Anda di halaman 1dari 3

Kevin Sihar Maranatha Hutajulu / 072011233108 / Jurnal Individu / Week 12

Realisme: Teori Populer dalam Hubungan Internasional

Hubungan Internasional yang dikategorikan sebagai ilmu sosial memiliki banyak sekali perspektif didalamnya.
Perspektif tersebut membantu para sarjana untuk menganalisis peristiwa internasional yang sedang terjadi di
dunia. Di antara semua perspektif, realisme adalah salah satu teori paling terkenal dalam Hubungan
Internasional. Realisme juga dianggap sebagai teori politik dunia yang dominan sejak awal akademik Hubungan
Internasional (Dunne dan Schmidt, 2014).

Kaum realis menekankan bahwa kendala politik dipaksakan oleh sifat manusia. Sifat manusia tidak berubah
sejak zaman kuno klasik, dan dalam pandangan realis, bahwa alam adalah keegoisan. Keegoisan manusia dapat
dilihat ketika mereka berusaha untuk mempertahankan dan mempertahankan posisi istimewanya (Jackson dan
Sørensen, 2013). Dalam bukunya, Machiavelli menyatakan bahwa semua orang jahat dan mereka akan
melakukan apa saja, bahkan memfitnah orang lain ketika ada kesempatan. Oleh sebab itu, kaum realis melihat
bahwa politik internasional adalah perebutan kekuasaan. Apapun tujuan akhir dari hubungan internasional,
kekuasaan selalu menjadi tujuan langsung (Morgenthau, 1948).

Ada tiga esensi Realisme yang dianut oleh semua realis. Esensi realisme juga dikenal sebagai "The Three Ss". S
pertama merupakan statisme. Statisme adalah istilah yang diberikan untuk gagasan negara sebagai perwakilan
sah dari keinginan kolektif rakyat. Semua realis setuju bahwa negara adalah aktor utama dan kedaulatan adalah
karakteristiknya. Kedaulatan memberi negara otoritas tertinggi untuk membuat dan menegakkan hukum,
meskipun kedaulatan bukanlah sesuatu yang ada secara fisik. Adanya kedaulatan otoritas memberikan
ketenangan bagi masyarakat dalam bernegara, karena individu tidak perlu mengkhawatirkan keamanannya
sendiri karena negara menyediakannya dalam bentuk sistem hukum, perlindungan polisi, dan tindakan paksaan
lainnya. S kedua ialah survival. Bagi realis, survival adalah tujuan utama negara. Survival adalah syarat untuk
mencapai semua tujuan lain yang bervariasi tanpa henti. S ketiga adalah self-help. Self-help adalah prinsip
tindakan dalam sistem anarkis, di mana tidak ada pemerintahan global. Prinsip self-help berkaitan dengan
perbedaan antara tatanan domestik dan internasional. Dalam politik dalam negeri, warga negara tidak harus
mempertahankan diri karena kedaulatan negara memberikan perlindungan bagi mereka (Dunne dan Schmidt,
2014).

Ada beberapa tokoh kunci teori realisme. Niccolo Machiavelli adalah seorang pemikir politik Italia yang
memimpin eksponen klasik realisme sejarah. Thucydides, dengan bukunya The Peloponnesian War adalah akar
dari asumsi dasar realisme. Thomas Hobbes adalah salah satu tokoh realis di abad ketujuh belas. Pemikiran
Hobbes tentang realisme dituangkan dalam buku Leviathan-nya yang menyajikan contoh realisme yang kuat
yang secara kasar memberi bobot yang sama pada egoisme dan anarki. Pada tahun 1939, buku The Twenty
Kevin Sihar Maranatha Hutajulu / 072011233108 / Jurnal Individu / Week 12

Years’ Crisis oleh Edward Hallet Carr diterbitkan. Carr dianggap sebagai tokoh sentral dalam sejarah HI yang
terkenal dengan reaksinya terhadap liberalisme (Dunne dan Schmidt, 2014).

Selanjutnya, realisme menjelaskan hubungan internasional dengan istilah kekuasaan. Oleh karena itu, kaum
realis mengembangkan analisis tentang bagaimana kekuasaan harus didistribusikan dalam sistem internasional,
untuk mencapai perdamaian dan stabilitas dunia. Ide ini dikenal sebagai balance of power. Pada dasarnya
balance of power merupakan mekanisme yang dapat mencegah dominasi suatu negara dalam sistem
internasional. Tujuan utama dari sistem balance of power bukanlah untuk menjaga perdamaian, tetapi lebih
cenderung untuk menjaga keamanan suatu negara. Aliansi memainkan peran penting dalam perimbangan
kekuatan, karena koalisi antar negara dapat menciptakan rasio kekuatan yang relatif sama (Goldstein dan
Pevehouse, 2017).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan realisme, semua manusia memiliki sifat yang
buruk karena natur manusia yang buruk. Oleh karena itu, para realis menyatakan bahwa konflik sangat mungkin
terjadi karena setiap orang ingin mempertahankan posisi istimewanya. Dengan pemikiran seperti ini, kaum
realis memandang bahwa negara dan otoritasnya adalah aktor terpenting dalam sistem dunia, karena
kekuasaannya mengatur dan melindungi rakyat dari kejahatan. Penulis berpendapat bahwa dalam menganalisis
beberapa peristiwa internasional, tidak boleh hanya mengambil satu perspektif karena solusi terbaik dapat
dicapai dengan menganalisis penyebab masalah dalam berbagai perspektif.

Referensi:

Dunne, Tim dan Schmidt, Brian C. 2014. “Realism”. Dalam J. Baylis, S. Smith, dan P. Owens (eds.), The
Globalization of World Politics An Introduction to International Relations, 2nd edition, Oxford.

Goldstein, Joshua S. dan Pevehouse, Jon C. 2017. “International Relations”. Washington, D.C.


Pearson.

Jackson, R. dan George Sørensen. 2013. “Introduction to International Relations”, 5th edition, Oxford Unity
Press.

Morgentheau, Hans J. 1948. Politics among Nations. The Struggle for Power and Peace, New York: Alfred A.
Knopf.
Kevin Sihar Maranatha Hutajulu / 072011233108 / Jurnal Individu / Week 12

Anda mungkin juga menyukai