Anda di halaman 1dari 17

PRESENTASI KASUS Kepada Yth:

Dipresentasikan pada:
Hari/Tanggal : Kamis / 9 Juni 2016
Jam : 12.00 WITA

REAKSI J ARISCH–HERXHEIMER PADA


ROSEOLA SIFILITIKA

Oleh :

Nieke Andina Wijaya

Pembimbing :

Dr. dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD / RSUP SANGLAH
DENPASAR
2016
PENDAH ULUAN

Sifilis merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh


Treponema pallidum. Sifilis memiliki perjalanan penyakit yang bersifat kronis,
memiliki fase laten dan dapat kambuh kembali. Penyakit ini bersifat invasif
dimana dapat menyerang semua organ tubuh dan gambaran klinisnya dapat
menyerupai banyak penyakit lain. Infeksi ini biasanya ditularkan melalui
hubungan seksual tetapi dapat juga melalui plasenta dari ibu ke janin. Sifilis pada
pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) memiliki gambaran
klinis yang serupa dengan pasien sifilis tanpa infeksi HIV.1,2,3
Hingga saat ini sifilis merupakan infeksi yang umum ditemukan di seluruh
dunia dan 90% terjadi di negara berkembang. Di negara barat insiden sifilis
mencapai puncaknya pada masa perang dunia kedua dan menurun secara dramatis
setelah ditemukannya penisilin.4,5 Di rumah sakit Sanglah Denpasar, dari tahun
2010 sampai 2014 didapatkan 79 kasus sifilis baru yang terdiri atas 9 kasus sifilis
primer, 40 sifilis sekunder, 15 sifilis laten dini, 14 sifilis laten lanjut dan 1 sifilis
kongenital.6
Berdasarkan gejala klinisnya, sifilis dibagi menjadi 4 stadium yaitu sifilis
primer, sifilis sekunder, sifilis laten (dini dan lanjut) serta sifilis tersier. Sifilis
sekunder terjadi akibat multiplikasi dan penyebaran treponema secara hematogen
ke seluruh jaringan tubuh dengan manifestasi klinis yang beragam dan sulit
dibedakan dengan penyakit lainnya sehingga disebut the great immitator. Roseola
sifilitika merupakan salah satu manifestasi klinis sifilis sekunder yang berupa
makula atau makulopapular berwarna merah atau merah tembaga yang tampak
secara simetris pada badan, ekstremitas serta telapak tangan dan telapak kaki. Lesi
biasanya tidak gatal, namun pada suatu studi didapatkan pada 40% pasien timbul
rasa gatal. 1,4,5
Tujuan utama pengobatan sifilis adalah untuk mencegah transmisi dan
komplikasi sifilis. Berdasarkan laporan kasus dan uji klinis maka penisilin G
parenteral direkomendasikan sebagai terapi pada semua stadium sifilis dimana
dosis dan waktu pemberian disesuaikan dengan stadium penyakit dan usia pasien.

1
Center for Disease Controls and Preventions (CDC) merekomendasikan
pemberian benzatin penisilin 2,4 juta internasional unit (IU) dosis tunggal secara
intramuskuler untuk pengobatan sifilis sekunder. Rekomendasi terapi sifilis
sekunder pada pasien dengan HIV sama dengan sifilis sekunder tanpa infeksi
HIV.2,4,7
Reaksi Jarisch-Herxheimer (JH) merupakan suatu reaksi inflamasi yang
timbul dalam 12 jam setelah pemberian terapi antibiotik pada spirochaeta, dan
paling sering terjadi dalam 2-5 jam setelah terapi. Reaksi JH terdiri dari beberapa
gejala klinis berupa demam, sakit kepala, lesi kulit yang muncul kembali atau
memburuk, limfadenopati, faringitis, malaise, mialgia dan leukositosis. Demam
dapat memuncak dalam 6-8 jam setelah onset penyakit dan berkisar antara 39°–
42°C.1,8
Insiden reaksi JH pada terapi sifilis bervariasi pada beberapa studi,
bergantung pada stadium sifilis. Pada penelitian oleh Miller, dkk. didapatkan
insiden reaksi JH pada sifilis sebesar 9% tanpa membedakan stadium. Pada 50-
75% pasien sifilis primer dan sekunder dapat terjadi reaksi JH. Pasien dengan
infeksi HIV atau wanita hamil memiliki insiden yang lebih tinggi terjadi reaksi JH
saat mendapatkan terapi sifilis.3,8,9
Patogenesis reaksi JH masih belum diketahui dengan pasti, namun diduga
karena pelepasan sitokin yang diperantarai oleh pelepasan lipoprotein dari
organisme Treponema pallidum yang mati. Meskipun kebanyakan reaksi JH dapat
sembuh sendiri dalam 24 jam, namun pada beberapa kasus dapat terjadi kondisi
yang mengancam nyawa.1,9
Pada laporan kasus ini disampaikan satu kasus reaksi Jarisch-Herxheimer
pada roseola sifilitika. Dengan pemaparan kasus ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman lebih mengenai reaksi Jarisch-Herxheimer serta meningkatkan
kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya reaksi akibat terapi sifilis,
terutama pada pasien yang juga terinfeksi HIV.

KASUS

2
Seorang laki-laki, berusia 31 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan
nomor rekam medis 16.00.17.07, datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP
Sanglah pada tanggal 2 Februari 2016 dengan keluhan bercak-bercak merah di
seluruh tubuh.
Dari anamnesis didapatkan keluhan bercak merah muncul sejak kurang
lebih 5 bulan lalu pada kedua telapak tangan dan lengan dan kemudian menyebar
ke kedua telapak kaki dan kemudian ke seluruh tubuh. Gatal dirasakan hilang
timbul namun tidak mengganggu. Pasien tidak mengeluhkan nyeri atau demam.
Pasien mengaku pernah terdapat luka di kelamin kurang lebih 6 bulan sebelum
timbul bercak merah namun tidak terasa nyeri dan sembuh dengan sendirinya
tanpa diobati. Sekitar 2 bulan setelah timbul bercak merah, pasien berobat ke
dokter umum dan diberi obat minum dan salep (pasien lupa nama obatnya) tetapi
bercak tersebut tidak hilang. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan sebelum
keluhan timbul disangkal.
Pasien memiliki riwayat multipartner seksual. Pasien memiliki 2 orang
istri. Pasien menikah dengan istri pertama 11 tahun lalu, dan memiliki 2 orang
anak. Istri pertama pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan didiagnosis
menderita HIV sejak 5 tahun lalu namun tidak diterapi, dan meninggal 4 tahun
lalu. Pasien menikah dengan istri kedua 6 tahun lalu dan bercerai 4 tahun lalu. Istri
kedua pasien bekerja di panti pijat. Istri kedua pasien didiagnosis menderita HIV
sejak sebelum menikah dengan pasien (7 tahun lalu) dan mendapat pengobatan
teratur, namun istri kedua pasien tidak menceritakan penyakitnya kepada pasien
dan pasien baru mengetahui kalau istri keduanya menderita HIV setelah pasien
dan istri pertamanya didiagnosis menderita HIV. Pasien tidak mengetahui adanya
riwayat infeksi menular seksual baik pada istri pertama maupun istri keduanya.
Setelah bercerai dengan istri kedua, pasien berhubungan seksual dengan teman
istri keduanya yang bekerja di panti pijat yang sama dan juga menderita HIV.
Terakhir berhubungan seksual 1 bulan yang lalu. Saat berhubungan seksual pasien
jarang memakai kondom. Pasien tidak pernah berhubungan seksual dengan laki-
laki. Pasien bekerja sebagai satpam di perkantoran.

3
Riwayat sakit seperti ini sebelumnya disangkal. Riwayat muncul bintik-
bintik berair yang terasa nyeri pada kelamin disangkal. Riwayat transfusi darah
ataupun menggunakan jarum suntik disangkal. Riwayat batuk lama (> 1 bulan)
disangkal. Pasien didiagnosis menderita infeksi HIV stadium II sejak 5 tahun lalu,
dan sejak itu rutin mengkonsumsi obat anti retroviral (ARV). Pasien belum
diperiksa CD4 ulang, pertama kali diperiksa adalah sebelum pemberian ARV
dengan jumlah 200 sel/µl. Riwayat kencing manis ataupun penyakit sistemik lain
disangkal. Tidak didapatkan riwayat alergi obat.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos
mentis. Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 80x/menit, frekuensi nafas 16x/menit,
suhu aksiler 36,30C, berat badan 58 kg, tinggi badan 163 cm. Pemeriksaan status
generalis pasien didapatkan kepala normocephali, pada mata konjungtiva tidak
tampak anemis, sklera tidak tampak ikterik. Pemeriksaan leher, aksila dan inguinal
tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan telinga, hidung
dan tenggorokan tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan mulut,
mukosa mulut tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan toraks didapatkan
suara jantung (S1 dan S2) tunggal, regular, tidak terdapat murmur. Suara nafas
vesikuler, tidak didapatkan ronkhi atau wheezing. Pemeriksaan abdomen
didapatkan bising usus dalam batas normal, lien dan hati tidak teraba, tidak
terdapat distensi. Ekstremitas teraba hangat dan tidak didapatkan edema.
Pemeriksaan rambut, saraf dan kuku tidak didapatkan kelainan.
Status dermatologi, lokasi pada badan, ekstremitas atas dan bawah
didapatkan efloresensi makula dan plak eritema dan hiperpigmentasi multipel,
bentuk geografika, batas tegas, ukuran 0.5 x 0.8cm –0.5 x 3cm. Pada beberapa
tempat didapatkan papul eritema multipel, bentuk bulat, ukuran Ø 0.1 –0.3cm,
tersebar diskret. (Gambar 1b-1h).

1a

4
1b 1c 1d 1e

Gambar 1a-1e

1f1f 1g
1g
1h

Gambar 1f-1h.

Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan VDRL reaktif 1:256, TPHA


reaktif 1:5120.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis dengan sifilis sekunder dengan manifestasi roseola sifilitika
dan infeksi HIV. Penatalaksanaan pada pasien adalah injeksi Benzatin Penisilin
2.4 juta IU intramuskular, dosis tunggal, dengan dilakukan skin test terlebih
dahulu. Pada pasien diberikan KIE mengenai penyakit dan penyebabnya, rencana
kontrol dan pemeriksaan VDRL 1 bulan kemudian, dan hubungan seksual yang
aman dengan menggunakan kondom dan untuk tidak berganti-ganti pasangan.

PENGAMATAN LANJ UTAN I: 4 Februari 2016


Satu hari setelah pasien diberikan terapi pasien datang kembali ke poliklinik kulit
dan kelamin divisi infeksi menular seksual (IMS) dengan keluhan demam tinggi
sejak 4 jam setelah injeksi benzatin penisilin. Selain itu pasien mengeluhkan
bahwa bercak di kulit bertambah merah dan sebagian bernanah. Sejak tadi pagi
pasien mengeluhkan badan terasa pegal-pegal. Tidak didapatkan sesak nafas.
Keluhan perih saat BAK disangkal. Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan untuk
mengatasi keluhan yang timbul.

5
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos
mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80x/menit, frekuensi nafas 20x/menit,
suhu aksiler 38,10C.
Status dermatologi, lokasi pada badan, ekstremitas atas dan bawah
didapatkan efloresensi makula eritema multipel, bentuk geografika, batas tegas,
ukuran 0.5 x 0.8cm –1 x 2cm, tersebar diskret, diatasnya didapatkan beberapa
papul eritema dan pustul multipel, bentuk bulat, ukuran Ø 0.1 – 0.3cm.
Didapatkan juga plak hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas,
ukuran 0.5 x 0.8cm –1 x 3 cm (Gambar 2b-2e). Lokasi pada mata tidak
didapatkan sekret ataupun hiperemi konjungtiva. Pada mulut tidak didapatkan
erosi (Gambar 2a).

2a 2b 2c 2d 2e

Gambar 2a-2e

Pasien didiagnosis banding dengan follow up sifilis sekunder dengan


manifestasi roseola sifilitika dan reaksi Jarisch Herxheimer yang didiagnosis
banding dengan erupsi obat tipe makulopapular, disertai infeksi HIV stadium II.
Pemeriksaan gram pada pustul didapatkan leukosit 0-1/lapang pandang.
Tidak didapatkan kokus gram positif maupun basil gram negatif. Hasil
pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukosit 11.24 .103 uL (4,0-11); neutrofil
8.06 .103 (2,50-7,50); limfosit 1.09 .103 (1-4); monosit 0.6 .103 (0,1-1,2); eosinofil
0.2 .103 (0,0-0,5); basofil 0.02 .103 (0-0,1); hematokrit 39.0% (36-46); trombosit
300.0 103 uL (140-440); hemoglobin 13.6 g/dL (12,0-16,0).
Pasien didiagnosis dengan follow up sifilis sekunder dengan manifestasi
roseola sifilitika, reaksi Jarisch Herxheimer dan infeksi HIV stadium II.
Penatalaksanaan pada pasien adalah pemberian parasetamol 3 x 500mg per oral

6
dan metil prednisolon 3 x 8mg per oral selama 3 hari. Disarankan untuk kontrol
kembali 3 hari kemudian.

PENGAMATAN LANJ UTAN II: 3 Mar et 2016


Pasien kontrol membawa hasil pemeriksaan laboratorium. Tidak didapatkan
bercak baru. Bercak lama sebagian menghitam. Demam dan bintil bernanah sudah
hilang sejak 2 hari setelah mengkonsumsi obat.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos
mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80x/menit, frekuensi nafas 22x/menit,
suhu aksiler 36,10C.
Status dermatologi, lokasi pada badan, ekstremitas atas dan bawah
didapatkan efloresensi makula hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika, batas
tegas, ukuran 0.3 x 0.5cm –0.5 x 1cm, sebagian didapatkan krusta kehitaman
(Gambar 3a-3d).
3a 3b 3c 3d

Gambar 3a-3d

Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan VDRL reaktif 1:64.


Pasien didiagnosis dengan follow up reaksi Jarisch Herxheimer membaik,
follow up sifilis sekunder dengan manifestasi roseola sifilitika dan infeksi HIV
stadium II. Kepada pasien tidak diberikan terapi dan direncanakan pemeriksaan
VDRL kembali 1 bulan kemudian.

PEMBAHASAN
Sifilis yang dikenal juga dengan penyakit raja singa merupakan infeksi
sistemik yang disebabkan oleh spirochaeta Treponema pallidum. Organisme ini

7
bersifat invasif dimana dapat menginfeksi hampir seluruh organ dan gambaran
klinisnya dapat menyerupai banyak penyakit lain. Infeksi ini biasanya ditularkan
melalui hubungan seksual tetapi dapat juga melalui plasenta dari ibu ke janin dan
sangat jarang melalui transfusi darah, inokulasi secara tidak sengaja atau
perlukaan dari instrumen yang terkontaminasi. 1,4
Perjalanan klinis sifilis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu sifilis
primer, sifilis sekunder, sifilis laten dini, sifilis laten lanjut dan sifilis tersier.
Sifilis primer terjadi karena adanya penetrasi T.pallidum pada kulit atau membran
mukosa dan menyebabkan terbentuknya ulkus pada tempat inokulasi. Lesi awal
ini umumnya muncul rata-rata 3 minggu setelah paparan. Awalnya berupa papul
yang kemudian mengalami ulserasi membentuk ulkus soliter berbentuk bulat atau
memanjang, diameter 1-2 cm, dengan tepi teratur, dasar bersih tanpa eksudat serta
tidak nyeri. Lesi primer ini sering tidak disadari karena tidak nyeri dan berada
pada lokasi yang kurang terlihat sehingga infeksi baru terdeteksi pada stadium
berikutnya. Selain itu lesi juga dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan dalam
waktu 1-6 minggu, dan umumnya sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut.4,5,10
Lesi sifilis sekunder terjadi akibat multiplikasi dan penyebaran T.pallidum
secara limfatik dan hematogen dari lesi primer ke berbagai jaringan tubuh. Lesi
pada sifilis sekunder umumnya muncul dalam waktu 3 hingga 12 minggu setelah
munculnya ulkus namun pada 15% kasus dapat muncul beberapa bulan setelahnya.
Sifilis sekunder memiliki manifestasi klinis yang beragam dan sulit dibedakan
dengan penyakit lainnya sehingga disebut the great immitator. Beberapa pasien
dapat mengalami keluhan berupa demam, malaise, nyeri kepala, myalgia, athralgia
dan rinore. Lesi kulit makular dan atau makulopapular merupakan bentuk yang
paling sering ditemukan yaitu pada 40%-70% kasus. Roseola sifilitika merupakan
salah satu manifestasi klinis sifilis sekunder yang berupa makula atau
makulopapular berwarna merah atau merah tembaga yang diskret, simetris,
berbentuk bulat-oval, berukuran 0,5-2 cm dan terdistribusi pada badan dan
ekstremitas dan pada 75% pasien didapatkan pada telapak tangan dan kaki. Lesi
biasanya tidak gatal, namun pada suatu penelitian dapat ditemukan rasa gatal pada

8
40% pasien. Pada sifilis sekunder juga dapat ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening yang dapat digerakkan, simetris dan tidak nyeri. 1,4,10
Pada kasus didapatkan keluhan bercak-bercak merah yang muncul sejak
kurang lebih 5 bulan lalu pada kedua telapak tangan dan lengan dan kemudian
menyebar ke kedua telapak kaki dan kemudian ke seluruh tubuh. Gatal dirasakan
hilang timbul namun tidak mengganggu. Pasien tidak mengeluhkan nyeri atau
demam. Pasien mengaku pernah terdapat luka di kelamin kurang lebih 6 bulan
sebelum timbul bercak merah namun tidak terasa nyeri dan sembuh dengan
sendirinya tanpa diobati. Pada pemeriksaan fisik didapatkan makula dan plak
eritema dan hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran 0.5 x
0.8cm –0.5 x 3cm tersebar diskret. Pada beberapa tempat didapatkan papul
eritema multipel, bentuk bulat, ukuran Ø 0.1 – 0.3cm. Tidak didapatkan
pembesaran kelenjar getah bening.
Diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang untuk mendeteksi infeksi oleh T. pallidum secara langsung maupun
tidak langsung. Pada sifilis primer, pemeriksaan mikroskop lapangan gelap (dark
field microscope / DFM) merupakan metode yang spesifik dan mudah dilakukan
untuk menegakkan diagnosis sifilis, namun meskipun pemeriksaan ini dapat
mendeteksi T.pallidum pada kasus sifilis sekunder, cara pengambilan sampel
sangat sulit sehingga hampir tidak pernah dilakukan. Pada pemeriksaan DFM,
Treponema pallidum dapat diidentifikasikan melalui karakteristik morfologi yang
berbentuk spiral dan pergerakannya yaitu rotasi, fleksi, dan gerakan seperti
membuka sumbat botol (terpilin). Kegagalan menemukan organisme pada
spesimen tidak langsung menyingkirkan diagnosis sifilis karena pemeriksaan
DFM memiliki sensitivitas yang rendah, terutama untuk lesi yang kurang lembab.
Tidak seperti bakteri lainnya T. pallidum tidak dapat dikultur dan pada
periode laten pemeriksaan langsung tidak dapat dilakukan karena tidak adanya lesi.
Pemeriksaan serologis sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan serologis dapat dibagi menjadi tes non treponemal dan tes
treponemal. Tes non treponemal seperti Venereal Disease Research Laboratory
(VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR) biasanya digunakan untuk skrining dan

9
pemantauan terapi. Tes ini mendeteksi imunoglobulin G dan M yang bereaksi
terhadap materi lipoidal dan biasanya akan reaktif dalam waktu 4 hingga 5
minggu setelah infeksi. Titer yang tinggi mengindikasikan infeksi yang aktif.
Setelah terapi titer tersebut akan menurun empat kali lipat atau lebih rendah dalam
6 bulan pada sifilis primer maupun sekunder dan non reaktif dalam waktu 12
hingga 24 bulan setelah pengobatan.
Tes treponemal seperti Fluorescent Treponemal Antibody Absorption
(FTA-ABS) dan Treponema pallidum Haemagglutination Assay (TPHA)
digunakan sebagai uji konfirmasi sifilis karena memiliki sensitivitas dan spesifitas
yang lebih tinggi, namun karena dapat mendeteksi antibodi dalam jumlah kecil
dan antibodi yang muncul akan menetap seumur hidup maka tes ini tidak dapat
digunakan sebagai monitoring terapi.10 ,11,12
Diagnosis sifilis sekunder dengan manifestasi roseola sifilitika pada kasus
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Dari
hasil pemeriksaan serologis VDRL dan TPHA didapatkan hasil reaktif dimana
titer VDRL 1:256 dan titer TPHA 1:5120. Pada kasus tidak dilakukan
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap.
Interaksi antara sifilis dengan HIV bersifat kompleks. Pada banyak
penelitian didapatkan bahwa sifilis dapat meningkatkan transmisi HIV hingga
empat kali lipat. Adanya gangguan barier mukosa atau epidermal akibat chancre
pada sifilis primer dan migrasi sel inflamasi yang merupakan sel target HIV
menuju ke lesi merupakan mekansime yang dipercaya dapat meningkatkan
transmisi HIV. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa infeksi sifilis dapat
meningkatkan viral load dan menurunkan CD4, yang kemudian mengalami
resolusi setelah pengobatan. Perubahan ini juga dapat meningkatkan transmisi
HIV pada pasien dengan koinfeksi HIV dan sifilis. Infeksi HIV juga dapat
berpengaruh pada progresifitas penyakit sifilis serta peningkatan risiko komplikasi
neurologis. Manifestasi klinis sifilis pada pasien dengan koinfeksi HIV umumnya
memiliki gambaran klinis yang serupa dengan pasien sifilis tanpa infeksi
HIV.2,10,12

10
Infeksi HIV merupakan infeksi yang menyebabkan penurunan sistem
kekebalan tubuh dan menyebabkan kumpulan gejala yang disebut Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Klasifikasi klinis pasien HIV/AIDS
menurut WHO (2003) dibagi menjadi 4 stadium. Stadium I yaitu infeksi HIV
asimtomatik kadang ditandai dengan limfadenopati generalisata. Stadium II
meliputi penurunan berat badan kurang dari 10%, manifestasi kelainan kulit dan
mukosa ringan, herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, dan infeksi saluran
pernafasan atas yang berulang. Stadium III meliputi penurunan berat badan lebih
dari 10%, diare kronik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya lebih dari 1 bulan,
demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, kandidiasis orofaringeal, oral hairy
leukoplakia, infeksi bakteri yang berat dan tuberkulosis. Stadium IV mencakup
wasting syndrome, pneumonia Pneumocytis carinii (PCP), toksoplasmosis otak,
diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, kriptokokus ekstrapulmonal, retinitis
sitomegalovirus, herpes simpleks mukokutan lebih dari 1 bulan, leukoensefalopati
multifokal progresif, mikosis diseminata seperti histoplasmosis, kandidiasis
esophagus, mikobakteriosis atipikal diseminata, septikemi salmonelosis non tifoid,
tuberkulosis ekstrapulmoner, limfoma, ensefalopati HIV dan sarkoma kaposi.12,13
Tujuan utama pengobatan sifilis adalah untuk mencegah transmisi dan
komplikasi sifilis. Berdasarkan laporan kasus dan uji klinis, penisilin G parenteral
direkomendasikan sebagai terapi pada semua stadium sifilis dimana dosis dan
waktu pemberian disesuaikan dengan stadium penyakit dan usia pasien. Benzatin
penisilin G, merupakan terapi yang direkomendasikan untuk semua stadium sifilis
karena memiliki waktu paruh yang panjang. 4,9,12 Center for Disease Controls and
Preventions (CDC) merekomendasikan pemberian benzatin penisilin 2,4 juta IU
dosis tunggal secara intramuskuler untuk pengobatan sifilis primer, sifilis
sekunder dan sifilis laten dini. Untuk pasien yang alergi penisilin dan tidak hamil
dapat diberikan doksisiklin 2x100 mg/ hari secara oral selama 30 hari atau
eritromisin 4x500 mg/hari selama 30 hari.5 ,7,14 Rekomendasi terapi sifilis sekunder
pada pasien dengan HIV adalah sama dengan sifilis sekunder tanpa infeksi HIV.
Sifilis primer dan sekunder yang disertai oleh infeksi HIV dengan pengobatan
penisilin memiliki prognosis yang bagus dan memberikan angka kesembuhan

11
yang cukup tinggi. Pemantauan klinis maupun serologis pada pasien dengan HIV
sebaiknya dilakukan lebih sering pada bulan ke 3,6,9,12 dan 24 bulan setelah
terapi.2,7,12
Pada kasus pengobatan yang diberikan adalah benzatin penisilin G 2,4 juta
IU suntikan intramuskular dosis tunggal. Respon terapi cukup baik dimana pada
pemantauan tes VDRL 1 bulan kemudian didapatkan penurunan titer VDRL 4 kali
lipat yaitu dari 1:256 menjadi 1:64. Pasien dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan serologis lanjutan setiap 1 bulan selama 3 bulan, kemudian bulan ke
6, 9, 12 dan 24.
Reaksi Jarisch-Herxheimer (JH) merupakan suatu reaksi inflamasi yang
timbul setelah pemberian terapi antibiotik pada spirochaeta, dan paling sering
terjadi dalam 2-5 jam setelah terapi. Reaksi ini pertama kali diidentifikasi pada
tahun 1895 oleh Adolf Jarisch yang mendapatkan eksaserbasi lesi roseola sifilitika
setelah terapi, dan 7 tahun kemudian, Karl Herxheimer melaporkan gejala yang
serupa disertai reaksi sistemik berupa demam, berkeringat dan anoreksia dalam 24
jam setelah pemberian terapi sifilis. Reaksi JH dapat timbul setelah pemberian
berbagai macam terapi yang memiliki konsentrasi anti-treponemal yang memadai
yang meliputi penisilin, tetrasiklin dan sulfonamid.1 5,1 6,17
Sampai saat ini patogenesis reaksi JH belum diketahui secara pasti namun
diduga melalui aktivasi sitokin yang timbul akibat pelepasan lipoprotein dari
organisme Treponema pallidum yang mati. Terapi antibiotik dapat membuat
kuman lebih rentan terhadap fagositosis yang akan memicu pelepasan sitokin
seperti tumor necrosis factor α(TNFα) serta interleukin 6 dan 8. Aktivasi dari
sitokin proinflamasi ini dapat menimbulkan gejala klinis berupa demam, mialgia,
takikardi dan hipotensi.1,17,18
Reaksi JH dapat terjadi paling cepat dalam 2 jam setelah pemberian terapi.
Reaksi ini biasanya diawali dengan demam dan dapat diikuti beberapa gejala
klinis seperti sakit kepala, menggigil, limfadenopati, faringitis, malaise dan
mialgia. Lesi kulit dapat terasa nyeri dan bertambah banyak serta menjadi lebih
inflamasi. Dapat ditemukan juga edema ataupun ulkus. Demam dapat memuncak
dalam 6-8 jam setelah onset penyakit dan berkisar antara 38°–42°C. Dapat terjadi

12
pembengkakan lokal yang dapat berbahaya bila terjadi pada ostium koroner,
sistem saraf pusat ataupun laring. Meskipun kebanyakan reaksi JH dapat sembuh
sendiri dalam 24 jam, namun pada beberapa kasus dapat terjadi kondisi yang
mengancam nyawa.8,9,17 Reaksi JH paling sering terjadi pada sifilis sekunder (70-
95%) namun dapat juga terjadi pada stadium yang lain. Pasien dengan infeksi
human immunodeficiency virus (HIV) atau wanita hamil memiliki insiden yang
lebih tinggi terjadi reaksi JH saat mendapatkan terapi sifilis. 3,8,1 6
Pada kasus didapatkan keluhan demam tinggi 4 jam setelah injeksi
benzatin penisilin. Selain itu pasien mengeluhkan bahwa bercak di kulit
bertambah merah dan sebagian bernanah. Sejak tadi pagi pasien mengeluhkan
badan terasa pegal-pegal. Tidak didapatkan sesak nafas. Keluhan perih saat BAK
disangkal. Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan untuk mengatasi keluhan yang
timbul. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos
mentis, suhu aksiler 38,10 C. Status dermatologi, lokasi pada badan, ekstremitas
atas dan bawah didapatkan efloresensi makula eritema multipel, bentuk geografika,
batas tegas, ukuran 0.5 x 0.8cm –1 x 2cm, tersebar diskret, diatasnya didapatkan
beberapa papul eritema dan pustul multipel, bentuk bulat, ukuran Ø 0.1 –0.3cm.
Didapatkan juga plak hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas,
ukuran 0.5 x 0.8cm –1 x 3 cm. Lokasi pada mata tidak didapatkan sekret ataupun
hiperemi konjungtiva. Pada mulut tidak didapatkan erosi.
Tidak didapatkan pemeriksaan yang spesifik untuk mendiagnosis reaksi JH,
namun pada beberapa kasus dapat ditemukan leukositosis dengan peningkatan
neutrofil dan penurunan limfosit. Pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan
edema dermis, dilatasi kapiler serta infiltrasi sel mononuklear selain gambaran
sifilis yang ada.4,18
Pada kasus didapatkan leukosit 11.24 .103 uL (4,0-11) dan neutrofil 8.06
.103 (2,50-7,50). Limfosit 1.09 .103 (1-4), eosinofil 0.2 .103 (0,0-0,5). Pada kasus
tidak dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Reaksi JH sering salah didiagnosis sebagai erupsi obat, terutama pada
pemberian terapi penisilin. Beberapa literatur menyebutkan bahwa pemberian
terapi sifilis sebelumnya dengan penisilin akan mengurangi risiko terjadinya

13
reaksi JH dan pada pasien yang terjadi reaksi JH setelah terapi penisilin pertama
kali tidak mengalami reaksi saat pemberian terapi kedua dan ketiga. Hal ini
membedakan antara reaksi JH dengan erupsi obat. Erupsi obat tipe makulopapular
merupakan manifestasi erupsi obat yang paling sering ditemukan. Erupsi berupa
makula dan papul berwarna merah sampai merah kecoklatan dan dapat diikuti
dengan deskuamasi pada saat penyembuhan. Erupsi biasanya diawali dari badan
dan menyebar ke perifer. Pruritus hampir selalu dikeluhkan oleh pasien dan dapat
dikeluhkan demam. Lesi biasanya timbul dalam 1 minggu setelah pemberian
terapi dan dapat timbul 1 atau 2 hari setelah penghentian terapi. Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan limfositosis dan eosinofilia.4,16 ,19
Pada kasus, keluhan timbul dalam 4 jam setelah pemberian terapi, dan
manifestasi klinis berupa perburukan dari lesi yang telah ada sebelumnya. Kasus
tidak mengeluhkan rasa gatal. Pada pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan
limfositosis atau eosinofilia. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan reaksi Jarisch-Herxheimer.
Reaksi JH merupakan suatu kondisi yang dapat sembuh sendiri dan dapat
ditangani secara simtomatik. Pasien harus diberikan penjelasan tentang
kemungkinan terjadi reaksi setelah pemberian terapi. Pada reaksi yang ringan
dapat diatasi dengan pemberian antipiretik dan kortikosteroid serta istirahat yang
cukup. Beberapa peneliti menyarankan pemberian kortikosteroid (prednison 30-
50mg, dosis terbagi) dua hari sebelum terapi antibiotik untuk mencegah terjadinya
reaksi JH yang berat.1 6,17,18
Pada kasus diberikan terapi parasetamol 3 x 500mg per oral dan metil
prednisolon 3 x 8mg per oral dan pada pengamatan lanjutan didapatkan bahwa
demam dan pustul hilang setelah 2 hari pemberian terapi. Prognosis untuk pasien
adalah dubius ad bonam.

SIMPULAN
Telah dilaporkan kasus reaksi Jarisch-Herxheimer pada sifilis sekunder dengan
manifestasi roseola sifilitika pada seorang laki-laki berusia 31 tahun dengan
infeksi HIV. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik, dan

14
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan demam tinggi 4 jam
setelah terapi benzatin penisilin. Pemeriksaan fisik didapatkan suhu aksiler 38,10 C.
Didapatkan gambaran lesi lama menjadi lebih eritema dan didapatkan pustul
multipel. Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan neutrofilia.
Penatalaksanaan yang diberikan yaitu parasetamol 3 x 500mg per oral dan metil
prednisolon 3 x 8mg per oral. Pada pengamatan lanjutan didapatkan bahwa
demam dan pustul hilang setelah 2 hari pemberian terapi. Prognosis pada kasus
adalah dubius ad bonam.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Katz K.A. Syphilis. In: Wolff K., Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S.,
Leffel D.J., Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2012. p. 2471-92.
2. Zetola N.M., Klausner J.D. Syphilis and HIV Infection: An Update. CID. 2007; 44: 1222
-8.
3. Yang C.J., Lee N.Y., Lin Y.H., Lee H.C., Ko W.C., Liao C.H., et al. Jarisch-Herxheimer
Reaction after Penicillin Therapy among Patients with Syphilis in the Era of the HIV
Infection Epidemic: Incidence and Risk Factors. CID. 2010; 51: 976-9.
4. Sparling P.F., Swartz M.N., Musher D.M., Healy B.P. Clinical Manifestations of Syphilis.
In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 661-84.
5. Avelleira J.C.R., Bottino G. Syphilis: Diagnosis, Treatment and Control. An Bras
Dermatol. 2006; 81(2): 111-26.
6. Anonim. Buku Register Kunjungan Sub Bagian Infeksi Menular Seksual, Poliklinik Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah Denpasar. 2010-2014.
7. Frieden T.R., Jaffe H.W., Cono J., Richards C.L., Iademarco M.F. Centers for Disease
Control and Prevention: Sexually Transmitted Diseases Treatment Guideliness, 2015.
MMWR Recomm Rep. 2015; 64(3): 34-48.
8. Tsai M.S., Yang C.J., Lee N.Y., Hsieh S.M., Lin Y.H., Sun H.Y., et al. Jarisch-
Herxheimer Reaction Among HIV-Positive Patients with Early Syphilis: Azithromycin
Versus Benzathine Penicillin G Therapy. JIAS. 2014; 17: 18993.
9. Miller W.M., Gorini F., Botelho G., Moreira C., Barbosa A.P., Pinto A.R., et al. Jarisch-
Herxheimer Reaction Among Syphilis patients in Rio de Janeiro, Brazil. Int J STD AIDS.
2010; 21: 806-9.
10. French P., Gupta S., Kumar B. Infectious Syphilis. In: Gupta S., Kumar B., editors.
Sexually Transmitted Infections. 2nd ed. New Delhi: Elsevier Saunders; 2012. p. 429-52.
11. Emerson C.R. Syphilis: A Review of the Diagnosis and Treatment. Inf Dis J. 2009; 3:
143-7.
12. Martin R.D. Spies L.A. Recognizing Shypilis in an HIV-Infected Patient. TNPJ. 2011;
36(12): 7-11.
13. Zolopa A.R., Katz M.H. HIV Infection and AIDS. In: McPhee S.J., Papadakis M.A., eds.
Lange Current Medical Diagnosis and Treatment. 49th ed. New York: McGraw Hill
Companies; 2010. p. 1205-34.
14. Holman K.M., Hook E.W. Clinical Management of Early Syphilis. Expert Rev Anti
Infect Ther. 2013; 11(8): 839-43.
15. See S., Scott E.K., Levin M.W. Penicillin-Induced Jarisch-Herxheimer Reaction. Ann
Pharmacother. 2005; 39: 2128-30.
16. Belum G.R., Belum V.R., Arudra S.K.C., Reddy B.S.N. The Jarisch Herxheimer
Reaction: Revisited. 2013; 11: 231-7.
17. Pound M.W., May D.B. Proposed Mechanisms and Preventive Options of Jarisch-
Herxheimer Reactions. Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics. 2005; 30: 291-5.
18. Silberstein P., Lawrence R., Pryor D., Shnier R. A Case of Neurosyphilis with a Florid
Jarisch-Herxheimer Reaction. J Clin Neurosci. 2002; 9: 689-90.
19. Shear N.H., Knowles S.R. Cutaneous Reactions to Drugs. In: Wolff K., Goldsmith L.A.,
Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffel D.J., Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in
th
General Medicine. 8 ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 449-57.

16

Anda mungkin juga menyukai