Anda di halaman 1dari 75

SKRIPSI

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANGGOTA TENTARA


NASIONAL INDONESIA
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 69 K/MIL/2016)
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :
MUHAMMAD CAESAR
11140450000095

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018/1439 H
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahiim...

Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah yang telah melimpahkan


rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas
akhir dalam menempuh studi Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sholawat serta salam tak lupa tercurahkan selalu kepada Baginda Nabi
Agung, Muhammad S.A.W yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah
ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan kasih sayang.

Selanjutnya dalam proses penyusunan tugas akhir ini, penulis


mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa, yang
terhormat:

1. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag. selaku Kepala Program Studi Hukum
Pidana Islam (Jinayah).
3. Mujibur Rohman selaku Sekretaris Program Studi Hukum Pidana
Islam (Jinayah).
4. Prof. Dr. Yunasril Ali, M.A. selaku Dosen Pembimbing I dalam
penulisan skripsi dan telah memberikan masukan, arahan serta
meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.
5. Mara Sutan Rambe, S.H.I, M.H. selaku Dosen Pembimbing II dalam
penulisan skripsi dan telah memberikan masukan, arahan, serta
meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.
6. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

iii
7. Kepada Mamah/Ibunda tercinta Sandra Amelia Gunena, S.E. terima
kasih telah mengantarkan penulis hingga menyelesaikan tugas akhir
ini. Terimakasih atas kasih sayang, bimbingan, dan pengorbanan yang
tiada henti untuk penulis. Semoga Allah selalu berkahi langkah
Mamah kapan dan dimana pun berada.
8. Teman-teman kelas Hukum Pidana Islam Angkatan 2014, terimakasih
telah menjadi teman dalam berproses selama 4 (empat) tahun ini.
9. Teman setia seperti keluarga, KKN SEJUTA syukran katsir telah
memberi warna dalam kehidupan penulis. Anggun, Mufid, Anis, Lia,
Nabila, Nazif, Aini, Nurul, Sulis, Sybil, Tata, Burhan, Abdurrahman,
Rizki, serta Pak Haji Daday dan anaknya Grema yang selalu andil
dalam keseruan SEJUTA.
10. Terkhusus juga untuk teman yang selalu memotivasi yaitu, Lalu Rizal,
Ridho Illahi, Grup Whatsapp Alumni 7 SMP AL-WAFA Bekasi dan
semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas
akhir ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, hanya kata syukur Alhamdulillah dan terimakasih. Besar


harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat khususnya untuk penulis
dan pembaca pada umumnya. Aaamin ya Rabbal’alamin...

Jakarta, 17 Desember 2018

Muhammad Caesar

iv
ABSTRAK
Muhammad Caesar. NIM 11140450000095. TINDAK PIDANA
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANGGOTA TENTARA
NASIONAL INDONESIA (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor
69K/MIL/2016). Strata 1 (S1), Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah)
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1439 H/2018 M, 54 halaman. Studi ini menjelaskan bagaimana
pencegahan penyalahgunaan narkotika di lingkungan Militer. Dalam penelitian ini
masalah yang akan dibahas bagaimana penerapan pemidanaan serta pertimbangan
hakim dalam memutus kasus putusan Nomor 69 K/MIL/2016. Penelitian ini
bersifat deskriptif analisis yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan teori-teori yang menjadi objek penelitian. Pendekatan yang
penulis gunakan adalah pendekatan Analisis Kualitatif dengan mencari data baik
dari buku, artikel, yang berkaitan dengan penelitian penulis. Penelitian ini
menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian yang penulis lakukan,
bagi penyalahgunaan narkotika di lingkungan militer seharusnya tidak hanya
mendapatkan pidana pokok penjara 1 tahun saja, akan tetapi mendapatkan
rehabilitas baik medis maupun sosial sebagaimana Pasal 127 Ayat 3 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika dalam Hukum Pidana Islam termasuk dalam golongan
Jarimah Ta’zir, sehingga hukumannya diserahkan kepada penguasa atau ulil amri
yang diwakilkan oleh hakim.

Kata Kunci : Penyalahgunaan Narkotika Tindak Pidana, Hukum Positif, Islam

Pembimbing : Prof. Dr. Yunasril Ali, M.A

Mara Sutan Rambe, S.H.I, M.H

v
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...…………………………………… 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah………..........................5
C. Tujuan Penelitian…………………………………….………6
D. Manfaat Penelitian………………………….……………..... 6
E. Tinjauan Pustaka………………………………….……..….. 6
F. Metode Penelitian………………………………….…..…… 7
G. Sistematika Penulisan …………………………….…….…...9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana dan Pemidanaan


1. Pengertian Pidana…………………………………...…..11
2. Pengertian Pemidanaan………………………….……... 12
3. Jenis-Jenis Teori Pemidanaan…………………….….….13
4. Unsur-Unsur Tindak Pidana……………………….…....15
B. Narkotika
1. Pengertian Narkotika ………………………………….. 18
2. Jenis-Jenis Narkotika…………………………… …….. 19
3. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika…………….. 19
4. Fakta Yang Menyebabkan Anggota Militer Menggunakan
Narkotika…………………………………………….….20
C. Militer
1. Pengertian Militer…………………………………… 21
2. Hukum Disiplin Militer………………………………… 21
3. Tindak Pidana Militer…………………………………...23
4. Fungsi dan Tugas TNI………………………………… 24
BAB III KEWENANGAN PERADILAN MILITER DALAM MELAYANI
PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

A. Yurisdiksi Pengadilan Militer dalam Kekuasaan Kehakiman di


Indonesia…………………………………………………… 26
B. Kewenangan Peradilan Militer dalam Menangani
Penyalahgunaan Narkotika menurut KUHPM……………....31
C. Perbedaan Sanksi Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Militer (KUHPM)……………………………… …………. 35
D. Prosedur Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika Oleh Anggota Militer…………………………….37

BAB IV TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH


ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (ANALISIS
PUTUSAN NOMOR 69K/MIL/2016)

A. Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika Dalam Lingkungan


Militer……………………………………………………... 39
B. Pertimbangan Hakim dan Sanksi Pidana Penyalahguna
Narkotika Dalam Putusan 69 K/MIL/2016………………….41
1. Kronologis………………………… …………………...41
2. Pertimbangan Hakim........................................................42
3. Amar Putusan Nomor 69 K/MIL/2016………. . . ………44
4. Analisis Putusan............................................................... 45

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................49
B. Saran.......................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….50
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat sebagai suatu sistem sosial terdiri dari berbagai sub sistem, baik
sub sistem politik, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya dan etika, yang satu sama
lain saling mempengaruhi dan saling melengkapi (interaksi) dalam dinamisasi
sosial, dan ada kecenderungan terjadi benturan antar kepentingan dan tujuan, yang
dapat menimbulkan konflik sosial. Kesepakatan-kesepakatan sosial dalam
masyarakat dan dilakukan dalam rangka menghapuskan atau meminimalkan
konflik sosial tersebut, sehingga akan terwujud tatanan sosial atau pranata-pranata
sosial yang terlegitimasi, tertib dan berkeadilan. Salah satu tatanan atau pranata
sosial yang dijadikan landasan menghapus atau meminimalkan konflik sosial
adalah tatanan negara, yang sejalan dengan prinsip negara hukum di Indonesia, di
mana interaksi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mendasarkan
pada hukum yang telah disepakati sebagai sistem yang yuridis formal (legality),
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Hans Kelsen mengatakan bahwa Hukum adalah suatu tatanan perbuatan
manusia, “tatanan” adalah suatu sistem aturan. Hukum adalah seperangkat
peraturan yang mengandung semacam kesatuan yang kita pahami melalui sebuah
sistem. Tatanan sosial tertentu yang memiliki karakter hukum merupakan suatu
tatanan hukum.1
Karakter hukum Indonesia masih berpedoman pada karakter hukum kolonial,
sehingga filosofis hukum kolonial senantiasa mengiringi penegakan hukum
Indonesia, seperti hukum pidana Indonesia masih berpedoman pada filosofis
Wetboek van Strafrechtvoor Nederlandsch-Indie (S.1915 No.732) dengan teori
pembalasan (retributive theory), meskipun dalam berbagai pembentukan dan

1
Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russel and Russel, 1971),
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (Bandung: Nusa
Media, 2011), h 3-6.

1
pembaharuan hukum pidana Indonesia telah menyatakan berpedoman pada
filosofis Pancasila, namun kenyataannya tidak bisa diingkari pembentuk undang-
undang di Indonesia menggunakan falsafah, asas-asas atau prinsip-prinsip dasar
hukum kolonial.
Pada zaman era globalisasi dan teknologi berpengaruh pula terhadap
perkembangan jaringan peredaran tindak pidana transnasional, salah satunya tindak
pidana narkotika. Tindak pidana penyalahgunaan Narkotika merupakan masalah
besar yang sedang menjadi topik populer sekaligus menjadi suatu keperihatinan
bangsa Indonesia saat ini. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika tersebut
semakin marak dan bahkan para pelaku penyalahgunaan narkotika seolah-olah
tidak tahu tentang adanya sanksi pidana yang akan menyertainya.
Penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang perkembangannya sangat
mengkhawatirkan dan berdampak terhadap keluarga dan lingkungan sosial.
Kerugian sosial – ekonomi akibat penyalahgunaan narkotika cenderung meningkat
dari tahun ke tahun, dari Rp. 23,6 trilyun di 2004 menjadi Rp. 48 trilyun (2008).
Walaupun jumlah penyalahguna cenderung stabil, namun jumlah kasus narkotika
yang diungkap meningkat di tahun 2012 ke 2013. Angka-angka yang dilaporkan ini
hanya puncak dari masalah narkotika yang jauh lebih besar.2
Indonesia diperkirakan jumlah penyalahguna narkotika setahun terakhir
sekitar 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1,9% dari populasi
penduduk berusia 10-59 tahun di tahun 2008. Hasil proyeksi angka prevalensi
penyalahguna narkotika akan meningkat sekitar 2,6% di tahun 2013.
Peningkatan jumlah pengguna narkotika di Indonesia yang diperkirakan
mencapai 5,8 juta jiwa ditahun 2015 merupakan jumlah yang tidak diklasifikasi
berdasarkan persentase umur, jenis kelamin, maupun profesi. Namun, setiap
individu dapat melakukan penyalahgunaan narkotika tanpa mengenal usia, maupun
profesi seluruh lapisan masyarakat mulai dari pelajar, mahasiswa, kalangan
profesional, selebritis, birokrat bahkan penegak hukum, maupun oknum TNI yang
merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan negara, dan merupakan alat

2
https://www.unodc.org/documents/wdr2014/World_Drug_Report_2014_web.pdf.diakses
pada tgl 10 Oktober 2015.

2
negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara,serta diharapkan mampu memberikan contoh kepada masyarakat
untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan serta tidak melakukan tindak
pidana penyalahgunaan Narkotika, mengingat bahwa Militer di Indonesia identik
dengan suatu institusi yang anggotanya sangat taat dan disiplin terhadap hukum
yang berlaku.
Hukum Militer merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari sistem
Hukum Nasional yang sekaligus juga merupakan subsistem dari ketentuan yang
mengatur tentang Pertahanan Keamanan Negara. Dengan demikian sistem asas-
asas pokok hukum militer harus berpangkal tolak dari tugas militer dan dari sistem
serta asas-asas pokok Hukum Nasional, disisi lain hukum militer berkewajiban
menjamin terselenggaranya tugas-tugas militer tersebut dengan baik dan benar.
Hukum Militer sebagai subsistem dari sistem Pertahanan Keamanan Negara
perlu mengatur secara tegas mengenai operasionalisasi dari tatanan kehidupan Bela
Negara yang melahirkan Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta. Tahanan
kehidupan bela negara mencakup penyelanggaraan seluruh daya kemampuan
bangsa dan harus disusun, diarahkan serta dikerahkan secara terpadu dan terkendali
baik mengenai tenaga manusia, fasilitas, peralatan maupun jasa dan ruang wilayah.
Arah pengembangan Hukum Militer menuju pada terciptanya keserasian
antara penyelenggaraan kesejahteraan dan penyelenggaraan keamanan dalam
rangka mewujudkan wawasan tanah air serta ketahanan nasional, sangat berguna
menjamin esksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertujuan
membangun peradaban manusia seutuhnya3. Dengan demikian penegakan hukum
di bidang hukum militer harus semakin dimaksimalkan. Sebagaimana diketahui
bersama bahwa hukum militer sebagai subsistem dari sistem pertahanan keamanan
negara perlu mengatur secara tegas mengenai operasionalisasi dari tatanan
kehidupan bela negara yang melahirkan pertahanan keamanan rakyat semesta.

3
Suhadi, PembahasanPerkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Militer
danBela Negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional Tentang Hukum Militer dan Bela Negara
(Jakarta :1996), h.2.

3
Beberapa kasus yang terjadi pada anggota militer salah satunya adalah
penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota TNI-AD Ismael yang
berpangkat Sertu pada Kesatuan Kodim 0304/Agam, di bulan Januari 2013
Terdakwa bersama Anto 3 (tiga) kali mengkonsumsi rokok Dji Sam Soe yang
tembakaunya sudah dicampur dengan daun ganja oleh Anto diantaranya tempat
mengkonsumsi/menghisapnya di pesta pernikahan di Kampung Terdakwa di
Palembayan, Kabupaten Agam4.
Cara Terdakwa mengkonsumsi/menghisap rokok Dji Sam Soe yang
tembakaunya sudah dicampur dengan ganja adalah mencampurkan daun ganja yang
sudah dihaluskan dengan tembakau rokok kemudian dibungkus/dilinting dengan
kertas bekas rokok Dji Sam Soe, setelah terbungkus/terlinting rapi kemudian
ujungnya dibakar dengan menggunakan korek api dan dihisap secara bergantian
Terdakwa dengan Anto. Kemudian pada tanggal 25 Januari 2013 terhadap beberapa
personil Kodim 0304/Agam diantaranya Terdakwa dilakukan pemeriksaan urine
guna untuk mengetahui apakah ada yang menggunakan Narkoba terhadap personil
Kodim 0304/Agam. Dari hasil tes urine tersebut diketahui ada beberapa Anggota
Kodim 0304/Agam yang terindikasi pengguna Narkoba diantaranya :Serka Visty D
Demix pengguna Sabu, terdakwa Ismael pengguna/penghisap ganja, Kopda Edison
pengguna Sabu, Praka Suhardi pengguna Sabu, Praka Febriyanto pengguna Sabu
(Mutasi Kodim 0308/Pariaman).
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Petugas BNN kota Payakumbuh
terhadap urine Terdakwa dinyatakan Positif mengandung Tetrahydrocannabinol
(THC) Positif (+). Sehingga Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana
sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana yang tercantum dalam : Pasal 127
Ayat (1) huruf A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sehingga Terdakwa dijatuhkan hukuman terhadap dirinya tersebut karena salahnya,
dengan di Pidana Penjara selama 18 (delapan belas) bulan. Dikurangkan seluruhnya
selama Terdakwa beradadalam tahanan sementara. Dan Pidana Tambahan Dipecat
dari Dinas TNI AD.

4
//news.analisadaily.com/read/nama-47-prajurit-kodam-ibbyangdipecat/266616/2016/11/07
Diakses pada tgl 7 November 2016.

4
Seperti kasus tersebut bahwa masalah peredaran dan penyalahgunaan
narkotika di lingkungan militer harus mendapat penangan yang serius, karena hal
ini bisa menyebabkan rusaknya moral prajurit militer dan merusak citra kesatuan.
Oleh karena itu, kewaspadaan akan peredaran narkotika harus lebih ditingkatkan,
sehingga penanggulangan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dapat
dilakukan secara efektif dan efesien.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis berkeinginan untuk melakukan
penelitian yang mendalam tentang ’’TINDAK PIDANA PENYALAHGUAAN
NARKOTIKA OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 69 K/MIL/2016)’’

B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa
masalah dalam penelitian ini, yaitu :
a. Sanksi pelaku penyalahgunaan narkotika oleh anggota militer
b. Analisis putusan Mahkamah Agung kasus penyalahgunan narkotika
golongan I bagi diri sendiri.
c. Cara mencegah penyalahgunaan narkotika di lingkungan militer
2. Pembatasan Masalah
Dalam tulisan skripsi ini penulis akan membatasi permasalahan yang akan
dibahas adalah terutama menyangkut akibat hukum dari tindak pidana
penyalahgunaan narkotika sebagaimana dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan tinjauan hukum pidana islam.
3. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan
dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana pencegahan penyalahgunaan narkotika di lingkungan
Militer?
b. Bagaimana hakim memutuskan dalam sanksi pidana penyalahgunaan
narkotika dalam putusan 69 K/MIL/2016 ?

5
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui pertanggung jawaban tindak pidana bagi
penyalahgunaan narkotika.
2. Untuk mengetahui dampak tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
3. Untuk mengetahui sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika menurut
perspektif hukum pidana islam dan hukum positif di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
1. Mengembangkan wawasan dalam penerapan ilmu hukum serta meningkatan
pengetahuan dibidang hukum pidana khususnya hukum pidana islam
2. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbang bagi pengembangan
hukum khususnya yang berhubungan dengan tindak pidanapenyalahgunaan
narkotika di Indonesia
Manfaat Praktis
1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum
dalam menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika.
2. Diharapkan dapan menjadi sumber bacaan bagi siapa saja yang ingin
mengetahui mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

E. Tinjauan Pustaka
1. Berisi Tinjauan Pustaka dari konsep atau kajian yang berhubungan dengan
penyusunan skripsi. Yaitu Rizka Masfufa mahasiswi Universitas Lampung
dalam skripsinya yang berjudul UPAYA KEPOLISIAN DALAM
MENANGGULANGI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Di
Wilayah Hukum Polsek Tegineneng). Pokok pembahasan ini mengenai
Faktor penghambat penyalahgunaan narkotika, dapat disimpulkan kelima
faktor penghambat penyalahgunaan narkotika dari segi Undang-Undang

6
Narkotika tidak dapat menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku jenis 75
narkotika yang baru, kurangnya personil kepolisian yang berjumlah hanya
20 orang, sarana dan fasilitas yang kurang memadai, faktor masyarakat
yang kurang berperan aktif dalam mengungkap terjadinya penyalahgunaan
narkotika, dan Kekurangpaduan antara apa yang diminta oleh budaya (yang
mendorong kesuksesan) dengan apa yang diperbolehkan oleh struktur
(yang mencegahnya memperoleh kesuksesan) dapat menyebabkan norma-
norma runtuh karena tidak lagi efektif untuk membimbing tingkah laku.
2. Karya ilmiah dari skripsi Zelni Putra mahasiswa Universitas Andalas yang
berjudul UPAYA REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA
NARKOTIKA OLEH BADAN NARKOTIKA NASIONAL
(BNNK/KOTA) PADANG (Studi Kasus di BNNK/Kota Padang).
Pokok pembahasan karya ilmiah ini adalah Mengenai kebijakan
BNNK/Kota Padang dalam upaya rehabilitasi tidak terdapat ketentuan
tertulis khusus yang dibuat oleh BNNK/Kota Padang. Kebijakan
BNNK/Kota padang hanya berupa melakukan himbauan atau ajakan dalam
program-program penyuluhannya kepada masyarakat terutama kepada
keluarga pecandu agar para pecandu bersedia untuk direhabilitasi di panti-
panti rehabilitasi yang telah diselenggarakan oleh pemerintah, swasta
maupun LSM tertentu. Pecandu juga dihimbau agar mau melaporkan diri
kepada lembaga rehabilitasi, atau dapat juga dilaporkan oleh orang tua atau
wali bagi pecandu yang belum cukup umur.

F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki terkait penelitian normatif terdapat beberapa
pendekatan, diantaranya pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan,
pendekatan historis, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan.5

5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group), h.47.

7
Adapun pendekatan penulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Undang-Undang dan pendekatan kasus. Pendekatan Undang-
Undang adalah pendekatan menggunakan Undang-Undang dalam menelaah
kasus hukum yang sedang ditangani. Sedangkan pendekatan kasus adalah
menelaah kasus yang sedang ditangani dengan merujuk pada putusan dari
pengadilan.
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari segi jenis penelitian hukum, penelitian ini termasuk dalam
kategori jenis penelitian hukum normatif. Soerjono Soekanto, telah menjelaskan
bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
kepustakaan atau data sekunder dinamakan penelitian hukum normatif atau
penelitan hukum pustaka6. Maka dalam penelitian ini penulis mencoba
menjelaskan tentang sanksi pidana penyalahguaan narkotika.
3. Sumber Data
Penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan atau library research,
yaitu penelitian yang mengacu pada sumber-sumber tertulis atau mengacu pada
literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Maka untuk meneliti, penulis
menggunakan studi pustaka sebagai upaya untuk menemukan korelasi atau
relevansi teori hukum dalam mengkaji isu hukum terkait penelitian ini.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Sumber Primer
Sumber primer dalam penelitian ini adalah Putusan Nomor 69 K/MIL/2016.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder penelitian ini menggunakan beberapa buku, kitab, artikel
yang berkaitan dengan judul penelitian ini serta literatur lainnya yang
berhubungan dengan penelitian ini.
Berkaitan dengan hal teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis
menggunakan teknik studi dokumenter yaitu dengan mendokumentasikan sumber-

6
Lihat Soerjono Soekanto, Penelitian hukum ( Raja Grafindo Persada,2011), cet.23

8
sumber data, baik primer atau sekunder yang terkait objek penelitian 7. Bahan
hukum sekunder yangdigunakan dalam penelitian ini berupa kajian, buku-buku,
serta karya ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
Adapun teknik dokumenter dalam penelitian ini berupa mengkaji bahan-
bahan pustaka baik bahan pustaka primer maupun sekunder yang terkait dengan
penerapan hukum pidana di Indonesia. Setelah itu penulis mencari gagasan-gagasan
dari berbagai sumber tersebut terkait objek penelitian dan kemudian akan
dituangkan dan disusun kedalam bentuk tulisan penelitian.

4. Teknik Analisis Data


Setelah teknik pengumpulan data selesai kemudian penulis akan
menganalisisnya dengan metode deskriptif analisis kualitatif, yaitu dengan
menggambarkan, menganalisa, serta memberikan interpretasi terhadap data
objek kajian penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode
content analisis, yakni, digunakan untuk menganalisa secara ilmiah terkait inti
pesan kedalam sebuah ide atau gagasan tertentu. Dalam proses menganalisis
sumber data dan bahan hukum, penulis menggunakan pendekatan teoritis, yakni
pendekatan hukum islam dan positif.

G. Sistematika Penulisan
Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi saya ini,
penulis menyusun melalui sitematika penulisan yang terdiri dari lima bab, dimana
pada setiap bab nya dibagi atas sub-sub bab, dengan penjelasan yang terperinci,
agar memudahkan pembaca. Berdasarkan pada materi skripsi penulis bahas
sistematika penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang
penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, Tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian serta diakhiri

7
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif,(Yogyakarta:Rake Sarasin, 2000), ed.
IV,h.68-69.

9
dengan penjelasan mengenai sistematika penelitian ini yang menjadi pedoman
dalam bab-bab selanjutnya.
BAB II : Gambaran umum tentang Konsep Pemidanaan Pelaku Kejahatan
Penyalahgunaan Narkotika. Disini Penulis menggambarkan mengenai Teori
Pemidanaan Hukum Pidana Indonesia, Teori Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika serta bagaimana pertimbangan seorang hakim dalam mengambil putusan
dalam suatu tindak pidana.
BAB III : Gambaran umum perbedaan sanksi pidana dalam kitab-kitab
hukum pidana dan kitab undang-undang hukum pidana militer.Disini penulis
menggambarkan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam putusan
Mahkamah Agung nomor: 69 K/MIL/2016), keputusan hakim dalam memutuskan
perkara nomor: 69 K/MIL/2016), dan sanksi yang ditetapkan oleh majelis hakim
pada putusan tersebut.
BAB IV : Tindak Pidana penadahan atas putusan nomor: 69
K/MIL/2016)ditinjau dari Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, Dalam
bab ini, penulis memuat uraian teoritis dan analisis hukum sebagai lanjutan dari bab
sebelumnya, yaitu Analisis Hukum Positif terhadap Penyalahgunaan Narkotika,
Analisis Hukum Islam terhadap penyalahgunaan narkotika, serta hukum komparasi
antara hukum positif dan hukum islam.
BAB V : Penutup, Penulis menyimpulkan tahap akhir dari penulisan ini yang
berisi kesimpulan-kesimpulan penelitian dari awal sampai akhir, juga terdiri dari
saran-saran penulis tentang persoalan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana dan Pemidanaan


1. Pengertian Pidana
Pergaulan kehidupan dalam bermasyarakat tidak selamanya berjalan
dengan apa yang diharapkan. Manusia akan selalu dihadapkan pada masalah-
masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Hal tersebut
memerlukan hukum untuk memulihkan keseimbangan serta ketertiban dalam
masyarakat. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut
dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena
sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.
Notohamidjojo mendefinisikan hukum adalah sebagai keseluruhan
peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk
kelakuan manusia dalam masyarakat negara (serta antar negara) yang mengarah
kepada keadilan, demi terwujudnya tata damai, dengan tujuan memanusiakan
manusia dalam masyarakat.8 Sedangkan menurut Soedarto pidana adalah
penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu.9
W.L.G Lemaire memberikan pengertian mengenai hukum pidana itu terdiri
dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang
(oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa
hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat
juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma
yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan

8
O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, (Salatiga: Griya Media, 2011),
h.121.
9
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
2005), h.2.

11
sesuatu) dan dalam keadaaan-keadaan bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi
tindakan-tindakan tersebut.10
Dengan demikian Hukum Pidana diartikan sebagai suatu ketentuan hukum
atau undang-undang menentukan perbuatan yang dilarang atau pantang untuk
dilakukan dan ancaman sanksi terhadap pelanggaran tersebut. Banyak ahli
berpendapat bahwa Hukum Pidana menempati tempat tersendiri dalam sistem
hukum, hal ini disebabkan karena hukum pidana tidak menempatkan norma
tersendiri, akan tetapi memperkuat norma-norma di bidang hukum lain tersebut.

2. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan biasa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan
sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van
Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut :11 Hukum pidana
materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum
yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancam terhadap
perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana
seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada
kesempatan itu.
Dapat disimpulkan bahwa pidana materil berisi larangan atau perintah jika
tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil adalah aturan
hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana
materil. Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat
dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung
konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam
masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme.

10
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984),
h.1-2.
11
Leden Merpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafik, 2005), h.2.

12
Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat, tetapi agar pelaku
kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan
serupa. Terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksud sebagai
upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku
kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa.
Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat
beberapa tahap perencanaan sebagai berikut :
a. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang.
b. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang.
c. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

3. Jenis-jenis Teori Pemidanaan


Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan
masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri
yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam
dunia ilmu hukum pidana itu sendiri berkembang beberapa teori tentang tujuan
pemidanaan, yaitu teori absolut (retributive), teori relatif (deterrence/utilitarian),
teoripenggabungan (integrative), teori treatment dan teori perlindungan sosial
(social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek
sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.
a. Teori Absolut
Teori ini juga dikenal dengan teori mutlak ataupun teori imbalan dan teori
ini lahir pada akhir abad ke-18. Menurut teori-teori absolut ini, setiap kejahatan
harus diikuti dengan pidana tidak boleh tidak tanpa tawar-menawar. Seseorang
mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Maka pemberian pidana
disini ditujukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang telah melakukan
kejahatan. Ada banyak filosof dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori
ini, diantaranya ialah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, JJ Rousseau.
Dari banyak pendapat ahli tersebut penulis tertarik dengan pendapat yang
disampaikan Hegel mengenai argumennya terhadap hukuman bila dikolerasikan
dengan teori absolut. Dimana hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga

13
hukuman merupakan dialectische vergelding. Jadi, dalam teori ini pidana dapat
disimpulkan sebagai bentuk pembalasan diberikan oleh negara yang bertujuan
menderitakan penjahat akibat perbuatannya.12 Tujuan pemidanaan sebagai
pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang, yang
dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah
dilakukan.
b. Teori Relatif
Pada penganut teori ini memandang sebagaimana sesuatu yang dapat
digunakan untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang
bersalah maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi
dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan
dunia tempat yang lebih baik.13Teori berprinsip penjatuhan pidana guna
menyelenggarakan tertib masyarakat yang bertujuan membentuk suatu prevensi
kejahatan.
Wujud pidana ini terlalu berbeda-beda menakutkan, memperbaiki, atau
membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum
menghendaki agar oang-orang pada umumnya tidak melakukan delik. Andi
Hamzah menegaskan bahwa :14 “Teori ini dibedakan menjadi prevensi khusus.
Prevensi umum, menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan
tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditunjukan kepada
pribadi pelaku tindak pidana agar tidak lagi mengulangi perbuatan yang
dilakukannya.”
Van Hamel dalam hal ini juga berpendapat bahwa :15 “Prevensi khusus dari
suatu pidana ialah harus memuat suatu unsur menakutkannya supaya mencegah
pelaku tindak pidana yang mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat
buruknya, dan pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.” Teori
relatif ini bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus

12
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), h. 47.
13
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 2002),
14
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,
Pradnya Paramita, 1986, h. 34.
15
Djoko Prakoso, Hukum Penintesier di Indonesia, (Yogyakarta : liberty, 2010), h. 47.

14
dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang
berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib
masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana.
c. Teori Gabungan
Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan
teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum
masyarakat. Dalam teori ini, unsur pembalasan maupun pertahanan tertib hukum
masyarakat tidaklah dapat diabaikan antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori tersebut
ke dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan menjadikan 3 bentuk yaitu,
teori gabungan yang menitik beratkan unsur pembalasan, teori gabungan teori
gabungan yang menitik beratkan pertahanan tertib masyarakat, dan teori
gabungan yang memposisikan seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib
masyarakat.
Satochid Kartanegara menyatakan :16 “Teori ini sebagai reaksi dari teori
sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari
tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah
terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan , akan tetapi
disamping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari
pada hukum.”

4. Unsur-unsur Tindak Pidana


Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua
sudut pandang, yakni : dari sudut teoritis berdasarkan pendapat para ahli hukum
yang tercemin pada bunyi rumusannya dan sudut undang-undang kenyataan
tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang ada. Adanya perbuatan pidana menurut
Moeljatno harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

16
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai (Jakarta : Balai Lektur
Mahasiswa), 1998, h. 56.

15
a. Perbuatan
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Menurut R. Tresna, merumuskan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana harus
memuat hal-hal seperti :
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan manusia.
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Diadakan tindakan hukuman.17
Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat
pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti
dengan penghukuman (pemidanaan), hal ini berbeda dengan apa yang
disampaikan oleh Moeljatno yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan pidana
itu tidak selalu harus dijatuhi pidana. Sedangkan dalam buku II KUHP memuat
rumusan-rumusan tentang tindak pidana yang termasuk kategori kelompok
kejahatan, dan buku III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu
disebutkan dalam setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laku atau perbuatan
walaupun ada pengecualian seperti pasal (penganiyaan).
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu dapat
diketahui adanya 11 (sebelas) unsur tindak pidana, yaitu : adanya unsur tingkah
laku, melawan hukum, kesalahan, akibat konstitutif, keadaan yang menyertai,
dapatnya dituntut pidana, memperberat pidana, dapat dipidananya seseorang
karena tindakannya, objek hukum tindak pidana, kausalitas subjek hukum tindak
pidana dan unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.
Leden Marpaung, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana terdiri dari
unsur subjektif dan unsur objektif dengan uraian sebagai berikut :
a. Unsur Subjektif
Adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum
pidana menyatakan “tidak ada hukuman tanpa kesalahan” (an act does
not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non fecit

17
R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Tiara, 1990), h. 20.

16
reum nisi mens si rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah
kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus)
dan unsur kealpaan (schuld).
b. Unsur Objektif
Merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri dari :
1) Perbuatan manusia:
a) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan posesif
b) Omissions, yakni perbuatan pasif atau perbuatan
negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau
membiarkan.
2) Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak
milik, kehormatan dan sebagainya.
3) Keadaan-keadaan (circumtances)
Pada umumnya keadaan ini dibedakan antara lain:
a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan
c) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat melawan hukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan si pelaku hukum dari hukuman. Adapaun sifat melawan hukum
adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan
larangan atau perintah. Semua unsur delik diatas merupakan satu kesatuan. Salah
satu unsur saja tidak terbukti, maka bisa menyebabkan terdakwa bebas dari
pengadilan.18

18
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 9.

17
B. Narkotika
1. Pengertian Narkotika
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis
maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan.19
Dari pengertian narkotika tersebut hal yang sama dengan psikotropika
adalah bentuknya sama-sama berupa zat atau obat yang alamiah maupun sintesis.
Perbedaannya pada psikotropika pada narkotika ada yang berasal dari tanaman,
sedangkan dalam pengertian psikotropika tidak disebutkan demikian.
Pada psikotropika pengaruhnya tertuju kepada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental pelaku. Sedangkan pada
narkotika dapat menyebabkan penurunan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri. Baik narkotika maupun psikotropika sama-
sama menimbulkan ketergantungan.20
Berdasarkan UU No. 22 tahun 1997 Narkotika dibedakan kedalam
golongan-golongan narkotika sebagaimana sebagaimana berikut :
a. Narkotika Golongan I, narkotika golongan ini disebut dengan narkotika
alami yang merupakan zat dan obat yang langsung bisa dipakai sebagai
narkotika tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya
terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses
sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk
terapi pengobatan secara langsung karena beresiko yang terdiri dari :
- Tanaman Papaver Somniferum L.kokain/kokaina Heroin.
- Morphine (Putaw)
- Ganja

19
UU RI No. 35 Tahun 2009 Pasal 1 Angka 1 Tentang Narkotika
20
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia. (Jakarta : Jambatan, 2007), h.159.

18
b. Narkotika Golongan II, narkotika golongan ini disebut narkotika seni
sintesisa yaitu zat atau obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstrasi
dan lain sebagainya, seperti: Alfasetilmetadol, Benzeetiidin, Betametadol.
c. Narkotika Golongan III, narkotika sintetik jenis ini memerlukan proses
yang bersifat untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa
sakit, seperti : Metadon, Neltrexon, dan sebagainya.
2. Jenis-jenis narkotika
Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan menjadi 3
jenis yaitu narkotika alami, narkotika semisintesis, dan narkotika sintesis.
Narkotika alami adalah narkotika yang zata adiktifnya diambil dari tumbuh-
tumbuhan (alam) seperti : ganja, hasis, koka, opium. Narkotika semisintetis
adalah narkotika alami yang diolah dan menjadi zat adiktifnya (intisarinya)
agar memiliki khasiat yang lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan kedokteran, seperti : Morfin, Kodein, Heroin, Kokain,
Adapun narkotika sintesis adalah narkotika palsu yang dibuat dari
bahan kimia. Narkotika ini digunakan untuk pembiusan dan pengobatan bagi
orang yang menderita ketergantungan narkoba (subtitusi), seperti : Petidin,
Methadon, Naltrexone.

3. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika


Tindak pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai
Pasal 130 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam
Undang - Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya
adalah kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua
tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan.
Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu
pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan
tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang

19
ditimbulkan dari pemakaian narkotika tidak sah sangat membahayakan bagi
jiwa manusia.21
Sementara itu penyalahgunaan Narkotika merupakan suatu tindak
kejahatan dan pelanggaran yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun
jiwa si pemakai dan juga terhadap masyarakat di sekitar secara sosial, maka
dengan pendekatan teoritis, penyebab dari penyalahgunaan narkotika adalah
merupakan delik materil, sedangkan perbuatannya untuk dituntut
pertanggungjawaban pelaku, merupakan delik formil.
4. Fakta Yang Menyebabkan Anggota Militer Menggunakan Narkotika
Fakta memang sudah mengatakan bahwa banyak orang pada zaman
ini sudah terlibat kasus narkotika bahkan bukan masyarakat umum bahkan
anggota militer pernah terlibat kasus tersebut. Inilah ada berapa-berapa faktor
yang menyebabkan terjadi penyalahgunaan narkotika di kalangan militer :
a. Faktor pribadi adalah mental yang lemah yang menyebabkan goyah
dan mudah terpengaruh ajakam keburukan. Mental yang sepertinya
selalu merasa sendiri dan terasingkan, tidak memiliki tanggung jawab
kurang mampu bergaul dengan baik, dan lain.
b. Faktor keluarga adalah kurang perhatian terhadap orang tua pada anak
ini juga salah satu penyebabkan dari faktor keluarga, orang tua terlalu
sibuk bekerja atau bahkan kurang peduli dengan pendidikan dan
moral anak.
c. Faktor sosial adalah salah bergaul jika remaja memiliki teman buruk
maka ia akan terjerat dalam jarring-jaring keburukan mereka bahkan
untuk masalah narkoba.
d. Faktor kelompok adalah sebenarnya masih terkait dengan faktor
penyebab dari segi sosial.
e. Faktor ekonomi adalah kemiskinan atau kesusahan masalah finansial
yang terjadi di keluarga dan di sekitar kita.22

21
Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, (Jakarta: Djambatan, Jakarta, 2001), h.5.
22
www.pelangiblog.com. Diakses pada tanggal 24 oktober 2016 pukul 18.25 WITA.

20
C. Militer
1. Pengertian Tentara Nasional Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia tujuan pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas
melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan
negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan
bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain
perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional
dan internasional.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, jati diri TNI, yaitu:
a) Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga
Negara Indonesia.
b) Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam
melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya.
c) Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas
demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan
golongan agama.
d) Tentara Profesional, yaitu tentara yang berlatih, terdidik, diperlengkapi
secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin
kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik yang menganut
prinsip demokrasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional,
dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

2. Hukum Disiplin Militer


Menurut Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang tentang Hukum Disiplin
Prajurit ABRI menyatakan bahwa “Untuk menegakkan tata kehidupan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, setiap prajurit dalam menunaikan
tugas dan kewajibannya wajib bersikap dan berlaku disiplin”. Disiplin bagi
seorang anggota militer atau seorang Prajurit TNI merupakan suatu

21
keharusan dan pola hidup yang harus dijalani. Pembentukan disiplin bagi
Prajurit diawali dari masa pendidikan dasar keprajuritan. Pembinaan dan
pengasuhan merupakan salah satu cara pembentukan disiplin bagi prajurit.
Pola pembinaan diberikan melalui intensitas kegiatan disertai doktrin bagi
anggota TNI. Disiplin pada hakikatnya merupakan :23
a. Suatu ketaatan yang dilandasi oleh kesadaran lahir dan
bathin atas pengabdian pada nusa dan bangsa serta
merupakan perwujudan pengendalian diri untuk tidak
melanggar perintah kedinasan dan tata kehidupan prajurit.
b. Sikap mental setiap prajurit yang bermuara pada
terjaminnya kesatuan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak
sebagai perwujudan nilai-nilai Sapta Marga dan Sumpah
Prajurit. Oleh karena itu disiplin prajurit menjadi syarat
mutlak dalam kehidupan prajurit Angkatan Perang
Republik Indonesia dan diwujudkan dalam penyerahan
seluruh jiwa raga dalam menjalankan tugasnya berdasarkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta kesadaran pengabdian bagi nusa dan bangsa.
c. Ciri khas prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia
dalam melakukan tugasnya, karena itu disiplin prajurit
harus menyatu dalam diri setiap prajurit dan diwujudkan
pada setiap tindakan nyata.
Disiplin bukan merupakan persoalan yang dimonopoli
suatu golongan atau instansi, bukan persoalan khusus Perwira,
Bintara dan Tamtama saja, melainkan merupakan persoalan dari
setiap pribadi . Dalam kehidupan militer, disiplin harus dengan
penuh keyakinan, patuh dan taat, loyal kepada atasan dengan
berpegang teguh kepada sendi-sendi yang sudah dinyatakan dalam
Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

23
Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2006), h. 22.

22
Dari pernyataan keluar (outward manifestation) harus
terlihat:
a) Marga dan Sumpah Prajurit. Dari pernyataan keluar (outward
manifestation) harus terlihat.
b) Kebersihan dan kerapihan dalam pakaian serta perlengkapan.
c) Rasa hormat kepada atasan.
d) Kerelaan dan kecermatan di dalam melaksanakan tugas,
seperti pelaksanaan perintah kedinasan.
Karakteristik militer adalah mempunyai organisasi yang
teratur, mengenakan pakaian yang seragam, mempunyai disiplin
serta menaati hukum yang berlaku dalam peperangan. Apabila
karakteristik tersebut tidak dipenuhi, maka kelompok tersebut
tidak dapat disebut sebagai “militer”, melainkan lebih tepat
dengan “gerombolan bersenjata”.24

3. Tindak Pidana Militer


Hukum militer Indonesia merupakan bagian dari hukum
nasional. Norma-norma hukum militer Indonesia pada hakikatnya
merupakan bagian dari hukum perdata, hukum tata negara, hukum
tata usaha negara, hukum pidana dan hukum internasional yang
khusus mengenai kehidupan militer Indonesia dan TNI.25
Pidana militer dalam arti luas mencakup pengertian hukum
pidana militer dalam arti materil dan hukum pidana militer dalam
arti formil.
Hukum Pidana Materil merupakan kumpulan peraturan tindak
pidana yang berisi perintah dan larangan untuk menegakkan

24
Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer di Indonesia, cetakan kedua, (Bandung: CV.
Mandar Maju, 2004), h. 14.
25
Tambunan, Hukum Militer Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Militer, 2013), h. 49-
50.

23
ketertiban hukum dan apabila perintah dan larangan itu tidak
ditaati maka diancam pidana.26

4. Fungsi dan Tugas TNI


TNI adalah alat pertahanan negara yang berfungsi sebagai:
a. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan
ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap
kedaulatan keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
b. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman.
c. Pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang
terganggu akibat kekacauan keamanan
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan
gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Tugas pokok TNI sebagaimana dilakukan dengan operasi
militer untuk perang. Mengenai operasi militer selain perang
yaitu untuk :27
a) Mengatasi gerakan separatis bersenjata
b) Mengatasi pemberontakan bersenjata
c) Mengatasi aksi terorisme
d) Mengamankan wilayah perbatasan
e) Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis
f) Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan
kebijakan politik luar negeri
g) Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta
keluarganya

26
Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, h.26.
27
http://www.tni.mil.id/pages-2-peran-fungsi-dan-tugas.html / website resmi TNI

24
h) Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan
pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan
semesta
i) Membantu tugas pemerintah di daerah
j) Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam
undang-undang
k) Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala
negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada
di Indonesia
l) Membantu menanggulangi akibat bencana alam,
pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan
m) Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan
(search and rescue)
n) Membantu pemerintahan dan penanganan pelayaran dan
penerbangan terhadap pembajakan, perampokan dan
penyelundupan.

25
BAB III
KEWENANGAN PERADILAN MILITER DALAM MELAYANI
PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANGGOTA
MILITER

A. Yurisdiksi Pengadilan Militer dalam Kekuasaan Kehakiman di


Indonesia
Yurisdiksi (Jurisdiksi atau Rechtmacht) merupakan kekuasaan
memeriksa atau mengadili dan Yustiabel (Justisiabel) adalah orang-orang
yang tunduk atau ditundukkan pada kekuasaan suatu badan peradilan
tertentu sebenarnya termasuk bidang hukum acara pidana dalam arti luas.
Mempelajari yurisdiksi suatu badan peradilan juga berarti sekaligus
mempelajari yustisiabel dari badan peradilan tersebut. Pemisahan
penguraian kedua tersebut, karena yang erat hubungannya dengan hukum
pidana material (dalam subjek sebagai unsur dari suatu tindak pidana) adalah
yustiabel.28
Ide dasar yang melatar belakangi adanya perlakuan khusus bagi
anggota militer dilandasi oleh beberapa pokok pemikiran:29
1. Adanya tugas khusus menjadi tanggung jawab anggota militer
dalam suatu negara dan kekhususan-kekhususan yang melekat
dalam kehidupan militer.
2. Kecenderungan dunia internasional uamh memasukkan hukum
pidana militer sebagai bagian dari tata hukum negara yang
bersangkutan
3. Hukum pidana militer merupakan hukum pidana khusus yang telah
dikenal dan diakui dalam lapangan hukum pidana.
Setiap anggota TNI harus tunduk dan taat terhadap ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer (KUHPM), Undang-Undang Peradilan Militer

SR Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia (Jakarta : Alumni AHM-PTHM, TT), h. 21.
29
SR Sianturi, Hukum Pidana Militer Indonesia, h.127.

26
(UUPM), Kitab Undang-Undang Disiplin Militer (KUHDPM), Peraturan
Disiplin Militer (PDM) dan peraturan-petaruran lainnya yang berlaku
dengan militer. Meskipun demikian, tunduknya warga militer kepada satu
KUHP tidaklah serta merta dapat dikatakan adanya dualism hukum.30
Peradilan Militer sebagai pelaksana kehakiman dalam menjalankan
tugas dan fungsinya (memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu
perkara) untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan
pertahanan dan keamanan negara (kepentingan militer atau military dan
nesecessity dan national interest atau kepentingan bangsa dan negara).
Yurisdiksi badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer
mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh :
1. Militer
2. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan militer
3. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai militer berdasarkan undang-
undang
4. Seseorang yang termasuk dalam perkara koneksitas
5. Sengketa Tata Usaha Militer
6. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana
yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan
sebagai akibat yang ditumbulkan oleh tindak pidana yang menjadi
dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut
dalam satu putusan
7. Sengketa kewenangan mengadili di lingkungan Peradilan Militer
8. Memutus pada tingkat pertama dan terakhir perbedaan pendapat
antara Perwira Penyerah Perkara (PAPERA) dan Oditur tentang
diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum serta pengadilan militer pertempuran.

30
Erdianto, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Pekanbaru: Alaf Riau, 2010), h.23.

27
Pengaturan kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam BAB
Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24
Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 :
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Pengertian kekuasaan kehakiman tersebut dijelaskan dalam ketentuan
umum Pasal 1 Angka 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang selengkapnya berbunyi seperti : “Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.”
Kemudian kedudukan Peradilan Militer sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 selengkapnya berbunyi : “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Peradilan Militer, kedudukan
Peradilan Militer merupakan salah satu badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan
keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan
keamanan negara. Susunan dan kekuasaan serta hukum acaranya termasuk
pengkhususannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer) dilaksanakan sebagai :

a. Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang terdiri dari :

28
1. Pengadilan Militer yang merupakan pengadilan tingkat
pertama untuk perkara pidana yang terdakwanya berpangkat
kapten ke bawah (Pasal 40 Undang-Undang Peradilan Militer).
2. Pengadilan Militer Tinggi yang merupakan :
a) Pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana yang
diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer.
b) Pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana yang
terdakwanya atau salah satu terdakwanya berpangkat
mayor ke atas. Dan gugatan sengketa Tata Usaha
Militer.
c) Kewenangan pada tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan
Militer dalam daerah hukumnya.
3. Pengadilan Militer Utama merupakan:
a. Pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana dan
sengketa Tata Usaha Militer yang diputus pada tingkat
pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi.
b. Memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua
sengketa tentang wewenang mengadili:
1. Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di
daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang
berlainan.
2. Antar Pengadilan Militer Tinggi dan
3. Antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan
Militer
4. Sengketa sebagaimana dimaksud pada Angka 1, 2 dan
3 terjadi.
a. Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan
dirinya berwenang mengadili atas perkara yang
sama.

29
b. Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan
dirinya tidak berwenang mengadili atau lebih
menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili
perkara yang sama.
c. Memutus pada tingkat pertama dan terakhir
perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah
Perkara (Papera) dan Oditur tentang diajukan atau
tidaknya suatu perkara kepada Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum.
b. Pengadilan Militer Pertempuran
Merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam mengadili
perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit atau yang dipersamakan di
daerah pertempuran, bersifat ,obil mengikuti gerakan pasukan dan
berkedudukan serta di daerah pertempuran. Pengadilan ini berfungsi
pada saat seluruh atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia
dalam keadaan begitu gawatnya (bahaya/darurat) sehingga
mengakibatkan badan-badan peradilan militer yang sudah ada termasuk
badan peradilan umum lainnya sudah tidak dapat berfungsi lagi. Dalam
masa keadaan darurat (etat de siege, state of emergency, state of
exception), ada dua kemungkinan yang terkait dengan peranan badan
peradilan. Pertama, badan-badan peradilan sipil yang ada dapat tetap
dan terus menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya sebagaimana
biasa. Kedua, badan-badan peradilan sipil tersebut tidak dapat lagi
menjalankan tugas konstitusionalnya. Dalam keadaan darurat militer
atau darurat perang (state of war), pengadilan militer dapat diberi
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara

30
diantaranya yang berhubungan dengan subjek-subjek hukum yang tidak
terbatas kepada anggota militer saja, melainkan juga warga sipil.31

B. Kewenangan Peradilan Militer dalam Menangani Penyalahgunaan


Narkotika menurut KUHPM
Setiap perbuatan atau tindakan TNI yang melanggar hukum, disiplin, tata
tertib yang dapat menurunkan martabat dan kewibawaan serta dapat pula
mneimbulkan keresahan dalam masyarakat perlu dengan cepat diambil
tindakan hukum. Bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana diproses di
peradilan tersendiri di luar peradilan umum yaitu, diproses di Peradilan Militer
yang tercantum dalam Pasal 5 ayat 1 pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer bahwa selanjutnya disebut Undang-Undang
Peradilan Militer. Peradilan Militer merupakan pelaksanaaan kekuasaan
kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata, untuk menegakkan hukum dan
dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan
negara. Oleh karena itu setiap personil militer harus tunduk dan taat kepada
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer, yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan peraturan lainnya.32
Hukum pidana militer adalah hukum pidana khusus, disebut khusus karena
untuk membedakannya dengan pidana umum yang berlaku disetiap orang. Hal
imi dikenal dengan asas hukum Lex Specialist Derogat Legi Generale yang
mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus mengesampingkan
aturan yang umum. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)
tidak mengatur secara tegas mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika,
namun menurut hakim Pengadilan Militer penggunaan peraturan perundang-
undangan di luar KUHP untuk memutus perkara Narkotika berdasarkan Pasal

31
Binsar Gultom, Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia.
Mengapa Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia Kurang Efektif?, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2010) Hal.141-142.
32
Salamat Rijal, Penjatuhan Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan
Oleh Anggota TNI di Pengadilan Militer 1-03 Padang (Analisis Putusan: No. 108 – K/PM 1-03/
AD/ XII/ 2012 Pada Pengadilan Militer 1-03 Padang), Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Bung Hatta, h.3.

31
2 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah
Republik Indonesia melakukan suatu tindak pidana dengan tidak membedakan
apakah pelakunya warga sipil ataupun seorang militer.33
Dengan demikian baik Anggota militer maupun masyarakat biasa mendapat
perlakuan sama di depan hukum. Yaitu mendapatkan sanksi pidana apabila
melakukan perbuatan pidana. Mayarakat biasa akan dikenai sanksi pidana yang
tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan
Anggota Militer mendapatkan sanksi pidana yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Militer, baik dalam proses penangkapan, penyidikan,
penyelidikan dan peradilannya telah diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Sesuai dengan Pasal 6 KUHPM, terhadap anggota militer yang melakukan
tindak pidana selain dijatuhi pidana pokok juga dapat dijatuhi pidana tambahan.
Jenis pidana tambahan tersebut adalah pemecatan dari dinas militer, penurunan
pangkat dan pencabutan hak-hak tertentu. Untuk pidana tambahan yang berupa
pemecatan dari dinas militer dan penurunan pangkat tentunya tidak diatur
dalam hukum pidana umum. Kedua jenis pidana tambahan ini adalah murni
bersifat kemiliteran dan sekaligus merupakan pemberatan pemidanaan bagi
anggota militer yang melakukan tindak pidana.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Peradilan militer berwenang mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan
tindak pidana adalah:34
a. Prajurit,
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit,
c. Anggota atau suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau yang dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-
undang,

33
Ardyanto Imam W dkk,Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika yang dilakukan oleh anggota TNI, (Jurnal Serambi Hukum Vol. 08 No. 02 Agustus 2014),
h 9.
34
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5b0ec99963f8e/pengadilan-yang berwenang-
mengadili-perkara-tipikor-oleh-anggota-militer, diakses pada tanggal 4 Juli 2018

32
d. Seseorang yang tidak masuk golongan huruf a, b dan c akan tetapi atas
keputusan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(Panglima) dengan persetujuan Menteri Kehakiman (sekarang Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia) harus diadili oleh suatu Pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
Dalam Pasal 1 Angka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
Tentang Peradilan Militer mengenai Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat
yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara
dengan manyandang senjata, rela berkorban jiwa raga dan berperan serta
dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
Adapun Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 31 Tentang
Peradilan Militer, dalam menyelesaikan kasus pidana Narkotika yang
dilakukan oleh anggotanya, berwenang untuk melakukan penyidikan, dan
penuntutan, Penyidikan merupakan seangkaian tindakan Penyidik Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dalam hal menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer untuk
mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidik yang berhak menyidik dalam peradilan militer adalah:35
1. Atasan yang berhak menghukum
Adalah atasang langsung yang mempunyai wewenang untuk
menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Polisi Militer
3. Oditur
Adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak
bagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau

35
Lihat Pasal 69 Ayat (1) jo. Pasal 1Angka 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer.

33
penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara
pidana. Sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan
UndanUndang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer.
Oditurat ini merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintah
negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan
Angkatan Bersenjata. Sedangkan yang melakukan penyidikan
adalah Atasa yang Berhak Menghukum, Polisi dan Oditur. 36
Adapun kewenangan penyidik adalah:37
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak
pidana
b. Melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian
c. Mencari keterangan barang bukti
d. Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai Tersangka
dan memeriksa tanda pengenalnya.
e. Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaaan, dan
pemeriksaan surta-surat
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
g. Memanggil seseorang untuk didengar atau duperiksa sebagai
Tersangkaa atau Saksi
h. Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan
seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara dan
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Pasal 71 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan militer juga menjelaskan terkait kewenangan Penyidik

36
Lihat Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradiln Militer
37
Lihat Pasal 71 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer

34
Peradilan Militer yaitu, melaksanakan perintah atasan yang berhak
menghukum untuk melakukan penahanan Tersangka dan
melaporkan hasil pelaksanaan penyidik kepada Atasan yang berhak
menghukum.

C. Perbedaan Sanksi Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
(KUHPM)
Perbandingan KUHP dengan KUHPM dapat dilihat pada segi
penjatuhan pidana pada Pasal 10 KUHP dan Pasal 6 KUHPM yaitu
sebagai berikut :
e) Pada hukuman pokok yang diatur didalam KUHP pada butir
4 terdapat hukuman denda, sedangkan didalam Pasal 6
KUHPM tidak terdapat tentang hukuman denda tersebut,
bukan berarti terhadap militer tidak dapat dijatuhi hukuman
denda, maka bagi militer tersebut diberlakukan ketentuan
KUHP tentang denda. Kecuali dalam pertimbangan hakim si
pelanggar tidak dapat membayar denda yang dijatuhkan, maka
bagi yang bersangkutan dijatuhkan hukuman kurungan
pengganti denda sebagaimana dimaksud dalam KUHP.
f) Pada hukuman tambahan, hukuman tambahan yang
dijatuhkan khusus sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 Nomor
1 dan 2 KUHPM, hal ini merupakan ketentuan yang khas
militer (zijn van zuiver militair).
g) Cara penjatuhan hukuman pokok dengan atau tanpa hukuman
tambahan dan “hukuman tambahan tak mungkin dapat
dijatuhkan tanpa hukuman pokok”, hal ini diterapkan
sepenuhnya oleh KUHPM.
h) Hakim Militer lebih bebas untuk mempertimbangkan dalam
menjatuhkan hukuman, terutama pada butir 1 dan 2 KUHPM,
tergantung kepentingan yang ditinjau dari sudut militer.

35
Mengenai jenis sanksi pidana pokok dan pidana tambahan berdasarkan
KUHP dan KUHPM memiliki beberapa perbedaan, terhadap perbedaan
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :38

Pasal 10 KUHP : Pasal 6 KUHPM


a. Pidana Pokok : a. Pidana Pokok :
1. Pidana Mati 1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara 2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan 3. Pidana Kurungan
4. Pidana Denda 4. Pidana Tambahan ( UU
5. Pidana Tutupan No.20 Tahun 1946)
Pidana Tambahan : Pidana Tambahan :
1. Pencabutan hak-hak tertentu 1. Pemecatan dari dinas
2. Perampasan barang-barang tertentu militer dengan atau
3. Pengumuman putusan hakim tanpa pencabutan
haknya untuk memasuki
Angkatan Bersenjata
2. Penurunan pangkat
3. Pencabutan hak-hak yang
disebutkan pada Pasal
35 ayat (1) nomor 1,2,
dan 3 KUHP

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dalam sanksi pidana


berdasarkan KUHP dan KUHPM memiliki beberapa perbedaan terutama pidana
tambahan.

38
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12601/BAB%20III.pdf?sequence
=5&isAllowed=y. repository.umy.ac.id. Diakses 12 april 2016

36
D. Prosedur Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika Oleh Anggota Militer
Prosedur dalam penyelesaian perkara, militer memiliki tahapan yang
sama dengan umum, yaitu meliputi tahap penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di depan Pengadilan dan yang terakhir adalah tahap eksekusi. 39
Proses pemeriksaan perkara tindak pidana penyalahgunaan Narkotika oleh
Anggota Militer adalah:
1. Penyidik mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana,
wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.
2. Jika yang menerima laporan atau pengaduan adalah atasan yang berhak
menghukum, ia segera menyerahkan pelaksanaan penyidikan kepada
Polisi Militer dan Oditur untuk melakukan penyidikan, Jika yang
mengetahui, menerima laporan atau pengaduan adalah polisi militer
dan oditur maka mereka wajib melakukan penyidikan dan segera
melaporkannya kepada Atasan yang Berhak Menghukum Tersangka
3. Penyidik sesudah selesai melakukan penyidikan wajib segera
menyerahkan berkas perkara kepada Atasan yang Behak Menghukum,
Perwira Penyerah Perkara dan berkas aslinya kepada Oditur yang
bersangkutan, perwira Penyerah Perkara dapat menghentikan
penyidikan dengan surat keputusan berdasarkan hukum dari oditur.
4. Oditur sesudah menerima hasil penyidikan dari Penyidik segera
mempelajari dan meneliti apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau
belum. Jika persyaratan formal kurang lengkap, oditur meminta
Penyidik segera melengkapinya. Apabila hasil penyidikan belum
cukup, Oditur melakukan penyidikan tambahan atau mengembalikan
berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal-hal yang
harus dilengkapi.
5. Penyerahan berkas perkara kepada Perwira Penyerah Perkara.

39
Muh. Isra Bil Ali, Penegakan Hukum Anggota Militer yang Terlibat dalam Tindak
Pidana Narkotika, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017, h.3.

37
6. Apabila Pengadilan Militer Utama memutuskan perkara tersebut harus
diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan oditur
berpendapat bahwa untuk kepentingan peradilan perkara perlu
diajukan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan apabila oditur tetap
pada pendiriannya, oditur mengajukan permohonan dengan disertai
alasan-alasannya kepada perwira Penyerah perkara tersebut, supaya
perbedaan pendapat diputuskan oleh Pengadilan Militer Utama dalam
sidang.
7. Apabila pengadilan Militer Utama memutuskan perkara tersebut harus
diajukan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, Perwira
Penyerah Berkas Perkara segera melaksanakan penyerahan perkara
tersebut sesudah menerima berkas perkara dari pengadilan militer
utama.
8. Sesudah pengadilan militer/Pengadilan Militer Tinggi menerima
pelimpahan berkas perkara dari oditur militer/oditur militer tinggi,
Kepala Pengadilan Militer/Kepala Pengadilan Militer Tiggi segera
mempelajarinya, apakah perkara itu termasuk wewenang Pengadilan
yang dipimpinnya.

38
BAB IV
TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH
ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA
(Analisis Putusan Nomor 69 K/MIL/2016)

A. Pencegahan Penyalahguna Narkotika Dalam Lingkungan Militer


Disetiap satuan TNI Angkatan Darat selalu mengadakan pembinaan
mental berupa kegiatan kerohanian atau keagamaan. Juga mengadakan
latihan-latihan fisik sehingga tidak ada pikiran untuk melakukan tindak
pidana.40 Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan
narkotika di kalangan militer :
1. Faktor pribadi, mental yang lemah sehingga menyebabkan goyah
dan mudah terpengaruh ajakan keburukan. Mental yang sepertinya
selalu merasa sendiri dan terasingkan, tidak memiliki tanggung
jawab dan mampu bergaul dengan baik.
2. Faktor keluarga, kurang perhatian terhadap orang tua pada anak ini
juga salah satu penyebab dari faktor keluarga, orang tua terlalu sibuk
bekerja atau bahkan kurang peduli dengan pendidikan moral anak.
3. Faktor sosial, salah bergaul jika remaja memiliki teman buruk maka
akan terjerat dalam jaring-jaring keburukan mereka bahkan untuk
masalah narkoba.
4. Faktor kelompok, sebenarnya masih terkait dengan faktor penyebab
dari segi sosial.
5. Faktor ekonomi, kemiskinan atau kesusahan finansial yang terjadi
di keluarga dan di sekitar kita.41
Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi
tindak pidana penyalahgunaan narkotika yaitu melakukan penyuluhan
hukum oleh Kumdam (Hukum Kodam), dan Polisi Militer di setiap satuan

40
Andi Dian Pratiwi, Peranan Polisi Militer Angkatan Darat Dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Narkotika di Lingkungan TNI AD, Skripsi, Universitas Hasanudin, 2013, h.58.
41
Aditia Purnama Tarigan, Kajian Hukum Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Oleh
Anggota Militer Menurut Undang-Undang 35 Tahun 2009, h.14.

39
khususnya Angkatan Darat guna mengetahui apabila menyalahgunakan
narkotika maka hukuman khusus diberikan yaitu pemecatan, sehingga
dengan adanya pemecatan secara tidak hormat menghindari terjadinya
penyalahgunaan narkotika oleh anggota TNI Angkatan Darat.
Secara lebih rinci pencegahan penyalahgunaan narkotika telah diatur
dalam peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 27 pasal 4
Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Nasional di Lingkungan TNI. Kegiatan
dalam Rencana Aksi di Lingkungan TNI merupakan upaya nyata dalam
rangka pencegahan, pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika di lingkungan TNI. Kegiatan tersebut meliputi :
a. Penyuluhan dan pelatihan tentang penanggulangan, pencegahan, dan
pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika, seperti contoh mengadakan seminar dan bagaimana cara
mencegah penyalahgunaan narkotika di lingkungan militer.
b. Pemeriksaan melalui screening test narkotika untuk mencegah
penggunaan narkotika pada personel TNI, seperti pemeriksaan tes
urine/ tes kesehatan secara berkala dan dadakan tanpa harus
pemeriksaan terjadwal yang diselenggarakan oleh pihak Kodim
tersebut.
c. Pelaksaan sweeping secara terus-menurus terhadap personel TNI
maupun tempat-tempat yang diduga rawan terjadi penyalahgunaan
narkotika oleh personel TNI, contoh seperti razia keliling malam ke
tempat clubbing, spa, dan tempat lainnya.
d. Sosialisasi tentang regulasi terkait dengan TNI dalam rangka
penanggulangan, pecegahan, dan pemberantasan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
e. Ikut serta dan mendukung aksi Kementrian/lembaga terkait.

40
B. Pertimbangan Hakim dan Sanksi Pidana Penyalahgunan Narkotika
Dalam Putusan 69 K/MIL/2016
1. Kronologis
a. Terdakwa Ismael menjadi anggota prajurit TNI AD pada tanggal
2005 mengikuti Secaba PK di Kokam V/Brawijaya dan setelah lulus
dilantik dengan pangkat Serda, kemudian di tahun 2006 sampai
tahun 2007 Terdakwa ditugaskan pertama kali di Yonif Linud
733/Masariku Kodam XVI/Pattimura di Ambon, selanjutnya di
tahun 2007 menjadi Staf Personel Kodam XVI/Pattimura lalu tahun
2008 sampai dengan tahun 2011 Terdakwa bertugas di Koramil
12/Palupuh Kodim 0304/Agam dengan jabatan Babinsa Koramil
12/Palupuh hingga sekarang sampai melakukan perbuatan yang
menjadi perkara ini dengan pangkat terakhir Sertu NRP.
21060152700484.
b. Pada tanggal yang Terdakwa tidak diingat lagi di bulan Januari 2013
Terdakwa Bersama Sdr. Anto pekerjaan dagang ikan di Belawan-
Medan telah mengkonsumsi/menghisap rokok Dji Sam Soe yang
tembakaunya sudah dicampur dengan dau ganja kemudian ganja
tersebut Tedakwa peroleh dari Sdr. Anto dan Terdakwa hanya
tinggal menghisap/mengkonsumsi saja Bersama Sdr. Anto.
Terdakwa Ismael menghisap/mengkonsumsi rokok Dji Sam Soe
yang sudah dicampur dengan daun ganja sebanyak tiga kali pada
pesta pernikahan di kampung Terdakwa yaitu Palembayan,
Kabupaten Agam.
c. Pada tanggal 25 Januari 2013 diadakan tes urine terhadap personil
Kodim 0304/Agam dan hasilnya terdakwa positif mengandung
ganja.
d. Pada tanggal 03 Agustus 2013 Terdakwa kembali
mengkonsumsi/menghisap Rokok Dji Sam Soe yang telah dicampur
dengan daun ganja secara bergantian dengan Sdr. Heri.

41
e. Pada tanggal 5 Agustus 2013 diadakan tes urin oleh BNN Kota
Payakumbuh dan hasilnya Terdakwa positif menggunakan ganja,
karena mengandung Zat Tetrahydrocannibanol (THC).42

2. Pertimbangan Hakim
Dalam kasus ini, perkara pada sampai tingkat kasasi. Adapun
pertimbangan Hakim Mahkamah Agung berpendapat:43
a. Bahwa Judex Facti tidak salah menerapkan hukum
b. Bahwa Judex Facti telah mempertimbangkan seluruh fakta hukum
dalam perkara in casu dan menyatakan bahwa terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
“Penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”
sebagaimana dakwaan Oditur Militer.
c. Bahwa namun khusus mengenai amar putusan dalam perkara in
casu, dalam hal pemidanaan terhadap Terdakwa dan kualifikasi
perbuatan Terdakwa dalam putusan in casu perlu diperbaiki dengan
pertimbangan sebagai berikut:
1) Bahwa sebagaimana terungkap dalam fakta hukum, dinyatakan
oleh Saksi 2 Lettu Inf. J.H Halolo, dan Unit Intel Kodim
0304/Agam, bahwa secara mendadak telah tiga kali lakukan
pemeriksaan terhadap anggota-anggota Kodim 0304/Agam,
yaitu pda tanggal 25 Januari, tanggal 5 Agustus 2013, tanggal 20
Agustus 2013, dan dari setiap hasil pemeriksaan oleh BNN Kota
Payakumbuh tersebut, Terdakwa senantiasa dinyatakan sebagai
pengguna aktif Tetrahydrocaanobinol (THC), dan dalam setiap
pemeriksaan tersebut pengguna telah diperingatkan secara keras
bahwa pengguna Narkotika beresiko besar kepada mereka
termasuk Terdakwa dan untuk tidak dulangi, akan tetapi ternyata
dalam rentang waktu yang Panjang sebagaimana hasil

42
Putusan Nomor 69 K/MIL/2016, h.2-3.
43
Putusan Nomor 69 K/MIL/2016, h.9.

42
pemeriksaan a quo, Terdakwa adalah pengguna aktif/rutin,
karena kalua bukan pengguna aktif/rutin, dalam waktu 1 minggu
endapan Narkotika tersebut telah hilang dari urine darah yang
bersangkutan, karenanya harus dinyatakan bahwa terdakwa
telah termasuk orang yang ketergantungan Narkotika ganja, dan
harus menerima resiko dari perbuatannya.
2) Bahwa bagi semua Prajurit TNI pelaku tindak pidana Narkotika,
harus dijatuhkan pidana tambahan pemberhentian dari dinas
prajurit tanpa kecuali, karena seorang mantan Terpidana
Narkotika kembali ke Kesatuan setelah menjalani pidana
penjaranya, dan tidak dipisahkan dari kehidupan mansyarakat
militer, kebedaan Mantan Terpidana Narkotika di kesatuan akan
menggoncangkan sendi-sendi ketertiban masyarakat militer dan
adanya potensi menularkan penyakit Narkotika kepada anggota-
anggota Satuan lainnya. Karenanya terhadapa Terdakwa dalam
perkara in casu, harus dipisahkan dari kehidupan mamsyarakat
militer, untuk mencegah potensi-potensi yang akan
menggoncangkan ketertiban disiplin masyarakat militer di hari
kemudian, dan selanjutnya Mahkamah Agung memperbaiki
pemidanaan terhadap Terdakwa dalam amar putusan dalam
perkara in casu.
3) Bahwa khusus mengenai kualifikasi perbuatan dalam perkara in
casu juga perlu diperbaiki, karena kalimat melakukan tindak
pidana “Penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”
adalah kalimat yang menunjuk pada pelaku tindak
pidana/orangnya dari pengguna Narkotika itu sendiri, padahal
seharusnya isi dari kualifikasi, harus mengarah kepada apa
perbuatan pelakunya, sehingga kualifikasi perbuatan menjadi
jelas maknanya atau arah atau maksudnya, karenanya kualifikasi
dalam perkara in casu harus diperbaiki menjadi melakukan

43
tindak pidana “Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri
sendiri”.

3. Amar Putusan Nomor 69 K/MIL/2016


1. Menyatakan Terdakwa yaitu : Ismael, Sertu NRP, 21060152700484,
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”.
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan :
Pidana Pokok : Penjara selama 1 (satu) tahun.
Pidana Tambahan : Dipecat dari Dinas Militer.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Menetapkan barang-barang bukti berupa 1 lembar Surat Keterangan
Badan Narkotika Nasional Indonesia Kota Payakumbuh, Jalan
Kampung Baru, Bukik Sikumpa, Kelurahan Padang Karambia,
Kecamatan Payakumbuh Selatan Nomor : B/014/VII/2013/UPT LAB
BNNK-PYK tanggal 05 Agustus 2013 telah melaksanakan Screening
Test Narkoba Badan Narkotika Nasional Kota Payakumbuh atas nama
Terdakwa Sertu Ismael NRP. 21060152700484 Anggota Kodim
0304/Agam dengan hasilnya mengandung Tetrahydrocannabinol
(THC) positif (+), yang ditanda tangani Kepala Badan Narkotika
Nasional Kota Payakumbuh AKBP Riki Yanuarfi, S.H, M.Si. NRP.
72010458.
Tetap dilekatkan dalam berkas perkara.
Membebani Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus
rupiah).

44
4. Analisis Putusan
Terdakwa Ismael menjadi anggota prajurit TNI AD pada tanggal 2005
mengikuti Secaba PK di Kokam V/Brawijaya dan setelah lulus dilantik dengan
pangkat Serda, kemudian di tahun 2006 sampai tahun 2007 Terdakwa ditugaskan
pertama kali di Yonif Linud 733/Masariku Kodam XVI/Pattimura di Ambon,
selanjutnya di tahun 2007 menjadi Staf Personel Kodam XVI/Pattimura lalu tahun
2008 sampai dengan tahun 2011 Terdakwa bertugas di Koramil 12/Palupuh Kodim
0304/Agam dengan jabatan Babinsa Koramil 12/Palupuh hingga sekarang sampai
melakukan perbuatan yang menjadi perkara ini dengan pangkat terakhir Sertu NRP.
21060152700484.
Pada tanggal yang Terdakwa tidak diingat lagi di bulan Januari 2013
Terdakwa Bersama Sdr. Anto pekerjaan dagang ikan di Belawan-Medan telah
mengkonsumsi/menghisap rokok Dji Sam Soe yang tembakaunya sudah dicampur
dengan dau ganja kemudian ganja tersebut Tedakwa peroleh dari Sdr. Anto dan
Terdakwa hanya tinggal menghisap/mengkonsumsi saja Bersama Sdr. Anto.
Terdakwa Ismael menghisap/mengkonsumsi rokok Dji Sam Soe yang sudah
dicampur dengan daun ganja sebanyak tiga kali pada pesta pernikahan di kampung
Terdakwa yaitu Palembayan, Kabupaten Agam.
Sehingga pada tanggal 5 Agustus 2013 diadakan tes urine oleh BNN Kota
Payakumbuh dan akhirnya terdakwa positif mengandung Zat
Tetrahydrocannibanol jenis ganja. Hal tersebut menyatakan terdakwa terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penyalahgunaan
Narkotika Golongan I bagi diri sendiri” sehingga menjatuhkan pidana kepada
terdakwa dengan pidana pokok penjara 1 tahun dan pidana tambahan dipecat dari
dinas militer.
Menurut Penulis, Terpidana Ismael seharusnya tidak hanya mendapatkan
pidana pokok penjara 1 (satu) tahun dan pidana tambahan dipecat dari Dinas
Militer, tetapi mendapatkan rehabilitasi baik medis maupun sosial sebagaimana
Pasal 127 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Karena selama ini aparat hukum memandang Undang-Undang Narkotika

45
berorientasi pada pemenjaraan bagi pengguna/pecandu narkotika, sehingga sama
sepertinya pengedar.
Pada Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11
Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka/Terdakwa Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi
mengatur bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang
tanpa hak dan melawan hukum sebagai tersangka atau terdakwa dalam
penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan,
dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan, dan pemulihan
dalam lembaga rehabilitasi.
Adapun penentuan direhabilitasi atau tidaknya melalui putusan pengadilan,
hal ini sudah di atur dalam Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal
penyalahgunaan dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
narkotika, penyalahgunaan tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Mengenai faktor-faktor yang secara signifikan yang dapat
mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan rehabilitasi adalah surat
keterangan medis, surat keterangan kejiwaan dari dokter jiwa/psikiater dan
keberadaan ahli.
Namun meski dalam proses peradilan pidana, baik itu penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan sidang di pengadilan tanpa menunggu putusan hakim
terlebih dahulu, jaksa penuntut umum, atau hakim biasa saja meminta assessment
terhadap terdakwa sebelum ditempatkan di lembaga rehabilitasi. Mengenai syarat
assessment rehabilitasi dengan catatan tersangka/terdakwa memang pengguna,
barang bukti yang didapat memenuhi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2010 tentang barang bukti yang memenuhi seperti narkotika jenis ganja
dibawah 5 gram. Maka dari itu seharusnya terpidana juga mendapatkan rehabilitasi
karena sudah memenuhi syarat.
Ditinjau dari segi Hukum Pidana Islam narkotika menurut penulis tidak
dijelaskan langsung di dalam Nash, baik Al-qur’an maupun Hadist. Narkotika
dalam Bahasa Arab yaitu Al-Mukhaddirat (sesuatu yang terselubung, kegelapan,

46
kelemahan), al-aqaqir , dan hasyisy.44 Narkotika mengacu pada khamr, yaitu
sifatnya yang sama-sama memabukkan. Khamr dan Narkotika ini sama-sama
memabukkan, sehingga merusak otak. Artinya menjadi rusaknya salah satu tujuan
syariat atau maqashid al-syariah yaitu menjaga akal. Sehingga Narkotika
diqiyaskan dengan Khamr karena sifatnya yang sama, memabukkan.
Zat yang memabukkan tidak hanya sebatas pada khamr, benda cair tetapi juga
termasuk benda padat.45 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa
menyalahgunakan pemakain al-mikhaddirat (macam-macam obat bius) hukumnya
haram, karena membawa madharat yang mengakibatkan rusak mental fisiknya
seseorang.
Allah berfirman:
‫علَي ِْه ُم ا ْل َخبَا ئِ َث‬ ِ ‫َو يُ ِح ُّل لَ ُه ُم ال َّطيِ َبا‬
َ ‫ت َو يُح َِر ُم‬

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk” (QS. Al A’rof: 157).

‫َوالَ ت ُ ْلقُوا ِبأ َ ْيدِي ُك ْم إِلَى الت َّ ْهلُ َك ِة‬


“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al
Baqarah: 195).

‫حد ثنا سعيد بن منصورحد ثتا أبو شها ب عبد ربه بن نا فع عن الحسن بن عمرو الفقيمي عن الحكم بن‬
‫عتيبة عن شحربن حوشب عن أم سلمة قا لت نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن كل مسكرومنفتر‬
)‫(روه أبو داود‬
Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Manshur, telah menceritakan kepada
kami Abu Syihab Abdu Rabbih bin Nafi’ dari Hasan bin Amr Al Fuqaymi dari Al-
Hakam bin Utaibah dari Syahr bin Hausyab dari Ummu Salamah dia berkata
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala yang memabukkan
dan mufattir (yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud dan Ahmad)46. Syaikh Al

44
Almunawwir dalam Acep Saifullah, Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif: Sebuah Studi Perbandingan, Al’adalah Vol. XI, No. 1 Januari 2013, h. 48.
45
H. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta Sinar Grafika, 2007), h.79.
46
Sulaiman bin Asy’ats bin Ishaq bin Basyir Al Alazdy Assijsatani, Sunan Abu Daud,
(Maktabah Shamila) No.3686 h.309.

47
Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if). Jika khomr itu haram, maka demikian
pula dengan mufattir atau narkoba.
Dengan sanksi pidana penyalahgunaan narkotika menurut pidana Islam
bertujuan untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok atau yang biasa
disebut sebagai Maqashid Syariah atau tujuan agama, yaitu menjaga agama, dan
akal.47Narkotika merupakan jarimah ta’zir, hukumannya diserahkan kepada
penguasa atau ulil amri yang diwakilkan oleh hakim. Unsur penting dalam hukum
pidana islam adalah perbuatan melawan hukum yang dikenal dengan uqubah.48
Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang tentang keburukan benda-benda yang
memabukkan, termasuk dalam hal ini narkotika, orang-orang yang memakainya ,
orang yang dimurkai oleh Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin. Benda-benda
tersebut mengandung keburukan bagi agama, akal, moral dan watak pelakunya.
Benda memabukkan juga merusak watak, sehingga timbul manusia-manusia
menjadi tidak waras akalnya dan rendah budi serta bermacam-macam penyakit
akhlaknya.49
Ulama fiqih telah sepakat bahwa menghukum pemakai Narkotika adalah wajib,
dan hukumannya berbentuk deraan. Ulama hanya berbeda pendapat tentang jumlah
deraan. Penganut Madzab Hanafi dan Maliki mengatakan 80 kali dera, sedangkan
Imam Syafi’I menyatakan 40 kali dera.50 Dalam konteks Putusan Nomor 69
K/MIL/2016, penulis berpendapat Terdakwa mendapat sanksi dera 80 kali. Karena
Terdakwa tidak hanya menyalahgunakan Narkotika, tetepi pekerjaannya sebagai
anggota militer yang seharusnya memberikan contoh baik kepada masyarakat,
menjadi salah satu alasan memperberat hukumannya.

47
Satria Effendi M. Zaein, Kejahatan Terhadap Harta dalam Perspektif Hukum Pidana
Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.107
48
Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukum dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Mizan, 1997),
h.91.
49
Ibnu Timiyah dalam Hamzah Hasan, Ancaman Pidana Islam Terhadap Penyalahgunaan
Narkotika, al-daulah Vol. 1 No. 1, Desember 2012, h.152-153.
50
Hamzah Hasan, Ancaman Pidana Islam, h.153.

48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan pada materi sebelumnya,maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Adapun pencegahan penyalahgunaan narkotika di lingkungan militer
seperti mengadakan penyuluhan cara-cara mencegahnya, melakukan
Razia dadakan di malam hari, melakukan penyuluhan hukum oleh
Kumdam (Hukum Kodam), dan Polisi Militer di setiap satuan khususnya
Angkatan Darat, serta pemeriksaan melalui screening test narkotika.
2. Dalam putusan nomor 69K/MIL/2016 Ismael telah terbukti secara sah
melakukan tindak pidana “Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi
diri sendiri” sehingga hakim memutuskan menjatuhkan pidana kepada
terdakwa Ismael dengan pidana pokok penjara 1 tahun dan pidana
tambahan dipecat dari dinas militer. Pertimbangan hakim dalam
memutuskan telah sesuai dengan ketentuan pasal 127 ayat 1 huruf a
Undang-Undang nomor 35 tentang narkotika.

B. Saran
1. Saran penulis agar anggota militer yang terlibat pada kasus narkotika
akan dihukum dengan ketentuan hukum yang berlaku. Karena siapapun
menggunakan narkotika baik pun anggota militer maupun warga sipil
akan tetap dihukum.
2. Untuk Polisi Militer selalu mengadakan operasi aktif atau razia yang
digelar secara mendadak sehingga lebih banyak menemukan orang yang
melakukannya dibanding operasi aktif atau razia yang telah dijadwalkan
sebelumnya.
3. Adapun bahwa agar anggota militer jangan pernah terlibat dengan hal-
hal negatif seperti narkotika, karena mereka adalah aparat hukum.
Apalagi mereka sudah memberikan

49
DAFTAR PUSTAKA

Almunawwir dalam Saifullah, Acep, Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif: Sebuah Studi Perbandingan, Al’adalah Vol. XI, No. 1
Januari 2013.

Ali, H. Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Erdianto, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pekanbaru: Alaf Riau, 2010.

Faisal Salam, Moch, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Bandung: CV. Mandar
Maju, 2006.

Faisal Salam, Moch, Peradilan Militer di Indonesia, cetakan kedua, Bandung: CV.
Mandar Maju, 2004.

Gultom, Binsar, Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia.


Mengapa Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia Kurang Efektif, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke


Reformasi, Pradnya Paramita, 1986.

Hosen, Ibrahim,Jenis-Jenis Hukum dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Mizan,


1997.

Ibnu Timiyah dalam Hamzah Hasan, Ancaman Pidana Islam Terhadap


Penyalahgunaan Narkotika, al-daulah Vol. 1 No. 1, Desember 2012.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa,


Jakarta, 1998.

50
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State (New York: Russel and Russel,
1971), diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum
dan Negara, Bandung: Nusa Media, 2011.

Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,


1984.

Merpaung, Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafik, 2005.

Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 2005.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 2002.

M. Zaein, Effendi, Satria, Kejahatan Terhadap Harta dalam Perspektif Hukum


Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan tantangan, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001.

Notohamidjojo, O, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011.

Prakoso, Djoko, Hukum Penitensier di Indonesia,Yogyakarta: Liberty, 1988.

Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis Karakteristik dan keunggulan, Jakarta:


Grasindo,2010.

Renggong, Ruslan, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP,


Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2016.

Soekanto, Soerjono, Penelitian hukum, Raja Grafindo Persada, 2011.

51
Sianturi, SR, Hukum Pidana Militer di Indonesia ,Jakarta : Alumni AHM-PTHM,
TT.

Suhadi, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang


Militer dan Bela Negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional Tentang
Hukum Militer dan Bela Negara, Jakarta,1996.

Supramono, Gatot, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta : Jambatan, 2007.

Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Jakarta: Djambatan Jakarta, 2001.

Tambunan, Hukum Militer Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Militer, 2013.

Tarigan, Purnama, Aditia, Kajian Hukum Terhadap Penyalahgunaan Narkotika


Oleh Anggota Militer Menurut Undang-Undang 35 Tahun 2009.

Tresna, R, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Tiara, 1990.

Jurnal

Imam W dkk, Ardyanto, Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana


Penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh anggota TNI, Jurnal
Serambi Hukum Vol. 08 No. 02 Agustus 2014.

Hamzah Hasan, Ancaman Pidana Islam Terhadap Penyalahgunaan Narkoba,


Jurnal Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Vol. 1 13 Juni
2012

52
Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 27 TAHUN 2013.

Putusan

Putusan Nomor 69 K/MIL/2016.

Skripsi

Andi Dian Pratiwi, Peranan Polisi Militer Angkatan Darat Dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Narkotika di Lingkungan TNI AD, Skripsi, Universitas
Hasanudin, 2013.

Muh. Isra Bil Ali, Penegakan Hukum Anggota Militer yang Terlibat dalam Tindak
Pidana Narkotika, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017.

Salamat Rijal, Penjatuhan Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika yang


Dilakukan Oleh Anggota TNI di Pengadilan Militer 1-03 Padang (Analisis
Putusan: No. 108 – K/PM 1-03/ AD/ XII/ 2012 Pada Pengadilan Militer 1-
03 Padang), Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta.

Internet

Hukumonline.com, diakses pada tanggal 4 Juli 2018.

http://www.tni.mil.id/pages-2-peran-fungsi-dan-tugas.html / website resmi TNI.

53
https://www.unodc.org/documents/wdr2014/World_Drug_Report_2014_web.pdf.
diakses pada tanggal 10 Oktober 2015.

http://news.analisadaily.com/read/nama-47-prajurit-kodam-ibb yang di
pecat/266616/2016/11/07 Diakses pada tanggal 7 November 2016.

54

Anda mungkin juga menyukai