KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penulisan 2
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Fisiologi 3
Spinal Cord Injury
2.2 Definisi 5
2.3 Klasifikasi 6
2.4 Etiologi 13
2.5 Patofisiologi 14
2.6 Manifestasi Klinis 15
2.7 Pathway 17
2.8 Penatalaksanaan Medis 17
Tumor Spinal Cord
2.9 Definisi 21
2.10 Klasifikasi 21
2.11 Etiologi 22
2.12 Patofisiologi 22
2.12 Manifestasi Klinis 23
2.13 Pathway 24
2.14 Penatalaksanaan Medis 25
2.15 Asuhan Keperawatan 25
2.16 Evidance Based 42
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan 44
3.2 Saran 44
DAFTAR PUSTAKA 45
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis adalah trauma pada tulang
belakang yang menyebabkan lesi medula spinalis sehingga terjadi gangguan neurologik,
tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jaringan saraf yang rusak. Cedera pada
medula spinalis dapat menimpa orang-orang dari segala usia, tetapi rasio terbesar pada
remaja-dewasa awal. SCI biasanya disebabkan oleh trauma. Penyebab paling umum
adalah tabrakan kendaraan bermotor (42%), jatuh (27%), kekerasan (15%), cedera
olahraga (7%), dan penyebab lain-lain (8%). Cedera ini ditandai dengan penurunan atau
hilangnya fungsi sensorik dan motorik di bawah tingkat cedera. Trauma medula spinalis
bersifat serius dan terkadang fatal.
Sekitar 12.000 orang Amerika menderita SCI setiap tahun. Sekitar 260.000 orang di
Amerika Serikat hidup dengan SCI. Potensi gangguan tumbuh-kembang individu,
dinamika keluarga yang berubah, kerugian ekonomi dalam hal pekerjaan, dan tingginya
biaya rehabilitasi dan perawatan kesehatan jangka panjang menjadikan SCI sebagai
masalah utama. Meskipun banyak orang dengan SCI dapat merawat dirinya sendiri
secara mandiri, mereka dengan tingkat cedera tertinggi mungkin memerlukan perawatan
sepanjang waktu di rumah atau di fasilitas perawatan jangka panjang.
1
Tumor saraf tulang belakang adalah tumor yang tumbuh di dalam kanal tulang
belakang atau di dalam tulang belakang yang mungkin bersifat kanker atau non kanker.
Penyebab berkembangnya tumor tulang belakang belum diketahui secara pasti, para ahli
mengatakan bahwa adanya kerusakan gen, tetapi biasanya sangat sulit dideteksi (Black &
Hawks, 2014).
Tumor pada spinal adalah kasus yang langka, hanya sekitar 15% dari seluruh kasus
tumor sistem saraf pusat dan 90% kasusnya terjadi pada usia>20 tahun, usia yang
produktif bagi seseorang. Tumor spinal dapat tumbuh di luar dura (ekstradural) atau di
dalam lapisan dura (intradural). Tumor Intradural-intramedular hanya 5%.
1. Apa yang dimaksud dengan spinal cord injury dan tumor spinal cord ?
2. Apa etiologi spinal cord injury dan tumor spinal cord?
3. Bagaimana manifestasi klinis pada spinal cord injury dan tumor spinal cord?
4. Bagaimana patofisiologi spinal cord injury dan tumor spinal cord ?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada spinal cord injury dan tumor spinal cord?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan dari spinal cord injury dan
tumor spinal cord?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan spinal cord injury dan tumor
spinal cord?
1. Untuk mengetahui definisi dari spinal cord injury dan tumor spinal cord.
2. Untuk mengetahui etiologi spinal cord injury dan tumor spinal cord.
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari spinal cord injury dan tumor spinal cord.
4. Untuk mengetahui patofisiologi spinal cord injury dan tumor spinal cord.
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari spinal cord injury dan tumor spinal cord.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari spinal cord injury dan tumor spinal
cord
2
7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan spinal cord injury dan
tumor spinal cord, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, dan intervensi
keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Columna Vertebralis
3
Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris
memanjang dan berada di dalam columna vertebralis. Medulla spinalis memanjang
dari foramen magnum tulang oksipital ke diskus intervertebralis antara vertebra
lumbal pertama (L1) dan kedua (L2), dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu
duramater, arachnoid dan piamater. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra,
ligamen, meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal) yang
mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid.
Bagian superior medulla spinalis dimulai dari bagian foramen magnum pada
ujung bawah medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region lumbal
kemudian menipis menjadi konus medularis, yaitu filum terminale yang melekat di
bagian belakang os coccygis. Selanjutnya dibawah lumbar kedua adalah akar saraf,
yang memanjang melebihi konus yang disebut kauda equina yang lebih tahan
terhadap cedera.
Pada penampang melintang, spinal cord berbentuk oval dan secara internal
memiliki substansi abu abu (substansia grisea/gray matter) berbentuk H yang
dikelilingi substansia putih (substansia alba). Di area gray matter terdapat banyak
serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-
kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini berwarna menjadi lebih gelap.
Medula Spinalis memiliki 31 pasang saraf spinal, diberi nama sesuai dengan vertebra
masing-masing: 8 pasang servikal, 12 pasang toraks, 5 pasang lumbal, dan 5 pasang
sacral. Setiap segmen mengandung sepasang serabut saraf sensorik dorsal (afferent)
dan serabut saraf motorik ventral (efferent).
4
Perjalanan serabut saraf dalam medula spinalis terbagi menjadi dua jalur, jalur
desenden dan asenden. Jalur desenden sebagian besar berfungsi untuk mengatur
gerakan motorik (efferent), baik yang disadari maupun mengatur derajat refleks. Jalur
asenden lebih merupakan pembawa informasi pada otak (afferent) seperti rasa nyeri,
suhu, getaran, raba, dan posisi tubuh.
2.2 Definisi
Spinal cord injury (SCI) atau trauma medula spinalis adalah cedera yang terjadi
pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di
medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan atau kelainan neurologis dan dapat
menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Spinal cord injury pula merupakan
trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord sehingga menyebabkan
menurunnya atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensoris (Pertiwi & Berawi,
2017).
Gejala dari SCI ini pun bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya
inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula
spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek
5
pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan fungsi total.
Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat 40- 80 kasus baru per 1 juta
populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar 250.000-500.000 orang
mengalami cedera medula spinalis (Pertiwi & Berawi, 2017).
2.3 Klasifikasi
Derajat cedera pada medula spinalis bisa lengkap atau tidak lengkap (parsial).
Cedera saraf yang lengkap menyebabkan hilangnya fungsi sensorik dan motorik
secara total di bawah tingkat cedera. Sedangkan cedera yang tidak lengkap
menyebabkan hilangnya sensasi dan aktivitas motorik volunter serta meninggalkan
beberapa saluran tetap utuh. American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama
dengan International Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan
dan mempublikasikan standar internasional untuk klasifikasi fungsional dan
neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada
tahun 1969. Klasifikasi ASIA dipakai di banyak negara karena sistem ini dipandang
akurat dan komprehensif.
6
A Komplit Tidak ada fungsi sensorik dan motorik sampai
S4-5
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA, terbagi atas 2 yaitu :
a. Paraplegia, yaitu suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segmen thoracal-lumbal-sacral.
b. Tetraplegia, yaitu suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segmen servikal.
7
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien
dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak
membingungkan pemeriksa. Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis
inkomplit menurut American Spinal Cord Injury Association, yaitu :
Disebabkan oleh kerusakan pada spinal cord pusat. Paling sering terjadi ketika
trauma pada daerah servikal dan lebih sering terjadi pada lansia. Ditandai
dengan hilangnya kekuatan sensorik dan kelemahan motorik terjadi lebih berat
pada ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah.
8
3. Brown-Séquard Syndrome
Disebabkan oleh kerusakan satu setengah spinal cord, biasanya hasil dari
cedera tembus ke saraf spinal. Ditandai dengan hilangnya fungsi dan posisi
motorik serta sensasi getaran pada Ipsilateral (sisi yang sama dengan cedera),
serta kehilangan sensasi nyeri dan suhu di bawah tingkat cedera pada
kontralateral (sisi berlawanan dari cedera).
Disebabkan oleh kompresi atau kerusakan arteri spinalis posterior. Kondisi ini
sangat langka terjadi. Mengakibatkan hilangnya proprioception (persepsi
rangsangan yang berhubungan dengan posisi, postur tubuh, keseimbangan,
atau kondisi tubuh). Nyeri, sensasi suhu, dan fungsi motorik di bawah tingkat
cedera juga terganggu.
9
5. Conus Medullaris Syndrome and Cauda Equina Syndrome
Disebabkan oleh kerusakan konus medularis (bagian paling bawah dari spinal
cord) dan cauda equina (akar saraf lumbal dan sakral). Terjadi kelumpuhan
flaksid pada ekstremitas bawah, gangguan kontrol berkemih dan defekasi.
10
keempat ekstremitas dan tetraplegia, dan cedera di bawah T1 menyebabkan
paraplegia (kelumpuhan dan hilangnya sensasi di kaki).
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The
Christopher & Dana Reeve Foundation mengkategorikan trauma medula spinalis,
menjadi :
Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan bicara
normal seperti sebelumnya.
a. Trauma C5
b. Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk abduksi dan rotasi bahu dan punggung atas,
fleksi bisep ke siku, dan ekstensi pergelangan tangan. Mampu
berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas
melemah.
c. Trauma C7-C8
11
menurun. Kemampuan pernapasan menurun dan mungkin terjadi
sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi pasien
dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dan bantuan
alat.
Saraf pada level ini mempengaruhi ekstremitas atas, otot dada atas, otot
abdominal, dan otot punggung atas. Trauma medula spinalis level ini Saraf
pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung tergantung dari level
trauma medula spinalis. Pasien masih mampu mengendalikan kemampuan dan
keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu batuk produktif selama otot
abdominal masih intak. Biasanya tidak terdapat gangguan berkemih ataupun
defekasi.
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki.
Terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi pasien
dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan bantuan alat.
Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat bantu untuk
berjalan.
Ada beberapa Mekanisme yang dapat menyebabkan cedera yaitu fleksi, hiperekstensi,
rotasi fleksi, rotasi ekstensi dan kompresi.
12
2.4 Etiologi
Penyebab spinal cord injury adalah akibat trauma langsung yang mengenai tulang
belakang dan melampaui batas kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf
yang berada di dalamnya. Trauma yang paling umum yaitu disebabkan oleh tabrakan
kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, cedera olahraga (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher,
& Harding, 2014). Penetrasi seperti luka tusuk atau tembak, kecelakaan di rumah (jatuh dari
ketinggian, dll), dan bencana alam seperti gempa juga dapat menyebabkan spinal cord injury.
Selain itu juga, gangguan lain yang menyebabkan spinal cord injury seperti,
spondilosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan
cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar mielitis akibat proses inflamasi infeksi
maupun non-infeksi, osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra,
tumor infiltrasi maupun kompresi dan penyakit vaskular (Batticaca, 2008).
● Cedera primer
Sumsum tulang belakang terbungkus lapisan keras dura dan jarang robek atau
terpotong oleh trauma langsung. cedera ini bisa disebabkan oleh kompresi saraf spinal
akibat perpindahan tulang, gangguan suplai darah ke saraf spinal, atau traksi akibat
penarikan di kabelnya dan trauma tembus, seperti tembakan dan tusukan luka, dapat
mengakibatkan robekan dan transeksi (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, &
Harding, 2014).
● Cedera sekunder
Cedera sekunder terjadi setelah cedera primer, cedera ini bisa disebabkan oleh
pembentukan radikal bebas, masuknya kalsium yang tidak terkontrol, iskemia,dan
peroksidasi lipid (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, & Harding, 2014).
2.5 Patofisiologi
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur (patah tulang)
sederhana, kompresi, dan dislokasi. Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau
berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya
bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis. Sedangkan kerusakan pada
cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan
atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok
saraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernafasan,
sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan anestesia akut.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmen-
fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer.
Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik serta ruptur axon dan sel
membran neuron. Bila hemoragi terjadi pada daerah medula spinalis, darah dapat
merembes ke extradural subdural atau daerah subarachnoid pada kanal spinal, segera
sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai
14
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medula spinalis menjadi terganggu, tidak
hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera
medulla spinalis akut.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi,
tetapi dapat menimbulkan lesi pada medula spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung.
Tergolong dalam trauma tak langsung ini adalah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau
dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.
Manifestasi dari spinal cord injury umumnya merupakan akibat langsung dari trauma
yang menyebabkan kompresi tali pusat, iskemia, edema dan kemungkinan transeksi
kabel. Manifestasi SCI terkait dengan tingkat dan derajat cedera. pasien dengan penyakit
yang tidak lengkap cedera mungkin menunjukkan campuran manifestasi. Semakin tinggi
cedera, semakin serius gejala karena proximality dari kabel serviks ke medula dan batang
otak (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, & Harding, 2014).
Meskipun gambaran klinis tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan, namun
secara umum jika mengalami spinal cord injury, maka akan merasakan gejala seperti:
Adapun tanda dan gejala lain menurut (Doenges, 2000) yaitu bervariasi, bergantung
pada tingkat cedera, derajat syok spinal dan fase serta derajat pemulihan. Berikut
merupakan tanda dan gejalanya:
15
C1 – C5 Quadriplegia, kemampuan bernapas (-)
16
2.7 Pathway
17
pemberian methylprednisolone dosis tinggi, seperti perdarahan gastrointestinal
dan kecenderungan peningkatan adverse event lainnya. The Congress of
Neurological Surgeons (CNS) menyatakan pemberian terapi steroid hanya boleh
dilakukan jika efek samping lebih kecil dibanding manfaat klinis. Pada pasien
acute spinal cord injury (cedera spinal akut) dengan defisit neurologi, pemberian
methylprednisolone dosis tinggi 8 jam pasca cedera terbukti meningkatkan
pemulihan neurologi dan mengurangi efek sekunder dari cedera spinal akut.
Dosis yang dianjurkan adalah methylprednisolone 30 mg/kgBB diberikan secara
bolus intravena selama 15 menit, diikuti jeda 45 menit dan dilanjutkan
maintenance 5,4 mg/kgBB/jam selama 24 jam kemudian. methylprednisolone
dipercaya dapat mengurangi edema, mencegah deplesi kalium intraseluler dan
menghambat peroksidasi lipid. Pemberian obat analgetik menjadi modalitas
penting dalam manajemen nyeri. Analgetik yang disetujui Food and Drug
Administration (FDA) dalam manajemen nyeri neuropatik terkait cedera spinal
adalah pregabalin.
2. Pembedahan
Keputusan untuk melakukan pembedahan pada pasien SCI sering kali
bergantung pada preferensi dokter tertentu. Ketika kompresi saraf spinal jelas
atau gangguan neurologis berkembang, pembedahan segera mungkin bermanfaat.
Pembedahan mendekompresi dan menstabilkan tulang belakang. Perdarahan
progresif berkontribusi terhadap kerusakan mekanik pada sirkulasi
mikrovaskuler. Tindakan dekompresi bedah bertujuan untuk mengurangi tekanan
tersebut sehingga mengurangi hipoksia dan edema sekunder. Indikasi bedah
dekompresi ini antara lain jika terdapat gangguan neurologis progresif, fraktur
yang tidak bisa dilakukan atau tidak berespon terhadap reduksi terhadap reduksi
tertutup, fraktur vertebra tidak stabil. Tindakan ini dapat dilakukan pada 24 jam
pertama.
18
logam, pelat, atau perangkat lain ke tulang tulang belakang untuk membantu
menjaganya tetap sejajar. Ini biasanya dilakukan ketika dua atau lebih tulang
belakang terluka. Potongan kecil tulang juga dapat ditempelkan ke tulang yang
terluka untuk membantunya menyatu menjadi satu bagian yang kokoh.
3. Rehabilitasi
4. Terapi Traksi
Terapi traksi telah digunakan dalam pengobatan nyeri tulang belakang selama
beberapa dekade. Inkarnasi terbaru dari terapi traksi adalah terapi dekompresi
spinal non-bedah. Penggunaannya telah berkembang dari traksi statis sederhana
menjadi traksi motorik intermiten. Terapi dekompresi spinal melibatkan
peregangan tulang belakang menggunakan traksi atau perangkat bermotor untuk
mengurangi tekanan pada diskus dan memungkinkan reposisi. Pengobatan ini
membantu menginduksi tekanan negatif pada sendi tulang belakang, sehingga
menciptakan ruang dan menghilangkan tekanan dari saraf. Dekompresi ini juga
memungkinkan nutrisi masuk ke diskus untuk mempercepat penyembuhan.
19
Traksi dapat dilakukan pada kulit (traksi kulit) atau langsung ke rangka tubuh
(traksi rangka). Untuk cedera servikal, traksi rangka digunakan lebih jarang
karena pengembangan stabilisasi bedah yang lebih baik. Saat traksi rangka
digunakan, tujuannya adalah menyetel kembali atau mengurangi cedera. Penjepit
Crutchfield, Vinke, atau Gardner-Wells, atau jenis perangkat lain dapat
memberikan jenis traksi ini, menggunakan tali yang memanjang dari bagian
tengah penjepit di atas katrol dan memiliki beban yang dipasang di ujungnya.
Traksi harus dijaga setiap saat. Tergantung pada jenis cedera dan tujuan
pengobatan, penjepit dan traksi dapat dilepas 1 hingga 4 minggu setelah cedera.
Satu kelemahan dari penjepit tengkorak adalah bahwa peniti tengkorak dapat
bergeser. Jika ini terjadi, pegang kepala dalam posisi netral dan dapatkan bantuan.
Stabilkan kepala sementara dokter memasukkan kembali penjepitnya.
Setelah fusi servikal atau operasi stabilisasi lainnya, penyangga servikal yang
keras atau brace immobilizer sternal-oksipital-mandibular dapat dipakai. Dalam
cedera stabil yang tidak dilakukan pembedahan, alat fiksasi halo dapat diterapkan.
Halo adalah metode yang paling sering digunakan untuk menstabilkan cedera
servikal. Peralatan halo dapat digunakan untuk menerapkan traksi servikal dengan
cara pengaturan seperti jaket. Beban gantung, seperti yang digunakan dengan
penjepit, dapat digabungkan dengan halo. Selain itu, peralatan dapat dipasang
pada body vest, menstabilkan area cedera dan memungkinkan ambulasi jika
pasien utuh secara neurologis. Alternatif lain adalah dengan menggunakan halo
setelah traksi pasien dicabut. Pasien yang pernah dipasangkan traksi servikal
sebelum operasi dapat ditempatkan dalam penyangga halo pasca operasi. Ini
memungkinkan pasien untuk lebih bergerak dan memulai rehabilitasi aktif.
20
Tumor Spinal Cord
2.9 Definisi
Tumor spinal cord merupakan tumor yang dapat tumbuh di luar dura
(ekstradural) atau di dalam lapisan dura (intradural). Dua jenis tumor utama yang
dapat mempengaruhi saraf tulang belakang adalah tumor intramedular, yaitu tumor
yang tumbuh pada substansi saraf tulang belakang itu sendiri; dan tumor
ekstramedular yang tumbuh dalam jaringan pendukung sel-sel sekitar saraf tulang
belakang. Umumnya penderita tumor spinal cord akan merasakan nyeri yang bersifat
lokal dan nokturnal maupun menyebar ke ekstremitas (lengan/kaki). Nyeri pada
punggung yang kadang semakin nyeri apabila berbaring.
2.10 Klasifikasi
Tumor spinal cord diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder (metastasis),
tumor primer jarang diketahui penyebabnya dan tumor jenis ini dapat terjadi pada
semua tingkat kolumna spinal dengan mayoritas kasus terjadi di toraks. Sebagian
besar tumor spinal cord bersifat metastasis, tumor metastasis terjadi pada sekitaran
20% semua pasien yang mengalami kanker dan paling umum akibat malignansi
payudara, prostat, usus, ginjal, atau uterus.
Tumor spinal cord juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis
sebagai tumor intradural dan ekstradural, tumor intradural terdiri tumor intramedular
dan ekstramedular. Tumor intradular berasal dari dalam jaringan neural spinal cord
yang paling sering terjadi adalah ependimoma dan glioma. Sedangkan tumor
ekstradular adalah jenis yang paling umum terjadi di luar korda spinal, tumor yang
biasa terjadi antara lain neurofibroma meningioma, sarkoma, kordama, dan tumor
21
vaskular. Tumor ekstradular lebih lanjut dikategorikan sebagai intradural berasal dari
akar saraf atau meningen dalam ruang subaraknoid) atau ekstradura (berasal dari
jaringan epidural atau vertebra di luar dura). Tumor ekstradural adalah lokasi yang
paling umum untuk kanker metastasis baik tumor intradural primer maupun
metastasis yang dapat melibatkan cairan serebrospinal, disebut penyakit
leptomeningeal (Leptomeningeal disease, LMD).
2.11 Etiologi
Penyebab berkembangnya tumor tulang belakang belum diketahui secara pasti, para
ahli mengatakan bahwa adanya kerusakan gen, tetapi biasanya sangat sulit di deteksi.
Faktor risiko tumor dapat terjadi pada setiap kelompok ras dan insiden meningkat seiring
dengan pertambahan usia serta akan meningkat pada orang yang terpapar zat kimia
tertentu, namun hal tersebut belum juga bisa dipastikan.
Riwayat genetik terlihat sangat berperan dalam peningkatan insiden pada keluarga
tertentu atau syndromic group (neurofibromatosis). Astrositoma dan neuropendymoma
merupakan jenis yang tersering pada pasien neurofibromatosis tipe 2 yang merupakan
kelainan pada kromosom 22 hemangioblastoma. Hal ini dapat terjadi pada 30% pasien
dengan von Hippel-lindou syndrome sebelumnya yang merupakan abnormalitas dari
kromosom 3.
2.12 Patofisiologi
Tumor medula spinalis disebabkan oleh kerusakan dan infiltrasi, pergeseran dan
dekompresi medula spinalis dan terhentinya suplai darah atau cairan serebrospinal.
Derajat gejala tergantung dari tingkat kompresi dan kecepatan perkembangan. Tumor
ekstradural biasanya bermetastasis dan paling sering muncul di korpus vertebra. Lesi
22
metastasis ini dapat menyerang secara intradural dan menekan sumsum tulang belakang.
Tumor yang umumnya bermetastasis ke rongga epidural spinal yaitu yang menyebar
melalui aliran darah, seperti kanker prostat, payudara, paru-paru, dan ginjal. Karena
banyak tumor sumsum tulang belakang tumbuh lambat, gejalanya disebabkan oleh efek
mekanis dari kompresi lambat dan iritasi akar saraf, perpindahan saraf spinal, atau
penyumbatan pasokan vaskular secara bertahap.
Pada pasien dengan spinal cord tumor terjadi masalah sensorik dan motorik, dengan
lokasi dan luasnya tumor menentukan tingkat keparahan dan luasnya masalah. Gejala
awal yang paling umum dari tumor sumsum tulang belakang adalah nyeri punggung.
Lokasi nyeri tergantung pada tingkat kompresi. Nyeri bertambah parah dengan aktivitas,
batuk, mengejan, dan berbaring. Gangguan sensorik kemudian dimanifestasikan oleh
rasa dingin, mati rasa, dan kesemutan pada satu ekstremitas atau beberapa ekstremitas.
23
2.13 Pathway
24
2.14 Penatalaksanaan Medis
Tumor ekstradural biasanya dapat dideteksi lebih awal melalui rontgen tulang
belakang rutin, sedangkan untuk mendeteksi adanya tumor intradural dan intrameduler
memerlukan MRI atau CT dan analisis CSF dapat mengungkapkan sel tumor.
Kompresi sumsum tulang belakang adalah keadaan darurat. Relief iskemia yang
berhubungan dengan kompresi adalah tujuan terapi. Untuk meredakan edema terkait
tumor, umumnya akan diresepkan kortikosteroid seperti Dexamethasone (Decadron)
seringkali dalam dosis besar yang biasanya juga digunakan untuk mengobati edema.
25
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis, osteoartritis,
spondilitis, spondilolistesis, spinal stenosis yang memungkinkan terjadinya
kelainan pada tulang belakang.
● Riwayat psiko-sosio
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecacatan,rasa cemas,rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya
yang salah.
2. Pemeriksaan fisik
● Aktivitas dan istirahat. Tanda: kelumpuhan otot (terjadi kelemahan
selama syok spinal) pada bawah lesi; kelemahan umum atau kelemahan
otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
● Sirkulasi. Gejala: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan
posisi. Tanda: hipotensi, hipotensi postural, bradikardia, ekstremitas
dingin dan pucat.
● Eliminasi. Tanda: inkontinensia, defekasi dan berkemih, retensi urin,
peristaltik usus hilang, melena, emesis berwarna seperti kopi,
hematemesis.
● Integritas ego. Gejala: menyangkal, tidak percaya, sedih, marah. Tanda:
takut, cemas, gelisah, menarik diri.
● Hygiene. Tanda: sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.
● Neurosensori, Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau
kaki; paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal
teratasi, bergantung pada area spinal yang sakit. Tanda: kelumpuhan,
kesemutan, (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok
spinal), kehilangan tonus otot, perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya
keringat dari berbagai tubuh yang terkena karena pengaruh trauma
spinal.
● Nyeri/kenyamanan. Gejala: nyeri atau nyeri tekan otot. Tanda:
mengalami deformitas, postur dan nyeri tekan vertebral.
26
● Pernapasan. Gejala: napas pendek, kekurangan oksigen, sulit bernapas.
Tanda: pernapasan dangkal, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronchi, pucat, sianosis (Batticaca, 2008).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi
pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid)
untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan
lumbal. Pada kasus- kasus yang tidak menunjukkan kelainan. Radiologis,
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic
Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk
mendeteksi lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma.
● Radiologi
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang
diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur
dan mungkin disertai dengan dislokasi.Pada trauma daerah servikal foto
dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya
kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Evaluasi radiologis yang lengkap sangat penting untuk
menentukan adanya cedera spinal. Pemeriksaan radiologis tulang
servikal diindikasikan pada semua pasien trauma dengan nyeri leher di
garis tengah, nyeri saat palpasi, defisit neurologis yang berhubungan
dengan tulang servikal, atau penurunan kesadaran atau dengan
kecurigaan intoksikasi. Pemeriksaan radiologis proyeksi lateral, antero-
posterior (AP) dan gambaran odontoid open mouth harus dilakukan.Pada
proyeksi lateral, dasar tengkorak dan ketujuh tulang cervical harus
tampak. Bahu pasien harus ditarik saat melakukan foto servikal lateral,
untuk menghindari luputnya gambaran fraktur atau fraktur dislokasi di
tulang servikal bagian bawah. Bila ketujuh tulang servikal tidak bisa
divisualisasikan pada foto lateral, harus dilakukan swimmer view pada
servikal bawah dan torakal atas.Proyeksi open mouth odontoid harus
meliputi seluruh processus odontoid dan artikulasi C1-C2 kanan dan kiri.
Proyeksi AP tulang servikal membantu identifikasi adanya dislokasi
27
facet unilateral pada kasus dimana sedikit atau tidak tampak gambaran
dislokasi pada foto lateral.
CT-scan aksial dengan irisan 3 mm juga dapat dilakukan pada
daerah yang dicurigai dari gambaran foto polos atau pada servikal bawah
bila tidak jelas tampak pada foto polos. Gambaran CT aksial melalui C1-
C2 juga lebih sensitif daripada foto polos untuk mencari adanya fraktur
pada vertebra. Bila kualitas filmnya baik dan diinterpretasikan dengan
benar, cedera spinal yang tidak stabil dapat dideteksi dengan sensitivitas
lebih dari 97%.
Jika pada skrining radiologis seperti dijelaskan normal,foto X-ray
fleksi ekstensi perlu dilakukan pada pasien tanpa penurunan
kesadaran,atau pada pasien dengan keluhan nyeri leher untuk mencari
adanya instabilitas okult atau menentukan stabilitas fraktur, seperti pada
fraktur kompresi atau lamina. Mungkin sekali pasien hanya mengalami
cedera ligamen sehingga mengalami instabilitas tanpa adanya fraktur
walaupun beberapa penelitian menyebutkan bahwa bila 3 proyeksi
radiologis ditambah CT scan menunjukkan gambaran normal (tidak ada
pembengkakan jaringan lunak atau angulasi abnormal) maka instabilitas
jarang terjadi.
Untuk tulang torakolumbal, indikasi melakukan skrining radiologis
sama dengan pada kejadian di tulang servikal. Foto polos AP dan lateral
dengan CT scan aksial irisan 3 mm pada daerah yang divutigai dapat
mendeteksi lebih dari 99% cedera yang tidak stabil. Pada proyeksi AP
kesegarisan vertikal pedikel dan jarak antar pedikel pada masing-masing
tulang harus diperhatikan. Fraktur yang tidak stabil sering menyebabkan
pelebaran jarak antar pedikel.
Foto lateral dapat mendeteksi adanya subluksasi, fraktur kompresi,
dan fraktur Chance. CT scan sendiri berguna untuk mendeteksi adanya
faktur pada elemen posterior (pedikel, lamina, dan prosessus spinosus)
dan menentukan derajat gangguan kanalis spinalis yang disebabkan burst
fraktur. Rekonstruksi sagital dari CT Scan aksial mungkin diperlukan
untuk menentukan fraktur Chance.
● Pungsi Lumbal
28
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit
peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada
tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula
spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan
dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat
dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus
dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis
tersebut.
● Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari
trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus
intervertebralis. (Hall, 2012).
● Pemeriksaan MRI
MRI secara akurat menampilkan gambar saraf tulang belakang
dan saraf-saraf juga menghasilkan gambar tumor tulang yang lebih jelas
daripada pencitraan CT. Zat kontras yang dapat meningkatkan tampilan
gambar untuk jaringan dan struktur tertentu disuntikkan melalui
pembuluh darah di tangan atau lengan selama pemeriksaan.
● Biopsi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelumpuhan otot pernapasan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan kelumpuhan otot
interkostal
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (trauma)
4. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan gangguan sensasi suhu
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan fungsi otot
ekstremitas
29
6. Inkontinensia urin refleks berhubungan dengan kerusakan saraf spinal dan
gangguan sensasi berkemih
7. Konstipasi berhubungan dengan usus neurogenik dan imobilitas
8. Risiko syok berhubungan dengan vasodilatasi perifer
9. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penekanan lama bagian
tubuh dan imobilitas
10. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi sensorik dan motorik
ekstremitas
11. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi sistem saraf otonom
C. Intervensi Keperawatan
30
menjadi ringan pasien
Faktor yang berhubungan :
Terapeutik/tindakan mandiri
31
untuk mempertahankan bersihan : tambahan
jalan napas Status pernafasan : 3. Monitor kemampuan
kepatenan jalan
Batasan Karakteristik : batuk efektif pasien
napas
1. Perubahan pola napas 1. Frekuensi 4. Monitor status
2. Perubahan frekuensi pernapasan pernapasan dan
napas dengan oksigenasi
3. Dispnea deviasi Terapeutik/tindakan mandiri
4. Suara napas tambahan ringan dari 5. Posisikan pasien untuk
5. Batuk yang tak efektif kisaran memaksimalkan
Kondisi terkait : normal ventilasi
● Disfungsi neuromuskular 2. Tidak ada 6. Posisikan untuk
suara napas meringankan sesak
tambahan napas
3. Tidak ada 7. Buang sekret dengan
batuk memotivasi pasien
4. Tidak terjadi untuk melakukan batuk
dispnea saat 8. Lakukan fisioterapi
istirahat dan dada, sebagaimana
aktivitas mestinya
Edukasi :
9. Ajarkan pasien
mengenai teknik batuk
efektif
Kolaborasi :
10. Kolaborasi pemberian
bantuan terapi napas
32
digambarkan sebagai kerusakan 1. Nyeri yang frekuensi, kualitas,
dengan berakhirnya dapat dilaporkan intensitas atau beratnya
menjadi ringan
diantisipasi atau diprediksi, dan nyeri dan faktor pencetus.
2. Ekspresi nyeri
dengan durasi kurang dari 3 wajah tidak ada 2. Gali bersama pasien
bulan. 3. Fokus faktor-faktor yang dapat
menyempit,
Batasan Karakteristik : memperburuk atau
tidak ada
1. Perilaku ekspresif memperberat nyeri
2. Ekspresi wajah nyeri Terapeutik/tindakan mandiri
3. Fokus menyempit 3. Kurangi faktor-faktor yang
4. Keluhan tentang dapat mencetuskan atau
intensitas menggunakan meningkatkan nyeri
standar skala nyeri 4. Gunakan tindakan
5. Keluhan tentang mengontrol nyeri sebelum
karakteristik nyeri bertambah berat
menggunakan standar 5. Dukung istirahat/tidur
skala nyeri yang adekuat untuk
membantu penurunan
nyeri.
Edukasi
6. Berikan informasi
mengenai nyeri, seperti
penyebab nyeri berapa
lama nyeri akan dirasakan,
dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
prosedur
7. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
8. Ajarkan penggunaan
teknik non farmakologi
9. Ajarkan metode
farmakologi untuk
menurunkan nyeri
33
Kolaborasi
10. Kolaborasikan pemberian
analgesik atau terapi
nonfarmakologi
34
hipertermi/hipotermi
dan penanganan
emergensi yang tepat
Kolaborasi
8. Kolaborasikan
mengenai medikasi
yang tepat (misal.
pemberian antipiretik),
sesuai kebutuhan.
35
dan tehnik ambulasi
yang aman
Kolaborasi
7. Konsultasikan pada ahli
terapi fisik mengenai
rencana ambulasi,
sesuai kebutuhan
36
spesialis urologi, jika
diperlukan.
37
prosedur untuk
mengeluarkan feses
secara manual.
7. Instruksikan pada
pasien/ keluarga pada
diet tinggi serat dengan
cara yang tepat
Kolaborasi:
8. Konsultasikan dengan
dokter mengenai
peningkatan/ penurunan
bising usus
38
dingin, dsb)
Terapeutik/tindakan mandiri
4. Posisikan pasien dalam
posisi supine dengan
kaki ditinggikan, atau
kepala dan bahu
ditinggikan, sesuai
kebutuhan.
5. Berikan cairan melalui
IV atau oral, sesuai
kebutuhan
6. Berikan
oksigen/ventilasi
mekanik, sesuai
kebutuhan
Edukasi
7. Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
tanda-gejala dan faktor-
faktor pemicu syok
8. Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
langkah-langkah yang
harus dilakukan
terhadap timbulnya
gejala syok.
Kolaborasi
9. Kolaborasikan bersama
tim kesehatan mengenai
pemberian anti-aritmia,
diuretik, dan/atau
vasopresor, sesuai
kebutuhan
39
Setelah dilakukan Pencegahan Luka Tekan
9. Risiko kerusakan integritas keperawatan selama
Aktivitas-aktivitas :
kulit berhubungan dengan 3x24 jam
Observasi
penekanan lama bagian tubuh diharapkan masalah
keperawatan risiko 1. Monitor kemampuan
dan imobilitas. kerusakan integritas bergerak dan aktivitas-
kulit dapat teratasi
Definisi : Rentan mengalami dengan kriteria hasil aktivitas pasien
40
Edukasi
8. Ajarkan anggota
keluarga mengenai
tanda-tanda kulit yang
tidak normal
Kolaborasi
9. Kolaborasi dengan
pemberi perawatan di
rumah terkait
perubahan posisi
10. Kolaborasikan dengan
ahli terapi fisik
mengenai rencana
ambulasi
41
untuk meminimalkan
bahan berbahaya dan
berisiko
5. Sediakan alat untuk
beradaptasi
6. Gunakan peralatan
perlindungan
7. Bantu pasien saat
melakukan perpindahan
ke lingkungan yang
lebih aman
Edukasi :
8. Edukasi individu dan
kelompok yang berisiko
tinggi terhadap bahan
berbahaya yang ada di
lingkungan
Kolaborasi :
9. Kolaborasi dengan
lembaga lain untuk
meningkatkan
keselamatan lingkungan
42
sikan minat 2. Identifikasi tingkat
atau tidak adekuat. seksual pengetahuan pasien
3. Mengalami
Batasan karakteristik : mengenai seksualitas
gairah
melalui secara umum.
1. Perubahan aktivitas orgasme Terpeutik/tindakan mandiri
seksual 1. Mengekspre
3. Bantu pasien untuk
sikan
2. Gangguan kepuasan mengungkapkan
kenyamanan
seksual dengan kesedihan/kemarahan
1. Perubahan fungsi seksual ekspresi
dalam perubahan fungsi
seksual
yang tidak diinginkan seksual
Edukasi
4. Ajarkan bahwa
penyakit, medikasi dan
stres dapat merubah
fungsi seksual
5. Ajarkan bentuk
alternatif ekspresi
seksual yang dapat
diterima pasien
Kolaborasi
6. Rujukan untuk
berkonsultasi dengan
anggota tim kesehatan
lainnya
PEMBAHASAN
43
Berdasarkan hasil penelitian oleh Yatmi pada tahun 2020 dalam artikel penelitiannya
yang berjudul “Pengaruh Diberikannya Teknik Log Roll per 2 Jam terhadap Risiko
Dekubitus pada Pasien dengan Cedera Tulang Belakang” menyatakan bahwa dilakukannya
teknik log roll per 2 jam dapat memperbaiki kelembaban, sirkulasi, kondisi kulit, dan
memberikan kenyamanan pada pasien. Tertekannya daerah lebih dari 2 jam akan
menyebabkan gangguan sirkulasi cairan tubuh dan oksigen ke jaringan. Tindakan log roll
yang dilakukan tidak terjadwal dan tidak secara periodik menjadikan posisi tubuh terutama
bagian yang menonjol dapat mengalami tekanan dalam waktu cukup lama, sehingga bisa
mengakibatkan luka pada kulit yang tertekan, apabila hal ini berlangsung lama maka akan
menyebabkan decubitus. Pasien dengan cedera tulang belakang dan mengalami dekubitus,
maka akan semakin banyak masalah yang timbul seperti semakin tingginya biaya perawatan,
hari perawatan akan menjadi lama, timbulnya kecemasan pada pasien dan keluarga
meningkat berhubungan dengan status kesehatan yang dialami pasien. Sehingga, kita bisa
simpulkan bahwa tindakan perubahan posisi dengan teknik log roll ini dapat memberi efek
terapeutik dan pencegahan komplikasi bagi pasien cedera tulang belakang.
Lampiran :
44
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Spinal cord injury (SCI) atau trauma medula spinalis adalah cedera yang terjadi
pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di
medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan atau kelainan neurologis dan dapat
menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Spinal cord injury pula merupakan
trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord sehingga menyebabkan
menurunnya atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensoris (Pertiwi & Berawi,
2017). Penyebab umum SCI yaitu trauma seperti, tabrakan kendaraan bermotor, jatuh,
kekerasan, cedera olahraga (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, & Harding, 2014).
Semakin tinggi cedera, semakin serius gejala karena proximality dari kabel serviks ke
medula dan batang otak (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, & Harding, 2014).
Tumor spinal cord merupakan tumor yang dapat tumbuh di luar dura (ekstradural)
atau di dalam lapisan dura (intradural). Dua jenis tumor utama yang dapat mempengaruhi
saraf tulang belakang adalah tumor intramedular, yaitu tumor yang tumbuh pada
substansi saraf tulang belakang itu sendiri; dan tumor ekstramedular yang tumbuh dalam
jaringan pendukung sel-sel sekitar saraf tulang belakang. Penyebab tumor medulla
spinalis ini belum diketahui secara pasti (idiopatik), Umumnya penderita tumor spinal
cord akan merasakan nyeri yang bersifat lokal dan nokturnal maupun menyebar ke
ekstremitas (lengan/kaki). Nyeri pada punggung yang kadang semakin nyeri apabila
berbaring.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat membantu pembaca dalam mengetahui
asuhan keperawatan mengenai penyakit spinal cord (Spinal cord injury dan tumor
medulla spinalis). Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca. Kami menyadari
dalam makalah ini masih terdapat kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun kami harapkan untuk memperbaiki makalah kami selanjutnya.
45
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Priyanto, Rohadi, & Bayu Fidaus Siradz. (2019). Tumor Spinal Intradural
Ekstramedula. Unram Medical Journal, 8(1), 25.
https://doi.org/10.29303/jku.v8i1.331
Hall, G. &. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Khair, U., & Susanti, R. (2020). Astrositoma Medula Spinalis Torakalis pada Usia Remaja:
Suatu Kasus Jarang. Jurnal Kesehatan Andalas, 9(1S), 216–220.
https://doi.org/10.25077/jka.v9i1s.1178
Pertiwi, D., & Berawi, K. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medula Spinalis.
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, 7(2), 1-5.
Raj, V. S., & Lofton, L. (2013). Rehabilitation and treatment of spinal cord tumors. The
journal of spinal cord medicine, 36(1), 4–11. Diakses pada 3 Oktober 2020 melalui
https://doi.org/10.1179/2045772312Y.0000000015
Williams, Linda S. Hopper, Paula D. 2015. Understanding Medical Surgical Nursing. 5th ed.
F.A. Davis Company, pp.1144-1154.
Yatmi. 2020. Pengaruh Diberikannya Teknik Log Roll per 2 Jam terhadap Risiko Dekubitus
pada Pasien dengan Cedera Tulang Belakang di RS. Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso
Surakarta. Diakses pada 4 Oktober 2020 dari
http://eprints.ukh.ac.id/id/eprint/97/1/NASKAH%20PUBLIKASI-1.pdf
46