Anda di halaman 1dari 18

Nama Peserta dr.

Maria Katrin
Nama Wahana RS Pupuk Kaltim
Neonatus Aterm dengan Asfiksia Sedang dan Respiratory Distress Syndrome
Topik
et causa Apirasi Mekonium
Tanggal
05 Mei 2017
(kasus)
Nama Pasien By. Ny. W No. RM 20.xx.xx
Tgl Presentasi Pendamping dr. Imelda, Sp.A
Tempat
Presentasi
OBYEKTIF PRESENTASI
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran o Tinjauan Pustaka
o Diagnostik o Manajemen o Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja o Dewasa o Lansia o Bumil
o Deskripsi :
Bayi aterm, laki-laki, usia 0 hari dengan keluhan sesak napas sejak lahir
o Tujuan :
Melakukan pemeriksaan fisik, penegakkan diagnosis dan tatalaksana pada kasus ini.
Bahan o Tinjauan
o Riset o Kasus o Audit
Bahasan: Pustaka
Cara o Presentasi
o Diskusi o Email o Pos
Membahas: Kasus
DATA UTAMA UNTUK BAHAN DISKUSI

1. Diagnosis :
Neonatus aterm sesuai masa kehamilan, jenis kelamin laki-laki, usia 0 hari dengan asfiksia
sedang dan Respiratory Distress Syndrome et causa aspirasi mekonium

2. Gambaran Klinis
Bayi mengalami sesak napas sejak saat lahir. Bayi laki-laki dilahirkan secara spontan per
vaginam. Neonatus cukup bulan, ketuban tidak jernih melainkan kuning dan disertai mekonium,
tetapi tidak berbau, cair tidak kental, riwayat kala 2 memanjang (bayi lahir 3 jam setelah
pembukaan lengkap), saat lahir bayi tidak langsung menangis, tampak lunglai. Neonatus
kemudian dihangatkan, dibersihkan jalan napasnya, dikeringkan, dirangsang taktil, diposisikan.
Pernapasan = 68x/menit, laju nadi = 95x/menit, warna kulit kebiruan pada ekstremitas. Skor
APGAR menit ke-1 = 3. APGAR skor menit ke-5 = 4. Resusitasi tetap dilanjutkan hingga laju
nadi > 100 x/menit lalu diberikan perawatan pasca resusitasi.
3. Riwayat kehamilan :
Bayi lahir dari ibu P1A0 dengan usia gestasi 39 minggu menurut HPHT, golongan darah
A rhesus +. Sebelumnya, ibu pasien teratur memeriksakan kandungannya di puskesmas sebanyak
10 kali. Ibu pasien memiliki riwayat keputihan yang gatal dan berbau, berwarna putih susu sejak
usia kehamilan 6 bulan, nyeri berkemih saat mendekati kelahiran. Riwayat kencing manis,
tekanan darah tinggi, dan demam selama kehamilan seluruhnya disangkal. Golongan darah ibu B
dengan rhesus +. Riwayat pemakaian obat-obatan, penggunaan jarum suntik, merokok, minum
minuman keras, menderita penyakit lainnya disangkal.

4. Riwayat pengobatan : -

5. Riwayat kesehatan / penyakit : -

6.Riwayat keluarga : -

7. Riwayat pekerjaan : -

8. Kondisi lingkungan sosial dan fisik : -


9.Lain-lain : -
Daftar Pustaka :

Hasil Pembelajaran :
1. Memahami cara mendiagnosis asfiksia dan aspirasi mekonium pada neonatus
2. Memahami manifestasi klinis asfiksia pada neonatus
3. Memahami tatalaksana asfiksia sedang dengan aspirasi mekonium pada neonatus

Rangkuman Hasil Pembelajaran


1. Subyektif :
Berdasarkan data subyektif didapatkan keluhan sesak sejak lahir,neonatus laki-laki
cukup bulan lahir secara spontan pervaginam dengan riwayat kala 2 memanjang,
didapatkan ketuban berwarna kuning disertai mekonium. Saat lahir bayi tidak
langsung menangis dan tampak sianosis. Skor APGAR menit 1 = 3, dan menit 5= 4,
dilakukan resusitasi hingga laju nadi > 100 kali/menit.

2. Objektif
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : tidak diukur
Nadi : 144 kali/menit (normal = 120-150 x/menit)
RR : 74 kali/menit (normal = 40-60 x/menit)
Suhu : 37,1 oC

Pemeriksaan Antropometri
Berat Badan : 3210 gram
Panjang Badan : 49 cm
Lingkar Kepala : 34 cm
Lingkar Dada : 33 cm
Lingkar Lengan Atas : 10 cm

Bayi lahir sesuai dengan usia gestasi 38-39 minggu menurut New Ballard Score

18
21
Kesan: sesuai masa kehamilan

Kesan: sesuai masa kehamilan


Kesan: sesuai masa kehamilan

Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali, deformitas (–), ubun-ubun besar terbuka datar
2,5x3 cm
Wajah : simetris
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera putih, mata cekung (-/-), air
mata (+/+), coloboma (-/-)
Hidung : septum nasi di tengah, sekret (-/-), hiperemis konka (-/-),
perdarahan
mukosa (-), pernapasan cuping hidung (-/-), atresia koana (-/-)
Telinga : deformitas (-/-), meatus akustikus eksternus (+/+), sekret (-/-)
Mulut : mukosa oral dan bibir basah, perdarahan gingival (-), petechiae
palatum intak, celah pada bibir & langit-langit (-), sianosis (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
Leher : trakea teraba di tengah, massa (-), pembesaran KGB (-)
Thoraks
 Paru: I: gerak napas tampak simetris, retraksi interkostal (+)
P: gerak napas teraba simetris
P: sonor pada kedua lapang paru
A: bunyi napas bronkovesikuler (+/+), grunting (+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
 Jantung: I: iktus cordis tidak terlihat
P: iktus cordis teraba di intercostal IV linea midklavikularis
sinistra
P: batas kanan = interkostal 4 linea sternalis dextra
batas atas = interkostal 3 linea parasternalis sinistra
batas kiri = interkostal 5 linea midklavikularis sinistra
A: bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen: I: tampak datar


P: supel, hepatosplenomegali (-), undulasi (-), shifting
dullness (-), defense muscular (-)
A: bising usus (+) 4-5 kali/menit

Punggung : Alignment vertebra baik


Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), tonus otot baik
Kulit : turgor kulit baik, ikterik (-), sianosis (+) menghilang dengan
pemberian O2, ruam (-)
Genitalia : testis teraba di kedua skrotum, rugae (+)

Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi napas meningkat (>


60x/menit) yaitu sebanyak 74x/menit, retraksi interkostal, sianosis perifer yang
hilang dengan pemberian oksigen, penurunan ringan udara masuk, terdengar
grunting dengan stetoskop. Pasien memiliki Downe Score = 4.
Pemeriksaan Neurologis
A. Tonus otot
Normotonus
B. Refleks
- Moro (+)
- sucking (-)
- rooting (-)
- palmar grasp (+)
- plantar grasp (+)
C. Saraf kranialis
- Nystagmus (-)
- Pupil isokor 2mm/2mm
- Refleks cahaya langsung & tidak langsung (+/+)
D. Pergerakan
- Spontan (tangan, kaki, leher)
- Tremor (-)
- Klonik (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 05 Mei 2017
Jenis Hasil Normal Satuan
Hb 16,2 15-24 g/dl
Leukosit 9.200 9.100- /µl
34.000
Ht 48 44-70 %
Eritrosit 4,5 3,3-3,9 Juta/ µl
Trombosit 295.000 84.000- /µl
478.000
MCV 101 99-115 fL
MCH 36 33-39 pg
MCHC 36 32-36 g/dL
Glukosa 97 40-60 mg/dl
Darah
Sewaktu

3. Assessment :
Berdasarkan ringkasan anamnesis dan temuan bermakna, pasien mengalami asfiksia
sedang, karena:

 Skor APGAR pada menit ke-1 = 3; menit ke-5 = 4, pasien tergolong dalam asfiksia
derajat sedang (APGAR 4-6)
 Riwayat kelahiran dengan cairan ketuban disertai mekonium, pada pemeriksaan fisik
didapatkan Downe score = 4

4. Planning :
Farmakoterapi
 IVFD D10 260 cc/24 jam
 Ampicillin IV 2 x 150 mg
 Gentamycin IV 2 x 7 mg
Non-farmakoterapi
 Rawat dalam inkubator
 Bubble CPAP, PEEP = 5, FiO2 = 100%
 Termoregulasi, pantau tanda-tanda vital
TINJAUAN PUSTAKA

Asfiksia Neonatorum
Asfiksia pada neonatus merupakan kegagalan napas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Derajat asfiksia dapat digolongkan
menjadi ringan, sedang dan berat menurut skor APGAR.

Distress pernapasan
Merupakan suatu kondisi pada neonatus yang ditandai dengan adanya grunting,
sianosis, takipnea, apnea, nasal flaring, poor feeding, stridor inspiratorik dan retraksi
interkostal, subkostal maupun suprakostal. Distress pernapasan terjadi pada sekitar 7%
neonatus dan diperlukan persiapan yang baik oleh klinisi untuk melakukan
pengananannya. Penyebab paling sering dari distress pernapasan pada neonatus aalah
transient tachynpnea of the newborn (TTN), respiratory distress syndrome (RDS) atau
disebut juga hyaline membrane disease (HMD) dan aspirasi mekonium. Penyebab lain
yang lebih jarang adalah infeksi (pneumonia, sepsis), kelainan congenital (penyakit
jantung bawaan), anemia, kelainan metabolik dan obstruksi saluran napas
o Transient tachypnea of the newborn (TTN)
Merupakan penyebab tersering distress pernapasan pada neonatus aterm,
dengan persentase mencapai 40% dari seluruh kasus. TTN merupakan suatu kondisi
benign dan self limitting, yang terjadi karena terdapatnya cairan pulmonal residual
dalam jaringan paru-paru setelah persalinan. Setelah lahir, terjadi pelepasan
prostaglandin yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh limfatik untuk
mengeliminasi cairan paru seiring dengan meningkatnya sirkulasi pulmoner saat
tarikan napas pertama. Kerika cairan tersebut tetap ada walaupun mekanisme tersebut
berlangsung, maka TTNpun terjadi. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap
kejadian TTN adalah penyakit asma pada ibu, jenis kelamin bayi laki-laki,
makrosomia, diabetes maternal dan persalinan secara section caesarea.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain adalah takipnea
(umumnya > 80 kali/menit) segera setelah lahir atau dalam 6 jam pertama, dengan
disertai gejala-gejala distress pernapasan ringan seperti retraksi dan sianosis,
penurunan saturasi oksigen umumnya dapat diperbaiki dengan suplementasi oksigen
dengan FiO2 < 0.40. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa jam hingga 2 hari, pada
kasus yang lebih berat dapat bertahan hingga 3 hari. Pada pemeriksaan radiografi
thorax bisa didapatkan gambaran streaking perihilar, kardiomegali ringan hingga
sedang, “wet silhouette” di sekitar jantung, atau akumulasi cairan intralobar.
Gambaran ini akan membaik dalam 48-72 jam, dimana hal ini membedakan TTN dari
pneumonia dan aspirasi mekonium.
Tatalaksana pada TTN bersifat suportif dengan suplementasi oksigen sesuao
kebutuhan. Pada beberapa kasus ekspansi paru dapat ditingkatkan dengan
penggunaan CPAP. Penggunaan terapi diuretic tidak memberikan efek signifikan
pada perjalanan penyakit. Bayi dengan laju napas > 60 kali/menit harus dipuasakan.
Komplikasi yang dapat terjadi berkaitan dengan tatalaksana adalah meningkatnya
risiko air leak dengan penggunaan CPAP, tertundanya oral feeding inisial dapat
mengganggu bonding ibu-anak dan proses menyusui, serta masa rawat inap yang
lebih lama.

o Hyaline membrane disease (HMD)


Merupakan penyebab terbanyak distress pernapasan pada bayi premature,
berkaitan dengan imaturitas struktural dan fungsional paru. Paling sering terjadi pada
bayi dengan usia gestasi < 28 minggu, sepertiga dari bayi dengan usia gestasi 28-34
minggu dan kurang dari 5% pada usia gestasi > 34 minggu. Kondisi ini lebih sering
terjadi pada bayi laki-laki, pada ibu yang menderita diabetes dan riwayat kelahiran
anak sebelumnya dengan kondisi ini.
Patofisiologi dari HMD dikarenakan oleh sel alveolar tipe II imatur
memproduksi surfaktan yang sedikit, meningkatkan tegangan permukaan alveolar dan
penurunan komplians paru. Ateletaksis yang terjadi mengakibatkan vasokonstriksi
vaskular paru, hipoperfusi dan iskemia jaringan paru. Membran hyaline terbentuk dari
kombinasi epitel terdeskuamasi, protein dan edema.
Diagnosis HMD perlu dipertimbangkan jika terdapat grunting, retraksi atau
tanda-tanda distress pernapasan lainnya pada bayi preterm segera setelah lahir.
Umumnya dapat terjadi hipoksia dan juga sianosis. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan adalah radiografi thorax yang menunjukkan gambaran infiltrat opak
homogen dan air bronchogram, dapat juga terlihat penurunan volume paru.
Tatalaksana pada HMD berupa suplementasi oksigen, dapat menggunakan
CPAP maupun ventilasi mekanik, pemberian surfaktan (semakin dini semakin baik
hasilnya), dan terapi suportif lainnya seperti pemberian cairan dan nutrisi parenteral.

o Aspirasi Mekonium
Hipoksia akut atau kronis dan/atau infeksi dapat menyebabkan pengeluaran
mekonium in utero. Adanya gasping dari fetus atau neonatus dapat menyebabkan
aspirasi dari cairan amnion yang terkontaminasi oleh mekonium. Aspirasi mekonium
sebelum atau selama persalinan dapat menyebabkan obktruksi saluran napas dan
mengakibatkan distres pernapasan berat. Meconium stained amniotic fluid umumnya
terdapat pada bayi dengan usia gestasi > 37 minggu, post matur atau kecil untuk masa
kehamilan.
Mekonium merupakan suatu materi steril, kental dan tidak berbau berwarna
hitam kehijauanyang berasal dari akumulasi debris dalam saluran pencernaan fetus
selama bulan ketiga gestasi. Komponen mekonium terdiri atas : air (72-80%), sel-sel
usus dan kulit yang terdeskuamasi, mucin gastrointestinal, rambut lanugo, fatty
material dari vernix caesosa, sekresi cairan amnion dan intestinal, glikoprotein blood-
group spesific dan empedu. Cairan amnion yang dengan mekonium yang sedikit
dideskripsikan sebagai konsistensi cair atau watery, sedangkan yang mengandung
mekonium dalam jumlah banyak disebut pea soup.
Aspirasi mekonium terjadi ketika stress pada fetus, gasping dari fetus akan
menyebabkan teraspirasinya mekonium sebelum, selama atau segera setelah
persalinan. Ketika teraspirasi ke dalam paru-paru, mekonium dapat menstimulasi
pelepasan sitokin dan substansi vasoaktif yang menyebabkan respons kardiovaskular
dan inflamasi pada fetus dan neonatus. Mekonium itu sendiri dapat mengobstruksi
saluran napas kecil, sehingga terjadi atelektasis, efek ball-valve menyebabkan air
trapping dan air leak, dan menghambat fungsi surfaktan.
Aspirasi mekonium dapat menyebabkan beberapa komplikasi pada bayi,
antara lain :
- Air leak, pneumothorax atau pneumomediastinum terjadi pada sekitar 15-33%
pasien dengan sindrom aspirasi mekonium. Air leak lebih sering terjadi pada
penggunaan ventilasi mekanik, terutama pada keadaany air trapping.
- Pulmonary Hypertension of the Newborn (PPHN) memiliki hubungan dengan
sindrom aspirasi mekonium pada sekitar sepertiga kasus dan berkontribusi pada
mortalitas sindrom ini. Tergantung dengan beratnya hipoksemia, ekokardiografi
sebaiknya dilakukan untuk menentukan derajat right to left shunting yang
menyebabkan hipoksemia dan mengeksklusi adanya penyakit jantung bawaan
sebagai etiologi.
- Sekuele pulmoner, sekitar 5% yang pasien yang bertahan hidup membutuhkan
suplementasi oksigen pada 1 bulan dan sebagian mungkin memiliki fungsi
pulmonal yang abnormal, termasuk peningkatan kapasitas residual fungsional,
reaktivitas saluran napas, dan insidens pneumonia yang lebih tinggi.
Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk menangani sindrom aspirasi
mekonium antara lain :
1. Observasi
Bayi yang mengalami depresi saat lahir dan terdapat mekonium pada suction di
trakea berisiko mengalami pneumonia akibat aspirasi mekoniumd dan perlu
dipantau ketat akan adanya distres pernapasan.
- Radiografi thorax dapat membantu untuk menentukan bayi yang kemungkinan
akan mengalami distres pernapasan. Gambaran rontgen klasik yang dapat
ditemukan berupa infiltrat asimetris yang bersifat diffuse dan patchy, area
konsolidasi dan hiperinflasi.
- Pemantauan saturasi oksigen selama periode ini membantu dalam menilai
beratnya kondisi bayi dan mencegah hipoksemia.
2. Perawatan rutin
Bayi sebaiknya ditempatkan pada lingkungan bersuhu netral dan stimulasi taktil
diminimalisasi. Glukosa darah dan kalsium sebaiknya diperiksa dan dikoreksi jika
perlu. Bayi dengan depresi berat dapat mengalami asidosis metabolik berat yang
perlu ditangani. Cairan sebaiknya direstriksi untuk menghindari edema paru dan
serebri. Bayi mungkin memerlukan terapi spesifik untuk hipotensi dan output
kardiak yang buruk, yaitu dengan pemberian dopamine. Sokongan sirkulasi
dengan normal salin atau PRC pada pasien dengan oksigenasi marginal,
konsentrasi hemoglobin umumnya dipertahankan pada kadar 15 mg/dL (dengan
hematokrit > 40%)
3. Terapi oksigen
Tatalaksana hipoksemia dapat dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi
oksigen yang diinspirasi dan dengan memantau gas darah serta pH. Sangat
penting untuk memberikan oksigen yang adekuat menghindari komplikasi
hipoksia berupa vasokontriksi pulmoner dan PPHN.
4. Alat bantu ventilasi
- Continuous positive airway pressure (CPAP) diindikasikan bila kebutuhan
FiO2 melebihi 0.40 untuk menjaga PaO2 > 60 mmHg berkaitan dengan pH <
7,25; dan jika PaCO2 > 50 mmHg dan Downes score > 4. CPAP biasanya
membantu dan tekanan yang adekuat perlu disesuaikan dengan kebutuhan tiap
bayi. CPAP dapat memperburuk air trapping dan perlu diberikan dengan hati-
hati untuk jika hiperinflasi jelas ada baik secara klinis atau radiografik.
- Ventilasi mekanik
Diindikasikan pada retensi karbondioksida berlebihan (PaCO2 > 60 mmHg)
dan hipoksemia persisten (PaO2 < 50 mmHg).
5. Medikasi
- Antibiotik : penggunaan antibiotik spectrum luas (ampicillin dan gentamicin)
umumnya diindikasikan ketika tampak adanya gambaran infiltrat pada rontgen
thorax. Kultur darah sebaiknya dilakukan untuk identifikasi bakteri, jika ada,
dan menentukan lamanya pemberian antibiotik.
- Surfaktan : aktivitas surfaktan endogen dapat dihambat oleh mekonium.
Terapi surfaktan dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi komplikasi
pulmoner dan kebutuhan untuk extracorporeal membrane oxygenation
(ECMO). Pemberian surfaktan tidak dilakukan secara rutin, hanya pada situasi
dimana klinis bayi terus memburuk dan membutuhkan bantuan lebih.
- Kortikosteroid : tidak direkomendasikan pada sindrom aspirasi mekonium

o Infeksi
Infeksi bakaterial merupakan salah satu penyebab yang
memungkinkan pada distress pernapasan neonatus. Patogen yang sering
terlibat adalah streptokokus grup B, Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, dan bakteri batang gram negatif lain. Pneumonia dan sepsis memiliki
berbagai manifestasi klinis, termasuk tanda umum distress dan instabilitas
temperatur. Berbeda dengan TTN, HMD dan aspirasi mekonium, infeksi bakteri
membutuhkan waktu untuk menimbulkan gejala, dengan kelainan respiratorik
muncul dalam beberapa jam hingga hari. Faktor risiko terjadinya pneumonia antara
lain adalah, persalinan lama setelah ketuban pecah, prematuritas, dan demam saat
kehamilan. Sedangkan sepsis dicurigai bila terdapat 2 dari kriteria faktor risiko sepsis
mayor atau 1 kriteria faktor risiko sepsis mayor ditambah dengan 2 kriteria faktor
risiko sepsis minor.
Faktor Risiko Sepsis Mayor Faktor Risiko Sepsis Minor
-Ketuban pecah dini ≥ 18 jam -Ketuban pecah dini > 12 jam
-Demam intrapartum > 38oC -Demam intrapatum > 37,5 oC
-DJJ > 160 x/menit -APGAR rendah (<5/<7)
-Korioamnionitis: -BBLSR (< 1500 gram)
 Demam maternal > 38oC -Usia kehamilan < 37 minggu
 Takikardia maternal (>100x/menit) -Kembar
-Keputihan
 Takikardia fetal (>160x/menit) -ISK
 Uterine tenderness
 Ketuban berbau

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada infeksi bakterial adalah


kultur darah untuk idetifikasi bakteri penyebab dan menentukan pilihan terapi,
serta radiografi thorax. Gambaran yang sering muncul adalah infiltrat bilateral
dan sering terdapat efusi pleura. Tatalaksana yang diberikan selain bersifat
suportif juga diberikan antibiotik sesuai dengan organisme penyebab.

Anda mungkin juga menyukai