Anda di halaman 1dari 48

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penulisan 2
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Fisiologi 3
Spinal Cord Injury
2.2 Definisi 5
2.3 Klasifikasi 6
2.4 Etiologi 13
2.5 Patofisiologi 14
2.6 Manifestasi Klinis 15
2.7 Pathway 17
2.8 Penatalaksanaan Medis 17
Tumor Spinal Cord
2.9 Definisi 21
2.10 Klasifikasi 21
2.11 Etiologi 22
2.12 Patofisiologi 22
2.12 Manifestasi Klinis 23
2.13 Pathway 24
2.14 Penatalaksanaan Medis 25
2.15 Asuhan Keperawatan 25
2.16 Evidance Based 42
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan 44
3.2 Saran 44
DAFTAR PUSTAKA 45

1
2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Medula spinalis merupakan suatu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan


saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra
dan memanjang dari foramen magnum tulang oksipital ke disk intervertebralis. Medula
spinalis terdiri dari serabut saraf yang mentransmisikan impuls ke dan dari otak dan
merupakan pusat integrasi untuk refleks medula spinalis. Kerusakan pada medula
spinalis mengakibatkan gangguan pada proses komunikasi antara otak dan bagian tubuh
lainnya. Kerusakan dapat disebabkan oleh memar, robek, pemotongan, edema, atau
pendarahan pada spinal cord. Kerusakan juga dapat disebabkan oleh kekuatan luar atau
oleh pecahan tulang yang retak.

Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis adalah trauma pada tulang
belakang yang menyebabkan lesi medula spinalis sehingga terjadi gangguan neurologik,
tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jaringan saraf yang rusak. Cedera pada
medula spinalis dapat menimpa orang-orang dari segala usia, tetapi rasio terbesar pada
remaja-dewasa awal. SCI biasanya disebabkan oleh trauma. Penyebab paling umum
adalah tabrakan kendaraan bermotor (42%), jatuh (27%), kekerasan (15%), cedera
olahraga (7%), dan penyebab lain-lain (8%). Cedera ini ditandai dengan penurunan atau
hilangnya fungsi sensorik dan motorik di bawah tingkat cedera. Trauma medula spinalis
bersifat serius dan terkadang fatal.

Sekitar 12.000 orang Amerika menderita SCI setiap tahun. Sekitar 260.000 orang di
Amerika Serikat hidup dengan SCI. Potensi gangguan tumbuh-kembang individu,
dinamika keluarga yang berubah, kerugian ekonomi dalam hal pekerjaan, dan tingginya
biaya rehabilitasi dan perawatan kesehatan jangka panjang menjadikan SCI sebagai
masalah utama. Meskipun banyak orang dengan SCI dapat merawat dirinya sendiri
secara mandiri, mereka dengan tingkat cedera tertinggi mungkin memerlukan perawatan
sepanjang waktu di rumah atau di fasilitas perawatan jangka panjang.

1
Tumor saraf tulang belakang adalah tumor yang tumbuh di dalam kanal tulang
belakang atau di dalam tulang belakang yang mungkin bersifat kanker atau non kanker.
Penyebab berkembangnya tumor tulang belakang belum diketahui secara pasti, para ahli
mengatakan bahwa adanya kerusakan gen, tetapi biasanya sangat sulit dideteksi (Black &
Hawks, 2014).

Tumor pada spinal adalah kasus yang langka, hanya sekitar 15% dari seluruh kasus
tumor sistem saraf pusat dan 90% kasusnya terjadi pada usia>20 tahun, usia yang
produktif bagi seseorang. Tumor spinal dapat tumbuh di luar dura (ekstradural) atau di
dalam lapisan dura (intradural). Tumor Intradural-intramedular hanya 5%.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan spinal cord injury dan tumor spinal cord ?
2. Apa etiologi spinal cord injury dan tumor spinal cord?
3. Bagaimana manifestasi klinis pada spinal cord injury dan tumor spinal cord?
4. Bagaimana patofisiologi spinal cord injury dan tumor spinal cord ?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada spinal cord injury dan tumor spinal cord?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan dari spinal cord injury dan
tumor spinal cord?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan spinal cord injury dan tumor
spinal cord?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi dari spinal cord injury dan tumor spinal cord.
2. Untuk mengetahui etiologi spinal cord injury dan tumor spinal cord.
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari spinal cord injury dan tumor spinal cord.
4. Untuk mengetahui patofisiologi spinal cord injury dan tumor spinal cord.
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari spinal cord injury dan tumor spinal cord.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari spinal cord injury dan tumor spinal
cord

2
7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan spinal cord injury dan
tumor spinal cord, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, dan intervensi
keperawatan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Fisiologi

A. Columna Vertebralis

Columna vertebralis terbentang dari cranium sampai ujung os coccygis dan


merupakan unsur utama rangka aksial (ossa cranii, columna vertebralis, costae dan
sternum). Columna vertebralis terdiri dari 33 vertebra yang terbagi dalam 5 daerah: 7
serviks, 12 toraks, 5 lumbal, 5 sacral (menyatu membentuk os sacrum), dan 4 vertebra
coccygeus (menyatu membentuk os coccygis). Setiap vertebra memiliki lubang
sentral yang dilewati oleh sumsum tulang belakang (spinal cord). Korpus vertebra
dipisahkan oleh diskus intervertebralis dan disanggah oleh serangkaian ligamen
longitudinal anterior dan posterior.

Columna vertebral bertugas melindungi sumsum tulang belakang, menopang


kepala, dan memberikan fleksibilitas. Disamping itu juga untuk memikul berat badan,
menyediakan permukaan untuk otot dan membentuk tapal batas posterior yang kukuh
untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.

3
Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris
memanjang dan berada di dalam columna vertebralis. Medulla spinalis memanjang
dari foramen magnum tulang oksipital ke diskus intervertebralis antara vertebra
lumbal pertama (L1) dan kedua (L2), dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu
duramater, arachnoid dan piamater. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra,
ligamen, meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal) yang
mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid.

Bagian superior medulla spinalis dimulai dari bagian foramen magnum pada
ujung bawah medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region lumbal
kemudian menipis menjadi konus medularis, yaitu filum terminale yang melekat di
bagian belakang os coccygis. Selanjutnya dibawah lumbar kedua adalah akar saraf,
yang memanjang melebihi konus yang disebut kauda equina yang lebih tahan
terhadap cedera.

Pada penampang melintang, spinal cord berbentuk oval dan secara internal
memiliki substansi abu abu (substansia grisea/gray matter) berbentuk H yang
dikelilingi substansia putih (substansia alba). Di area gray matter terdapat banyak
serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-
kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini berwarna menjadi lebih gelap.
Medula Spinalis memiliki 31 pasang saraf spinal, diberi nama sesuai dengan vertebra
masing-masing: 8 pasang servikal, 12 pasang toraks, 5 pasang lumbal, dan 5 pasang
sacral. Setiap segmen mengandung sepasang serabut saraf sensorik dorsal (afferent)
dan serabut saraf motorik ventral (efferent).

4
Perjalanan serabut saraf dalam medula spinalis terbagi menjadi dua jalur, jalur
desenden dan asenden. Jalur desenden sebagian besar berfungsi untuk mengatur
gerakan motorik (efferent), baik yang disadari maupun mengatur derajat refleks. Jalur
asenden lebih merupakan pembawa informasi pada otak (afferent) seperti rasa nyeri,
suhu, getaran, raba, dan posisi tubuh.

Spinal Cord Injury

2.2 Definisi

Spinal cord injury (SCI) atau trauma medula spinalis adalah cedera yang terjadi
pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di
medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan atau kelainan neurologis dan dapat
menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Spinal cord injury pula merupakan
trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord sehingga menyebabkan
menurunnya atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensoris (Pertiwi & Berawi,
2017).

Gejala dari SCI ini pun bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya
inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula
spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek

5
pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan fungsi total.
Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat 40- 80 kasus baru per 1 juta
populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar 250.000-500.000 orang
mengalami cedera medula spinalis (Pertiwi & Berawi, 2017).

2.3 Klasifikasi

A. Berdasarkan Derajat Cedera

Derajat cedera pada medula spinalis bisa lengkap atau tidak lengkap (parsial).
Cedera saraf yang lengkap menyebabkan hilangnya fungsi sensorik dan motorik
secara total di bawah tingkat cedera. Sedangkan cedera yang tidak lengkap
menyebabkan hilangnya sensasi dan aktivitas motorik volunter serta meninggalkan
beberapa saluran tetap utuh. American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama
dengan International Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan
dan mempublikasikan standar internasional untuk klasifikasi fungsional dan
neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada
tahun 1969. Klasifikasi ASIA dipakai di banyak negara karena sistem ini dipandang
akurat dan komprehensif.

Skala cedera berdasarkan Frankel dan ASIA/IMSOP :

Grade Tipe Kriteria

6
A Komplit Tidak ada fungsi sensorik dan motorik sampai
S4-5

B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi fungsi motorik


terganggu sampai segmen sakral S4-5

C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi


otot-otot motorik utama masih punya kekuatan <3
(ASIA) dan dengan ROM 2 atau 3 (Frankle).

D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi


otot-otot motorik utama masih punya kekuatan >3
(ASIA) dan dengan ROM 4 (Frankle).

E Normal Fungsi sensorik dan motorik normal

Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA, terbagi atas 2 yaitu :

a. Paraplegia, yaitu suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segmen thoracal-lumbal-sacral.
b. Tetraplegia, yaitu suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segmen servikal.

B. Berdasarkan Sindrom Medula Spinalis

7
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien
dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak
membingungkan pemeriksa. Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis
inkomplit menurut American Spinal Cord Injury Association, yaitu :

1. Central Cord Syndrome

Disebabkan oleh kerusakan pada spinal cord pusat. Paling sering terjadi ketika
trauma pada daerah servikal dan lebih sering terjadi pada lansia. Ditandai
dengan hilangnya kekuatan sensorik dan kelemahan motorik terjadi lebih berat
pada ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah.

2. Anterior Cord Syndrome

Disebabkan oleh kerusakan arteri spinalis anterior dan menghasilkan


gangguan aliran darah ke saraf spinal anterior. Biasanya akibat dari cedera
yang menyebabkan kompresi akut pada saraf spinal bagian anterior, seringkali
cedera fleksi. Ditandai dengan kelumpuhan motorik dan hilangnya sensasi
nyeri dan suhu pada level di bawah tingkat cedera. Karena saraf bagian
posterior tidak terluka, sensasi sentuhan, posisi, getaran, dan gerakan tetap
utuh.

8
3. Brown-Séquard Syndrome

Disebabkan oleh kerusakan satu setengah spinal cord, biasanya hasil dari
cedera tembus ke saraf spinal. Ditandai dengan hilangnya fungsi dan posisi
motorik serta sensasi getaran pada Ipsilateral (sisi yang sama dengan cedera),
serta kehilangan sensasi nyeri dan suhu di bawah tingkat cedera pada
kontralateral (sisi berlawanan dari cedera).

4. Posterior Cord Syndrome

Disebabkan oleh kompresi atau kerusakan arteri spinalis posterior. Kondisi ini
sangat langka terjadi. Mengakibatkan hilangnya proprioception (persepsi
rangsangan yang berhubungan dengan posisi, postur tubuh, keseimbangan,
atau kondisi tubuh). Nyeri, sensasi suhu, dan fungsi motorik di bawah tingkat
cedera juga terganggu.

9
5. Conus Medullaris Syndrome and Cauda Equina Syndrome

Disebabkan oleh kerusakan konus medularis (bagian paling bawah dari spinal
cord) dan cauda equina (akar saraf lumbal dan sakral). Terjadi kelumpuhan
flaksid pada ekstremitas bawah, gangguan kontrol berkemih dan defekasi.

C. Berdasarkan Level Cedera

Level cedera tulang adalah tingkatan di mana terdapat kerusakan paling


banyak pada tulang belakang dan ligamen. Level neurologis adalah segmen terendah
dari saraf spinal dengan fungsi sensorik dan motorik bernilai normal pada kedua sisi
tubuh. Tingkat cedera bisa serviks, toraks, lumbal, atau sakral. Cedera servikal dan
lumbal paling sering terjadi karena tingkat ini terkait dengan kelenturan dan
pergerakan terbesar. Cedera hingga segmen C8 akan menyebabkan kelumpuhan

10
keempat ekstremitas dan tetraplegia, dan cedera di bawah T1 menyebabkan
paraplegia (kelumpuhan dan hilangnya sensasi di kaki).

Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The
Christopher & Dana Reeve Foundation mengkategorikan trauma medula spinalis,
menjadi :

1. High Cervical Nerves (C1-C4)

Seringkali terjadi cedera fatal. Mampu menggerakan leher dan di atasnya,


namun terjadi hilangnya persarafan ke diafragma dan tidak adanya fungsi
pernapasan independen. Pasien mungkin tidak mampu untuk bernapas dan
batuk dengan kemampuan sendiri juga kehilangan kemampuan mengontrol
defekasi, berkemih. Terkadang kemampuan untuk berbicara juga terganggu
atau menurun.

2. Low Cervical Nerves (C5 – C8)

Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan bicara
normal seperti sebelumnya.

a. Trauma C5

Pasien mampu menggerakkan leher, bahu sebagian, punggung, dan


bisep. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tapi kemampuan
bernapas melemah.

b. Trauma C6

Saraf ini berfungsi untuk abduksi dan rotasi bahu dan punggung atas,
fleksi bisep ke siku, dan ekstensi pergelangan tangan. Mampu
berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas
melemah.

c. Trauma C7-C8

Pasien mampu ekstensi trisep ke siku, ekstensi dan fleksi jari-jari


tangan, mampu menggenggam dengan baik tapi kekuatan yang

11
menurun. Kemampuan pernapasan menurun dan mungkin terjadi
sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi pasien
dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dan bantuan
alat.

3. Thoracic Nerves (T1-T5)

Saraf pada level ini mempengaruhi ekstremitas atas, otot dada atas, otot
abdominal, dan otot punggung atas. Trauma medula spinalis level ini Saraf
pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung tergantung dari level
trauma medula spinalis. Pasien masih mampu mengendalikan kemampuan dan
keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu batuk produktif selama otot
abdominal masih intak. Biasanya tidak terdapat gangguan berkemih ataupun
defekasi.

4. Lumbar Nerves (L1-L5)

Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki.
Terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi pasien
dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan bantuan alat.
Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat bantu untuk
berjalan.

5. Sacral Nerves (S1-S5)

Trauma dapat menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan


kaki. Terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi
pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan
bantuan alat. Pasien mampu berjalan cukup baik.

D. Berdasarkan Mekanisme Cedera

Ada beberapa Mekanisme yang dapat menyebabkan cedera yaitu fleksi, hiperekstensi,
rotasi fleksi, rotasi ekstensi dan kompresi.

12
2.4 Etiologi

Penyebab spinal cord injury adalah akibat trauma langsung yang mengenai tulang
belakang dan melampaui batas kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf
yang berada di dalamnya. Trauma yang paling umum yaitu disebabkan oleh tabrakan
kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, cedera olahraga (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher,
& Harding, 2014). Penetrasi seperti luka tusuk atau tembak, kecelakaan di rumah (jatuh dari
ketinggian, dll), dan bencana alam seperti gempa juga dapat menyebabkan spinal cord injury.

Selain itu juga, gangguan lain yang menyebabkan spinal cord injury seperti,
spondilosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan
cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar mielitis akibat proses inflamasi infeksi
maupun non-infeksi, osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra,
tumor infiltrasi maupun kompresi dan penyakit vaskular (Batticaca, 2008).

Jenis cedera spinal cord injury


13
Tingkat kerusakan neurologis yang disebabkan oleh SCI ada dua yaitu cedera primer
(gangguan fisik aktual dari akson) dan cedera sekunder (iskemia, hipoksia, hemoragi dan
edema).

● Cedera primer

Sumsum tulang belakang terbungkus lapisan keras dura dan jarang robek atau
terpotong oleh trauma langsung. cedera ini bisa disebabkan oleh kompresi saraf spinal
akibat perpindahan tulang, gangguan suplai darah ke saraf spinal, atau traksi akibat
penarikan di kabelnya dan trauma tembus, seperti tembakan dan tusukan luka, dapat
mengakibatkan robekan dan transeksi (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, &
Harding, 2014).

● Cedera sekunder

Cedera sekunder terjadi setelah cedera primer, cedera ini bisa disebabkan oleh
pembentukan radikal bebas, masuknya kalsium yang tidak terkontrol, iskemia,dan
peroksidasi lipid (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, & Harding, 2014).

2.5 Patofisiologi

Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur (patah tulang)
sederhana, kompresi, dan dislokasi. Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau
berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya
bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis. Sedangkan kerusakan pada
cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan
atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok
saraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernafasan,
sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan anestesia akut.

Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmen-
fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer.
Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik serta ruptur axon dan sel
membran neuron. Bila hemoragi terjadi pada daerah medula spinalis, darah dapat
merembes ke extradural subdural atau daerah subarachnoid pada kanal spinal, segera
sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai

14
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medula spinalis menjadi terganggu, tidak
hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera
medulla spinalis akut.

Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi,
tetapi dapat menimbulkan lesi pada medula spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung.
Tergolong dalam trauma tak langsung ini adalah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau
dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi dari spinal cord injury umumnya merupakan akibat langsung dari trauma
yang menyebabkan kompresi tali pusat, iskemia, edema dan kemungkinan transeksi
kabel. Manifestasi SCI terkait dengan tingkat dan derajat cedera. pasien dengan penyakit
yang tidak lengkap cedera mungkin menunjukkan campuran manifestasi. Semakin tinggi
cedera, semakin serius gejala karena proximality dari kabel serviks ke medula dan batang
otak (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, & Harding, 2014).

Meskipun gambaran klinis tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan, namun
secara umum jika mengalami spinal cord injury, maka akan merasakan gejala seperti:

1) nyeri mulai dari leher sampai bawah


2) kehilangan fungsi (misalnya: tidak dapat menggerakkan lengan)
3) kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh, sakit atau tekanan yang
berat di leher, kepala.
4) Biasanya nyeri terjadi hilang timbul,
5) geli (kesemutan) atau kehilangan sensasi di jari dan tangan,
6) kehilangan kontrol salah satu atau seluruh bagian tubuh,
7) inkontinensia urin yang mungkin disebabkan karena kelumpuhan saraf,
8) kesulitan berjalan dengan keseimbangan,
9) sulit bernafas setelah cedera,
10) tidak berfungsinya saraf pada kepala atau tulang belakang (IMFI, 2018)

Adapun tanda dan gejala lain menurut (Doenges, 2000) yaitu bervariasi, bergantung
pada tingkat cedera, derajat syok spinal dan fase serta derajat pemulihan. Berikut
merupakan tanda dan gejalanya:

15
C1 – C5 Quadriplegia, kemampuan bernapas (-)

C5 – C6 Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku


yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis

C6 – C7 Paralisis kaki, pergelangan dan tangan, tapi pergerakan bahu dari


fleksi siku masih bisa dilakukan, kehilangan refleks bisep

C7 – C8 Paralisis kaki dan tangan

C8 – T1 Horner’s Syndrome (miotic pupils, facial anhidrosis)

T2 – T4 Paralisis kaki, Hilangnya sensasi di bawah puting susu

T5 – T8 Paralisis kaki, Hilangnya sensasi di bawah tulang rusuk

T9 – T11 Paralisis kaki, Hilangnya sensasi di bawah pusar

T11 – T12 Paralisis otot-otot kaki di atas dan di bawah lutut

T12 – L1 Paralisis di bawah lutut

Di bawah L2 Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total

16
2.7 Pathway

2.8 Penatalaksanaan Medis


1. Farmakologis
Tujuan farmakoterapi pada cedera spinal adalah meningkatkan fungsi motorik
dan sensorik. Penggunaan methylprednisolone sebagai terapi utama cedera spinal
akut masih kontroversial. Beberapa studi melaporkan adanya efek samping terkait

17
pemberian methylprednisolone dosis tinggi, seperti perdarahan gastrointestinal
dan kecenderungan peningkatan adverse event lainnya. The Congress of
Neurological Surgeons (CNS) menyatakan pemberian terapi steroid hanya boleh
dilakukan jika efek samping lebih kecil dibanding manfaat klinis. Pada pasien
acute spinal cord injury (cedera spinal akut) dengan defisit neurologi, pemberian
methylprednisolone dosis tinggi 8 jam pasca cedera terbukti meningkatkan
pemulihan neurologi dan mengurangi efek sekunder dari cedera spinal akut.
Dosis yang dianjurkan adalah methylprednisolone 30 mg/kgBB diberikan secara
bolus intravena selama 15 menit, diikuti jeda 45 menit dan dilanjutkan
maintenance 5,4 mg/kgBB/jam selama 24 jam kemudian. methylprednisolone
dipercaya dapat mengurangi edema, mencegah deplesi kalium intraseluler dan
menghambat peroksidasi lipid. Pemberian obat analgetik menjadi modalitas
penting dalam manajemen nyeri. Analgetik yang disetujui Food and Drug
Administration (FDA) dalam manajemen nyeri neuropatik terkait cedera spinal
adalah pregabalin.

2. Pembedahan
Keputusan untuk melakukan pembedahan pada pasien SCI sering kali
bergantung pada preferensi dokter tertentu. Ketika kompresi saraf spinal jelas
atau gangguan neurologis berkembang, pembedahan segera mungkin bermanfaat.
Pembedahan mendekompresi dan menstabilkan tulang belakang. Perdarahan
progresif berkontribusi terhadap kerusakan mekanik pada sirkulasi
mikrovaskuler. Tindakan dekompresi bedah bertujuan untuk mengurangi tekanan
tersebut sehingga mengurangi hipoksia dan edema sekunder. Indikasi bedah
dekompresi ini antara lain jika terdapat gangguan neurologis progresif, fraktur
yang tidak bisa dilakukan atau tidak berespon terhadap reduksi terhadap reduksi
tertutup, fraktur vertebra tidak stabil. Tindakan ini dapat dilakukan pada 24 jam
pertama.

Pembedahan untuk menstabilkan tulang belakang dapat dilakukan dari bagian


belakang tulang belakang (pendekatan posterior) atau dari bagian depan tulang
belakang (pendekatan anterior). Dalam beberapa kasus, kedua pendekatan
tersebut mungkin diperlukan. Prosedur fusi melibatkan pemasangan sekrup

18
logam, pelat, atau perangkat lain ke tulang tulang belakang untuk membantu
menjaganya tetap sejajar. Ini biasanya dilakukan ketika dua atau lebih tulang
belakang terluka. Potongan kecil tulang juga dapat ditempelkan ke tulang yang
terluka untuk membantunya menyatu menjadi satu bagian yang kokoh.

3. Rehabilitasi

Rehabilitasi bertujuan untuk mempertahankan mobilitas dan aktivitas


sebanyak mungkin serta mencegah cedera lebih lanjut. Rehabilitasi awal antara
lain mencegah kontraktur dan hilangnya kekuatan otot, mempertahankan densitas
tulang, dan memastikan sistem pernapasan dan pencernaan berfungsi normal.
Rehabilitasi melibatkan stabilisasi segmen tulang belakang yang cedera dan
dekompresi, baik melalui traksi atau penataan kembali. Metode stabilisasi
menghilangkan gerakan yang merusak di lokasi cedera. Metode ini dimaksudkan
untuk mencegah kerusakan medulla spinalis sekunder yang disebabkan oleh
kontusio atau kompresi berulang.

Pendekatan interdisipliner sangat penting dalam rehabilitasi cedera spinal,


contohnya imobilisasi. Melakukan imobilisasi merupakan pilihan utama untuk
penanganan pada pasien multi trauma. Pilihan tindakan imobilisasi pun paling
disarankan untuk pasien-pasien dengan cedera tulang belakang. Pada hasil
neurologis, pencegahan pergerakan, posisi tulang belakang, mengurangi nyeri
atau meningkatkan kenyamanan.

4. Terapi Traksi

Terapi traksi telah digunakan dalam pengobatan nyeri tulang belakang selama
beberapa dekade. Inkarnasi terbaru dari terapi traksi adalah terapi dekompresi
spinal non-bedah. Penggunaannya telah berkembang dari traksi statis sederhana
menjadi traksi motorik intermiten. Terapi dekompresi spinal melibatkan
peregangan tulang belakang menggunakan traksi atau perangkat bermotor untuk
mengurangi tekanan pada diskus dan memungkinkan reposisi. Pengobatan ini
membantu menginduksi tekanan negatif pada sendi tulang belakang, sehingga
menciptakan ruang dan menghilangkan tekanan dari saraf. Dekompresi ini juga
memungkinkan nutrisi masuk ke diskus untuk mempercepat penyembuhan.

19
Traksi dapat dilakukan pada kulit (traksi kulit) atau langsung ke rangka tubuh
(traksi rangka). Untuk cedera servikal, traksi rangka digunakan lebih jarang
karena pengembangan stabilisasi bedah yang lebih baik. Saat traksi rangka
digunakan, tujuannya adalah menyetel kembali atau mengurangi cedera. Penjepit
Crutchfield, Vinke, atau Gardner-Wells, atau jenis perangkat lain dapat
memberikan jenis traksi ini, menggunakan tali yang memanjang dari bagian
tengah penjepit di atas katrol dan memiliki beban yang dipasang di ujungnya.
Traksi harus dijaga setiap saat. Tergantung pada jenis cedera dan tujuan
pengobatan, penjepit dan traksi dapat dilepas 1 hingga 4 minggu setelah cedera.
Satu kelemahan dari penjepit tengkorak adalah bahwa peniti tengkorak dapat
bergeser. Jika ini terjadi, pegang kepala dalam posisi netral dan dapatkan bantuan.
Stabilkan kepala sementara dokter memasukkan kembali penjepitnya.

Setelah fusi servikal atau operasi stabilisasi lainnya, penyangga servikal yang
keras atau brace immobilizer sternal-oksipital-mandibular dapat dipakai. Dalam
cedera stabil yang tidak dilakukan pembedahan, alat fiksasi halo dapat diterapkan.
Halo adalah metode yang paling sering digunakan untuk menstabilkan cedera
servikal. Peralatan halo dapat digunakan untuk menerapkan traksi servikal dengan
cara pengaturan seperti jaket. Beban gantung, seperti yang digunakan dengan
penjepit, dapat digabungkan dengan halo. Selain itu, peralatan dapat dipasang
pada body vest, menstabilkan area cedera dan memungkinkan ambulasi jika
pasien utuh secara neurologis. Alternatif lain adalah dengan menggunakan halo
setelah traksi pasien dicabut. Pasien yang pernah dipasangkan traksi servikal
sebelum operasi dapat ditempatkan dalam penyangga halo pasca operasi. Ini
memungkinkan pasien untuk lebih bergerak dan memulai rehabilitasi aktif.

20
Tumor Spinal Cord

2.9 Definisi

Tumor spinal cord merupakan tumor yang dapat tumbuh di luar dura
(ekstradural) atau di dalam lapisan dura (intradural). Dua jenis tumor utama yang
dapat mempengaruhi saraf tulang belakang adalah tumor intramedular, yaitu tumor
yang tumbuh pada substansi saraf tulang belakang itu sendiri; dan tumor
ekstramedular yang tumbuh dalam jaringan pendukung sel-sel sekitar saraf tulang
belakang. Umumnya penderita tumor spinal cord akan merasakan nyeri yang bersifat
lokal dan nokturnal maupun menyebar ke ekstremitas (lengan/kaki). Nyeri pada
punggung yang kadang semakin nyeri apabila berbaring.

2.10 Klasifikasi
Tumor spinal cord diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder (metastasis),
tumor primer jarang diketahui penyebabnya dan tumor jenis ini dapat terjadi pada
semua tingkat kolumna spinal dengan mayoritas kasus terjadi di toraks. Sebagian
besar tumor spinal cord bersifat metastasis, tumor metastasis terjadi pada sekitaran
20% semua pasien yang mengalami kanker dan paling umum akibat malignansi
payudara, prostat, usus, ginjal, atau uterus.
Tumor spinal cord juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis
sebagai tumor intradural dan ekstradural, tumor intradural terdiri tumor intramedular
dan ekstramedular. Tumor intradular berasal dari dalam jaringan neural spinal cord
yang paling sering terjadi adalah ependimoma dan glioma. Sedangkan tumor
ekstradular adalah jenis yang paling umum terjadi di luar korda spinal, tumor yang
biasa terjadi antara lain neurofibroma meningioma, sarkoma, kordama, dan tumor

21
vaskular. Tumor ekstradular lebih lanjut dikategorikan sebagai intradural berasal dari
akar saraf atau meningen dalam ruang subaraknoid) atau ekstradura (berasal dari
jaringan epidural atau vertebra di luar dura). Tumor ekstradural adalah lokasi yang
paling umum untuk kanker metastasis baik tumor intradural primer maupun
metastasis yang dapat melibatkan cairan serebrospinal, disebut penyakit
leptomeningeal (Leptomeningeal disease, LMD).

2.11 Etiologi
Penyebab berkembangnya tumor tulang belakang belum diketahui secara pasti, para
ahli mengatakan bahwa adanya kerusakan gen, tetapi biasanya sangat sulit di deteksi.
Faktor risiko tumor dapat terjadi pada setiap kelompok ras dan insiden meningkat seiring
dengan pertambahan usia serta akan meningkat pada orang yang terpapar zat kimia
tertentu, namun hal tersebut belum juga bisa dipastikan.
Riwayat genetik terlihat sangat berperan dalam peningkatan insiden pada keluarga
tertentu atau syndromic group (neurofibromatosis). Astrositoma dan neuropendymoma
merupakan jenis yang tersering pada pasien neurofibromatosis tipe 2 yang merupakan
kelainan pada kromosom 22 hemangioblastoma. Hal ini dapat terjadi pada 30% pasien
dengan von Hippel-lindou syndrome sebelumnya yang merupakan abnormalitas dari
kromosom 3.

2.12 Patofisiologi

Tumor medula spinalis disebabkan oleh kerusakan dan infiltrasi, pergeseran dan
dekompresi medula spinalis dan terhentinya suplai darah atau cairan serebrospinal.
Derajat gejala tergantung dari tingkat kompresi dan kecepatan perkembangan. Tumor
ekstradural biasanya bermetastasis dan paling sering muncul di korpus vertebra. Lesi

22
metastasis ini dapat menyerang secara intradural dan menekan sumsum tulang belakang.
Tumor yang umumnya bermetastasis ke rongga epidural spinal yaitu yang menyebar
melalui aliran darah, seperti kanker prostat, payudara, paru-paru, dan ginjal. Karena
banyak tumor sumsum tulang belakang tumbuh lambat, gejalanya disebabkan oleh efek
mekanis dari kompresi lambat dan iritasi akar saraf, perpindahan saraf spinal, atau
penyumbatan pasokan vaskular secara bertahap.

Tumor medula spinal cenderung tumbuh dengan cepat, seringkali memproduksi


manifestasi kompresi korda spinalis progresif yang berat berupa paresis spastik pada
bagian tubuh yang suplai fungsinya oleh korda spinalis di tingkat bawah dari lesi dan
kemudian berkembang menjadi disfungsi kandung kemih dan usus. Nyeri adalah keluhan
utama. Pada tumor yang berada pada bagian dorsal biasanya akan menyebabkan
gangguan sensoris; sedangkan kompresi lateral bisa menyebabkan Brown Sequard
Syndrome. Pasien dengan Brown Sequard Syndrome mengalami paralisis ipsilateral
upper motor neuron dan hilangnya fungsi propriosepsi serta hilangnya sensasi nyeri dan
suhu kontralateral lesi.

2.12 Manifestasi Klinis

Pada pasien dengan spinal cord tumor terjadi masalah sensorik dan motorik, dengan
lokasi dan luasnya tumor menentukan tingkat keparahan dan luasnya masalah. Gejala
awal yang paling umum dari tumor sumsum tulang belakang adalah nyeri punggung.
Lokasi nyeri tergantung pada tingkat kompresi. Nyeri bertambah parah dengan aktivitas,
batuk, mengejan, dan berbaring. Gangguan sensorik kemudian dimanifestasikan oleh
rasa dingin, mati rasa, dan kesemutan pada satu ekstremitas atau beberapa ekstremitas.

Kelemahan motorik menyertai gangguan sensorik dan terdiri dari kekakuan,


kelemahan, dan spastisitas yang meningkat secara perlahan. Kelumpuhan bisa
berkembang. Gangguan sensorik dan motorik bersifat ipsilateral (di sisi yang sama)
terhadap cedera. Gangguan kandung kemih ditandai oleh urgensi dengan kesulitan
memulai aliran dan berlanjut ke retensi dengan inkontinensia luapan.

23
2.13 Pathway

24
2.14 Penatalaksanaan Medis

Tumor ekstradural biasanya dapat dideteksi lebih awal melalui rontgen tulang
belakang rutin, sedangkan untuk mendeteksi adanya tumor intradural dan intrameduler
memerlukan MRI atau CT dan analisis CSF dapat mengungkapkan sel tumor.

Kompresi sumsum tulang belakang adalah keadaan darurat. Relief iskemia yang
berhubungan dengan kompresi adalah tujuan terapi. Untuk meredakan edema terkait
tumor, umumnya akan diresepkan kortikosteroid seperti Dexamethasone (Decadron)
seringkali dalam dosis besar yang biasanya juga digunakan untuk mengobati edema.

Indikasi pembedahan bervariasi tergantung pada jenis tumornya. Tumor tulang


belakang primer dapat diangkat dengan tujuan penyembuhan. Pada pasien dengan tumor
metastatik, pengobatan utamanya bersifat paliatif dengan tujuan memulihkan atau
mempertahankan fungsi neurologis, menstabilkan tulang belakang, dan mengurangi
nyeri. Pemberian terapi radiasi setelah pembedahan terbilang efektif. Selain itu dilakukan
pula pemberian kemoterapi.

2.15 Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Anamnesa
● Identitas
Kaji identitas klien seperti nama, usia, alamat, jenis kelamin, dll.
● Keluhan utama
Keluhan utama yang sering dirasakan oleh klien SCI adalah nyeri,
kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia defekasi dan urine,
deformitas pada daerah trauma.
● Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat dari
kecelakaan lalu lintas, olahraga, jatuh dari pohon atau bangunan,luka
tusuk,luka tembak dan kejatuhan benda keras. Perlu ditanyakan pada klien
atau keluarga yang mengantar klien atau bila klien tidak sadar tentang
penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi
pada beberapa klien yang suka kebut-kebutan.
● Riwayat penyakit dahulu

25
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis, osteoartritis,
spondilitis, spondilolistesis, spinal stenosis yang memungkinkan terjadinya
kelainan pada tulang belakang.
● Riwayat psiko-sosio
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecacatan,rasa cemas,rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya
yang salah.
2. Pemeriksaan fisik
● Aktivitas dan istirahat. Tanda: kelumpuhan otot (terjadi kelemahan
selama syok spinal) pada bawah lesi; kelemahan umum atau kelemahan
otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
● Sirkulasi. Gejala: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan
posisi. Tanda: hipotensi, hipotensi postural, bradikardia, ekstremitas
dingin dan pucat.
● Eliminasi. Tanda: inkontinensia, defekasi dan berkemih, retensi urin,
peristaltik usus hilang, melena, emesis berwarna seperti kopi,
hematemesis.
● Integritas ego. Gejala: menyangkal, tidak percaya, sedih, marah. Tanda:
takut, cemas, gelisah, menarik diri.
● Hygiene. Tanda: sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.
● Neurosensori, Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau
kaki; paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal
teratasi, bergantung pada area spinal yang sakit. Tanda: kelumpuhan,
kesemutan, (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok
spinal), kehilangan tonus otot, perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya
keringat dari berbagai tubuh yang terkena karena pengaruh trauma
spinal.
● Nyeri/kenyamanan. Gejala: nyeri atau nyeri tekan otot. Tanda:
mengalami deformitas, postur dan nyeri tekan vertebral.

26
● Pernapasan. Gejala: napas pendek, kekurangan oksigen, sulit bernapas.
Tanda: pernapasan dangkal, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronchi, pucat, sianosis (Batticaca, 2008).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi
pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid)
untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan
lumbal. Pada kasus- kasus yang tidak menunjukkan kelainan. Radiologis,
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic
Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk
mendeteksi lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma.
● Radiologi
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang
diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur
dan mungkin disertai dengan dislokasi.Pada trauma daerah servikal foto
dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya
kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Evaluasi radiologis yang lengkap sangat penting untuk
menentukan adanya cedera spinal. Pemeriksaan radiologis tulang
servikal diindikasikan pada semua pasien trauma dengan nyeri leher di
garis tengah, nyeri saat palpasi, defisit neurologis yang berhubungan
dengan tulang servikal, atau penurunan kesadaran atau dengan
kecurigaan intoksikasi. Pemeriksaan radiologis proyeksi lateral, antero-
posterior (AP) dan gambaran odontoid open mouth harus dilakukan.Pada
proyeksi lateral, dasar tengkorak dan ketujuh tulang cervical harus
tampak. Bahu pasien harus ditarik saat melakukan foto servikal lateral,
untuk menghindari luputnya gambaran fraktur atau fraktur dislokasi di
tulang servikal bagian bawah. Bila ketujuh tulang servikal tidak bisa
divisualisasikan pada foto lateral, harus dilakukan swimmer view pada
servikal bawah dan torakal atas.Proyeksi open mouth odontoid harus
meliputi seluruh processus odontoid dan artikulasi C1-C2 kanan dan kiri.
Proyeksi AP tulang servikal membantu identifikasi adanya dislokasi

27
facet unilateral pada kasus dimana sedikit atau tidak tampak gambaran
dislokasi pada foto lateral.
CT-scan aksial dengan irisan 3 mm juga dapat dilakukan pada
daerah yang dicurigai dari gambaran foto polos atau pada servikal bawah
bila tidak jelas tampak pada foto polos. Gambaran CT aksial melalui C1-
C2 juga lebih sensitif daripada foto polos untuk mencari adanya fraktur
pada vertebra. Bila kualitas filmnya baik dan diinterpretasikan dengan
benar, cedera spinal yang tidak stabil dapat dideteksi dengan sensitivitas
lebih dari 97%.
Jika pada skrining radiologis seperti dijelaskan normal,foto X-ray
fleksi ekstensi perlu dilakukan pada pasien tanpa penurunan
kesadaran,atau pada pasien dengan keluhan nyeri leher untuk mencari
adanya instabilitas okult atau menentukan stabilitas fraktur, seperti pada
fraktur kompresi atau lamina. Mungkin sekali pasien hanya mengalami
cedera ligamen sehingga mengalami instabilitas tanpa adanya fraktur
walaupun beberapa penelitian menyebutkan bahwa bila 3 proyeksi
radiologis ditambah CT scan menunjukkan gambaran normal (tidak ada
pembengkakan jaringan lunak atau angulasi abnormal) maka instabilitas
jarang terjadi.
Untuk tulang torakolumbal, indikasi melakukan skrining radiologis
sama dengan pada kejadian di tulang servikal. Foto polos AP dan lateral
dengan CT scan aksial irisan 3 mm pada daerah yang divutigai dapat
mendeteksi lebih dari 99% cedera yang tidak stabil. Pada proyeksi AP
kesegarisan vertikal pedikel dan jarak antar pedikel pada masing-masing
tulang harus diperhatikan. Fraktur yang tidak stabil sering menyebabkan
pelebaran jarak antar pedikel.
Foto lateral dapat mendeteksi adanya subluksasi, fraktur kompresi,
dan fraktur Chance. CT scan sendiri berguna untuk mendeteksi adanya
faktur pada elemen posterior (pedikel, lamina, dan prosessus spinosus)
dan menentukan derajat gangguan kanalis spinalis yang disebabkan burst
fraktur. Rekonstruksi sagital dari CT Scan aksial mungkin diperlukan
untuk menentukan fraktur Chance.
● Pungsi Lumbal

28
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit
peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada
tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula
spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan
dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat
dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus
dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis
tersebut.
● Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari
trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus
intervertebralis. (Hall, 2012).
● Pemeriksaan MRI
MRI secara akurat menampilkan gambar saraf tulang belakang
dan saraf-saraf juga menghasilkan gambar tumor tulang yang lebih jelas
daripada pencitraan CT. Zat kontras yang dapat meningkatkan tampilan
gambar untuk jaringan dan struktur tertentu disuntikkan melalui
pembuluh darah di tangan atau lengan selama pemeriksaan.

● Biopsi

Untuk menentukan apakah tumor tulang belakang bersifat kanker


atau non kanker adalah dengan memeriksa sampel jaringan
menggunakan mikroskop. Hasil dari biopsi ini akan membantu
menentukan pengobatan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelumpuhan otot pernapasan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan kelumpuhan otot
interkostal
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (trauma)
4. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan gangguan sensasi suhu
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan fungsi otot
ekstremitas

29
6. Inkontinensia urin refleks berhubungan dengan kerusakan saraf spinal dan
gangguan sensasi berkemih
7. Konstipasi berhubungan dengan usus neurogenik dan imobilitas
8. Risiko syok berhubungan dengan vasodilatasi perifer
9. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penekanan lama bagian
tubuh dan imobilitas
10. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi sensorik dan motorik
ekstremitas
11. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi sistem saraf otonom

C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Outcome Intervensi

Setelah dilakukan Monitor Pernafasan


1. Ketidakefektifan pola napas keperawatan selama aktivitas-aktivitas:
berhubungan dengan 3 x 24 jam
Observasi:
kelumpuhan otot pernapasan diharapkan masalah
keperawatan 1. Monitor pernapasan dan
ketidakefektifan status oksigenasi
Definisi : Inspirasi dan/atau
pola napas dapat
ekspirasi yang tidak memberi 2. Observasi kecepatan,
teratasi dengan
ventilasi adekuat. kriteria hasil : irama, kedalaman dan
Status pernafasan kesulitan bernafas
Batasan karakteristik : 1. Frekuensi
3. Monitor pola nafas (seperti
pernafasan
menjadi deviasi bradipneu, takipneu,
1. Pola napas abnormal
ringan hiperventilasi, pernafasan
2. Dispnea
2. Irama kusmaul, pernafasan 1:1,
3. Penurunan tekanan pernafasan
menjadi deviasi apnea)
ekspirasi
ringan 4. Monitor kelelahan otot-
4. Penurunan tekanan
3. Kedalaman otot diafragma
inspirasi inspirasi
5. Monitor peningkatan
5. Penggunaan otot bantu menjadi deviasi
ringan kelelahan kecemasan dan
pernapasan
4. Penggunaan kekurangan udara pada
otot bantu nafas

30
menjadi ringan pasien
Faktor yang berhubungan :
Terapeutik/tindakan mandiri

● Keletihan otot 6. Buka jalan nafas dengan

pernapasan menggunakan manuver


chin lift atau jaw thrust
Kondisi terkait : dengan tepat
7. Posisikan pasien ke
● Cedera medula spinalis
samping sesuai dengan
indikasi untuk mencegah
aspirasi dengan teknik log
roll jika pasien mengalami
cedera pada leher dan
tulang belakang.
Edukasi
8. Ajarkan teknik pernapasan
dengan tepat
9. Inisiasi program kekuatan
otot dan/atau pelatihan
daya tahan pernapasan
dengan tepat.
Kolaborasi
10. Berikan bantuan terapi
napas (seperti nebulizer)
jika diperlukan
11. Berikan oksigen tambahan,
jika diperlukan.

Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan Manajemen jalan napas


2. keperawatan selama Aktivitas-aktivitas
jalan napas berhubungan
3 x 24 jam
dengan kelumpuhan otot Observasi :
diharapkan masalah
interkostal keperawatan 1. Monitor kecepatan,
Definisi : Ketidakmampuan ketidakefektifan irama, kedalaman dan
bersihan jalan napas
membersihkan sekresi atau kesulitan bernapas
dapat teratasi
obstruksi dari saluran napas dengan kriteria hasil 2. Monitor suara napas

31
untuk mempertahankan bersihan : tambahan
jalan napas Status pernafasan : 3. Monitor kemampuan
kepatenan jalan
Batasan Karakteristik : batuk efektif pasien
napas
1. Perubahan pola napas 1. Frekuensi 4. Monitor status
2. Perubahan frekuensi pernapasan pernapasan dan
napas dengan oksigenasi
3. Dispnea deviasi Terapeutik/tindakan mandiri
4. Suara napas tambahan ringan dari 5. Posisikan pasien untuk
5. Batuk yang tak efektif kisaran memaksimalkan
Kondisi terkait : normal ventilasi
● Disfungsi neuromuskular 2. Tidak ada 6. Posisikan untuk
suara napas meringankan sesak
tambahan napas
3. Tidak ada 7. Buang sekret dengan
batuk memotivasi pasien
4. Tidak terjadi untuk melakukan batuk
dispnea saat 8. Lakukan fisioterapi
istirahat dan dada, sebagaimana
aktivitas mestinya
Edukasi :
9. Ajarkan pasien
mengenai teknik batuk
efektif
Kolaborasi :
10. Kolaborasi pemberian
bantuan terapi napas

Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan Manajemen Nyeri


3. keperawatan selama aktivitas-aktivitas:
agens cedera fisik (trauma)
3 x 24 jam
Definisi : Pengalaman sensori Observasi
diharapkan masalah
dan emosional tidak keperawatan nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri
menyenangkan berkaitan dengan akut dapat teratasi komprehensif yang
dengan kriteria hasil
kerusakan jaringan aktual atau meliputi lokasi,
:
potensial, atau yang Tingkat nyeri: karakteristik, durasi,

32
digambarkan sebagai kerusakan 1. Nyeri yang frekuensi, kualitas,
dengan berakhirnya dapat dilaporkan intensitas atau beratnya
menjadi ringan
diantisipasi atau diprediksi, dan nyeri dan faktor pencetus.
2. Ekspresi nyeri
dengan durasi kurang dari 3 wajah tidak ada 2. Gali bersama pasien
bulan. 3. Fokus faktor-faktor yang dapat
menyempit,
Batasan Karakteristik : memperburuk atau
tidak ada
1. Perilaku ekspresif memperberat nyeri
2. Ekspresi wajah nyeri Terapeutik/tindakan mandiri
3. Fokus menyempit 3. Kurangi faktor-faktor yang
4. Keluhan tentang dapat mencetuskan atau
intensitas menggunakan meningkatkan nyeri
standar skala nyeri 4. Gunakan tindakan
5. Keluhan tentang mengontrol nyeri sebelum
karakteristik nyeri bertambah berat
menggunakan standar 5. Dukung istirahat/tidur
skala nyeri yang adekuat untuk
membantu penurunan
nyeri.
Edukasi
6. Berikan informasi
mengenai nyeri, seperti
penyebab nyeri berapa
lama nyeri akan dirasakan,
dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
prosedur
7. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
8. Ajarkan penggunaan
teknik non farmakologi
9. Ajarkan metode
farmakologi untuk
menurunkan nyeri

33
Kolaborasi
10. Kolaborasikan pemberian
analgesik atau terapi
nonfarmakologi

Ketidakefektifan Setelah dilakukan Perawatan Suhu


4.
Termoregulasi berhubungan keperawatan selama Aktivitas-Aktivitas:
3 x 24 jam
dengan gangguan sensasi suhu Observasi
diharapkan masalah
Definisi: keperawatan 1. Pantau suhu tubuh dan
Fluktuasi suhu di antara hipertermi dapat tanda-tanda vital
teratasi dengan
hipotermia dan hipertermia. lainnya, paling tidak
kriteria hasil :
Batasan karakteristik: setiap 2 jam
1. Stimulasi pusat Status neurologi 2. Monitor warna kulit
1. Suhu tubuh
termoregulasi dan suhu
normal
hipotalamus 2. Tekanan Terapeutik/tindakan mandiri
2. Proses penyakit darah normal 3. Beri obat atau cairan IV
3. Peningkatan kebutuhan 3. Pernapasan (misalnya antipiretik),
normal
oksigen sesuai kebutuhan
4. Frekuensi napas 4. Fasilitasi istirahat dan
meningkat pembatasan aktivitas
5. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
adekuat
Edukasi
6. Informasikan mengenai
pentingnya
termoregulasi dan
kemungkinan efek
negatif dari perubahan
suhu tubuh yang
berlebihan
7. Ajarkan pada keluarga
klien mengenai indikasi
adanya

34
hipertermi/hipotermi
dan penanganan
emergensi yang tepat
Kolaborasi
8. Kolaborasikan
mengenai medikasi
yang tepat (misal.
pemberian antipiretik),
sesuai kebutuhan.

Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan Terapi latihan: Ambulasi


5.
berhubungan dengan penurunan keperawatan selama Aktivitas-aktivitas:
3x24 jam
fungsi otot ekstremitas Observasi
diharapkan masalah
Definisi: keperawatan 1. Monitor penggunaan
Keterbatasan dalam gerakan hambatan mobilitas kruk pasien atau alat
fisik dapat teratasi
atau satu atau lebih ekstremitas bantu berjalan
dengan kriteria hasil
secara mandiri dan terarah : Terapeutik/tindakan mandiri
Batasan karakteristik: Ambulasi: 2. Sediakan tempat tidur
1. Mampu
1. Gangguan sikap berjalan berketinggian rendah
menopang
2. Penurunan keterampilan berat badan 3. Bantu pasien untuk
motorik kasar 2. Mampu berdiri dan ambulasi
3. Penurunan rentang gerak berjalan dengan jarak tertentu
dengan pelan
3. Mampu dan dengan sejumlah
bejalan staf tertentu
dengan 4. Dorong ambulasi
langkah
independen dalam batas
yang efektif
aman
5. Gunakan sabuk untuk
berjalan untuk
membantu perpindahan
dan ambulasi
Edukasi
6. Ajarkan pasien
mengenai pemindahan

35
dan tehnik ambulasi
yang aman
Kolaborasi
7. Konsultasikan pada ahli
terapi fisik mengenai
rencana ambulasi,
sesuai kebutuhan

Inkontinensia urin refleks Setelah dilakukan Perawatan Inkontinensia Urin


6.
berhubungan dengan kerusakan keperawatan selama Aktivitas-aktivitas:
3 x 24 jam
saraf spinal dan gangguan Observasi
diharapkan masalah
sensasi berkemih keperawatan 1. Monitor eliminasi urin,
Definisi : Pengeluaran urine inkontinensia urin meliputi frekuensi,
refleks dapat teratasi
involunter pada interval yang konsistensi, dan volume
dengan kriteria
dapat diprediksi ketika mencapai hasil : urin.
volume kandung kemih tertentu. Kontinensia Urin Terapeutik/ tindakan mandiri
1. Mampu
Batasan karakteristik : 2. Modifikasi pakaian dan
mengenali
1. Tidak ada dorongan keinginan lingkungan untuk
untuk berkemih untuk mempermudah akses ke
2. Tidak ada sensasi berkemih toilet
2. Mampu
berkemih berkemih 3. Bantu memilih diapers
3. Ketidakmampuan pada tempat atau popok kain yang
menahan berkemih yang tepat sesuai untuk
3. Mampu
secara volunter penanganan sementara
memulai dan
menghentika 4. Berikan obat-obatan
n aliran urin diuretik sesuai jadwal
Edukasi
5. Jelaskan penyebab
terjadinya inkontinensia
dan rasionalisasi setiap
tindakan yang
dilakukan
Kolaborasi
6. Kolaborasikan dengan

36
spesialis urologi, jika
diperlukan.

Konstipasi berhubungan dengan Setelah dilakukan Manajemen


7. keperawatan selama
usus neurogenik dan imobilitas konstipasi/impaksi
3 x 24 jam
Definisi : Penurunan frekuensi Aktivitas-aktivitas:
diharapkan masalah
normal defekasi yang disertai keperawatan Observasi
kesulitan atau pengeluaran feses konstipasi dapat 1. Monitor tanda dan
teratasi dengan
tidak tuntas dan/atau feses yang gejala konstipasi
kriteria hasil :
keras, kering, dan banyak. Eliminasi Usus 2. Monitor bising usus
Batasan karakteristik : 1. Pola 3. Identifikasi faktor yang
eliminasi
1. Nyeri abdomen menyebabkan atau
normal
2. Perubahan pada pola 2. Kemudahan berkontribusi pada
defekasi BAB terjadinya konstipasi
3. Penurunan volume feses 3. Feses lembut Terapeutik/tindakan mandiri
dan
4. Penurunan frekuensi berbentuk 1. Lakukan enema atau
defekasi 4. Tekanan irigasi, dengan tepat
Kondisi terkait : sfingter 2. Dukung peningkatan
● Gangguan neurologis asupan cairan
3. Buat jadwal untuk
BAB.
Edukasi
4. Jelaskan penyebab dari
masalah dan
rasionalisasi tindakan
pada pasien
5. Informasikan pada
pasien/keluarga
mengenai hubungan
diet, latihan dan asupan
cairan terhadap
kejadian konstipasi
6. Informasikan pada
pasien mengenai

37
prosedur untuk
mengeluarkan feses
secara manual.
7. Instruksikan pada
pasien/ keluarga pada
diet tinggi serat dengan
cara yang tepat
Kolaborasi:
8. Konsultasikan dengan
dokter mengenai
peningkatan/ penurunan
bising usus

Setelah dilakukan Pencegahan Syok


8. Risiko syok berhubungan keperawatan selama
Aktivitas-aktivitas :
dengan vasodilatasi perifer 3 x 24 jam
Observasi
diharapkan masalah
Definisi : Rentan mengalami keperawatan risiko 1. Monitor status sirkulasi
syok dapat teratasi (misal. Tekanan darah,
ketidakcukupan aliran darah ke
dengan kriteria hasil
jaringan tubuh, yang dapat : temperatur kulit,

mengakibatkan disfungsi seluler Keparahan Syok : kualitas nadi perifer,

yang dapat mengancam jiwa dan Neurogenik dsb)


1. Tidak terjadi
mengganggu kesehatan. 2. Monitor adanya respon
penurunan
tekanan kompensasi awal syok
Kondisi terkait : darah (misal. Tekanan darah
2. Tidak terjadi normal, hipotensi
1. Hipotensi perubahan
pola napas ringan, pucat/dingin
2. Hipovolemi
3. Tidak ada pada kulit, dan
penurunan kelemahan)
oksigen
3. Monitor adanya tanda
arteri
ketidakadekuatan
perfusi oksigen ke
jaringan (misal. Repon
terhadap stimulus,
kecemasan, akral teraba

38
dingin, dsb)
Terapeutik/tindakan mandiri
4. Posisikan pasien dalam
posisi supine dengan
kaki ditinggikan, atau
kepala dan bahu
ditinggikan, sesuai
kebutuhan.
5. Berikan cairan melalui
IV atau oral, sesuai
kebutuhan
6. Berikan
oksigen/ventilasi
mekanik, sesuai
kebutuhan
Edukasi
7. Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
tanda-gejala dan faktor-
faktor pemicu syok
8. Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
langkah-langkah yang
harus dilakukan
terhadap timbulnya
gejala syok.
Kolaborasi
9. Kolaborasikan bersama
tim kesehatan mengenai
pemberian anti-aritmia,
diuretik, dan/atau
vasopresor, sesuai
kebutuhan

39
Setelah dilakukan Pencegahan Luka Tekan
9. Risiko kerusakan integritas keperawatan selama
Aktivitas-aktivitas :
kulit berhubungan dengan 3x24 jam
Observasi
penekanan lama bagian tubuh diharapkan masalah
keperawatan risiko 1. Monitor kemampuan
dan imobilitas. kerusakan integritas bergerak dan aktivitas-
kulit dapat teratasi
Definisi : Rentan mengalami dengan kriteria hasil aktivitas pasien

kerusakan epidermis dan/atau : 2. Inspeksi kulit di area

dermis, yang dapat mengganggu Integritas Jaringan yang tertekan setiap


: Kulit &
kesehatan kali merubah posisi
Membran Mukosa
1. Integritas klien
Batasan karakteristik : kulit normal Terpeutik/tindakan mandiri
2. Tidak ada 3. Bantu hindarkan kulit
1. Tekanan pada tonjolan lesi pada
kulit dari kelembaban
tulang
Posisi Tubuh : berlebihan yang berasal
2. Agens cedera kimiawi
Berinisiatif Sendiri dari keringat, cairan
3. Faktor psikogenik 3. Mampu
luka, dsb.
berpindah
dari satu sisi 4. Berikan perlindungan
ke sisi lain pada kulit seperti krim
sambil
pelembab atau
berbaring
4. Mampu penyerap cairan
bergerak dari 5. Ubah posisi klien
posisi duduk
dengan teknik yang
ke posisi
berbaring, tepat untuk mencegah
dan trauma pada kulit,
sebaliknya misalnya teknik log
roll jika pasien
mengalami cedera pada
leher dan tulang
belakang.
6. Ubah posisi klien setiap
1-2 jam sekali.
7. Gunakan kasur khusus
anti dekubitus

40
Edukasi
8. Ajarkan anggota
keluarga mengenai
tanda-tanda kulit yang
tidak normal
Kolaborasi
9. Kolaborasi dengan
pemberi perawatan di
rumah terkait
perubahan posisi
10. Kolaborasikan dengan
ahli terapi fisik
mengenai rencana
ambulasi

Risiko cedera berhubungan Setelah dilakukan Manajemen lingkungan :


10. keperawatan selama
dengan penurunan fungsi keselamatan
3x24 jam
sensorik dan motorik Aktivitas-aktivitas
diharapkan masalah
ekstremitas keperawatan risiko Observasi :
Definisi : Rentan mengalami risiko cedera dapat 1. Identifikasi kebutuhan
teratasi dengan
cedera fisik akibat kondisi keamanan pasien
kriteria hasil :
lingkungan yang berinteraksi Kejadian jatuh berdasarkan fungsi fisik
dengan sumber adaptif dan 1. Tidak jatuh dan kognitif serta
saat berdiri
sumber defensif individu, yang riwayat perilaku di
2. Tidak jatuh
dapat mengganggu kesehatan. saat berjalan masa lalu
3. Tidak jatuh 2. Identifikasi hal-hal
Faktor risiko : saat yang mebahayakan di
dipindahkan
1. Kurang pengetahuan lingkungan
tentang faktor yang dapat 3. Monitor lingkungan
diubah terhadap terjadinya
2. Hambatan fisik perubahan status
Kondisi terkait : keselamatan
● Gangguan psikomotor Terapeutik/tindakan mandiri
● Gangguan sensasi 4. Modifikasi lingkungan

41
untuk meminimalkan
bahan berbahaya dan
berisiko
5. Sediakan alat untuk
beradaptasi
6. Gunakan peralatan
perlindungan
7. Bantu pasien saat
melakukan perpindahan
ke lingkungan yang
lebih aman
Edukasi :
8. Edukasi individu dan
kelompok yang berisiko
tinggi terhadap bahan
berbahaya yang ada di
lingkungan
Kolaborasi :
9. Kolaborasi dengan
lembaga lain untuk
meningkatkan
keselamatan lingkungan

Setelah dilakukan Konseling Seksual


11. Disfungsi seksual berhubungan keperawatan selama
Aktivitas-aktivitas
dengan disfungsi sistem saraf 3 x 24 jam
Observasi
otonom diharapkan masalah
keperawatan 1. Identifikasi riwayat
disfungsi seksual seksualitas pasien, beri
Definisi : Suatu kondisi ketika
dapat teratasi
individu mengalami suatu dengan kriteria hasil perhatian pada pola

perubahan fungsi seksual selama : normal fungsi seksual

fase respon seksual, berupa Fungsi seksual: dan istilah yang


1. Mencapai
hasrat, terangsang, dan/atau digunakan untuk
gairah
orgasme, yang dipandang tidak seksual mendeskripsikan fungsi

memuaskan, tidak bermakna, 2. Mengekspre seksual.

42
sikan minat 2. Identifikasi tingkat
atau tidak adekuat. seksual pengetahuan pasien
3. Mengalami
Batasan karakteristik : mengenai seksualitas
gairah
melalui secara umum.
1. Perubahan aktivitas orgasme Terpeutik/tindakan mandiri
seksual 1. Mengekspre
3. Bantu pasien untuk
sikan
2. Gangguan kepuasan mengungkapkan
kenyamanan
seksual dengan kesedihan/kemarahan
1. Perubahan fungsi seksual ekspresi
dalam perubahan fungsi
seksual
yang tidak diinginkan seksual
Edukasi
4. Ajarkan bahwa
penyakit, medikasi dan
stres dapat merubah
fungsi seksual
5. Ajarkan bentuk
alternatif ekspresi
seksual yang dapat
diterima pasien
Kolaborasi
6. Rujukan untuk
berkonsultasi dengan
anggota tim kesehatan
lainnya

2.16 Evidance Based

PEMBAHASAN

PERUBAHAN POSISI DENGAN TEKNIK LOG ROLL

PADA PASIEN CEDERA TULANG BELAKANG

43
Berdasarkan hasil penelitian oleh Yatmi pada tahun 2020 dalam artikel penelitiannya
yang berjudul “Pengaruh Diberikannya Teknik Log Roll per 2 Jam terhadap Risiko
Dekubitus pada Pasien dengan Cedera Tulang Belakang” menyatakan bahwa dilakukannya
teknik log roll per 2 jam dapat memperbaiki kelembaban, sirkulasi, kondisi kulit, dan
memberikan kenyamanan pada pasien. Tertekannya daerah lebih dari 2 jam akan
menyebabkan gangguan sirkulasi cairan tubuh dan oksigen ke jaringan. Tindakan log roll
yang dilakukan tidak terjadwal dan tidak secara periodik menjadikan posisi tubuh terutama
bagian yang menonjol dapat mengalami tekanan dalam waktu cukup lama, sehingga bisa
mengakibatkan luka pada kulit yang tertekan, apabila hal ini berlangsung lama maka akan
menyebabkan decubitus. Pasien dengan cedera tulang belakang dan mengalami dekubitus,
maka akan semakin banyak masalah yang timbul seperti semakin tingginya biaya perawatan,
hari perawatan akan menjadi lama, timbulnya kecemasan pada pasien dan keluarga
meningkat berhubungan dengan status kesehatan yang dialami pasien. Sehingga, kita bisa
simpulkan bahwa tindakan perubahan posisi dengan teknik log roll ini dapat memberi efek
terapeutik dan pencegahan komplikasi bagi pasien cedera tulang belakang.

Lampiran :

Link akses : http://eprints.ukh.ac.id/id/eprint/97/1/NASKAH%20PUBLIKASI-1.pdf

44
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Spinal cord injury (SCI) atau trauma medula spinalis adalah cedera yang terjadi
pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di
medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan atau kelainan neurologis dan dapat
menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Spinal cord injury pula merupakan
trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord sehingga menyebabkan
menurunnya atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensoris (Pertiwi & Berawi,
2017). Penyebab umum SCI yaitu trauma seperti, tabrakan kendaraan bermotor, jatuh,
kekerasan, cedera olahraga (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, & Harding, 2014).
Semakin tinggi cedera, semakin serius gejala karena proximality dari kabel serviks ke
medula dan batang otak (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, & Harding, 2014).

Tumor spinal cord merupakan tumor yang dapat tumbuh di luar dura (ekstradural)
atau di dalam lapisan dura (intradural). Dua jenis tumor utama yang dapat mempengaruhi
saraf tulang belakang adalah tumor intramedular, yaitu tumor yang tumbuh pada
substansi saraf tulang belakang itu sendiri; dan tumor ekstramedular yang tumbuh dalam
jaringan pendukung sel-sel sekitar saraf tulang belakang. Penyebab tumor medulla
spinalis ini belum diketahui secara pasti (idiopatik), Umumnya penderita tumor spinal
cord akan merasakan nyeri yang bersifat lokal dan nokturnal maupun menyebar ke
ekstremitas (lengan/kaki). Nyeri pada punggung yang kadang semakin nyeri apabila
berbaring.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat membantu pembaca dalam mengetahui
asuhan keperawatan mengenai penyakit spinal cord (Spinal cord injury dan tumor
medulla spinalis). Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca. Kami menyadari
dalam makalah ini masih terdapat kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun kami harapkan untuk memperbaiki makalah kami selanjutnya.

45
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Priyanto, Rohadi, & Bayu Fidaus Siradz. (2019). Tumor Spinal Intradural
Ekstramedula. Unram Medical Journal, 8(1), 25.
https://doi.org/10.29303/jku.v8i1.331

Batticaca, F. B. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta: Salemba Medika.

Hall, G. &. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

IMFI. (2018). Spinald Cord Injury. Ikatan Mahasiswa Fisioterapi Wilayah 4.

Khair, U., & Susanti, R. (2020). Astrositoma Medula Spinalis Torakalis pada Usia Remaja:
Suatu Kasus Jarang. Jurnal Kesehatan Andalas, 9(1S), 216–220.
https://doi.org/10.25077/jka.v9i1s.1178

Lewis, Bucher, Dirksen, Heitkemper. (2014). Medical-Surgical Nursing: Assessment and


Management of Clinical Problems. Canada: Elsevier

Pertiwi, D., & Berawi, K. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medula Spinalis.
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, 7(2), 1-5.

Raj, V. S., & Lofton, L. (2013). Rehabilitation and treatment of spinal cord tumors. The
journal of spinal cord medicine, 36(1), 4–11. Diakses pada 3 Oktober 2020 melalui
https://doi.org/10.1179/2045772312Y.0000000015

Williams, Linda S. Hopper, Paula D. 2015. Understanding Medical Surgical Nursing. 5th ed.
F.A. Davis Company, pp.1144-1154.

Yatmi. 2020. Pengaruh Diberikannya Teknik Log Roll per 2 Jam terhadap Risiko Dekubitus
pada Pasien dengan Cedera Tulang Belakang di RS. Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso
Surakarta. Diakses pada 4 Oktober 2020 dari
http://eprints.ukh.ac.id/id/eprint/97/1/NASKAH%20PUBLIKASI-1.pdf

46

Anda mungkin juga menyukai