PENDAHULUAN
1
penduduk dengan umur lebih dari 20 tahun sekitar kurang lebih 74,5 juta
yang menderita hipertensi dengan persentase 90-95% yang tidak diketahui
penyebab dari hipertensi yang dideritanya. Kemudian untuk persentase
prevalensi penderita hipertensi khususnya di Indonesia dengan data pada tahun
2008 yaitu 31,7%. Prevalensi hipertensi tertinggi yang terdapat di Indonesia
pada penderita hipertensi pada tahun 2003 dan 2007 adalah perempuan
dengan hipertensi yang disertai komplikasi atau yang tidak disertai komplikasi,
untuk hipertensi yang disertai komplikasi prevalensi yang tertinggi adalah
hipertensi dengan gagal ginjal kronis (Kemenkes RI,2014).
Gagal ginjal kronis merupakan suatu penyakit yang di tandai dengan
terjadinya kelainan struktural pada ginjal yang dialami lebih dari 3 bulan
dengan disertai dialisis. Pada penyakit gagal ginjal kronis umumnya ditandai
dengan terjadinya penurunan fungsi ginjal secara progresif dalam beberapa
bulan serta beberapa tahun dengan disertai penurunan GFR (Glomerular
Filtration Rate) kurang dari 60mL/min/1,73m 2 selama 3 bulan. Berdasarkan
hasil persentase yang diperoleh untuk penderita gagal ginjal kronis di Indonesia
pada tahun 2013 diperoleh data untuk kelompok dengan usia lebih dari 15
tahun yang telah terdiagnosa gagal ginjal kronis sebesar 0,2% sedangkan
untuk data persentase tahun 2006 untuk penderita gagal ginjal kronis dengan
kelompok usia lebih dari 15 tahun adalah 12,5%. Salah satu penyebab dominan
terjadinya gagal ginjal kronis di Indonesia adalah hipertensi, hal ini telah
dibuktikan dengan persentase yang diperoleh dimana prevalensi persentase
hipertensi-gagal ginjal kronis pada masyarakat berusia diatas 18 tahun yaitu
25,8% sedangkan untuk prevalensi persentase berdasarkan wawancara dengan
diagnosa oleh dokter hanya sebesar 9,4%(Kemenkes RI,2017).
Untuk di Indonesia terutama di Provinsi Jambi kasus pasien hipertensi-
gagal ginjal kronis, umumnya kasus pasien tersebut akan di berikan resep
oleh dokter berupa terapi obat kombinasi yang telah dipertimbangkan dengan
baik potensi obatnya terhadap kasus hipertensi-gagal ginjal kronis. Pemberian
obat yang aman pada penderita hipertensi-gagal ginjal kronis menjadi latar
belakang keberhasilan terapi pada penderita hipertensi-gagal ginjal kronis,
dengan status diagnosa hipertensi-gagal ginjal kronis maka dapat diketahui
adanya penggunaan obat antihipertensim sehingga perlu dilakukan
pemantauan perkembangan pasien hiperteni gagal ginjal kronis terhadap
penggunaan obat di resep. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka perlu
dilakukan evaluasi penggunaan obat antihipertensi terhadap keberhasilan
terapi pada pasien gagal ginjal kronis selama di rawat di instalasi rawat inap
interne RSUD Raden Mattaher Jambi.
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengkajian terhadap pemilihan obat, dosis, cara
pemberian, respon terapi penggunaan antihipertensi pada pasien gagal
ginjal kronis?
2. Bagaimana efektivitas dan efek samping, serta interaksi dari pengobatan
antihipertensi yang diberikan pada pasien hipertensi-gagal ginjal kronis?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui ketepatan pemilihan obat, dosis, cara pemberian
pada pasien hipertensi-gagal ginjal kronis serta respon terapi dari
pengobatan yang diberikan
2. Untuk mengetahui efektivitas dari terapi antihipertensi yang diberikan
dokter pada pasien hipertensi-gagal ginjal kronis.
1.4 Manfaat
1. Memberikan pengetahuan pada penulis tentang penggunaan obat
antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronis khususnya pada
peresepan untuk pasien hipertensi-gagal ginjal kronis di instalasi interne
RSUD Raden Mattaher Jambi.
2. Memberikan masukan dan pendapat kepada pihak farmasi RSUD Raden
Mattaher khususnya pada instalasi interne tentang ketepatan
penggunaan obat antihipertensi pada penderita gagal ginjal kronis.
3
II. METODE PELAKSANAAN
4
III. GAMBARAN UMUM
5
Raden Mattaher menjadi tipe B pendidikan dengan kapasitas tempat tidur
sebanyak 371 berstatus akreditasi paripurna, dengan tanggal berlaku hingga 30
Maret 2021, hal itu seiringan dengan diberlakukannya PERDA No.10 tahun
2001 tentang RS Unit Swadana tersebut.
Berdasarkan perkembangan yang telah dialami oleh RSUD Raden
Mattaher seiring dengan berkembangnya era globalisasi, RSUD Raden Mattaher
telah menyediakan sarana pendidikan berupa tempat praktek langsung
mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa kedokteran, farmasi, perawat,
serta kesehatan lingkungan. Kemudian sejak tanggal 1 Januari 2011 RSUD
Raden Mattaher telah diberlakukan sebagai tempat pengelolaan keuangan
secara Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
B. Visi, Misi, Nilai-nilai Dasar Dan Moto
Visi RSUD Raden Mattaher Jambi
Menjadi rumah sakit pilihan dengan pelayanan kesehatan paripurna dan rumah
sakit pendidikan yang berkualitas.
Misi RSUD Raden Mattaher Jambi
1. Mengembangkan pelayanan kesehatan unggulan dan paripurna serta
memberikan pelayanan kesehatan individu yang berkeadilan sesuai
standar.
2. Mewujudkan kecukupan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
untuk menjamin kepastian pelayanan dan pendidikan kesehatan.
3. Mengembangkan kompetensi dalam sikap, perilaku, keterampilan dan
ilmu pengetahuan seluruh Sumber Daya Manusia secara
berkesinambungan sesuai standar kompetensi nasional dan
internasional.
4. Menyelenggarakan administrasi dan pengelolaan keuangan secara
transparan, akuntabel, dan terintegrasi serta mengembangkan Sistem
Informasi Manajemen Rumah Sakit yang terintegrasi.
5. Menuwujudkan Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher sebagai
Rumah Sakit pendidikan yang terakreditasi melalui penyelenggaraan
pendidikan, pelatihan dan penelitian untuk menghasilkan tenaga
kesehatan yang berkualitas.
Nilai-nilai Dasar RSUD Raden Mattaher Jambi
1. Kejujuran
2. Keterbukaan
3. Kebersamaan
4. Kerendahan hati
5. Kesediaan melayani
6
6. Kerja keras
7. Loyalitas
8. Bertanggung jawab
Motto RSUD Raden Mattaher Jambi
“Kesembuhan anda kebahagiaaan kami”
Visi, Misi, dan Tugas Pokok Instalasi Farmasi
Visi
“pelayanan farmasi yang cepat, tepat, efisien, terkoordinasi dan memuaskan”
Misi
1. Memberikan pelayanan farmasi yang sesuai dengan standar manajemen
dan klinis.
2. Memberikan pelayanan farmasi yang berorientasi pada keselamatan dan
kepuasan pasien.
3. Memberikan pelayanan farmasi yang cepat dengan memperhatikan
ketepatan.
4. Memberikan pelayanan farmasi terintegrasi dengan membangun
koordinasi yang baik sesama petugas farmasi dan atau dengan petugas
kesehatan lainnya.
5. Meningkatkan pelayanan farmasi secara berkesinambungan melalui
peningkatan sumber daya manusia.
Tugas Pokok Instalasi Farmasi
1. Menyelenggarakan, mengindikasikan, mengatur, dan mengawasi seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta
sesuai prosedur dan etik profesi.
2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai (BMHP) guna memaksimalkan efek terapi dan
keamanan serta meminimalkan risiko.
3. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi, dan Informasi (KIE) serta
memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.
4. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan
kefarmasian.
5. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium rumah sakit.
Kegiatan Umum Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi
Kegiatan umum instalasi farmasi RSUD Raden Mattaher merupakan
kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berpedoman pada
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang pelayanan
kefarmasian di rumah sakit.
7
Menurut Permenkes (2016), adapun pelayanan kefarmasian di rumah
sakit diantaranya meliputi;
1. Pengeloalaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai, diantaranya sebagai berikut;
a. Pemilihan, merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk
menentukan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan serta bahan medis
habis sesuai dengan keperluan.
b. Perencanaan kebutuhan, merupakan suatu kegiatan yang digunakan
untuk menentukan jumlah dari sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai yang diperlukan guna mencegah terjadinya
kekosongan sediaan.
c. Pengadaan, merupakan suatu kegiatan yang digunakan untuk
merealisasikan atau mewujudkan suatu perencaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai yang telah di tentukan.
Umumnya pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai berasal dari pembelian, produksi sediaan farmasi, dan
sumbangan/dropping/hibah.
d. Penerimaan, adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menerima
dari pada suatu sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai dengan disertai pengecekan kesesuaian sediaan, jumlah sediaan,
mutu dan kualitas sediaan, serta spesifikasi sediaan yang telah sesuai
dengan persyaratan sediaan farmasi.
e. Penyimpanan, merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mempertahankan kualitas dan mutu, serta keamanan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang telah diterima
sebelum dilakukan pendistribusian.
f. Pendistribusian, adalah suatu kegiatan yang digunakan untuk
menyalurkan dan memberikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai dari tempat penyimpanan kepada pasien
dengan kualitas dan mutu yang terjamin. Untuk pendistribuasian
sediaan farmasi terdapat beberapa cara diantaranya yaitu sistem
persediaan lengkap di ruangan (floor stock), sistem resep perorangan,
sistem unit dosis, serta sistem kombinasi.
g. Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai, merupakan suatu kegiatan untuk memusnahkan dan
menarik sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang sudah tidak memenuhi standar serta spesifikasi sediaan yang baik,
pemusnahan biasanya dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan
8
Makanan (BPOM) atau dilakukan sendiri oleh pihak yang mempunyai
izin edar dengan perizinan dari BPOM.
h. Pengendalian, pengendalian sediaan farmasi umumnya dilakukan oleh
pihak instalasi farmasi, Komite Farmasi Terapi (KFT), dan Tim Farmasi
Terapi (TFT), biasanya pengendalian dilakukan terhadap jenis dan
jumlah pemakaian dan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai.
i. Administrasi, adapun untuk kegiatan administrasi yaitu pencatatan dan
pelaporan, administrasi keuangan, dan administrasi penghapusan.
Administrasi dilakukan secara tertib serta berkesinambungan guna
mempermudah penelusuran kegiatan.
2. Pelayanan Farmasi Klinik, merupakan suatu pelayanan yang umumnya
dilakukan oleh apoteker yang berkaitan dengan masalah terkait penggunaan
obat kepada pasien ataupun keluarga pasien guna meningkatkan efek terapi
serta mengurangi efek samping terkait penggunaan obat tersebut sehingga akan
memberikan kualitas hidup yang terjamin bagi pasien. Pelayanan farmasi klinis
ini sendiri meliputi diantaranya pengkajian dan pelayanan resep; rekonsiliasi
obat; konseling; pemantauan terapi obat; evaluasi penggunaan obat (EPO);
pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD); penelusuran riwayat pengunaan
obat; pelayanan informasi obat (PIO); visite; monitoring efek samping obat
(MESO); serta dispensing sediaan steril.
Berdasarkan peraturan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai serta pelayanan farmasi klinis yang terdapat di
Permenkes 72 tahun 2016, RSUD Raden Mattaher telah melaksanakannya
sesuai dengan peraturan tersebut yaitu pada pengelolaan sediaan farmasi dan
pelayanan farmasi klinis. Pelayanan farmasi klinis di RSUD Raden Mattaher
umumnya dilakukan oleh apoteker di Instalasi farmasi Rumah Sakit (IFRS)
serta juga depo farmasi yang terdapat pada setiap instalasi diantaranya yaitu
depo farmasi Endang (anak dan kebidanan), depo farmasi JTPS (Jantung, Paru,
Syaraf, dan THT), depo farmasi bedah/interne, depo farmasi kelas 1 & 2, depo
farmasi VIP, depo farmasi rawat jalan, depo farmasi IGD( Intalasi Gawat
Darurat), depo farmasi ICU (Intensive Care Unit), depo farmasi OK (Kamar
Operasi) dan OKE (Kamar Operasi Embergency), depo farmasi kemoterapi, depo
farmasi cathlab/JCC (Jambi Cardiac Centre) serta gudang medis. Dimana
pelayanan yang dilakukan oleh apoteker khususnya pada bangsal yaitu
pengkajian dan penerimaan resep, penyiapan sediaan farmasi;alkes;dan BMHP,
penerimaan sediaan, penyimpanan sediaan, serta pendistribusian sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang biasanya di pimpin
9
oleh apoteker penanggung jawab yang juga melakukan pelayanan pemberian
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) pada pasien ataupun keluarga pasien
dalam bentuk visite guna memantau keberhasilan terhadap terapi obat yang
diberikan.
Direktur Utama
Direktur
Pengembangan SDM Direktur Direktur Umum dan
dan SAPPRAS Pelayanan Keuangan
10
IV.PELAKSANAAN MAGANG
4.1 Hasil
Berdasarkan dari data rekam medik pasien maka dapat diperoleh hasil
sebagai berikut ;
Tabel. 1 Profil Penggunaan Obat
No Tanggal/Ruang Jenis Obat Indikasi Terapi Jumlah Jumlah
pemberian pemberian
perhari di resep
11
Aqua Pro Injeksi pelarut - 2
12
12 13 14 15 16 17
2 Amlodipine 10 - - - - 1x1 -
mg tab
3 Candesartan 8 - - - - 1x1 -
mg tab
4 Candesartan 16 - - - - - 1x1
mg tab
13
mg/dl
14
4.2 Pembahasan
Gagal ginjal kronis merupakan salah satu penyakit yang di tandai
dengan terjadinya penurunan fungsional organ ginjal yang dialami lebih dari 3
bulan, adapun kelainan yang dapat dialami pada pasien gagal ginjal berupa
albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal,
riwayat transplantasi ginjal dan disertai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus. Dengan penyebab pada pasien gagal ginjal kronis bersifat
ireversibel dan multifaktorial, dimana mekanisme terjadinya gagal ginjal kronis
yaitu di awali dengan adanya cedera jaringan. Adapun luka atau cedera pada
jaringan ginjal akan menyebabkan terjadinya suatu adaptasi berupa hipertrofi
pada sisa jaringan ginjal normal dan akan mengalami hiperfiltrasi. Proses
adaptasi akan bersifat sementara yang kemudian akan mengalami roses
maladaptasi yaitu sklerosis nefron yang masih tersisa pada ginjal. Di keadaan
awal gagal ginjal kronis akan mengalami kehilangan daya cadang ginjal dengan
basal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih normal atau dapat meningkat dan
kemudian seiring waktu akan mengalami penurunan fungsi nefron yang bersifat
progresif. Penurunan fungsi ginjal secara progresif dapat ditandai dengan
terjadinya penurunan ureum darah kurang dari 150 mg/dl, konsentrasi pada
ureum darah adalah indikator adanya retensi sisa metabolisme protein di dalam
tubuh. Secara umum gambaran klinis pada pasien gagal ginjal kronis akan
terlihat nyata bila ureum darah lebih dari 200 mg/dl. Dengan adanya uremia
akan mengakibatkan gangguan berupa gangguan cairan dan
elektrolit,neuromuskular, kardiovaskular, paru, kulit, gastrointestinal,
metabolik endokrin, gangguan imunologi dan hematologi. Dengan adanya gagal
ginjal kronis yang di alami oleh pasien akan mengakibatkan faktor resiko
komplikasi dengan penyakit lainnya yaitu salah satunya hipertensi hal ini
dikarenakan adanya gangguan keseimbangan asam-basa atau elektrolit
sehingga menyebabkan terjadinya kegagalan pengontrolan volume dan tekanan
darah (Aisara etal, 2018).
Selain itu gagal ginjal kronik juga di tandai apabila Laju Filtrasi
Glomeruler (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3 bulan atau lebih
(Pongsibidang, 2016).
Hipertensi sendiri merupakan penyakit yang yang ditandai dengan
terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik lebih dari 140/90
mmhg dengan selang waktu pengukuran 5 menit dalam 2 kali pengukuran
dengan keadaan istirahat pada saat pengukuran (Kemenkes RI, 2014).
Keadaan hipertensi yang merupakan akibat komplikasi dari pasien gagal
ginjal kronis akan memperburuk keadaan dan akan mempercepat terjadinya
15
kerusakan sehingga meningkatkan mortalitas pasien gaga ginjal kronis.
Umumnya untuk tekanan darah pada pasien gagal ginjal kronis adalah kurang
dari 130/80 mmHg, hal ini dikarenakan keadaan yang tidak terkontrol dari
hipertensi pada pasien gagal ginjal kronis akan mengakibatkan komplikasi
kardiovaskular sehingga akan meningkatkan tingkat morbiditas dan mortilitas
pasien gagal ginjal kronis (Supadmi,2011).
Untuk resiko komplikasi hipertensi dengan gagal ginjal, dimana
hipertensi yang tidak terkontrol dalam jangka waktu panjang dapat
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal kronis. Hal itu dikarenakan pada
hipertensi akan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah pada
pembuluh darah di ginjal sehingga pembuluh darah dalam ginjal akan
mengerut atau tertekan dan aliran zat-zat nutrisi menuju ke ginjal akan
berkurang menyebabkan fungsi sel-sel ginjal akan menurun yang apabila
dalam jangka waktu panjang akan mengalami kegagalan ginjal hingga gagal
ginjal kronis (Pongsibidang, 2016).
Etiologi terjadinya komplikasi gagal ginjal-hipertensi, dimana hipertensi
dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal. Gagal ginjal terjadi dengan adanya
kerusakan progresif karena tingginya tekanan pada pembuluh darah kapiler
glomerulus sehingga mengakibatkan kerusakan pada glomerulus, kemudian
darah akan mengalir ke bagian unit fungsional ginjal lainnya dan neuron akan
terganggu. Dengan rusaknya glomerulus protein juga akan keluar bersama urin
dan akan menyebabkan tekanan osmotik cairan plasma berkurang dan terjadi
udem. Dalam mengatasi hal itu ginjal akan berperan dalam mengendalikan
tekanan berupa jika tekanan meningkat, maka ginjal akan banyak
mengeluarkan garam serta air dan membuat pengurangan volume darah
sehingga tekanan darah kembali normal, sedagkan apabila tekanan menurun
maka ginjal akan bertindak sebaliknya. Kemudian ginjal juga dapat
meningkatkan tekanan darah dengan menstimulasi enzim renin dalam memicu
pembentukan hormon angiotensin dan memicu pelepasan hormon aldosteron
(Loho et al, 2016).
Berdasarkan hubungan komplikasi hipertensi dengan gagal ginjal kronis
maka pada pemberian terapi farmakologi untuk pasien gagal ginjal kronis akan
terdiri dari obat hipertensi, obat untuk memperingan keadaan gagal ginjal
kronis, dan obat suplemen lainnya, dengan berpedoman pada rekam medis
pasien sehingga akan mengetahui perkembangan pasien gagal ginjal kronis
trhadap pemberian lini pertama obat antihipertensi yang diresepkan. Hal ini
dikarenakan mengingat keadaan ginjal yang telah mengalami penurunan
fungsional sehingga diperlukan pemberian obat sesuai yang tidak bersifat
16
memberatkan fungsi ginjal serta pemilihan yang tepat khususnya obat
antihipertensi yang sesuai akan menentukan keberhasilan terapi pada pasien
tersebut.
Kemudian berdasarkan kasus dari komplikasi hipertensi dan gagal ginjal
kronis yang dapat ditemukan di lapangan yaitu di RSUD Raden Mattaher
Jambi, diagnosa pasien yang sesuai dengan nomor Rekam Medik 922192 telah
mendapatkan penanganan khusus terhadap penyakitnya berupa perawatan
inap dan pemberian terapi farmakologi dari dokter yang bersangkutan, dari data
rekam medik diketahui bahwa pasien memiliki diagnosa utama yaitu CKD
(Chronic Kidney Disease) stage V dan diagnosa sekunder berupa hipertensi,
anemia penyakit ginjal, hiperurisemia, dan bronchopneumonia dengan
anamnesa yang dirasakannya saat pertama masuk ke rumah sakit berupa
sesak nafas, mual, dan muntah. Selain itu pasien juga melakukan HD sebanyak
2 kali dalam seminggu.
17
menurunkan kadar asam lambung, CaCo 3 atau biasa disebut calos merupakan
suplemen yang berperan untuk mencegah terjadinya defisiensi calcium,
ceftriaxone berperan sebagai antibiotik untuk mencegah adanya infeksi yang
beresiko dapat memperburuk keadaan pasien, dan omeprazole obat yang
digunakan sebagai anti tukak lambung hal ini dikarenakan efek samping dari
penggunaan obat kardiovaskuler yang dapat menyebabkan gangguan saluran
pencernaan.
3. Pemilihan Obat Antihipertensi
Berdasarkan tabel 2 dari data rekam medik pasien yang diperoleh
diketahui pemilihan obat antihipertensi yang diberikan dari mulai pasien tiba di
IGD hingga ke bangsal rawat inap adalah antihipertensi golongan CCB (Calcium
Channel Blocker atau penghambat kanal kalsium) yang menjadi pengobatan lini
pertama yaitu amlodipin, kemudian candesartan golongan Angiotensin II
Receptor Blocker (ARB), dan clonidine.
Penggunaan obat antihipertensi yang menjadi lini pertama pada pasien
komplikasi hipertensi dan gagal ginjal kronis adalah amlodipin terutama pada
pasien yang telah menjalani terapi cuci darah, hal ini di karenakan prinsip
pemberian obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronis hemodialisis
adalah obat yang cocok digunakan dan efektif dengan pertimbangan penyakit
pasien kecuali obat diuretik yang tidak akan efektif jika fungsi renal sudah tidak
berfungsi lagi, selain itu juga telah terdapat pembuktian penelitian penggunaan
amlodipin yang dapat menurunkan mortalitas pada pasien komplikasi
hipertensi dan gagal ginjal kronis hingga 21% (Supadmi,2011).
Kemudian pemilihan terapi obat antihipertensi yang digunakan adalah
dari golongan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) candesartan. Penggunaan
ARB pada pasien komplikasi hipertensi dan gagal ginjal kronis dapat
memberikan efek terapi yang baik hal ini dikarenakan ARB bersifat
renoprotektif (melindungi ginjal), kemudian juga berperan dalam mengatasi
proteinuria. Sehingga selain berperan sebagai antihipertensi obat golongan ARB
juga berperan dalam memelihara fungsi ginjal (Supadmi,2011).
Kemudian untuk obat yang berperan sebagai antihipertensi lainnya yaitu
clonidine yang bekerja pada saraf pada reseptor alpha 2 agonist yang dapat
mengatur dan mengendalikan tekanan darah dengan melebarkan pembuluh
darah atau vasodilatasi. Pada pemberian obat antihipertensi ini terdapat
pemberian obat antihipertensi secara tunggal dan kombinasi, pada penggunaan
antihipertensi kombinasi dari golongan yang berbeda umumnya akan
memberikan terapi yang lebih efekti hal ini dikarenakan kedua obat
antihipertensi tersebut akan sama-sama menurunkan tekanan darah pada
18
tempat reseptor yang berbeda. Dan pada resep yang diberikan untuk
penanganan pasien, pasien diberi terapi tunggal pada antihipertensi berupa
amlodipine dengan dosis yang paling kecil yaitu 5 mg pada resep di IGD dan
resep pertama di bangsal interne. Kemudian pada pemberian resep kedua di
bangsal interne pemberian terapi antihipertensi langsung kombinasi berupa
amlodipin dosis 10 mg dan candesartan dengan dosis 8 mg, dan pada resep
selanjutnya terdapat perubahan kombinasi antihipertensi yaitu candesartan 16
mg dan clonidine 15 mg. Diketahui terdapat peningkatan dosis penggunaan
antihipertensi pada pemberian resep secara berkala untuk meningkatkan
efektivitas antihipertensi dengan memantau perkembangan pasien terhadap
terapi yang diberikan dari data rekam medik pasien.
Pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis dan komplikasi dengan
hipertensi perlu pemberian terapi antihipertensi dengan tujuan terapetiknya
untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal dan mencegah terjadinya
kematian sehingga perlu manajemen antihipertensi secara kombinasi dan
bersifat agresif untuk dapat mencapai tekanan darah kurang dari 130/80
mmHg, sehingga berdasarkan hal tesebut pemberian manajemen antihipertensi
golongan ACEI atau ARB adalah yang paling baik karena bersifat renoprotektif
dan aman bagi pasien selain itu ACEI dan ARB telah menunjukkan efek yang
baik pada penderita hipertensi dengan komplikasi ginjal diabetik maupun
nondiabetik (US Departmen Of Health And Human Service,2003).
Jika dibandingkan dengan teori yang di paparkan oleh JNC 7 maka
diketahui pemberian lini pertama obat antihipertensi berupa amlodipin (ARB)
pada pasien komplikasi hipertensi-gagal ginjal kronis telah sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam pedoman tersebut, sedangkan untuk ACEI tidak
diberikan karena efek samping dominan dari penggunaan golongan ACEI
memicu batuk sehingga dapat memperburuk keadaan dari pasien.
Selain itu ARB mempunyai kerja yang menyerupai ACEI yaitu sama-
sama sebagai pemblocker angiotensin akan tetapi keunggulan dari ARB ini
sendiri tidak menyebabkan terjadinya anafilaksis efek samping seperti ACEI
yaitu dominan berupa batuk (Supadmi,2011).
19
sebanyak 1 kali dalam sehari kemudian untuk clonidine diberikan sebanyak 3
kali dalam sehari.
Sedangkan menurut US Departmen Of Health And Human Service
(2003), adapun dosis dan frekuensi pemberian obat antihipertensi yang tepat
adalah sebagai berikut ;
Tabel 6. Dosis Dan Frekuensi Pemberian Obat Antihipertensi Menurut JNC 7
No Kelas Terapi Obat Dosis Umum Frekuensi
Perhari (mg/hari) Pemberian
Perhari
2 ARB Candesartan 8 - 32 1
20
untuk meningkatkan kefektivitasannya. Kecuali pada pemberian obat clonidine
yang bekerja pada resetor alpha 2 agonis pada sistem saraf pusat dan
menyebabkan terjadinya vasodilatasi atau menstimulas pelebaran pembuluh
darah.
21
diberikan pada resep pasien yaitu amlodipin 5 mg dan dari hasil tanggal 13 Juli
tekanan darah pasien yaitu 160/70 mmHg yang artinya tekanan darah pasien
masih sangat tinggi dengan komplikasi CKD yang dideritanya. Sebelumnya
telah diketahui bahwa amlodipin adalah antihipertensi golongan CCB yang
paling banyak digunakan untuk penderita komplikasi hipertensi-CKD karena
tidak atau jarang terdialisis sehingga dapat bekerja secara efektiv untuk
menurunkan tekanan darah pasien. Akan tetapi pada penderita sebelumnya
telah mengalami gejala berupa mual, muntah dan lemas serta kondisi badan
yang tidak enak hal itu bisa menjadi pemicu tekanan darah yang masih tinggi
pada penderita dikarenakan kondisi fisik yang tidak cukup baik. Kemudian
pada tanggal 13 Juli pasien kembali diresepkan antihipertensi tunggal berupa
amlodipin 5 mg untuk resep 3 hari kedepan dan dari hasil menunjukkan
tekanan darah pasien tanggal 14 Juli mengalami kenaikan yaitu 180/90 mmHg,
kemudian pada tanggal 14 Juli 2019 pukul 06.00 WIB tekanan darah pasien
kembali turun menjadi 160/70 mmHg sampai pada tanggal 15 Juli pukul 13.30
WIB tekanan darah pasien kembali meningkat secara signifikan yaitu 190/130
mmHg berdasarkan data pemantauan assesmen pasien diketahui pemicu
terjadinya peningkatan secara signifikan pada tekanan darah pasien hal ini
dikarenakan pasien mengalami sesak nafas karena mengidap bronkospasme
kemudian pasien juga akan mengalami dialisis (HD) sehingga memicu tekanan
darah meningkat karena kondisi ginjalnya yang semakin memburuk. Penyebab
tidak turunnya tekanan darah pasien bukan karena ketidak tepatan terapi
antihipertensi yang diberikan tapi dapat berasal dari pemicu kondisi fisik pasien
yang tidak baik. Umumnya amlodipin adalah antihipertensi yang harus
dimonitoring penggunaannya oleh dokter untuk hipertensi-CKD sebab sulit
didialisis sehingga pada penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan
terjadinya hipotensi.
Amlodipin merupakan obat antihipertensi yang mekanisme kerjanya
berupa penghambatan pada kanal calsium pada otot polos miokardium.
Diketahui bahwa calsium dibutuhkan dalam kontraksi jantung sehingga apabila
calsium di hambat pada canal kalsium tipe L maka akan mengakibatkan
jantung akan menurun dalam berkontraksi sehingga akan mengakibatkan
penurunan tekanan darah dengan menurunkan cardiac output atau
menurunkan luaran jantung sehingga apabila cardiac uotput menurun, maka
cardiac filling pun akan mengalami penurunan (Supadmi,2011).
Berdasarkan penurunan tekanan darah yang cenderung sulit pada
pasien komplikasi hipertensi-CKD kemudian pada peresepan berikutnya pada
tanggal 16 Juli pemberian obat antihipertensi diberikan berupa amlodipin
22
dengan dosis 10 mg dengan peningkatan dosis yang diberikan diharapkan
tekanan darah pasien dapat turun dan konstan yang dikombinasi dengan
candesartan 8 mg dengan aturan penggunaannya masing-masing sekali sehari
dengan jeda waktu tertentu. Dengan pemberian obat antihipertensi kombinasi
nantinya obat tersebut akan bekerja pada reseptornya masing-masing dimana
amlodipin dengan menghambat canal calsium sedangkan candesartan akan
menghambat atau memblocker angiotensin berrdasarkan tabel respon pasien
diketahui tanggal 16 Juli tekanan darah nya menurun menjadi 180/90 mmHg
dan pada tanggal 17 Juli tekanan darah pasien kembali ke tekanan darah awal
yaitu 160/70 mmHg yang artinya terdapat keefektivan pada pemberian obat
antihipertensi kombinasi pada pasien hal ini dikarenakan peningkatan
pemberian amlodipin 10 mg yang dikombinasi dengan candesartan 8 mg bekerja
secara sinergis. Jika pada amlodipin bekerja dengan menghambat canal calsium
maka candesartan umumnya bekerja dngan memblocker pengubahan renin
menjadi angiotensin yang cara kerjanya hampir menyerupai antihipertensi
golongan ACE Inhibitor tetapi dengan efek samping yang tidak sama seperti
obat ACE Inhibitor.
Obat antihipertensi golongan ARB adalah obat yang direkomendasikan
untuk pasien komplikasi hipertensi-CKD hal ini dikarenakan ARB bekerja
dengan menghambat pengubahan renin menjadi angiotensin yang prinsip
kerjanya sama seperti antihipertensi ACEI tetapi tidak memiliki efek samping
berupa anafilaksis ataupun efek sampeing seperti ACE. Kemudian sama halnya
dengan amlodipin obat antihipertensi golongan ARB juga jarang terdialisis
sehingga konsentrasinya di darah masih cukup untuk dapat bekerja secara
efektiv dalam menurunkan serta mengendalikan tekanan darah pasien
(Supadmi,2011).
Kemudian pada tanggal 17 Juli rejimen pemberian obat antihipertens
kembali di ubah dengan mengubah amlodipin dengan clonidine. Dimana
clonidine merupakan obat antihipertensi yang bekerja pada reseptor alpha 2
secara agonist di sistem saraf pusat sehingga berperan sebagai vasodilatasi atau
melebarkan pembuluh darah.
Pemberian obat antihipertensi lainnya seperti clonidine hal ini bertujuan
untuk mengendalikan tekanan darah pasien yang cenderung selalu berubah-
ubah karena kondisi renal pasien yang sudah tidak dalam kondisi yang baik
lagi (Prasetya et al,2007).
Kemudian diketahui pada tanggal 17 Juli tekanan darah pasien kembali
ke 160/70 mmHg. Diketahui dari hasil pemantauan assesmen tekanan darah
yang diderita pasien sulit untuk turun menjadi <130/80 mmHg hal ini
23
dikarenakan kondisi gagal ginjal yang di deritanya. Umumnya respon yang
ditunjukkkan penderita dari rejimen antihipertensi yang digunakan
memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada setiap harinya selain karena
kondisi pasien, hal ini juga disebabkan karena terapi hemodialisis yang
dilakukan pasien yang memiliki efek samping terhadap perubahan tekanan
darah. Selain itu kondisi psikis yang di alami pasien seperti stress yang dapat
menjadi pemicu kesulitan dalam penurunan tekanan darah pasien.
Penyebab meningkatnya tekanan darah pada pasien tersebut di
karenakan adannya faktor eksternal seperti stres yang dapat mengakibatkan
stimulasi pada saraf simpatik sehingga mengakibatkan peningkatan curah
jantung, tahanan perifer serta frekuensi darah dan berakibat pada peningkatan
tekanan darah. Adapun tipe stress diantaranya nyeri, takut, dan ansietas
(Potter,2005).
Berdasarkan literatur tersebut jika dibandingkan dengan anamnesa
pasien banyak mengalami keluhan di antaranya kondisi yang tidak baik, serta
mengalami nyeri dan terlebih pasien harus menjalani terapi dialisis sebanyak 2
kali dalam seminggu yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi keadaan
psikis pasien dan berakibat pada tekanan darahnya. Selain itu faktor eksternal
lainnya berdasarkan dari data rekam medik pasien juga mengalami gangguan
pada sistem pernafasan berupa bronkopneumonia.
Bronkopneumonia merupakan suatu keadaan dimana terjadinya infeksi
akut pada paru-paru khususnya pada bagian lobulus paru-paru yaitu mulai
dari parenkim sampai perbatasan bronkus yang dapat disebabkan karena
adanya bakteri, virus, jamur, ataupun benda asing yang masuk ke dalam paru-
paru (Gass, 2013).
Kemudian kecenderungan dalam ketidak pastian tekanan darah berupa
naik dan turun yang dialami pasien hipertensi-CKD juga dapat berasal dari
hemodialisis yang di jalani yang dapat menyebabkan terjadinya resiko lain pada
pasien. Hal ini dikarenakan apabila terjadi fluktuasi tekanan darah pada pasien
hemodialisis maka menandakan adanya kegagalan dalam toleransi hemodialisis
serta terjadinya kegagalan jantung dalam mempertahankan jumlah curah
jantung(Supadmi,2011).
Sehingga respon yang ditunjukkan pasien berdasarkan pengukuran
tekanan darah yang dilakukannya pada pemantauan assesmen tidak mutlak
kegagalan dalam pemberian obat antihipertensi melainkan juga dapat
dikarenakan kondisi ginjal pasien, kondisi psikis pasien, serta terapi
hemodialisa yang dijalani.
24
7. Evaluasi Hasil Laboratorium Kimia Darah Pasien Dari Penggunaan Obat
Antihipertensi
Pada data rekam medik pasien diketahui bahwa pemberian terapi
antihipertensi yang diberikan pada penderita gagal ginjal kronis adalah
amlodipin, candesartan, clonidin, dan dari penggunaan tersebut dilakukan
pemeriksaan TTV setiap harinya dan diperoleh lah data laboratorium pasien.
Dari tabel 5 diketahui data laboratorium cek kimia darah pasien
dilakukan pertama kali pada tanggal 11 Juli 2019 dan dari hasil diketahui
bahwa kadar kreatinin dan urea pasien sangat tinggi dari harga normalnya,
yang artinya memang terdapat kelainan pada fungsi ginjal pasien dikarenakan
ginjal sudah tidak bisa menyaring kreatinin dan urea sehingga keduanya
dikeluarkan dari tubuh di atas kadar normal.
Umumnya peningkatan kadar ureum ataupun kreatinin pada darah
berhubungan dengan adanya penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) yaitu
parameter untuk mengukur persentase fungsi ginjal dari kemampuan
memfiltrasi atau menyaring nutrisi dan urea yang terdapat di darah melalui
ginjal dalam mililiter per menit. Untuk kriteria persentase LFG sendiri
diantaranya yaitu LFG sebesar 60% pada pasien dengan kadar tersebut
biasanya belum mengalami keluhan apapun tetapi pada hasil laboratoriumnya
telah menunjukkan adanya peningkatan kadar kreatinin dan urea, kemudian
LFG sebesar 30% pada pasien dengan persentase LFG tersebut akan mulai
mengalami keluhan berupa gangguan pencernaan seperti mual, serta adanya
gangguan tidur berupa nokturia, nafsu makan menurun, berat badan menurun
dengan hasil laboratoriumnya peningkatan kadar kreatinin dan ureum.
Selanjutnya dengan LFG kurang dari 30 % akan menunjukkan adanya
peningkatan kadar kreatinin dan ureum yang signifikan dan nyata dan akan
menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal yang biasanya disertai dengan
gejala mual dan komplikasi peninkatan tekanan darah, dan untuk LFG 15%
akan mengalami transplantasi ginjal karena ginjal sudah tidak berfungsi lagi
dan melakukan dialisis. Kemudian untuk LFG juga dikriteriakan berdasarkan
keadaannya dimana untuk LFG sedang (30-59 ml/menit) akan mengalami
komplikasi berupa hiperfosfatemia, hipokalcemia, anemia, hiperparatiroid,
hipertensi, dan hiperhomosistinemia. LFG berat (15-29 ml/menit) akan
mengalami gejala berupa malnutrisi, hiperkalemia, dislipidemia, asidosis
metabolic, sedangkan untuk LFG <15 ml/ menit akan mengakibatkan
terjadinya uremia dan gagal ginjal (Loho et al,2016).
Jika dibandingkan antara teori tersebut dengan hasil laboratorium
pasien maka telah diketahui bahwa pasien telah mengalami penurunan LFG
25
yang berat yaitu <15 ml/menit mengingat dengan diagnosanya berupa CKD
stage V dengan komplikasi hipertensi, kemudian kadar ureum dan kreatinin
pasien berdasarkan hasil yang terdapat di dalam tabel kadar mengalami
fluktuasi (naik dan turun), pemeriksaan pertama pasien sebanyak 2 kali dan
hasilnya pada kreatinin dan urea nya mengalami peningkatan yang signifikan
dari kadar normalnya yaitu untuk kreatinin sebanyak 23,82 dan 25,56 mg/dl
pada 2 kali pengukuran di hari yang berbeda dan untuk ureum pasien yaitu
276 dan 261,5 mg/dl pada 2 kali pengukuran di hari yang berbeda, pada
pemeriksaan laboratorium pasien yang dilakukan pada tanggal 11-12 Juli 2019
tidak dapat diketahui secara pasti terapi apa yang diberikan sehingga tidak
mengetahui pengaruh obat khususnya antihipertensi pada kadar ureum dan
kreatinin pasien. Kemudian selanjutnya pasien di rujuk ke Rumah Sakit Raden
Mattaher Jambi dan di ketahui untuk terapi yang diberikan pertama kali
antihipertensinya adalah amlodipin 5 mg dan dari hasil pengukuran selanjutnya
diketahui kreatinin dan ureum telah sedikit menurun akan tetapi pasien
mengalami hiperkalemia.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa amlodipin
obat antihipertensi yang dapat menurunkan kadar kreatinin secara signifikan
selama 8 minggu terapi, selain itu dari terapi antihipertensi yang diberikan pada
pasien gagal ginjal yang komplikasi dengan hipertensi, amlodipin lebih efektif
dalam menurunkan kreatinin dan menjaga fungsi renal dibandingkan dengan
golongan ACEI. Kemudian penurunan proteinuria yang dipengaruhi amlodipin
lebih baik dibandingkan dengan obat nifedipin dalam menjaga fungsi renal
walaupun ketiganya memiliki efektivitas sebagai antihipertensi yang kuat
(Raman, 1999).
Kemudian pada penelitian lainnya telah mengkonfirmasi bahwa
amlodipin dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi tanpa
memberikan efek berupa takikardia. Selain itu amlodipin juga dapat
memberikan efek berupa hemodinamik ginjal karena amlodipin merupakan obat
antihipertensi yang bekeja dengan menyekat kanal kalsium sehingga dapat
meningkatkan ekskresi natrium urin, meningkatkan sekresi renin, dan
menurunkan sintesis protaglandin (Licata, 1993).
Kemudian untuk amlodipin ataupun obat antihipertensi golongan CCB
lainnya bekerja dengan menghambat kanal kalsium yang merupakan perantara
proses patologik ginjal sehingga dengan begitu amlodipin dapat memberikan
perlindungan terhadap renal terutama pada kasus seperti iskemia akibat
transplantai ginjal. Selain itu obat golongan CCB dapat menurunkan
26
proteinuria dengan memberi efek antihipertensi yang konsisten selama 24 jam
dengan pemberian dosis tunggal (Widiana dan Sja’bani, 1995).
Berdasarkan teori tersebut dapat diketahui bahwa amlodipin dapat
bekerja sebagai antihipertensi dengan menjaga fungsi renal berupa penurunan
proteinuria akibat dari kerjanya yaitu menghambat kanal kalsium sehingga
diketahui bahwa penurunan kadar ureum yaitu sebesar 237 mg/dl dikarenakan
terapi amlodipin 5 mg yang diberikan dalam dosis tunggal, akan tetapi pada
kadar kreatinin ternyata mengalami peningkatan yaitu sebesar 26,9 mg/dl hal
ini dapat dikarenakan ketidakseimbangan fungsi ginjal selain itu pada terapi
antihipertensi yang diberikan adalah terapi tunggal dengan dosis terendah dan
dalam jangka waktu terapi yang masih pendek sehingga obat tersebut belum
bekerja secara maksimal dalam menurunkan kreatininnya hal ini dikarenakan,
menurut teori untuk melihat adanya penurunan kadar kreatinin pada pasien
komplikasi hipertensi gagal ginjal memerlukan waktu sedikitnya selama 8
minggu. Kemudian dari tabel juga dapat diketahui terjadinya keadaan abnormal
pasien berupa peningkatan kadar kalium pada pasien.
Hiperkalemia merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
kalium di dalam darah pasien dengan kadar kalium lebih dari 6,5 mEq/L (6,5
mmol/L) atau kurang dari 6,5 mEq/L akibat adanya kelainan pada fungsi
ginjal. Hiperkalemia biasanya dapat terjadi pada pasien selama periode antar
hemodialisis dan apabila terjadi hiperkalemia secara berkepanjangan akan
menyebabkan terjadinya kelainan pada detak jantung dan berakibat gagal
jantung (Haryanti dan Nisa, 2015).
Kemudian pada tanggal 15 Juli pasien kembali melakukan pemeriksaan
kimia darah dan diperoleh nilai ureum sebesar 295 mg/dl dan kreatinin 25,6
mg/dl angka tersebut menunjukkan bahwa ureum mengalami peningkatan
sedangkan kreatinin mengalami penurunan dibandingkan dengan hasil
pengukuran sebelumnya hal ini dikarenakan paa tanggal tersebut pasien telah
diberikan terapi amlodipine selama 4 hari dan pasien telah menunjukkan
respon berupa penurunan kadar kreatinin, terjadinya peningkatan kadar ureum
pasien hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan fungsi ginjal sehingga
ginjal tidak dapat mempertahankan kadar ureum dan kreatininnya. Pada hasil
laboratorium juga menunjukkan adanya peningkatan asam urat pada pasien
sebesar 8,9 mg/dl.
Peningkatan kadar asam urat dapat disebabkan karena CKD pasien hal
ini disebabkan ginjal merupakan organ yang berfungsi dalam mengeluarkan
semua zat sisa metabolisme dalam tubuh sehingga ginjal dapat mengeluarkan
toksik dan menyeimbangkan cairan di dalam tubuh. Adapun untuk ginjal
27
bekerja dengan melakukan filtrasi di bagian glomerulus, reabsorbsi di tubulus,
dan ekskresi di tubulus kolektivus. Pada penderita CKD akan terjadi penurunan
fungsi dan massa ginjal yang akan berakibat pada proses fisiologinya dalam
mengeluarkan zat toksik dan zat sisa hasil metabolik lainnya termasuk asam
urat. Sehingga peningkatan kadar asam urat pada pasien CKD merupakan
faktor resiko progresivitas CKD, kecuali diberikannya terapi anti asam urat
pada pasien CKD yang akan menyebabkan terjadinya kestabilan pada kadar
asam urat dalam rentang yang normal (Mantiri et al, 2017).
Berdasarkan teori tersebut diketahui bahwa ketidakseimbangan fungsi
ginjal pasien menyebabkan terjadinya penurunan dalam fungi ekskresi zat sisa
hasil metabolik termasuk asam urat, terlebih sebelumnya dari data rekam
medik pasien belum mendapatkan terapi anti gout sehingga terjadinya
peningkatan asam urat merupakan resiko yang dapat terjadi pada pasien CKD
yang dapat menjadi acuan bahwa keadaan fungsi ginjal semakin tidak baik.
Selanjutnya berdasarkan hasil laboratorium pasien pada tanggal 16 Juli
2019 kadar ureum dan kreatininnya adalah 151 mg/dl dan 15,6 mg /dl hal ini
dikarenakan penggunaan obat antihipertensi kombinasi pada pasien yaitu
amlodipin 10 mg dan candesartan 8 mg yang merupakan antihipertensi
golongan ARB dan CCB yang bersifat sebagai renalprotective atau sebagai
pelindung ginjal dengan dosis dan pemakaian yang diperhatikan khusus oleh
dokter berupa monitoring kadar kreatinin dan ureum pasien. Dan pada tanggal
tersebut jika dibandingkan dengan rekam medik, pasien juga melakukan terapi
dialisis 2 kali dalam seminggu sehingga kadar proteinuria pasien dapat turun
secara signifikan dibandingkan dengan sebelum dialisis.
Amlodipin merupakan obat antihipertensi yang sangat baik digunakan
pada pasien CKD dengan waktu paruh pada pasien tidak mengalami perubahan
sehingga pada pemberian dosis tunggal amlodipin dengan pemberian sekali
sehari dapat digunakan untuk semua stage penderita gagal ginjal serta pasien
yang telah mengalami dialisis, golongan CCB tidak mengalami perubahan
farmakokinetik pada pasien dengan ESRD pada dialisis (Paranoan et al, 2019).
28
pada pemberian terapi antihipertensi tunggal maupun kombinasi. Walaupun
terdapat fluktuatif perubahan tekanan darah selama di rawat di rumah sakit
dan pemberian rejimen antihipertensi akibat efek dari hemodialisis yang
dilakukan pasien, tetapi dari data daat dilihat dengan adanya rejimen
antihipertensi tekanan darah tetap dapat dikendalikan.
Mekansime kerja dari obat antihipertensi terhadap kefektivitasannya
dalam menurunkan tekanan darah dan menjaga fungsi renal dimana, pada
umumnya telah diketahui bahwa amlodipine bekerja dengan menghambat
calsium channel blocker sehingga akan mengurangi tahanan perifer, dengan
terhambatnya calsium maka calsium yang terdapat di dalam darah akan
berkurang dan mengakibatkan pemompaan jantung akan berkurang sehinga
terjadi penurunan volume darah dan juga tekanan darah termasuk salah
satunya di pembuluh darah arteri ginjal. Karena rumus untuk cardiac output
adalah volume sekuncup di kali dengan frekuensi tahanan perifer (frekuensi
denyut jantung) sehingga apabila salah satu dari keduanya seperti menurunnya
frekuensi denyut jantung maka akan menurunkan volume curah jantung dan
juga tekanan darah.
Ginjal pada umumnya akan menghasilkan renin yang kemudian renin
akan melepaskan angiotensin I dan memecah menjadi angiotensin II yang
berpotensi mengakibatkan peningkatan vasokontriksi yang sangat kuat berupa
tekanan darah arteri dan mempengaruhi sirkulasi pembuluh darah (Guyton dan
Hall, 1997).
Salah satu pembuluh darah yang dipengaruhi adalah arteri ginjal
dengan cara menurunkan ekskresi garam dan air. Dimana nantinya angiotensin
II akan meningkatkan tekanan di pembuluh darah arteri yang kemudian akan
menurunkan aliran darah yang banyak ke kapiler salah satunya kapiler pada
ginjal. Angiotensin II akan merangsang tubula proksimal nefron untuk
menyerap kembali garam dan air, sehingga eksresi keduanya di dalam urin
akan berkurang. Kemudian angiotensin II akan mempengaruhi kelenjar adrenal
untuk menghasikan hormon aldosteron yang bekerja pada tubula distal nefron
untuk menyerap kembali ion natrium dan air sehingga meningkatkan volume
dan tekanan darah (Campbell et al, 2004).
Berdasarkan mekanisme angiotensin yang dapat memperparah kondisi
hipertensi dan juga ginjal maka candesartan nantinya akan berperan dalam
memblok angiotensin II sehingga mencegah terjadinya vasokontriksi dan
peningkatan tekanan darah.
Untuk clonidine obat yang bekerja pada alpha 2 agonist sehingga akan
menekan pelepasan hormon adrenalin dan akan menyebabkan pengiriman
29
sinyal ke pembuluh darah untuk menyempit akan terhambat dan kemudian
pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi dan tekanan darah akan
menurun dan konstan.
Untuk memberikan rejimen terapi obat antihipertensi umumnya harus
mengetahui terlebih dahulu kondisi pasien agar dapat meningkatkan efek dan
mencegah terjadinya efek samping yang tidak diinginkan. Pada pemberian obat
antihipertensi yang diberikan ini pastinya telah dilakukan pertimbangan yang
baik terhadap penyakit pasien dengan memperhatikan kontraindikasi dari obat
yang digunakan, karena apabila obat antihipertensi yang digunakan bersifat
kontraindikasi pada penderita maka obat tersebut tidak akan memberikan efek
yang baik hal ini sering juga disebut dengan tepat pasien. Amlodipin memiliki
kontraindikasi pada penderita yang hypersensitiv atau alergi pada
penggunaannya, CHF, sinusitus dan gangguan CNS. Clonidine mempunyai
kontraindikasi pada pasien yang hypersensitiv dan alergi terhadap
penggunaannya, gangguan gastrointestinal dan gangguan CNS. Sedangkan
untuk obat antihipertensi golongan ARB mempunyai kontraindikasi terhadap
penderita yang alergi dengan penggunaannya , penderita dengan riwayat
hipotensi, hiperaldosteron, dan hiperkalemia (Supadmi,2011).
Apabila dibandingkan data dari rekam medik pasien dengan literatur
maka diketahui bahwa pasien tidak memiliki alergi serta kontraindikasi apapun
dari rejimen obat antihipertensi yang diberikan. Kecuali sebelum pemberian
candesartan (ARB) ternyata pasien telah mengalami hiperkalemia terlebih
dahulu hal itu dikarenakan semakin menurunnya fungsi ginjal pasien. Akan
tetapi dengan melaksanakan dialisis 2 kali dalam seminggu kadar protein
pasien dapat kembali turun dan pasien diberikan rejimen pengobatan
antihipertensi ARB dengan pengawasan dan monitoring yang dilakukan secara
terus menerur. Sehingga obat antihipertensi diberikan tepat dan dapat bekerja
secara efektif dengan pemantauan dan monitoring yang baik.
Kemudian untuk efek samping ditinjau dari keluhan yang dirasakan
pasien yang terdapat pada data rekam medis pasien dari penggunaan obat
antihipertensi.
Menurut Supadmi (2011) adapun efek samping yang sering terjadi pada
penggunaan obat antihipertensi diantaranya sebagai berikut:
1. Amlodipin, gangguan pernafasan, gangguan gastrointestinal
(pencernaan) dan gangguan endokrin.
2. Clonidine, diuresis pada malam hari, gangguan gastrointestinal
(pencernaan), gangguan pernafasan, gangguan endocrin dan gangguan
pada hepar.
30
Sedangkan untuk efek samping dari candesartan yaitu pusing,
hipertriglyceridemia, hyperuricemia, sakit perut, diare, batuk, gastroenteritis
(Medscape).
Antihipertensi golongan ARB bekerja dengan menghambat reseptor
angiotensi II sehingga angiotensin II tidak bisa di hasilkan dan mencegahnya
terikat dengan reseptor sehingga akan menghalangi adanya sekresi aldosteron
dari angiotensin II, kemudian peningkatan kadar kalium juga dapat terjadi pada
penggunaan jangka panjang ARB karena antagonis reseptor angiotensin II akan
mengurangi kadar aldosteron sebagai penghasil retensi kalium (Paranoan,
2019).
Amlodipin yang merupakan obat antihipertensi golongan CCB bekerja
dengan cara menghambat kanal kalsium sepanjang membran sel dengan tipe
kanal yang dihambatnya adalah bchannel tipe L dan menyebabkan adanya
pelebaran pembuluh darah coroner dan perifer, dan memberikan efek samping
berupa pusing karena efek pelebaran pembuluh darah (Paranoan, 2019).
Jika dibandingkan antara literatur dengan hasil dari rekam medik maka
dapat diketahui bahwa untuk efek samping berupa mual dan muntah yang di
keluhkan pasien akibat penggunaan antihipertensi amlodipin sedangkan untuk
sesak nafas yang diderita pasien juga karena penggunaan obat juga disebabkan
karena penggunaan amlodipin dan juga karena bronkopneumonia yang di derita
oleh pasien, kemudian berdasarkan literatur penggunaan candesartan
khususnya dalam jangka waktu yang panjang dan tanpa pengawasan dokter
akan menyebabkan terjadinya peningkatan kalium dan peningkatan kreatinin
ada pasien gagal ginjal karena tidak di hasilkannya aldosteron yang berperan
dalam retensi kalium.
Kemudian pada penggunaan candesartan tanpa adanya monitoring yang
baik akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kreatinin serum sebagai efek
sampingnya. Untuk obat ARB dapat meningkatkan serum kreatinin sebanyak
20-30%, obat golongan ini dapat efektiv dalam memperbaiki kondisi gagal
jantung tetapi dapat memperburuk kondisi gagal ginjal hal ini dikarenakan
mekanisme dari ARB yang dapat meningkatkan vasodilatasi di eferen ginjal.
Apabila pada penggunaan obat ini dalam dosis kecil telah menunjukkan
kenaikan kadar kreatinin >25% dan berlangsung selama 2 minggu maka harus
di hentikan pemakaiannya dan diganti dengan obat anthipertensi lain (Irawan,
2014).
Umumnya untuk mencapai efektivitas terapi antihipertensi yang baik
pada penggunaan obat antihipertensi tunggal ataupun kombinasi sebaiknya
dimonitor oleh dokter ataupun perawat dan apoteker hal ini untuk mencegah
31
terjadinya efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan obat
antihipertensi jangka panjang yaitu berupa hipotensi yang akan memperburuk
keadaan pasien. Untuk efek samping dari masing-masing obat yang digunakan
terdapat kriteria efek sampingnya diantaranya efek samping minor, mayor, dan
serius yang memerlukan alternatif pengganti (Supadmi, 2011).
9. Interaksi Obat
Untuk interaksi antar obat antihipertensi yang diberikan pada pasien
terutama pada pemberian obat antihipertensi kombinasi diketahui amlodipin
dan candesartan tidak memiliki interaksi antagonis apapun. Sama halnya
dengan penggunaan obat antihipertensi kombinasi candesartan dan clonidin
juga tidak memiliki interaksi antagonis apapun (Medscape).
Berdasarkan literatur tersebut maka diketahui bahwa obat
antihipertensi yang diberikan pada pasien semuanya bekerja sinergis dalam
menurunkan tekanan darah dengan bekerja pada reseptor masing-masing.
Dimana amlodipin bekerja dengan menghambat canal calsium, candesartan
memblok pengubahan renin menjadi angiotensin, dan clonidine bekerja pada
reseptor alpha 2 agonis sebagai vasodilatasi.
Menurut Medscape untuk interaksi obat antihipertensi dan obat
pendukung berdasarkan tanggal resep yang diberikan adalah sebagai berikut:
1. Resep tanggal 13-16 Juli 2019
a. Ceftriaxone dan calcium carbonat
Penggunaan bersama ceftriaxone dan calcium carbonat bersifat
kontraindikasi, hindari untuk melarutkan ceftriaxone dengan pelarut yang
mengandung kalsium termasuk ringer laktat. Hal ini dikarenakan kombinasi
calcium carbonate dan ceftriaxone akan menyebabkan resiko yang fatal berupa
endapan partikel di paru-paru dan ginjal. Diberi jeda setidaknya 48 jam.
32
b. Calcium Carbonate dan Allopurinol
Calcium carbonate akan mengurangi efek allopurinol berupa
penyerapannya di gastrointestinal. Diberi jeda setidaknya 2 jam.
c. Candesartan dan meloxicam
Candesartan dan meloxicam keduanya akan meningkatkan kadar
natrium dalam darah. Candesartan dan meloxicam pada penggunaan bersama
akan meningkatkan efek toksisitas keduanya berupa penurunan fungsi ginjal
terutama pada pasien geriatri atau pada penderita dengan jumlah cairan yang
kurang. Meloxicam mengurangi efek candesartan oleh antagonisme
farmakodinamk. NSAID dapat menurunkan sintetis vasodilatasi prostaglandin
ginjal sehingga akan berpengaruh ada homeostasis cairan dan akan mengurangi
efek antihipertensi.
d. Cefixime dan meloxicam
Cefixime akan meningkatkan efek dari meloxicam berupa persaingan
antara obat asam pada pembersihannya di tubulus ginjal. Interaksi yang
ditimbulkannya berupa efek minor.
Berdasarkan dengan uraian pembahasan diatas maka dapat di lakukan
evaluasi ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien berdasarkan
obat yang digunakan adalah sebagai berikut:
1 Amlodipine
tab 5 mg
2 Amlodipine
tab 10 mg
3 Candesartan
tab 8 mg
4 Candesartan
tab 16 mg
5 Clonidine tab -
0,15 mg
4.3 Permasalahan
1. Interaksi obat antihipertensi dengan obat lainnya
33
Berdasarkan interaksi obat dapat diketahui adanya interaksi yang
menyebabkan timbulnya Reaksi Obat Yang Tidak Diinginkan (ROTD) diantara
keduanya dimana amlodipin dengan calcium carbonate yang secara bersamaan
akan menurunkan efektivitias dari amlodipin, candesartan dan meloxicam yang
pada penggunaan secara bersamaan akan menyebabkan peningkatan efek
toksisitas berupa penurunan fungsi ginjal terutama pada pasien geriatri dan
pasien yang kekurangan banyak cairan. Kemudian di resep pasien juga tidak di
cantumkan waktu pemberian khususnya obat antihipertensi yang diberikan di
malam, pagi atau siang hari sehingga apabila di cantumkan waktu
pemberiannya akan mengurangi resiko timbulnya interaksi berupa ROTD dan
obat menjadi tidak efektiv kerjanya.
2.Penggunaan Candesartan Jangka Panjang
Diketahui candesartan yang merupakan obat antihipertensi golongan
ARB yang memiliki efektivitas dalam menurunkan tekanan darah dan bersifat
renalprotektif, bekerja dalam memblok angiotensin II yang apabila di gunakan
dalam jangka waktu panjang akan mengakibatkan terjadinya hiperkalemia dan
peningkatan kadar kreatinin serta dalam penggunaan jangka panjang akan
menyebabkan vasodilatasi eferen ginjal dan memperburuk kondisi ginjal.
3.Frekuensi Pemberian Clonidine Yang Melebihi Dari Aturan Frekuensi
Pemberian Menurut JNC 7
Untuk clonidine yang bekerja berupa alpha 2 agonist pada sistem saraf
pusat untuk penderita komplikasi hipertensi-CKD diberikan maksimal sehari 2
kali 1 tablet, tetapi berdasarkan data pemberian frekuensi pemberian clonidine
pada pasien diberikan sebanyak 3 kali dalam sehari.
4.4 Solusi
1.Untuk mencegah adanya interaksi obat yang dapat menyebabkan timbulnya
ROTD, maka perlu jeda pemberian untuk amlodipin dan calcium
carbonate serta candesartan dan meloxicam. Hal ini untuk mencegah
berkurangnya salah satu efektivitas dari obat tersebut sehingga akan
menyebabkan tidak tercapainya terapi yang diberikan terutama pada
antihipertensi yang tidak dapat bekerja secara maksimal dalam
menurunkan tekanan darah pasien jika kerja obat tersebut mengalami
penurunan akibat interaksi dengan obat lainnya.
2.Untuk candesartan yang merupakan antihipertensi golongan ARB
sebenarnya baik untuk di gunakan dalam pemberian terapi antihipertensi
pada penderita gagal ginjal kronis akan tetapi jika digunakan dalam
jangka waktu panjang akan menyebaban terjadinya penurunan fungsi
ginjal dengan efeknya berupa peningkatan kadar kalium dan kreatinin
34
terutama pada penderita yang memiliki hipersensitivitas tinggi terhadap
penggunaan candesartan. Maka untuk mencegah terjadinya efek samping
tersebut selama pemberian rejimen obat candesartan pada pederita gagal
ginjal harus dilakukan pengawasan atau monitoring secara khusus oleh
tenaga kesehatan sehingga dapat mengetahui secara dini reaksi tubuh
yang ditunjukkan pasien dari kadar kreatinin dan kaliumnya dan dapat
dengan cepat menggantinya dengan alternatif pengobatan lain jika
ternyata pasien menunjukkan ROTD akibat penggunaan candesartan.
3. Penggunaan clonidine yang diberikan pada pasien komplikasi CKD-
hipertensi bertujuan untuk menjaga tekanan darah pasien yang
cenderung akan selalu berubah-ubah karena penurunan kondisi ginjal
dan faktor eksternal lainnya seperti stres. Pada data frekuensi pemberian
clonidine pada pasien tersebut ternyata melebihi dari aturan frekuensi
pemberian clonidine untuk pasien hipertensi-CKD, sehingga untuk
mencegah terjadinya ROTD selama pemberian clonidine harus dilakukan
pengawasan atau monitoring secara khusus sehingga clonidine dapat
bekerja secara efektif.
35
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Penggunaan obat antihipertensi amlodipin, candesartan dan clonidine
telah tepat pemilihan obat, tepat dosis, dan tepat cara pemberian pada
amlodipin dan candesartan sedangkan pada clonidine tidak tepat cara
pemberian dan untuk mencegah efek samping maka di lakukan
monitoring terhadap penggunaannya. Kemudian untuk respon yang di
tunjukkan perlahan tekanan darah pasien menurun.
2. Penggunaan candesartan efektif menurunkan tekanan darah dengan
memblok pelepasan angiotensin II, amlodipin efektik menurunkan
tekanan darah dengan cara blok pada kanal kalsium, dan clonidine efektif
menurunkan tekanan darah dengan mempengaruhi reseptor alpha 2
agonist. Ketiganya terbukti cukup efektif dalam mempertahankan tekanan
darah pasien komplikasi gagal ginjal kronis stage V dan hipertensi
walaupun tidak dapat mencapai target yang seharusnya, serta juga
mampu menurunkan secara perlahan proteinuria yang di alami oleh
pasien akibat kegagalan fungsi ginjal dengan selalu melakukan monitoring
penggunaan obat yang dilakukan oleh tim kesehatan.
V.2 Saran
Kekurangan dalam laporan ini adalah penulis hanya menggunakan data
rekam medik pasien dalam menganalisis dan mengobservasi respon dari
penggunaan obat antihipertensi sehingga tidak dapat mengetahui etiologi awal
mula pasien terdiagnosa komplikasi hipertensi dan gagal ginjal kronis. Sehingga
sebaiknya perlu dilakukan wawancara terhadap pasien walaupun tidak
mendapatkan informasi tentang obat antihipertensi yang digunakannya tetapi
dapat mengetahui awal mula keluhan yang dirasakannya pada awal diagnosa
dan perubahan yang dirasakannya setelah mendapatkan terapi, khususnya
antihipertensi yang diberikan.
36
DAFTAR PUSTAKA
Campbell,N.A.,J.B.Reece.,dan L.G.Mitchel.2004.Biologi,Erlangga,Jakarta.
Gass,D.2013.Bronkopneumonia.Jurnal Medula.1(2).
Licata,G.,R.Scaglione.,A.Gangguza.,G.Parrinello.,R.Costa.,G.Merlino.,S.Corrao.,d
an P.Amato.1993.Effects Of Amlodipine On Renal Haemodynamics In Mild
To Moderate Hypertensive Patients.European Journal Of Clinical
Pharmacology.45.307-311.
Paranoan,R.,M.A.Manggau.,H.Kasim.,M.N.Djide.,S.Lallo.,dan
Y.Y.Djabir.2019.Analisis Efektvitas Efek Samping Penggunaan
Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Rawat Inap Di RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo.Majalah Farmasi Dan Farmakologi.23(1).13-15.
37
Pongsibidang,G.S.2016.Risiko Hipertensi, Diabetes, Dan Konsumsi Minuman
Herbal Pada Kejadian Gagal Ginjal Kronik Di RSUP DR.Wahidin
Sudirohusodo Makassar Tahun 2015.Jurnal Wiyata.3(2).
Raman,G.V.,J.Feehally.,R.A.Coates.,H.L.Elliot.,P.J.A.Griffin.,J.O.B.Olubodun.,da
n R.Wilkinson.1999.Renal Effects Amlodipine In Normotensive Renal
Transplant Recipients.Nephrology Dialysis Transplantation.14.384-388.
38
LAMPIRAN
39
2. Resep pasien tanggal 13 Juli 2019
40
3. Resep pasien tanggal 16 Juli 2019
41
4. Resep pasien tanggal 17 Juli 2019
42