Anda di halaman 1dari 39

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Landasan Teori

1. Tinjauan Umum Akuntansi

a. Definisi Akuntansi

Menurut Weygandt, Kimmel, Kieso (2013:4):

“Accounting is the information system that identifies, records, and communicates

the economic events of an organization to interested users”.

Berdasarkan definisi di atas, ada tiga kegiatan dasar dalam akuntansi, yaitu

identifikasi, pencatatan, dan komunikasi. Peristiwa ekonomi yang dicatat,

diklasifikasikan, dan diringkas berubah menjadi laporan akuntansi. Istilah laporan

akuntansi ini lebih dikenal dengan sebutan laporan keuangan (financial statement).

b. Persamaan Dasar Akuntansi

ASET = LIABILITAS + EKUITAS

c. Sistem Pencatatan Akuntansi

Sistem pencatatan akuntansi yang umum digunakan oleh perusahaan adalah

sistem pembukuan ganda (double-entry system), yaitu apabila ada suatu pencatatan

yang dibuat perusahaan, maka akan ada dampak ganda, minimal satu pencatatan di sisi

debit dan minimal satu pencatatan di sisi kredit.

Debit berasal dari kata debere, yang berarti sisi kiri, sedangkan kredit berasal

dari kata credere yang berarti sisi kanan. Debit atau kredit tidak bermakna kenaikan

8
9

atau penurunan. Istilah didebit berarti dicatat di sebelah kiri, sebaliknya dikredit berarti

dicatat di sebelah kanan.

Pencatatan dilakukan dengan menggunakan akun. Akun adalah klasifikasi umum

yang digunakan dalam sistem akuntansi untuk merujuk pada sifat yang sama. Akun-

akun tersebut bisa dikelompokkan menjadi lima bagian besar, yaitu Aset, Liabilitas,

Ekuitas, Pendapatan, dan Beban. Pencatatan yang dilakukan pada sisi debit atau kredit

ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama dalam dunia akuntansi sebagai berikut:

Tabel 2.1

Pencatatan Akun pada Sisi Debit dan Kredit

Debit Kredit
Akun Aset Meningkat (+) Menurun (-)
Akun Liabilitas Menurun (-) Meningkat (+)
Akun Ekuitas Menurun (-) Meningkat (+)
Akun Pendapatan Menurun (-) Meningkat (+)
Akun Beban Meningkat (+) Menurun (-)
Sumber : Akuntansi Keuangan Menengah Berbasis PSAK Tahun 2016 Halaman 61

Posisi yang dicatat pada saat transaksi yang menunjukkan peningkatan menjadi

indikator saldo normal dari masing-masing akun. Dengan demikian, saldo normal akun

aset adalah debit, sedangkan akun liabilitas dan ekuitas adalah kredit.

d. Siklus Akuntansi

Siklus akuntansi merupakan keseluruhan proses yang dilakukan oleh entitas

untuk mengolah data-data keuangan hingga menjadi informasi yang bermanfaat bagi

pengguna untuk pengambilan keputusan.


10

Gambar 2.1

Siklus Akuntansi

Identifikasi peristiwa dan


pencatatan transaksi

Jurnal pembalik Jurnal

Neraca saldo sesudah Pemindahbukuan


penutupan (posting) ke buku besar

Jurnal penutup Neraca saldo


Kertas
Kerja
Laporan keuangan Jurnal penyesuaian

Neraca saldo disesuaikan

Sumber: Akuntansi Keuangan Menengah Berbasis PSAK Tahun 2016 Halaman 63

e. Laporan Keuangan

Seluruh akun setelah diklasifikasikan dan diolah dalam sistem akuntansi akan

menjadi informasi yang dilaporkan melalui Laporan Keuangan. Menurut PSAK 1

(Revisi 2013), laporan keuangan minimal terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan

laba rugi dan penghasilan komprehensif lain, laporan perubahan ekuitas, laporan arus

kas, dan catatan atas laporan keuangan.

Pengguna laporan keuangan meliputi investor, calon investor, pemberi pinjaman,

karyawan, pemasok, kreditur lainnya, pelanggan, pemerintah, lembaga, dan

masyarakat. Pengguna tersebut menggunakan laporan keuangan untuk memenuhi

kebutuhan informasi yang berbeda, diantaranya sebagai berikut:


11

1) Investor: menilai entitas dan kemampuan entitas membayar deviden di masa

mendatang. Investor dapat memutuskan untuk membeli atau menjual saham entitas

2) Karyawan: kemampuan memberikan balas jasa, manfaat pensiun, dan kesempatan

kerja

3) Pemberi jaminan: kemampuan membayar utang dan bunga yang akan

memengaruhi keputusan apakah akan memberikan pinjaman

4) Pemasok dan kreditur lain: kemampuan entitas membayar liabilitasnya pada saat

jatuh tempo

5) Pelanggan: kemampuan entitas menjamin kelangsungan hidupnya

6) Pemerintah: menilai bagaimana alokasi sumber daya

7) Masyarakat: menilai tren dan perkembangan kemakmuran entitas.

Basis akrual merupakan asumsi yang mendasari penyusunan laporan keuangan.

Berdasarkan konsep akrual, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat

terjadinya (bukan pada saat kas diterima atau dibayarkan). Konsep akrual lebih

mencerminkan substansi ekonomi suatu transaksi. Berdasarkan asumsi ini, entitas tidak

hanya mengakui kas yang diterima tetapi juga mengakui klaim kepada pihak lain

(piutang), liabilitas kepada pihak lain (utang), mengakui aset selain kas.

f. Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain

Laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain adalah laporan yang

mengukur keberhasilan kinerja perusahaan selama periode tertentu. Informasi tentang

kinerja perusahaan digunakan untuk menilai dan memprediksi jumlah dan waktu atas

ketidakpastian arus kas masa depan.


12

Unsur yang langsung berkaitan dengan laba adalah penghasilan (income) dan

beban (expenses). Pengakuan dan pengukuran penghasilan dan beban, tergantung pada

konsep modal dan pemeliharaan modal yang digunakan entitas dalam penyusunan

laporan keuangannya. Unsur pendapatan dan beban didefinisikan sebagai berikut:

1) Penghasilan adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi

dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan liabilitas yang

mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam

modal. Penghasilan meliputi pendapatan (revenues) dan keuntungan (gains).

Pendapatan timbul dalam pelaksanaan aktivitas entitas yang biasa dan dikenal,

sering disebut penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti, dan sewa.

Keuntungan mencerminkan pos lainnya yang memenuhi definisi penghasilan dan

mungkin timbul atau mungkin tidak timbul dalam pelaksanaan aktivitas entitas

yang biasa. Keuntungan mencerminkan kenaikan manfaat ekonomi sehingga pada

hakikatnya tidak berbeda dengan pendapatan. Contoh keuntungan adalah

keuntungan penjualan aset tetap, keuntungan dari hasil investasi, dan keuntungan

kenaikan nilai investasi jangka pendek. Keuntungan biasanya disajikan sebesar

nilai neto setelah dikurangi dengan bebannya.

2) Beban adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam

bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya liabilitas yang

mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada

penanam modal. Beban mencakup kerugian maupun beban yang timbul dari

aktivitas operasional suatu entitas biasa.


13

Laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain memiliki beberapa keterbatasan,

diantaranya:

1) Penghasilan atau beban yang tidak dapat diukur dengan andal, tidak dimasukkan ke

dalam Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain. SAK

mensyaratkan bahwa penghasilan atau beban dapat diakui ketika dapat diukur

dengan andal.

2) Laba yang dilaporkan dipengaruhi metode akuntansi yang digunakan. Perusahaan

diperkenankan oleh SAK untuk memilih dasar alokasi atau metode untuk

menyusutkan aset tetap.

3) Pengukuran penghasilan dan beban melibatkan pertimbangan (judgment)

manajemen.

g. Pengakuan Unsur Laporan Keuangan

Pengakuan (recognition) merupakan proses penentuan apakah suatu pos yang

memenuhi definisi unsur dinyatakan laporan posisi keuangan atau laporan laba rugi

dan penghasilan komprehensif lain. Pengakuan menentukan waktu atau saat suatu pos

akan disajikan sehingga membawa konsekuensi pencatatan atas transaksi tersebut

harus dilakukan. Pos yang memenuhi definisi suatu unsure laporan keuangan harus

diakui jika:

1) Ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang berkaitan dengan pos tersebut

akan mengalir dari atau ke dalam entitas; dan

2) Pos tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal

Penghasilan diakui dalam laporan laba rugi komprehensif jika kenaikan

manfaat ekonomi di masa depan yang berkaitan dengan peningkatan aset atau
14

penurunan liabilitas telah terjadi dan dapat diukur dengan andal. Beban diakui dalam

laporan laba rugi komprehensif jika penurunan manfaat ekonomi masa depan yang

berkaitan dengan penurunan aset atau peningkatan liabilitas telah terjadi dan dapat

diukur dengan andal.

h. Pengukuran Unsur Laporan Keuangan

Pengukuran adalah proses penetapan jumlah uang untuk unsure laporan

keuangan yang disajikan dalam laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi

komprehensif. Proses ini menyangkut pemilihan dasar pengukuran tertentu. Berbagai

dasar pengukuran tersebut adalah:

1) Biaya historis (historical cost) adalah biaya perolehan pada tanggal transaksi

2) Biaya kini (current cost) adalah biaya yang seharusnya diperoleh saat ini atau pada

saat pengukuran

3) Nilai realisasi/penyelesaian (realizable/settlement value) adalah nilai yang dapat

diperoleh dengan menjual aset dalam pelepasan normal (orderly disposal)

4) Nilai kini (present value) adalah arus kas masuk neto di masa depan yang

didiskontokan ke biaya kini dari pos yang diharapkan dapat memberikan hasil

dalam pelaksanaan usaha normal


15

2. Tinjauan Umum Pajak

a) Pengertian Pajak

Menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan, dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa:

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur :

1) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang

2) Pajak bersifat memaksa.

3) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat

ditunjuk

4) Digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi

masyarakat luas.

b) Jenis Pajak

1) Menurut Golongan

Pajak dikelompokkan menjadi dua:

a) Pajak Langsung, pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib

Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada pihak lain. Pajak

harus menjadi beban Wajib Pajak yang bersangkutan.

Contoh: Pajak penghasilan. PPh dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak

tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.


16

b) Pajak Tidak Langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau

dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi

jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang menyebabkan

terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. PPN terjadi karena terdapat pertambahan

nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak

yang menjual barang, tetapi dapat dibebankan kepada konsumen baik secara

eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual barang atau jasa).

Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk pajak langsung atau pajak

tidak langsung dalam arti ekonomis, yaitu dengan cara melihat ketiga unsur yang

terdapat dalam kewajiban pemenuhan perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri

atas:

(1) Penanggung jawab pajak, adalah orang yang secara formal yuridis diharuskan

melunasi pajak

(2) Penanggung pajak, adalah orang yang dalam faktanya memikul terlebih dahulu

beban pajaknya

(3) Pemikul pajak, adalah orang yang menurut undang-undang harus dibebani

pajak.

Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang, pajaknya disebut

Pajak Langsung, sedangkan jika ketiga unsur tersebut terpisah atau terdapat pada

lebih dari satu orang, pajaknya disebut Pajak Tidak Langsung.


17

2) Menurut Sifat

Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a) Pajak subjektif, pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan pribadi

Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan subjeknya.

Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak Orang

Pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memerhatikan keadaan

pribadi Wajib Pajak (status perkawinan, banyaknya anak, dan tanggungan

lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut selanjutnya digunakan untuk

menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak.

b) Pajak Objektif, pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya baik berupa

benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya

kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak

maupun tempat tinggal.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah

(PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

3) Menurut Lembaga Pemungut

Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a) Pajak Negara (Pajak Pusat), pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan

digunakan untuk membiayain rumah tangga negara pada umumnya. Contoh:

PPh, PPN, dan PPnBM.

b) Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat

I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing.


18

Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor,

Pajak Bahan Bakar Kendaraan, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak

Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan,

Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak

Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

c) Tata Cara Pemungutan Pajak

1) Stelsel Pajak

Pemungutan pajak dapat dilakukan dengan tiga stelsel, yaitu:

a) Stelsel Nyata (Riil). Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan

pada objek yang sesungguhnya terjadi. Oleh karena itu, pemungutan pajaknya

baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah semua penghasilan

yang sesungguhnya dalam suatu tahun pajak diketahui.

Kelebihan stelsel nayat adalah penghitungan pajak didasarkan pada penghasilan

yang sesungguhnya sehingga lebih akurat dan realistis. Kekurangan stelsel

nyata adalah pajak baru dapat diketahui pada akhir periode, sehingga:

(1) Wajib Pajak akan dibebani jumlah pembayaran pajak yang tinggi pada

akhir tahun sementara pada waktu tersebut belum tentu tersedia jumlah kas

yang memadai; dan

(2) Semua Wajib Pajak akan membayar pajak pada akhir tahun sehingga

jumlah uang beredar secara makro akan terpengaruh

b) Stelsel Anggapan (Fiktif). Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak

didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Sebagai


19

contoh, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan penghasilan tahun

sebelumnya, sehingga pajak yang terutang pada suatu tahun juga dianggap

sama dengan pajak yang terutang tahun sebelumnya. Dengan stelsel ini, berarti

besarnya pajak yang terutang pada tahun berjalan sudah dapat ditetapkan atau

diketahui pada awal tahun yang bersangkutan.

Kelebihan stelsel fiktif adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa

harus menunggu sampai akhir suatu tahun, misalnya pembayaran pajak

dilakukan pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan tinggi atau mungkin

dapat diangsur dalam tahun berjalan. Kekurangannya adalah pajak yang

dibayar tidak berdasar pada keadaan yang sesungguhnya sehingga penentuan

pajak menjadi tidak akurat.

c) Stelsel Campuran. Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan

pada kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun,

besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir

tahun besarnya pajak dihitung berdasar keadaan yang sesungguhnya. Jika

besarnya pajak berdasar keadaan sesungguhnya lebih besar daripada besarnya

pajak menurut anggapan, Wajib Pajak harus membayar kekurangan tersebut.

Sebaliknya, jika besarnya pajak sesungguhnya lebih kecil daripada besarnya

pajak menurut anggapan, kelebihan tersebut dapat diminta kembali (restitusi)

ataupun dikompensasikan pada tahun-tahun berikutnya, setelah diperhitungkan

dengan utang pajak yang lain.


20

2) Asas Pemungutan Pajak

Terdapat tiga asas pemungutan pajak, yaitu:

a) Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)

Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh

penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya baik

penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Setiap Wajib Pajak

yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Wajib Pajak

dalam Negeri) dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperolehnya

baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.

b) Asas Sumber

Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan

yang bersumber di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib

Pajak. Setiap orang yang memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan

pajak atas penghasilan yang diperolehnya tadi.

c) Asas Kebangsaan

Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan

suatu negara.

3) Sistem Pemungutan Pajak

a) Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang member kewenangan aparatur perpajakan untuk

menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini,

inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di


21

tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya

pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan.

b) Self Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang member wewenang Wajib Pajak dalam

menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini,

inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di

tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu

memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai

kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak.

Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:

(1) Menghitung sendiri pajak yang terutang

(2) Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang

(3) Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang

(4) Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang

(5) Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang

Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak

banyak tergantung pada Wajib Pajak sendiri.

c) With Holding System

Sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada pihak ketiga yang

ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak

sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan


22

perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong serta

memungut pajak, menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana

perpajakan yang tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan

pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk.

4) Timbulnya Utang Pajak

Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak yaitu:

a) Ajaran Materiil, menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya

undang-undang perpajakan. Dalam ajaran ini, seseorang akan secara aktif

menentukan apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak, sesuai dengan

peraturan perpajakan yang berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self

assessment system.

b) Ajaran Formil, menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya

surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah

seseorang dikenakan pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang harus dibayar,

dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam surat ketetapan

pajak tersebut. Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment

system.

5) Berakhirnya Utang Pajak

a) Pembayaran/Pelunasan

Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan pemotongan/pemungutan oleh pihak

lain, pengkreditan pajak luar negeri, maupun pembayaran sendiri oleh Wajib

Pajak ke kantor penerima pajak (bank-bank persepsi dan kantor pos).


23

b) Kompensasi

Kompensasi dapat diartikan sebagai kompensasi kerugian maupun kompensasi

karena kelebihan pembayaran pajak.

c) Kadaluwarsa

Kadaluwarsa berarti telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu

tertentu suatu utang pajak tidak ditagih oleh pemungutnya, utang pajak tersebut

dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat ditagih lagi. Utang pajak

akan kadaluwarsa setelah melewati waktu sepuluh tahun, terhitung sejak saat

terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau

Tahun Pajak yang bersangkutan.

d) Pembebasan/Penghapusan

Kewajiban pajak oleh Wajib Pajak tertentu dinyatakan hapus oleh fiskus karena

setelah dilakukan penyidikan, ternyata Wajib Pajak tidak mampu lagi

memenuhi kewajibannya. Hal ini biasanya terjadi karena Wajib Pajak

mengalami kebangkrutan maupun mengalami kesulitan likuiditas.

d. Tarif Pajak

Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsure, yaitu

tarif pajak dan dasar pengenaan pajak. Tarif pajak dapat berupa angka atau persentase

tertentu. Jenis tarif pajak dibedakan menjadi tarif tetap, tarif proporsional (sebanding),

tarif progresif (meningkat), dan tarif degresif (menurun).

1) Tarif Tetap

Tarif tetap adalah tarif berupa jumlah atau angka yang tetap, berapapun besarnya

dasar pengenaan pajak. Di Indonesia, tarif tetap diterapkan pada bea meterai.
24

Pembayaran dengan menggunakan cek atau bilyet giro untuk berapapun jumlahnya

dikenakan pajak sebesar Rp 6.000.

2) Tarif Proporsional (Sebanding)

Tarif proporsional adalah tarif berupa persentase tertentu yang sifatnya tetap

terhadap berapapun dasar pengenaan pajaknya. Makin besar dasar pengenaan

pajak, makin besar pula jumlah pajak yang terutang dengan kenaikan secara

proporsional atau sebanding. Di Indonesia, tarif proporsional diterapkan pada PPN

(tarif 10%), PPh Pasal 26 (tarif 20%), PPh Pasal 23 (tarif 15% dan 2%), PPh WP

badan dalam negeri dan BUT (tarif Pasal 17 ayat (1) b atau 28% untuk tahun 2009

serta 25% untuk tahun 2010 dan seterusnya).

3) Tarif Progresif (Meningkat)

Tarif progresif adalah tarif berupa persentase tertentu yang makin meningkat

dengan makin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progresif dibedakan

menjadi tiga, yaitu:

1) Tarif Progresif-Proporsional, tarif berupa persentase tertentu yang makin

meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan

persentase tersebut adalah tetap.

Tarif progresif-proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung

PPh. Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 1994 dan

diatur dalam Pasal 17 UU No. 7 tahun 1983.

2) Tarif Progresif-Progresif, tarif berupa persentase tertentu yang makin

meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan

persentase tersebut juga makin meningkat.


25

Tarif progresif-progresif pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung

Pajak Penghasilan. Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1995 sampai dengan

tahun 2000 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 10 tahun 1994. Mulai tahun

2001, jenis tarif ini masih diberlakukan sampai dengan akhir tahun 2008, tetapi

hanya untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap.

3) Tarif Progresif-Degresif, tarif berupa persentase tertentu yang makin meningkat

dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan persentase

tersebut semakin menurun.

4) Tarif Degresif (Menurun), tarif berupa persentase tertentu yang makin menurun

dengan makin meningkatnya dasar pengenaan pajak.

e. Pajak Penghasilan

1) Definisi Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas

penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.

2) Subjek Pajak

Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi

untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak

Penghasilan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008, Subjek Pajak

dikelompokkan sebagai berikut:

a) Subjek Pajak orang pribadi, yaitu orang pribadi sebagai subjek pajak dapat

bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.

b) Subjek pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan

yang berhak. Warisan yang berlum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan
26

subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris.

Penunjukkan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti

dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan

tersebut tetap dapat dilaksanakan.

c) Subjek pajak badan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang

merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak

melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,

perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah

dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,

persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik,

atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak

investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

d) Subjek pajak bentuk usaha tetap (BUT). BUT adalah bentuk usaha yang

dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,

orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka

waktu dua belas bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di

Indonesia, yang dapat berupa:

(1) Tempat kedudukan manajemen

(2) Cabang perusahaan

(3) Kantor perwakilan

(4) Gedung kantor

(5) Pabrik
27

(6) Bengkel

(7) Gudang

(8) Ruang untuk promosi dan penjualan

(9) Pertambangan dan penggalian sumber alam

(10) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi

(11) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan

(12) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan

(13) Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,

sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu dua belas

bulan

(14) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak

bebas

(15) Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan

tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi

atau menanggung risiko di Indonesia

(16) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,

atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk

menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

3) Objek Pajak Penghasilan

Objek pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau

keadaan) yang dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu

setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,

baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
28

untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,

dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib

Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

a) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti

gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries, aktuaris, akuntan,

pengacara, dan sebagainya.

b) Penghasilan dari usaha dan kegiatan

c) Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,

seperti bunga, dividen, royalty, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak

yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan

d) Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah

4) Penghasilan yang Termasuk Objek Pajak

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008, penghasilan yang termasuk

objek pajak adalah:

a) penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima

atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,

gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali

ditentukan lain dalam undang-undang ini;

b) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c) laba usaha;

d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:


29

(1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan

badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

(2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau

anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

(3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan

dalam bentuk apa pun;

(4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau

sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,

badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang

menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan

usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang

bersangkutan; dan

(5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak

penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam

perusahaan pertambangan;

e) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya

dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian

utang;
30

g) dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari

perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

koperasi;

h) royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu

yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l) keuntungan selisih kurs mata uang asing;

m) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n) premi asuransi;

o) iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri

dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

p) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan

pajak;

q) penghasilan dari usaha berbasis syariah;

r) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur

mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

s) surplus Bank Indonesia.

5) Penghasilan yang PPh-nya Bersifat Final

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, penghasilan berikut ini termasuk

penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final:


31

a) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan

surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada

anggota koperasi orang pribadi

b) Penghasilan berupa hadiah undian

c) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative

yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau penagihan

penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan

modal ventura

d) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,

usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau

bangunan

e) Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah,

Keputusan Menteri Keuangan, dan peraturan perundang-undangan perpajakan

lainnya

6) Pengurangan Penghasilan

Dalam perpajakan, pengeluaran/beban/biaya dibedakan menjadi dua, yaitu:

a) Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto

(deductible expense), yaitu yang mempunyai hubungan langsung dengan

usaha/kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam

tahun pengeluaran atau selama masa manfaat atas pengeluaran tersebut.

Pasal 6 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa besarnya

Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
32

ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan termasuk:

(1) biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan

usaha, antara lain:

(a) biaya pembelian bahan;

(b) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,

honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam

bentuk uang;

(c) bunga, sewa, dan royalti;

(d) biaya perjalanan;

(e) biaya pengolahan limbah;

(f) premi asuransi;

(g) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;

(h) biaya administrasi; dan

(i) pajak kecuali Pajak Penghasilan;

(2) penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan

amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain

yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;

(3) iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri

Keuangan;
33

(4) kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan

digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan;

(5) kerugian selisih kurs mata uang asing;

(6) biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di

Indonesia;

(7) biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

(8) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

(a) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

(b) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat

ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan

(c) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau

instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya

perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang

antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah

dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya

pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk

jumlah utang tertentu;

(d) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk

penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;


34

(9) sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang

ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

(10) sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan

di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

(11) biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah;

(12) sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah; dan

(13) sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

b) Pengeluaran/beban/biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-

deductible expense), yaitu untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan yang bukan merupakan objek pajak atau pengeluaran dilakukan

tidak dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang

yang baik.

(1) pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti dividen,

termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada

pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi

(2) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

pemegang saham, sekutu, atau anggota

(3) pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali (PMK No.

81/PMK.03/2009 dan PMK No. 219/PMK.011/2012):


35

a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain

yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,

perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang

b. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial

yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

c. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan

limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang

ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;

(4) premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi

dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang

pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut

dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

(5) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang

diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan

makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau

imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang

berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;


36

(6) jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang

saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai

imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

(7) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,

kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i

sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat

atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah

atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama

yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang

dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Pemerinta

(8) pajak Penghasilan;

(9) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib

Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

(10) gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan

komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

(11) sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi

pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-

undangan di bidang perpajakan.


37

3. Tinjauan Umum Akuntansi Perpajakan

a. Pengertian Akuntansi Pajak

Secara implisit, akuntansi pajak berada di dalam kelompok akuntansi keuangan

karena pengguna laporan keuangannya adalah pihak eksternal, yaitu kantor pajak.

Tujuan akuntansi komersial adalah menyediakan informasi yang menyangkut

posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang

bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna laporan keuangan dalam pengambilan

keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas

penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya.

Untuk kepentingan komersial atau bisnis, laporan keuangan disusun

berdasarkan prinsip yang berlaku umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK),

sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan peraturan

perpajakan (Undang-Undang Pajak Penghasilan). Perbedaan kedua dasar penyusunan

laporan keuangan tersebut mengakibatkan perbedaan penghitungan laba (rugi) suatu

entitas.

b. Penyebab Perbedaan Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan

Fiskal

Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal

adalah karena terdapat perbedaan prinsip akuntansi, perbedaan metode dan prosedur
38

akuntansi, perbedaan penghasilan dan biaya, serta perbedaan perlakuan penghasilan

dan biaya.

1) Perbedaan Prinsip Akuntansi

Beberapa prinsip akuntansi yang berlaku umum (SAK) yang telah diakui secara

umum dalam dunia bisnis dan profesi, tetapi tidak diakui dalam fiskal, meliputi:

a) Prinsip konservatisme. Penilaian persediaan akhir berdasarkan metode

“terendah antara harga pokok dan nilai realisasi bersih” dan penilaian piutang

dengan nilai taksiran realisasi bersih, diakui dalam akuntansi komersial, tetapi

tidak diakui dalam fiskal.

b) Prinsip harga perolehan (cost). Dalam akuntansi komersial, penentuan harga

perolehan untuk barang yang diproduksi sendiri boleh memasukkan unsure

biaya tenaga kerja yang berupa natura. Dalam fiskal, pengeluaran dalam bentuk

natura tidak diakui sebagai pengurangan/biaya.

c) Prinsip pemadanan (matching) biaya-manfaat. Akuntansi komersial mengakui

biaya penyusutan pada saat aset tersebut menghasilkan. Dalam fiskal,

penyusutan dapat dimulai sebelum menghasilkan, seperti alat-alat pertanian.

2) Perbedaan Metode dan Prosedur Akuntansi

a) Metode penilaian persediaan. Akuntansi komersial membolehkan memilih

beberapa metode penghitungan/penentuan harga perolehan persediaan, seperti

rata-rata (average), masuk pertama keluar pertama (first in-first out – FIFO),

masuk terakhir keluar pertama (last in-first out – LIFO), pendekatan laba bruto,

pendekatan harga jual eceran, dan lain-lain. Dalam fiskal hanya membolehkan
39

memilih dua metode, yaitu rata-rata (average) atau masuk pertama keluar

pertama (FIFO).

b) Metode penyusutan dan amortisasi. Akuntansi komersial membolehkan

memilih metode penyusutan seperti metode garis lurus (straight line method),

metode saldo menurun (declining balanced method), atau saldo menurun ganda

(double declining balanced method), metode jam jasa, metode jumlah unit

diproduksi, metode berdasarkan jenis dan kelompok, metode anuitas, metode

persediaan, dan lain-lain untuk semua jenis harta berwujud atau aset teap.

Dalam fiskal, pemilihan metode penyusutan lebih terbatas, antara lain metode

garis lurus (straight line method) dan saldo menurun (declining balanced

method) untuk kelompok harta berwujud jenis non bangunan, sedangkan unutk

harta berwujud bangunan dibatasi pada metode garis lurus saja. Di samping

metodenya, termasuk yang membedakan besarnya penyusutan untuk akuntansi

komersial dan fiskal adalah bahwa dalam akuntansi komersial manajemen

dapat menaksir sendiri umur ekonomis atau masa manfaat suatu aset,

sedangkan dalam fiskal umur ekonomis atau masa manfaat diatur dan

ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Demikian pula akuntansi

komersial membolehkan mengakui nilai residu sedangkan fiskal tidak

membolehkan memperhitungkan nilai residu dalam menghitung penyusutan.

c) Metode penghapusan piutang. Dalam akuntansi komersial penghapusan piutang

ditentukan berdasarkan metode cadangan. Sedangkan dalam fiskal,

penghapusan piutang dilakukan pada saat piutang nyata-nyata tidak dapat

ditagih dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan.


40

Pembentukan cadangan dalam fiskal hanya diperbolehkan untuk industri

tertentu seperti usaha bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, usaha asuransi,

dan usaha pertambangan dengan jumlah yang dibatas dengan peraturan

perpajakan.

3) Perbedaan Perlakuan dan Pengakuan Penghasilan dan Biaya

a) Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi bukan merupakan

objek pajak penghasilan. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus

dikeluarkan dari total penghasilan kena pajak atau dikurangkan dari laba

menurut akuntansi komersial. Penghasilan tersebut terdapat dalam pasal 4 ayat

(3) Undang-Undang No. 36 tahun 2008.

b) Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi pengenaan

pajaknya bersifat final. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus

dikeluarkan dari total penghasilan kena pajak atau dikurangkan dari laba

menurut akuntansi komersial. Penghasilan ini terdapat dalam pasal 4 ayat (2)

Undang-Undang No. 36 tahun 2008.

c) Penyebab perbedaan lain yang berasal dari penghasilan adalah:

(1) Kerugian suatu usaha di luar negeri. Dalam akuntansi komersial kerugian

tersebut mengurangi laba bersih, sedangkan dalam fiskal kerugian tersebut

tidak boleh dikurangkan dari total penghasilan (laba) kena pajak.

(2) Kerugian usaha dalam negeri tahun-tahun sebelumnya. Dalam akuntansi

komersial kerugian tersebut tidak berpengaruh dalam penghitungan laba

bersih tahun sekarang, sedangkan dalam fiskal kerugian tahun sebelumnya


41

dapat dikurangkan dari penghasilan (laba) kena pajak tahun sekarang

selama belum lewat waktu 5 tahun.

(3) Imbalan dengan jumlah yang melebih kewajaran. Imbalan yang diterima

atas pekerjaan yang dilakukan oleh pemegang saham atau pihak yang

mempunyai hubungan istimewa dengan jumlah yang melebihi kewajaran.

d) Pengeluaran tertentu diakui dalam akuntansi komersial sebagai biaya atau

pengurang penghasilan bruto, tetapi dalam fiskal pengeluaran tersebut tidak

boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam rekonsiliasi fiskal,

pengeluaran atau biaya tersebut harus ditambahkan pada penghasilan neto

menurut akuntansi. Dalam SPT Tahunan PPh, merupakan koreksi fiskal positif.

Biaya ini secara rinci diatur dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 36

tahun 2008.

Perbedaan penghasilan dan biaya/pengeluaran menurut akuntansi dan menurut

fiskal dapat dikelompokkan menjadi perbedaan tetap atau perbedaan permanen

(permanent differences) dan perbedaan sementara atau perbedaan waktu (timing

differences).

Perbedaan tetap terjadi karena transaksi-transaksi pendapatan dan biaya diakui

menurut akuntansi komersial dan tidak diakui menurut fiskal. Perbedaan tetap

mengakibatkan laba (rugi) bersih menurut akuntansi berbeda (secara tetap) dengan

penghasilan (laba) kena pajak menurut fiskal. Contoh perbedaan tetap adalah:

(1) Penghasilan yang pajaknya bersifat final, seperti bunga bank, dividen, sewa tanah

dan bangunan, dan penghasilan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)

Undang-Undang No. 36 tahun 2008.


42

(2) Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 4

ayat (3) Undang-Undang No. 36 tahun 2008.

(3) Biaya/pengeluaran yang tidak diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan bruto,

seperti pembayaran imbalan dalam bentuk natura, sumbangan, biaya/pengeluaran

untuk kepentingan pribadi pemilik, cadangan atau pemupukan dana cadangan,

pajak penghasilan, dan biaya atau pengurang lain yang tidak diperbolehkan (non

deductible expenses) menurut fiskal sesuai Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 36

Tahun 2008.

Perbedaan waktu terjadi karena perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan

biaya dalam menghitung laba. Suatu biaya atau penghasilan telah diakui menurut

akuntansi komersial dan belum diakui menurut fiskal, atau sebaliknya. Perbedaan ini

bersifat sementara karena akan tertutup pada periode sesudahnya. Contoh perbedaan

ini, antara lain: pengakuan piutang tak tertagih, penyusutan harta berwujud, amortisasi

harta tak berwujud atau hak, penilaian persediaan, dan lain-lain.

c. Teknik Rekonsiliasi Fiskal

Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1) Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut fiskal,

rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari

penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

2) Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut fiskal,

rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan tersebut pada

penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.


43

3) Jika suatu biaya/pengeluaran diakui menurut kauntansi tetapi tidak diakui sebagai

pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan

mengurangkan sejumlah biaya/pengeluaran tersebut dari biaya menurut akuntansi,

yang berarti menambah laba menurut akuntansi.

4) Jika suatu biaya/pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui sebagai

pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan

menambahkan sejumlah biaya/pengeluaran tersebut pada biaya menurut akuntansi,

yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

d. Format Rekonsiliasi Fiskal

Perbedaan dimasukkan sebagai koreksi positif apabila:

1) Pendapatan menurut fiskal lebih besar daripada menurut akuntansi atau suatu

penghasilan diakui menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi.

2) Biaya/pengeluaran menurut fiskal lebih kecil daripada menurut akuntansi atau

suatu baya/pengeluaran tidak diakui menurut fiskal tetapi diakui menurut

akuntansi.

Perbedaan dimasukkan sebagai koreksi negatif apabila:

1) Pendapatan menurut fiskal lebih kecil daripada menurut akuntansi atau suatu

penghasilan tidak diakui menurut fiskal (bukan objek pajak) tetapi diakui menurut

akuntansi.

2) Biaya/pengeluaran menurut fiskal lebih besar daripada menurut akuntansi atau

suatu biaya/pengeluaran diakui menurut fiskal tetap tidak diakui menurut

akuntansi.

3) Suatu pendapatan telah dikenakan pajak penghasilan bersifat final.


44

Berikut ini adalah format yang biasa digunakan untuk memudahkan rekonsiliasi fiskal:

Tabel 2.2
Wajib Pajak X
Rekonsiliasi Fiskal
Tahun 20xx

Koreksi Fiskal
Keterangan Menurut Akuntansi Menurut Fiskal
Positif Negatif
Pendapatan:
-
Biaya-biaya:
-
Laba Laba bersih sebelum pajak Laba kena pajak
Sumber: Perpajakan: Teori dan Kasus Tahun 2014 Halaman 406
45

B. Kerangka Pemikiran

PT XYZ menyelenggarakan pembukuan yang dilakukan dengan metode akrual. Laporan

keuangan disusun dalam satu periode yang dimulai dari Januari dan berakhir pada Desember.

Laporan keuangan PT XYZ telah diaudit dan pelaporannya sesuai dengan Standar Akuntansi

Keuangan Indonesia (SAK). Laporan keuangan PT XYZ terdiri dari Laporan Posisi

Keuangan, Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain, Laporan Perubahan

Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Laba Rugi dan

Penghasilan Komprehensif Lain meliputi pendapatan dan beban yang terjadi selama periode

berjalan yang selisih positifnya disebut laba komersial atau laba sebelum pajak.

PT XYZ terdaftar sebagai wajib pajak badan yang harus memenuhi kewajibannya yaitu

menghitung, membayar, dan melaporkan pajak penghasilan badan. Untuk memenuhi

kewajiban menghitung, PT XYZ wajib menyesuaikan pendapatan dan beban yang telah

dicatatnya sebagai laba komersial dengan ketentuan peraturan perpajakan terkait.

Dalam istilah pajak, penyesuaian yang dilakukan dikenal dengan koreksi fiskal. Koreksi

fiskal terbagi menjadi koreksi fiskal positif dan negatif. Koreksi ini disebabkan adanya

perbedaan tetap dan waktu antara pengakuan menurut akuntansi dan pajak. Setelah dilakukan

koreksi fiskal, maka laba komersial atau laba sebelum pajak disebut laba neto fiskal. Laba neto

fiskal yang dikurangkan dengan kompensasi kerugian akan menghasilkan penghasilan kena

pajak sebagai dasar dalam menghitung pajak penghasilan badan PT XYZ. Dalam tugas akhir

ini, penulis mencoba menyajikan pencatatan laba sebelum pajak menurut akuntansi

berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan dan pencatatan laba kena pajak menurut ketentuan

peraturan perpajakan pada PT XYZ tahun 2015. Kerangka pemikiran penulis disajikan pada

gambar 2.2 berikut ini:


46

Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran

PT XYZ

Pembukuan

Laporan Laba Rugi dan


Penghasilan Komprehensif Lain

Pendapatan Beban
Dasar Hukum:

PSAK No. 1 (Revisi 2013)


Laba Sebelum Pajak

Beda Tetap Beda Waktu


Dasar Hukum:

Koreksi Fiskal 1. UU RI No. 16 tahun 2009


2. UU RI No. 36 tahun 2008
3. KepPres No. 220 tahun 2002
Positif Negatif 4. PMK No. 02/PMK.03/2010
5. PMK No. 83/PMK.03/2009
6. PP RI No. 123 tahun 2015
Penghasilan Kena Pajak

Sumber : Diolah penulis

Keterangan :

Garis fungsional

Anda mungkin juga menyukai