nyaman, Bekerja dengan
siapa saja dalam kegiatan sehari-hari.
Contoh yang negatif:
Kecewa dalam pengalaman hidup.

E: Emotional Reaction
Yaitu reaksi emosional yang ditunjukkan dengan klien.
Contoh yang positif:
Binggung tetapi mampu memfokuskan keadaan.
Contoh yang negatif:
Tidak berespon (menarik diri)

R: Respon to Stress
Yaitu respon klien terhadap situasi saat ini atau dimasa lalu.
Contoh yang positif:
1. Memahami masalah secara langsung dan mencari informasi.
2. Menggunakan perasaannya dengan sehat misalnya: latihan dan olah raga.
Contoh yang negatif:
1.Menyangkal masalah.
2.Pemakaian alkohol.

S: Support System
Yaitu: keluarga atau orang lain yang berarti.
Contoh yang positif:
1. Keluarga
2. Lembaga di masyarakat
Contoh yang negatif:
Tidak mempunyai keluarga

O: Optimum Health Goal


Yaitu: alasan untuk menjadi lebih baik (motivasi)
Contoh yang positif:
1. Menjadi orang tua
2. Melihat hidup sebagai pengalaman positif
Contoh yang negatif:
1. Pandangan hidup sebagai masalah yang terkuat
2. Tidak mungkin mendapatkan yang terbaik

N: Nexsus
Yaitu: bagian dari bahasa tubuh mengontrol seseorang mempunyai penyakit atau mempunyai
gejala yang serius.
Contoh yang positif:
Melibatkan diri dalam perawatan dan pengobatan.
Contoh yang negatif:
1. Tidak berusaha melibatkan diri dalam perawatan.
2. Menunda keputusan.

Pengkajian yang perlu diperhatikan klien dengan penyakit terminal menggunakan pendekatan
meliputi.
1. Faktor predisposisi
Yaitu faktor yang mempengaruhi respon psikologis klien pada penyakit terminal, sistem
pendekatan bagi klien. Klas Kerud telah mengklasifikasikan pengkajian yang dilakukan yaitu:
a) Riwayat psikosisial, termasuk hubungan-hubungan interpersonal, penyalahgunaan zat,
perawatan psikiatri sebelumnya.
b) Banyaknya distress yang dialami dan respon terhadap krisis.
c) Kemampuan koping.
d) Sosial support sistem termasuk sumber-sumber yang ada dan dibutuhkan support tambahan.
e) Tingkat perkembangan
f) Fase penyakit cepat terdiagnosa, pengobatan dan post pengobatan.
g) Identitas kepercayaan diri, pendekatan nilai-nilai dan filosofi hidup.
h) Adanya reaksi sedih dan kehilangan
i) Pengetahuan klien tentang penyakit
j) Pengalaman masa lalu dengan penyakit
k) Persepsi dan wawasan hidup respon klien terhadap penyakit terminal, persepsi terhadap
dirinya, sikap, keluarga, lingkungan, tersedianya fasilitas kesehatan dan beratnya perjalanan
penyakit.
l) Kapasitas individu untuk membuat psikosial kembali dalam penderitaan.

2. Fokus Sosiokultural
Klien mengekpresikannya sesuai dengan tahap perkembangan, pola kultur atau latar belakang
budaya terhadap kesehatan, penyakit, penderitaan dan kematian yang dikomunikasikan baik
secara verbal maupun non verbal.

3. Faktor presipitasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya reaksi klien terminal, yaitu:
a) Prognosa akhir penyakit yang menyebabkan kematian.
b) Faktor transisi dari arti kehidupan menuju kematian.
c) Support dari keluarga dan orang terdekat.
d) Hilangnya harga diri, karena kebutuhan tidak terpenuhi sehingga klien menarik diri, cepat
tersinggung dan tidak ada semangat hidup.
Selain itu etiologi dari penyakit terminal dapat merupakan faktor presipitasi, diantaranya:
1) Penyakit kanker
2) Penyakit akibat infeksi yang parah/kronis
3) Congestif Renal Failure (CRF)
4) Stroke Multiple Sklerosis
5) Akibat kecelakaan yang fatal

4. Faktor perilaku
a) Respon terhadap klien
Bila klien terdiagnosa penyakit terminal maka klien akan mengalami krisis dan keadaan ini
mengakibatkan keadaan mental klien tersinggung sehingga secara langsung dapat menganggu
fungsi fisik/penurunan daya tahan tubuh.
b) Respon terhadap diagnosa
Biasanya terjadi pada klien yang terdiagnosa penyakit terminal adalah shock atau tidak percaya
perubahan konsep diri klien terancam, ekspresi klien dapat berupa emosi kesedihan dan
kemarahan.
c) Isolasi social
Pada klien terminal merupakan pengalaman yang sering dialami, klien kehilangan kontak dengan
orang lain dan tidak tahu dengan pasti bagaimana pendapat orang terhadap dirinya.
5. Mekanisme koping
Denial
Adalah mekanisme koping yang berhubungan dengan penyakit fisik yang berfungsi pelindung
kien untuk memahami penyakit secara bertahap, tahapan tersebut adalah:
1) Tahap awal (initial stage)
Yaitu tahap menghadapi ancaman terhadap kehilangan saya harus meninggal karena penyakit
ini
2) Tahap kronik (kronik stage)
Persetujuan dengan proses penyakit aku menyadari dengan sakit akan meninggal tetapi tidak
sekarang. Proses ini mendadak dan timbul perlahan-lahan.
3) Tahap akhir (finansial stage)
Menerima kehilangan saya akan meninggal kedamaian dalam kematiannya sesuai dengan
kepercayaan.

Regresi
Mekanisme klien untuk menerima ketergantungan terhadap fungsi perannya. Mekanisme ini juga
dapat memecahkan masalah pada peran sakit klien dalam masa penyembuhan.

Kompensasi
Suatu tindakan dimana klien tidak mampu mengatasi keterbatasannya karena penyakit yang
dialami.
Selain dari faktor-faktor yang mempengaruhi diatas, yang perlu dikaji saat pengkajian pada klien
terminal singkat kesadaran antara lain adalah:
1) Belum menyadari (closed awereness)
Yaitu klien dan keluarga tidak menyadari kemungkinan akan kematian, tidak mengerti mengapa
klien sakit, dan mereka yakin klien akan sembuh.
2) Berpura-pura (mutual pralensa)
Yaitu klien, keluarga, perawat dan tenaga kesehatan lainnya tahu prognosa penyakit terminal.
3) Menyadari (open awereness)
Yaitu klien dan keluarga menerima/mengetahui klien akan adanya kematian dan merasa tenang
mendiskusikan adanya kematian.

Pengkajiaan adalah tahap pertama proses keperawatan. Sebelum perawat dapat


merencanakan asuhan keperawatan pada pasien yang tidak ada harapan sembuh, perawat harus
mengidentifikasi dan menetapkan masalah pasien terlebih dahulu. Oleh karena itu tahapan itu
meliputi pengumpulan data, analisis data mengenai status kesehatan dan berakhir penegakan
diagnose keperawatan, yaitu permyataan tentang masalah pasien yang dapat di intervensi. Tujuan
pengkajian adalah member gambaran yang terus menerus mengenai kesehatan pasien yang
memungkinkan tim perawatan untuk merencanakan asuhan keperawatannya secara
perseorangan.
Pengumpulan data dimulai dengan upaya untuk mengenal pasien dan keluarganya. Siapa
pasien itu dan bagaimana kondisinya akan membahayakan jiwanya. Rencana pengobatan apa
yang telah di laksanakan ? tindakan apa saja yang telah diberikan ? adakah bukti mengenai
pengetahuannya, prognosisnya dan pada proses kematian yang mana pasien berada? Apakah ia
menderita rasa nyeri? Apakah anggota keluarganya mengetahui prognosisnya,dan bagaimana
reaksi mereka? Filsafat apa yang dianut pasien dan keluarganya mengenai hidup dan mati,
pengkajian kebutuhan,keadaan, dan masalah kesehatan/keperawatan pasien khususnya. Sikap
pasien terghadap penyakitnya,antara lain apakah pasien tabah terhadap penyakitnya, apakah
menyadari tentang keadaannya?

a. Perasaan Takut.
Kebanyakan pasien merasa takut terhadap rasa nyeri yang tidak terkendalikan yang begitu sering
di asosiakan dengan keadaan sakit terminal, terutama bila keadaan tersebut di sebbkan oleh
penyakit yang ganas. Perawat harus menggunakan pertimbnagan yang sehat apabila sedang
merawaat orang yang sakit terminal. Perawat harus mengendalikan rasa nyeri pasien dengan cara
yang tepat.
Perasaan takut yang muncul mungkin takut terhadap rasa nyeri, walaupun secara teori, nyeri
tersebut dapat diatasi dengan obat penghilang rasa nyeri,seperti aspirin,dehidrokodein dan
dektromororamid. Apabila orang berbicara tentang perasaan takut mereka terhadap maut, respons
mereka secara tipikal mencakup perasaan yang takut terhadap hal yang tidak jelas,takut
meninggalkan orang yang dicintai, kehilangan martabat, urusan yang belum selesai dan
sebagainya.
Kematian merupakan berhentinya kehidupan. Semua orang akan mengalami kematian
tersebut. Dalam menghadapi kematian ini, pada umumnya orang akan merasa takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan terhadap kematian ini dapat membuat pasien tegang dan stress.

b. Emosi.
Emosi pasien yang muncul pada tahap menjelang kematian ,antara lain mencela dan mudah
marah.

c. Tanda vital.
Perubahan fungsi tubuh sering tercermin pada suhu badan, denyut nadi, pernafasan, dan
tekanan darah. Mekanisme fisiologis yang mengaturnya berkaitan satu sam lain. Setiap
perubahan yang berlainan dengan keadaan yang normal dianggap sebagai indikasi yang penting
untuk mengenali keadaan kesehatan seseorang.

d. Kesadaran.
Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas waspada, yang merupakan ekspresi
tentang apa yang dilihat, didengar, dialami, dan perasaan keseimbangan, nyeri, suhu, raba, getar
gerak, gerak tekan dan sikap, bersifat adekuat yaitu tepat dan sesuai (mahar mardjono 1981).

e. Fungsi tubuh.
Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ. Setiap organ mempunyai fungsi khusus.

Tingkat Kesadaran
1. Komposmentis sadar sempurna
2. Apatis Tidak ada perasaan/kesadaran menurun
(masabodoh)
3. Somnolen Kelelahan (mengantuk berat)
4. Soporus Tidur lelap patologis (tidur pulas)
5. Subkoma Keadaan tidak sadar/hampir koma
6. Koma Keadaan pingsan lama disertai dengan penurunan
daya reaksi.

2.8.2 Diagnosa Keperawatan


1. Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan dengan
kondisi sakit terminal.
2. Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
3. Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
4. Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien
selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang
cemas
5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai
dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit
yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap orang lain
maupun perawat.
6. Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan
alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak
berdaya dalam melakukan ibadah sholat.
7. Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan

2.8.3 Rencana Keperawatan


1.Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan
dengan kondisi sakit terminal
Tujuan :
Klien merasa tenang menghadapi sakaratul maut sehubungan dengan sakit terminal
Intervensi :
a) Dengarkan dengan penuh empati setiap pertanyaan dan berikan respon jika dIbutuhkan
klien dan gali perasaan klien.
b) Berikan klien harapan untuk dapat bertahan hidup.
c) Bantu klien menerima keadaannya sehubungan dengan ajal yang akan menjelang.
d) Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi dan selalu ada teman di dekatnya.
e) Perhatikan kenyamanan fisik klien.

2.Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi


Tujuan :
Mempertahankan rasa aman, tenteram, percaya diri, harga diri dan martabat klien
Intervensi :
a) Gali perasaan klien sehubungan dengan kehilangan.
b) Perhatikan penampilan klien saat bertemu dengan orang lain.
c) Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien antara lain hygiene, eliminasi.
d) Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk saling berkunjung dan melakukan hal hal yang
disenangi klien.
e) Beri klien support dan biarkan klien memutuskan sesuatu untuk dirinya, misalnya dalam hal
perawatan.

3.Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal


Tujuan :
Mengurangi rasa takut, depresi dan kesepian
Intervensi :
a) Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan sedih, marah dan lain lain.
b) Perhatikan empati sebagai wujud bahwa perawat turut merasakan apa yang dirasakan klien.
c) Bantu klien untuk mengidentifikasi sumber koping, misalnya dari teman dekat, keluarga
ataupun keyakinan klien.
d) Berikan klien waktu dan kesempatan untuk mencerminkan arti penderitaan, kematian dan
sekarat.
e) Gunakan sentuhan ketika klien menunjukkan tingkah laku sedih, takut ataupun depresi,
yakinkan bahwa perawat selalu siap membantu.
f) Lakukan hubungan interpersonal yang baik dan berkomunikasi tentag pengalaman
pengalaman klien yang menyenangkan.

4.Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan
klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka
klien yang cemas
Tujuan :
Klien tidak cemas lagi dan klien memiliki suatu harapan serta semangat hidup
Intervensi :
a) Kaji tingkat kecemasan klien.
b) Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.
c) Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada klien agar tidak kehilangan harapan hidup dengan
tetap mengikuti dan mematuhi petunjuk perawatan dan pengobatan.
d) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
e) Datangkan seorang klien yang lain yang memiliki penyakit yang sama dengan klien.
f) Ajarkan kepada klien dalam melakukan teknik distraksi, misal dengan mendengarkan musik
kesukaan klien atau dengan teknik relaksasi, misal dengan menarik nafas dalam.
g) Beritahukan kepada klien mengenai perkembangan penyakitnya.
h) Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan dan pengobatan.

5.Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian,
ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan
atas penyakit yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah
terhadap orang lain maupun perawat
Tujuan :
Koping individu positif
Intervensi :
a) Gali koping individu yang positif yang pernah dilakukan oleh klien.
b) Jelaskan kepada klien bahwa setiap manusia itu pasti akan mengalami suatu kematian dan
itu telah ditentukan oleh Tuhan.
c) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
d) Perawat maupun keluarga haruslah tetap mendampingi klien dan mendengarkan segala
keluhan dengan rasa empati dan penuh perhatian.
e) Hindari barang barang yang mungkin dapat membahayakan klien.
f) Tetap memotivasi klien agar tidak kehilangan harapan untuk hidup.
g) Kaji keinginan klien mengenai harapa untuk hidup/keinginan sebelum menjelang ajal.
h) Bantu klien dalam mengekspresikan perasaannya.

6.Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam


melaksanakan alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa
lemah dan tidak berdaya dalam melakukan ibadah sholat
Tujuan :
Kebutuhan spiritual dapat terpenuhi yaitu dapat melakukan sholat dalam keadaan sakit
Intervensi :
a) Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai ibadah sholat.
b) Ajarkan pada klien cara sholat dalam keadaan berbaring.
c) Ajarkan tata cara tayamum.
d) Ajarkan kepada klien untuk berzikir.
e) Datangkan seorang ahli agama.

7.Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan


Tujuan :
Membantu individu menangani kesedihan secara efektif
Intervensi :
a) Motivasi keluarga untuk menverbalisasikan perasaan perasaan antara lain : sedih, marah
dan lain lain.
b) Beri pengertian dan klarifikasi terhadap perasaan perasaan anggota keluarga.
c) Dukung keluarga untuk tetap melakukan aktivitas sehari hari yang dapat dilakukan.
d) Bantu keluarga agar mempunyai pengaharapan yang realistis.
e) Berikan rasa empati dan rasa aman dan tenteram dengan cara duduk disamping keluarga,
mendengarkan keluhan dengan tetap menghormati klien serta keluarga.
f) Berikan kesempatan pada keluarga untuk melakukan upacara keagamaan menjelang saat
saat kematian.

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia, yang menjadi obyek adalah pasien
lanjut usia (core), disusul dengan aspek pengobatan medis (cure), dan yang terakhir, perawatan
dalam arti yang luas (care),. Core,cure,care merupakan tiga aspek yang saling berkaitan dan
saling berpengaruh. Kapanpun ajal menjemput, semua orang harus siap. Namun ternyata semua
orang termasuk lanjut usia akan merasa syok berat saat dokter memvonis bahwa penyakit yang
dideritanya tidak bisa disembuhkan.

BAB 3
Penutup

3.1 Kesimpulan
A. Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap
penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa
tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual.
B. Jenis-Jenis Penyakit Terminal
Adapun yang dapat dikategorikan sebagai penyakit terminal adalah: Penyakit-penyakit kanker,
Penyakit-penyakit infeksi, Congestif Renal Falure (CRF), Stroke Multiple Sklerosis, Akibat
kecelakaan fatal, AIDS.
3. Elizabeth Kubbler Ross menggambarkan 5 tahap yang akan dilalui klien dalam menghadapi
bayangan akan kematian/kehilangan yang sangat bermanfaat untuk memahami kondisi klien
pada saat ini, yaitu: tahap peningkatan atau denial, tahap anger atau marah, tahap tawar menawar
atau bergaining, tahap depresi, tahap acceptance atau menerima

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini kelompok masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kelompok kami meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah
yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Ganong.1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media

Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth Ed.8.Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta : EGC.

Http//www.Google.com/ asuhan keperawatan menjelang ajal+PDF ( di akses tanggal 24 April


2013, pukul 12.10 WIB )

Http//www.Google.com/ tanda-tanda kematian+PDF ( di akses tanggal 24 April 2013, pukul


13.00 WIB )

TERMINAL DAN MENJELANG AJAL

A. Pengertian
1. Keadaan Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit
atau suatu kecelakaan.
2. Kematian
Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan
mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan
merupakan suatu kehilangan.

B. Tahap-tahap Menjelang Ajal


Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap menjelang
ajal (dying) dalam 5 tahap, yaitu:
1. Menolak/Denial
Pada fase ini , pasien/klien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi,
dan menunjukkan reaksi menolak.

2. Marah/Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala
hal yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.

3. Menawar/bargaining
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat
menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.

4. Kemurungan/Depresi
Selama tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin
banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping
pasien yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Menerima/Pasrah/Acceptance
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga
tentang kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian.
Fase ini sangat membantu apabila kien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau
rencana-rencana yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu
dengan keluarga terdekat, menulis surat wasiat.

C. Type-type Perjalanan Menjelang Kematian


Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang
cepat dari fase akut ke kronik.
2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada
kondisi penyakit yang kronik.
3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi
pada pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan
sakit kronik dan telah berjalan lama.

D. Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian


1. Kehilangan Tonus Otot, ditandai:
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi, dsbg.
d. Penurunan control spinkter urinari dan rectal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.

2. Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai:


a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Cyanosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.

3. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital


a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.

4. Gangguan Sensoria.
a. Penglihatan kabur.
b. Gangguan penciuman dan perabaan.
Variasi-variasi tingkat kesadaran dapat dilihat sebelum kematian, kadang-kadang
klien tetap sadar sampai meninggal. Pendengaran merupakan sensori terakhir yang
berfungsi sebelum meninggal.
E. Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal
1. Pupil mata melebar.
2. Tidak mampu untuk bergerak.
3. Kehilangan reflek.
4. Nadi cepat dan kecil.
5. Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
6. Tekanan darah sangat rendah
7. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.

F. Tanda-tanda Meninggal secara klinis


Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-
perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah.
Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan beberapa petunjuk tentang
indikasi kematian, yaitu:
1. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
2. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
3. Tidak ada reflek.
4. Gambaran mendatar pada EKG.
G. Macam Tingkat Kesadaran/Pengertian Pasien dan Keluarganya Terhadap
Kematian.

Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type:


1. Closed Awareness/Tidak Mengerti
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan
tentang diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi
perawat hal ini sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering
kepada pasien dan keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-
pertanyaan langsung, kapan sembuh, kapan pulang, dsbg.

2. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi


Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala
sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.

3. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka


Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal
yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir.
Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam
merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal
tersebut.

H. Bantuan yang dapat Diberikan


1. Bantuan Emosional
a. Pada Fase Denial
Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaannya.
b. Pada Fase Marah
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang
marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal
yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian.
Akan lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang
dapat dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima kemarahan tersebut,
serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa
aman.
c. Pada Fase Menawar
Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong
pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut
yang tidak masuk akal.
d. Pada Fase Depresi
Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu
duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari
pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
e. Pada Fase Penerimaan
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan
teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya
dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu
untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.

2. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis


a. Kebersihan Diri
Kebersihan dilibatkan unjtuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan, dsbg.
b. Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan sakit
terminal, seperti morphin, heroin, dsbg. Pemberian obat ini diberikan sesuai dengan
tingkat toleransi nyeri yang dirasakan klien. Obat-obatan lebih baik diberikan Intra
Vena dibandingkan melalui Intra Muskular/Subcutan, karena kondisi system sirkulasi
sudah menurun.
c. Membebaskan Jalan Nafas
Untuk klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan pengeluaran
sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi
klien yang tida sadar, posisi yang baik adalah posisi sim dengan dipasang drainase
dari mulut dan pemberian oksigen.
d. Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, klien dapat dibantu untuk bergerak, seperti:
turun dari tempat tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus dan dilakukan
secara periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk menyokong tubuh klien,
karena tonus otot sudah menurun.
e. Nutrisi
Klien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat
diberikan annti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan
serta pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin.
Karena terjadi tonus otot yang berkurang, terjadi dysphagia, perawat perlu menguji
reflek menelan klien sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan
cair atau Intra Vena/Invus.
f. Eliminasi
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinen urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi.
Klien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur atau
dipasang duk yang diganjti setiap saat atau dilakukan kateterisasi. Harus dijaga
kebersihan pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan
salep.
g. Perubahan Sensori
Klien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, klien biasanya
menolak/menghadapkan kepala kearah lampu/tempat terang. Klien masih dapat
mendengar, tetapi tidak dapat/mampu merespon, perawat dan keluarga harus
bicara dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.

3. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial


Klien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi
kebutuhan kontak sosialnya, perawat dapat melakukan:
a. Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan
klien dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau
anggota keluarga lain.
b. Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya dan perlu
diisolasi
c. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan
teman-teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan klien untuk membersihkan
diri dan merapikan mdiri.
d. Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak
orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi klien apabila klien mampu
membacanya.

4. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual


a. Menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-
rencana klien selanjutnya menjelang kematian.
b. Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk
memenuhi kebutuhan spiritual.
c. Membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan
masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan
yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati. Bagaimana peran perawat dalam
menangani pasien yang sedang menghadapi proses sakaratul maut?
Peran perawat sangat konprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat
adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan
kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA,
1992 ), karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic
spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ).
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang
menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian
kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan terutama
perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran perawat yang konfrehensif
tersebut pasien senantiasa mendudukan perawat dalam tugas mulia mengantarkan pasien
diakhir hayatnya dan perawat juga dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar
pasien tetap melakukan yang terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun
peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat
penting terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan
mendekati sakaratul maut.
Menurut Dadang Hawari (1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal dan
menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan
krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu
mendapatkan perhatian khusus.
Pasien terminal biasanya mengalami rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat
ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien tersebut
selalu berada di samping perawat.

B. Tujuan
1. Mendefinisikan bagaimana kondisi seseorang yang mendekati kematian.
2. Mengetahui konsep teori dari kebutuhan terminal atau menjelang ajal.
3. Mengkaji dan memaparkan diagnosa dari kebutuhan terminal.
4. Memberi intervensi serta mengevaluasi pada klien yang menjelang ajal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup dan
meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan dan
dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup semakin
bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit degeneratif
seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan melalui suatu proses
pengobatan dan perawatan yang panjang.
Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat akan dicapai stadium terminal yang
ditandai dengan oleh kelemahan umum, penderitaan, ketidak berdayaan, dan akhirnya
kematian. Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis dan
terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah menghadapi
kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik untuk
berhadapan dengan ancaman kematian.
Ditengah keputusasaan, sering kali terdengar Kami sudah melakukan segalanya yang
bisa dilakukan... Namun kini telah mulai disadari untuk pasien terminal pun profesi medis
masih dapat melakukan banyak hal. Jika upaya kuratif tidak dimunginkan lagi, masih luas
kesempatan untuk upaya paliatif. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak
hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan,
gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya.
Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan
atau pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan
psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal
sebagai perawatan paliatif atau palliative care. Dalam perawatan paliatif maka peran perawat
adalah memberikan Asuhan Keperawatan pada Pasien Terminal untuk membantu pasien
menjalani sisa hidupnya dalam keadaan seoptimal mungkin.
B. Konsep Materi
1. Pengertian
Keadaan Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit
atau suatu kecelakaan.
Kematian
Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan mengalami atau
menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan suatu
kehilangan.
2. Tahap-tahap Menjelang Ajal.
Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap menjelang ajal (dying)
dalam 5 tahap, yaitu :
a. Menolak (Denial)
Pada tahap ini klien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi dan
menunjukkan reaksi menolak.
b. Marah (Anger)
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal
yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya.
c. Menawar (Bargaining)
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan
kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.
d. Kemurungan (Depresi)
Selama tahap ini, pasien cen derung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien
yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
e. Menerima atau Pasrah (Acceptance)
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan keluarga tentang
kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat
membantu apabila kien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana
yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga
terdekat, menulis surat wasiat.
3. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian.
Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu :
a. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang
cepat dari fase akut ke kronik.
b. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi
penyakit yang kronik.
c. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada
pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
d. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu, terjadi pada pasien dengan sakit
kronik dan telah berjalan lama.
4. Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian.
a. Kehilangan Tonus Otot, ditandai :
1) Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
2) Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
3) Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi dan sebagainya.
4) Penurunan control spinkter urinari dan rectal.
5) Gerakan tubuh yang terbatas.
b. Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai :
1) Kemunduran dalam sensasi.
2) Cyanosis pada daerah ekstermitas.
3) Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan
hidung.
c. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital :
1) Nadi lambat dan lemah.
2) Tekanan darah turun.
3) Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
d. Gangguan Sensoria : Penglihatan kabur.
e. Gangguan penciuman dan perabaan.
5. Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal :
a. Pupil mata melebar.
b. Tidak mampu untuk bergerak.
c. Kehilangan reflek.
d. Nadi cepat dan kecil.
e. Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
f. Tekanan darah sangat rendah.
g. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
6. Tanda-tanda Meninggal secara klinis.
Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan nadi,
respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan beberapa
petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu :
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
c. Tidak ada reflek.
d. Gambaran mendatar pada EKG.
7. Macam tingkat Kesadaran atau Pengertian dari Pasien dan Keluarganya terhadap Kematian.
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type :
a. Closed Awareness atau Tidak Mengerti.
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini
sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan
keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung,
kapan sembuh, kapan pulang dan sebagainya.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala
sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
c. Open Awareness atau Sadar akan keadaan dan Terbuka.
Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal
yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir.
Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam
merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal
tersebut.
8. Bantuan yang dapat Diberikan.
Bantuan Emosional:
a. Pada Fase Denial.
Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengekspresikan perasaan-perasaannya.
b. Pada Fase Marah atau anger.
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang
marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal
yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan
lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat
dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta
meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
c. Pada Fase Menawar.
Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong
pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut
yang tidak masuk akal.
d. Pada Fase Depresi.
Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal
yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal
dari pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
e. Pada Fase Penerimaan.
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan
teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya
dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu
untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
9. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis :
a. Kebersihan Diri.
Kebersihan dilibatkan untuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan dan sebagainya.
b. Mengontrol Rasa Sakit.
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan sakit
terminal, seperti morphin, heroin, dsbg. Pemberian obat ini diberikan sesuai dengan
tingkat toleransi nyeri yang dirasakan klien. Obat-obatan lebih baik diberikan Intra
Vena dibandingkan melalui Intra Muskular atau Subcutan, karena kondisi system
sirkulasi sudah menurun.
c. Membebaskan Jalan Nafas.
Untuk klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan pengeluaran
sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi klien
yang tida sadar, posisi yang baik adalah posisi sim dengan dipasang drainase dari
mulut dan pemberian oksigen.
d. Bergerak.
Apabila kondisinya memungkinkan, klien dapat dibantu untuk bergerak, seperti: turun
dari tempat tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus dan dilakukan secara
periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk menyokong tubuh klien, karena
tonus otot sudah menurun
e. Nutrisi.
Klien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat
diberikan annti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta
pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin. Karena terjadi tonus otot
yang berkurang, terjadi dysphagia, perawat perlu menguji reflek menelan klien
sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau Intra Vena atau
Invus.
f. Eliminasi.
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinen urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi.
Klien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur atau dipasang
duk yang diganjti setiap saat atau dilakukan kateterisasi. Harus dijaga kebersihan
pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan salep.
g. Perubahan Sensori.
Klien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, klien biasanya menolak atau
menghadapkan kepala kearah lampu atau tempat terang. Klien masih dapat
mendengar, tetapi tidak dapat atau mampu merespon, perawat dan keluarga harus
bicara dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.
10. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial.
Klien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi kebutuhan kontak
sosialnya, perawat dapat melakukan:
a. Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan klien
dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau anggota
keluarga lain.
b. Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya dan perlu diisolasi.
c. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan teman-
teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan klien untuk membersihkan diri dan
merapikan diri.
d. Meminta saudara atau teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak
orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi klien apabila klien mampu
membacanya.
11. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual.
Menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana
klien selanjutnya menjelang kematian.
Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk
memenuhi kebutuhan spiritual.
Membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya.
C. Asuhan Keperawatan
Tanda-tanda Kematian :
1. Dini :
- Pernafasan terhenti, penilaian > 10 menit (inspeksi, palpasi auskultasi.
- Terhentinya sirkulasi, penilaian 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
- Kulit pucat.
- Tonus otot menghilang dan relaksasi.
- Pembuluh darah retina bersegmentasi beberapa menit pasca kematian.
- Pengeringan kornea yang menimbulkan kekeruhan dalam 10 menit (hilang
dengan penyiraman air.
2. Lanjut (Tanda pasti kematian)
- Lebam mayat (livor mortis).
- Kaku mayat (rigor mortis).
- Penurunan suhu tubuh (algor mortis).
- Pembusukan (dekomposisi).
- Adiposera (lilin mayat).
- Mumifikasi
Gejala dan masalah yang sering dijumpai pada berbagai sistem Organ.
- Sistem Gastrointestinal: Anorexia, konstipasi, mulut kering dan bau, kandidiasis dan
sariawan mulut.
- Sistem Genitourinaria : Inkontinensia urin.
- Sistem Integumen : Kulit kering (pecah-pecah) dan dekubitus.
- Sistem Neurologis : Kejang.
- Perubahan Status Mental : Kecemasan, halusinasi dan depresi.
1. Pengkajian :
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya untuk dapat
menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa
bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai. Doka (1993)
menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup kedalam empat fase, yaitu :
a. Fase Prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko penyakit.
b. Fase Akut : berpusat pada kondisi krisis.
Klien dihadapkan pada serangkaian keputusasaan, termasuk kondisi medis,
interpersonal, maupun psikologis.
c. Fase Kronis, klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya. pasti terjadi.
d. Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik, psikologis,
maupun social-spiritual.
Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain :
Problem Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne
stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah, tekanan darah
menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.
Problem Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic,
kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi, inkontinensia
fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (mis Ca Colon),
retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi
penyakit misalnya : Trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake
cairan atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.
Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic
menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan
cairan menurun.
Problem suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
Problem Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati
kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang, sensasi menurun.
Problem nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra
vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kenyamanan.
Problem Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah
pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak
respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem
psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang
control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi.
Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian
sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa
kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya
dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan
perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan
sepanjang hidup.
Faktor-faktor yang perlu dikaji :
1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai masalah
pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan,
pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien, klien
mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulansebelum terjadi kematian.
Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal
karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan klien
dalam pemeliharaan diri.
2. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus
peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali tahap-
tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.
3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal, karena
pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak ingin
berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya. Ketidakyakinan dan
keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat harus bisa mengenali
tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan dukungan social bisa
dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu menemani klien.
4. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian, bagaimana
sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin mendekatkan diri
pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat juga harus
mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran tokoh
agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.
Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian Pasien Terminal nilai,
sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang
mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi
individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi kematian atau
menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien terminal
berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus dihindari.
Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan. Perawat
harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual.
Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi
kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.
2. Diagnosa Keperawatan :
I. Ansietas (ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan
dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan
takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
II. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang
dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
III. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres
( tempat perawatan ).
IV. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari
system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam
menghadapi ancaman kematian.
3. Intervensi :
Diagnosa I :
1. Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
Berikan kepastian dan kenyamanan.
Tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empti, jangan menghindari
pertanyaan.
Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang
berhubungan dengan pengobtannya.
Identifikasi dan dukung mekaniosme koping efektif Klien yang cemas
mempunbyai penyempitan lapang persepsi denagn penurunan kemampuan untuk
belajar. Ansietas cendrung untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada
lingkaran peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik.
2. Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan pernyuluhan bila tingkatnya rendah atau
sedang Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat
dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat
atauparah tidak menyerap pelajaran.
3. Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan
untuk memperbaiki konsep yang tidak benar.
4. Berika klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif Menghargai
klien untuk koping efektif dapat menguatkan renson koping positif yang akan datang.
Diagnosa II :
1. Berikan kesempatan pada klien da keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
didiskusikan kehilangan secara terbuka, dan gali makna pribadi dari
kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat Pengetahuan
bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa kematian sedang
menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak berdayaan, marah dan
kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya. Diskusi terbuka dan jujur
dapat membantu klien dan anggota keluarga menerima dan mengatasi situasi dan
respon mereka terhdap situasi tersebut.
2. Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang memberikan
keberhasilan pada masa lalu Stategi koping fositif membantu penerimaan dan
pemecahan masalah.
3. Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut diri yang positif
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan
penerimaan kematian yang terjadi.
4. Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab semua
pertanyaan dengan jujur Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat
dimulai sampai kematian yang akan terjadi di terima.
5. Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan ketidak
nyamanan dan dukungan Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling
menghargai tindakan keperawatan berikut :
Membantu berdandan.
Mendukung fungsi kemandirian.
Memberikan obat nyeri saat diperlukandan.
Meningkatkan kenyamanan fisik ( skoruka dan bonet 1982 ).
Diagnosa III :
1. Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan
pengertian yang empati Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan sikap perhatian
dan peduli dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pembelajaran.
2. Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan,
ketakutan dan kekawatiran. Saling berbagi memungkinkan perawat untuk
mengintifikasi ketakutan dan kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi untuk
mengatasinya.
3. Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU. Informasi ini dapat membantu mengurangi
ansietas yang berkaitan dengan ketidak takutan.
4. Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan
berikan informasi spesifik tentang kemajuan klien.
5. Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan perawan
Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi keluarga
berkelanjutan.
6. Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya
Keluarga denagan masalah-masalh seperti kebutuhan financial , koping yang tidak
berhasil atau konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan untuk
membantu mempertahankankan fungsi keluarga.
Diagnosa IV :
1. Gali apakah klien menginginkan untuk melaksanakan praktek atau ritual keagamaan
atau spiritual yang diinginkan bila yang memberi kesemptan pada klien untuk
melakukannya Bagi klien yang mendapatkan nilai tinggi pada doa atau praktek
spiritual lainnya , praktek ini dapat memberikan arti dan tujuan dan dapat menjadi
sumber kenyamanan dan kekuatan.
2. Ekspesikan pengertrian dan penerimaan anda tentang pentingnya keyakinan dan
praktik religius atau spiritual klien menunjukkan sikap tak menilai dapat membantu
mengurangi kesulitan klien dalam mengekspresikan keyakinan dan prakteknya.
3. Berikan privasi dan ketenangan untuk ritual spiritual sesuai kebutuhan klien dapat
dilaksanakan Privasi dan ketenangan memberikan lingkungan yang memudahkan
refresi dan perenungan.
4. Bila anda menginginkan tawarkan untuk berdo,a bersama klien lainnya atau
membaca buku ke agamaan Perawat meskipun yang tidak menganut agama atau
keyakinan yang sama dengan klien dapat membantu klien memenuhi kebutuhan
spritualnya.
5. Tawarkan untuk menghubungkan pemimpin religius atau rohaniwan rumah sakit
untuk mengatur kunjungan. Jelaskan ketidak setiaan pelayanan ( kapel dan injil RS )
Tindakan ini dapat membantu klien mempertahankan ikatan spiritual dan
mempraktikkan ritual yang penting ( Carson 1989 ).
4. Evaluasi :
1. Klien merasa nyaman dan mengekpresikan perasaannya pada perawat.
2. Klien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan.
3. Klien selalu ingat kepada Tuhan yang maha Esa dan selalu bertawakkal.
4. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Tuhan yang maha Esa akan kembali
kepadanya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit atau
sakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses
kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik,
psikologis, social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga
berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh pasien
terminal.
Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita
penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap
penderitaan. Atau sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan
kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain
beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami
penderitaan sepanjang hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup,
merespon terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu terjadi.
Perhatian utama pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada
kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang menyakitkan atau tekanan
psikologis yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan, kehilangan orang yang dicintai.
B. Saran

1. Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya
untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan
damai.

2. Ketika merawat klien menjelang ajal atau terminal, tanggung jawab perawat harus
mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang unik.

3. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak dengan klien
menjelang ajal, untuk mendengarkan klien mengekspresikan duka citanya dan untuk
mempertahankan kualitas hidup pasien.

4. Asuhan perawatan klien terminal tidaklah mudah. Perawat membantu klien untuk meraih
kembali martabatnya. Perawat dapat berbagi penderitaan klien menjelang ajal dan
melakukan intervensi yang dapat meningkatkan kualitas hidup, klien harus dirawat
dengan respek dan perhatian penuh. Dalam melakukan perawatan keluarga dan orang
terdekat klien harus dilibatkan, bimbingan dan konsultasi tentang perawatan diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Smith, Sandra F, Smith Donna J with Barbara C Martin. Clinical Nursing Skills. Basic to
Advanced Skills, Fourth Ed, 1996. Appleton&Lange, USA.
Craven, Ruth F. Fundamentals of nursing : human healt and function.
Kozier, B. (1995). Fundamentals of nursing : Concept Procees and Practice, Ethics and Values.
California : Addison Wesley

Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat
sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal
dan kualitas hidup dari lahir sampai mati. Bagaimana peran perawat dalam menangani pasien
yang sedang menghadapi proses sakaratul maut?
Peran perawat sangat konprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat adalah
membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan
dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-spritual ( APA, 1992 ), karena
pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs,
Dadang Hawari, 1999 ). Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi
ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur
dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan
terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran perawat yang
konfrehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan perawat dalam tugas mulia mengantarkan
pasien diakhir hayatnya sesuai dengan Sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa amalan yang
terakhir sangat menentukan, sehingga perawat dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi)
agar pasien tetap melakukan yang terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun
peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting
terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati
sakaratul maut. Menurut Dadang Hawari (1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal
dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan
krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan
perhatian khusus. Pasien terminal biasanya mengalami rasa depresi yang berat, perasaan marah
akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien tersebut
selalu berada di samping perawat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat
meningkatkan semangat hidup klien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan dapat
mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi alam yang kekal. Menurut konsep Islam, fase
akhir tersebut sangat menentukan baik atau tidaknya kematian seseorang dalam menuju
kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah
SWT karena upaya pemenuhan kebutuhan pasien di rumah sakit mutlak diperlukan. Perawat
hendaknya meyakini bahwa sesuai dengan ajaran islam dalam menjalani fase akhir dari
kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul maut. Fase sakaratul maut seringkali di
sebutkan oleh Rasulullah sebagai fase yang sangat berat dan menyakitkan sehingga kita
diajarkan doa untuk diringankan dalam fase sakaratul maut.
Sakratul maut juga dapat diakatakan sebagai warming up (pemanasan) kematian. Karena
kematian itu sulit, berat dan amat sakit maka diperlukan pemanasan. Di samping itu,
sebagaimana kehidupan pertama manusia memerlukan proses dan tahapan, Kematian Kedua pun
memerlukan proses dan tahapan agar bisa memasuki penginapan ke tiga yang bernama Barzakh,
sebuah penginapan yang jauh lebih besar dan sangat berbeda situasi, kondisi dan lingkungannya
dengan dua penginapan sebelumnya, yakni perut atau rahim ibu kita dan bumi untuk kehidupan
dunia.
Sakratul maut adalah sesuatu yang ditakuti manusia. Faktanya, berbagai riset dan upaya telah
dilakukan manusia untuk menghindarinya seperti, menciptakan obat-obatan untuk
memperpanjang umur. Hal tersebut digambarkan Allah dalam firman-Nya Dan datanglah
Sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. (Q.S. Qaf
(50): 19 )
Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang (HR Tirmidzi)
Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar
kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain
sutera yang tersobek ? (HR Bukhari)
Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut seseorang.
Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itupun membawa
semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa. (Kab al-
Ahbar, sahabat Rasulullah saw)
Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu
menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan
jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri. (Imam Ghozali mengutip atsar Al-
Hasan).
Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh
anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik dan
dicerabut dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit
kepala hingga kaki. ( Imam Ghozali)
Imam Ghozali juga mengutip suatu riwayat ketika sekelompok Bani Israil yang sedang melewati
sebuah pekuburan berdoa pada Allah SWT agar Ia menghidupkan satu mayat dari pekuburan itu
sehingga mereka bisa mengetahui gambaran sakaratul maut. Dengan izin Allah melalui suatu
cara tiba-tiba mereka dihadapkan pada seorang pria yang muncul dari salah satu kuburan.
Wahai manusia!, kata pria tersebut. Apa yang kalian kehendaki dariku? Limapuluh tahun
yang lalu aku mengalami kematian, namun hingga kini rasa perih bekas sakaratul maut itu belum
juga hilang dari hatiku.
Proses sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak dapat
dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita menyaksikan detik-detik
terakhir kematian seseorang. Rasa sakit sakaratul maut dialami setiap manusia, dengan berbagai
macam tingkat rasa sakit, ini tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang
selama ia hidup. Sebuah riwayat bahkan mengatakan bahwa rasa sakit selama kita hidup dan saat
sakaratul maut bisa jadi merupakan suatu proses pengurangan kadar siksaan akhirat kita kelak.
Kematian akan mengejar siapapun meskipun ia berlindung di balik benteng yang kokoh atau
berlindung di balik teknologi kedokteran yang canggih serta ratusan dokter terbaik yang ada di
muka bumi ini. Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu
di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka
mengatakan: Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka
mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad). Katakanlah: Semuanya (datang)
dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan sedikit pun? (QS An-Nisa 4:7 8) Dan Allah sekali-kali tidak akan
menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS, Al-Munafiqun, 63:11)
Sakaratul maut itu pedih seperti firman Allah SWT kepada Ibrahim AS adalah Seperti
panasnya besi dibakar pada kain sutera yang basah, lalu nyawapun ditarik, Selanjutnya Allah
berfirman kepada Nabi Musa rasanya seperti burung hidup yang digoreng dalam wajan.
Rasanya seperti domba yang hidup kemudian diikuti oleh penjagal. Rasanya lebih perih pedih
dibanding sayatan pedang, geretan gergaji, dan tusukan benda tajam. Seringan-ringannya
kematian seperti duri dalam kain. Bisakah duri keluar dari sutera tersebut tanpa robekan.
Seperti berada dalam selimut api panas dan seolah-olah bernafas dalam lubang jarum seakan-
akan berada dalam satu pohon yang berduri lalu ditarik dari ujung kaki sampai keubun-ubun.
Allah SWT memberikan gambaran khusus dalam Quran surat Al- Qiyamah:berbelit kepayahan
demi kepayahan, tindih bertindih kesengsaraan demi kesengsaraan. Penyesalan dengan
penyesalan dan kesakitan demi kesakitan (Bey, 1987: 339)
Melihat batapa sakitnya sakaratul maut maka perawat harus melakukan upaya upaya sebagai
berikut :
1. Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT.
Pada sakaratul maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah sebagaimana
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem Jangan sampai seorang dari kamu mati kecuali
dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi
Aku ada pada sangka-sangka hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan
sangkaaan yang baik, selanjutnya Ibnu Abas berkata Apabila kamu melihat seseorang
menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada Tuhannya dan akan berjumpa
dengan Tuhannya itu, selanjutnya Ibnu Masud berkata Demi Allah yang tak ada Tuhan selain
Dia, seseorang yang berbaik sangka kepada Allah maka Allah berikan sesuai dengan
persangkaannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa kebaikan apapun jua berada ditangannya.
2. Mentalkinkan dengan Kalimat Laailahaillallah.
Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien terminal
menjelang ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang terakhir. Wotf, Weitzel,
Fruerst memberikan gambaran ciri-ciri pokok Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan
nafasnya yang terakhir, yaitu :
1. penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada anggota
gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan
lembab,
2. kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat.
3. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat.
4. Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes.
5. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada
biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot
rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah
menerima.
Dalam keadaan yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi kebutuhan fisiknya juga
harus memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim agar diupayakan meninggal dalam keadaan
Husnul Khatimah. Perawat membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan
melafalkan secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist Riwayat
Muslim Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat Laailahaillallah
karena sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka
itulah bekalnya sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya
maka itulah bekalnya menuju surga Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata Hindarilah orang
yang mati diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka
sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa, kamu lihat. Para
ulama berpendapat, Apabila telah membimbing orang yang akan meninggal dengan satu
bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi. Kecuali apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan
atau materi pembicaraan lain. Setelah itu barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha
Illallha menjadi ucapan terakhir ketika menghadapi kematian. Para ulama mengarahkan pada
pentingnya menjenguk orang sakaratul maut, untuk mengingatkan, mengasihi, menutup kedua
matanya dan memberikan hak-haknya. (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim : 6/458)
3. Berbicara yang Baik dan Doa untuk jenazah ketika menutupkan matanya.
Di samping berusaha memberikan sentuhan perawat muslim perlu berkomunikasi terapeutik,
antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah SAW bersabda Bila kamu datang
mengunjungi orang sakit atau orang mati, hendaklah kami berbicara yang baik karena
sesungguhnya malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan, Selanjutnya
diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda apabila kamu menghadiri orang yang
meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena sesungguhnya mata itu
mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah dengan kata-kata yang baik karena malaikat
mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan. Berdasarkan hal diatas perawat harus
berupaya memberikan suport mental agar pasien merasa yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu
memberikan yang terbaik buat hambanya, mendoakan dan menutupkan kedua matanya yang
terbuka saat roh terlepas, dari jasadnya.
4. Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang
sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk
membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering
karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan
air dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang
mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan
dua kalimat syahadat. (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
5. Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke arah kiblat
Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut kearah kiblat.
Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits Rasulullah Saw., hanya saja
dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut.
Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua cara bagaimana menghadap kiblat :
1. Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya dihadapkan
kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit agar ia menghadap kearah
kiblat.
2. Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut menghadap ke kiblat.
Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara yang paling benar.
Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka biarkanlah orang tersebut berbaring
kearah manapun yang membuatnya selesai
A. Judul Penelitian
HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN
SPIRITUAL (TALQIN) PADA PASIEN MENJELANG AJAL

B. Abstrak

Setiap yang bernyawa pasti merasakan mati. Dan hanya pada hari kiyamat
sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia
hanyalah kesenangan yang memperdaya(Al Qur`an surat Al Imran ayat 185).
Sakaratul maut (dying) merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi
kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Saat-saat
seperti ini adalah saat-saat yang kritis, dimana seseorang yang sedang dalam sakaratul
maut masuk dalam proses atau tahapan kehilangan dan berdukan. Dalam keadaan ini
pasien mengalami penolakan, kemarahan, bargaining, depresi dan penerimaan. Selain
itu pasien juga mengalami ketakutan dan kebingungan yang amat sangat.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan perawat dengan
pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada pasien menjelang ajal. Hasil peneltian ini
diharapkan dapat menjadi data dasar dan bahan masukan bagi institusi pelayanan
keperawatan guna meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.
Penelitian ini merupakan peneltitian survey analitik dengan pendekatan cross
sectiona. Besar sampel ditentukan dengan pendekatan Remur Slovin. Teknik
pengambilan sample dilakukan dengan Aksidental sampling, derajat kesalahan yang
digunakan adalah 0.05. Analisa data dilakukan dengan uji Rank Chi Square.
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara
pengetahuan perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal. Shingga penulis memberi rekomendasi hendaknya perawat memiliki
komitmen kuat untuk memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) dalam melaksankan asuhan
keperawatan dan perlunya integrasi pembelajaran agama dengan teori keperawatan
khususnya pada asuhan keperawatan pasen menjelang ajal.

C. Latar Belakang Masalah


Siklus hidup manusia diawali dengan pembuahan, tumbuh dan bekembang dalam
rahim ibu, dilahirkan, tumbuh dan berkembang di alam dunia kemudian matang
selanjutnya mengalami proses degenerasi dan mati. "Setiap yang bernyawa pasti
merasakanmati". Firman Allah ini mengundang kita untuk mempersiapkan diri
menghadapi mati, karena setelah mati ada kehidupan kembali yang lebih kekal abadi
dengan dua kemungkinan akhir yang didapat yaitu surga atau neraka.
Konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifa
profesional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial dan
spiritual) yang dapat ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat dalam rentang
sehat-sakit. (A. Azi z Alimul H, 2004 : 3).
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia
dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis, yang tentunya
bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatannya. (A. Azi z Alimul H,
2006 : 4).
Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap
manusia. Apabila seseorang dalam keadaan sakit, amaka hubungan dengan Tuhannya pun
semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam segala hal.
Tidak ada yang mampu membangkitkannya kecuali Sang Pencipta. Dalam pelayanan
kesehatan, perawat sebagai petugas kesehatan harus memiliki perean utama dalam
memenuhi kbeutuhan spiritual. Perawat dituntut mampu memberikan pemenuhan yang
lebih pada saat pasien kritis atau menjelang ajal.
Sakaratul maut (dying) merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi
kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Saat-saat
seperti ini adalah saat-saat yang kritis, dimana seseorang yang sedang dalam sakaratul
maut masuk dalam proses atau tahapan kehilangan dan berdukan. Dalam keadaan ini
pasien mengalami penolakan, kemarahan, bargaining, depresi dan penerimaan. Dalam
kondisi ini, pasien juga mengalami ketakutan dan kebingungan yang amat sangat.
Dalam melakukan asuhan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien,
seringkali perawat tidak menyentuh secara keseluruhan aspek bio-psiko-sosial-spiritual.
Apalagi dalam keadan pasien kritis, dimana perawat lebih berfokus pada basic life
sopport saja, sehingga kebutuhan spiritual pasien terabaikan. Padahal dalam kondisi
seperti ini pasien sangat membutuhkan bimbingan agama sehingga pasien dapat
menghadapi kematian dengan tenang dan mati secara bermartabat.
Berdasar uraian di atas dan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya
Ajarkanlah kepada orang-orang kamu yang hampir meninggal membaca kalimah La
ilaha illallah, kami mencoba melakukan penelitian dengan judul Hubungan Pengetahuan
Perawat dengan Pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen menjelang ajal

D. Perumusan Masalah

Karena sempitnya pemahaman peneliti terhadap seluruh agama yang ada dan diakui di
Indonesia, maka peneltian ini difokuskan pada perawat dan pasien yang beragama Islam.
Dan rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah kebutuhan spiritual pasien dipenuhi
oleh perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien yang menjelang ajal ?.

E. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang kebutuhan spiritual pasien.


2. Mengidentifikasi tidakan perawat dalam melakukan talqin pada pasien menjelang
ajal.
3. Mengetahui hubungan pengetahuan perawat dengan pemenuhan kebutuhan spiritual
(talqin) pasien yang menjelang ajal.

F.
Kerangka Konsep, Hipotesis dan Definisi Operasional

Kerangka konsep:

Pengetahuan perawat tentang


kebutuhan spiritual

Kebijakan Rumah Sakit

Pemenuhan
Kebutuhan
spiritual (talqin)

Keyakinan perawat terhadap


tindakan talqin
Kerangka Penelitian:

Pengetahuan perawat tentang Pemenuhan kebutuhan spiritual


kebutuhan spiritual (talqin) (talqin)

Hipotesis
Terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan perawat dengan pemenuhan
kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen menjelang ajal.

Definisi Operasional
1. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah pengetahuan perawat tentang kebutuhan
spiritual khususnya tindakan talqin pada pasien menjelang ajal, yang
dikategorikan ke dalam pengetahuan :
1. Baik
2. Sedang
3. Buruk
Skala : Ordinal

2. Pemenuhan kebutuhan spiritual dalam penelitian ini adalah pelaksanaan tindakan


talqin dan atau memfasilitasi tindakan talqin pada pasien menjelang ajal, yang
dikategorikan ke dalam :
1. Dilakukan
2. Tidak dilakukan
Skala : Nominal

G. Desain dan Metodologi Penelitian

Penelitian ini akan menganalisa dengan lebih dalam mengenai pengetahuan


perawat tentang kebutuhan spiritual (talqin) dengan pelaksanaannya, sehingga metoda
yang akan digunakan adalah metoda survey analitik dengan model cross sectional
desain.
Adapun variabel dalam penelitian ini adalah:
Variabel dependen: Pelaksaanaan tindakan talqin
Variabel independent: Pengetahuan pengetahuan perawat tentang talqin
Sampel dalam penelitian ini adalah perawat-perawat yang sedang
melakukan asuhan keperawatan pada pasien menjelang ajal di RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung dan RSUD Cibabat-Cimahi. Ruang perawatan yang digunakan adalah :
1. RS Dr. Hasan Sadikin Bandung :
a. Ruang Bedah saraf.
b. Ruang Bedah umum
c. Ruang Bougenvil
d. Ruang Melati
e. Ruang Dahlia
2. RSUD Cibabat-Cimahi :
a. Gedung D lantai III
b. Gedung C lantai III
Besar sampel ditentukan dengan metoda Remur Slovin (Umar, 1999) pada tingkat
kesalah 5%, dengan rumus :
n=N/N.2+1.
Keterangan :
n = besar sampel
N = besar populasi
Dari penjajakan awal diperoleh jumlah perawat yang bertugas di ruangan-ruangan
tersebut di atas adalah 150 orang. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% dan
tingkat kesalahan adalah 5%, sehinggal jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian
ini adalah :
n = 150/150x0,0025+1
= 150/1.375
= 109 orang
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik Accidental Sampling dengan

dibatasi oleh waktu yaitu dari tanggal 2 Juli sampai 30 September 2008.
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian, maka
pengumpulan data akan menggunakan angket dan observasi mengenai pengetahuan
tentang kebutuhan spiritual (talqin) dan pelaksanaannnya. Selanjutnya setelah data
terkumpul akan dilakukan proses: editing, coding, cleaning dan kemudian dilakukan
analisa data dengan menggunakan SPSS versi 14. Analisis dilakukan untuk menguji
hubungan variabel dependen dan independent yang meliputi analisis univariat dengan
descriptip analysis, bivariat dengan Chi Squar TEst.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah didapatkannya data yang
menunjukkan hubungan antara pengetahuan perawat tentang kebutuhan spiritual (talqin)
terhadap pelaksananan talqin pada pasien menjelang ajal, sehingga hasilnya akan dapat
digunakan sebagai data dasar oleh institusi pelayanan kesehatan guna meningkatkan
kualitas pelayanan asuhan keperawatan khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan
spiritual pasien menjelang ajal.

H. Ethical Clearance

Penelitian ini bersifat descriptive analytic dimana untuk memperoleh data dari perawat
akan dilakukan melalui angket dan observasi yang mencakup pengetahuan dan
pelaksanaan talqin pada pasien menjelang ajal.
I. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan mulai tanggal 2 Desember 2008 sampai 23 Pebruari 2009,


tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat-
Cimahi (Gedung D lantai 3 dan Gedung C lantai 3) dan Rumah sakit Hasan Sadikin
Bandung (RCL 3 Bedah Saraf, R. 19, R. Bougenvil, R. Melati).
Setelah dilakukan pengambilan data, kemudian data dikumpulkan dan dilakukan verifikasi
untuk selanjutnya dilakukan analisa data. Analisa dilakukan dengan analisa univariat dan
analisa bivariat.
A. Analisa Univariat.
Analisa ini dimaksudkan untuk melihat gambaran distribusi variabel pengetahuan dan
keterampilan perawatan dalam memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) pada pasien
menjelang ajal. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
1. Variabel Pengetahuan
Tabel 1

Dari tabel diatas dapat diinterpretasikan bahwa terdapat 71.9% perawat dengan
pengetahuan baik dan 28.1% perawat dengan pengetahuan sedang dari 32 orang
perawat yang melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien
menjelang ajal.

2. Variabel Pemenuhan Kebutuhan Spiritual (talqin) :

Pada variabel ini penulis membagi ke dalam tiga cara yang dilakukan perawat dalam
memenuhi kebutuhan spiritual (talqil) pasien menjelang ajal yang penulis jelaskan
sebagai berikut :
Tabel 2.

Tabel di atas memperlihatkan bahwa dari 32 orang perawat, sebagian besar


perawat dari mereka yaitu 68.8% melakukan pemenuhan kebutuhan spiritual
(talqin) pada pasen menjelang ajal dengan cara meminta keluarga untuk menuntun
pasen mengucapkan kelimat talqin dan sebagian kecil dari perawat 31.3% tidak
melakukan dengan cara tersebut.

Tabel 3.

`1

Dari tebel di atas, dapat menjelaskan bahwa 53.1% perawat dari 32 orang yang
diteliti melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) dengan cara
meminta pasen untuk mengucapkan talqin, dan 46.9% tidak melakukan tindakan
tersebut.
Tabel 4.

Tabel di atas memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat lebih dari setengahnya
(56.3%) perawat tidak melakukan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) dengan cara
menuntun pasen mengucapkan talqin dengan membisikkannya ke telinga pasen dan
kurang dari setengahnya (43.8%) perawat yang melakukan tindakan itu, dari 32 orang
perawat yang diteliti.

B. Analisa Bivariat.
Analisa bivariat dilkukan untuk mencari hubungan antara pengetahuan perawat dengan
tindakannya dalam melakukan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal. Untuk analisa ini digunakan uji Chi Squar dengan pertimbangan karena
data penelitian adalah data nominal.
Uji pertama dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan perawat dengan
tindakannya dalam melakukan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal dengan cara meminta keluarga untuk menuntun pasen mengucapkan talqin,
dan hasil uji selengkapnya seperti di bawah ini :
Tabel 5.
Tabel silang diatas memperlihatkan bahwa 23 orang yang memiliki pengetahuan
baik, 60.9% melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) dengan
meminta keluarga menuntuntun pasen mengucapkan kalimat talqin *
Pengetahuan responden dan 39.1% tidak melakukannya. Selanjutnya dilakukan
uji statistic dengan Chi Suare dan diperoleh hasik sebagai berikut:
Tabel 6.

Dari uji statistic pada tabel di atas diperoleh hasil Chi Square test dengan nilai alpha sebesar
0.124 dan uji Fisher Exact tesr diperoleh alpha sebesar 0.210 dengan tingkat probabilitas
=0.05. Karena kedua uji di atas diperoleh nilai melebihi probabilitas =0.05, maka Ho
diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan
tindakan perawat dalam memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) dengan cara meminta
bantuan keluarga untuk melakukannya
Tabel 7.
Pengetahuan responden * Meminta pasen ucapkan talqin

Tabel silang di atas, memberikan informasi bahwa 23 perawat yang memiliki pengetahuan
baik, terdapat 56.5% tidak memenuhi kebutuhan spiritual pasen dengan meminta pasen
untuk mengucapkan talqin dan 43.5% melakukan tindakan tersebut. Dan dari sebagian kecil
perawat yang berpengetahuan sedang (9 orang), 77.8% melakukan tindakan pemenuhan
kebutuhan spiritual dengan cara meminta pasen untuk mengucapkan talqin dan sisanya
(22.2%) tidak melakukan.
Selanjutnya dilakukan uji Chi Square untuk melihat hubungan kedua variabel tersebut
dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 8.

Dari tebel di atas, diperoleh hasil uji chi square dua sisi sebesar 0.08 dan uji Fisher Exact
sebesar 0.122. kedua hasil uji tersebut berada di atas nilai probabilitas =0.05, maka Ho
diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan
perawat dengan tindakannya dalam memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal dengan cara meminta pasen untuk mengucapkan talqin.
Tabel 9.
Hubungan pengetahuan perawat dan tindakan menuntun pasen mengucapkan talqin dengan
membisikannya ke telinga pasen.

Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa dari 32 orang perawat yang
diteliti, terdapat 23 orang dengan pengetahuan baik dan ternyata 65.2% tidak
melakukan tindakan talqin dengan cara membisikan ke telinga pasen sementara
hanya 34.8% yang melakukannya. Dari 9 orang perawat dengan pengetahuan
sedang terdapat 66.7% melakukan tindakan talqin dengan membisikkan ke telinga
pasen dan hanya 33.3% yang tidak melakukannya.
Selanjutnya dilakukan uji statistic untuk mengetahui hubungan kedua
variabel tersebut dengan menggunakan uji Chi Squar test dan diperoleh hasil
sebagai berikut:

Tabel 10.

Dari hasil uji dua sisi dengan Chi Squar diperoleh nilai p sebesar 0.102 dan pada uji
Fisher Exact diperoleh nilai 0.132. dari kedua uji tersebur diperoleh nilai probabilitas di
atas = 0.05, sehingga Ho diterima, yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara
pengetahuan dan tindakan perawat dalam memenuhi kebutuhan spiritual pasen menjelang
ajal dengan cara menuntun pasen mengucapkan talqin dengan membisikannya ke telinga
pasen.
Setalah dilakukan uji statistic terhadap kedua variabel penelitian dan telah diperoleh
hasil yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
perawat dengan tindakannya dalam memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen
menjelang ajal, tidak adanya hubungan yang signifikan antar pengetahuan dengan tindakan
perawat dalam memenuhi kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen menjelang ajal ini dapat
saja terjadi mengingat bahwa pengetahuan perawat tentang kebutuhan spiritual khusunya
talqin tidak saja diperoleh di bangku kuliah, tetapi juga didapatkan melalui pendidikan
agama baik secara formal maupun non formal. Sehingga mungkin saja perawat dengan
pengetahuan spiritual yang baik tetapi tidak melaksanakan tindakan itu, atau ada faktor-
faktor lain yang perlu diteliti lebih lanjut. Hal ini sangat bergantung pada komitmen
perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasen menjelang ajal.
Selain tindakan perawat yang diteliti, peneliti juga menggali motivasi perawat dalam
hal melakukan atau tidak melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual pasen
menjelang ajal. Hasil penggalian motivasi perawat kami uraikan seperti di bawah ini :
Tabel 11.

Melihat tabel di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa dari 32 orang yang diteliti,
hampir semua responden yaitu 84.4% menjawab agar pasen tenang sebagai motivasi
perawat dalam memenuhi kebutuhan talqin pada pasen menjelang ajal dan selebihnya
hanya 15.6% yang melakukannya dengan motivasi menjalankan perintah agama.

Tabel 12.

Dari data pada table di atas dapat penulis jelaskan bahwa responden menjawab lebih
bervariasi, dan dari 32 orang yang diteliti 46.9% memilih alasan ada perawat rohani islam
bila perawat tidak melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin), 34.4%
beralasan karena sibuk menolong jiwa pasen dan sisanya 18.8% karena telah menugaskan
kepada keluarga pasen.
Dari kedua table di atas (table 11 dan 12) terlihat bahwa motivasi perawat untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan spiritual (talqin) pada
pasen menjelang ajal, tidak ada satu respondenpun yang memiliki motivasi sebagai tuntutan
profesi. Hal ini mungkin disebabkan karena perawat tidak memahami secara jelas tentang
tugas-tugas atau tidanakan yang harus dilakukan pada saat memeberikan asuhan
kepererawatan pada pasen mejelang ajal khususnya dalam memenuhi kebutuhan spiritual
(talqin). Dapat juga disebabkan karena penguasaan agama dari perawat yang kurang
sehingga tidak percaya diri, atau juga karena ada petugas lain yang melakukannya.

J. Kesimpulan :
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, penulis menarik kesimpulan
bahwa :
Tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan perawat dengan pemenuhan
kebutuhan spiritual (talqin) pada pasen menjelang ajal.

K. Rekomendasi
1. Hendaknya perawat memiliki komitmen kuat untuk memenuhi kebutuhan spiritual
(talqin) dalam melaksankan asuhan keperawatan pada asuhan keperawatan pasen
menjelang ajal.
2. Perlunya integrasi pembelajaran agama dengan teori keperawatan khususnya pada
asuhan keperawatan pasen menjelang ajal.
3. Perlunya penambahan responden dalam penelitian ini.

L. Keterbatasan Penelitian
Selama proses penelitian berlangsung, hambatan dan kesulitan yang penulis alami, kami
jadikan sebagai keterbatasan dalam peneltian, diantaranya :

1. Waktu yang tersedia singkat, sementara kematian tidak dapat diprediksi , sehingga
observasi harus dilakukan selama 24 jam.

2. Jumlah kejadian sedikit, menyebabkan jumlah pengamatan sedikit pula, sehingga


dalam proses uji statistik chi square / fisher exact terdapat jumlah cel yang kurang
dari 5. mungkin ini yang menyebabkan hipotesis tidak terbukti.

M. Daftar Rujukan

A. Aziz Alimul H, (2004), Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta, Salemba


Medika.
A. Aziz Alimul H, (2006), Pengantar Kebutuhanp Dasar Manusia: Apliksi Konsep dan
Proses Keperawatan , Jakarta, Salemba Medika.
Arikunto, S. (2000), Manajemen Penelitian, Jakarta, PT. Rineka Cipta.
Burns, N., and Grove, S.K. (1999). Understanding nursing research. (2nd ed.).
Philadelphia: W.B. Saunders
Phipps, W.J., Cassmeyer, V.L., Sand, J.K., & Lehman, M.K. (1995). Medical surgical
nursing: Concepts and clinical practice. (5th ed.). St. Louis: C.V. Mosby.
Polit, D.F., and Hungler, B.P. (1999). Nursing research: Principles and methods. (6th ed.).
Philadelphia: Lippincott.
Polit, D.F. (1996). Data analysis & statistics for nursing research. Connecticut: Apleton
& Lange.

A. Pendahuluan Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya


dengan yang Maha Kuasa. Sedangkan kebutuhan spiritual
adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan
keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan
untuk mendapatkan maaf atau pengampunan. Kebutuhan
spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh
setiap manusia. Apabila seseorang dalam keadaan sakit, maka
hubungan dengan Tuhannya pun semakin dekat, mengingat
seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam segala hal,
tidak ada yang mampu membangkitkannya dari kesembuhan,
kecuali Sang Pencipta. Dalam pelayanan kesehatan, perawat
sebagai petugas kesehatan harus memiliki peran utama dalam
memenuhi kebutuhan spiritual. Perawat dituntut mampu
memberikan pemenuhan yang lebih pada saat pasien akan
dioperasi, pasien kritis atau menjelang ajal. Dengan demikian,
terdapat keterkaitan antara keyakinan dengan pelayanan
kesehatan dimana kebutuhan dasar manusia yang diberikan
melalui pelayanan kesehatan tidak hanya berupa aspek biologis,
tetapi juga aspek spiritual. Aspek spiritual dapat membantu
membangkitkan semangat pasien dalam proses penyembuhan
(Asmadi, 2008:28-29). Ketika penyakit, kehilangan atau nyeri
menyerang seseorang, kekuatan spiritual dapat membantu
seseorang kearah penyembuhan atau pada perkembangan
kebutuhan dan perhatian spiritual. Selama penyakit atau
kehilangan, misalnya saja, individu sering menjadi kurang
mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada
orang lain untuk perawatan dan dukungan. Distres spiritual
dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna
tentang apa yang sedang terjadi, yang mungkin dapat
mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terisolasi dari
orang lain. Individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual
mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup
seluruhnya, tujuan hidup dan sumber dari makna hidup. Dengan
jelas, kemampuan perawat untuk mendapat gambaran tentang
dimensi spiritual klien yang jelas mungkin dibatasi oleh
lingkungan dimana orang tersebut mempraktikkan spiritualnya.
Hal ini benar jika perawat mempunyai kontak yang terbatas
dengan klien dan gagal untuk membina hubungan.
Pertanyaannya adalah bukan jenis dukungan spiritual apa yang
dapat diberikan tetapi secara sadar perawat mengintegrasikan
perawatan spiritual kedalam proses keperawatan. Perawat tidak
perlu menggunakan alasan tidak cukup waktu untuk
menghindari pengenalan nilai spiritualitas yang dianut untuk
kesehatan kilen (Potter & Perry, 2005:567). B. Spiritualitas
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang
Maha Kuasa. Sebagai contoh, orang yang percaya kepada Allah
sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Menurut Burkhardt
(1993), spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut : 1.
Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau
ketidakpastian dalam kehidupan. 2. Menemukan arti dan tujan
hidup. 3. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber
dan kekuatan dalam diri sendiri. 4. Mempunyai perasaan
keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.
Agama merupakan petunjuk perilaku karena didalam agama
terdapat ajaran baik dan larangan yang dapat berdampak pada
kehidupan dan kesehatan seseorang. Sebagai contoh, orang
sakit dapat memperoleh kekuatan dengan menyerahkan diri
atau memohon pertolongan dari Tuhannya (Hamid A.Y., 2000: 2-
3). Perkembangan spiritual seseorang menurut Westerhoffs
dibagi kedalam empat tingkatan berdasarkan kategori umur,
yaitu : 1. Usia anak-anak, merupakan tahap perkembangan
kepercayaan berdasarkan pengalaman. Perilaku yang didapat,
antara lain adanya pengalaman dari interaksi dengan orang lain
dengan keyakinan atau kepercayaan yang dianut. Pada masa ini,
anak belum mempunyai pemahaman salah atau benar.
Kepercayaan atau keyakinan yang ada pada masa ini mungkin
hanya mengikuti ritual atau meniru oranng lain, seperti berdoa
sebelum tidur, makan, dan lain-lain. Pada masa prasekolah,
kegiatan keagamaan yang dilakukan belum bermakna pada
dirinya, perkembangan spiritual mulai mencontoh aktivitas
keagamaan orang sekelilingnya, dalam hal ini keluarga, arti doa,
serta mencari jawaban tentang kegiatan keagamaan. 2. Usia
remaja akhir, merupakan tahap perkumpulan kepercayaan yang
ditandai dengan adanya partisipasi aktif pada aktivitas
keagamaan. Pengalaman dan rasa takjub membuat mereka
semakin merasa memiliki dan berarti akan keyakinannya.
Perkembangan spiritual pada masa ini sudah mulai pada
keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritual seperti keinginan
melalui meminta atau berdoa kepada penciptanya, yang berarti
sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan atau
kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritual tidak
terpenuhi, akan timbul kekecewaan. 3. Usia awal dewasa,
merupakan masa pencarian kepercayaan diri, diawali dengan
proses pernyataan akan keyakinan atau kepercayaan yang
dikaitkan secara kognitif sebagai bentuk yang tepat untuk
mempercayainya. Pada masa ini, pemikiran sudah bersifat
rasional. Segala pertanyaan tentang kepercayaan harus dapat
dijawab. Secara rasional. Pada masa ini, timbul perasaan akan
penghargaan terhadap kepercayaan. 4. Usia pertengahan
dewasa, merupakan tingkatan kepercayaan dari diri sendiri,
perkembangan ini diawali dengan semakin kuatnya kepercayaan
diri yang dipertahankan walaupun menghadapi perbedaan
keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan kepercayaan
dirinya (Asmadi, 2008: 1-2). C. Kebutuhan Spritual Klien 1.
Pengertian Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan
memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk
mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin
hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Carson, 1989).
Maka dapat disimpulkan kebutuhan spiritual merupakan
kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan
untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan dan
kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf. Adapun
adaptasi spiritual adalah proses penyesuaian diri dengan
melakukan perubahan perilaku yang didasarkan pada keyakinan
atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan agama yang
dianutnya (Asmadi, 2008: 258). 2. Kebutuhan spiritual Individu
sebagai makhluk spiritual mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sempurna dibanding
makhluk ciptaan lainnya. b. Memiliki rohani/jiwa yang sempurna
(akal, pikiran, perasaan dan kemauan). c. Individu diciptakan
sebagai khalifah (penguasa dan pengatur kehidupan) dimuka
bumi. d. Terdiri atas unsur bio-psiko-sosial yang utuh (Ali H.Z,
2002: 43). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan
spiritual antara lain : a. Perkembangan Usia perkembangan
dapat menentukan proses pemenuhan kebutuhan spiritual,
karena setiap tahap perkembangan memeliki cara meyakini
kepercayaan terhadap Tuhan. b. Keluarga Keluarga memiliki
peran yang cukup strategis dalam memenuhi kebutuhan
spiritual, karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat
dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. c. Ras/suku
Ras/suku memiliki keyakinan/kepercayaan yang berbeda,
sehingga proses pemenuhan kebutuhan spiritual pun berbeda
sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. d. Agama yang dianut
Keyakina pada agama tertentu yang dimiliki oleh seseorang
dapat menentukan arti pentingnya kebutuhan spiritual. e.
Kegiatan keagamaan Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu
mengingatkan keberadaan dirinya dengan Tuhan dan selalu
mendekatkan diri kepada Penciptanya (Asmadi, 2008: 254-257).
Beberapa orang yang membutuhkan bantuan spiritual antara
lain : a. Pasien kesepian Pasien dalam keadaan sepi dan tidak
ada yang menemani akan membutuhkan bantuan spiritual
karena mereka merasakan tidak ada kekuatan selain kekuatan
Tuhan, tidak ada yang menyertainya selain Tuhan. b. Pasien
ketakutan dan cemas Adanya ketakutan atau kecemasan dapat
menimbulkan perasaan kacau, yang dapat membuat pasien
membutuhkan ketenangan pada dirinya dan ketenangan yang
paling besar adalah bersama Tuhan (Asmadi, 2008: 26). Adapun
tanda-tanda yang dapat diperhatikan pada klien yang
mengalami kecemasan : 1) Cemas ringan Kecemasan normal
yang berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa
kehidupan sehari-hari. Respon cemas ringan seperti sesekali
bernafas pendek, nadi meningkat, tekanan darah naik, bibir
bergetar, tidak dapat duduk dengan tenang dan tremor halus
pada tangan. 2) Cemas sedang Ditandai dengan persepsi
terhadap masalah menurun sehingga individu
kehilanganpegangan tetapi dapat mengikuti pengarahan dari
orang lain. Respon cemas sedang biasanya meliputi sering
bernafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering,
gelisah, tidak mampu menerima rangsangan, susah tidur dan
perasaan tidak enak. 3) Cemas berat Pada tingkat ini lahan
persepsi menjadi sangat sempit dimana individu tidak dapat
memecahkan masalah atau mempelajari masalah. Respon
kecemasan yang timbul misalnya nafas pendek, nadi dan
tekanan darah meningkat, berkeringat, sakit kepala, tidak
mampu menyelesaikan masalah. 4) Panik Pada tingkat ini, lahan
persepsi telah terganggu sehingga individu tidak dapat
mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa
walaupun telah diberikan pengarahan. Respon panik seperti
nafas pedek, rasa tercekik, pucat, lahan persepsi sangat sempit,
tidak dapat berfikir logis (Tarwoto & Wartonah, 2003: 98-99). c.
Pasien menghadapi pembedahan Menghadapi pembedahan
adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan karena akan
timbul perasaan antara hidup dan mati. Pada saat itulah
keberadaan pencipta dalam hal ini adalah Tuhan sangat penting
sehingga pasien selalu membutuhkan bantuan spiritual. d.
Pasien yang harus mengubah gaya hidup Perubahan gaya hidup
dapat membuat seseorang lebih membutuhkan keberadaan
Tuhan (kebutuhan spiritual). Pola gaya hidup dapat membuat
kekacauan keyakinan bila ke arah yang lebih buruk, maka
pasien akan lebih membutuhkan dukungan spiritual (Asmadi,
2008: 256). Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan
kebutuhan spiritual adalah distress spiritual, yang merupakan
suatu keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau
beresiko mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem
nilai yang memberikannya kekuatan, harapan dan arti
kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan
spiritual, mengungkapkan adanya keraguan dalam sistem
kepercayaan, adanya keraguan yang berlebihan dalam
mengartikan hidup, mengungkapkan perhatian yang lebih pada
kematian dan sesudah hidup, adanya keputusan, menolak
kegiatan ritual dan terdapat tanda-tanda seperti menangis,
menarik diri, cemas dan marah, kemudian ditunjang dengan
tanda-tanda fisik seperti nafsu makan terganggu, kesulitan tidur
dan tekanan darah meningkat (Hidayat, 2006: 27). D. Penutup
Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang
dibutuhkan oleh setiap manusia. Apabila seseorang dalam
keadaan sakit, maka hubungan dengan Tuhannya pun semakin
dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah
dalam segala hal, tidak ada yang mampu membangkitkannya
dari kesembuhan, kecuali Sang Pencipta. Perawat sebagai
tenaga kesehatan yang profesional mempunyai kesempatan
yang paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan
khususnya pelayanan/asuhan keperawatan yang komprehensif
dengan membantu klien memenuhi kebutuhan dasar yang
holistik. Dalam pelayanan kesehatan, perawat sebagai petugas
kesehatan harus memiliki peran utama dalam memenuhi
kebutuhan spiritual. Perawat dituntut mampu memberikan
pemenuhan yang lebih pada saat pasien akan dioperasi, pasien
kritis atau menjelang ajal. Dengan demikian, terdapat
keterkaitan antara keyakinan dengan pelayanan kesehatan
dimana kebutuhan dasar manusia yang diberikan melalui
pelayanan kesehatan tidak hanya berupa aspek biologis, tetapi
juga aspek spiritual. DAFTAR PUSTAKA Ali H.Z., 2002, Dasar-
Dasar Keperawatan Profesional, Widya Medika, Jakarta. Asmadi,
2008, Teknik Prosedural Keperawatan Konsep Dan Aplikasi,
Salemba Medika, Jakarta. Hamid A.Y., 2003, Buku Ajar Aspek
Spiritualitas Dalam Keperawatan, Widya Medika, Jakarta.
Hidayat, Komaruddin, 2006, Psikologi Kematian; Mengubah
Kematian Menjadi Optimisme, Arcan, Yogyakarta. Potter dan
Perry, 2005, Keperawatan Fundamental, Vol. 1, Edisi terjemahan,
EGC, Jakarta. Tarwoto dan Wartonah, 2003, Kebutuhan Dasar
Manusia Dan Proses Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani klien karena peran perawat adalah
memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual klien. Namun peran spiritual
ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting terutama untuk
pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.
Menurut Dadang Hawari (1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang
sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian
sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus.
Pasien terminal biasanya dihinggapi rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat
ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupannya ini, pasien tersebut selalu
berada di samping perawat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat meningkatkan
semangat hidup klien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan dapat mempersiapkan diri
pasien untuk menghadapi alam yang kekal.
Menurut konsep Islam, fase akhir tersebut sangat menentukan baik atau tidaknya kematian
seseorang dalam menuju kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak akan diminta
pertanggungjawaban oleh ALLAH SWT karena upaya pemenuhan kebutuhan pasien di rumah
sakit mutlak diperlukan.
Perawat hendaknya meyakini bahwa sesuai dengan ajaran islam dalam menjalani fase akhir dari
kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul maut. Fase sakaratul maut seringkali di
sebutkan oleh Rasulullah sebagai fase yang sangat berat dan menyakitkan sehingga kita
diajarkan doa untuk diringankan dalam fase sakaratul maut.
Gambaran tentang beratnya sakaratul maut dijelaskan dalam Al Qur,an dan hadis. Kalau
sekiranya kamu dapat melihat malaikat mencabut nyawa orang-orang kafir seraya memukul
muka dan belakang mereka serta berkata rasakan olehmu siksa neraka yang membakar
(niscaya kamu akan merasa sangat nyeri) (QS Al Anfal: 50). Alangkah dasyatnya sekiranyakamu
melihat diwaktu orang-orang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedangkan
para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata) keluakanlah nyawamu!) Pada hari
ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu selalu mengatakan
terhadap ALLAH perkataan yang tidak benar dankarena kamu selalu menyombongkan diri
terhadap ayat-ayat-Nya (QS. Al Anam :93)
Cara malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan
bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada ALLAH maka malaikat Izrail
mencanut nyawanya dengan kasar. Sebaliknya bila terhadap orang sholeh cara mencabutnya
dengan lemah lembut dan dengan hati-hati. Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa
dengan raga tetap amat menyakitkan. Sakitnya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali
sakitnya di pukul pedang. ( HR. Ibnu Abu Dunya)
Melihat batapa sakitnya sakaratul maut maka perawat harus melakukan upaya upaya sebagai
berikut :
1. Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT. Pada sakaratul maut perawat
harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah sebagaimana Hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Muslem. Jangan sampai seorang dari kamu mati kecuali dalam keadaan berbaik
sangka kepada Allah, selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi, Aku ada pada sangka-
sangka hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan sangkaaan yang baik .
Selanjutnya Ibnu Abas berkata, Apabila kamu melihat seseorang menghadapi maut, hiburlah dia
supaya bersangka baik pada Tuhannya dan akan berjumpa dengan Tuhannya itu. Selanjutnya
Ibnu Masud berkata : Demi Allah yang tak ada Tuhan selain Dia, seseorang yang berbaik sangka
kepada Allah maka Allah berikan sesuai dengan persangkaannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa
kebaikan apapun jua berada ditangannya.
2. Mentalkinkan dengan Kalimat Laailahaillallah. Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah
laaillallah dapat dilakukan pada pasien terminal menjelang ajalnya terutama saat pasien akan
melepaskan nafasnya yang terakhir.
Wotf, Weitzel, Fruerst memberikan gambaran ciri-ciri pokok klien terminal yang akan
melepaskan nafasnya yang terakhir, yaitu penginderaan dan gerakan menghilang secara
berangsur-angsur yang dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki.
Meskipun suhu tubuh pasien biasanya tinggi ia terasa dingin dan lembab mulai pada kaki tangan
dan ujung hidung, kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat. Nadi mulai tak teratur, lemah
dan pucat. Terdengar suara ngorok disertai gejala nafas cyene stokes. Dengan menurunnya
tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi
hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi
mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.
Dalam keadaan yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi kebutuhan fisiknya juga
harus memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim agar diupayakan meninggal dalam keadaan
Husnul Khatimah. Perawat membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan
melafalkan secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist Riwayat
Muslim,
Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat Laailahaillallah karena
sesungguhnya seseoranng yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka itulah
bekalnya sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka
itulah bekalnya menuju surga . Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata Hindarilah orang yang
mati diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka
sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa, kamu lihat .
3. berbicara yang Baik dan Doa untuk jenazah ketika menutupkan matanya. Di samping
berusaha memberikan sentuhan (Touching) perawat muslim perlu berkomunikasi terapeutik,
antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah SAW bersabda: Bila kamu datang
mengunjungi orang sakit atau orang mati, hendaklah kami berbicara yang baik karena
sesungguhnya malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan. Selanjutnya
diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda apabila kamu menghadiri orang yang
meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena sesungguhnya mata itu
mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah dengan kata-kata yang baik karena malaikat
mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan.
Berdasarkan hal diatas perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien merasa
yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat hambanya, mendoakan
dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh terlepas, dari jasadnya.
Panduan bagi pasien sakaratul maut
Bimbingan rohani pasien merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan dalam
upaya pemenuhan kebutuhan bio-Psyco-Socio-Spritual ( APA, 1992 ) yang komprehensif, karena
pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs,
Dadang Hawari, 1999 ).
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang
menyatakan bahwa aspek agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur dari pengertian
kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter, terutama perawat untuk
memenuhi kebutuhan spritual pasien.
Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan
spiritual klien. Akan tetapi, kebutuhan spiritual seringkali dianggap tidak penting oleh perawat.
Padahal aspek spiritual sangat penting terutama untuk pasien yang didiagnosa harapan
sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut dan seharusnya perawat bisa menjadi
seperti apa yang dikemukakan oleh Henderson, The unique function of the nurse is to assist the
individual, sick or well in the performance of those activities contributing to health or its
recovery (or to a peaceful death) that he would perform unaided if he had the necessary strength
will or knowledge,maksudnya perawat akan membimbing pasien saat sakaratul maut hingga
meninggal dengan damai.
Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan oleh perawat adalah pasien terminal
karena pasien terminal, pasien yang didiagnosis dengan penyakit berat dan tidak dapat
disembuhkan lagi dimana berakhir dengan kematian, seperti yang dikatakan Dadang Hawari
(1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih banyak
mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan
kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus. Sehingga, pasien
terminal biasanya bereaksi menolak, depresi berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan
keputusasaan. Oleh sebab itu, peran perawat sangat dibutuhkan untuk mendampingi pasien yang
dapat meningkatkan semangat hidup klien meskipun harapannya sangat tipis dan dapat
mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi kehidupan yang kekal.
Dalam konsep islam, fase sakaratul maut sangat menentukan baik atau tidaknya seseorang
terhadap kematiannya untuk menemui Allah dan bagi perawat pun akan dimintai
pertanggungjawabannya nanti untuk tugasnya dalam merawat pasien di rumah sakit. Dan fase
sakaratul maut adalah fase yang sangat berat dan menyakitkan seperti yang disebutkan
Rasulullah tetapi akan sangat berbeda bagi orang yang mengerjakan amal sholeh yang bisa
menghadapinya dengan tenang dan senang hati.
Ini adalah petikan Al-Quran tentang sakaratul maut,,
Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.(QS.50:19).
Alangkah dahsyatnya ketika orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul
maut. (QS. 6:93)
Dalam Al-hadits tentang sakaratul maut..
Al-Hasan berkata bahwa Rasulullah SAW pernah mengingatkan mengenai rasa sakit dan duka
akibat kematian. Beliau bertutur, Rasanya sebanding dengan tiga ratus kali tebasan pedang.
(HR.Ibn Abi ad-Dunya)
Begitu sakitnya menghadapi sakaratul maut sehingga perawat harus membimbing pasien dengan
cara-cara,seperti ini:
1. Menalqin(menuntun) dengan syahadat
Sesuai sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
Talqinilah orang yang akan wafat di antara kalian dengan, Laa illaaha illallah. Barangsiapa
yang pada akhir ucapannya, ketika hendak wafat, Laa illaaha illallaah, maka ia akan masuk
surga suatu masa kelak, kendatipun akan mengalami sebelum itu musibah yang akan
menimpanya. Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada
pasien muslim menjelang ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang terakhir
sehingga diupayakan pasien meninggal dalam keadaan husnul khatimah.
Para ulama berpendapat, Apabila telah membimbing orang yang akan meninggal dengan satu
bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi. Kecuali apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan
atau materi pembicaraan lain. Setelah itu barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha Illallha
menjadi ucapan terakhir ketika menghadapi kematian. Para ulama mengarahkan pada pentingnya
menjenguk orang sakaratul maut, untuk mengingatkan, mengasihi, menutup kedua matanya dan
memberikan hak-haknya. (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim : 6/458)
Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan nafasnya yang terakhir, yaitu :
1. penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada anggota
gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan
lembab,
2. kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat.
3. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat.
4. Terdengar suara mendengkur
disertai gejala nafas cyene stokes.
5. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada
biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot
rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah
menerima.
Meninggal dengan membaca syahadat
2. Hendaklah mendoakannya dan janganlah mengucapkan dihadapannya kecuali kata-kata yang
baik
Berdasarkan hadits yang diberitakan oleh Ummu Salamah bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam telah bersabda.
Artinya : Apabila kalian mendatangi orang yang sedang sakit atau orang yang hampir mati,
maka hendaklah kalian mengucapkan perkataan yang baik-baik karena para malaikat mengamini
apa yang kalian ucapkan. Maka perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien
merasa yakin bahwa Allah Maha Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat hambanya,
mendoakan dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh terlepas dari jasadnya.
3. Berbaik Sangka kepada Allah
Perawat membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT, seperti di dalam hadits
Bukhari Tidak akan mati masing-masing kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah
SWT. Hal ini menunjukkan apa yang kita pikirkan seringkali seperti apa yang terjadi pada kita
karena Allah mengikuti perasangka umatNya
4. Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang sedang
sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi
bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa
sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan kapas
tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami sakaratul
maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat.
(Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
5. Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke arah kiblat
Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut kearah kiblat.
Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits Rasulullah Saw., hanya saja
dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut.
Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua cara bagaimana menghadap kiblat :
1. Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya dihadapkan
kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit agar ia menghadap kearah
kiblat.
2. Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut menghadap ke kiblat.
Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara yang paling benar.
Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka biarkanlah orang tersebut berbaring
kearah manapun yang membuatnya selesai.
WARNING ALERT
Sebagian orang terbiasa membaca Al-Quran didekat orang yang sedang menghadapi sakaratul
maut dengan berdasarkan pada hadits :
bacalah surat Yaasiin untuk orang-orang yang meninggal dunia
Dan hadits :
tidak ada seorang manusia yang mati, kemudian dibacakan surat yaasiin untuknya, kecuali
Allah mempermudah segala urusannya
Padahal kedua hadits tersebut dianggap sebagai hadits dhaif, tidak boleh memasukkannya
kedalam kitab Hadits.
Bahkan, Imam Malik telah mengatakan bahwa hokum membaca Al-Quran disisi mayat adalah
makruh. Dalam Kitabnya Syarhu As-Syaghiir(1/220):,Dimakruhkan membaca salah satu ayat
dalam al-quran ketika datang kematian. Karena, tindakan tersebut tidak pernah dilakukan oleh
para salafus shalih. Sekalipun, semua itu diniatkan sebagai doa, memohon ampun, kasih sayang
dan mengambil pelajaran,.
Tuntunan dalam Mengurus Jenazah bagi Wanita
Alloh azza wa jalla telah menuliskan kematian atas setiap jiwa. Sedangkan kekekalan hanyalah
khusus bagi Alloh. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya,
Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan. QS. Ar-Rahman ; 26-27
Bagi jenazah anak cucu Adam terdapat hukum-hukum khusus yang wajib dipenuhi dan
dilaksanakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kami sebutkan didalam bab ini tentang hal-hal
yang berkaitan dengan pengurusan jenazah bagi wanita, diantaranya :
1. Para wanita wajib menguasai tata cara memandikan mayat perempuan dan tidak
diperbolehkan bagi laki-laki untuk memandikannya, kecuali suami karena ia berkewajiban
memandikan istrinya. Sebab Ali radhiyallohu anhu memandikan istrinya, Fathimah bintu
Rosulullah sholallohu alaihi wasallam. Dan diperbolehkan bagi wanita memandikan mayit
suaminya, sebab Asma bintu Umais radhiyallohu anha memandikan suaminya, Abu Bakar Ash
Shiddiq radhiyallohu anhu.
2. Disunnahkan mengkafani mayat perempuan dengan 5 lembar kain putih yang terdiri dari
sarung, kerudung kepalanya, baju yang dipakainya, dan 2 kain lipatan yang melilit seluruh kain-
kain sebelumnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Laila ats-Tsaqafiyah, beliau berkata :
Saya berada bersama para wanita yang memandikan Ummu Kultsum bintu Rosulullah ketika
wafatnya, dan pertama-tama yang Rosulullah berikan adalah sarung kemudian baju besi (jubah
muslimah atau sejenisnya), selanjutnya penutup kepala (kerudung/jilbab) kemudian selimut
kemudian dilipatkan setelah itu didalam pakaian yang lain. HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud
3. Yang diperbuat dengan rambut kepala mayat wanita adalah menjadikannya 3 pintalan dan
mempertemukannya di bagian belakang, seperti hadits Ummu Athiyah tentang cara memandikan
putri Nabi sholallohu alahi wasallam :Maka kami pintal rambutnya menjadi 3 cabang dan kami
pertemukan dibelakangnya. HR. Bukhari-Muslim.Hukum wanita mengiring jenazah.
4. Dari Ummu Athiyah radhiyallohu anha berkata : Kami dilarang (oleh Rosulullah sholallohu
alaihi wasallam) mengiringi jenazah namun tidak ditekankan (larangan tsb) kepada kami. HR.
Bukhari Muslim
5. Wanita dilarang menziarahi kubur.
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu, sesungguhnya Rosulullah sholallohu alaihi wasallam
melaknat wanita-wanita peziarah kubur. HR. Imam Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan
dishohihkan olehnya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
Telah diketahui bahwa perempuan apabila berziarah kubur, maka dia akan berkeluh kesah,
menangisi dan meratapi (mayat). Padahal kesemuanya itu menyiratkan kelemahan dan sedikitnya
kesabaran. Dengan menangisi (si mayat) hal ini dapat juga menyebabkan tersiksanya si mayat.
Bahkan dengan suara (tangisannya) dan pola tingkahnya tsb akan dapat menimbulkan daya tarik
bagi laki-laki (di sekitarnya). Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
Maka kalian (para wanita) telah menjadi penyebab timbulnya fitnah bagi yang hidup dan
menjadikan tersiksa bagi yang mati.
Kemudian diharamkannya permasalahan ini (wanita berziarah kubur) adalah untuk membatasi
(menutupi) jalan fitnah, sebagaimana diharamkan memandang perhiasan yang terselip karena
akan menimbulkan fitnah. Hal itu -yakni wanita berziarah kubur- bukanlah suatu maslahah (yang
mendatangkan kebaikan), kecuali wanita tsb mendoakan bagi si mayat, dan ini memungkinkan
bila dilakukan didalam rumahnya. [Majmu' Fatawa ; 24/335-336]
6. Haram meratapi mayat, yaitu mengangkat suara dengan menangis, meratap dan merobek-
robek baju, menampar-nampar pipi, mengacak-acak rambut, menghitamkan wajah dan
melukainya sbg ungkapan keluh kesah atas si mayat, memanggil-manggil dengan perkataan
celaka (kasar) dan selainnya. Semua itu menunjukkan atas keluh kesah dari ketentuan Alloh dan
kekuasaan-Nya, serta tidak ada kesabaran pada dirinya. Maka hal tsb adalah haram dan dosa
besar sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahihain.
Rosulullah sholallohu alaihi wasallam bersabda, Bukan dari golongan kami orang yang
menampar-nampar pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyyah dan
selainnya.
Sesungguhnya beliau sholallohu alaihi wasallam berlepas (diri) dari shaliqah, haliqah, dan
syaaqah.
Shaliqah : wanita yang mengangkat suaranya (berteriak) ketika tertimpa musibah.
Haliqah : Wanita mencukur rambutnya ketika mendapatkan musibah.
Syaaqah : Wanita yang merobek-robek pakaiannya ketika mendapatkan musibah.
Maka sebuah kewajiban atasmu, wahai muslimah, untuk menjauhkan perbuatan-perbuatan haram
ini ketika mendapatkan musibah dan kewajibanmu adalah (tetap dalam) kesabaran dan
introspeksi diri. Sehingga musibah ini menjadi renungan atas dosa-dosa dari keburukan-
keburukan yang telah dilakukan dan pahala-pahala dari kebaikan-kebaikan yang telah kamu
kerjakan.
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang
yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan innaa
lillahi wa inna ilaihi raajiuun mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. Al-
Baqarah ; 155-157
Dalam perkara ini diperbolehkan menangis yang tidak disertai ratapan dan perbuatan-perbuatan
yang diharamkan serta tidak marah terhadap ketentuan dan kekuasaan Alloh.
-diringkas dari kitab Tanbihaat ala Ahkam Takhtashu bil Muminaat karya Syaikh Sholih Al
Fauzan-
Kewajiban Mengurus Jenazah
Kewajiban muslim dalam mengurus jenazah adalah fardhu kifayah, dimana ketika ada jenazah
dan sudah ada satu orang yang menghandle mengurus jenazah mulai memandikan hingga
menguburkan, maka muslim tidak perlu harus menghandle
nya. Melihat hukumnya ini maka sangat jarang pekerjaan pengurus jenazah ditemukan. Padahal
pekerjaan ini sangat mulia kenapa tidak jadi rebutan orang untuk berlomba-lomba
melakukannya, padahal jika kita dapat mengurus jenazah orang2 sholeh dan orang-orang yang
berjihad di jalan Allah sungguh menyenangkan, yang semoga banyak keutamaan dan pelajaran
darinya agar kitapun berharap mampu seperti mereka.
Beranikah kita menghadapi jenazah? Kalau takut jangan deh nanti malah kebawa mimpi.
kemudian pengurus jenazah tidak boleh jijik akan kondisi mayat, karena dalam kondisi di
lapangan mayat itu kondisinya bermacam-macam. Bisa jadi kondisi mayat penuh luka, atau bau
dan lain-lain. Jadi harus siap menghadapi ini. Seperti halnya dokter atau perawat yang tidak jijik
terhadap kondisi pasien dan tukang sampah yang tidak geli terhadap sampah.Diperlukan
ketelatenan juga bagi seseorang untuk mengurusi mayat, dimana kita harus mampu
memperlakukan mayat dengan baik tidak boleh kasar dan harus selembut mungkin, dan didalan
kondisi di lapangan mayat bermacam-macam seperti k
aku, melotot dan lain-lain. Selain itu diperlukan ketelatenan pula mulai dari menyiapkan hal-hal
yang diperl
ukan untuk proses mengurus jenazah, memandikan, menkafani hingga menguburkan. Sehingga
diperlukan pengetahuan yang benar sesuai dengan syariat yang dicontohkan rasul agar tidak
mengandung bidah. Dan semuanya ini dilakukan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
LANTAS APA PERAN PERAWAT DALAM MENANGANI JENAZAH MUSLIM????
Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani klien karena peran perawat adalah
memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual klien. Namun peran spiritual
ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting terutama untuk
pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.
Menurut Dadang Hawari (1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang
sakaratul maut lebih banyak mengalami p
enyakit kejiwaan, krisis spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien
menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus.
Pasien terminal biasanya dihinggapi rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat
ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupa
nnya ini, pasien tersebut selalu berada di samping
perawat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat meningkatkan semangat hidup
klien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk
menghadapi alam yang kekal.
Menurut konsep Islam, fase akhir tersebut sangat menentukan baik
atau tidaknya kematian seseorang dalam menuju kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak
akan diminta pertanggungjawaban oleh ALLAH SWT karena upaya pemenuhan kebutuhan
pasien di rumah sakit mutlak diperlukan.
Perawat hendaknya meyakini bahwa sesuai dengan ajaran islam dalam menjalani fase akhir dari
kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul maut. Fase sakaratul maut seringkali di
sebutkan oleh Rasulullah sebagai fase yang sangat berat dan menyakitkan sehingga kita
diajarkan doa untuk diringankan dalam fase sakaratul maut.
Gambaran tentang beratnya sakaratul maut dijelaskan dalam Al Qur,an dan hadis. Kalau
sekiranya kamu dapat melihat malaikat mencabut nyawa orang-orang kafir seraya memukul
muka dan belakang mereka serta berkata rasakan olehmu siksa neraka yang membakar
(niscaya kamu akan merasa sangat nyeri) (QS Al Anfal: 50). Alangkah dasyatnya sekiranyakamu
melihat diwaktu orang-orang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedangkan
para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata) keluakanlah nyawamu!) Pada hari
ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu selalu mengatakan
terhadap ALLAH perkataan yang tidak b
enar dankarena kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya (QS. Al Anam :93)
Cara malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan
bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada ALLAH maka malaikat Izrail
mencanut nyawanya dengan kasar. Sebaliknya bila terhadap orang sholeh cara mencabutnya
dengan lemah lembut dan dengan hati-hati. Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa
dengan raga tetap amat menyakitkan. Sakitnya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali
sakitnya di pukul pedang. ( HR. Ibnu Abu Dunya)
Melihat batapa sakitnya sakaratul maut maka perawat harus melakukan upaya upaya sebagai
berikut :
1. Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT. Pada sakaratul maut perawat
harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah sebagaimana Hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Muslem. Jangan sampai seorang dari kamu mati kecuali dalam keadaan berbaik
sangka kepada Allah, selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi, Aku ada pada sangka-
sangka hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan sangkaaan yang baik .
Selanjutnya Ibnu Abas berkata. Apabila kamu melihat seseorang menghadapi maut, hiburlah dia
supaya bersangka baik pada Tuhannya dan akan berjumpa dengan Tuhannya itu. Selanjutnya
Ibnu Masud berkata : Demi Allah yang tak ada Tuhan selain Dia, seseorang yang berbaik sangka
kepada Allah maka Allah berikan sesuai dengan persangkaannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa
kebaikan apapun jua berada ditangannya.
2. Mentalkinkan dengan Kalimat Laailahaillallah. Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah
laaillallah dapat dilakukan pada pasien terminal menjelang ajalnya terutama saat pasien akan
melepaskan nafasnya yang terakhir.
Wotf, Weitzel, Fruerst memberikan gambaran ciri-ciri pokok klien terminal yang akan
melepaskan nafasnya yang terakhir, yaitu penginderaan dan gerakan menghilang secara
berangsur-angsur yang dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki.
Meskipun suhu tubuh pasien biasanya tinggi ia terasa dingin dan lembab mulai pada kaki tangan
dan ujung hidung, kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat. Nadi mulai tak teratur, lemah
dan pucat. Terdengar suara ngorok disertai gejala nafas cyene stokes. Dengan menurunnya
tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi
hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi
mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.
Dalam keadaan yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi kebutuhan fisiknya juga
harus memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim agar diupayakan meninggal dalam keadaan
Husnul Khatimah. Perawat membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan
melafalkan secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist Riwayat
Muslim,Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat Laailahaillallah
karena sesungguhnya seseoranng yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka
itulah bekalnya sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya
maka itulah bekalnya menuju surga . Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata Hindarilah orang
yang mati diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka
sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa, kamu lihat .
3. berbicara yang Baik dan Doa untuk jenazah ketika menutupkan matanya. Di samping
berusaha memberikan sentuhan (Touching) perawat muslim perlu berkomunikasi terapeutik,
antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah SAW bersabda: Bila kamu datang
mengunjungi orang sakit atau orang mati, hendaklah kami berbicara yang baik karena
sesungguhnya malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan. Selanjutnya
diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda apabila kamu menghadiri orang yang
meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena sesungguhnya mata itu
mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah dengan kata-kata yang baik karena malaikat
mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan.Berdasarkan hal diatas perawat harus berupaya
memberikan suport mental agar pasien merasa yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu
memberikan yang terbaik buat hambanya, mendoakan dan menutupkan kedua matanya yang
terbuka saat roh terlepas, dari jasadnya.
Pendampingan dengan bimbingan rohani

Bimbingan rohani pasien merupakan bagian integral dari bentuk


pelayanan kesehatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan bio-Psyco-Socio-
Spritual ( APA, 1992 ) yang komprehensif, karena pada dasarnya setiap diri
manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs, Dadang
Hawari, 1999 ). Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi
ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan
salah satu unsur dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh
karena itu dibutuhkan dokter, terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan
spritual pasien.

Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis,


psikologis, dan spiritual pasien. Akan tetapi, kebutuhan spiritual seringkali
dianggap tidak penting oleh perawat. Padahal aspek spiritual sangat penting
terutama untuk pasien yang didiagnosa harapan sembuhnya sangat tipis dan
mendekati sakaratul maut dan seharusnya perawat bisa menjadi seperti apa
yang dikemukakan oleh Henderson, The unique function of the nurse is to assist
the individual, sick or well in the performance of those activities contributing to
health or its recovery (or to a peaceful death) that he would perform unaided if
he had the necessary strength will or knowledge,maksudnya perawat akan
membimbing pasien saat sakaratul maut hingga meninggal dengan damai.

Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan oleh perawat


adalah pasien terminal karena pasien terminal, pasien yang didiagnosis dengan
penyakit berat dan tidak dapat disembuhkan lagi dimana berakhir dengan
kematian, seperti yang dikatakan Dadang Hawari (1977,53) orang yang
mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih banyak
mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual,dan krisis kerohanian sehingga
pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian
khusus. Sehingga, pasien terminal biasanya bereaksi menolak, depresi berat,
perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Oleh sebab itu,
peran perawat sangat dibutuhkan untuk mendampingi pasien yang dapat
meningkatkan semangat hidup pasien meskipun harapannya sangat tipis dan
dapat mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi kehidupan yang kekal.

Dalam konsep Islam, fase sakaratul maut sangat menentukan baik atau
tidaknya seseorang terhadap kematiannya untuk menemui Allah dan bagi
perawat pun akan dimintai pertanggungjawabannya nanti untuk tugasnya dalam
merawat pasien di rumah sakit. Dan fase sakaratul maut adalah fase yang
sangat berat dan menyakitkan seperti yang disebutkan Rasulullah tetapi akan
sangat berbeda bagi orang yang mengerjakan amal sholeh yang bisa
menghadapinya dengan tenang dan senang hati. Ini adalah petikan Al-Quran
tentang sakaratul maut, Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-
benarnya.(QS.50:19). Alangkah dahsyatnya ketika orang-orang yang zalim
(berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut. (QS. 6:93). Dalam Al-hadits
tentang sakaratul maut. Al-Hasan berkata bahwa Rasulullah SAW pernah
mengingatkan mengenai rasa sakit dan duka akibat kematian. Beliau bertutur,
Rasanya sebanding dengan tiga ratus kali tebasan pedang. (HR.Ibn Abi ad-
Dunya)

Begitu sakitnya menghadapi sakaratul maut sehingga perawat harus


membimbing pasien dengan cara-cara,seperti ini:

1. Menalqin (menuntun) dengan syahadat. Sesuai sabda Rasulullah Shallallahu


alaihi wa sallam,

2. Hendaklah mendoakannya dan janganlah mengucapkan dihadapannya kecuali


kata-kata yang baik.

Berdasarkan hadits yang diberitakan oleh Ummu Salamah bahwa


Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda. Artinya : Apabila kalian
mendatangi orang yang sedang sakit atau orang yang hampir mati, maka
hendaklah kalian mengucapkan perkataan yang baik-baik karena para malaikat
mengamini apa yang kalian ucapkan. Maka perawat harus berupaya
memberikan suport mental agar pasien merasa yakin bahwa Allah Maha
Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat hambanya, mendoakan dan
menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh terlepas dari jasadnya.

3. Berbaik Sangka kepada Allah

Perawat membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT,


seperti di dalam hadits Bukhari Tidak akan mati masing-masing kecuali dalam
keadaan berbaik sangka kepada Allah SWT. Hal ini menunjukkan apa yang kita
pikirkan seringkali seperti apa yang terjadi pada kita karena Allah mengikuti
perasangka umatNya.

4. Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut


Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan
orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman.
Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan kapas yg telah
diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang
menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan
kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang
mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam
mengucapkan dua kalimat syahadat. (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)

5. Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke arah kiblat

Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul


maut kearah kiblat. Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan
dari hadits Rasulullah Saw., hanya saja dalam beberapa atsar yang shahih
disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut. Para Ulama
sendiri telah menyebutkan dua cara bagaimana menghadap kiblat :

a) Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya


dihadapkan kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit
agar ia menghadap kearah kiblat.

b) Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut


menghadap ke kiblat. Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai
tata cara yang paling benar. Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak,
maka biarkanlah orang tersebut berbaring kearah manapun yang membuatnya
selesai.

Moral dan etika pada pasien dying

Perlu diketahui oleh petugas kesehatan tentang moral dan etika dalam
pendampingan pasien sakaratul maut. Moral dan etika inilah yang dapat
membantu pasien, sehingga pasien akan lebih sabar dalam mengahadapi sakit
yang di deritanya.

Dalam banyak studi, dukungan sosial sering dihubungkan dengan


kesehatan dan usia lanjut. Dan telah dibuktikan pula bahwa dukungan sosial
dapat meningkatkan kesehatan. Pemebrian dukuangan sosial adalah prinsip
pemberian asuhan. Perilaku petugas kesehatan dalam mengeksperikan
dukungan meliputi :

1. Menghimbau pasien agar Ridlo kepada qadha dan qadarnya-Nya serta berbaik
sangka terhadap Allah Swt.

2. Menghimbau pasien agar tidak boleh putus asa dari rahmat Allah Swt.

3. Kembangkan empati kepada pasien.


4. Bila diperlukan konsultasi dengan spesialis lain.

5. Komunikasikan dengan keluarga pasien.

6. Tumbuhkan harapan, tetapi jangan memberikan harapan palsu.

7. Bantu bila ia butuh pertolongan.

8. Mengusahakan lingkungan tenang, berbicara dengan suara lembut dan penuh


perhatian, serta tidak tertawa-tawa atau bergurau disekitar pasien

9. Jika memiliki tanggungan hak yang harus pasien penuhi, baik hak Allah Swt
(zakat, puasa, haji, dll) atau hak manusia (hutang, ghibah, dll). Hendaklah
dipenuhi atau wasiat kepada kepada orang yang dapat memenuhi bagi dirinya.
Wasiat wajib atas orang yang mempunyai tanggungan atau hak kepada orang
lain.

Hubungan pasien perawat

Hubungan interpersonal merupakan alat yang ampuh untuk membangun


hubungan perawat-pasien. Mutu hubgan ini dimulai sejak pasien pertama kali
bertemu dengan perawat, kemudian direfleksikan pada tingkat pencapaian
tujuan asuhan keperawatan. Oleh karena itu perawat harus mampu
menggunakan pengetahuan tentang teori-teori komunikasi dan pengembangan
diri sehingga dapat membangun hubungan saling membantu (helping
relationship).

Rogers dalam Stuar & Sundeen (1990), mendefinisikan hubungan saling


membantu, yaitu suatu situasi yang salah satu pihak mempunyai niat untuk
meningkatkan pertumbuhan, pengembangan maturitas, peningkatan fungsi, dan
peningkatan kemampuan koping kehidupan pihak lain.

Hubungan perawat-klien menjadi inti dalam pemberian asuhan


keperawatan, karena keberhasilan penyembuhan dan peningkatan kesehatan
pasien sangat dipengaruhi oleh hubungan perawat-pasien. Terdapat beberapa
konsep dasar tentang hubungan perawat-pasien yang sangat relevan dalam
praktik keperawatan professional, yaitu konsep tentang hubungan empati, dan
caring. (Kozier et al, 1997)

a) Konsep empati

Kemampuan seorang perawat untuk berempati kepada pasien


mempunyai pengaruh besar terhadap hubungan perawat-pasien. Empati berarti
kemampuan untuk masuk ke dalam kehidupan orang lain, sehingga dapat
memersepsikan secara akurat perasaan orang tersebut dan memahami arti
perasaan tersebut bagi yang bersangkutan. Empati menambah suatu dimensi
lain bagi adanya saling pengertian di antara perawat-pasien. Sikap empati dapat
membantu pasien mengerti dan mengeksplorasi perasaannya sehingga dapat
mengatasi masalahnya (Potter & Perry, 1997)

b) Konsep caring

Caring berarti mengandung 3 hal yang tak dapat dipisahkan yaitu


perhatian, tanggung jawab, dan dilakukan dengan ikhlas (Kozier & Erb, 1998).
Ide tentang caring menyatu dalam hubungan membantu. Perasaan bahwa
pasien diperhatikan sebagai individu membuat pasien merasa aman walaupun
dalam keadaan sakit. Sikap perawat yang memrhatikan, mau membantu, dan
menghargai pasien akan membantu mengurangi kecemasan pasien. Sikap
caring juga akan meningkatkan kepercayaan pasien pada perawat.

2.3 Peran perawat

Pasien yang dalam keadaan kritis dan sedang berjuang dengan penyakit-
penyakit terminasi seperti kanker, jantung, dan sebagainya biasanya semua
tenaga kesehatan sibuk dengan selang infus, ECG, selang cateter, selang
oksigen, selang transfusi, dan selang lain yang memberangus tubuh pasien.
Ketika ajal telah dekat dan sakaratul maut hampir tiba perhatian dan ingatan
para perawat adalah pada Resusitator, atau Doparnin atau obat lainnya yang
dianggap Dewa. Karena disamping sudah terbiasa konon perawat itu sudah
terlatih bertindak meskipun ia tahu bahwa akhirnya pasien itu akan meninggal
juga. Yang terpenting bagi mereka adalah telah melaksanakan tugas sesuai
dengan prosedur.

Saat pasien menghadapi keadaan kritis atau menjelang sakaratul maut


hampir tidak ada satupun perawat yang ingat pada kebutuhan spiritual klien.
Padahal mereka sendiri yakin bahwa keperawatan meliputi aspek Bio-Psiko-
Sosio-spiritual, tetapi pada kenyataannya aspek spiritual ini jarang mendapat
perhatian. Padahal klien yang dirawatnya harus meninggal dalam keadaan
Husnul Khotimah (suatu akhir penghidupan yang selamat). Di samping hal
tersebut kita tahu bahwa konsep keperawatan Virginia Handerson menyatakan
bahwa salah satu peran perawat adalah membantu agar klien siap meninggal
dengan tenang.

Agama dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu spiritual nourishment


(gizi ruhani). Seseorang yang dikatakan sehat secara paripurna tidak hanya
cukup gizi makanan tetapi juga gizi rohaninya harus terpenuhi. Menurut hasil
Riset Psycho Spiritual For AIDS Patient, Cancepatients, and for Terminal Illness
Patient, menyatakan bahwa orang yang mengalami penyakit terminal dan
menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis
spiritual, dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien
menjelang ajal perlu mendapat perhatian khusus (Dadang Hawari, 1977, 53).

Penelitian di Amerika Serikat ada sekelompok pasien yang selalu menunda


operasinya sehingga jadwal operasi yang telah dibuat ditunda lagi. Setelah
diselidiki ternyata mereka mengalami ketakutan operasi dan takut mengahadapi
kematian atau tidak bisa bangun lagi, tetapi pada kelompok pasien yang
komitmen agamanya baik, hal tersebut tidak menjadi masalah dan lebih siap
menghadapi kematian.

Pentingnya upaya pemenuhan kebutuhan spiritual bagi pasien terminal


adalah di samping untuk meningkatkan semangat hidup klien yang sudah di
diagnosa harapan sembuh tipis, juga mempersiapkan diri Pasien untuk
menghadapi alam kekal, karena berdasarkan penelitian Kubbler and Ross bahwa
pasien terminal seringkali dihinggapi rasa depresi yang berat, perasaan marah
akibat ketidak berdayaan, dan putus asa. Sedangkan pasien senantiasa berada
di samping perawat dalam menjalani siklus atau fase akhir dari kehidupannya.

Menurut konsep agama Islam, fase akhir tersebut sangat menentukan baik
tidaknya kematian seseorang dalam menuju kehidupan alam kekal dan perawat
sendiri kelak akan diminta pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT.
Karenanya upaya pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di rumah sakit mutlak
diperlukan. Tenaga Kesehatan hendaknya menyakini bahwa sesuai ajaran agama
yang dianutnya menjelang fase akhir dari kehidupan manusia di dunia terdapat
fase sakaratul maut yang banyak digambarkan oleh Rasulullah tentang beratnya
fase tersebut, sehingga Rasulullah senantiasa mengajarkan doa untuk
diringankan dalam sakaratul maut.

Beberapa contoh gambaran sakaratul maut, menurut Syaranie dalam


bukunya Maut dan Dialog Suci menggambarkan tentang sakitnya sakaratul maut
yang dapat terjadi pada pasien terminal, Sesuai firman Allah SWT kepada
Ibrahim AS adalah Seperti panasnya besi dibakar pada kain sutera yang basah,
lalu nyawapun ditarik. Selanjutnya Allah berfirman kepada Nabi Musa, rasanya
seperti burung hidup yang digoreng dalam wajan. Rasanya seperti domba yang
hidup kemudian diikuti oleh penjagal. Rasanya lebih perih pedih dibanding
sayatan pedang, geretan gergaji, dan tusukan benda tajam. Seringan-ringannya
kematian seperti duri dalam kain. Bisakah duri keluar dari sutera tersebut tanpa
robekan. Seperti berada dalam selimut api panas dan seolah-olah bernafas
dalam lubang jarum seakan-akan berada dalam satu pohon yang berduri lalu
ditarik dari ujung kaki sampai keubun-ubun.

Allah SWT memberikan gambaran khusus dalam Quran surat Al- Qiyamah:
berbelit kepayahan demi kepayahan, tindih bertindih kesengsaraan demi
kesengsaraan. Penyesalan dengan penyesalan dan kesakitan demi kesakitan.
(Bey, 1987: 339) Adapun upaya yang dapat dilakukan perawat.

Pertama membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT. Pada
sakaratul maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah
sebagaimana Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem. Jangan sampai
seorang dari kamu mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah,
selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi, Aku ada pada sangka-sangka
hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan sangkaaan yang baik .

Selanjutnya Ibnu Abas berkata. Apabila kamu melihat seseorang


menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada Tuhannya dan akan
berjumpa dengan Tuhannya itu. Selanjutnya Ibnu Masud berkata : Demi Allah
yang tak ada Tuhan selain Dia, seseorang yang berbaik sangka kepada Allah
maka Allah berikan sesuai dengan persangkaannya itu. Hal ini menunjukkan
bahwa kebaikan apapun jua berada ditangannya.

Kedua, mentalkinkan dengan Kalimat Laailahaillallah. Perawat muslim dalam


mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien terminal
menjelang ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang
terakhir.

Wotf, Weitzel, Fruerst memberikan gambaran ciri-ciri pokok klien terminal


yang akan melepaskan nafasnya yang terakhi, yaitu penginderaan dan gerakan
menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada anggota gerak paling
ujung khususnya pada ujung kaki. Meskipun suhu tubuh pasien biasanya tinggi
ia terasa dingin dan lembab mulai pada kaki tangan dan ujung hidung, kulit
nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat. Nadi mulai tak teratur, lemah dan
pucat. Terdengar suara ngorok disertai gejala nafas cyene stokes. Dengan
menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa
nyeri bila ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan
bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang
tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.

Dalam keadaan yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi


kebutuhan fisiknya juga harus memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim
agar diupayakan meninggal dalam keadaan Husnul Khatimah. Perawat
membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan melafalkan
secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist
Riwayat Muslim,Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan
kalimat Laailahaillallah karena sesungguhnya seseoranng yang mengakhiri
ucapannya dengan itu ketika matinya maka itulah bekalnya sesungguhnya
seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka itulah
bekalnya menuju surga . Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata Hindarilah orang
yang mati diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan
Laailahaillahllah, maka sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat
apa yang tidak bisa, kamu lihat .
Ketiga, berbicara yang Baik dan Doa untuk jenazah ketika menutupkan
matanya. Di samping berusaha memberikan sentuhan (Touching) perawat
muslim perlu berkomunikasi terapeutik, antara lain diriwayatkan oleh Imam
Muslim Rasulullah SAW bersabda: Bila kamu datang mengunjungi orang sakit
atau orang mati, hendaklah kami berbicara yang baik karena sesungguhnya
malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan.

Selanjutnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda apabila


kamu menghadiri orang yang meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah
matanya karena sesungguhnya mata itu mengikuti ruh yang keluar dan
berkatalah dengan kata-kata yang baik karena malaikat mengaminkan terhadap
apa yang kamu ucapkan.

Berdasarkan hal diatas perawat harus berupaya memberikan suport


mental agar pasien merasa yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan
yang terbaik buat hambanya, mendoakan dan menutupkan kedua matanya yang
terbuka saat roh terlepas, dari jasadnya.

Peranan perawat yang komprehensif meliputi pemenuhan kebutuhan bio-


psiko-sosio dan spiritual pasien senantiasa mendudukan perawat dalam tugas
mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya sesuai dengan Sabda Rasulullah di
atas bahwa amalan yang terakhir sangat menentukan, sehingga perawat dapat
bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien tetap melakukan yang
terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami


penyakit atau sakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga
sangat dekat dengan proses kematian.

Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi


fisik, psikologis, social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada
tiap individu juga berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang
ditunjukan oleh pasien terminal.

Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan
menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi
peredaan terhadap penderitaan.

3.2 Saran

Semoga dengan aanya makalah ini dapat menambah wawasan kepada


mahasiswa dalam menghadapi pasien yang sedang dying.

Daftarpustaka
http://www.serambionline.or.id/29
http://nurse-smw.blogspot.com/2009/05/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
terminal_08.html

http://kikiyogi.blogspot.com/2009/12/terminal-dan-menjelang-ajal.html

http://keperawatanreligionmentariwardhani.wordpress.com

Bimbingan Sakaratul Maut pada Klien Terminal (Pemenuhan Kebutuhan


Spiritual Klien)
Saat pasien menghadapi keadaan kritis atau menjelang sakaratul, perawat haruslah ingat pada

kebutuhan spiritual klien. Kita tahu bahwa konsep keperawatan Virginia Handerson menyatakan

bahwa salah satu peran perawat adalah membantu agar klien siap meninggal dengan tenang.

Agama dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu spiritual nourishment (gizi ruhani). Seseorang

yang dikatakan sehat secara sempurna tidak hanya cukup gizi makanan tetapi juga gizi rohaninya

harus terpenuhi. Menurut hasil Riset Psycho Spiritual For AIDS Patient, Cancepatients, and for

Terminal Illness Patient, menyatakan bahwa orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang

sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian

sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapat perhatian khusus (Dadang

Hawari, 1977, 53). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan, ada sekelompok pasien yang selalu

menunda operasinya sehingga jadwal operasi yang telah dibuat ditunda lagi. Setelah diselidiki

ternyata mereka mengalami ketakutan operasi dan takut mengahadapi kematian atau tidak bisa

bangun lagi, tetapi pada kelompok pasien yang komitmen agamanya baik, hal tersebut tidak menjadi

masalah dan lebih siap menghadapi kematian.

Pentingnya pemenuhan kebutuhan spiritual bagi pasien terminal, di samping untuk meningkatkan

semangat hidup klien yang sudah di diagnosa harapan sembuh tipis, juga mempersiapkan diri pasien

untuk menghadapi kematian, karena berdasarkan penelitian Kubbler and Ross bahwa pasien terminal

seringkali dihinggapi rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat ketidak berdayaan, dan putus

asa. Sedangkan pasien senantiasa berada di samping perawat dalam menjalani siklus atau fase akhir

dari kehidupannya.
Menurut konsep agama Islam, fase akhir tersebut sangat menentukan baik tidaknya kematian

seseorang dalam menuju kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak akan diminta pertanggung

jawabannya dihadapan Allah SWT. Karenanya upaya pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di rumah

sakit mutlak diperlukan. Tenaga Kesehatan hendaknya menyakini bahwa sesuai ajaran agama yang

dianutnya menjelang fase akhir dari kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul maut yang

banyak digambarkan oleh Rasulullah tentang beratnya fase tersebut, sehingga Rasulullah senantiasa

mengajarkan doa untuk diringankan dalam sakaratul maut.

A. Pengertian Sakaratul Maut

Add
caption
Istilah sakaratul maut berasal dari bahasa arab, yaitu sakarat dan maut.

Sakarat dapat diartikan dengan mabuk sedangkan maut berarti kematian.

Dengan demikian, sakaratul maut berarti orang yang sedang dimabuk dengan

masa-masa kematiannya.

Sakaratul maut merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi

kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal.

Kematian merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan darah

serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan

terhentinya aktivitas otak atau terhentinya fungsi jantung dan paru secara

menetap. Sakartul maut dan kematian merupakan dua istilah yang sulit untuk

dipisahkan, serta merupakan suatu fenomena tersendiri. kematian lebih kearah

suatu proses, sedangkan sakaratul maut merupakan akhir dari hidup.

Mengenai tanda-tanda khusul khotimah atau suul khotimah seseorang

yang sedang sakaratul maut, Usman bin Affan pernah berkata bahwa Nabi

Muhammad bersabda:

Perhatikanlah orang yang hampir mati, seandainya kedua matanya

terbelalak, dahinya berkeringat, dan dua lubang hidungnya bertambah

besar, membuktikan bahwa ia sedang memperoleh kabar gembira, tetapi

jika dia mendengar seperti orang yang sedang mendengkur (ngorok) atau

tercekik, wajahnya pucat, mulutnya bertambah besar, berarti ia telah

mendapat kabar buruk.

Adapun orang-orang mukmin yang sedang sakaratul maut, Nabi Muhammad

telah menggambarkan dengan sabdanya:


Ketika menjelang roh orang mukmin dicabut, maka datanglah malaikat

pencabut nyawa membawa kain sutra yang didalamnya ada minyak

kasturi dan sejambak bunga yang wangi, kemudian roh orang Mukmin itu

pun dicabut dengan lemah lembut seperti mencabut rambut dari adonan

tepung, lalu diserukan kepadanya:

Wahai jiwa yang tenteram kembalillah kepada Tuhan-Mu dalam keadaan

ridho dan diridhoi dan kembalilah kepada rahmat dan kasih sayang Allah.

Gambaran tentang beratnya sakaratul maut dijelaskan dalam Al Qur,an dan

hadist, diantaranya:

Artinya: Kalau sekiranya kamu dapat melihat malaikat mencabut nyawa orang-

orang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata rasakan

olehmu siksa neraka yang membakar (niscaya kamu akan merasa sangat nyeri)

(QS Al Anfal: 50).



Artinya: Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat

kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: Telah diwahyukan kepada saya,

padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata:

Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah. Alangkah

dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada

dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan

tangannya, (sambil berkata): Keluarkanlah nyawamu Di hari ini kamu dibalas

dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan

terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu

menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. (QS. Al Anam :93).

Menurut beberapa hadist:

Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.

(HR Tirmidzi)

Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang

menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat

diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ? (HR

Bukhari)

Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan

kedalam perut seseorang. Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-

kuatnya sehingga ranting itupun membawa semua bagian tubuh yang

menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa. (Kab al-Ahbar,

sahabat Rasulullah saw)


Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa

berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya)

pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai

menangisi diri kalian sendiri. (Imam Ghozali mengutip atsar Al-Hasan)

Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan

menyebar ke seluruh anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang

sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat

nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala

hingga kaki. ( Imam Ghozali)


B. Tanda-Tanda Sakaratul Maut

Ciri-ciri pokok (secara medis) orang yang akan melepaskan nafasnya yang

terakhir (sakaratul maut), adalah sebagai berikut:

penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur

yang dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung

kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan lembab,

kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat.

Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat.

Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes.

Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti

dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat

kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi

mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih

pasrah menerima.
Menurut Dadang Hawari, orang yang mengalami penyakit terminal dan

menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis

spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien

menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus. Sehingga, pasien terminal

biasanya bereaksi menolak, depresi berat, perasaan marah akibat

ketidakberdayaan dan keputusasaan. Oleh sebab itu, peran perawat sangat

dibutuhkan untuk mendampingi pasien yang dapat meningkatkan semangat

hidup klien meskipun harapannya sangat tipis dan dapat mempersiapkan diri

pasien untuk menghadapi kehidupan yang kekal.

C. Peran Perawat dalam Mendampingi Pasien Sakaratul Maut

Karena batapa sakitnya proses sakaratul maut itu, maka perawat muslim

memiliki peran dalam mendampingi pasien muslim dalam proses sakaratul

maut, antara lain sebagai berikut :

1. Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT.


Pada sakaratul maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka

kepada Allah sebagaimana Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem.

Jangan sampai seorang dari kamu mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka

kepada Allah, selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi, Aku ada pada

sangka-sangka hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan

sangkaaan yang baik . Selanjutnya Ibnu Abas berkata, Apabila kamu melihat

seseorang menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada

Tuhannya dan akan berjumpa dengan Tuhannya itu. Selanjutnya Ibnu Masud

berkata : Demi Allah yang tak ada Tuhan selain Dia, seseorang yang berbaik

sangka kepada Allah maka Allah berikan sesuai dengan persangkaannya itu.

Hal ini menunjukkan bahwa kebaikan apapun jua berada ditangannya.

2. Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut

Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan

orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman.

Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan kapas yg telah

diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang

menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan

kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang

mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya

dalam mengucapkan dua kalimat syahadat. (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu

Qudamah).
3. Mengajarkannya atau mengingatkannya untuk mengucapkan kalimat

syahadat yaitu La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.

Perawat muslim dalam mengajarkan atau mengingatkanya kalimah laaillallah

dapat dilakukan pada pasien terminal menjelang ajalnya terutama saat pasien

akan melepaskan nafasnya yang terakhir.

Dalam keadaan yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi

kebutuhan fisiknya juga harus memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim

agar diupayakan meninggal dalam keadaan Husnul Khatimah. Perawat

membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan melafalkan

secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist

Riwayat Muslim.

Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat

Laailahaillallah karena sesungguhnya seseorang yang mengakhiri

ucapannya dengan itu ketika matinya maka itulah bekalnya

sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika

matinya maka itulah bekalnya menuju surga.

Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata Hindarilah orang yang mati diantara

kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka

sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa,

kamu lihat .
4. Menghadapkannya ke arah kiblat

Disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut

kearah kiblat. Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari

hadits Rasulullah Saw. Hanya saja dalam beberapa atsar yang shahih

disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut. Para Ulama

sendiri telah menyebutkan dua cara bagaimana menghadap kiblat:

a. Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak

kakinya dihadapkan kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut

diangkat sedikit agar ia menghadap kearah kiblat.

b. Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut

menghadap ke kiblat. Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini

sebagai tata cara yang paling benar. Seandainya posisi ini menimbulkan

sakit atau sesak, maka biarkanlah orang tersebut berbaring kearah

manapun yang membuatnya selesai.

5. Mendoakannya agar dosanya diampuni dan dimudahkan keluarnya

ruh.
Di samping berusaha memberikan sentuhan perawat muslim perlu

berkomunikasi terapeutik, antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim

Rasulullah SAW bersabda:

Bila kamu datang mengunjungi orang sakit atau orang mati, hendaklah

kami berbicara yang baik karena sesungguhnya malaikat mengaminkan

terhadap apa yang kamu ucapkan. Selanjutnya diriwayatkan oleh Ibnu

Majah Rasulullah bersabda apabila kamu menghadiri orang yang

meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena

sesungguhnya mata itu mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah

dengan kata-kata yang baik karena malaikat mengaminkan terhadap

apa yang kamu ucapkan.

Berdasarkan hal diatas perawat harus berupaya memberikan suport mental

agar pasien merasa yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan yang

terbaik buat hambanya, mendoakan dan menutupkan kedua matanya yang

terbuka saat roh terlepas, dari jasadnya.

D. Perubahan Tubuh Setelah Kematian


a. Rigor mortis (kaku) dapat terjadi sekitar 2-4 jam setelah kematian, karena

adanya kekurangan ATP (Adenosin Trypospat) yang tidak dapat disintesa akibat

kurangnya glikogen dalam tubuh. Proses rigor mortis dimulai dari organ-organ

involuntery, kemudian menjalar pada leher, kepala, tubuh dan bagian

ekstremitas, akan berakhir kurang lebih 96 jam setelah kematian.

b. Algor mortis (dingin), suhu tubuh perlahan-lahan turun 1 derajat celcius setiap

jam sampai mencapai suhu ruangan.

c. Post mortem decompotion, yaitu terjadi livor mortis (biru kehitaman) pada

daerah yang tertekan serta melunaknya jaringan yang dapat menimbulkan

banyak bakteri. Ini disebabkan karena sistem sirkulasi hilang, darah/sel-sel darah

merah telah rusak dan terjadi pelepasan HB.

Anda mungkin juga menyukai