Pada masa perjuangan kemerdekaan di Kalimantan bagian Selatan
(selanjutnya ditulis Kalsel), bahasa perjuangan atau bahasa revolusi muncul dalam berbagai medium komunikasi, seperti surat kabar dan majalah, famflet, grafiti, poster, dan spanduk dan juga radio yang berisi sindiran (satire) dan kritikan, ajakan ke medan perang, boikot, blokade, simbol, gambar dan sebagainya yang isinya mengandung makna yang tersirat yang mencerminkan konteks sosial atau realitas saat itu. Sedangkan di dalam surat kabar atau majalah, gaya bahasa muncul dalam pemberitaan, pandangan, karikatur, opini, catatan pojok, puisi, dan sejenisnya. Di dalam Radio, bahasa revolusi dapat dilihat dari fungsi radio sebagai alat propaganda perang. Pada masa pendudukan Jepang, di saat radio dijadikan corong, maka isinya adalah berisi proganda-propaganda Jepang diantarannya ajakan kepada rakyat jajahan agar mendukung Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Begitupula ketika Bung Tomo, saat menjelang dan meletusnya perlawanan rakyat Surabaya terhadap Inggris dan Belanda pada 10 November 1945, ia menggunakan radio sebagai media untuk mengobarkan semangat perlawanan. Gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa propaganda perang seperti slogan dan yel-yel pemberi semangat para pemuda untuk maju ke medan perang. Menurut Wikipedia, karikatur adalah gambar atau penggambaran suatu objek konkret dengan cara melebih-lebihkan ciri khas objek tersebut. Karikatur berbeda dengan kartun karena karikatur tidak membentuk cerita sebagaimana kartun, namun karikatur dapat menjadi unsur dalam kartun, misalnya dalam kartun editorial. Orang yang membuat karikatur disebut sebagai karikaturis. Kartun ataupun karikatur, masing-masing memiliki titik satiris. Bedanya, dalam gambar kartun, titik satiris itu tak ditekankan sebagai sesuatu yang dominan seperti halnya dalam karikatur. Kartun lebih mengutamakan humor ketimbang “satire”. Salah satu bentuk karikatur sebagai bagian dari progadanda perang dapat dilihat di dalam surat kabar Soeara Kalimantan Karikatur “Pertaroengan di Selat Makassar”, dalam Soeara Kalimantan No. 32 Tahoen ke XIII Saptoe 7 Februari 1942 – 19 Moeharram 1361, hlm. 2. . Karikatur tersebut berjudul Pertaroengan di Selat Makassar, dengan teks di bawah karikatur berbunyi: “Poekoelan kita kena!” Karikatur Pertarungan Selat Makassar (Sumber: Soeara Kalimantan No. 32 Tahoen ke XIII Saptoe 7 Februari 1942).
Karikatur tersebut terlihat memuat gambaran pertempuran di
Selatan Makasar antara Sekutu dan Jepang dengan karikatur Gurita raksasa di atas pulau Kalimantan dengan tujuh tentakelnya yang menjulur panjang hingga ke berbagai pulau di Hindia Belanda sebagai perlambang tentara Jepang berhadapan dengan sosok seperti gladiator dengan topi dan pakaian baja yang sedang menebaskan pedangnya sehingga satu tentakel gurita putus. Karikatur berbentuk gurita sebagaimana dimuat Soeara Kalimantan tidak terlepas dari “Operasi Gurita” yang dilancarkan tentara Jepang dalam merebut Hindia Belanda. Dalam hal ini, pergerakan invasi Jepang harus menyerupai tentakel gurita yang menggeliat dari satu tempat ke tempat lain. Kedua gurita bergerak mengepung Jawa yang menjadi benteng terakhir Belanda. Gurita Barat dimulai dari Indo-Cina melalui Kalimantan Utara dengan sasaran Pulau Jawa, sedangkan Gurita Timur dimulai dari Filipina melalui selat Makasar menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur. Operasi Gurita Barat tidak mengalami kesulitan mendarat di Eretan (Indramayu) dan Banten, sedangkan Gurita Timur harus menghadapi Sekutu dalam pertempuran laut di selat Makassar dekat Balikpapan. Selain pada karikatur, bahasa revolusi juga terdapat dalam berbagai gambar sketsa. Pada saat teknologi kamera atau tustel tidak secanggih dan jumlahnya tidak sebanyak sekarang, surat kabar dan majalah lama banyak memuat foto atau gambar sketsa. Yang dimaksud gambar sketsa di sini adalah adalah lukisan cepat (hanya garis-garis besarnya) misal tentang foto diri dengan mengikut foto asli atau gambar sketsa berisi adegan pendek suatu peristiwa tertentu. Di dalam beberapa surat kabar, foto sketsa banyak memuat foto-foto tokoh nasional maupun Belanda seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan lain-lainnya. Sketsa di bawah ini memuat adegan masa revolusi antara lain terdapat di dalam susunan Hassan Basry berjudul, Kisah Gerilya Kalimantan (Dalam Revolusi Indonesia) 1945-1949 penerbit Jajasan Lektur Lambung Mangkurat, Banjarmasin tahun 1961. Beberapa sketsa yang terdapat dalam buku tersebut antara lain adalah: sketsa kekejaman tentara Jepang di Kalimantan, sketsa perlindungan tentara Australia terhadap bendera Belanda, sketsa pengadangan oleh pasukan ekspedisi Husin Hamzah di Teluk Bagam, sketsa perahu-perahu pembawa rombongan ekspedisi, sketsa menggambarkan semangat pemuda dalam perjuangan, dan sketsa penandatanganan naskah pembentukan ALRI Divisi IV di Tabat, 18 November 1946. Disebutkan bahwa sketsa dan peta tersebut dibuat oleh Tjapa Noerbrand. Dari beberapa sketsa di atas, dapat dikemukakan sketsa menggambarkan semangat pemuda dalam perjuangan, sebagaimana tergambar di bawah ini. Sketsa menggambarkan semangat para pejuang kemerdekaan di Kalsel. Sumber: Hassan Basry, 1961.
Dari sketsa tersebut di atas terlihat gelora semangat pejuang
kemerdekaan dari kalangan pemuda yang tergabung di dalam organisasi ketentaraan dan kelaskaran. Dari uniform yang dipakai terlihat ada yang memakai seragam tentara seperti peci dan baju lengkap dengan atributnya, seperti pangkat di pundak, pistol dan pedang di pinggang. Sosok ini mencerminkan pemuda yang tergabung dalam ketentaraan seperti ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dan MN 1001/MTKI. Namun pada sketsa terlihat juga adanya sosok dengan ikat kepala, baju seperti pakaian rakyat kebanyakan dan memakai senjata bambu runcing yang menggambarkan bahwa ia adalah berasal dari anggota kelaskaran rakyat (di luar ALRI maupun MN 1001/MTKI) yang turut berjuang memanggul senjata. Sketsa di atas menunjukkan bahwa perjuangan bersenjata dimainkan oleh segala lapisan masyarakat baik tentara maupun rakyat, yang berada di garis depan maupun di garis belakang, dengan berbagai perannya masing-masing. Terlihat berbagai senjata yang digunakan seperti pistol, senapan, pedang, bambu runcing, memang begitulah kenyataan senjata yang dipergunakan pada masa perjuangan. Terlihat di depan, seorang dengan peci dan seragam militer lengkap dengan pistol dan pedang dipinggang, mengomando pasukan agar terus maju bergerak pantang mundur. Sosok itu menggambarkan adanya peran komandan dalam pertempuran yang bahu membahu dengan anak buahnya berada di garis depan ikut menyerang, mengatur strategi dan mengomando perjuangan. Dan ternyata memang, dengan semangat membara dan pantang mundur mereka perlihatkan di medan perjuangan. Suatu ketika di tengah asap mesiu, desingan peluru menembus dadanya, namun ia terus bergerak maju dan maju, sampai akhirnya ia terkapar roboh, darahnya tumpah membasahi tanah di haribaan ibu pertiwi, negeri yang mereka cintai. Majas revolusi juga tergambar dalam berbagai ungkapan. Seperti majas klimaks yakni majas yang menyatakan beberapa hal secara berturut-turut dan makin lama makin meningkat, antara lain terungkap pada pada ucapan: “jangankan harta, darah dan jiwa raguku akan kuserahkan kepada ibu pertiwi”. Majas metafora antara lain terungkap pada kalimat: “suara ledakan mesiu bagaikan petir menggelegar memecahkan keheningan pagi buta”. Dalam rubrik “Daerah: Penghibur di Marabahan”, dalam Kalimantan Berdjuang, Sabtu 3 Desember 1949, No. 865 Tahun ke IV, hlm. 2 terdapat berita tentang adegan sandiwara yang dilakukan Pantjawarna yang di dalamnya tergabung pemain Sandiwara Bintang Surabaya dan Dardanella banyak berisi lakon perjuangan, judulnya pun bernuansa perjuangan dengan gaya metafora, yakni: “Gugur Bunga di Taman Bangsa”. Gaya metafora itu mempunyai makna pahlawan yang tewas di dalam pertempuran disebut sebagai “gugur bunga”, yang mendapat ganjaran kebahagiaan yang dianalogikan berada di “taman bangsa”. Pada masa perjuangan kemerdekaan, gaya bahasa surat kabar tercermin antara lain pada nama surat kabar dan majalah itu sendiri. Nama surat kabar atau majalah seperti Kalimantan Berdjuang, majalah Republik, Terompet Rakyat, Sinar Hoeloe Soengai, dan Soeara Kalimantan mencerminkan suasana atau gelora perjuangan waktu itu. Dalam istilah “Berdjuang” dan “Republik” terkandung makna yang sangat tegas yakni berjuang untuk kemerdekaan Republik (Indonesia). Mengutip pendapat Melisa Prawitasari dalam Ersis Warmansyah Abbas, Penyunting (2015) berjudul “Terompet Rakyat: Koran Perjuangan Di Afdeeling Hoeloe Soengai Onderafdeeling Amoentai tahun 1946-1947”, lambang atau logo Terompet Rakyat, adalah berupa gambar orang yang sedang meniup terompet maka dalam nama Terompet Rakyat mengandung banyak arti yakni terompet tersebut digunakan untuk menyuarakan berita kepada masyarakat. Terompet mengeluarkan bunyi yang dianalogikan sebagai suara rakyat -----yang sejauh itu dibungkam oleh pemerinah kolonial---- dan melalui surat kabar itu rakyat mengekspresikan suaranya dalam berbagai bentuk berita dan tulisan propaganda dan kritik, laksana suara terompet yang memekikkan telinga, kepada pemerintah Belanda. Begitupula halnya dengan “Sinar”, dan “Soeara” terkandung gelora perjuangan dari rakyat Hulu Sungai yang berkeinginan merdeka (Sinar Hoeloe Soengai), atau Suara Rakyat Kalimantan dalam bentuk berita, pandangan, opini, tajuk rencana yang mengandung kritik sosial kepada pemerintah Belanda dan harus didengar oleh khalayak pembaca. Bentuk-bentuk bahasa perjuangan terlihat dari berbagai bentuk seperti pada salam nasional yang terpatri dalam surat kabar, famflet, dan grafiti, misalnya: merdeka! sekali merdeka, tetap merdeka! Setelah sampainya berita kemerdekaan di Banjarmasin, muncul grafiti seperti antara lain dengan bunyi, “Freedom or Death”, “NICA No! Republik Yes”, Hidoep Republik Indonesia. Pada perang kemerdekaan muncul bermacam slogan: seperti haram manyarah waja sampai kaputing, merdeka atau mati, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup di bawah penjajah. Atau ada pula slogan berupa grafiti di dinding Gua Liang Bawah (kini wilayah desa Gadang Kecamatan Malangkayan Kabupaten Tanah Bumbu) tempat persembunyian para pejuang gerilya ALRI Divisi IV selepas pertempuran di Janggar tahun 1947, dengan bunyi dalas hangit amun manyarah kada sebagaimana sebagaimana disebut dalam buku M. Suriansyah Ideham, dkk (editor) berjudul Sejarah Banjar terbitan tahun 203 halaman 340. Dalam surat kabar Borneo Simboen, Soeijobi (Raboe) 13 Rokoe- Gatsoe (Djoeni) 2605, Tahoen Ke-Empat termuat sebuah semboyan berbunyi: “Lebih baik leboer sebagai bangsa, daripada kembali mendjadi boedak Belanda”. Semboyan yang juga prinsif hidup yang dipakai para pejuang ini hampir sama dengan semboyan lainnya yang seolah berlawanan atau paradoks, padahal bukan. Beberapa semboyan bergaya paradoks dipakai para pejuang sebagai pembakar semangat, seperti: “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup didjajah”, atau “Dalas hangit amun manjarah kada” [Biar sampai hancur lebur tak akan menyerah], atau juga “Bagi mereka jang gugur, djasadmu boleh hantjur, djiwamu tetap utuh” sebagaimana tertulis pada Tugu di Lapangan Dwiwarna Barabai, sebuah semboyan yang kalimatnya diinspirasi oleh Muhammad Kasim yang pada masa revolusi juga turut berjuang, lihat Ahmad Makkie (ed.), Apa dan Siapa & Siapa Dari Bumi Murakata, Kepahlawanan dan Keberdayaan Anak Banua, terbitan 2006 halaman 335. Semboyan-semboyan “pembakar semangat” itu mempunyai makna bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan mati-matian sampai tercapai, meski hancur atau tewas dalam pertempuran sebagai kesuma bangsa, hal itu lebih terhormat dibanding hidup dijajah atau sebagai budak Belanda. Semboyan ini mempunyai makna yang hampir sama dengan sepenggal kalimat yang tercantum dalam Proklamasi 17 Mei “dan kalau perlu diperdjuangkan sampai tetesan darah jang penghabisan”, sebagai sebuah ungkapan hiperbola [Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi terkesan tidak masuk akal] dalam gaya bahasa. Menurut Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi Kelima Penerbit Kencana, Jakarta, tahun 2009 halaman 437, media sangat dekat dengan kepentingan dan kekuasaan. Artinya, para pelaku media adalah mereka yang berlatar belakang ideologi atau kepentingan yang berbeda-beda. Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr mengatakan bahwa kepemilikan media menentukan kontrol media, yang pada gilirannya menentukan isi media, mungkin menjadi penyebab utama pengaruh media. Dengan demikian dapat dipahami, adanya kepemilikan dan kontrol dari penguasa akan menentukan isi media dan gaya bahasa media. Gaya bahasa surat kabar Borneo Simboen tampak sekali isinya banyak berisi propaganda untuk kepentingan kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Melalui surat kabar itu, Jepang memunculkan berita-berita “kemenangan Jepang” dalam berbagai medan pertempuran, mengeluarkan slogan-slogan Jepang sebagai Cahaya Asia, Pelindung Asia, Pemimpin Asia, dan saudara tua yang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa kulit putih, menyanjung para prajurit pekerja (Kinrohosi dan romusha), sekaligus mengeluarkan berbagai kata-kata dan berita yang memunculkan suasana genting, ketakutan, dan kengerian rakyat terhadap tentara pendudukan Jepang. Bahasa pemerintah kolonial banyak mengandung majas sarkasme, yakni gaya bahasa sindiran langsung dan kasar, bahkan kadang-kadang merupakan kutukan. Bahasa sarkasme banyak muncul ketika pihak yang tertindas maupun yang menindas mengeluarkan ujaran-ujaran kebencian atau yang bernada melecehkan. Orang-orang Belanda menyebut orang pribumi Indonesia sebagai Inlander, imheemse, jongos, anjing, atau terhadap para pejuang dengan sebutan anjing Sukarno, ekstremis. Sebaliknya orang-orang Republik menyebut mata-mata atau spion Belanda sebagai anjing NICA”, cecunguk atau curu. Dalam buku Wajidi berjudul Artum Artha, Sastrawan, Wartawan, dan Budayawan Kalimantan Selatan, penerbit Debut Press tahun 2008 halaman 20 ada memuat kisah orang tua Artum Artha yang mendapat perlakuan kasar dari majikannya yang orang Belanda: “Tuan Kontlir marah. Bapak minta berhenti. “Kamu orang kampung yang dungu. Pergi saja. Kamu saya pecat. Besok tidak masuk lagi kerja di sini. Mengerti?” Tuan Kontlir marah, marah.” Contoh lain, sebagaimana ditulis oleh Wajidi dalam bukunya Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942, pernerbit Pustaka Banua tahun 2007 halaman 30, bahwa pada tahun 1932 Artum Artha bersama para anggota Kepanduan Bangsa Indonesia pernah mendapat cercaan yang bernada sarkasme dari seorang guru yang pro Belanda: “He, Tum. Kalau mau merdeka, bikin dulu benang katon. Pandai jahit dengan jarum. Pandaikah membuat jarum sebilah dalam setahun?”. “Nah, ayo, coba- coba merdeka.” Gaya bahasa hiperbola atau pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi terkesan tidak masuk akal dapat dilihat media yang menjadi corong penguasa dan memuat proganda perang. Dalam pemberitaan Borneo Simboen seringkali memuat berita- berita kemenangan dalam berbagai medan Perang Asia Timur Raya, meski pada saat bersamaan tersebar luas bahwa tentara Sekutu banyak memukul mundur tentara pendudukan Jepang.