Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH

Prospektif industry media di Indonesia

Di Susun Oleh :

KELOMPOK I

KHAIRULLAH ARSYAD 50100118058

RISWAN WAHAB 50100118057

WAHYU ANUGRAH 50100118056

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2020/2021

i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, wr.wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah EKONOMI MEDIA.
Kami tentunya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terhadap kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami, mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Pattallassang, 1 April
2021

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................2

A. Perkembangan Industri Media di Indonesia.................................................2


B. Perspektif industrI media di Indonesia ………………………………………………………..6

BAB III PENUTUP..............................................................................................7


DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................8

1
BAB I

PENDAHULUAN

Industri Media pada sekarang ini semakin ramai, salah satunya media massa yang
merupakan saluran, alat, atau fasilitas yang dapat dipergunakan sebagai salah satu proses
komunikasi massa. Berkembangnya media massa dapat terlihat jelas pasca runtuhnya Orde
Baru 1998. Kebebasan pers saat ini mulai terlihat apalagi dalam membangun media guna
mengurus perizinannya sudah tidak serumit dahulu. Hal ini ditunjang dengan disusunnya
batasan- batasan kerja dari pers itu sendiri yang sudah mulai tertata rapi melalui Undang-
Undang No 40 Tahun 1999 Tentang Pers Dan Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002.

Ekonomi media mempelajari bagaimana industry media memanfaatkan sumber daya


yang terbatas untuk memproduksi konten dan mendistribusikannya kepada khalayak dengan
tujuan memenuhi beragam permintaan dan kebutuhan akan informasi dan hiburan.Media
massa selain menjadi representasi ruang public yang penuh dengan dinamika social, politik
dan budaya juga menjadi kekuatan ekonomi yang mampu menghasilkan surplus. Media
menjadi medium iklan utama dan karenanya menjadi penghubung dan konsumsi, antara
produsen barang dan jasa dengan masyarakat.

Perkiraan waktu yang dibutuhkan dalam penyajian modul ini adalah dua kali tatap
muka perminggu, satu kali tatap muka terdiri dari dua jam. Mahasiswa dapat menggunakan
materi ini secara mandiri dengan membaca dan memahami setiap materi pembelajaran dan
contoh yang diberikan dalam modul, membuat tugas sesuai instruksi dan memberikan umpan
balik dengan membuat soal latihan yang diberikan dibagian akhir modul. Setelah
mempelajari materi pembelajaran I sampai VIII, mahasiswa dapat mengimplementasi ilmu
pengetahuan dan mengenai perspektif dalam ekonomi media di Indonesia.

1
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Industri Media di Indonesia

Industrialisasi media yang ada di Indonesia tidak bisa dipandang sebagai sebuah
fenomena pasca-reformasi. Akar industrialisasi ini bahkan sudah tertanam sejak Orde Baru.
Daniel Dhakidae, sebagaimana dikutip dalam Hill dan Sen (2000: 51), berpendapat bahwa
pergeseran dari pers yang berlandaskan wacana politik ke industri komersial berawal saat
pemerintahan Soeharto. Sejak pertengahan ‘80-an, tanda-tanda awal korporasi media telah
muncul. Pertumbuhan ekonomi antara tahun 1970 sampai tahun 1980, yang didorong oleh
menguatnya bisnis minyak, merangsang tumbuhnya sektor ekonomi baru, termasuk media.
Akan tetapi, pada saat itu tidak ada yang murni bisnis. Kebijakan yang memberi batasan
merupakan salah satu faktor yang menghalangi komersialisasi media. UU Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pers membatasi praktik komersialisasi dengan melarang adanya investor
asing secara langsung dalam pendirian perusahaan media. Namun, dorongan untuk
mengkapitalisasi media jelas terbaca, hingga akhirnya kesempatan untuk itu terbuka dengan
adanya deregulasi di sektor media.1
Industri media di Indonesia sudah berkembang sejak akhir tahun 1980an. Era
Reformasi menjadi titik melesatnya perkembangan bisnis media. Dalam lima belas tahun
terakhir ini, pertumbuhan industri media di Indonesia telah didorong oleh kepentingan modal
yang mengarah pada oligopoli dan pemusatan kepemilikan.2
Perkembangan media massa modern menempatkan media tidak lagi dipahami dalam
konteks sebagai institusi sosial dan politik belaka melainkan juga harus dilihat dalam
konteks institusi ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa media telah tumbuh bukan saja sebagai
alat sosial, politik dan budaya tapi juga sebagai perusahaan yang menekankan keuntungan
ekonomi. Institusi media harus dinilai sebagai dari system ekonomi yang juga bertalian erat
dengan system politik. Inilah yang dimaksudkan bahwa media mempunyai dwi karakter yang
tak terpisahkan: karakter sosial-budaya-politik dan karakter ekonomi. Faktor ekonomi
rupanya menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi seluruh perilaku media massa modern.
Faktor pasar bebas dalam seluruh proses komunikasi massa memberikan kontribusi yang
tidak sedikit dalam membentuk faktor persaingan dan tuntutan ekonomi menjadi
pertimbangan bagaimana media massa kontemporer dibentuk dan dikelola.3
Ekonomi Media memuat penerapan teori-teori , konsep-konsep dan prinsip-prinsip
ekonomi untuk mengkaji sisi ekonomi makro maupun mikro dari industri-industri dan
perusahaan-perusahaan media. Seiring dengan meningkatnya konsolidasi dan konsentrasi
industri media, Ekonomi Media hadir sebagai wilayah studi yang penting, baik bagi para
akademisi, pembuat kebijakan, maupun analis industri. Literatur Ekonomi Media memuat
beragam pendekatan metodologis , melibatkan baik metode kuantitatif maupun kualitatif,
analisis statistik, juga kajian data dalam sisi finansial, sejarah maupun politik.4

1
http://morrowpacific.com/perkembangan-industri-media-di-indonesia/
2
Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia
3
http://jasapenulisanmakalah.blogspot.com/2016/11/ekonomi-media.html
4
http://xcontohmakalah.blogspot.com/2013/10/ekonomi-media.html

2
B. Perspektif industry media di Indonesia

Industri media di Indonesia telah berkembang sejak akhir 1980-an ketika beberapa
pihak yang tidak berprofesi sebagai wartawan mulai memiliki industri pers, misalnya Partai
Golkar yang mendirikan Suara Karya; Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) membeli
Pos Kota, dan BJ Habibie (Menteri Riset dan Teknologi pada saat itu) membeli Republika.
Pada masa itu, pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Suharto (yang juga dikenal
sebagai Pemerintahan Orde Baru) mengontrol media dengan ketat dan pada saat bersamaan
juga mengkontestasi media. Peraturan media juga sangat mengekang sehingga pers pun
menjadi sangat sulit untuk mengkritik pemerintah. Beberapa surat kabar dibreidel, bahkan
beberapa mengalaminya lebih dari sekali. Contohnya Majalah Tempo yang sempat dibreidel
dua kali, tahun 1982 dan di tahun 1994 izin terbitnya dicabut kembali. Tempo bukanlah satu-
satunya; beberapa surat kabar dan majalah lain juga mengalami hal serupa.

Tahun 1998, bersamaan dengan jatuhnya Suharto dan dimulainya era Reformasi,
muncul juga peraturan dan perundangan baru mengenai media. Industri pers mulai
berkembang, tetapi hanya sedikit saja yang bertahan. Era Reformasi yang membawa
liberalisasi ekonomi juga membawa perubahan terhadap lanskap industri media di Indonesia.
Beberapa perubahan akan kami sampaikan secara singkat di sini; dan pembahasan lebih detail
akan kami paparkan dalam bab selanjutnya dari laporan ini.
Pertama, dalam gambaran yang besar, sebagai respon terhadap gelombang
konvergensi media yang sedang terjadi, adalah wajar untuk melihat persaingan perusahaan-
perusahaan media untuk memiliki semua ranah media baik itu penyiaran, cetak, dan media
online di bawah satu atap dan di bawah kendali mereka. Merger dan akuisisi terjadi untuk
menyatukan kanal-kanal media yang berbeda ke dalam satu grup media. Peraturan
perundang-undangan tampak tidak berdaya dalam mengendalikan ekspansi bisnis yang
terjadi sekarang ini. Ini adalah gambaran singkat yang mewakili apa yang terjadi dalam
lanskap bisnis media di Indonesia saat ini. Contoh dari merger dan akuisisi yang terjadi
adalah: TV7, yang didirikan oleh Kelompok

Kompas Gramedia tahun 2000, dibeli oleh CT Group (sebelumnya bernama Para
Grup) pada tahun 2006; Lativi, yang dibentuk oleh mantan Menteri Tenaga Kerja (Abdul
Latief) pada tahun 2002, diambil alih oleh Kelompok Bakrie yang mengubah namanya
menjadi tvOne

3
Kedua, peninjauan yang mendalam pada lanskap ini akan dengan mudah memaparkan
percepatan konglomerasi industri media di Indonesia saat ini. Saat ini, ada 12 kelompok
media

besar yang mengendalikan sebagian besar kanal media di Indonesia. Sebagian besar dari
mereka juga memiliki bisnis lain yang berkaitan dengan properti. Contohnya Grup Kompas,
yang memiliki bisnis properti berupa convention centre, dan CT Group, yang selain memiliki
dua stasiun televisi juga memiliki bisnis perbankan dan bisnis properti di bawah bendera
Trans Property. Terlebih lagi, dengan adanya beberapa pemilik media yang juga berprofesi
sebagai politisi, mereka akan diuntungkan karena dapat menggunakan media yang mereka
miliki untuk menciptakan opini publik sesuai dengan kehendak mereka. Contoh yang sangat
jelas adalah Surya Paloh, pemilik Media Group (MetroTV dan surat kabar Media Indonesia)
serta Aburizal Bakrie, yang memiliki Viva Group. Media-media ini telah membantu mereka
membentuk opini publik yang tentu menguntungkan kepentingan mereka dengan cara yang
dapat dengan mudah dijelaskan melalui ‘Hypodermic Needle Theory’ (Croteau dan Hoynes,
1997).3 Stasiun TV menggunakan rating untuk memproduksi konten mereka, yang kemudian
menghasilkan duplikasi konten antar media. Ini menunjukkan bagaimana bisnis media saat
ini lebih menjadi bisnis yang berorientasi pada profit dibanding sebagai sebuah entitas publik.

Ketiga, sebagai akibat dari konvergensi ini, media lokal menjadi cara alternatif yang paling
efektif dalam menyediakan informasi yang lebih relevan untuk warga. Media lokal juga dapat
menyelamatkan peran media sebagai barang publik. Tetapi dalam proses perkembangannya,
sulit bagi mereka untuk bertahan di tengah kompetisi dengan kelompok-kelompok media
yang lebih besar. Bahkan pada kenyataannya, kelompok-kelompok media besar juga membeli
media-media lokal. Saat ini, Sindo TV—bagian dari Grup MNC—mengendalikan 19 stasiun
televisi lokal dan Jawa Pos News Network mengoperasikan 120 stasiun televisi lokal di
seluruh Indonesia. Akuisisi semacam ini dibenarkan sebagai persiapan untuk skema Siaran
Berjaringan4 sebagaimana dimand
atkan oleh UU Penyiaran no. 32/2002 yang mempromosikan keberagaman konten, tetapi hal
ini justru digunakan oleh para konglomerat media untuk tujuan yang berlawanan.
Konsekuensinya, harapan terakhir warga sepertinya terletak pada radio komunitas. Menurut
Jaringan Radio Komunias Indonesia (JRKI), pada tahun 2009 terdapat 372 stasiun radio
komunitas di 18 provinsi.5 Namun, inisiatif-inisiatif lokal ini terhambat oleh sejumlah
kendala, mulai dari keberlanjutan organisasi hingga sumber daya manusia—dan di atas itu
semua, mereka juga menghadapi kesulitan dalam mendapatkan izin resmi penyiaran.

Keempat, penyebaran Internet yang cepat telah mengubah baik kerja industri media maupun
strategi keterlibatan warga. Media online telah berkembang dengan sangat pesat dalam
beberapa tahun belakangan ini. Beberapa di antaranya, detik.com (kini dimiliki oleh CT
Group) dan vivanews.com (bagian dari Viva Group milik Bakrie) telah menjadi online media
utama saat ini di samping adanya versi online dari media cetak terkemuka, seperti Kompas,
Republika, The Jakarta Post dan Tempo. Sebagai hasil dari gerakan masif ke media online,
sirkulasi media cetak tidak mengalami peningkatan yang berarti beberapa tahun belakangan

4
ini, sementara kelompok-kelompok media besar mencatat jumlah ‘hits’ yang sangat tinggi di
kanal-kanal online mereka. Bersamaan dengan itu, pertumbuhan media online sepertinya
terkait erat dengan ‘mobilisasi masyarakat’ seperti menyediakan interaksi sosial melalui
telepon genggam. Namun, yang menjadi masalah utama di sini adalah tidak meratanya akses
pada infrastruktur Internet di Indonesia, yang hanya terkonsentrasi di kota-kota besar di Jawa
dan Sumatera.
Dan terakhir, Terakhir, saat ini kita berada pada situasi di mana peran dan posisi warga
negara dalam sektor media di Indonesia betul-betul telah dipinggirkan. Dengan media yang
semata-mata hanya mengikuti logika bisnis dan motif profit, warga negara tidak lagi
diutamakan di sektor ini; apa yang tersisa di hadapan industri media hanyalah para
konsumen.5

BAB III PENUTUP


perkembangan industri media yang sangat pesat telah mengesampingkan warga negara ke
luar dari sektor media. Lanskap industri media tampaknya mempunyai dinamika yang tinggi
tetapi dinamika ini tidak terjadi pada partisipasi warga negara dalam media, dengan
pengecualian untuk media komunitas di mana warga terlibat secara aktif.

5
Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia, hlmn 7

5
DAFTAR PUSTAKA

http://morrowpacific.com/perkembangan-industri-media-di-indonesia/
http://jasapenulisanmakalah.blogspot.com/2016/11/ekonomi-media.html
http://xcontohmakalah.blogspot.com/2013/10/ekonomi-media.html
Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia, hlmn 7
Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia

6
7

Anda mungkin juga menyukai