Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI


Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Budaya Anti Korupsi Yang
Diampu Oleh: Hermin Nugraheni S. Km,. M. Kes

Disusun Oleh : Kelompok 3

1. Oktalia Suci Anggraeni P1337420617009


2. Hadania Madhita P1337420617010
3. Inna Nur Hayati P1337420617015
4. Adinda Dwi Elsa Melia P1337420617020
5. Ananda Ayu Damayanti P1337420617021
6. Dona Putu Sari P1337420617030
7. Adi Laksono P1337420617040
8. Fina Fitriana P1337420617041
9. Bunga Ayu Lestari P1337420617042
10. Achmad Faozi P1337420617047
11. Ira Hadnasari P1337420617050
12. Yuma Nur Rofifah P1337420617051
13. Elvira Kartika P1337420617055
14. Anisa P1337420617063
15. Alifia Jaya Wandira P1337420617085

S1 TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Tugas Makalah Mata Kuliah
Pendidikan Budaya Anti Korupsi ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Tak
lupa pula, penyusun kirimkan salam dan shalawat kepada junjungan kita semua, Rasulullah
Muhammad SAW, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Penyusun mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan
yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan
makalah ini hingga selesai. Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik
dari segi materi maupun penyajiannya. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan dalam penyempurnaan tugas ini.
Terakhir penyusun berharap, semoga makalah ini dapat memberikan hal yang
bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penyusun juga.

Semarang, 18 Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................1
1.3 Permasalahan..........................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................2
2.1 Perilaku Berlalu Lintas..........................................................................................................2
2.3 Tata cara dan prosedur penindakan pelanggaran................................................................6
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................................10
3.1 Perspektiv Budaya Melanggar Lalu Lintas......................................................................10
BAB IV PENUTUP.................................................................................................................12
4.1 Simpulan.......................................................................................................................12
4.2 Saran......................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Korupsi adalah suatu tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Penyebab
adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara
umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau orang lain secara tidak sah.
Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya
Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di
mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi.Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu
sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan
korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari
pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power
tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang merupakan
suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang
dalam  posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang
memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu.Apabila seseorang tersebut tidak
memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi.Namun,
merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’.
Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk
kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja faktor yang mempengaruhi seseorang berbuat korupsi?
2. Bagaimana tanggapan mengenai pelanggar lalu lintas yang mencoba berdamai dengan
petugas?
1.3 Permasalahan
Dalam perspektif budaya banyak faktor mempengaruhi orang untuk melakukan
koruptif, diantaraya kebiasaan buruk masyarakat yang ketika melanggar aturan lalu lintas
kemudian mencoba “berdamai” dengan petugas.Kemukakan pendapat anda antara
budaya seperti inidengan suburnya perilaku koruptif.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Berlalu Lintas


Perilaku Berlalu Lintas Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas
manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Dalam berbagai literatur tentang proses perilaku (beavioural processes) diungkapkan  
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya dalam aktivitas sehari‐
harinya. Hal ini digambarkan Chaphin, “what individuals actually do in their daily
routine is ‘the result of a complex and variable mix of incentives and constrains serving
to mediate choice, often functioning in differentially lagged combination, with some
activities directly treciable to positive choices, and some attributable to negative
overshadow opportunities for choice.”     Teori ini dapat dijelaskan dalam bidang
transportasi, dalam hal ini perilaku masyarakat dalam berlalu‐lintas.
Sebagai ilustrasi, perhatikan perilaku pengguna jalan (pengemudi dan pejalan kaki)
di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin Jakarta (istilahnya jalan protocol/utama).
Bandingkan dengan perilaku pengguna jalan di Jalan Pasar Minggu, Jalan Daan Mogot
menuju Tanggerang, atau contoh lain yang lebih ekstrem di luar kota sepanjang Jalan
Pantura antara Cikampek sampai Cirebon.
Melihat hal tersebut, perilaku pengemudi kendaraan di Jalan Sudirman dan
Thamrin cenderung tertib.Tingkat perhatian terhadap rambu lalu‐lintas tinggi, cenderung
waspada karena khawatir melanggar rambu‐rambu lalu‐lintas.Tidak demikian dengan
kondisi kedua, paling sering ditemui kendaran berjalan zig‐zag, ada yang menerabas
lampu merah atau antrian kendaraan, berhenti di sembarang tempat bahkan di bawah
rambu dilarang berhenti.Pejalan kaki menyeberang jalan di semberang tempat
sekehendak hatinya, bahkan tidak jarang tanpa malu‐malu menyeberang di bawah
jembatan penyeberangan.Kondisi ini diistilahkan oleh EmileDurkheim sebagai anomie,
berpudarnya peganggan pada kaidah‐kaidah yang ada, menimbulkan keadaan yang tidak
stabil dan keadaan tanpa kaidah.Perilaku menyimpang (deviant behavior) terjadi apabila

2
manusia mempunyai kecenderungan untuk lebih mementingkan suatu nilai sosial budaya
daripada kaidah‐kaidah yang ada untuk mencapai cita‐cita atau kepentingannya.
Kontjaraningrat mengungkapkan keadaan semacam itu dapat dijumpai pada
masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di kota‐kota besar, pada khususnya setelah
Perang Dunia II.Gejala tersebut berwujud sebagai mentalitas menerabas yang pada
hakikatnya menimbulkan sikap untuk memcapai tujuan secepatnya tanpa mengikuti
kaidah‐kaidah (aturan) yang telah ditentukan.10 Mentalitas menerabas antrian kendaraan
di jalan menyebabkan aliran kendaraan menjadi tidak lancar sehingga menimbulkan
kemacetan lalulintas.
Demikian halnya jika ditinjau terhadap kepatuhan pengguna jalan terhadap aturan
lalulintas.Pada kondisi yang pertama para pengguna jalan umumnya mengetahui bahwa
sepanjang jalan Sudirman dan Thamrin pengawasan Polisi Lalu Lintas (Polantas) sangat
tinggi.Pengguna jalan sering disuguhi pemandangan kendaraan yang terkena tilang oleh
Polantas karena melanggara rambu lalu lintas, termasuk mungkin pengalaman dirinya.
Pejalan kaki akan mendapat peringatan keras dari petugas jika menyeberang tidak pada
tempatnya.
Pada kondisi yang kedua para pengguna jalan umumnya mengetahui bahwa
sepanjang jalan non‐protokol pengawasan Polantas tidak tinggi atau jarang.Kalaupun ada
Polantas hanya di beberapa titik tertentu yang keberadaan dan waktunya sudah sangat
diketahui oleh pengendara yang rutin melintasi jalan tersebut, sehingga harus lebih
“waspada” jika melewati kawasan tersebut.Namun kondisi yang lebih parah terjadi di
beberapa tempat seperti di mulut terminal dan pusat perbelanjaan, pengemudi kedaraan
seolah‐olah tanpa rasa takut melanggar rambu‐rambu seperti dilarang berhenti walaupun
di dekatnya ada Polantas.
Kompleksitas masalah pelanggaran lalu‐lintas/ketidak patuhan terhadap hukum
berlalu‐lintas dapat dijelaskan dengan konsep sikap.Dalam ilmu psikologisosial, perilaku
pelanggaran lalu lintas dapat didekati dengan konsep sikap.Sikap didefinisikan sebagai
“a psychological tendency that is expressed by evaluating a particular entity with some
degree of favor or disfavor”. Atau, “a summary evaluation of an object of
thought….encompass affective, behavioral, and cognitive responses”. Dengan kata lain
sikap adalah penilaian atau evaluasi yang diberikan oleh individu terhadap suatu obyek   
dengan derajat suka sampai tidak suka. Sikap juga memiliki komponen afektif, tingkah
laku, dan kognitif.Artinya sikap seseorang dapat ditampilkan dalam bentuk afek/emosi

3
(misal, marah atau kagum), tingkah laku (misal, melakukan atau tidak melakukan), atau
pikiran (misal, mendukung atau tidak mendukung). Dalam berbagai domain tingkah laku
manusia, sikap sangat penting karena memiliki tiga tingkat implikasi: individual,
interpersonal, dan societal. Pada individual level, sikap memengaruhi persepsi, cara
berpikir, sikap lain dan tingkah laku orang. Pada interpersonal level, sikap membantu
memprediksi dan mengontrol reaksi orang lain, jika ia diketahui. Pada societal level,
sikap merupakan inti dari kerjasama atau konflik antarkelompok.
Tingkah laku berkendara yang tidak biasa (aberrant driving behavior) dapat
dibedakan menjadi tiga jenis: lapses, errors, violation. Lapses mewakili problem
perhatian dan memori, umumnya dialami orang tua dan perempuan, kadang tidak
berbahaya namun memalukan.  Errors mewakili kegagalan observasi dan penilaian,
seperti tidak melihat rambu/kendaraan lain,    gagal belok, di mana tingkah laku ini lebih
berbahaya dan semua pengendara mengalaminya.Violations mewakili    tingkah laku
berkendara yang beresiko dan dilakukan dengan sengaja, seperti mengebut dan
menerabas lampu merah, di mana anak muda dan laki‐laki cenderung lebih terlibat dalam
tingkah laku.    Yang menjadi fokus dalam pembahasan dalam    pengkajian hukum ini
adalah violations atau pelanggaran.  
2.2 Hukum Berlalu Lintas
Lalu‐Lintas di dalam Undang‐undang No 22 tahun 200924 didefinisikan sebagai
gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan, sedang yang dimaksud dengan
Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah
Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung.  
Pemerintah mempunyai tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan
yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien melalui
manajemen lalu lintas dan rekayasa lalu lintas.  
Tata cara berlalu lintas di jalan diatur dengan peraturan perundangan menyangkut
arah lalu lintas, perioritas menggunakan jalan, lajur lalu lintas, jalur lalu lintas dan
pengendalian arus di persimpangan.
Ditetapkannya Undang‐Undang Nomor No 22 tahun 2009 tidak dapat dipisahkan
dari jalinan “sistem pemidanaan” dengan ketentuan induknya Kitab Undang‐Undang
Hukum Pidana (KUHP/WvS). Ketentuan induk dimaksud ada dalam Buku Kesatu
tentang ”Aturan Umum” KUHP/WvS, dari Bab I sampai dengan Bab IX merupakan sub‐
sistem pemidanaan dari sistem hukum pidana materiil yang berfungsi sebagai “Central

4
Proccessing Unit/CPU” (semacam mesin penggerak) dari seluruh ketentuan dalam Buku
Kedua dan Buku Ketiga. Sub‐sistem pemidanaan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII
berlaku bagi ketentuan perundang‐undangan di luarnya (UU Nomor 22 Tahun 2009)
kecuali ketentuan tersebut menentukan lain(asas “lex spcesialis derogad legi generalis”).
Ketentuan yang berbunyi, “.......berlaku bagi perbuatan‐perbuatan yang oleh
ketentuan perundang‐undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh
undang‐undang ditentukan lain” dalam Pasal 103 KUHP merupakan petunjuk
keberadaan ketentuan perundang‐undangan baik yang berkualifikasi pidana maupun
administratif. Makna dari perbuatan yang diancam dengan pidana adalah “tindak pidana”
yang dirumuskan dalam ketentuan perundang‐undangan tersebut.
Perumusan “tindak pidana”    dalam ketentuan perundang‐undangan dilengkapi
dengan perumusan tentang “pertanggungjawaban pidana” serta perumusan tentang
“pidana dan pemidanaan”. Dalam salah satu makalah, Barda Nawawi Arief merujuk
pandangan Nils Jareborg, bahwa keseluruhan struktur sistem hukum pidana meliputi:  
a. Masalah kriminalisasi (criminalization), perumusan tindak pidana;
b. Masalah pemidanaan/penjatuhan sanksi (sentencing); dan
c. Masalah pelaksanaan pidana/sanksi hukum pidana (execution of punishment).
Dalam ketiga ruang lingkup sistem hukum pidana itu, tercakup tiga masalah pokok
hukum pidana yaitu:  
a. Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana;
b. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/ mempertanggung
jawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu;  dan
c. Sanksi pidana apa yang sepatutnya dikenakan kepada pelaku tindak pidana.
Ketiga masalah pokok hukum pidana di atas dalam ketentuan perundang‐undangan
juga merupakan   sub‐sistem pemidanaan. Dengan demikian kajian terhadap setiap
kebijakan perumusan sub‐sistem pemidanaan yang tercantum dalam    ketentuan
perundang‐undangan    hukum pidana materiil tidak dapat dipisah‐lepaskan dengan
“Ketentuan Induk” Bab I sampai dengan Bab VIII Buku Kesatu KUHP/WvS, kecuali
ditentukan lain.
Masalah keselamatan dalam berlau‐lintas tidak hanya terbatas pada kecelakaan
lalu‐lintas, namun lebih luas lagi meliputi tercapainya lingkungan yang aman dan
nyaman bagi pengguna jalan. Berdasarkan kesepahaman internasional mengenai
keselamatan lalu‐lintas yang tertuang dalam Global Road Safety Partnership‐GRSP

5
(2008), bahwa keselamatan berlalu‐lintas telah melibatkan elemen‐elemen pemerintah,
bisnis dan masyarakat sipil dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesadaran tentang
pentingnya keselamatan dan upaya menurunkan angka kematian serta luka‐luka akibat
kecelakaan lalu‐lintas secaraberkesinambungan terutama pada Negara‐negara
berkembang dan transisi. GRSP meluncurkan Global Road Safety Initiative, program
GRSI mefokuskan faktor‐faktor kunci yang diidentifikasikan    ole Organisasi Kesehatan
Dunia/World Health Organization 2004 pada pencegahan kecelakaan lalu‐lintas yang
meliputi; penggunaan helm, alkohol, manajemen kecepatan dan keselamatan pejalan kaki
serta pemakai jalan yang rentan terhadap kecelakaan.
2.3 Tata cara dan prosedur penindakan pelanggaran
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan "tindak pidana Undang‐Undang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan tertentu" adalah:
a. Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban,
keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan;
b. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan Surat Izin
Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan, surat tanda lulus uji kendaraan
yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan
perundang‐undangan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau dapat memperlihatkannya
tetapi masa berlakunya sudah kadaluwarsa;
c. Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang‐undangan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan tentang penomoran, persyaratan teknis dan laik jalan, pemuatan kendaraan, dan
syarat penggandengan dengan kendaraan lain; d. kendaraan bermotor dioperasikan di
jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah sesuai dengan Surat
Tanda Nomor Kendaraan yang bersangkutan;
d. Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan
dan/atau alat pemberi isyarat lalu lintas, rambu‐rambu, atau tanda yang ada
dipermukaan jalan;
e. Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara
menaikkan dan menurunkan penumpang dan/atau cara memuat dan membongkar
barang;
f. Pelanggaran terhadap perizinan angkutan; dan
g. Pelanggaran terhadap ketentuan peruntukan kendaraan.

6
Penerbitan Surat Tilang dilakukan dengan pengisian dan penandatanganan Belangko
Tilang, yang paling sedikit berisi kolom mengenai:
a. Identitas pelanggar dan Kendaraan Bermotor yang digunakan;
b. Ketentuan dan pasal yang dilanggar;
c. Hari, tanggal, jam, dan tempat terjadinya pelanggaran;
d. Barang bukti yang disita;
e. Jumlah uang titipan denda ke bank, hanya dapat diisi bagi Pelanggar Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang tidak menghadiri sidang.
f. Tempat atau alamat dan/atau nomor telepon pelanggar;
g. Pemberian kuasa;
h. Penandatanganan oleh pelanggar dan Petugas Pemeriksa;
i. Berita acara singkat penyerahan Surat Tilang kepada pengadilan;
j. Hari, tanggal, jam, dan tempat untuk menghadiri sidang pengadilan; dan
k. Catatan petugas penindak, apabila pelanggar tidak mau tanda tangan dalam Belangko
Tilang, catatan jumlah pelanggaran yang telah dilakukan sebagai pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan sanksi pidana.
Surat Tilang tersebut harus ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa dan pelanggar dan
menjadi dasar bagi pelanggar untuk hadir di persidangan ataupembayaran uang titipan
untuk membayar denda melalui bank yang ditunjuk oleh Pemerintah. Dalam hal
pelanggar tidak bersedia menandatangani Surat Tilang, petugas harus memberikan
catatan.
Selanjutnya, Penyidik PNS wajib menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta barang bukti kepada pengadilan
melalui penyidik POLRI paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diberikan Surat Tilang atau
3 (tiga) hari kerja sebelum pelaksanaan hari sidang berikutnya.
Surat Tilang dan alat bukti disampaikan kepada Pengadilan Negeri tempat terjadinya
pelanggaran dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak terjadinya
pelanggaran.Dalam hal pelanggar menitipkan uang denda melalui bank yang ditunjuk
oleh Pemerintah, bukti penitipan uang denda dilampirkan dalam Surat Tilang.
Pelaksanaan persidangan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan
sesuai dengan hari  sidang yang tersebut dalam Surat Tilang, dan dapat dilaksanakan
dengan atau tanpa kehadiran pelanggar atau kuasanya.
Selanjutnya, dalam Pasal 32 ayat (1) PP 80/2012 disebutkan bahwa petugas pemeriksa
dalam hal ini Polisi dan PPNS dibidang LLAJ / PPNS Dishub dapat melakukan
7
penyitaan atas SIM, STNK, Surat Ijin  Penyelenggaraan Angkutan Umum, Tanda bukti
lulus uji, barang muatan, dan kendaraan bermotor yang digunakan untuk melakukan
pelanggaran.
Kewajiban bagi pelanggar Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk membayar denda
pidana yang ditetapkan oleh pengadilan dapat dipermudah dengan adanya ketentuan
mengenai titipan uang denda yang dilakukan oleh pelanggar pada saat penerbitan Surat
Tilang melalui penitipan ke bank yang ditunjuk. Pembayaran uang denda tilang
pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan setelah adanya putusan
pengadilan atau dapat dilakukan pada saat pemberian Surat Tilang dengan cara penitipan
kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Pada dasarnya, setiap surat tilang harus ditandatangani oleh petugas pemeriksa dan
pelanggar (Pasal 27 ayat [1] PP 80/2012). Kalaupun pelanggar tidak bersedia
menandatangani surat tilang, petugas harus memberi catatan pada surat tilang (Pasal 27
ayat [4] PP 80/2012). Petugas kepolisian yang melakukan penindakan pelanggaran lalu
lintas akan menerbitkan surat tilang dengan cara mengisi blangko tilang yang berisi
antara lain (Pasal 25 ayat [2] PP 80/2012):
a. Identitas pelanggar dan Kendaraan Bermotor yang digunakan;
b. Ketentuan dan pasal yang dilanggar;
c. Hari, tanggal, jam, dan tempat terjadinya pelanggaran;
d. Barang bukti yang disita;
e. Jumlah uang titipan denda ke bank;
f. Tempat atau alamat dan/atau nomor telepon pelanggar;
g. Pemberian kuasa;
h. Penandatanganan oleh pelanggar dan Petugas Pemeriksa;
i. Berita acara singkat penyerahan Surat Tilang kepada pengadilan;
j. Hari, tanggal, jam, dan tempat untuk menghadiri sidang pengadilan; dan
k. Catatan petugas penindak.
Pemberian uang titipan denda ke bank, hanya diisi apabila pelanggar tidak menghadiri
sidang (Pasal 25 ayat [3] PP 80/2012).Jadi, denda atas pelanggaran lalu lintas bisa
dititipkan. Pelanggar dapat menitipkan uang denda pelanggaran lalu lintas melalui bank
yang ditunjuk oleh Pemerintah dengan menyertakan surat tilang yang telah
ditandatangani oleh petugas kepolisian dan pelanggar (Pasal 27 ayat [2] huruf a jo. Pasal
29 ayat [2] PP 80/2012). Bukti penitipan uang denda dinyatakan sah apabila (Pasal 31
ayat [1] PP 80/2012):
8
a. Dibubuhi stempel dan tanda tangan petugas bank dalam hal penitipan uang denda
dilakukan secara tunai; atau
b. Format bukti penyerahan atau pengiriman uang denda sesuai dengan yang ditetapkan
dalam hal penitipan dilakukan melalui alat pembayaran elektronik.       
Besarnya uang denda yang dibayarkan adalah sesuai dengan yang ditetapkan dalam
putusan pengadilan (Pasal 30 ayat [3] PP No. 80/2012).  
Apabila uang yang telah dititipkan melalui bank ternyata lebih besar dari yang
ditetapkan dalam putusan pengadilan, maka jaksa memberitahu pelanggar melalui
petugas penindak untuk mengambil sisa uang titipan paling lama 14 hari kerja sejak
putusan diterima, dan jika tidak diambil dalam jangka kurun waktu 1 tahun maka sisa
uang titipan disetorkan ke Kas Negara (Pasal 30 ayat [2] dan [3] PP 80/2012).  
Apabila pengadilan menetapkan denda yang lebih kecil dari titipan uang denda, maka
kewajiban jaksa penuntut umum untuk memberitahukan kepada pelanggar untuk
mengambil kelebihan uang titipan denda.Apabila dalam waktu 1(satu) tahun sejak
penetapan pengadilan, kelebihan uang titipan denda tidak diambil maka kelebihan uang
titipan denda disetorkan ke kas Negara.
Pelaksanaan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan pada prinsipnya tidak
dilakukan penyitaan, akan tetapi untuk menjamin keselamatan dan keamanan lalu lintas
dan angkutan jalan dapat dilakukan penyitaan terhadap kendaraan bermotor yang diduga
digunakan untuk tindakan pidana atau dari hasil tindak pidana. Selain tindakan
penyitaan, petugas pemeriksa dapat memerintahkan secara tertulis kepada pengemudi
kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan
untuk melakukan: pemenuhan persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan yang tidak
dipenuhi; dan/atau uji berkala ulang. Dalam hal kendaraan bermotor tidak memenuhi
persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan, petugas pemeriksa dapat melarang atau
menunda pengoperasian kendaraan bermotor.
Adapun sanksi yang dapat dikenakan kepada Pengemudi yang melakukan
pelanggaran adalah sebagai berikut:
a. Pemberian tanda atau data pelanggaran pada SIM jika pelanggar melakukan
pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
b. Pencabutan sementara SIM jika pengemudi melakukan pengulangan pelanggaran Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.; atau
c. Pencabutan SIM yang ditetapkan melalui putusan Pengadilan Negeri.

9
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Perspektif Budaya Melanggar Lalu Lintas


Bentuk atau perwujudan utama korupsi menurut Amundsen dalam Andvig et al.
(2000) dalam (Happy,2016) menyebutkan bahwa terdapat 6 karakteristik dasar korupsi,
salah satunya yaitu Suap (Bribery) adalah pembayaran dalam bentuk uang atau barang
yang diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi. Suap merupakan jumlah yang
tetap, persentase dari sebuah kontrak, atau bantuan dalam bentuk uang apapun. Biasanya
dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat perjanjuan atas nama negara atau
mendistribusikan keuntungan kepada perusahaan atau perorangan dan perusahaan.
Masyarakat befikiran semua urusan dengan polisi akan selesai jika berakhir dengan
uang, akhirnya pelanggar pun selalu menyelesaikan kasus tilang dengan berujung damai.
Fenomena ini masih sering terjadi di Indonesia. Ada beberapa penyebab yang
mempengaruhi terhadap budaya tilang berujung damai dengan petugas lalu lintas
1. Teman sebaya
Dari interaksi-interaksi yang dilakukan antara teman dengan teman kemudian
akan menjadi saling terbuka dan akhirnya menjadi saling ketergantungan. Maksud
dari saling ketergantungan disini misalnya dalam memenuhi kebiasaan-kebiasaan
yang apabila tidak terpenuhi maka akan melahirkan kekecewaan. Selain itu juga akan
merasa saling menguntungkan, bukan saling menjatuhkan. Dalam hal ini misalnya
seorang teman yang memiliki pengalaman pernah ditilang oleh polisi lalu lintas, maka
ia akan berbagi tentang pengalamannya tersebut, dengan tujuan agar temannya tidak
lebih buruk nasibnya ketika sedang mengalami kejadian yang sama yaitu ditilang
petugas lalu lintas.
2. Menghindari birokrasi persidangan
Berbicara mengenai birokrasi persidangan memang identik dengan proses
yang panjang, dan hal itu tentu memakan waktu yang banyak untuk menyelesaikan
kasus di persidangan. Kasus seperti tilang pada dasarnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan salah satu caranya adalah diselesaikan melalui persidangan.
Akan tetapi banyak masyarakat yang enggan untuk menyelasaikan kasus tilang
dipersidangan, melihat bahwa persidangan membutuhkan waktu yang lama dan harus
mengikutu prosedur dari aturan persidangan yang tergolong ribet. Sebagian besar
masyarakat yang ditilang polisi lalu lintas lebih memilih jalan damai daripada melalui
persidangan.
10
3. Menghindari sanksi keluarga
Keluarga merupakan suatu kelompok yang terdiri dari orang tua dan anak,
orang tua menjadi sangat berperan penting dalam pertumbuhan seorang anak. Perilaku
orang tua yang gemar menghukumi anaknya dengan hukuman berlebihan namun
dengan maksud untuk mendisiplikan anak, sebagian keluarga mensuguhi dengan
perkataan-perkataan kekerasan daripada memberikan teladan yang diharapkan anak.
Misalnya X yang masih 15 tahun sudah jelas belum memenuhi syarat cukup
usia untuk mengendarai motor, karena tidak memiliki surat izin mengemudi.
Berdasarkan motive X yakni mengalami kegagalan dalam sosialisasi keluarga
menjadikan sebabnya melakukan tilang berujung damai. X tidak mau membicarakan
dengan keluarga karena takut di hukum/ dimarahi. Disini terjadilah kegagalan dalam
sosialisasi keluarga.
4. Faktor ekonomi
Untuk sebagian orang yang memiliki ekonomi rendah dan lebih
mengutamakan kebutuhan rumah tangga, sehingga harus jeli dalam melakukan
pengeluaran misal. Seorang bapak x yang pernah saling bercbagi pengalaman dengan
teman- temanya saat di tilang menurutnya ditilang dengan berdamai dengan polisi
hanya bertarif sekitar Rp 50.000, sedangkan untuk biaya dipersidangan bisa Rp
100.000 saja. Sedangkan biaya tilang di persidangan bisa menghabiskan sekitar Rp
100.000, belum lagi kalau lewat calo bisa sampai Rp 150.000. tidak heran jika
individu memilih damai, selain bisa menghemat masalah waktu dengan urusan
persidangan juga bisa menghemat pengeluaran karena faktor ekonomi.
5. Berpengalaman melakukan tilang damai
Tumbuhnya budaya tertib dimulai dari menciptakan kedisiplinan di tengah
masyarakat. Selama ini, ada kebiasaan buruk yang menjadi indikator masih lemahnya
kedisiplinan di bidang lalu lintas. Kebiasaan buruk yang sering dijumpai antara lain :
belum memenuhi kelengkapan kendaraan seperti lampu isyarat, lampu rem di ganti
dengan warna yang tidak sesuai ketentuan. Hal ini menyebabkan risiko yang
membahayakan pengendara lainnya. Kemudia masalah spion yang juga tidak sesuai
standart, ukuran ban yang di ganti tidak sesuai standart. Ada sebagian orang yang
memiliki kebiasaan tersebut dan cenderung memodif kendaraanya yang tidak sesuai
sehingga enggan mengganti sesuai standar kendaraan. Hal ini bisa menyebabkan
seseorang tersebut sering di tilang oleh polisi karena mengulangi kesalahan dan
melakukan tilang berujung damai.
11
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Suap (Bribery) adalah pembayaran dalam bentuk uang atau barang yang diberikan
atau diambil dalam hubungan korupsi. Biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang
dapat membuat perjanjuan atas nama negara atau mendistribusikan keuntungan kepada
perusahaan atau perorangan dan perusahaan. Ada beberapa penyebab yang
mempengaruhi terhadap budaya tilang berujung damai dengan petugas lalu lintas yaitu :
a. Teman sebaya
b. Menghindari birokrasi persidangan
c. Menghindari sanksi keluarga
d. Faktor ekonomi
e. Berpengalaman melakukan tilang damai

4.2 Saran
Budaya korupsi menjadi cermin dari kepribadian bangsa yang buruk dan sungguh
membuat negara ini miskin karena kekayaan-kekayaan negara dicuri untuk kepentingan
segelintir orang tanpa memperdulikan bahwa dengan tindakannya akan membuat
kerugian berbagai pihak. Tentu untuk mengatasi masalah korupsi ini adalah tugas berat
namun tidak mustahil untuk dilakukan. Dibutuhkan lintas aspek dan tinjauan untuk
mengatasi, mencegah tindakan korupsi. Tidak saja dari segi aspek agama (mengingatkan
bahwa korupsi, dan menyalahkan kekuasaan adalah tindakan tercela dalam agama),
dibutuhkan juga penegakan hukum yang berat untuk menjerat para koruptor sehingga
mereka jera, serta dibutuhkan norma sosial untuk memberikan rasa malu kepada pelaku
koruptor bahwa mereka juga akan bernasib sama dengan pelaku terorisme. Tugas kita
semua sebagai warga negara ikut serta dalam upaya pemberantasan korupsi agar korupsi
tidak semakin membudaya. Salah satunya yaitu dengan menghindari gerakan “suap”
karena dari hal itu dapat membuat kita korupsi ke lingkup yang lebih besar lagi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Faidah, M,.2015. Fenomena Tilang Damai oleh penggar lalu lintas di wilayah gresik.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. 3(3). 1-7

Hariyani, Happy F,. Dkk. 2016. Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Korupsi Di
Kawasan Asia Pasifik. Pasca sarjana IPB: Jurnal Ekonomi dan Kebijakan
Pembangunan.32-44. 5(2) .

Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu‐Lintas dan Angkutan Jalan.


www.ditjenpum.go.id/hukum/2009/uu/UU_22_. Diakses pada tanggal 18 Agustus 2020
pukul 14.00 WIB.

Tahun_2009. Buku Kedua Konsep KUHP Tahun 2012,


http://www.legalitas.org/database/rancangan/2012/KUHP. Diakses pada tanggal 18
Agustus 2020 pukul 14.20 WIB.

Buku II 2012 Buku Kesatu Konsep KUHP Tahun 2012,


http://www.legalitas.org/database/rancangan/2012/KUHPBukuI2012. Diakses pada
tanggal 18 Agustus 2020 pukul 14.30 WIB.

13

Anda mungkin juga menyukai