Anda di halaman 1dari 15

ACARA II

TEKNIK PEMBUATAN KOMPOS ANAEROB


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kompos merupakan hasil akhir suatu proses dekomposisi campuran bahan-
bahan organik dengan bantuan organisme hidup sebagai pengurai. Kompos
dibedakan menjadi dua yaitu kompos aerobik dan kompos anaerobik. Kompos
aerobik adalah kompos yang dibuat melalui proses biokimia melibatkan udara.
Kompos anaerobik adalah kompos yang pada pembuatannya tidak melibatkan
udara. Pembuatan kompos biasanya memerlukan tambahan bioaktivator berupa
mikroorganisme yang digunakan untuk mempercepat proses pengomposan.
Fungsi pupuk kompos yaitu sebagai bahan alami yang dapat diperoleh dari
limbah tanaman, limbah ternak, dan limbah lainnya yang mampu memperbaiki
sifat fisik, biologi, dan kimia tanah untuk menunjang tumbuh kembang tanaman.
Pupuk kompos adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup seperti
tumbuhan dan kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi. Pupuk
kompos memiliki kelebihan yaitu mengandung unsur hara yang dapat
menyuburkan tanaman, harga relatif murah serta mudah didapat, mampu
membantu memperbaiki sifat fisik tanah, sifat biologi, dan sifat kimia tanah, dan
memiliki kandungan asam organik misalnya asam humat dan fulvat yang
berpengaruh kuat terhadap kapasitas penyerapan tanah.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari praktikum acara teknik pembuatan kompos anaerobik adalah


untuk mengetahui dan memahami proses membuat pupuk kompos secara
anaerobik dengan benar. Manfaat dari praktikum ini adalah mampu membuat
pupuk kompos secara anaerobik dengan baik serta mengetahui bahan-bahan yang
dibutuhkan dalam pembuatan kompos secara anaerobik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kompos

Kompos merupakan pupuk organik yang terbuat dari bahan-bahan hijau dan
bahan organik lainnya yang didekomposisi dengan mikroorganisme. Pupuk
kompos mengandung unsur-unsur hara mineral esensial yang baik bagi
pertumbuhan tanaman (Widarti et al., 2015). Kompos dibedakan menjadi
beberapa jenis, antara lain pupuk kompos aerob, bokashi, vermikompos, dan
pupuk organik cair. Pupuk kompos aerob dibuat melalui proses biokimia yang
melibatkan oksigen, kompos bokashi merupakan kompos anaerob yang
memanfaatkan inokulan effective microorganism (EM4), vermikompos
merupakan kotoran cacing yang memakan bahan organik, sedangkan pupuk
organik cair dibuat dengan cara pengomposan aerob/anaerob basah (Aisyah,
2016).
Kompos umumnya dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman yang
mampu membantu mengembalikan kualitas tanah. Pupuk kompos lebih efektif
digunakan dibandingkan dengan pupuk organik lainnya karena kompos
merupakan pupuk yang tebruat dari sisa-sisa bahan organik (Suryati, 2014).
Kompos dapat berasal dari sampah dapur atau hijauan yang tidak berfungsi lagi
sehingga mengurangi pencemaran lingkungan. Kompos yang berhasil akan
berwarna cokelat kehitaman, tekstur lebih halus dan aroma pupuk tidak
menyengat namun mengeluarkan aroma tanah/humus (Samosir et al., 2015).

2.2. Pembuatan Kompos

Kompos mengandung hara mineral esensial bagi tanaman. Proses


pengomposan bisa terjadi dengan sendirinya dialam terbuka melalui proses alami
dari rumput, daun-daunan dan kotoran hewan serta sampah lainnya lama
kelamaan membusuk karena adanya kerja sama antara mikroorganisme dengan
cuaca. Pembuatan kompos memerlukan bahan-bahan dalam pembuatannya yaitu,
C/N, sampah sayuran (kubis busuk), sampah buah-buahan (kulit pisang), dan
kotoran hewan ternak (kotoran sapi) yang dapat digunakan sebagai bioaktivator
untuk pembuatan pupuk kompos (Widarti et al., 2015). Kompos merupakan bahan
organik, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi,
batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan yang telah mengalami
proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai, sehingga dapat dimanfaatkan
untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Pengomposan adalah proses perombakan
(dekomposisi) bahan-bahan organik dengan memanfaatkan peran atau aktivitas
mikroorganism, bahan-bahan organik akan diubah menjadi pupuk kompos yang
kaya dengan unsur-unsur hara baik makro ataupun mikro yang sangat diperlukan
oleh tanaman (Pandebesie dan Rayuanti, 2013).
Kompos merupakan salah satu komponen untuk meningkatkan kesuburan
tanah dengan memperbaiki kerusakan fisik tanah akibat pemakaian pupuk
anorganik (kimia) pada tanah secara berlebihan yang berakibat rusaknya struktur
tanah. Pengomposan dapat berlangsung secara aerobik dan anaerobik dimana ciri
kompos yang baik adalah yang sudah cukup mengalami pelapukan dan dicirikan
oleh warna yang sudah berbeda dengan warna bahan pembentuknya, tidak berbau,
kadar air rendah, dan suhunya sesuai dengan suhu ruang (Sulistyaningsih, 2019).
Faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengomposan secara anaerobik
antara lain temperatur, kelembapan, dan aerasi. Proses pengomposan dikatakan
berjalan dengan baik apabila memiliki kelembaban udara suhu optimal yaitu 40oC,
membutuhkan sirkulasi udara yang cukup, berwarna cokelat kehitaman, memiliki
pH 5, serta teksturnya lunak (Marlina et al., 2017).
Kelembaban atau kadar air pada kompos merupakan salah satu faktor
keberhasilan dalam pengomposan, kelebihan air akan mengakibatkan volume
udara menjadi berkurang, sebaliknya bila terlalu kering proses dekomposisi akan
terhenti. Kompos harus selalu lembab agar mikroba tetap dapat beraktivitas
dengan kadar air berada pada 50-60% (Suhastyo, 2017). Aktivitas mikroba aerob
memerlukan oksigen selama proses perombakan berlangsung. Pembalikan
timbunan bahan kompos selama proses dekomposisi dibutuhkan untuk mengatur
pasokan oksigen bagi aktivitas mikroba. Proses pengomposan secara anaerobik
menggunakan metode tube composter yaitu media pembuatan kompos dari ember
plastik karena memiliki aerasi yang baik untuk menentukan keberhasilan
pengomposan melalui lubang-lubang ventilasi atau lubang yang ada pada ember
dan harus dilakukan kontrol pada suhu, pH, kadar air, dan aerasi (Gunasti dan
Sanosra, 2020).
Proses pembuatan kompos dipengaruhi oleh suhu yang terbentuk, keadaan
suhu rendah akan mengakibatkan bakteri akan berkembang lambat, akibatnya
pembuatan kompos akanberlangsung lebih lama. Pembentukan kompos berhasil
apabila suhu kompos diatas 20oC sehingga akan menghasilkan panas karena
menunjukkan adanya aktivitas mikroba yang baik dan proses metabolisme
meningkat dengan cepat (Dewi et al., 2017).
Mikroba perombak bahan organik pada saat pengomposan memerlukan
karbon sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan nitrogen untuk
pembentukan protein. Nilai rasio C/N yang diperlukan untuk proses pengomposan
yang efisien sebesar 30, apabila C/N rasio terlalu besar (>40) atau terlalu kecil
(<20) maka akan mengganggu kegiatan biologis proses dekomposisi (Suhastyo,
2017).
BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Pertanian Organik dengan materi teknik pembuatan kompos


anaerobik telah dilaksanakan pada hari Rabu, 28 Oktober 2020 – Minggu, 29
November 2020 pukul 07.00 – 15.00 WIB di Agrotechnopark, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi

Materi yang digunakan dalam praktikum ini meliputi alat dan bahan. Alat
yang digunakan meliputi sekop kecil untuk mengaduk kompos, gunting untuk
memotong daun lamtoro dan jerami supaya menjadi lebih kecil, trashbag untuk
menutup kompos ketika sudah dimasukkan kedalam ember, kawat untuk landasan
dan menyaring kompos, sprayer untuk tempat bioaktivator berupa EM, timbangan
untuk menimbang bahan pembuat kompos, tali rafia untuk mengikat trashbag
yang berisi bahan kompos supaya tertutup rapat, ember untuk tempat pembuatan
kompos anaerobik, solder untuk melubangi ember sebagai tempat kran, dan keran
untuk jalan mengalirnya air kompos. Bahan yang digunakan antara lain jerami
padi 5 kg, daun lamtoro 2 kg, pupuk kandang kambing 3 kg untuk bahan pembuat
kompos, dan larutan berupa EM 1 liter serta air secukupnya untuk mempercepat
dekomposisi.

3.2. Metode

3.2.1. Pembuatan kompos

Metode yang digunakan dalam praktikum Pertanian Organik acara Teknik


Pembuatan Kompos Anaerobik yaitu dengan cara hijauan berupa daun lamtoro
dan jerami padi dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil. Bahan kompos yang
terdiri dari jerami padi 5 kg, daun lamtoro 2 kg, dan pupuk kandang kambing 3
kg. Starter EM yang telah dicampur air dengan gula disemprotkan. Kawat
dibentuk membulat menyesuaikan ukuran lubang dasar ember. Bahan kompos
yang telah dicampur kemudian dimasukkan kedalam ember dan trashbag yang
bagian bawahnya dilubangi disambungkan dengan ember untuk penambahan
ruang kompos kemudian diikat dengan tali rafia dibagian samping ember dan
dibagian atas trashbag. Ember ditutup rapat selama 3-4 hari. Kompos dicek dan
lanjutkan difermentasi selama 3-4 minggu.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Evaluasi Pembuatan Kompos

Berdasarkan praktikum pertanian organik yang telak dilakukan


diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 2. Evaluasi Pembuatan Kompos


Evaluasi Pengamatan Ke-
1 2 3 4 5 6 7
Bau X X X X X X x
Warna X X X X X X X
Suhu X X X X X x x

Tabel 2. menunjukan bahwa .......

Tabel 3. Evaluasi Kandungan Kompos


Evaluasi Hasil Pengamatan Perbandingan dengan
Standar Kompos
Ph X X
Kadar Air (%) X X
Kadar Abu (%) X X
C-Organik (%) X X
BO (%) X X
Kadar N (%) X X
C/N Rasio (%) X X

Tabel 3. menunjukan bahwa.....


BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
Simpulan yang dapat diberikan dari praktikum Pertanian Organik acara
Teknik Pembuatan Kompos Anaerob adalah

5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dari praktikum Pertanian Organik acara
Teknik Pembuatan Kompos Anaerob sebaiknya dalam proses pembuatannya di
dokumentasikan dalam bentuk video dan diunggah ke media sosial agar dapat
dilihat oleh teman-teman yang tidak melakukan praktikum dan menjadi manfaat
buat masyarakat secara luas.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, N. 2016. Memproduksi Kompos dan Mikro Organisme Lokal (MOL).


Jakarta : Bibit Publisher.

Dewi, R. P. 2017. Perancangan sistem pengelolaan sampah untuk mendukung


perkembangan industri kreatif di daerah pariwisata. J. Ilmu tani. 1 (3) : 217
– 221.

Gunasti, A., & Sanosra, A. (2020). Added Value Sampah Organik Dengan
Teknologi Komposter Untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Gayo
Jember-Bondowoso. Jpm Pambudi, 4(01), 17-23.

Marlina, E. T., T. B. Kurnani, Y. A. Hidayati, dan D. Z. Badruzzaman. 2017.


Penyusutan dan penurunan nisbah c/n pada vermicomposting campuran
feses sapi perah dan jerami padi menggunakan eisenia fetida. J Ilmu
Ternak, 17 (2) : 117 – 122.

Pandebesie, E. S. dan Rayuanti, D. 2013 Pengaruh PenambahanSekam Pada


Proses Pengomposan SampahDomestik. Jurnal Lingkungan Tropis, 6(1),
31– 40.

Samosir, A. T., J. M. Paulus, D. M. Sumampow, dan S. Tumbelaka. 2015.


Pemberian kompos jerami padi terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt). J. COCOS, 6 (12) : 1 –
9.

Suhastyo, A. A. (2017). Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan pembuatan


pupuk kompos. JPPM (Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat),
1(2), 63-68.

Sulistyaningsih, S. 2019. Pelatihan dan penyuluhan pada masyarakat tentang


pembuatan kompos kascing (bekas kotoran cacing) di Desa Candi. J. Padi
(pengabdian masyarakat dosen indonesia). 2 (1) : 56 – 59.

Suryati, T. 2014. Cara Bijak Mengolah Sampah Menjadi Kompos dan Pupuk Cair.
Jakarta : AgroMedia.

Widarti, B. N., Wardhini, W. K., & Sarwono, E. (2015). Pengaruh rasio C/N
bahan baku pada pembuatan kompos dari kubis dan kulit pisang. Jurnal
Integrasi Proses, 5(2) : 75 – 80.
LAMPIRAN

Gambar Keterangan

Sprayer

Solder

Ember
Tali Rafia

Kawat

Gunting
Jerami

Pupuk Kotoran Kambing

Lamtoro
EM

Hasil Kompos Anaerob

Anda mungkin juga menyukai